You are on page 1of 14

EPISTEMOLOGI IRFANI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu: Dra. Hj. Ani Hafni Zahra FL. M.Pd.I

Disusun oleh:
Arif Hidayat

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia hidup didunia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja. Akan tetapi
manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka.
Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun
cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah
pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan
manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak jarang manusia
harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena
mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia
yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling
sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas,
sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan
merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja. Oleh sebab itu, perlu
diketahui apa saja yang menjadi dasar-dasar pengetahuan yang dapat digunakan manusia untuk
mengembangkan diri dalam mengikuti perkembangan informasi yang pesat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Epistemologi ?
2. Bagaimana ruang lingkup Epistimologi ?
3. Apa pengertian Al-Irfani?
4. Apa saja metode epistimologi irfani ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan dengan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penyunan makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Epistemologi.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup Epistemoligi.
3. Untuk mengetahui pengertian irfani.
4. Untuk mengetahui metode epistemologi Al-Irfani.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti
pengetahuan dan ‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan.
Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai
definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya,
merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya. Epistemologi sering juga disebut
teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna
pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis
pengetahuan, dan lain sebagainya.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada epistemologi adalah P.
Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya,
serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain
yang mencoba mendefinisikan epistemoogi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan
Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy
which investigates the origin, stukture, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita
sering menyebutnya dengan istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan
oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971-1994).

B. Ruang Lingkup Epistemologi


M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam,
tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa
epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran
itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai
dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok ;
masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.Mengingat epistemologi mencakup aspek yang
begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama
luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan
usaha untuk menentukan apa yang diketahui dibidang tertentu.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang
mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah
pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain
yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. M. Amin Abdullah menilai, bahwa
seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber
ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi
banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu,
aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya
kurang mendapat perhatian yang layak.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang,
terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya bidang
epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi,
tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan
tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu komponen-komponen
yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.

C. Pengertian Epistemologi Irfani


Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘raafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda
dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experimence), sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bias diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya ruhani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta
(love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syareat.
Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung atas realitas spritual keagamaan, berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris,
sasaran bidik irfani adalah bagian esoteris(batin) teks, karena itu rasio berperan sebagai alat
untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut. Menurut sejarahnya, epistimologi ini
telah ada baik di persia ataupun yunani jauh sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik
yahudi, kristen maupun islam. Sementara dalam tradisi (sufisme) islam, ia baru berkembang
sekuitar abad ke 3H/9M dan abad 4H/10M, seiring dengan berkembangnya doktrin ma”rifah
yang di yakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang tuhan. Istilah tersebut digunakan
untuk membedakan antara pengetahuan yanag di peroleh oleh indra (sense al-hisst) dan akal atau
keduanya dengan pengetahuan yang di peroleh melalui kasyf (ketersingkapan) Ilham, iyan atau
isyaraq.
Di kalangan mereka irfan di mengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman inditiuitif
akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang di ketahui, (ittihd al-arif wa al-ma”ruf) yang
telah di anggap sebagai pengetahuan tinggi, sedangkan para ahli- al-irfan mempermudahnya
menjadi pembicaraannya mengenai al-naql dan al- tauzif, dan upaya menyikap wacana qur’ani
dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak makna, jadi pendekatan irfani adalah suatu
pendekatan yang di pergunakan dalm kajian pemikiran islam oleh para mutasawwifun dan arfun
untuk mengeluarakan makna batin lafz dan ibarah, dia juga merupakan istimbad al- ma’rifah, al-
qalbiyah dari al-qur’an,diman pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalaman batin,qalb,wijban,basirah dan intuisi.

Dari pengertian epistemologi irfani diatas maka makalah ini akan menjelaskan pula tentang
sumber dan perkembangannya, antara lain:
1. Sumber Al-irfani
Ada beebrapa pendapat para ahli mengenai sumber irfani, berikut diantaranya :
a. Irfan islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan
Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang majusi di Iran utara tetap memeluk agama
mereka setelah penaklukan islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Dan
pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma’ruf Al-Kharki (w. 815
M) dan Bayazid Busthami (w.877 M).
b. Irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer,
Ignaz,Goldziher,Nicholson,Asin Palacios dan O’lery. Alasanya,(1) Adanya interaksi antara
orang-orang arab dan kaum nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman islam. (2) Adanya segi-
segi kesamaan antara kehidupan para Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah)
dan mengasing diri (khalwat).
c. irfan ditimba dari India, seperti pendapat horten dan hortman. Alasanya, (1) kemunculan
dan penyebaran irfan (tasawuf)pertama kali adalah khurasan. (2) kebanyakan dari para sufi
angkatan pertama bukan dari kalangan arab, seperti ibrahim ibn adham (w.782 M), al-balkh
(w.810 M) dan yahya ibn muadz (w.871 M). (3) sebelum masa islam, Turkistan adalah pusat
agama dan kebudayaan timur serta barat. Mereka memberi warna mistissismelama ketika
memeluk islam. (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih
adalah praktek-praktek dari India.
d. irfan beraal dari sumber-sumber yunani,khususnya neo-platonisme dan hermes, seperti
disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya, “theology aristoteles” merupakan paduan antara
system porphyry dan proclus telah dikenal baik dalam filsafat islam. Namun ,menurut Dzun Al-
Nun al-Misri (796-861 M),irfan diadopsi dari ajaran hermes, sedang pengambilan dari teks-teks
Al-Qu’ran sebagai contoh, istilah maqamat yang secara Lafdz dan maknawi diambil dari Al-
Qur’an (QS. Al-Fushilat 164).
Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber islam sendiri, tetapi dalam
perkembangannya kemudian di pengaruhi oleh factor luar, yaitu yuinani, Kristen, hindu atau
yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson,Louis Mssignon,Spencer Trimingham
juga menyatakan hal yang sama tentang sumber-sumber asal irfan atau sufisme islam.

2. Perkembangan Epistimologi Irfani


Perkembangan epistimologi irfani secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
a. Fase Pembibitan
terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini disebut irfan baru dalam bentuk laku zuhud
(askestisme). Karakter askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-quran dan sunnah,
yakni menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat
praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. (3)
motifasi zuhudnya adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh-sungguh.
b. Fase Kelahiran
Terjadi pada abad kedua hijriyah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufisme mulai berbicara
terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis, diawali ri’ayat huquq Allah
karya hasan basri (642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfani. Laku
askestisme juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam
periode ini, ditangan Robiah Adawiyah (w.801 M), Zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada
tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Menurut Nicholson, zuhud ini adalah
model prilaku irfan yang paling dini atau irfan periode awal.
c. Fase Pertumbuhan
Terjadi abad 3-4 hijruyah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufisme mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme
menjadi ilmu moral keagamaan (akhlaq). Pembahasan masalah ini lebih lanjut mendorong
mereka untuk membahas soal pengetahuan intutif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat
Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya. Dengan
demikian dengan fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya.
Pengenalan intuitif langsung pada tuhan, kefanaan dalam realitas mutlak. Pencapaian
kebahagiaan, kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat
metafisis. Ide-ide metafisis yang belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholson
menyatakan dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah merancang suatu system yang
sempurna tentang irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit menaruh perhatian
terhadap problem-problem metafisika.
d. Fase Puncak
Terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa periode ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak
pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan, antara lain sai abu khair (w.1048 M) yang
menulis ruba’iyat, ibn utsman al- hujwiri (w.1077 M) menulis kasyf al-mahjub, dan Abdullah al-
anshori (w.1088 M) menulis manazil al sa’irin, salah satu terpenting dalam irfan. Puncaknya al
ghazali (w. 1111 M) menulis ihya’ ulum al-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan
bayani). Menurut Nicholson dan TJ. De Boer, ditangan al-ghazali, irfan menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaandalam tauhid dan kebahagiaa.
e. Fase Spesikasi
Terjadi abad ke-6 dan 7 H. Berkat pengaruh pribadi Al-Gazali yang besar, lrfani memjadi
semakin dukenal dan berkembangan dalam masyarakat islam. Dengan demikian, pada fase ini,
secara epistemologis, irfani telah terpecah (terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan Sunni,
menurut istilah taftazani, yang cenderung pada perilaku praktis(etika)dalam bentuk tarikat-
tarikat,(2) Irfan Teoritis yang didomlnasi pemikiran filsafat. Disampingitu, dalam pandangan
jabirin, ditambah aliran kebatinan yang didomlnasi aspek mistik. Meski demikian, menurut
Mathahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris berbeda dengan filsafat.
f. Fase Kemunduran
Terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan berarti,
bahkan justru mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian
komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lelih menekan bentuk ritus dan formalisme,
yang mendoring mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.

D. Metode Epistemologi Irfani

Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan
akan melimpah pengatahuan langsung kepadanya. Secara metodologis, pengetahuan ruhani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan baik
secara lisan atau tulisan.

Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang
yang biasan disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah yang harus dilalui. Namun,
setidaknya ada tujuh tahapan yang dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan paliang
dasar menuju pada tingkatan puncak.

1. Taubat meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai penyesalan yang
mendalam untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji.
Perilaku taubat ini sendiri terdiri atas beberapa tingkatan pertama, taubat dari perbuatan dosa dan
makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan), dan puncaknya taubat
dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat.

2. Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya(subhat). Dalam
tasawuf, wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, yaitu lahir dan batin. Wara’ lahir berarti tidak
melakukan sesuatu kecuali untuk beribadah kepada Tuhan, sedang wara’ batin adalah tidak
memasukkan sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan.

3. Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Namun demikian, zuhud
bukan berarti meninggalkan harta sama sekali. Menurut Al-Syibli seseorang tidak dianggap
zuhud jika hal itu terjadi lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa hati
tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kecuali Tuhan (meski disana ada banyak kekayaan).

4. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa akan
datang, dan tidak menghentikan sesuatu apapun kecuali Tuhan SWT, sehingga ia tidak terikat
dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatu apapun. Tingkat faqir merupakan realisasi
dari upaya pensucian hati secara keseluruhan dari segala yang selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi al-
kulliyah ‘anma siwa Allah).

5. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.Ini tahapan lebih lanjut
setelah seseorang mencapai tingkat faqir.

6. Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal
adalah menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat dihadapan orang yang memandikan.

7. Ridla, hilangnya rasa ketidak senagan dalam hati sehingga yang tersisa hanya genbira dan
sukagita. Ini adalah puncak daritawakkal.

Tahap kedua, tahap penerimaan. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada tahap seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui.
Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal,
keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek
yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya
(ittihad). Dalam persepektif epistemologis, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui
representasi atau data-data indera apapun,bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi
dalam pembentukan gagasan umum pengetahuan ini.

Tahap ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian
pengetahuan irfani, dimana pengetahuan mistik diinterpresentasikan dan diungkapkan kepada
orang lain lewat ucapan atau tulisan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti
pengetahuan dan ‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa
Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan.
Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai
definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya,
merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya.
2. Ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor
Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran
pengetahuan. Epistemologi juga mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari
mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya.
3. Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘raafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda
dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experimence), sedang ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bias diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya ruhani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta
(love). Sasaran bidik irfani adalah aspek esoteric syareat.
4. Pengetahuan irfani diperoleh dengan oleh ruhani, dimana dengan kesucian hati, Tuhan
akan melimpah pengatahuan langsung kepadanya. Secara metodologis, pengetahuan ruhani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,(1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan baik
secara lisan atau tulisan.
B. Saran
Manusia dalam berbuat tentunya terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap dari yang telah
ditetapkan atau seharusnya. Apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini. Untuk itu, penulis
harapkan dari pembaca, mohon kritik dan sarannya guna perbaikkanpenyusunan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro,2012. Filsafat umum. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.


Ahmad,Aafsir, 2009. filsafatumum akal dan hati sejak thales sampai capra. Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Hakim, M.A. dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M.Si. 2008. Filsafat Umum dari Metologi Sampai
Teofilosofi. Pustaka Setia: Bandung.
Latif, Mukhtar. 2014. Filsafat Ilmu. Kharisma Putra Utama: Jakarta.
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Ilmu. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Wahib Syukrony at 07:57

You might also like