You are on page 1of 5

Pendahuluan

{what is youth (bonus demografi) innovation? And why youth? What is SDGs?
And which is SDGs? Why? Panas bumi ng karanganyar}

Kebutuhan akan energi baru telah menjadi komitmen untuk beberapa negara di
dunia, termasuk Indonesia. Kekhawatiran akan habisnya sumber daya fosil di masa
depan serta krisis iklim yang disebabkan oleh gas rumah kaca telah memberikan
keharusan bagi setiap negara untuk menjadi pionir untuk teknologi energi baru. Selain
itu tidak seimbangnya persebaran sumberdaya alam secara geografis menjadikan
sumber daya fosil menjadi senjata untuk agenda geopolitics terhadap lawan politik
mereka, sebagai contoh Rusia yang menggunakan gas dan minyak mereka untuk
mengancam negara lawan politik mereka di Eropa atau Ketika Amerika serikat
terembargo oleh arab Saudi tahun 1971 karena mendukung Israel secara diplomatis.
Maka jawaban singkat dari semua jawaban itu adalah kita harus meninggalkan energi
fosil dan beralih ke energi terbarukan yang lebih hijau. Diharapkan dengan energi hijau
ini kitab isa mengubah energi tak terbatas seperti angin dan sinar matahari menjadi
energi listrik.

Jerman merupakan negara pioniir dalam teknologi Energi terbarukan dan


mereka juga memiliki komitmen untuk mempiroritaskan energi terbarukan sebagai
pembangunan negara mereka. Pada tahun 2012 Pemerintah Jerman di bawah Angela
Markel menetapkan aturan baru untuk melakukan penutupan seluruh reactor nuklir
mereka dan mengganti sumber listrik dari Solar Plan dan kincir angin. (need more
example of countries program)

Namun, utopia indah negara-negara maju di atas harus tertunda atau terbenam
di bawah krisis yang terjadi kepada dunia tiga tahun terakhir ini. Milestone 2030 zero
net emission atau semacamnya menjadi buyar karena anggaran untuk pembangunan
energi terbarukan harus dialihkan untuk menangani krisis covid-19. Belum lagi perang
rusia-ukraina yang telah menciptakan krisis pangan dan energi mengingat bahwa Rusia
merupakan salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Rusia dengan gigih
menolak untuk mengirimkan Migas mereka ke negara-negara eropa tanpa melakukan
pembayaran dengan Mata Uang Rubel. Hal ini merupakan balasan atas sejumlah
sanksi yang dilancarkan oleh negara-negara barat kepada Rusia. Perang Rusia-
Ukraina ini menunjukkan tumit achilles bagi kestabilan energi di Eropa, yang sangat
terhadap suplai dari negara lain seperti Rusia dan Arab Saudi. Kini negara-negara. Kini
negara-negara Eropa dalam dilemma antara membeli energi dari Rusia yang
mengancam keamanan eropa atau rela menahan krisis energi sementara, apalagi
menjelang musim dingin namun menghalangi perkembangan negara lawan mereka.

Isi

Indonesia sendiri sudah memulai komitmen untuk mengurangi penggunaan


energi fosil dan mengembangkan energi terbarukan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani,
telah mengumumkan bahwa Indonesia akan melaksanakan program pensiunan dini
PLTU. Namun, Program tersebut membutuhkan biaya paling tidak 435 Triliun Rupiah
hingga tahun 2040. Namun, tentu uang sebanyak itu tidak tumbuh di pohon, dibutuhkan
pembiayaan yang besar dan perlu dipertimbangkan juga masih banyak sector-sektor
pembangunan di Indonesia yang masih perlu diperbaiki atau dibangun. Lebih lanjut lagi
pemensiunan dini ini juga harus diimbangi dengan pembangunan pembangkit listrik
baru yang tentu tidak menggunakan energi fosil seperti batu bara yang digunakan di
PLTU.

Namun, kita harus ingat bahwa Indonesia bukanlah lagi seperti jaman Pak Harto
yang mampu menjadi negara pengekspor minyak dan menikmati murahnya harga
bahan bakar. Indonesia semakin hari semakin tergantung oleh Impor Minyak bumi,
terutama dari Arab Saudi. Selain itu harga BBM yang ada di Indonesia merupakan
harga yang telah disubsidi oleh pemerintah. Presiden Jokowi telah mengatakan bahwa
subsidi BBM di Indonesia telah menelan anggaran 500 Triliun Rupiah, tentu kita punya
urgensi untuk melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Selain dengan
mengurangi penggunaan ketergantungan energi fosil dan beralih ke energi hijau
memberikan keuntungan geopolitik karena kemungkinan Indonesia terdikte oleh
embargo energi di suatu saat nanti akan berkurang.

Disisi lain transisi energi ini pun memiliki potensi untuk gagal jika tidak
diperkirakan dengan cermat. Jerman sebagai salah satu pioneer energi terbarukan,
telah menunjukkan bahwa transisi energi hijau ini tetap memiliki resiko yang tinggi.
Walaupun mereka telah berhasil membuat 55% dari sumber listrik mereka berasal dari
energi solar dan angin, namun mereka tetap membutuhkan bahan bakar fosil yang
besar. Sebagian besar kebutuhan itu diimpor dari Rusia, yang justru malah menginvasi
negara tetangga nya, yaitu Ukraina dan mengancam keamanan Negara Jerman itu
sendiri. Selain itu Jerman keputusan jerman untuk melakukan transisi energi
menimbulkan konsekuensi yang besar secara finansial, harga listrik di jerman
mengalami lonjakan tajam semenjak mereka menutup beberapa reaktor nuklir mereka
dan mengalihkan energi grid mereka ke energi surya dan angin. Bahkan harga energi di
Jerman sempat mengalami peningkatan biaya sebesar 800% dari tahun 2021 hingga
oktober 2022. Maka tentu akan sangat utopis jika kita mengglorifikasi mengenai energi
terbarukan tapi harus mengorbankan kepentingan rakyat.

Kisah berat Jerman tersebut memberikan kita pelajaran bahwa kelemahan dari
energi terbarukan seperti angin dan surya terdapat pada konsistensi energinya. Listrik
merupakan kebutuhan primer untuk industri, mesin industri membutuhkan dana yang
besar untuk menjalankan operasional hariannya, bahkan terkadang mesin industri yang
besar harus bekerja 24 jam non-stop untuk memangkas biaya operasionalnya karena
untuk menyalakan mesin industri juga membutuhkan energi yang besar. Akan lucu jika
mesin industri yang seharga ratusan miliar harus berhenti beroperasi karena mati
lampu, maka dibutuhkan sumber energi yang konsisten dan bisa diatur oleh manusia.
Energi angin dan energi matahari memang memiliki kuantitas yang besar namun tidak
selalu angin itu berhembus dan tidak setiap hari juga matahari bersinar terang. Selain
itu PLTA dan PLTS membutuhkan tanah yang sangat luas karena jumlah kapasitas
energi dari panel surya dan generator angin sangat bergantung terhadap jumlah
sumber energi. Berbanding terbalik dengan negara tetangga jerman yaitu Perancis,
yang memfokuskan energinya untuk energi nuklir yang lebih efisien dan konsisten,
alhasil masyarakat perancis tidak perlu membayar tarif listrik sebesar warga Jerman.
Maka permasalahan energi ini bukan hanya masalah lingkungan tapi juga
permasalahan ekonomi.

Namun Indonesia memiliki kondisi geografis yang jauh berbeda dengan


negara eropa atau amerika yang hanya terkonsentrasi di satu daratan besar. Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan ribuan pulau kecil yang terpencil serta daerah
pedalaman yang jauh dari daerah perkotaan, maka penggunaan energi panel surya
untuk setiap daerah terpencil akan lebih tidak beresiko daripada menggunakan energi
surya atau angin di daerah industri besar. Sebagai contoh di Papua sudah terdapat
terdapat 353 kampung yang diberi akses listrik dengan cara memanfaatkan panel surya
untuk kebutuhan penerangan di waktu gelap. Sedangkan di daerah dengan konsentrasi
industri yang besar seperti Jawa, atau daerah yang memiliki lahan konservasi yang luas
seperti Kalimantan atau sumatra, maka diperlukan pembangkit listrik yang tidak boros
tempat dan menghasilkan energi yang lebih efisien. Beberapa alternatif untuk
permasalahan ini akan mencari pembangkit listrik dengan penggunaan lahan yang
efektif, sebagai contoh Pembangkit listrik tenaga air dibuat dengan platform bendungan
air yang bisa menjadi sumber air baku dan irigasi, atau pembangkit listrik tenaga
sampah yang mampu mengatasi permasalahan energi dan gunung sampah di
Indonesia, selain itu PLTG juga sangat mungkin menjadi alternatif mengingat besarnya
potensi Geothermal di Indonesia.

Simpulan dan Saran

Pada akhirnya transisi energi masih jauh dari kenyataan, masih banyak
permasalahan mengenai dampak kolateral yang akan terjadi dengan perubahan energi
ini. Meskipun kita harus mendukung gerakan yang niscaya ini karena pada akhirnya
ratusan triliun yang kita investasikan akan berbuah kepada kedaulatan energi nasional
dan meningkatnya standar lingkungan hidup di Indonesia.kebutuhan energi Indonesia
yang berupa komoditas migas masih harus diimpor dari negara lain yang setiap tahun
juga membebani ratusan triliun APBN . Maka untuk mengurangi kelemahan energi
terbarukan diperlukan diferensiasi sumber energi terbarukan, sehingga kita tidak
tergantung oleh satu atau dua sumber yang bisa saja energi tersebut merupakan
sumber energi yang sangat tergantung oleh cuaca dan keadaan alam yang lain.

Maka sesuhnggunya permasalahan utama bukanlah di permasalahan tehnis


lapangan namun di permasalahan sosial dan politik. Permasalahan transisi energi lebih
berada di permasalahan bagiamana ide ini diterima oleh masyarakat dan bagaimana
dukungan mereka terhadap teknologi ini serta bagaimana pemerintah atau parlemen
memberikan dukungan finansial serta manpower untuk mengerjakan fokus transisi
energi.

You might also like