Professional Documents
Culture Documents
Modul 3 Kelompok 3a
Modul 3 Kelompok 3a
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA BLOK
NEUROPSIKIATRI
Makassar,26 Juni 2020
MODUL 3
GANGGUAN SOMATOFORM
Tutor :
dr. Rachmat Faisal Syamsu, M.Kes.
Oleh:
Kelompok 3A
Amirah Mardiyah 11020180053
Andi Isyraf Ma’arif 11020180026
Hafiz Khairun Marwan 11020180069
Masyita Damayanti 11020180063
Muhammad Ardiansyah Paputungan 11020180067
Nur Azizah 11020180021
Resti 11020180006
Nidaul Khairy Nurfan 11020180017
Taufik Hidayat Kinder 11020180055
Zulfianti Tamsil 11020180001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA MAKASSAR
2020
MODUL
GANGGUAN SOMATOFORM
2. KATA SULIT
Tidak ada
3. KATA KUNCI
4. PERTANYAAN PENTING
5. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan etiologi Kejang
a. Pengertian
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan.
Kejang atau bangkitan epileptikadalah manifestasi klinis disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di
otak yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan
disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsiotak yang dapat
bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau gabungan keduanya. Manifestasi
bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya
penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar
berlangsung singkat.
b. Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak , truma,
bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala
putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak diketahui etiologinya )
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik.
Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra ventricular.
Infeksi : Bakteri virus dan parasit Kelainan.
bawaan : Disgenesis, korteks serebri
2. Ekstra cranial
Gangguan metabolic :Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesimia, gangguan
elektrolit (Na dan K).
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
Kelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino, ketergantungan
dan kekurangan asam amino.
3. Idiopatik
Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan
kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi
prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas
atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau
kernikterus
b. Kejang Klonik Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal
berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan
biaasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio
cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.
c. Kejang Mioklonik Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan
tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan
saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak
spesifik.(Lumbang Tebing, 1997)
2. Patomekanisme kejang
Referensi :
-Namadullah Ayu Fitri. 2016. Kejang Psikogenik Non Epilepsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Pattimura
- https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/16358/pdf
4. Definisi Somatoform
5. Langkah-langkah diagnosis
Anamnesis
Identitas
● Nama : -
● Jenis Kelamin : perempuan
● Usia : 26 tahun
● Alamat : -
● Nomor telepon :-
● Agama : -
● Status Perkawinan
● Pendidikan
● Pekerjaan
● Nama dan nomor keluarga yang dapat dihubungi
KELUHAN UTAMA
Kita dapat menanyakan keluhan utama pasien untuk berobat, kita juga dapat
menyakan alasan dia berobat kalau perlu dapat kita tanyakan siapa yang
merujuknya untuk berobat. Kita dapat tanyakan kejadiannya urutan
kronologisnya dari awal penyakit dimana berbagai perubahan mulai timbul
sampai keadaannya sekarang ini . catat juga kejadian pencetus dan berbagai
gejala yang muncul kemudian diurutkan seakurat mungkin berdasarkan waktu
kejadian.
Kita juga dapat menanyakan riwayat perkembangan kejiwaan anaknya dari
kecil sampai saat pasien datang kekita . apakah ada kesulitan dalam berteman
dengan teman sepermainnanya, apakah pasien mengalami keterbelakangan dan
kesulitan belajar sewaktu sekolah, bila pasien sudah menikah dapat kita tanyakan
bagaimana riwayat selama puber, hubungan dengan istri dan anak-anaknya.
Bagaimana dengan kebiasaan sehari-hari pasien apakah pasien suka minum-
minuman beralkohol menggunakan obat-obat hipnotik dan lain sebagainya.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Dapat kita tanyakan apakah dahulu pasien pernah menderita sakit seperti ini ,
apakah pernah menjalani pengobatan sebelumnya, apakah pasien mendapatkan
hasil dari pengobatannya, dan lain sebagainya.
Referensi : Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan kuliah psikiatrik,
Ed
6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. H: 1-6.
B. ETIOLOGI
Faktor psikologis, sosial, dan biologis semuanya dapat
berkontribusi pada mengendapkan atau melanggengkan gangguan konversi.
Seringkali, ada trauma, peristiwa kehidupan yang merugikan, atau stres akut
/ kronis sebelum gejala gangguan konversi.
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden gangguan konversi sangat tergantung pada populasi yang
diteliti. Akagi dan House menemukan bahwa insiden rata-rata gangguan
konversi di berbagai pengaturan geografis adalah sekitar 4 hingga 12 per
100000 per tahun.
D. PATOFISIOLOGI
Model neurobiologis menunjukkan bahwa gangguan konversi
hasil dari perubahan dalam pemrosesan kortikal tingkat tinggi. Hipotesis
umum dan luas adalah bahwa area frontal dan subkortikal otak dapat
diaktifkan oleh tekanan emosional, yang kemudian mengarah pada input ke
penghambatan sirkuit ganglia-thalamocortical basal ketika kemudian
mengurangi sensorik sadar atau pemrosesan motorik.
E. MANIFESTASI KLINIK
1) Tanda
a) Penyakit berupa kelemahan secara tiba-tiba
b) Riwayat masalah psikologis yang membaik ketika gejala penyakit fisik
muncul
c) Kurangnya kekhawatiran yang baiasanyamuncul dengan gejala fisik
yang parah
2) Gejala
a) Kebutaan
b) Kelumpuhan
c) Sulit menelan
d) Ketidakmampuan untuk berbicara
F. PENATALAKSANAAN
1) Non-farmakologi
a) Psikoterapi
Landasan pengobatan untuk gangguan konversi adalah
psikoterapi yang bertujuan untuk menjelaskan dasar emosional dari
gejala. Psikoterapi dapat mencakup individu atau kelompok terapi,
terapi perilaku, hipnosis, biofeedback, dan latihan relaksasi. Terapi
perilaku kognitif (CBT) telah menunjukkan kemanjuran tertinggi
dalam pengobatan pseudoseizures. Intervensi perilaku harus fokus
pada peningkatan harga diri, peningkatan kapasitas untuk
mengekspresikan emosi, dan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan nyaman dengan orang lain.
b) Terapi fisik
Penelitian telah menunjukkan bahwa terapi fisik dapat menjadi
metode pengobatan yang efektif. Perawatan fisioterapi sangat penting
dalam pengelolaan orang dengan gangguan konversi untuk
memungkinkan mereka mengatasi gejala fisik mereka dan mencegah
komplikasi sekunder, seperti kelemahan otot dan kekakuan, yang
mungkin terjadi sebagai akibat dari ketidakaktifan. Latihan progresif
yang dimulai sebagai tugas sederhana dan beralih ke tugas yang lebih
menantang telah terbukti efektif pada mereka yang memiliki gangguan
neurologis serta gangguan konversi. Terapis fisik berusaha untuk
membangun keterampilan motorik pasien dengan secara bertahap
memberikan sedikit isyarat verbal dan sentuhan atau bantuan lainnya
sementara pasien melakukan tugas-tugas tertentu.
2) Farmakologi
Referensi:
1. Peeling JL, Muzio MR. Conversion Disorder. [Updated 2020 May 23]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
2. Ali, S, et al. Conversion Disorder - Mind versus Body: A Review. 2015.
Georgetown University. Washington DC.
3. Feinstein, A. Conversion disorder: advances in our understanding. 2011.
Departement of Psychiatry. Toronto: University of Toronto. Canadian
Medical Association.
B) EPILEPSI
Pengertian
Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada
anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi.
Faktor resiko, terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah
infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik.
Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak
perempuan. Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada,
insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62
pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.
Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi
dua, yaitu :
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif
Patofisiologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang
menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena
adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.25
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.
Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis,
gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).26
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang
sering digunakan Computer Tomography Scan (CTScan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitifdan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan.24,27
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan
epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2
tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik
dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio
kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1.
Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
Prognosis
Komplikasi
Komplikasi epilepsi yang merupakan kelainan neurologis mencakup tiga hal
berikut:
▪ Gangguan psikiatrik, prevalensi gangguan psikiatri meningkat pada pasien epilepsi,
seperti gangguan mood, gangguan kecemasan, atau attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD)
▪ Gangguan kognitif, pasien epilepsi mengalami abnormalitas kognitif dibanding
orang normal pada umur yang sama. Pasien epilepsi sering ditemukan mengalami
kurang prestasi akademik.
▪ Gangguan perilaku dan adaptasi sosial, pasien epilepsi dapat mengalami gangguan
dalam bersosialisasi dan membina hubungan antar individu
Salah satu komplikasi epilepsi yang berbahaya adalah kematian akibat sudden
unexpected death in epilepsy (SUDEP) yaitu kematian akibat serangan epilepsi
yang terjadi pada saat tidur dengan posisi yang dapat menghambat jalan napas.
Insidensinya diperkirakan 1,2 per 1.000 penderita epilepsi dan paling sering terjadi
pada pasien dewasa muda
Rreferensi :
C) PSEUDOSEIZURE
A. Definisi
B. Etiologi
C. Epidemiologi
Insiden PNES tidak diketahui. Namun, pada pasien yang dirawat di unit
pemantauan epilepsi untuk kejang yang tidak biasa atau sulit ditangani, sekitar
20% hingga 40% ditemukan memiliki diagnosis PNES daripada kejang epilepsi
dengan pemantauan video-EEG yang diperluas. Dalam sebuah penelitian baru-baru
ini tentang epileptikus status kejang umum, 10% pasien yang diduga memiliki
status epileptikus kejang umum benzodiazepine-refraktori yang diberi obat
antiepilepsi tambahan setelah peninjauan kembali diputuskan memiliki PNES.
D. Patofisilogi
Ada beberapa bukti dari studi neuroimaging fungsional dan struktural yang
menunjukkan PNES dapat mencerminkan perubahan sensorimotor, pengaturan /
pemrosesan emosional, kontrol kognitif, dan integrasi sirkuit saraf.
E. Manifestasi Klinis
Meronta-ronta liar, gerakan kepala dari sisi ke sisi, dan meneriakkan frasa
verbal juga tidak konsisten dengan kejang epilepsi. Empat gerakan motorik
ekstremitas dengan kejang akan mewakili keterlibatan kortikal difus dengan
kejang epilepsi dan pasien tidak boleh dapat berkomunikasi selama kejang
tersebut. Mulut biasanya terbuka selama fase tonik dari kejang umum; Kehadiran
mulut yang terkatup selama mantra tonik harus meningkatkan pertimbangan
PNES. Suara keras singkat atau rangsangan mengejutkan serupa mungkin berguna
untuk mendeteksi PNES karena pasien dengan kejang epilepsi umum tidak boleh
mengejutkan atau menanggapi rangsangan selama suatu peristiwa. Masa postnosis
somnolence atau kebingungan sering terjadi setelah kejang epilepsi umum tetapi
mungkin tidak ada dengan PNES.
Sekali lagi, pengamatan adalah kunci, dan dokter harus menghindari terburu-buru
untuk intervensi atau perawatan yang tidak membantu.
G. Tatalaksana
H. Diagnosis Banding
● Kejang Absen
● Vertigo
● Sinkop
I. Prognosis
Prognosis pasien dengan PNES tidak jelas. Dengan identifikasi mantera
dan diagnosis PNES yang benar, pengobatan komorbiditas dan konseling psikiatris
dapat mengurangi frekuensi mantera. Psikoterapi yang diberi tahu terapi perilaku
kognitif tampaknya manjur. Penerimaan pasien terhadap diagnosis PNES
diperkirakan meningkatkan hasil.
J. Komplikasi
Referensi :
Jawab :
Secara farmakologi
Non farmakologis
Referensi :
1. Medical Mini Note. (2018). Obstetric : Make It easy Only with Medical
Mini Notes.
2. Elvira, Sylvia D & Hadi sukanto, Gita yanti 2013.Buku Ajar Psikiatri
Edisi Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal 325
7. Perspektif islam berdasarkan scenario
ِ َ ﻮZُ ْﻢ َﯾ ْﺤ َﺰﻧZُﻮ َ و َﻻ ھ
ن َن ﱠاﻟ ِﺬﯾ َﻦ َﻗﺎﻟُﻮا رﺑﱡﻨ
ْ ﻋ ﻠ ْﯿ ﷲُ ﺛ ﺳَﺘَﻘﺎ ُﻣﻮا
ف ِﮭ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﱠﻢ ا ﺎ
ﺧ
(QS. Al-Ahqaf :13)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah",
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Dalam Islam kejujuran adalah hal yang sangat penting, ayat di atas menjelaskan
bahwa ketidakjujuran akan membawa konflik dalam diri seseorang, antara
pikiran dan perasaan. Kebohongan dan konflik dapat mempengaruhi kerja
hormon yang menyebabkan perubahan detak jantungm pernapasan, dan membuat
tubuh gemetar (Hasan-2008)