You are on page 1of 4

Esensi Pergolakan dan Perdamaian

Oleh Indah Wulandari Pulungan

Judul : Trauma Usai Bergolak


Penulis : Armini Arbain dan Ronidin
Penerbit : Kabarita
Cetakan : Pertama, Maret 2021
Tebal : 354 halaman
ISBN : 978-623-94230-5-6

Peristiwa bergolak atau bagolak yang terjadi di Sumatera Barat memang mengisahkan
kenangan yang pahit bagi masyarakat Minangkabau. Kesengsaraan yang dialami oleh
masyarakat selama masa perang masih terus berlanjut hingga perang usai. Tepatnya saat
Letkol Ahmad Husein sebagai pimpinan dewan banteng mengambil keputusan untuk
menyerah, karena melihat kondisi dari prajurit perang yang tidak memungkinkan lagi.
Namun, dengan catatan agar pemerintah menganggap peristiwa PRRI adalah kejadian yang
tidak ada pemenang dan pecundangnya, tetapi murni atas dasar kesadaran untuk membangun
Republik Indonesia kembali. Sejak saat itulah seluruh pasukan PRRI yang sedang
bersembunyi diserukan untuk turun gunung dan menyerahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi.
Dari sinilah awal permulaan trauma usai bergolak yang dirasakan oleh seluruh masyarakat
Minangkabau diceritakan di setiap kisah yang terdapat di dalam novel ini.
Di dalam novel ini disuguhkan berbagai latar daerah-daerah Minangkabau dan juga di
luar daerah Sumatera barat, tempat para tokoh-tokoh di dalam novel ini berusaha keluar dari
ingatan keji masa lalu yang merusak kebahagiaan keluarga mereka. Seperti, cerita Sarman
(Kakaknya Karman) pergi merantau ke Palembang bersama ayah dan ibunya untuk benar-
benar bisa melupakan kekejaman yang ia peroleh selama masa pergolakan yang disebabkan
oleh kekejaman tentara APRI dan OPR. Selain itu ada juga Baiyar (Adiknya Mainar) yang
ikut serta bersama suaminya ke Yogyakarta.
Setelah berakhirnya PRRI, seluruh tentara APRI ditarik kembali ke pusat dan kembali
ke daerahnya masing-masing. Tentara APRI yang telah menikah di Sumatera Barat
membawa istrinya untuk ikut pulang ke daerahnya, dan ada pula yang tidak bertanggung
jawab meninggalkan istri serta anak-anak mereka. Hal ini yang sering disebut dengan ganja
kayu dan ganja batu. Bagi perempuan yang ikut serta dibawa oleh suaminya ke tempat
tinggalnya disebut dengan ganja kayu, dan perempuan yang ditinggalkannya suaminya
disebut dengan ganja batu.
Masyarakat Minangkabau yang turut merasakan perang PRRI memiliki dendam yang
begitu dalam terhadap kekejaman yang terjadi pada masa itu. Dendam terhadap para prajurit
APRI begitu besar dipendam oleh para tentara PRRI. Bagaimana tidak, bukan hanya tentara
PRRI yang tengah berjuang saja yang disiksa oleh mereka, namun orang-orang yang tidak
bersalah juga terkena imbasnya. Termasuk anak, istri, serta orang tua mereka. Hal
demikianlah yang membuat Bahar menaruh dendam terhadap orang-orang Jawa. Karena pada
masa itu, tentara APRI banyak yang berasal dari pulau Jawa. Bahar mulai mencari cara untuk
membalaskan dendamnya itu. Saat meneruskan studinya di UGM, Bahar sangat antusias
berkencan dengan perempuan-perempuan Jawa, setelah itu ia meninggalkan begitu saja
perempuan itu. Begitulah cara Bahar mengatasi gejolak batin yang ia rasakan pasca perang
usai.
Dalam novel ini, trauma yang dialami oleh masyarakat Minangkabau tidak hanya
dirasakan oleh kaum laki-laki saja. Seluruh elemen masyarakat merasakan imbas yang begitu
menyakitkan. Perempuan-perempuan diperkosa, direbut secara paksa dari suaminya yang
tengah bergerilya, anak-anak harus menyaksikan tontonan tragis para orang tua mereka yang
dihantam secara keji, mereka hanya bisa menangis berteriak, ingin menolong namun tidak
punya daya. Orang tua harus ikhlas merelakan anaknya pergi bergerilya, maupun anak
perempuannya yang harus ia relakan untuk dinikahi oleh para tentara APRI. Puji syukur jika
tentara yang menikahi mereka adalah tentara yang bertanggung jawab, tapi jika bertemu
dengan tentara yang tidak bertanggung jawab, mereka hanya jadi perempuan pemuas nafsu
birahi para tentara biadab itu saja. Maka tentu saja, perang ini membawa luka bagi seluruh
masyarakat Minangkabau, sehingga mereka mencoba keluar dari kenangan buruk itu. Namun
tetap saja, anggapan orang kepada mereka tetap tidak berubah, mereka adalah bangsa
pemberontak.
Dampak bergolak di Sumatera Barat memang membawa luka fisik dan luka batin
pada masyarakat Minangkabau. Hingga mereka kesulitan untuk bisa keluar dari lubang hitam
masa lalu yang selalu menghantui mereka. Jika tidak ingat dengan Tuhan dan ajaran agama,
mereka mungkin lebih memilih untuk bunuh diri saja. Namun, kuasa Tuhan begitu besar,
mereka masih diberikan kesempatan untuk bertahan di antara gejolak yang ada, untuk terus
melanjutkan kehidupan dan menciptakan generasi-generasi yang cerdas dan berbudi pekerti
yang baik.
Pilihan merantau yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau usai perang
berlangsung adalah pilihan yang tepat menurut mereka. Mereka ingin melupakan kisah-kasih
tragis semasa bergolak dahulu. Sesampainya di tanah rantau pun, jika orang-orang
mengetahui bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat, maka mereka akan dikatai sebagai
bangsa Pemberontak. Tentu hal itu sangat mengguncang jiwa, ketika dituduh dan dikucilkan
dari pergaulan masyarakat. Akhirnya, banyak orang Minangkabau yang pergi merantau
tersebut menyembunyikan identitas mereka sebagai orang Minangkabau. Jika mereka
membuka rumah makan Padang, mereka mengubah nama rumah makan itu menjadi nama
yang umum, dan tidak memiliki sedikit pun hubungannya dengan Minangkabau, walaupun
sebenarnya racikan bumbu masakan rumah makan tersebut adalah racikan khas orang
Minang. Selain itu, banyak pula orang-orang tua yang memberikan nama anaknya dengan
nama yang umum, agar identitas sebagai orang Minang tidak diketahui oleh orang lain. Dan
dengan harapan agar anak-anak mereka tidak terkena dampak dari peristiwa bergolak yang
begitu menyayat hati.
Penulis yang dikatakan sebagai Tuhan kecil di dalam novel ini sudah memberikan
begitu banyak Kisah-kisah kepada pembaca untuk dapat dijadikan bahan renungan. Trauma-
trauma usai perang yang masih dapat dirasakan oleh masyarakat Minangkabau menjadi batu
loncatan bagi mereka untuk menata kehidupan yang baru dan melahirkan generasi-generasi
cerdas selanjutnya. Esensi dari pergolakan dan perdamaian sesungguhnya menjadi pelajaran
berharga bagi Republik Indonesia dan tanah Sumatera Barat. Apa yang telah terjadi pada saat
itu tidak akan pernah hilang dari catatan sejarah. Sebab, pergolakan tersebut telah
menumpahkan ribuan tetes darah dan air mata. Sesungguhnya, trauma akan tetap abadi
tertanam di batin masyarakat Minangkabau, namun mereka memilih untuk menguburnya
dalam-dalam, dan mecoba menatap hari esok yang cerah.
Biodata Penulis:
Indah Wulandari Pulungan adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas dan
mahasiswa program fast track S-2 Kajian Budaya Universitas Andalas.

You might also like