You are on page 1of 8

BAB IV

KODE ETIK GURU

A. Kode Etik Guru

Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang

disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan

atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang

sistematis.

Kode etik ; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan

tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja.

Interpretasi tentang kode etik belum memiliki pengertian yang sama. Berikut ini disajikan

beberapa pengertian kode etik.

1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Pasal 28

menyatakan bahwa "Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap,

tingkah laku perbuatan di dalam dan di luar kedinasan". Dalam Pen¬jelasan Undang-

undang tersebut dinyatakan dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai

aparatur negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah

laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari.

2. Selanjutnya dalam Kode Etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip

pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggungjawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat

kita simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbua tan

di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.

3. Kongres PGRI ke XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik

Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI

dalam melaksanakan panggilan pengabdiaan bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari
pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua

unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral, dan (2) sebagai pedoman tingkah laku.

4. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD), Pasal 43, dikemukakan sebagai berikut:

(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan, dan martabat guru dalam pelaksanaan

tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik; (2) Kode etik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru

dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.

Dari beberapa pengertian tentang kode etik di atas, menunjukkan bahwa kode etik suatu profesi

merupakan norma- norma yang harus diindahkan dan diamalkan oleh setiap anggotanya dalam

pelaksanaan tugas dan pergaulan hidup sehari- hari di masyarakat. Norma-norma tersebut

berisi petunjuk- petunjuk bagaimana mereka melaksanakan profesinya, dan larangan-larangan,

tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan, tidak saja dalam menjalankan tugas

profesi, tetapi dalam pergaulan hidup sehari-hari di dalam masyarakat.

B. Tujuan Kode Etik

Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan

anggota dan kepentingan organisasi.profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode

etik adalah sebagai berikut.

1. Menjunjung tinggi martabat profesi.

Kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan pihak luar atau masyarakat, agar mereka

tidak memandang rendah terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap kode

etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau kelakuan anggotanya

yang dapat mencemarkan nama baik profesi.

2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya.

Kesejahteraan mencakup lahir (atau material) maupun batin (spiritual, emosional, dan

mental). Kode etik umumnya memuat larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-


perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan

tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya,

sehingga siapa saja yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan

merugikan rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin, kode etik umumnya memberi

petunjuk petunjuk kepada anggotanya untuk melaksanakan profesinya.

3. Pedoman berperilaku.

Kode etik mengandung peraturan yang membatasi tingkah laku yang tidak pantas dan tidak

jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.

4. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

Kode etik berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para

anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggungjawab pengabdiannya

dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-

ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

5. Untuk meningkatkan mutu profesi.

Kode etik memuat norma norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha

untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.

6. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

Kode etik mewajibkan setiap anggotanya untuk aktif berpartisipasi dalam membina

organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik

adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan

para anggota, meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan

mutu organisasi profesi.

C. Fungsi kode etik

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :


1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang

digariskan.

2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.

3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam

keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.

Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya

pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan

Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik

Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh

organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.

Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta cenderung

membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan

sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.

D. Penetapan Kode Etik

Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan

pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran

etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu

didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat

mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif

kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena

tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.

Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu

dalam merumuskan, tetapi pembuatan Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi

profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya, lazimnya dilakukan dalam suatu kongres
organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan secara

perorangan, tetapi harus dilakukan oleh organisasi, sehingga orang- orang yang tidak menjadi

anggota profesi, tidak dapat dikena nkan

Kode etik hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin di tangan

profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut bergabung dalam profesi

yang bersangkutan.

Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk

mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa

dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh

profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk

dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus

dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi

terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada

pelanggar kode etik

Jika setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis bergabung dalam suatu

organisasi, maka ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik,

karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran serius terhadap kode etik dapat

dikenakan sanksi.

E. Sanksi Pelanggaran Kode Etik

Seringkali negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal- hal yang semula hanya merupakan

kode etik suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-

undang. dengan demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman
tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi yang sifatnya

memaksa, baik berupa aksi perdata maupun pidana. Sebagai contoh dalam hal ini jika

seseorang anggota profesi bersaing secara tidak jujur atau curang dengan sesama anggota

profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu serius, maka dituntut di muka pengadilan. Pada

umumnya karena kode merupakan landasan moral, pedoman sikap, tingkah laku, dan

perbuatan; sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa melanggar

kode etik, akan mendapat cela dari rekan- rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat

adalah pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi.

Sanksi Pelanggaran Kode Etik :

1. Sanksi moral

2. Sanksi dikeluarkan dari organisasi

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan

atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya

perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional,

seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu

merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu

berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi

untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari

control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-

anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang

melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega

ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak

tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas
pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus

memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.

F. Kode Etik Guru Indoensia

Kode Etik Guru di Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-norma

profesi guru yang tersusun dengan baik, sistematik dalam suatu sistem yang utuh. Kode Etik

Guru Indonesia berfungsi sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga

PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik di dalam maupun di luar

sekolah serta dalam pergaulan hidup sehari- hari di masyarakat. Dengan demikian, Kode Etik

Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap profesional para

anggota profesi keguruan.

Seperti halnya profesi lain, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang

dihadiri oleh seluruh utusan. Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah

air, pertama dalam Kongres ke XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam

Kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta. Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia

yang telah disempurnakan tersebut adalah sebagai berikut.

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, Bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang

berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-undang Dasar 1945, turut bertanggungjawab atas

terwujdunya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh

sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mendominasi dasar-

dasar sebagai berikut:

1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang

berjiwa Pancasila.

2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.


3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan

dan pembinaan.

4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-

mengajar.

5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat di sekitarnya untuk

membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama terhadap pendidikan.

6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat

profesinya.

7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.

8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana

perjuangan dan pengabdian.

9. Guru melaksanakan segala kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan.

(Sumber: Kongres Guru ke XVI, 1989 di Jakarta).

You might also like