You are on page 1of 18

MAKALAH

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35


TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN PENJATUHAN PIDANA DI
BAWAH BATAS MINIMUM KHUSUS PADA KASUS TINDAK PIDANA
NARKOTIKA

DISUSUN OLEH :

NAMA : SEBASTIAN PURUHITA HANDOKO, S.H.


NIM : 2022025015090

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS CENDRAWASIH
2022
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tindak pidana narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa
mengingat bahaya maupun dampak dari narkotika dan tingginya jumlah
kejahatan narkotika menyebabkan pemerintah membuat dan mengeluarkan
aturan mengenai narkotika dengan tujuan bahwa kejahatan ini dapat diberantas
dengan pemberlakuan sanksi pidana yang cukup berat kepada para pelaku
maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, sehingga
narkotika diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika adalah obatan-
obatan yang dapat menimbulkan ketidaksadaran karena zat-zat yang
terkandung di dalamnya mempengaruhi susunan syaraf pusat. Jenis candu dan
turunan-turunan candu (morfin, codein, heroin) serta candu sintetis (meperidine
dan methadone) termasuk dalam definisi narkotika. Narkotika merupakan salah
satu tindak pidana yang serius dan perlu mendapat perhatian khusus dari para
penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat. Pada umumnya, tindak
pidana narkotika tidak dilakukan oleh perorangan melainkan dilakukan oleh
sindikat rahasia yang terorganisasi dan berpengalaman menjalankan pekerjaan
dalam kejahatan narkotika. Kejahatan ini sudah termasuk dalam kejahatan
transnasional yang memanfaatkan kecanggihan teknologi dan kemudahan
transportasi dalam melancarkan pekerjaannya sehingga dapat dilakukan
dimanapun dan kapanpun.

Pengertian narkotika menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009


adalah: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang ini. Peraturan narkotika tentu memiliki tujuan yang mendasari eksistensi
UU No. 35 Tahun 2009. Hal itu telah diatur di dalam Pasal 4 UU No. 35 Tahun
2009 sebagai berikut:

a) Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan


dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b) Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c) Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d) Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah
Guna dan pecandu Narkotika.

Tujuan UU No. 35 Tahun 2009 menunjukkan bahwa narkotika tidak boleh


digunakan di luar kepentingan tersebut dan hanya dapat digunakan oleh dokter
atau pakar kesehatan yang telah resmi dengan dosis yang tepat. Hal tersebut
juga diperjelas dengan Pasal 7 UU No. 35 bahwa, “Narkotika hanya dapat
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi”. Permasalahan yang banyak terjadi adalah
penyalahguna atau pecandu narkotika menggunakannya di luar kepentingan
atau kebutuhan medis, bahkan terkadang melebihi dosis yang dapat diterima
oleh tubuh sehingga menyebabkan overdosis. Penyalahgunaan narkotika dapat
menyebabkan rusaknya ketahanan masyarakat, bangsa, dan negara. Pihak-
pihak yang menyalahgunakan narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 terdiri
dari pecandu narkotika yang diatur dalam Pasal 1 angka 13 dan penyalah guna
yang diatur dalam Pasal 1 angka 15. Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Penyalah Guna
adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Seseorang yang telah menjadi penyalahguna maupun pecandu narkotika


dapat mengikuti rehabilitasi medis dan atau juga dapat dipidana sesuai dengan
ketentuan yang diatur di dalam UU No. 35 Tahun 2009. Penjatuhan hukuman
yang diberikan terhadap penyalahguna narkotika berbeda-beda sesuai dengan
dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta hukum yang terungkap dalam
persidangan selama tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan
yang digunakan. Hakim mempunyai pertimbangan yang menjadi alasan
penjatuhan putusan yang diberikan dan berapa lama pidana penjara yang akan
dijatuhkan kepada terdakwa. Kebebasan yang dimiliki hakim itu tidak mutlak,
oleh karena itu ada ketentuan minimum maupun maksimum pidana terhadap
hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa sesuai ketentuan dalam
undang-undang. Kebebasan yang tidak mutlak merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk mencegah kesewenang-wenangan dan penting dalam
menjamin kepastian hukum.

Ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan dasar yang harus


digunakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara dalam persidangan karena
berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disingkat KUHP) menentukan bahwa, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentutan perundang-undangan pidana yang
telah ada”. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana yang dilarang dan
telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan dijatuhi pidana sesuai
undang-undang yang mengaturnya. Ketentuan minimum pidana khusus yang
telah diatur dalam undang-undang merupakan batas minimal hakim dalam
menjatuhkan putusan sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman
kepada terdakwa di bawah ketentuan minimum tersebut. Begitu pula sebaliknya,
hakim juga tidak dapat menjatuhkan putusan melebihi ketentuan maksimum
yang telah diatur dalam undang-undang. Pengaturan mengenai ketentuan
minimum bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana,
sedangkan ketentuan maksimum bertujuan untuk menghindari dan mencegah
tindakan hakim yang sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan. Ketentuan
minimum maupun maksimum pidana khusus dapat mewujudkan tujuan hukum
yaitu memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.
Tujuan hukum tidak dapat tercapai apabila ketentuan peraturan perundang-
undangan disimpangi karena pada dasarnya suatu peraturan perundang-
undangan merupakan prinsip dari negara hukum dan bertujuan untuk memberi
perlindungan hukum bagi masyarakat.

Selanjutnya, untuk menguatkan analisis kajian ini, penulis menyertakan


kasus berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai
sumber dan sarana informasi terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika atau berkaitan dengan penjatuhan pidana oleh
hakim.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi kajian dalam
penulisan makalah ini sebagai berikut :
1) Bagaimana kajian dan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika?
2) Apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara dibawah ancaman
minimum khusus terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika bertentangan
dengan tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

B. PEMBAHASAN
1. Kajian dan Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Nakotika
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto yang menyatakan
bisa dinilai efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 faktor yaitu:
a) Faktor hukumnya (Undang-undang);
b) Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat maupun yang
menerapkan;
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d) Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diberlakukan;
e) Faktor Budaya, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
 Lawrence M. Friedman juga mengemukakan bahwa efektif dan berhasil
tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni substansi
hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum
(legal culture). Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan penegakan
hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling
bersinergi untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian, keadilan,
dan kemanfaatan.
a. Substansi Hukum
Substansi hukum (legal substance) merupakan keseluruhan asas hukum,
norma hukum dan aturan hukum, termasuk putusan pengadilan dalam hal
substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundang-undangan pidana
materil adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan induk
perundang-undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP bahwa, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentutan perundang-undangan pidana yang telah ada”,
asas legalitas ini sangat mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Sehingga
bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan
tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-
undangan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nakotika ditinjau dari
aspek substansi hukum terdapat ketidakjelasan definisi terkait Subjek Hukum
dalam UU Narkotika (Pecandu, Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan
Narkotika).
Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15, dan Penjelasan Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam pelaksanaannya
berpotensi menimbulkan multitafsir karena adanya pemaknaan yang ambigu
oleh Aparat Penegak Hukum sebagai akibat dari tidak adanya batasan yang
jelas kapan seseorang dikategorikan sebagai Pecandu, Penyalah Guna, dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika dan pengenaan tindakan hukum yang
kurang tepat terhadap Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika.

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :


“Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.”
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.”
Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang
yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.”
Perlu adanya perumusan ulang mengenai definisi Pecandu, Penyalahguna, dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15,
dan Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika secara jelas dengan Menambahkan
frasa "zat psikoaktif baru" dalam definisi penyalahguna dan korban
penyalahgunaan narkotika.
Selanjutnya, frasa “Penyidik BNN” dalam Pasal 75 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berpotensi menimbulkan multitafsir,
karena kewenangan penyidikan dalam pelaksanaannya tidak hanya dilakukan
oleh Penyidik BNN, melainkan juga dilakukan oleh Penyidik Polri dan PPNS di
lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang
memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika dan juga berpotensi menimbulkan adanya batasan kewenangan
penyidikan. Kata “BNN” dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika perlu dihapus. Sehingga kewenangan penyidikan dapat
dilakukan tidak hanya oleh Penyidik BNN tapi juga oleh Penyidik Polri dan PPNS
di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika.
Selain itu, ketidakjelasan frasa “Memiliki, Menyimpan, Menguasai” dalam
Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan ketidakjelasan kategori penyalahguna yang dapat direhabilitasi
dalam Pasal 127 UU Narkotika. Ketentuan Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika frasa “memiliki, menyimpan,
menguasai” berpotensi menimbulkan multitafsir. Sebab, terdapat ketidakjelasan
dalam rumusan mengenai batasan kapan seseorang dianggap sebagai
Penyalah Guna dan kapan dianggap sebagai seseorang yang memiliki dan/atau
menguasai narkotika. Ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika belum ada kategori atau penjelasan lebih lanjut
mengenai kategori Penyalah Guna yang dapat di rehabilitasi sehingga tidak ada
persepsi yang sama bagi Aparat Penegak Hukum dalam mengimplementasikan
Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sehingga
Perlu adanya perumusan ulang mengenai Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan perlunya memperjelas
kriteria Penyalah Guna yang dapat direhabilitasi dalam Pasal 127 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berikutnya, belum adanya pengaturan mengenai Asesmen Terpadu
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dasar hukum
pelaksanaan Tim Asesmen Terpadu hanya berpedoman pada peraturan
bersama sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tidak ada ketentuan yang mengatur Asesmen Terpadu. Oleh karena
itu, pelaksanaan mekanisme Tim Asesmen Terpadu saat ini belum mengikat dan
masih menimbulkan subjektifitas bagi APH.
Selain itu, terdapat perbedaan pengaturan jangka waktu penangkapan.
Jangka waktu penangkapan pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik dan jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang lagi selama 3 x 24 jam. Sedangkan jangka waktu
penangkapan pada Pasal 19 ayat (1) KUHAP dilakukan maksimal satu hari
untuk semua tindak pidana. Pada tataran implementasi Pihak Kepolisian
menggunakan dasar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika untuk jangka waktu penangkapan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
namun dalam pelaksanaannya seringkali dapat dijadikan dasar praperadilan
karena Penyidik Polri melakukan penangkapan diluar pengaturan KUHAP. Pasal
76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berbunyi,
“Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak surat penangkapan diterima penyidik”, pada frasa “sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 huruf g” perlu diubah menjadi “oleh Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Penyidik BNN”.
Selanjutnya, disharmoni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adanya frasa
“setiap orang” dalam ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika berpotensi disharmoni dengan mekanisme diversi seperti
yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dikarenakan
dengan adanya frasa “setiap orang” maka dapat menempatkan anak sebagai
pelaku bukan sebagai korban, sehingga anak akan menjalani persidangan
secara formal bukan melalui sistem peradilan pidana anak. Sehingga perlu
menambahkan pasal tersendiri terkait ketentuan pidana untuk anak dengan
materi muatan menempatkan kedudukan anak sebagai Korban Penyalahgunaan
Narkotika.
b. Struktur Hukum atau kelembagaan
Struktur hukum (legal structure) merupakan kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk
melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Struktur hukum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meliputi
mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang
menyatakan “fiat justitia et pereat mundus”, meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat
penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nakotika ditinjau dari


aspek struktur hukum, pemenuhan asas dan tujuan dalam Pasal 3 dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum optimal.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :


“a. keadilan; b. pengayoman; c. kemanusiaan; d. ketertiban; e. perlindungan;
f. keamanan; g. nilai-nilai ilmiah; dan h. kepastian hukum.”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah
Guna dan pecandu Narkotika.”
Belum optimalnya dikarenakan masih tingginya jumlah kasus Narkotika dan
jumlah tersangka tindak pidana Narkotika, mayoritas narapidana di Lembaga
pemasyarakatan merupakan pelaku tindak pidana Narkotika, kebingungan APH
dalam menentukan klasifikasi seseorang menjadi Pecandu Narkotika atau
Penyalah Guna Narkotika atau justru pengedar Narkotika lantaran pasal-pasal
yang tumpang tindih dan/atau multitafsir dan kenaikan prevalensi
penyalahgunaan Narkotika. Hal ini perlu konsistensi kolaborasi antara para
pemangku kepentingan dalam penanganannya dan kesamaan persepsi dalam
penanganan permasalahan narkotika sehingga dapat membentuk sistem yang
kuat untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika di Indonesia.
Selanjutnya, Pelaksanaan rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa permasalahan yakni Pertama,
penentuan rehabilitasi oleh APH selama ini telah dilakukan dengan berpedoman
pada Peraturan Kepala BNN Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Jo SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika
ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, namun dalam
praktiknya masih ditemukan kendala yakni tidak lengkapnya persyaratan
sebagaimana ditentukan SEMA 4/2010 Jo SEMA Nomor 3 Tahun 2011. Kedua,
pelaksanaan rehabilitasi, bahwa belum terdapat kesinambungan antara APH
dengan Tim Asesmen Terpadu dan Hakim dalam pengupayaan rehabilitasi bagi
Pecandu dan/atau Penyalah Guna Narkotika. Maka Diperlukan adanya
kesinambungan antara Penyidik, Tim Asesmen Terpadu, dan Hakim dalam
pelaksanaan rehabilitasi agar hasil penyidikan Penyidik terhadap tersangka
dan/atau terdakwa Pecandu atau Penyalah Guna Narkotika dapat dimanfaatkan
oleh Tim Asesmen Terpadu untuk melakukan asesmen terpadu dan
rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu dapat menjadi acuan bagi Hakim untuk
memutuskan atau menetapkan rehabilitasi tanpa dimaksudkan mengintervensi
kemerdekaan hakim. Selain itu, menambahkan pengaturan mengenai gramasi
untuk penggunaan sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Sehingga untuk pengguna di bawah gramasi wajib dilakukan
asesmen oleh penyidik.

Selain itu, terdapat permasalahan dalam pelaksanaan asesmen terpadu


yakni kurang optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan peran Tim
Asesmen Terpadu dalam menganalisis tingkat kecanduan pengguna narkotika
belum maksimal, dan tidak semua daerah memiliki Tim Asesmen Terpadu dan
pelaksanaan asesmen terpadu narkotika hanya dapat dilakukan apabila
dimintakan oleh Penyidik. Hal ini perlu penguatan Tim Asesmen Terpadu
dengan cara dibentuknya setiap Tim Asesmen Terpadu di BNNP/BNNK dan
diperlukan peningkatan kompetensi SDM Tim Asesmen Terpadu. Selain itu,
menambahkan pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam pengaturan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekaligus melakukan
sosialisasi secara masif kepada APH dan masyarakat tentang pentingnya
asesmen terpadu.

c. Budaya Hukum
 Budaya hukum (legal culture) erat kaitannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta
budaya hukum yang baik dan dapat merubah polapikir masyarakat mengenai
hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakatterhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Untuk itu
diperlukan upaya untuk membentuk suatu karakter masyarakat yang baik agar
dapat melaksanakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai yang terkandung didalam
suatu peraturan perundang-undangan (norma hukum). Meskipun sudah ada
asas fictie hukum, namun pencerdasan hukum di masyarakat penting untuk
dilakukan. Terkait dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain
diluar norma hukum menjadi salah satu alternatif untuk menunjang
imeplementasinya norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nakotika ditinjau dari


aspek budaya hukum, peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika belum optimal. Peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 104
sampai dengan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Nakotika.

Pasal 104 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :


“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta
membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”
Pasal 105 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.”
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
diwujudkan dalam bentuk: a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; b.
memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau
BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN; e. memperoleh perlindungan hukum pada
saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses
peradilan.”
Pasal 107 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika
mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.”
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :
“(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal
105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh
BNN. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.”
Di beberapa daerah, peran serta masyarakat ada yang telah ikut berpartisipasi
dalam hal membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, akan tetapi di beberapa
daerah lainnya masih ditemukan beberapa permasalahan yaitu masyarakat
masih takut untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana narkotika dan
kurangnya kepercayaan pada penegak hukum serta masih banyaknya
masyarakat yang tidak mengetahui cara atau mekanisme dalam mengakses
pemenuhan haknya. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi yang lebih masif
dari pemerintah terkait peran masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika, perlunya perlindungan hukum kepada masyarakat yang hendak
melapor adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, perlunya
konsistensi pemerintah dalam menerapkan Pasal 109 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi, “Pemerintah memberikan
penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam
upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
Selain itu, dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika khususnya pada pelaksanaan upaya pencegahan dan
pemberantasan peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika, APH masih mengedepankan pendekatan pemidanaan jika
dibandingkan dengan pendekatan kesehatan. Selain itu, dalam pelaksanaan
asesmen terpadu, pemahaman APH mengenai pentingnya asesmen terpadu
bagi Pecandu Narkotika masih sangat kurang. Sehingga diperlukan adanya
pemahaman yang sama dari APH dengan mengedepankan pendekatan
kesehatan dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan dan perlu
penggunaan pendekatan restorative justice dalam menangani tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.

2. Putusan Hakim Yang Menjatuhkan Pidana Penjara dibawah Ancaman


Minimum Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Bertentangan dengan Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Berkaitan dengan kasus berdasarkan putusan nomor
33/Pid.Sus/2015/PN.Mgg yang telah berkekuatan hukum tetap. Kasus tersebut
berawal dari seorang terdakwa “WI” yang ditangkap oleh petugas kepolisian
yang menemukan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus rokok yang di dalamnya
berisi 1 (satu) bungkus kecil narkotika golongan I bukan tanaman yang disebut
shabu-shabu seberat kurang lebih 0,50 gram termasuk plastik pembungkusnya.
Terdakwa akan mengonsumsi shabu-shabu tersebut bersama dengan teman-
teman yang sedang menunggu di suatu tempat. Jaksa penuntut umum menuntut
terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menuntut terdakwa dipidana
penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama berada dalam tahanan serta
denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsider 6 (enam)
bulan penjara. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
denda sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan
penjara. Pidana penjara yang dijatuhkan hakim selama 1 (satu) tahun tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang menetapkan bahwa “Setiap orang yang
tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah). Apabila dikaitkan
dengan pertimbangan hakim memutus dibawah standar minimum khusus
dengan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam sidang
pembuktian yang mendasarkan dari keterangan saksi dan keterangan terdakwa
serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, terdakwa
terbukti memenuhi unsur-unsur di dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sedangkan hakim menilai terdakwa
melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Seharusnya hakim dalam putusannya tidak menerapkan Pasal 112
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan
menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus yang ada di dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika walaupun ini tidak melanggar
hukum acara pidana itu sendiri, tetapi menciptakan ketidakpastian hukum dan
melanggar asas legalitas khususnya nulla poena sine lege yang artinya tidak
ada pidana tanpa ketentuan undang-undang, bahwa hal ini tidak hanya
mensyaratkan bahwa ketentuan pidana harus tercantum dalam undang-undang,
namun juga mensyaratkan penjatuhan pidana harus berdasarkan ketentuan
undang-undang. Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang di dalamnya menerapkan pidana maksimum dan minimum
khusus ini sebenarnya bertujuan untuk mencegah tindakan hakim yang
sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan pemidanaan agar tidak melebihi
dan kurang dari batas yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hal itu
berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi dan kurang dari
ketentuan pidana maksimum dan minimum khusus yang telah diatur dalam
undang-undang karena untuk mengurangi disparitas pidana dalam menjamin
kepastian hukum dan secara khusus untuk memberikan efek jera bagi pelaku
tindak pidana narkotika.

Tidak tepat hakim dalam putusan nomor 33/Pid.Sus/2015/PN.Mgg dalam


menjatuhkan hukuman pidana penjara dibawah standar minimum khusus yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Hakim telah mengakui bahwa unsur-unsur dari dakwaan yang didakwa oleh
penuntut umum dalam kasus ini telah terpenuhi sehingga seharusnya hakim
menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakim seharusnya
tidak hanya berdasarkan asas keadilan saja, karena tujuan dibentuknya suatu
perundang-undangan didalamnya juga terdapat kepastian dan kemanfaatan.
Hakim dalam penegakan hukum harus memperhatikan kepastian dan
kemanfaatan sebab antara tiga tujuan hukum ini tidak boleh bertentangan satu
sama lain, seharusnya hakim dalam putusan memperhatikan kepastian hukum
karena di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
diatur sanksi pidana minimum khusus untuk menegakan hukum dan
memberikan efek jera terhadap pelaku. Apabila hakim menjatuhkan pidana
penjara dibawah minimum khusus yang telah diatur Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, hakim menyimpangi tujuan perbentukan
perundang-undangan khususnya dalam hal kepastian hukum, karena di dalam
kepastian hukum terdapat asas legalitas. Asas Legalitas telah dengan tegas
menyatakan bahwa setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-
undang dan Indonesia menganut civil law dengan salah satu karakteristik utama
ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi)
sebagai sumber hukumnya. Hal tersebut sebagai realisasi asas the binding
persuasive of precedent. Selain itu, konteks sanksi minimum yang terdapat
dalam rumusan pasal terhadap tindak pidana narkotika secara terang dan jelas
terdapat pernyataan sanksi pidana yang memuat ketentuan maksimal dan
minimal, sehingga tidak memerlukan penafsiran lanjutan.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Berdasarkan aspek substansi hukum, aspek struktur hukum/
kelembagaan, budaya hukum masih terdapat permasalahan materi
muatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika baik di tingkat pusat maupun di
daerah. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
belum cukup memadai dan efektif digunakan sebagai dasar hukum
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika pada saat ini dan yang akan datang.
b. Hakim dalam menjatuhkan pidana dibawah minimum terhadap pelaku
tindak pidana narkotika bertentangan dengan tujuan dari Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tujuan
dibentuknya undang-undang yaitu untuk mencegah tindakan hakim yang
sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan pemidanaan agar tidak
melebihi dan kurang dari batas yang telah ditentukan dalam undang-
undang dan mengurangi disparitas pidana dalam menjamin kepastian
hukum serta secara khusus untuk memberikan efek jera bagi pelaku
tindak pidana narkotika.
.

2. Saran
a. Perlu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Hakim seharusnya dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa harus
tetap saksama pada ketentuan jenis pidana (strafsoort), ancaman
pidana strafmaat) dan memperhatikan pedoman pemidanaan
(strafmodus) yang telah ditentukan dalam undang-undang, dan
seharusnya hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa
memberikan kepastian hukum terhadap undang-undang yang
diberlakukan, agar undang-undang tersebut ditaati masyarakat dan
memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan narkotika dengan
demikian dapat mewujudkan tujuan dari undang-undang Narkotika
tersebut serta seyogyanya penuntut umum mengajukan banding karena
putusan hakim di bawah ketentuan minimum pidana khusus tidak sesuai
dengan tuntutannya, khususnya bertentangan dengan dakwaan Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Daftar Pustaka

Literatur

Atmadja, I Dewa Gede dan I Nyoman Putu Budiartha. 2018. Teori-Teori Hukum. Malang:
Setara Press.

Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta.

Hiariej, Eddy O.S. 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana.
Jakarta: Erlangga.

Lamintang, P. A. F. dan C. Djisman Samosir. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Bandung:


Sinar Baru.

Friedman, Lawrence M. 2011. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Bandung: Nusa Media.

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Pengadilan Negeri Magelang Nomor 33/Pid.Sus/2015/PN.Mgg
JURNAL
Siregar, Nur Fitryani. 2018. Efektivitas Hukum. Dalam e-journal Sekolah Tinggi Agama Islam
Barumun Raya.

INTERNET
Tampubolan, Boris. Dasar Hukum Hakim Memutus Di Bawah Ancaman Pidana
Minimum Dalam Perkara Narkotika. 2016.
https://konsultanhukum.web.id/dasar-hukum-hakim-memutus-di-bawah-
ancaman-pidana-minimum-dalam-perkara-narkotika/

Marhaeanjati, Bayu. Kelebihan Kapasitas Lapas, BNN: Pengguna Narkoba Direhabilitasi.


2021. https://www.beritasatu.com/news/825327/kelebihan-kapasitas-lapas-bnn-
pengguna-narkoba-direhabilitasi

You might also like