You are on page 1of 33

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA BLOK
NEUROPSIKIATRI
Makassar,26 Juni 2020

MODUL 3
GANGGUAN SOMATOFORM

Tutor :
dr. Rachmat Faisal Syamsu, M.Kes.
Oleh:
Kelompok 3A
Amirah Mardiyah 11020180053
Andi Isyraf Ma’arif 11020180026
Hafiz Khairun Marwan 11020180069
Masyita Damayanti 11020180063
Muhammad Ardiansyah Paputungan 11020180067
Nur Azizah 11020180021
Resti 11020180006
Nidaul Khairy Nurfan 11020180017
Taufik Hidayat Kinder 11020180055
Zulfianti Tamsil 11020180001

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM
INDONESIA MAKASSAR
2020
MODUL
GANGGUAN SOMATOFORM

Setelah mengikuti proses pembelajaran modul ini, mahasiswa diharapkan


dapat menjelaskan tentang definisi, klasifikasi, patomekanisme, etiologi
“gangguan somatoform”, gambaran klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
psikiatrik, pemeriksaan penunjang, dan penegakan diagnosis, serta cara
penanganannya.

Setelah selesai mengikuti proses pembelajaran modul ini, mahasiswa


diharapkan dapat menjelaskan:

1. Definisi gangguan somatoform


2. Klasifikasi gangguan somatoform
3. Epidemiologi gangguan somatoform
4. Patofisiologi timbulnya gangguan somatoform
5. Struktur bangunan intrakranial yang terkait dengan gangguan somatoform
6. Bagian–bagianotak yang terlibat dalam terjadinya gangguan somatoform
7. Menjelaskan patomekanisme terjadinya gangguan somatoform
8. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis.
9. Menjelaskan bagaimana menegakkan diagnosis gangguan somatoform
10. Menjelaskan bagaimana penatalaksanaan berbagai macam- gangguan
somatoform
11. Menjelaskan prognosis dari berbagi macam-macam gangguan somatoform
12. Mengetahui dan menjelaskan efek samping penggunaan obat-obatan untuk
gangguan somatoform
1. SKENARIO 3

Seorang perempuan berusia 26 tahun datang ke poliklinik RS Ibnu Sina dengan


keluhan selama 3 minggu terakhir dia mengalami kejang hampir setiap hari. Dia
menceritakan bahwa ia seringkali tiba-tiba jatuh, dan diikuti dengan gerakan
lengan dan kakinya yang tak terkendali. Peristiwa ini berlangsung selama kurang
lebih 10 menit. Meskipun dia menyangkal adanya kehilangan fungsi kesadaran,
sebagai akibatnya dia tidak dapat melanjutkan pekerjaannya. Dia merasaagak
terganggu saat menerima promosi kenaikan jabatan 1 bulan yang lalu.

2. KATA SULIT

Tidak ada

3. KATA KUNCI

1. Perempuan usia 26 tahun


2. Kejang hampir setiap hari selama 3 minggu terakhir.
3. Sering kali tiba-tiba jatuh dan diikuti dengan gerakan lengan dan
kakinya yang tidak terkendali.
4. Durasi kurang lebih 10 menit.
5. Pasien menyangkal kehilangan fungsi kesadaran.
6. Merasa ternganggu saat 1 bulan yang lalu.

4. PERTANYAAN PENTING

1. Jelaskandefinisi, etiologi dan klasifikasi dari kejang!


2. Jelaskan patomekasnime kejang!
3. Mengapa pasien merasa tidak mengalami penurunan kesadaran?
4. Menjelaskan defnisi dari somatoform?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis dari skenario?
6. Apa saja diferensial diagnosis dari skenario?
7. Apa penatalaksaan awal sesuai skenario?
8. Jelaskan Perspektif islam dari skenario?

5. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan etiologi Kejang

a. Pengertian
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan.
Kejang atau bangkitan epileptikadalah manifestasi klinis disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di
otak yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan
disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsiotak yang dapat
bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau gabungan keduanya. Manifestasi
bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya
penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar
berlangsung singkat.
b. Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak , truma,
bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala
putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak diketahui etiologinya )
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik.
Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra ventricular.
Infeksi : Bakteri virus dan parasit Kelainan.
bawaan : Disgenesis, korteks serebri
2. Ekstra cranial
Gangguan metabolic :Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesimia, gangguan
elektrolit (Na dan K).
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat.
Kelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino, ketergantungan
dan kekurangan asam amino.
3. Idiopatik
Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5

1B. Klasifikasi Kejang

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan
kejang mioklonik.

a. Kejang Tonik Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi
prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas
atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap
epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau
kernikterus

b. Kejang Klonik Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal
berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan
biaasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio
cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.

c. Kejang Mioklonik Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan
tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan
saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak
spesifik.(Lumbang Tebing, 1997)

Referensi:Oliver, J. (2019) ‘kejang demam’, Hilos Tensados, 1, pp. 1–476. doi:


10.1017/CBO9781107415324.004.

2. Patomekanisme kejang

Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks


otak.Hal ini terjadi saat ada ketidakseimbangan tiba-tiba antara kekuatan
pemicu (eksikatori) dan penghambat (inhibitori) dalam jaringan neuron
kortika. Pada gambar dibawah dapat dijelaskan bahwa pada kondisi nomal
impuls saraf dari otak akan dibawa oleh neurotransmitter seperti GABA
melalui sel-sel neuron ke organ tubuh lain. Jika pada sistem tersebut tidak
normal maka akan terjadi ketidakseimbangan aliran listrik pada neuron dan
mengakibatkan terjadinya serangan kejang. Ketidakseimbangan bisa terjadi
karena kurangnya transmisi inhibisi misalnya terjadi pada keadaan setelah
pemberian antagonis GABA atau selama penghentian pemberian GABA
(alcohol, benzodiazepine), atau pada saat meningkatnya aksi eksitasi seperti
meningkatnya aksi glutamat atau aspartat.
Serangan kejang epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron
abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan dengan terjadinya
cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik ini
akan mengajak neuron-neuron sekitarnya atau neuron yang terkait di dalam
proses. Secara klinis serangan kejang akan tampak apabila cetusan listrik dari
sejumlah neuron abnormal muncul secara bersama-sama di dalam otak.
Aktivitas listrik ini akan menimbulkan berbagai macam jenis serangan seizure
yang berbeda, tergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena maupun
yang terlibat. Sehingga epilepsy menghasilkan manifestasi yang bervariasi.

Referensi: PRATANINGTIYAS, R. D. (2017). STUDI PENGGUNAAN FENITOIN PADA


PASIEN EPILEPSI (Penelitian di RumahSakitUmum Daerah Sidoarjo) (Doctoral
dissertation, University of Muhammadiyah Malang).

3. – Jika memang Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran


Tidak seperti kejang epilepsi, kejang psikogenik non epilepsi tidak
diakibatkan dari perubahan listrik yang abnormal di otak, akan tetapi
merupakan manifestasi fisik dari gangguan psikologis.
Gangguan psikologis tersebut terdiri dari gangguan konversi, gangguan
somatoform yang biasanya terjadi tanpa disadari. Kejang
nonepilepsipsikogenik juga diakibatkan dari kepura-puraan seperti
malingering.
Temuan fisik dan neurologis biasanya normal namun pemeriksaan
dapat juga menemukan gambaran yang sugestif seperti perilaku dramatis,
kelemahan, dan suara yang lemah atau terbata-bata. Gambaran psikologis yang
sugestif untuk episode psikogenik termasuk ansietas, depresi, afek yang tidak
sesuai atau kurangnya perhatian, gangguan somatisasi, dan interaksi yang
abnormal dengan anggota keluarga.
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi. Selama serangan,
ditandai dengan keterlibatan otot-otot truncal dengan opistotonus dan kepala
atau badan berputar ke arah lateral. Semua ekstremitas mungkin menunjukkan
gerakan meronta-ronta, yang mungkin akan meningkatkan intensitas jika
pengenkangan diterapkan.Klinisi dapat merasa sulit membedakan kejang semu
dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja.Lebih
jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang semua pasien memiliki gangguan epileptik.
Menggigit lidah, inkontinensia urin, dan cedera setelah jatuh dapat terjadi jika
pasien memiliki pengetahuan medis tentang penyakit. Gejala ini berbeda
dengan kejang yang sebenarnya, dimanapseudoseizure terutama terjadi di
hadapan orang lain dan bukan ketika pasien sendirian atau tidur.

Kelainan yang menyerupai epilepsi psikogenik terdapat 3 tipe yang berbeda.

1. Kejang disosiasi adalah involunter dan terjadi tanpa disadari. Orang


yang tidak dapat mengontrol kelebihan pada ketakutan dan penderita
tidak dapat menghilangkan rasa takut yang mendalam. Bentuk ini
adalah yang paling sering pada kelainan yang menyerupai epilepsy
psikologik.
2. Serangan panic adalah masalah kondisi psikiatrik. Penderita dapat
terjadi pada saat ketakutan, ketika mengingat pengalaman yang
menakutkan, atau dalam situasi tidak diharapkan menjadi ketakutan.
Serangan panic akan menyebabkan penderita menjadi berkeringat,
palpitasi ( merasakan denyut jantung ), gemetaran dan sulit bernapas.
Penderita ada juga yang sampai kehilangan kesadarannya sampai
pingsan dan tubuh bergetar ( kejang ).
3. Kejang tiruan terjadi di bawah kesadaran. Sebagai contoh ketika
kejang bagian dari Munchausen’s syndrome, kejadian psikiatrik yang
langkah ketika penderita berpura-pura sakit serius atau sengaja
membuat dirinya sakit atau terluka untuk menarik simpati atau
perhatian

– Jika Pasien mengalami kehilangan kesadaran


Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya epilepsy. Pada umumnya epilepsi dapat
muncul karena penderita mengalami kelelahan atau mengalami benturan dibagian kepala,
yang disusul dengan tidak sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan
gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali di seluruh tubuh. Kejang biasanya berlangsung
paling lama lima menit. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung
sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak dapat mengingat apa
yang terjadi setelah kejang.

Referensi :
-Namadullah Ayu Fitri. 2016. Kejang Psikogenik Non Epilepsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Pattimura
- https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/16358/pdf

4. Definisi Somatoform

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala


fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan
penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius
untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi
bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan
durasi gejala. Gangguan somatoform adalah gangguan yang tidak disebabkan oleh
pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.

Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:


1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2. Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5. Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis

Referensi : Cokorda Bagus Jaya Lesmana, BUKU PANDUAN BELAJAR KOAS


ILMU KEDOKTERAN JIWA (Denpasar: Udayana University Press,2017) hlm.
30-31

5. Langkah-langkah diagnosis
Anamnesis
Identitas

● Nama : -
● Jenis Kelamin : perempuan
● Usia : 26 tahun
● Alamat : -
● Nomor telepon :-
● Agama : -
● Status Perkawinan
● Pendidikan
● Pekerjaan
● Nama dan nomor keluarga yang dapat dihubungi

KELUHAN UTAMA
Kita dapat menanyakan keluhan utama pasien untuk berobat, kita juga dapat
menyakan alasan dia berobat kalau perlu dapat kita tanyakan siapa yang
merujuknya untuk berobat. Kita dapat tanyakan kejadiannya urutan
kronologisnya dari awal penyakit dimana berbagai perubahan mulai timbul
sampai keadaannya sekarang ini . catat juga kejadian pencetus dan berbagai
gejala yang muncul kemudian diurutkan seakurat mungkin berdasarkan waktu
kejadian.
Kita juga dapat menanyakan riwayat perkembangan kejiwaan anaknya dari
kecil sampai saat pasien datang kekita . apakah ada kesulitan dalam berteman
dengan teman sepermainnanya, apakah pasien mengalami keterbelakangan dan
kesulitan belajar sewaktu sekolah, bila pasien sudah menikah dapat kita tanyakan
bagaimana riwayat selama puber, hubungan dengan istri dan anak-anaknya.
Bagaimana dengan kebiasaan sehari-hari pasien apakah pasien suka minum-
minuman beralkohol menggunakan obat-obat hipnotik dan lain sebagainya.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Dapat kita tanyakan apakah dahulu pasien pernah menderita sakit seperti ini ,
apakah pernah menjalani pengobatan sebelumnya, apakah pasien mendapatkan
hasil dari pengobatannya, dan lain sebagainya.

PEMERIKSAAN PSIKIATRI ( KEADAAN MENTAL )


1. Perilaku umum : penampilan , perilaku di bangsal sejak awal masuk rumah
sakit, sikap terhadap rumah sakit, dokter, perawat, pasien lain, kegiatan
makan, tidur, dsb.
2. Berbicara : uraikan cara pasien bicara, bukan apa yang dibicarakan. Banyak
atau sedikit, berbicara spontan atau hanya menjawab pertanyaan. Kecepatan
dan koherensi.
3. Afek: tidak hanya kegembiraan atau kesedihan, tetapi iritabilitas,
kebingungan , ketakutan, ansietas, . datar atau berubah-ubah, penyebab
perubahan, sesuai atau tidak sesuai. Ikap terhadap masa depan, masa lalu,
dan masa sekarang. Pikiran untuk bunuh diri.
4. Pola Pikir : mampu berpikir dalam bentuk abstrak (ujilah dengan berbagai
pepatah dan catat jawabannya ) secara konstan dengan alur bicara yang tidak
terputus-putus. Apakah pasien mengalami bloking, tekanan atau kekosongan
pikiran.
5. Isi Pikir : uraikan dengan lengkap isi piker , problem dan preokupasi.
Daftarkan kekuatiran utama pasien.
6. Waham dan salah interpetasi : keraguan terhadap lingkungan , ideas of
reference, persecution. Apakah ada wahan nihilistic , kebesaran , bersalah,
hipokondriasis dsb.
7. Halusinasi dan kelainan persepsi lainnya : apakah ada gangguan dalam
penglihatan, pendengaran , taktil yang pasien terima berdasarkan sumber dan
sifatnya, atau khayalan yang timbul pada diri sendiri .
8. Fenomena obsesi : isi obsesi dan seberapa kuat dia mempertahankannya .
kesadaran terhadap keanehan yang dia lakukan. Hubungannya dengan
keadaan emosi . hubungannya dengan tindakan konfulsif dan keagamaan.
9. Orientasi : mengetahui nama, identitas, tempat waktu, tanggal , orang lain ,
lingkungan rumah sakit.
10. Daya ingat ; dapat dinilai dari kemampuan pasien menjelaskan riwayatnya.
Tes daya ingat pasien terhadap kejadian yang baru terjadi dan kejadian masa
lalu , daya ingat terhadap daftar angka, nama dan alamat.
11. Perhatian dan kosentrasi : mudah dialihkan, preokupasi. Ujilah kemampuan
pasien untuk menyebutkan tanggal , dan bulan berurutan dari belakang
secara berurutan. Ujilah kemampuan pasien untuk menyebutkan angka
pengurangan 7 dari 100, missal 100, 93, 86, dan seterusnya.
12. Pengetahuan umum : ujilah berdasarkan pengalaman dan pendidikan pasien ,
gunakan peristiwa yang baru terjadi nama , nama mentri , presiden, ibu kota,
dan lain sebagainya.
13. Insight dan Judgement : sikap terhadap keadaan saat ini. Merasa sakit? Perlu
pengobatan? Rencana masa depan ? sikap terhadap keuangan, keluarga
ataupun etika.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji darah, urin, dan
pemeriksaan penunjang lain sesuai keluhan pasien. Alasan penting untuk
melakukan uji darah adalah memeriksan adanya gangguan organik, memeriksan
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri, dan menemukan gangguan metabolik.
Uji darah yang harus dilakukan yaitu, pemeriksaan darah lengkap, urea dan
elektrolit, uji fungsi tiroid, uji fungsi hati, kadar vitamin B 12 dan asam folat, serta
serologi sifilis. Untuk pemeriksaan darah lini kedua dapat dilakukan pemeriksaan
kadar kalsium, assay kortisol dan serologi HIV.
Pada uji urin kita melakukan skrining obat terlarang dalam urin untuk
memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif. Selain itu kita juga melakukan uji urin
lengkap seperti pada uji darah. Untuk pemeriksaan lain kita dapat melakukan
elektroensefalografi(EEG), elektrokardiografi(EKG), radiografi seperti x-ray dan
ct scan.

Referensi : Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan kuliah psikiatrik,
Ed
6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. H: 1-6.

6. Beberapa differensial diagnosis dari scenario


A) GANGGUAN KONVERSI
A. DEFINISI

Gangguan konversi, juga dikenal sebagai gangguan gejala


neurologis fungsional (FND), adalah gangguan kejiwaan yang ditandai
dengan gejala yang mempengaruhi fungsi sensorik atau motorik.
Didefinisikan sebagai penyakit kejiwaan di mana gejala dan tanda-tanda
yang mempengaruhi motorik sukarela atau fungsi sensorik tidak dapat
dijelaskan oleh kondisi medis neurologis atau umum. Faktor psikologis,
seperti konflik atau stres, dinilai terkait dengan defisit. Istilah gangguan
konversi diciptakan oleh Sigmund Freud, yang berhipotesis bahwa terjadinya
gejala tertentu yang tidak dijelaskan oleh penyakit organik mencerminkan
konflik yang tidak disadari.

Contoh umum dari gejala konversi termasuk kebutaan,


kelumpuhan, distonia, kejang nonepileptik psikogenik (PNES), anestesi,
kesulitan menelan, tics motorik, kesulitan berjalan, halusinasi, anestesi, dan
demensia. Pada pasien dengan kelainan konversi, gejala ini tidak disebabkan
langsung oleh efek fisiologis; sebaliknya gejala-gejala ini disebabkan oleh
konflik psikologis.

B. ETIOLOGI
Faktor psikologis, sosial, dan biologis semuanya dapat
berkontribusi pada mengendapkan atau melanggengkan gangguan konversi.
Seringkali, ada trauma, peristiwa kehidupan yang merugikan, atau stres akut
/ kronis sebelum gejala gangguan konversi.
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden gangguan konversi sangat tergantung pada populasi yang
diteliti. Akagi dan House menemukan bahwa insiden rata-rata gangguan
konversi di berbagai pengaturan geografis adalah sekitar 4 hingga 12 per
100000 per tahun.
D. PATOFISIOLOGI
Model neurobiologis menunjukkan bahwa gangguan konversi
hasil dari perubahan dalam pemrosesan kortikal tingkat tinggi. Hipotesis
umum dan luas adalah bahwa area frontal dan subkortikal otak dapat
diaktifkan oleh tekanan emosional, yang kemudian mengarah pada input ke
penghambatan sirkuit ganglia-thalamocortical basal ketika kemudian
mengurangi sensorik sadar atau pemrosesan motorik.

Pasien dengan gangguan konversi memiliki pola aktivasi serebral


yang abnormal di mana area limbik (atau area yang terhubung dengan sistem
limbik) menimpa aktivasi motor dan korteks sensorik. Bagaimana tepatnya
hal ini terjadi tidak jelas, tetapi satu teori menyatakan bahwa daerah spesifik
korteks cingulate dapat berfungsi secara eksklusif. Sebuah mekanisme yang
disebut "penghambatan timbal balik" memungkinkan setiap wilayah untuk
mematikan yang lain selama pemrosesan informasi. Ini relevan dengan
gangguan konversi di mana segmen kaudal, yang bertanggung jawab untuk
tindakan yang diinginkan, dapat dinonaktifkan atau ditekan oleh korteks
cingulate anterior pregenual karena memproses emosi yang intens.

Pasien dengan ingatan emosional yang ditekan (tidak diinginkan)


memiliki pola MRI fungsional penonaktifan otak regional dan aktivasi
tambahan yang melengkapi data tentang gangguan konversi. Aktivitas saraf
dalam hippocampus (repositori memori) ditekan oleh aktivasi dalam jaringan
yang kaya frontal (yaitu, korteks prefrontal dorsolateral dan ventrolateral dan
konektivitas gingrus cingulata anterior). Diharapkan bahwa spesifisitas otak
regional akan berbeda antara data dari studi MRI fungsional pasien dengan
gangguan konversi dan pasien dengan amnesia disosiatif, mengingat
perbedaan dalam fenomenologi. Yang lebih penting adalah bahwa, dalam
kedua kondisi, jaringan saraf diskrit yang terlibat dalam memproses emosi
dan kontrol eksekutif dapat menekan daerah yang terkait dengan sejumlah
besar fungsi lainnya (misalnya, motorik, sensorik, memori, penglihatan). Ini
mendukung validitas konstruk yang mendasari bagaimana gejala atipikal,
terlepas dari fenotipenya, dapat timbul.

E. MANIFESTASI KLINIK
1) Tanda
a) Penyakit berupa kelemahan secara tiba-tiba
b) Riwayat masalah psikologis yang membaik ketika gejala penyakit fisik
muncul
c) Kurangnya kekhawatiran yang baiasanyamuncul dengan gejala fisik
yang parah
2) Gejala
a) Kebutaan
b) Kelumpuhan
c) Sulit menelan
d) Ketidakmampuan untuk berbicara
F. PENATALAKSANAAN
1) Non-farmakologi
a) Psikoterapi
Landasan pengobatan untuk gangguan konversi adalah
psikoterapi yang bertujuan untuk menjelaskan dasar emosional dari
gejala. Psikoterapi dapat mencakup individu atau kelompok terapi,
terapi perilaku, hipnosis, biofeedback, dan latihan relaksasi. Terapi
perilaku kognitif (CBT) telah menunjukkan kemanjuran tertinggi
dalam pengobatan pseudoseizures. Intervensi perilaku harus fokus
pada peningkatan harga diri, peningkatan kapasitas untuk
mengekspresikan emosi, dan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan nyaman dengan orang lain.
b) Terapi fisik
Penelitian telah menunjukkan bahwa terapi fisik dapat menjadi
metode pengobatan yang efektif. Perawatan fisioterapi sangat penting
dalam pengelolaan orang dengan gangguan konversi untuk
memungkinkan mereka mengatasi gejala fisik mereka dan mencegah
komplikasi sekunder, seperti kelemahan otot dan kekakuan, yang
mungkin terjadi sebagai akibat dari ketidakaktifan. Latihan progresif
yang dimulai sebagai tugas sederhana dan beralih ke tugas yang lebih
menantang telah terbukti efektif pada mereka yang memiliki gangguan
neurologis serta gangguan konversi. Terapis fisik berusaha untuk
membangun keterampilan motorik pasien dengan secara bertahap
memberikan sedikit isyarat verbal dan sentuhan atau bantuan lainnya
sementara pasien melakukan tugas-tugas tertentu.

2) Farmakologi

Gangguan konversi juga dapat ditingkatkan melalui penggunaan


obat-obatan untuk mengobati masalah kejiwaan yang mendasarinya,
seperti depresi dan kecemasan. Obat-obatan dapat termasuk antidepresan,
anxiolytics, atau lainnya tergantung pada co-morbiditas psikiatrik. Tindak
lanjut janji rutin dengan ahli saraf dan / atau psikiater harus diberikan
kepada pasien untuk membatasi kunjungan ruang gawat darurat dan tes
diagnostik atau invasif yang tidak perlu.

Referensi:

1. Peeling JL, Muzio MR. Conversion Disorder. [Updated 2020 May 23]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
2. Ali, S, et al. Conversion Disorder - Mind versus Body: A Review. 2015.
Georgetown University. Washington DC.
3. Feinstein, A. Conversion disorder: advances in our understanding. 2011.
Departement of Psychiatry. Toronto: University of Toronto. Canadian
Medical Association.

B) EPILEPSI

Pengertian

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti


serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat
dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap
orang di seluruh dunia.12 Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak
dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang
umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral
cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial.
Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex
dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan
klonik termasuk dalam epilepsi umum. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan
oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut. Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom
epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang
ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsy
adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang
epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor
pencetus, kronisitas.Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi
yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang
anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab
kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam
tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan
tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau
adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut
tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari.

Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada
anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi.
Faktor resiko, terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah
infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik.
Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada anak
perempuan. Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada,
insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62
pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi
dua, yaitu :

Epilepsi Kejang Fokal


a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif

Patofisiologi

Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang
menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena
adanya ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.25

Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak


Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Sinyal
yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang
berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi
yang berlebihan, sehingga tejadi kejang.
Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul pada
reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya
saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan
Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan
hiperpolarisasi membran.
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromedulator, akan tetapi
reseptor glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti untuk eksitasi
epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat
adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua struktur otak depann
menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi
neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat
mengakibatkan serangan kejang.
2. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar
neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal.
Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron
lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang
berlebihan dan bersifat berulang.
3. Mekanisme epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan
trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini
mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan
dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah
terangsang.
4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal
Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel
saraf termasuk kedala teori transisi interiktal0-iktal. Dari berbagai penelitian,
mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi
mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi interiktal-iktal,
yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-
interikta yang berulang menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga
eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam
mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan
kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-iktal. Teori
sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps
ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.
5. Mekanisme neurokimiawi
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel
saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor
tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian
obat-obatan. Selain GABA dan glutamate yang merupakan neurotransmitter
penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut
berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat menyebabkan inhibisi
interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang kejang. Selain
itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionic juga ikut
mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu
terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi
neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas GABAergik, pilokapin yang
menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir
menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi kejang
dengan cara memacu reseptor excitatory amino acid (EAA).

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan
badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total
disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke
atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.

e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan
menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis,
gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga
atau sinus. Sebab sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.

3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).26

b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang
sering digunakan Computer Tomography Scan (CTScan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitifdan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan.24,27

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan
mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.

b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan
kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan
epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2
tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.

2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :

a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang
kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan
pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil
dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik
dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio
kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1.
Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,


faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi
serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis
penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas
serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun
harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas
serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan
untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai
faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan
pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas
EEG. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki
risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang
paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat
penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering
disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan
epilepsi.

Komplikasi
Komplikasi epilepsi yang merupakan kelainan neurologis mencakup tiga hal
berikut:
▪ Gangguan psikiatrik, prevalensi gangguan psikiatri meningkat pada pasien epilepsi,
seperti gangguan mood, gangguan kecemasan, atau attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD)
▪ Gangguan kognitif, pasien epilepsi mengalami abnormalitas kognitif dibanding
orang normal pada umur yang sama. Pasien epilepsi sering ditemukan mengalami
kurang prestasi akademik.
▪ Gangguan perilaku dan adaptasi sosial, pasien epilepsi dapat mengalami gangguan
dalam bersosialisasi dan membina hubungan antar individu
Salah satu komplikasi epilepsi yang berbahaya adalah kematian akibat sudden
unexpected death in epilepsy (SUDEP) yaitu kematian akibat serangan epilepsi
yang terjadi pada saat tidur dengan posisi yang dapat menghambat jalan napas.
Insidensinya diperkirakan 1,2 per 1.000 penderita epilepsi dan paling sering terjadi
pada pasien dewasa muda

Rreferensi :

Kristanto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP


Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis 8(1): 69-73. DOI:
10.15562/ism.v8i1.105

C) PSEUDOSEIZURE

A. Definisi

Pseudoseizure atauPsychogenic nonepileptic seizures (PNES) adalah


gangguan kesadaran, gerakan atau perilaku yang paroksismal dan secara superfisial
mirip dengan bangkitan epilepsi, namun tidak disebabkan oleh gangguan
neurobiologis seperti epilepsi serta tidak disertai perubahan gelombang listrik pada
perekaman EEG.

B. Etiologi

Mekanisme psikiatrik yang paling umum dianggap sebagai gangguan


konversi. Gangguan konversi menurut definisi menyiratkan bahwa individu
tersebut tidak sadar dan tidak secara sadar berpura-pura terjadi. Sejarah pelecehan
seksual atau fisik merupakan faktor risiko perkembangan PNES. Mayoritas pasien
adalah wanita dewasa. Sejumlah pasien PNES yang tidak proporsional memiliki
pelatihan dalam karir perawatan kesehatan. Bagaimana faktor-faktor risiko ini
meringkas untuk menghasilkan mantra tidak jelas. Komorbiditas psikiatrik lainnya
mungkin termasuk depresi, gangguan kecemasan, PTSD, atau gangguan
kepribadian.

Gangguan berpura-pura atau berpura-pura dianggap kurang umum sebagai


penyebab PNES tetapi mungkin dicurigai ketika ada keuntungan sekunder yang
jelas dan segera yang mengakibatkan perubahan perilaku.

C. Epidemiologi

Insiden PNES tidak diketahui. Namun, pada pasien yang dirawat di unit
pemantauan epilepsi untuk kejang yang tidak biasa atau sulit ditangani, sekitar
20% hingga 40% ditemukan memiliki diagnosis PNES daripada kejang epilepsi
dengan pemantauan video-EEG yang diperluas. Dalam sebuah penelitian baru-baru
ini tentang epileptikus status kejang umum, 10% pasien yang diduga memiliki
status epileptikus kejang umum benzodiazepine-refraktori yang diberi obat
antiepilepsi tambahan setelah peninjauan kembali diputuskan memiliki PNES.

D. Patofisilogi

Ada beberapa bukti dari studi neuroimaging fungsional dan struktural yang
menunjukkan PNES dapat mencerminkan perubahan sensorimotor, pengaturan /
pemrosesan emosional, kontrol kognitif, dan integrasi sirkuit saraf.

E. Manifestasi Klinis

Kejang nonepilepsi psikogenik mungkin sulit dibedakan dari kejang


epilepsi. Pengamatan kesadaran waxing dan memudarnya, gerakan gemetar
out-of-phase, penusukan panggul, guncangan kepala-ke-sisi, dan penutupan mata
selama acara itu menunjukkan PNES. Namun, kadang-kadang episode singkat dari
sikap tidak responsif yang tiba-tiba dapat mewakili peristiwa PNES.
Kadang-kadang, teman atau keluarga dapat menjadi relawan sejarah kejang atau
mantera nonepilepsi, tetapi sering kali ini kurang dan pasien telah dicap memiliki
gangguan kejang dan sedang diresepkan obat antiepilepsi.
Bahkan di unit gawat darurat yang sibuk, selalu ada momen pengamatan
singkat sebelum memulai perawatan. Terapi tidak boleh digerakkan oleh protokol
secara membabi buta tanpa inspeksi dan pemeriksaan. Sebagian besar pasien
dengan kejang kejang akan memiliki mata terbuka. Mata tertutup, mata tertutup
rapat dengan resistensi terhadap pembukaan mata selama suatu kejadian tidak
konsisten dengan kejang epilepsi. Penutupan mata selama mantera secara konsisten
telah ditemukan sebagai tanda yang dapat diandalkan untuk PNES (95% ke atas)
meskipun kadang-kadang pengecualian diamati.

Meronta-ronta liar, gerakan kepala dari sisi ke sisi, dan meneriakkan frasa
verbal juga tidak konsisten dengan kejang epilepsi. Empat gerakan motorik
ekstremitas dengan kejang akan mewakili keterlibatan kortikal difus dengan
kejang epilepsi dan pasien tidak boleh dapat berkomunikasi selama kejang
tersebut. Mulut biasanya terbuka selama fase tonik dari kejang umum; Kehadiran
mulut yang terkatup selama mantra tonik harus meningkatkan pertimbangan
PNES. Suara keras singkat atau rangsangan mengejutkan serupa mungkin berguna
untuk mendeteksi PNES karena pasien dengan kejang epilepsi umum tidak boleh
mengejutkan atau menanggapi rangsangan selama suatu peristiwa. Masa postnosis
somnolence atau kebingungan sering terjadi setelah kejang epilepsi umum tetapi
mungkin tidak ada dengan PNES.

Ada pengecualian untuk pengamatan ini. Dorongan pelvis, gerakan


bersepeda, postur abnormal dapat terjadi pada epilepsi lobus frontal.

Peningkatan dalam denyut jantung 30% diamati pada pasien dengan


kejang epilepsi, baik kejang dan non-konvulsif, dibandingkan dengan kejadian
nonepilepsi. Gagap selama suatu peristiwa terjadi pada sekitar 9% pasien dengan
PNES tetapi tidak diamati pada kejang epilepsi dalam penelitian dari satu pusat.
Pernafasan dalam dan bising pascakelahiran setelah kejang epilepsi umum diamati
dalam penelitian observasional tetapi tidak mengikuti PNES dan dianjurkan
sebagai tanda pembeda yang bermanfaat.

Dengan munculnya kamera di ponsel, saksi acara dapat menawarkan


rekaman video. Analisis rekaman ini oleh pakar review telah ditemukan memiliki
nilai tambah untuk mendiagnosis kejang nonepilepsi.
F. Diagnosis

Sekali lagi, pengamatan adalah kunci, dan dokter harus menghindari terburu-buru
untuk intervensi atau perawatan yang tidak membantu.

Diagnosis yang benar diperlukan untuk keberhasilan perawatan.


Seringkali, pasien dengan mantra nonepileptik psikogenik telah salah didiagnosis
memiliki epilepsi dan telah diresepkan beberapa obat. Konsultasi dengan neurologi
mungkin bermanfaat. Penerimaan ke unit pemantauan dapat dilakukan jika
diagnosis tidak pasti. Pemantauan EEG video jangka panjang adalah tes diagnostik
yang paling penting. Baru-baru ini, video-EEG jangka pendek telah ditemukan
bermanfaat dalam diagnosis PNES.

Pengujian laboratorium adalah utilitas terbatas. Kadar prolaktin serum


telah lama tercatat meningkat tidak lama setelah kejang epilepsi umum tetapi tidak
setelah PNES. Tingkat prolaktin memuncak dengan cepat setelah kejadian, dan
meskipun dibahas secara luas dalam literatur, mereka memiliki nilai pragmatis
terbatas. Asidosis laktat biasanya mengikuti kejang umum. Namun, peningkatan
kadar laktat tidak spesifik untuk kejang asal epilepsi; peningkatan kadar laktat
terjadi pada sukarelawan yang mensimulasikan kejang umum. Peningkatan kadar
kreatin kinase setelah status kejang umum epileptikus diamati dibandingkan
dengan pasien dengan status epileptikus nonepileptik psikogenik dan mungkin
berguna dalam membedakan status psikogenik epileptikus dari status kejang
umum epilepticus.

G. Tatalaksana

Dalam kasus yang menantang, masuk ke unit pemantauan epilepsi atau


fasilitas serupa dengan pemantauan video-EEG gabungan mungkin diperlukan
untuk mengamankan diagnosis. Pengobatan terbaik tidak diketahui tetapi dapat
terdiri dari kombinasi obat jika ada depresi atau kecemasan dan terapi perilaku
kognitif. Diskusi yang jujur dan jelas tentang diagnosis pasien adalah yang
paling penting. Dalam kasus gangguan konversi, penting untuk mengakui bahwa
mantra itu nyata dan menyebabkan tekanan pada pasien, keluarga, dan teman.
Harus diartikulasikan bahwa episode tersebut bukan kejang. Pendekatan penuh
hormat dan kepastian bahwa terapi suportif kemungkinan besar akan mengurangi
atau
bahkan menghilangkan frekuensi mantra harus diuraikan. Jika diagnosis PNES
aman, obat anti-epilepsi harus ditarik.

H. Diagnosis Banding

Kejang nonepileptik psikogenik sebagian besar merupakan diagnosis


eksklusi. Setiap peristiwa paroksismal dapat mensimulasikan kejang atau PNES
seperti sinkop, aritmia, dan mantra lainnya. Gangguan gerakan atau gangguan tidur
mungkin dalam diagnosis diferensial. Setelah kejadian paroksismal lainnya
dikeluarkan, perbedaan antara kejang epilepsi dan PNES dapat tetap menjadi
tantangan. Diagnosis banding untuk PNES meliputi:

● Kejang Absen

● Kejang Parsial Kompleks

● Vertigo

● Sinkop

I. Prognosis
Prognosis pasien dengan PNES tidak jelas. Dengan identifikasi mantera
dan diagnosis PNES yang benar, pengobatan komorbiditas dan konseling psikiatris
dapat mengurangi frekuensi mantera. Psikoterapi yang diberi tahu terapi perilaku
kognitif tampaknya manjur. Penerimaan pasien terhadap diagnosis PNES
diperkirakan meningkatkan hasil.

J. Komplikasi

Meskipun kadang-kadang digunakan untuk "membangunkan" pasien


yang diduga pura-pura tidak responsif atau mantra nonepilepsi, rangsangan
berbahaya seperti kapsul amonia harus dihindari. Komunikasi antara profesional
perawatan kesehatan pengamatan sangat penting.

Penelitian baru-baru ini tentang rejimen obat pada epileptikus status


kejang umum benzodiazepine-refraktori menemukan bahwa 10% dari subyek yang
dimasukkan ke dalam penelitian pada tinjauan rinci ditemukan memiliki
PNES. Potensi komplikasi dari perawatan keliru status epilepticus secara umum
termasuk reaksi merugikan terhadap obat-obatan. Satu studi menemukan bahwa
dengan kesalahan diagnosis PNES sebagai status epileptikus kejang dosis besar
obat antiepilepsi diberikan sampai gangguan kesadaran atau kegagalan pernapasan
terjadi. Intubasi endotrakeal yang tidak diperlukan dengan komplikasi iatrogenik
telah dilaporkan.

Referensi :

Huff JS, Murr N. Psychogenic Nonepileptic Seizures (PNES) [Updated 2020


Mar 24]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441871/

6. bagaimana penatalaksanaan awal sesuai dengan scenario ?

Jawab :

Secara farmakologi

Gambar 1. Obat anti konvulsan


Gambar 2. OAE berdasarkan tipe kejangnya

Non farmakologis

Hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku efektif pada


beberapa kasus. Pendekatan psiko terapeutik mencakup psiko analisis dan
psiko terapi berorientasi tilikan. Pada terapi ini pasien menggali konflik intra
psikik dan simbolisme gejala gangguan konversi. Bentuk singkat dan langsung
psikoterapi jangka pendek juga digunakan untuk menatalaksana gangguan
konversi. Semakin lama durasi penyakit pasien dan semakin banyak mereka
mengalami regresi, semakin sulit terapinya

Referensi :
1. Medical Mini Note. (2018). Obstetric : Make It easy Only with Medical
Mini Notes.
2. Elvira, Sylvia D & Hadi sukanto, Gita yanti 2013.Buku Ajar Psikiatri
Edisi Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal 325
7. Perspektif islam berdasarkan scenario

‫ﱢﺮي ﻋ ًْﯿﻨﺎ‬ ‫َﻓ ُﻜﻠِﻲ َﺮﺑِﻲ‬


َ
‫وﻗ‬ ‫واﺷ‬
(QS. Maryam : 26)
Artinya:
Maka makan, minum dan bersenang hatilah

Dr. Ahmad 'Isa Al-Ma'sharawy


"hidupkanlah" hidupmu , jangan terbebani banyak pikiran karena allah
punya jalan terbaik untukmu”

ِ َ ‫ﻮ‬Zُ‫ ْﻢ َﯾ ْﺤ َﺰﻧ‬Zُ‫ﻮ َ و َﻻ ھ‬
‫ن‬ َ‫ن ﱠاﻟ ِﺬﯾ َﻦ َﻗﺎﻟُﻮا رﺑﱡﻨ‬
‫ْ ﻋ ﻠ ْﯿ‬ ‫ﷲُ ﺛ ﺳَﺘَﻘﺎ ُﻣﻮا‬
‫ف ِﮭ ْﻢ‬ ‫ﻓَ َﻼ‬ ‫ﱠﻢ ا‬ ‫ﺎ‬
‫ﺧ‬
(QS. Al-Ahqaf :13)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah",
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Dalam Islam kejujuran adalah hal yang sangat penting, ayat di atas menjelaskan
bahwa ketidakjujuran akan membawa konflik dalam diri seseorang, antara
pikiran dan perasaan. Kebohongan dan konflik dapat mempengaruhi kerja
hormon yang menyebabkan perubahan detak jantungm pernapasan, dan membuat
tubuh gemetar (Hasan-2008)

You might also like