You are on page 1of 21

IMPLEMENTASI AKAD ISTISHNA’ PADA

KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) SYARIAH

MAKALAH

Oleh

M. Daud Rhosyidy
NUP. 20070913

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


LEMBAGA PENJAMINAN MUTU
JUNI 2020
IMPLEMENTASI AKAD ISTISHNA’ PADA
KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH (KPR) SYARIAH

MAKALAH

Diajukan kepada Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Jember untuk dipresentasikan


dalam Seminar Diskusi Periodik Dosen

Oleh

M. Daud Rhosyidy
NUP. 20070913

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


LEMBAGA PENJAMINAN MUTU
JUNI 202

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang … ……………………………………................... 1
B. Masalah dan Topik Pembahasan…………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………… 2
BAB II TEKS UTAMA
A. KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) Syariah………………………. 3

B. Akad Istishna’…………………………………………………….. 5

C. Landasan Hukum dan Operasional Istishna’………………………… 5

D. Rukun dan Syarat-Syarat Istishna’……………………………………. 8

E. Implimentasi Akad Istishna’ pada Kredit Kepemilikan Rumah 15


(KPR) Syariah...……………………………………………………
F. Mekanisme Akad Istishna’ pada Kredit Kepemilikan Rumah
(KPR) Syariah ..……………………………………………………
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………... ………………………………….. 18
B. Saran …………. ………………………………………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA 19

iii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembiayaan adalah produk yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan baik
perbankan maupun non bank, konvensional maupun syariah. Pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil (Muhammad, 2014:
314).
Istilah pembiayaan pada intinya berarti I Believe, I Trust, “saya percaya” atau
“saya menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan
(trust), berarti Lembaga Keuangan Syariah selaku shahibul maal menaruh
kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana
tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan
syarat-syarat yang jelas, dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (Rifai
& Veithzal, 2008: 19).
Implementasi akad jual beli merupakan salah satu cara yang ditempuh bank
syariah dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Akad bank yang yang
didasarkan pada akad jual beli adalah Murabahah, Salam, dan Istishna.
(Zulkifli, 2003: 41) al-Istishna’ adalah salah satu pengembangan dari prinsip
bai’ as-salam, dimana waktu penyerahan barang dilakukan di kemudian hari
sementara pembayaran dapat dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Dengan
demikian, ketentuan al-Istishna’ mengikuti ketentuan aturan akad as-Salam.
Biasanya istishna’ dipergunakan dibidang manufaktur dan kontruksi. Akad seperti
inilah yang digunakan pada transaksi KPR syariah.

1
2

B. Masalah dan Topik Pembahasan


Tulisan ini berupaya untuk mengetahui sejauh mana akademisi telah
memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam pembahasan:
1. Bagaimana implementasi akad istishna’ pada Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) Syariah
2. Bagaimana mekanisme pembayaran angsuran pada Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) Syariah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan bagaimana implementasi akad istishna’ pada
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Syariah
2. Untuk mendiskripsikan bagaimana mekanisme pembayaran angsuran
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
3

TEKS UTAMA

A. KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) Syariah


Pada prinsipnya, Bank Syari’ah adalah sama dengan perbankan
konvensional, yaitu sebagai instrumen intermediasi yang menerima dana dari
orang-orang yang surplus dana (dalam bentuk penghimpunan dana) dan
menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan (dalam bentuk produk
penyaluran dana). Sehingga produk-produk yang disediakan oleh Bank-bank
konvensional, baik itu produk penghimpunan dana (funding) maupun produk
pembiayaan (financing), pada dasarnya dapat pula disediakan oleh Bank-bank
Syari’ah.
Produk pembiayaan KPR yang digunakan dalam perbankan syari’ah
memiliki berbagai macam perbedaan dengan KPR di perbankan konvensional. Hal
ini merupakan implikasi dari perbedaan prinsipal yang diterapakan perbankan
syari’ah dan perbankan konvensional, yaitu konsep bagi hasil dan kerugian (profit
and loss sharing) sebagai pengganti sistem bunga perbankan konvensional. Dalam
produk pembiayaan kepemilikan rumah ini, terdapat beberapa perbedaan antara
perbankan syari’ah dan perbankan konvensional, diantaranya adalah;
pemberlakuan sistem kredit dan sistem markup, kebolehan dan ketidak bolehan
tawar menawar (bargaining position) antara nasabah dengan Bank, prosedur
pembiayaan dan lain sebagainya (Haris, 2007: 115).
KPR merupakan salah satu produk perbankan yang disediakan bagi debitur
untuk pembiayaan perumahan. Perumahan disini bukan dalam arti rumah tempat
tinggal pada umumnya, tetapi meliputi ruang untuk membuka usaha seperti rumah
toko (ruko) dan rumah kantor (rukan), serta apartemen mewah dan rumah susun.
Melalui pembiayaan KPR, kita tidak harus menyediakan dana seharga
rumah. Cukup memiliki uang muka tertentu, dan rumah idaman pun menjadi milik
kita. Kita bisa leluasan menempatinya karena meski masih mengangsur rumah itu
sudah menjadi rumah kita sendiri.

3
4

Dari segi pengistilahan, untuk produk pembiayaan pemilikan rumah, perlu


dipikirkan suatu bentuk pengistilahan yang relevan. Karena istilah KPR cenderung
memunculkan asumsi terjadinya kredit, padahal dalam perbankan syari’ah tidak
menggunakan sistem kredit. Untuk menghindari hal itu (tetapi tetap menggunakan
istilah KPR), beberapa Bank Syari’ah (seperti BRI Syari’ah) memaknai KPR
dengan ”Kepemilikan Rumah“. Dalam menjalankan produk KPR, Bank Syari’ah
memadukan dan menggali akad-akad transaksi yang dibolehkan dalam Islam
dengan operasional KPR perbankan konvensional. Adapun akad yang banyak
digunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam menjalankan produk
pembiayaan KPR adalah akad murabahah dan istishna’.
KPR atau Kredit Kepemilikan Rumah merupakan salah satu jenis pelayanan
kredit yang diberikan oleh bank kepada para nasabah yang menginginkan pinjaman
khusus untuk memenuhi kebutuhan dalam pembangunan rumah atau renovasi
rumah. KPR sendiri muncul karena adanya kebutuhan memiliki rumah yang
semakin lama semakin tinggi tanpa diimbangi daya beli yang memadai oleh
masyarakat (Hardjono, 2008:25).
Seperti layaknya produk perbankan yang memiliki keaneka ragaman jenis,
KPR secara umum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1) KPR Subsidi adalah suatu kredit yang diperuntukkan kepada masyarakat yang
memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Adapun bentuk dari
subsidi ini telah diatur oleh pemerintah, sehingga tidak semua masyarakat
dapat mengajukan kredit jenis ini. Secara umum batasan yang ditetapkan oleh
pemerintah dalam memberikan subsidi adalah penghasilan pemohon dan
maksimum kredit yang diberikan.
2) KPR non Subsidi adalah suatu KPR yang diperuntukkan bagi seluruh
masyarakat tanpa adanya campur tangan pemerintah. Ketentuan KPR
ditetapkan oleh bank itu sendiri sehingga penentuan besarnya suku bunga pada
bank konvensional maupun margin pada bank syariah dilakukan sesuai dengan
kebijakan bank yang bersangkutan.
5

B. Akad Istishna’
Dalam kamus bahasa arab Istishna’ berarti minta membuat (sesuatu)
(Anwar, t.t: 258). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam Istishna’ adalah akad yang
mengandung tuntunan agar shani’ membuatkan sesuatu pesanan dengan ciri-ciri
khusus dan harga tertentu (Dahlan, 1996: 778). Istishna’ ialah kontrak atau
transaksi yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk
pembuatan suatu jenis barang tertentu atau suatu perjanjian jual beli dimana barang
yang akan diperjual belikan belum ada (Rifai, 2002: 73).
Dalam fatwa DSN-MUI, Istishna’ merupakan akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mushtashni’) dan penjual (pembuat,
shani’) (DSN-MUI, 2003: 36). Akad Istishna’ hampir menyerupai akad Salam,
karena Istishna’ juga menjual barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat itu
menjadi tanggungan atas pembuat yang menjual sejak akad disempurnakan. Sama
halnya dengan definisi yang diberikan oleh (Zulkifli, 2003: 41) yaitu al-Istishna’
adalah salah satu pengembangan dari prinsip bai’ as-salam, di mana waktu
penyerahan barang dilakukan di kemudian hari sementara pembayaran dapat
dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Dengan demikian, ketentuan al-
Istishna’ mengikuti ketentuan aturan akad as-Salam .biasanya istishna’
dipergunakan dibidang manufaktur dan kontruksi.

DEVELOPER PROPERTY SYARIAH

ISTISHNA'

KONSUMEN

Hukum Ekonomi Syariah Pada KPR

C. Landasan Hukum dan Operasional Istishna’


Para ulama’ membahas lebih lanjut tentang keabsahan al-Istishna’. Akad
istishna’ merupakan akad yang hampir menyamai salam, karena ia juga menjual
6

barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat itu menjadi tanggungan atas
pembuat yang menjual sejak akad dilakukan. Mengingat jual-beli istishna’
merupakan lanjutan dari jual-beli salam maka secara umum landasan syariah yang
berlaku pada jual-beli salam juga berlaku pada jual-beli istishna’. Namun demikian,
para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual-beli istishna’ dengan penjelasan
berikut.
Menurut madzhab Hanafi, jual-beli istishna’ termasuk akad yang dilarang
karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual,
sedangkan pada istishna’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual-beli istishna’ atas
dasar istishsan karena alasan-alasan berikut ini (Antonio, 2001: 114):
1) Masyarakat telah mempraktekkan jual-beli istishna’ secara luas dan terus
menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan jual-
beli istishna’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
2) Di dalam syariah dimungkingkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
3) Keberadaan jual-beli istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar
sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain
membuatkan barang untuk mereka.
4) Jual-beli istishna’ sah sesuai aturan umum mengenai kebolehan kontrak
selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa jual-beli istishna’ adalah
sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual-beli biasa
dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang
dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta
bahan material pembuatan barang tersebut.

c.1. Landasan Hukum Islam


7

Ulama’ fiqih berpendapat, bahwa yang menjadi dasar


diperbolehkannya transaksi istishna’ adalah firman Allah yang terdapat
pada surat QS. Al-Baqarah ayat 282 di bawah ini:

َ ‫ََٰٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ ِإذَا تَدَا َينتُم ِبدَ ۡي ٍن إِلَ َٰٓى أ َ َج ٖل ُّم‬
…… ُ‫سمى فَ ۡٱكتُبُوه‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya.....” (Al-Baqarah : 282)
Dalam kaitannya ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan
ayat tersebut dengan transaksi jual-beli salam , yang dalam hal ini pun
tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam)
yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada
kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.

c.2. Landasan Operasional


Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya istishna’
dalam dunia perbankan yaitu:
(1) UU No. 7/92 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
(2) Lampiran 6: SK BI No. 32/34/Sk tgl. 12/05/99 Dir BI, tentang
prinsip-prinsip Kegiatan Usaha Perbankan Syariah.
(3) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/17/PBI/2004 Bank Perkreditan
Rakyat yang melaksanan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
Syariah
(4) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/PBI/2004 Bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
(5) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/46/PBI/2004 tentang akad
penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pasal.
8

(6) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000


tertanggal 4 April 2000 tentang jual-beli istishna’
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/III/2000
tertanggal 28 Maret 2004 tentang jual-beli istishna’

D. Rukun dan Syarat-Syarat Istishna’


Adapun rukun istishna’ adalah produsen atau pembuat (shani’), pemesan
atau pembeli (mustashni’), proyek/ usaha/ barang/ usaha (mashnu’), harga
(tsaman), shighat (ijab qabul) (Arcarya, 2007: 97). Sedangkan syarat istishna’
adalah (Harahap, 2005: 183):
1) Shighat (Ijab Qabul)
a) Ijab qabul harus jelas (dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti
maknanya) sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b) Adanya kesesuaian maksud antara ijab dan qabul. Pernyatakan qabul
dipersyaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam
banyak hal.
c) Ijab dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti,
tidak ragu-ragu dan tidak menunjukkan adanya unsur keraguan dan
paksaan.
d) Ijab dan qabul harus bersambung, maksudnya ijab dan qabul dilakukan
dalam satu majlis.
2) Pihak yang Berakad
a) Ridha/ kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji
b) Punya kekuasaan untuk melakukan jual-beli
c) Pihak yang membuat barang (produsen) menyatakan kesanggupan untuk
mengadakan/ membuat barang itu

3) Produsen/ Pembuat (Shani’)


a) Produsen adalah orang atau badan hukum yang ahli di dalam bidangnya
dan bertanggung jawab penuh terhadap hasil produksinya.
9

b) Produsen bisa ditunjuk langsung oleh bank (pihak pertama) atau bisa juga
pilihan dari nasabah (pilihan nasabah)
4) Pemesan/ Pembeli (Mustashni’)
a) Nasabah harus cakap hukum.
b) Mempunyai kemampuan untuk membayar.
c) Pesanan yang sudah selesai wajib dibeli oleh nasabah/ pemesan.
d) Jika ada perubahan kriteria pesanan, maka harus segera dilaporkan ke bank
dan bank akan menyampaikannya kepada produsen.
e) Perubahan bisa dilakukan apabila pihak produsen dan bank menyetujui.
f) Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah
akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung
nasabah.
5) Mashnu’ (Barang/Objek Pesanan)
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000,
tentang jual-beli Istishna’ khusunya pada ketetapan kedua mengenai “Ketentuan
Tentang Barang”, maka telah ditetapkan:
a) Harus jelas cirri-cirinya dapat diakui sebagai hutang
b) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya
c) Penyerahannya dilakukan kemudian
d) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan
e) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
f) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan sejenis sesuai kesepakatan
g) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad

6) Harga Jual (Tsaman)


a) Harga jual kepada nasabah adalah harga beli ditambah keuntungan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli.
10

b) Masa pembuatan harus jelas dan dicantumkan dalam akad


c) Dilakukan pada awal akad sebelum penyerahan barang
d) Dilakukan setelah penyerahan barang baik secara keseluruhan atau
diangsur
e) Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu
akad
7) Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.

E. Implementasi akad istishna’ pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)


Syariah
Adapun ketentuan pelaksanaan akad Istishna’ secara garis besar dalam
produk KPR Syariah adalah sebagai berikut:
1. Fitur dan Syarat Pembiayaan
1) Nama Produk : KPR Syariah (tipe 54 dan 70)
2) Peruntukan : Perorangan atau Badan Usaha
3) Tujuan :
a) Kredit Konsumer untuk pembangunan/ kontruksi atau pengadaan rumah
yang terletak di dalam kawasan real estate
b) Kredit produktif untuk investasi/ pembangunan (konstruksi)/ project
financing atau pengadaan barang (good in process) antara lain untuk
pembangunan/ konstruksi ruko (rumah toko), rukan (rumah kantor), dan
lain sebagainya.
4) Akad Pembiayaan : Istishna’, akad yang dimaksudkan adalah istishnâ
yang berupa jual beli, bukan istishnâ’ yang berupa ijarah

5) Syarat Kredit KPR Syariah :


a) Pegawai Swasta & Pegawai Negri
(1) Foto Copy KTP (Suami & Istri)
11

(2) Foto Copy Surat Nikah


(3) Foto Copy Kartu Keluarga
(4) Foto Copy NPWP
(5) Foto Copy Surat Agunan
(6) Foto Copy Surat Keterangan Kerja
(7) Slip Gaji
(8) Pas Photo 3x4 (Suami & Istri)
b) Wiraswasta/ Pengusaha
(1) Foto Copy KTP (Suami & Istri)
(2) Foto Copy Surat Nikah
(3) Foto Copy Kartu Keluarga
(4) Foto Copy NPWP
(5) Foto Copy SIJP & TDP
(6) Foto Copy Surat Agunan
(7) Foto Lokasi Usaha
(8) Surat Keterangan Usaha dari Kelurahan
(9) Laporan Keuangan Usaha
(10) Pas Photo 3x4 (Suami & Istri)
2. Perjanjian antara Konsumen dan Developer
Apabila syarat yang tersebut di atas sudah lengkap maka konsumen dan
pihak developer melakukan ta’aruf dan berujung pada perjanjian dengan cara
mengisi formulir SPKB dan Formulir Aplikasi Kredit.
3. Jangka Waktu
Baik Kredit consumer maupun kredit produktif untuk pembangunan
konstruksi memberikan jangka waktu yang sama yakni 5-10 tahun.
Di bawah ini adalah data hasil dokumentasi tentang implementasi akad jual
beli istishna’ (Ketentuan Pokok Hukum Syara’ Tentang Al-Istishnâ’) pada produk
KPR Syariah :
a. Istishnâ’ yang dimaksudkan adalah istishnâ yang berupa jual beli, bukan
istishnâ’ yang berupa ijarah
12

b. Istishnâ’ adalah jual beli sesuatu yang dideskripsikan berada dalam


tanggungan yang proses pembuatannya berlangsung dari penjual atau
orang lainnya -Sale in the form of a contract for manufacture- (Rawwas
Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’). Istishnâ dalam pengertian lainnya
adalah akad pembelian langsung sesuatu yang termasuk apa yang harus
dibuat/dirakit/dibentuk/dibangun (yushna’u shun’an) yang mengharuskan
penjual menyerahkannya dalam bentuk yang sudah jadi dibuat dengan
bahan-bahan yang berasal darinya dengan spesifikasi yang spesifik dan
dengan harga tertentu (Dr. Muhammad Ahmad az-Zarqa, ‘Aqd al-Istishnâ
wa mudâ Ahammiyatihi fî al-Istitsmârât al-Mu’âshirah).
c. Istishnâ’ merupakan salah satu bentuk jual beli yang hukumnya boleh.
Dasarnya adalah perbuatan Rasul SAW dimana Beliau pernah memesan
dibuatkan cincin dan bangku, persetujuan Rasul saw atas praktek istishnâ
yang dilakukan oleh para sahabat, dan ijmak sahabat.
d. Sebagai jual beli, terhadap Istishnâ’ berlaku hukum-hukum jual beli
secara umum disertai dengan ketentuan-ketentuan khusus tentangnya.
e. Rukun Istishnâ’ ada tiga:
1) Al-‘aqidân (dua pihak yang berakad) yaitu al-mustashni’ (yang
memesan barang) atau pembeli dan ash-shâni’ (pembuat) atau
penjual. Kedua pihak haruslah pihak yang secara syar’iy sah
melakukan tasharruf.
2) Ijab dan qabul, dalam hal ini harus ada suka sama suka diantara
kedua pihak, adanya kesatuan majelis dan keterpautan antara ijab
dan qabul.
3) Al-‘ma’qûd ‘alayh (obyek akad) yaitu barang yang dipesan untuk
dibuat (al-mustashna’ fîhi atau al-mashnû’).
f. Syarat Khusus Istishnâ’ terkait al-mustashna’ fîhi atau al-mashnû’:
1) Harus dijelaskan spesifikasinya dengan sejelas-jelasnya sehingga
bisa menghilangkan perselisihan.
2) Berada dalam tanggungan penjual (ash-shâni’) untuk dia serahkan
kepada pembeli (al-mustashni’) setelah jangka waktu tertentu yang
13

disepakati. Semua spesifikasi atau sifat yang bisa menyebabkan


perbedaan nilai atau harga, maka harus disebutkan dalam detil
spesifikasi barang itu.
3) Barang itu (al-mashnû’) harus merupakan barang shinâ’ah, yaitu
yang melalui proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau
pembangunan. Jadi barang yang dijual dalam istishnâ’ adalah barang
jadi hasil proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau
pembangunan dari satu atau lebih bahan baku.
4) Bahan untuk membuat barang tersebut berasal dari penjual (ash-
shâni’). Sebab jika bahan berasal dari al-mustashni’, akad tersebut
menjadi akad ijarah sebab obyek akadnya adalah hanya berupa kerja
saja.
g. Dalam akad Istishnâ’, tempo waktu penyerahan barang harus disepakati
dengan jelas.
h. Harga istishnâ’ boleh dibayarkan di awal pada saat akad, boleh dibayar
sekaligus pada saat penyerahan barang, boleh sebagian di awal dan
dilunasi pada saat penyerahan barang, dan boleh juga dibayar secara kredit
setelah penyerahan barang baik sekaligus atau dengan angsuran. Hal itu
dikecualikan dari pengharaman jual beli utang dengan utang. Dasarnya
adalah adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang pemesanan cincin
oleh Rasul saw yang kemudian diikuti oleh para sahabat dimana hal itu
menunjukkan bahwa akad al-istishnâ’ tersebar luas di Madinah. Mereka
melangsungkan akad al-istishnâ’ berdasarkan yang biasa mereka lakukan.
Syara’ tidak membatasi tata cara pembayarannya. Ini menunjukkan bahwa
syara’ menyetujui akad istishnâ’ yang tersebar di tengah penduduk
Madinah dan syara’ tidak menambah hukum-hukum baru.
i. Jika akad istishnâ’ sempurna, maka akad tersebut bersifat mengikat kedua
pihak, dengan ketentuan:
1) Keduanya berhak membatalkannya selama belum berpisah majelis.
2) Jika sudah berpisah majelis, keduanya tidak boleh membatalkan akad,
baik barang belum atau sedang dibuat, kecuali atas persetujuan pihak
14

lain. Jika terjadi dharar yakni kerugian finansial pada salah satu pihak
– pihak yang tidak membatalkan akad-, maka pihak yang dirugikan
itu boleh menuntut ganti rugi.
j. Penjual (ash-shâni’) wajib menyerahkan barang sesuai spesifikasi yang
disepakati pada waktu yang disepakati.
k. Pada saat barang diserahkan, pembeli (al-mustashni’) memiliki hak khiyâr
ar-ru’yah. Yaitu ketika melihat barang jika ia mendapati ketidaksesuaian
dengan spesifikasi yang disepakati maka ia memiliki pilihan:
1) Menerima barang tersebut, atau
2) Menolak menerima barang tersebut dan meminta penjual untuk
menyerahkan barang sesuai spesifikasi yang disepakati, dan
memberikan tambahan tempo waktu kepada penjual. Dalam hal ini,
pembeli tidak boleh tetap menerima barang dan meminta kompensasi
finansial atas ketidaksesuaian barang dengan spesifikasi, sebab jika
begitu artinya terlah terjadi dua jual beli dalam satu jual beli dan itu
adalah haram.
3) Menolak barang tersebut dan meminta kembali harga yang sudah
dibayarkan, dan artinya akad istishnâ’ tersebut batal.
4) Setelah point c tersebut, dimungkinkan untuk dilakukan jual beli yang
baru atas barang tersebut, namun tidak ada hubungannya dengan akad
istishnâ’ yang sudah dibatalkan.
l. Jika penjual (ash-shâni’) meninggal dunia sebelum barang itu selesai,
maka pemesan (al-mustashni’) memiliki khiyar. Yaitu antara menerima
diberikan barang dari pembuat (ash-shâni’) lainnya atau membatalkan
akad tersebut.
m. Jika pembeli (al-mustashni’) meninggal dunia sebelum barang diserahkan
maka harus dilihat. Jika barang belum dibuat oleh penjual (ash-shâni’)
maka kelanjutan akad istishna’ tersebut diserahkan kepada penjual apakah
tetap dilanjutkan atau dibatalkan. Jika barang sedang dalam proses
pembuatan atau sudah selesai dibuat tetapi belum diserahkan, maka ahli
waris pembeli wajib mengambil alih tanggungjawab pembeli.
15

F. Mekanisme Pembayaran Angsuran pada Kredit Kepemilikan Rumah


(KPR) Syariah
Sebelum masuk pada mekanisme pembayaran penulis menyajikan tentang
dengan ketentuan dan syarat-syarat jual beli Istishnâ’ yang termaktub dalam pasal-
pasal di bawah ini:
1. Pasal 1 (Ketentuan Umum)
1) Jual beli Istishnâ’ ini dijalankan mengikuti hukum-hukum syariah Islam.
2) Ketentuan pokok hukum syara’ tentang Istishnâ’ yang termaktub pada
bagian awal yaitu pada pemaparan tentang implementasi akad istishna’
merupakan satu kesatuan dan bagian tak terpisahkan dari pasal ini dan
dimaksudkan untuk dijadikan rujukan.
2. Pasal 2 Tentang RUMAH TINGGAL (RUMAH)
1) Pembeli dan Penjual telah sepaham bahwa RUMAH termasuk barang
shinâ’ah (manufaktur).
2) Pembeli dan Penjual telah menyepakati RUMAH memiliki spesifikasi
yang secara rinci tercantum dalam addendum sebagai satu kesatuan dari
dokumen akad Istishnâ’ ini.
3. Pasal 3 (Harga dan Total Kewajiban Finansial)
Pada bagian ini tertulis tentang harga dan kewajiban finansial pembeli. Seperti
“Pembeli dan Penjual telah menyepakati harga Istishnâ’ atas RUMAH adalah
senilai Rp,…….- “.
4. Pasal 4 tentang Penyerahan RUMAH TINGGAL (RUMAH) dan Hak Khiyar
1) Penerima pesanan sebagai penjual (ash-shâni’) wajib menyerahkan
RUMAH kepada Pemesan sebagai pembeli (al-mustashni’) sesuai
spesifikasi yang tercantum dalam addendum, selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah pelunasan uang muka.
2) Pada saat penyerahan RUMAH, Pembeli memiliki hak khiyar ru’yah
dengan ketentuan:
a) Jika RUMAH telah sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam
addendum, Pembeli tidak boleh menolaknya.
16

b) Jika RUMAH tidak memenuhi spesifikasi yang tercantum dalam


addendum, maka Pembeli bisa memilih satu diantara opsi berikut:
(1) Menolak barang tersebut dan meminta penjual untuk
menyerahkan barang sesuai spesifikasi yang disepakati, dan
memberikan tambahan tempo kepada penjual. Dalam hal ini,
Pembeli tidak boleh menerima barang dan meminta kompensasi
finansial, sebab jika begitu artinya telah terjadi dua jual beli
dalam satu jual beli yang diharamkan oleh syara’.
(2) Menolak barang tersebut dan meminta kembali harga yang sudah
dibayarkan, dan dengan itu akad istishnâ’ tersebut batal.
(3) Setelah ketentuan di atas tersebut, dimungkinkan untuk dilakukan
jual beli yang baru atas barang tersebut, namun tidak ada
hubungannya dengan akad istishnâ’ yang sudah dibatalkan.
5. Pasal 5 tentang Pembatalan Akad dan Ganti Rugi
1) Setelah akad ini disepakati, kedua pihak baik Pembeli maupun Penjual
tidak boleh membatalkan akad, baik barang belum dibuat atau sedang
dibuat, kecuali atas persetujuan pihak lain.
2) Jika terjadi dharar yakni kerugian finansial pada salah satu pihak maka
pihak yang dirugikan boleh menuntut ganti rugi.
3) Besarnya kerugian dan ganti rugi ditetapkan melalui kesepakatan diantara
Pembeli dan Penjual.
4) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan besarnya kerugian dan ganti rugi,
maka penentuan kerugian dan ganti rugi tersebut dipercayakan kepada
pihak ketiga yang disepakati oleh Pembeli dan Penjual.
5) Setelah pembayaran diterima, pihak Penjual harus memberikan kwitansi
pembayaran angsuran / tabel cicilan kepada Pembeli berikut total angsuran
yang sudah dibayarkan dan sisa kewajiban yang harus dibayarkan.
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Implementasi akad istishna’ pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
Syariah dilakukan setelah konsumen melakukan proses ta’aruf yakni
meliputi, pengajuan permohonan, mempelajari syarat-syarat transaksi
kemudian ditetapkan layak oleh pihak developer sampai pada yang terakhir
yaitu membayar tanda jadi (mengurangi uang muka). Istishnâ’ yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah jual beli sesuatu yang dideskripsikan
berada dalam tanggungan yang proses pembuatannya berlangsung dari
penjual.
2. Mekanisme pembayaran angsuran pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
Syariah sebagai berikut:
a. Kewajiban konsumen membayar angsuran adalah terhitung sejak
konsumen melakukan ta’aruf dan dianggap layak dalam pengajuan
permohonannya, membayar uang sebagai tanda jadi (mengurangi uang
muka). Uang muka dapat di angsur selama 6 kali maksimal 30 hari sejak
dilakukan pembayaran tanda jadi.
b. Besarnya angsuran ditentukan oleh uang muka dikurangi tanda jadi,
dibagi jumlah bulan, dan atau sesuai kesepakatan.
c. Pembayaran harga dilakukan secara kredit dengan angsuran selama
jangka waktu yang telah disepakati
B. Saran
1. Mengenai harga agar dipertimbangkan kembali, yakni memgeluarkan
produk dengan membangun property yang dapat dijangkau oleh lebih
banyak segmen kelas masyarakat.
2. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam bentuk edukasi melalui
seminar ataupun workshop tentang RIBA ataupun transaksi yang
mengandung unsur keharaman, dengan demikian diharapkan dapat
menambah kesadaran masyarakat tentang bagaimana cara bermuamalah
yang sesuai dengan syariat Islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arcarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
(2007)
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani Press (2001)
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Cet-I. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve (1996)
Harahap, Sofyan Syafri, dkk. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPEE Usakti
(2005)
Hardjono. Mudah Memiliki Rumah Lewat KPR. Jakarta: PT. Pustaka Grahatama
(2008)
Haris, Helmi. Pembiayaan Kepemilikan Rumah (Sebuah Inovasi Pembiayaan
PerbankanSyari’ah). Jurnal Ekonomi Islam (2007)
Muhamad. Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
(2014)
Rifai, Moh. Konsep Perbankan Syari’ah. Semarang: Wicaksana (2002)
Rifai, Veithzal dan Andria Permata. Islamic Financial Management: Teori,
Konsepdan Aplikasi Panduan Praktis untuk lembaga Keuangan, Nasabah,
Praktisi, dan Mahasiswa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. (2008)
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Panduan Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul
Hakim (2003)

19

You might also like