Professional Documents
Culture Documents
Makalah Hak Klien Dan Kewajiban Klien Dan Mal Praktek
Makalah Hak Klien Dan Kewajiban Klien Dan Mal Praktek
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa tetap menikmati indah alam ciptaan-
Nya.Penulis telah membuat makalah yang berjudul tentang makalah malpraktek di bidang
kesehatan.Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang malpraktek yang kerap
terjadi di bidang kesehatan sebagaimana telah kita ketahui dimana banyak masyarakat yang telah
menjadi korban,baik di sengaja maupun tidak di sengaja hal itu haruslah dapat di pertanggung
jawabkan.
Penulis menuliskan makalah ini berda sarkan informasi dan penelitian yang dilakukan
oleh beberapa orang yang sudah terlebih dahulu melakukan penelitian.Dari hal tersbut penulis
mengembangkan pemikiran untuk menyempurnakan konsep pemikiran tentang malpraktek
tersebut sehingga dapat dan lebih mudah di mengerti.
Kiranya makalah ini dapat menjadi sebuah pengetahuan dan informasi bagi para
pembaca sehingga orang yang membaca dapat mengerti dan memahami konsep dalam
malpraktek. Masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,namun kiranya dapat
menjadi bantuan dalam penafsiran kasus malpraktek yang terjadi.
DAFTAR ISI
C. Tujuan
1. Memahami kasus malpraktek dan cara pencegahannya
2.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kasus Malapraktik
Maulana adalah seorang anak berusia 18 tahun.Dulunya adalah anak yang mengemaskan
dan pernah menjadi juara bayi sehat.Namun makin hari tubuhnya makin kurus.Dan organ
tubuhnya tidak bisa berfungsi secara normal.Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat
imunisasi dari petugas kesehatan.Diduga korban kuat Maulana adalah korban mal
praktek.Maulana, kini berusia 18 tahun. Namun ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur.
Tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan.Ia juga tidak bisa berbicara. Berat badannya hanya enam
koma delapan kilogram, seperti anak berusia lima tahun. Bungsu dari empat bersaudara, anak
pasangan Lina dan Adul ini mengalami kegagalan multi organ.
Tragedi ini bermula saat usianya empat puluh lima hari. Seperti balita pada umumnya,
Maulana mendapatkan imunisasi dari petugas Dinas Kesehatan.Petugas memberikan tiga
imunisasi sekaligus, yaitu imunisasi BCG, imunisasi DPT dan imunisasi Polio.
Namun setelah dua jam menerima imunisasi, Maulana mengalami kejang-kejang, dan
suhu tubuhnya naik tajam. Sehingga orang tuanya panik dan langsung membawanya ke rumah
sakit.Namun kondisinya justru makin menburuk. Setelah lima hari dirawat, Maulana malah tidak
sadarkan diri, selama tiga minggu. Sejak itu, tubuh Maulana selalu sakit sakitan dan hampir
seluruh organ tubuhku tidak berfungsi normal.
Dokter mendiagnosa Maulana mengalami radang otak.Namun setelah itu, satu persatu
penyakit akut menggerogoti kesehatannya.Semakin hari badannya semakin kecil, dan
mengerut.Maulana sering mengalami sesak nafas, dan kejang kejang.
Lina yakin, Maulana menjadi korban malpraktek.Karena beberapa dokter yang perawat
Maulana menyatakan, anaknya mengalami kesalahan imunisasi.
Kini Lina, hanya bisa pasrah. Ia merawat Maulana, seperti merawat bayi. Saat makan
Maulana tetap harus disuapi, demikian juga ketika buang air besar dan kencing.Orangtuanya
selalu memakaikan popok.
Sebelum tragedi itu datang, Maulana adalah bayi yang menggemaskan.Tubuhnya
montok, dan sangat sehat.Bahkan Maulana sempat dinobatkan sebagai pemenang bayi sehat.
Karena lahir dengan bobot tiga koma delapan kilogram dan panjang lima puluh satu
cintimeter.Orang tua Maulana sudah berusaha untuk membawa ke rumah sakit di kawasan Kota
Siantan, Pontianak.Namun Maulana tidak juga kunjung sembuh.Orangtuanyapun menyerah.
Yang lebih menyedihkan, Linapun kemudian diceraikan suaminya, di saat harus
menanggung beban berat merawat Maulana.Ayah Maulana kesal dan marah dengan Lina, karena
mengijinkan petugas kesehatan memberikan imunisasi kepada Maulana.
Kini tubuh Maulana makin lemah, dan tidak berdaya.Ia hanya bisa berbaring ditempat
tidur. Jika ingin menghirup udara segar, linapun membawanya ke luar rumah. Lina sudah tidak
berpikir lagi untuk membawa Maulana ke rumah sakit, karena tidak memiliki biaya.Sejak
anaknya menderita sakit, Lina telah mengeluarkan uang jutaan rupiah.Bahkan rumahnya dijual
untuk biaya pengobatan.
Lina juga beberapa kali berusaha meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah
Kalimantan Barat, dengan mengajukan tuntutan di pengadilan.Lina kemudian menemui sejumlah
instansi pemerintah daerah, termasuk menemui Walikota Pontianak, dan Gubernur Kalimantan
Barat, untuk menuntut keadilan.
Namun para pejabat tersebut tidak menanggapi pengaduan Lina.Lina tidak menyerah.Ia
kemudian membawa Maulana ke Jakarta, untuk menemui Menteri Kesehatan.Namun lagi lagi
usahanya kembali menemui jalan buntu.
Lina kemudian memilih prosedur hukum.Ia melaporkan pemerintah Kalimantan Barat
secara pidana, dan juga menggugatnya secara perdata.Namun di pengadilan, hakim meminta
Lina dan perwakilan pemerintah sebagai tergugat, untuk berdamai.Hasilnya cukup menjanjikan.
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, berjanji akan menanggung penuh obat dan kebutuhan
perawatan maulana di rumah sakit seumur hidup.
Janji Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, sungguh melegakan. Karena upayanya
mencari keadilan, kini menemui titik terang.Namun harapan lina kembali pupus.Ternyata
kesanggupan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat hanya janji janji kosong.Setelah berjalan
lebih sepuluh tahun, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat tidak memenuhi janjinya.
Kini Lina hanya bisa pasrah menerima kenyataan pahit.Lina dan Maulana bersama ketiga
anaknya yang lain, tinggal di rumah sangat sederhana, di Komplek Perumahan Kopri, di kawasan
Pinggiran Sungai Raya Dalam Kabupaten Kubu Raya.Untuk hidup sehari hari, Linapun
membuka warung kecil-kecilan di teras rumahnya.
Lina sebenarnya masih punya keinginan untuk kembali menggugat Pemerintah Daerah
Kalimantan Barat. Namun ia mengaku tidak lagi memiliki dana. Yang membuat Lina pasrah,
adalah tidak ada dokter yang bersedia menjadi saksi ahli dalam kasus ini.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, meminta pihak pemerintah
bertanggungjawab atas kasus yang menimpa Maulana. Menurut Direktur LBH Kesehatan,
Iskandar Sitorus, kasus dugaan mal praktik yang menimpa Maulana, mencerminkan lemahnya
tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan.
Aturan atau kebijakan yang diterapkan sudah kadaluarsa. Sementara hingga saat ini
publik sendiri masih menunggu kapan akan disosialisasikan rancangan undang undang tentang
pasien. Jika UU Pasien sudah ada, diharapkan tidak akan ada lagi Maulana Maulana lainnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Fachmi Idris menyatakan, profesi dokter, diikat
oleh sebuah etika profesi dalam sebuah payung Majelis Kode Etik Kedokteran atau
MKEK.Seorang dokter dapat dikatakan melakukan pelanggaran saat praktek, jika sudah
dibuktikan dalam suatu sidang majelis kode etik.
Hukuman yang dijatuhkan majelis kode etik biasanya berkisar pada skorsing praktek,
disuruh kembali sekolah untuk memperdalam ilmunya hingga dicabut ijin praktek
kedokterannya.
Kasus dugaan mal praktek seperti kasus Maulana memang tak sedikit
jumlahnya.Beberapa kasus yang sempat terangkat ke masyarakat umumnya terjadi setelah pasca
imunisasi, operasi bahkan tak jarang setelah si pasien berobat ke ahli kesehatan karena
sebelumnya diindikasikan menderita suatu penyakit.
Seperti halnya kasus kasus sejenis, kasus Maulana pun membutuhkan waktu berbulan
bulan bahkan bertahun tahun duduk dikursi persidangan untuk memperoleh keadilan.
Dan ironisnya perdebatan sengit menyoal kasus dugaan mal praktik di pengadilan hampir
dipastikan berakhir dengan bertambahnya sakit hati bagi sang korban. Sakit hati karena kasusnya
tak bisa diteruskan, atau bahkan ditolak majelis hakim karena kurang lengkapnya data
pendukung.
LBH Kesehatan, sebagai wadah bantuan hukum bagi mereka yang merasa abaikan
haknya oleh oknum aparat kesehatan memiliki data yang tidak sedikit. Saat ini saja LBH
Kesehatan membantu menangani 58 kasus dugaam mal praktik di sejumlah wilayah
Indonesia.Sementara kasus yang telah dilaporkan di sejumlah aparat penegak hukum mencapai
130 kasus.Namun ironisnya, hanya sedikit kasus dugaan mal praktek yang maju ke meja hijau
yang menang dalam persidangan.
Upaya hukum untuk mencari keadilan bagi korban dugan mal praktik kerap berlangsung
di sejumlah ruang pengadilan.Dari upaya hukum pidana, perdata bahkan hingga tun atau tata
usaha negara.Dari catatan LBH Kesehatan, dari beberapa bentuk tata peradilan tersebut, bisa
dibilang peradilan perdatalah yang paling memungkinkan seorang korban dugaan mal praktik
memperoleh haknya. Sementara tata peradilan lainnya umumnya jauh panggang dari api.
Pertanyaannya sekarang, mengapa sejumlah kasus dugaan mal praktik yang bertarung
dipengadilan pidana, menjadikan korban seolah tak mampu untuk mendapatkan keadilan ?
Padahal mereka jelas jelas menjadi korban.
Kasus Maulana membuktikan, sudah bertahun tahun Maulana tak punya kuasa saat
berusaha mencari keadilan di pengadilan pidana. Bertahun tahun pula Maulana hanya terbentur
masalah tidak adanya saksi ahli yang mau hadir dalam persidangannya tersebut.(Sup/Ijs)
Pengertian Malapraktik
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the
physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a
lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury
to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap
pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab
langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Dalam suatu kasus di California tahun 1956 (Guwandi, 1994) mendefinisikan Malpraktik
adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menterapkan tingkat ketrampilan dan
pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang
pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di
lingkungan wilayah yang sama(Malpractice is the neglect of a physician or nuse to apply that
degree of skil and learning on treating and nursing a patient which is customarily applied in
treating and caring for the sick or wounded similiarly in the same community).
Ada dua istilah yang sering dibicarakan secara bersamaan dalam kaitan malpraktik yaitu
kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang
ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-
tindakan yang tidak beralasan dan berisko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan
Kizilay, 1998).
Malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terksait
dengan status profesional dari pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional Malpraktik
adalah kegagalan seorang profesional (misalnya dokter dan perawat) melakukan sesuai dengan
standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki ketrampilan dan pendidikan
(Vestal,K.W, 1995).Hal ini bih dipertegas oleh Ellis & Hartley (1998) bahwa malpraktik adalah
suatu batasan spesifik dari kelalaian.Ini ditujukan pada kelalaian yang dilakukan oleh yang telah
terlatih secara khusus atau seseorang yang berpendidikan yang ditampilkan dalam
pekerjaannya.Oleh karena itu batasan malpraktik ditujukan untuk menggambarkan kelaliaian
oleh perawat dalam melakukan kewjibannya sebagai tenaga keperawatan.
1. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence)
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan
sebagai berikut:
1. Malpractice
Kelalaian karena tindakan kurang hati-hati seseorang yangdianggap profesional.
2. Maltreatment
Cara perlakuan perawatan yang tidak tepat atau tidak terampil dalam bertindak.
3. Non feasance
Kegagalan dalam bertindak dimana disitu terdapat suatutindakan yang harus dilakukan.
4. Misfeasance
Melakukan tindakan yang tidak tepat yang seharusnyadilakukan dengan tepat.
5. Malfeasance
Melakukan hal yang bertentangan dengan hukum atautindakan yang dapat dikategorikan tidak
tepat.
6. Criminal negligence
Melakukan tindakan dengan mengabaikan keselamatan
orang lain walaupun sebenarnya mengetahui bahwatindakannya dapat mencelakakan orang lain.
C. Penanganan Kasus Malapraktik
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive,
diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan
hukum “malpraktek”.Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum
yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin
untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang
mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat
ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan
hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada
dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia
dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah
Hukum Kesehatan.Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari
Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law
diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian
digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai
terjemahan dari medic law.Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum
kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia
dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun
sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri.Setiap ada
persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum
Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal
oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat.Untuk itu masih
perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan
istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai
hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat
diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di
Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi
(diluar peradilan).Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau
kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala
yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait
dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai
anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang
berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara
pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang
menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui
jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi
merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU
No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2)
yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana
Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli
Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh
MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para
dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan
membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena
MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan
pasien.
D. Pencegahan Kasus Malapraktik
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
kesehatan dapatmelakukan:
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat
hukum, sehinggayang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan
adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat
berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga perawatan.
BAB II
UNDANG-UNDANG NO 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
Pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
Edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung
Jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
Kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang
Telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
Upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
Maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
Mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan
Yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
Kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
Hak pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan termasuk perawatan tercantum pada
UU Kesehatan no 23 tahun 1992 yaitu :
HAK PASIEN
KEWAJIBAN PASIEN
Sedangkan menurut Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang
Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; UU.Republik Indonesia
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, sebagai berikut :
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien, yaitu :
Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah
sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi
kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.
Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat
etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
Hak atas privacy dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku.
Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yg
akan dilakukan thd dirinya.
Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter
sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.
Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya
(dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban
& ketenangan umum/pasien lainya.
Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit
Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap
dirinya
Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
(memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran).
Hak akses /inzage kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya.
Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada
dokter yang merawat.
Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam pengobatanya.
Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban memenuhi hal-hal
yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
Seringkali ketika Anda menjadi pasien dari seorang dokter hanya bisa menerima apa
yang disampaikan oleh dokter tentang penyakit kita serta tindakan yang akan diambil untuk
penyembuhan penyakit tersebut. Namun apakah lantas dokter dan tenaga medis lain dapat
bertindak semena-mena terhadap tubuh Anda ? Apakah Anda mempunyai hak dan kewajiban
sebagai pasien ? Bagaimana Anda mendapatkannya ?
Tentu saja jawabnya adalah tidak. Karena pada dasarnya para dokter dalam melakukan
praktek kedokteran berada di bawah sumpah dokter dan kode etik kedokteran yang
mengharuskan mereka memberikan pelayanan terbaik bagi pasien sebagai umat manusia.
Di samping itu, kepentingan dan hak-hak pasien juga terlindungi sejak diberlakukannya
Undang-undang nomo 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasien sebagai konsumen
kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak
bertanggungjawab seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan, dan
kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut maka
konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan.
Hak pasien yang lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan
ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai
konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan
rumah sakit dalam pelayanannya. Selain itu konsumen berhak untuk memilih dokter yang
diinginkan dan berhak untuk mendapatkan opini kedua (second opinion), juga berhak untuk
mendapatkan rekam medik (medical record) yang berisikan riwayat penyakit pasien.
Hak-hak pasien juga dijelaskan pada Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan. Pasal 14 UU tersebut mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk
mendapatkan kesehatan optimal. Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas
informasi, rahasia kedokteran, dan hak opini kedua. Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien
berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada akhir Oktober 2000 juga telah berikrar tentang hak
dan kewajiban pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di
Indonesia. Salah satu hak pasien yang utama dalam ikrar tersebut adalah hak untuk menentukan
nasibnya sendiri, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, serta hak atas rahasia
kedokteran terhadap riwayat penyakit yang dideritanya.
Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan sarana
kesehatannya dan hak untuk menerima, menolak atau menghentikan pengobatan atau perawatan
atas dirinya, tentu saja setelah menerima informasi yang lengkap mengenai keadaan kesehatan
atau penyakitnya.
Sementara itu, pasien juga memiliki kewajiban, yaitu memberikan informasi yang benar
kepada dokter dengan i’tikad baik, mematuhi anjuran dokter atau perawat -baik dalam
rangka diagnosis, pengobatan maupun perawatannya-, dan kewajiban memberi imbalan jasa
yang layak. Pasien juga mempunyai kewajiban untuk tidak memaksakan keinginannya agar
dilaksanakan oleh dokter apabila ternyata berlawanan dengan kebebasan dan keluhuran profesi
dokter.
Proses untuk ikut menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap tubuh kita
sendiri sebagai pasien setelah mendapatkan cukup informasi, dalam dunia kedokteran dikenal
dengan istilah kesepakatan yang jelas (informed consent). Di Indonesia ketentuan tentang
informed consent ini diatur lewat Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 dan Surat
Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia nomor 319/PB/A4/88. Pernyataan IDI
tentang informed consent ini adalah :
1.Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.Semua tindakan medis memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang cukup tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
4.Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5.Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta oleh pasien. Tidak boleh menahan informasi, kecuali bila dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada
keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat atau paramedik lain sebagai saksi
adalah penting.
6.Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan
akan diambil. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.
KASUS
Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit AA, tn.T
dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut dengan diagnosa
medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar, tidak dapat makan, TD:
170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari ketujuh perawatan didapatkan Kesadaran
compos mentis, TD: 150/100, N: 68, hemiparese/kelumpuhan anggota gerak dextra atas dan
bawah, bicara pelo, mulut mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak bicara dan dapat
menjawab pertanyaan dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo). Tetapi saat sore hari
sekitar pukul 17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah itu terdengar bunyi
seseorang jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T dirawat. Saat itu juga
perawat yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk ruang 206, saat itu perawat
mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempatt tidurnya dengan barang-barang
disekitarnya berantakan.
Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi, dengan adanya
peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga terkejut dengan peristiwa
itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan mengapa, keluarga tampak kesal dengan
kejadian itu. Perawat dan keluarga menanyakan kepada tn.T kenapa bapak jatuh, tn.T
mengatakan saya akan mengambil minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada pengangan pad
temapt tidurnya, perawat bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong kami saya pikir kan
hanya mengambil air minum.
Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan perawat
memberikan obat injeksi untuk penurun darah tinggi (captopril) tetapi perawat lupa memasng
side drill tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat memberitahukan pada pasien
dan keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil perawat dengan alat yang tersedia.
PEMBAHASAN KASUS
Analisa Kasus
1.Kasus Tn.T merupakan salah satu bentuk kasus kelalaian dari perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasien
(Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya dengan menjamin bahwa Tn.T tidak akan terjadi
injuri/cedera, karena kondisi Tn.T mengalami kelumpuhan seluruh anggota gerak kanan,
sehingga mengalami kesulitan dalam beraktifitas atau menggerakan tubuhnya.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa atau tidak
memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat injeksi captopril,
sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat Tn.T merasa leluasa bergerak
dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang menyebabkan Tn.T terjatuh.
Seharusnya sebagai perawat dituntut untuk dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin
dan hukum. Dan prinsipnya dalam melakukan praktek keperawatan, perawat harus
menperhatikan beberapa hal, yaitu: Melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan
kecermatan, sesuai standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan
mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai tujuan praktek.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila penyelesaiannya dari
segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh profesinya sendiri, dalam hal ini
dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum
maka harus dilihat apakah hal ini sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau
keduannya dan ini membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten
dibidang hukum.
Bila dilihat dari beberapa teori diatas, maka kasus Tn.T, merupakan kelalaian dengan
alasan, sebagai berikut:
Kasus kelalaian Tn.T terjadi karena perawat tidak melakukan tindakan keperawatan yang
merupakan kewajiban perawat terhadap pasien, dalam hal ini perawat tidak melakukan tindakan
keperawatan sesuai standar profesi keperawatan, dan bentuk kelalaian perawat ini termasuk
dalam bentuk Nonfeasance.
Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perawat tidak melakukan tindakan
keperawatan dengan benar, diantaranya sebagai berikut:
1.Perawat tidak kompeten (tidak sesuai dengan kompetensinya)
2.Perawat tidak mengetahui SAK dan SOP
3.Perawat tidak memahami standar praktek keperawatan
4.Rencana keperawatan yang dibuat tidak lengkap Supervise dari ketua tim, kepala ruangan atau
perawat primer tidak dijalankan dengan baik
5.Tidak mempunyai tool evaluasi yang benar dalam supervise keperawatan
6.Kurangnya komunikasi perawat kepada pasien dan kelaurga tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan perawatan pasien. Karena kerjasama pasien dan keluarga merupakan hal yang
penting.
7.Kurang atau tidak melibatkan keluarga dalam merencanakan asuhan keperawatan
3.Hal yang perlu dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi penerima
pelayanan asuhan keperawatan, adalah sebagai berikut:
1.Bagi Profesi atau Organisasi Profesi keperawatan :
A.Bagi perawat secara individu harus melakukan tindakan keperawatan/praktek
keperawatan dengan kecermatan dan ketelitian tidak ceroboh.
B.Perlunya standarisasi praktek keperawatan yang di buat oleh organisasi profesi dengan
jelas dan tegas.
C.Perlunya suatu badan atau konsil keperawatan yang menyeleksi perawat yang sebelum
bekerja pada pelayanan keperawatan dan melakukan praktek keperawatan.
D.Memberlakukan segala ketentuan/perundangan yang ada kepada perawat/praktisi
keperawatan sebelum memberikan praktek keperawatan sehingga dapat dipertanggung jawabkan
baik secara administrasi dan hukum, missal: SIP dikeluarkan dengan sudah melewati proses-
proses tertentu.
Penyelesaian Kasus Tn.T dan kelalaian perawat diatas, harus memperhatikan berbagai hal
baik dari segi pasien dan kelurga, perawat secara perorangan, Rumah Sakit sebagai institusi dan
juga bagaimana padangan dari organisasi profesi.
Pasien dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian tersebut,
bila dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan oleh perawat sebelum,
bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan menggunakan alat bantu yang ada.
Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau ketidakdisiplinan dari pasien dan keluarga atas
jatuhnya Tn.T.
Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut kompeten
dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan perudang-undangan yang
berlaku, apa perawat tersebut memang kompete dan telah sesuai melakukan praktek asuhan
keperawatan pada pasien dengan stroke, seperti Tn.T.
Tetapi bagaimanapun perawat harus dapat mempertanggung jawabkan semua bentuk
kelalaian sesuai aturan perundangan yang berlaku.
Bagi pihak Rumah Sakit, harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang
dipekerjakan di Rumah Sakit tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang diperbolehkan oleh
profesi untuk mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS atau ruangan tempat Tn.T dirawat
mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus diperjelas bagaimana Hubungan perawat
sebagai pemberi praktek asuhan keperawatan di dan kedudukan RS terhadap perawat tersebut.
Hak-hak pasien juga dijelaskan pada Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan. Pasal 14 UU tersebut mengungkapkan bahwa setiap orang berhak untuk
mendapatkan kesehatan optimal. Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap pasien berhak atas
informasi, rahasia kedokteran, dan hak opini kedua. Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap pasien
berhak mendapatkan ganti rugi karena kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan.
4.Hukum dalam keperawatan :
1.Apabila perawat melakukan kelalaian tapi tidak membuat cedera dan tidak merugikan
pasien maka masalah akan diselesaikan diserahkan dan ditangani oleh profesinya sendiri, dalam
hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi profesi. Dan sanksi yang akan diberikan
berupa teguran secara lisan dan dilakukan pembinaan dan ditegur secara tertulis dan dilakukan
pembinaan atau perawat tersebut dikeluarkan dari tempat kerjanya.
2.Dan apabila perawat tersebut melakukan kelalaian dan membuat pasien cedera maka
penyelesaiannya dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini sebagai bentuk pelanggaran
pidana atau perdata atau keduannya dan ini membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak
yang berkompeten dibidang hukum. Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni
pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi.
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan
perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata.
Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat
dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut:
B.Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let’s the
master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367
BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam
menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas.
Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka
perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien.
A.Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat
tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsinya, peran maupun
tindakan keperawatan.
B.Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi
tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang
perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari.
Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Tindakan tersebut megakibatkan pasien
mengalami infeksi saluran urine dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
C.Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang
dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien
di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya.
D.Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat
melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien
tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum terlatih.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka
pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal
liability.
Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru
dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut; pertama; suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan
kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010, kedua;
mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan
resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan
untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien,
ketiga; adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa),
ketiga; tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf
seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada
alasan pembenar.
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran
terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang
wajib ditaati perawat yakni:
A.Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.
B.Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8
dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10.
C.Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjabarkan pembahasan dari masalah makalah ini, maka dapat disimpulkan
bahwa malapraktik adalah kelalaian seseorang dalam merawat atau mengobati. Dalam
malapraktik ada dua istilah yaitu kelalaian dan malapraktik sendiri, tetapi keduannya tidak sama
karena malapraktik sifatnya lebih spesifik.
Dalam menangani kasus mala praktik, hukum di Indonesia menggunakan hukum
substantive yaitu hokum pidana, hokum perdata dan hokum administrasi dalam kasus maulana
dalah salah satu koban malapraktik.Dia seorang bayi sehat yang mendapat imunisasi tiga
sekaligus.Setelah imunisasi maulana mengalami penurunan kesehatan yang akhirnya membuat
maulana lumpuh.Orang tua maulana mengguagat tetapi gagal.Dari kasus ini belum ada
penyelesaian ataupun ganti rugi dari pihak kesehatan.
A. Saran
Adapun saran penulis adalah sebagai berikut :
1. Sebagai jasa layanan kesehatan lebih bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan.
2. Sebaiknya lakukanlah layanan kesehatan secara hati-hati dan professional.
3. Sebagai pengguan jasa layanan kesehatan (masyarakat) sebaiknya lebih teliti dalam mengurusi
masalah kesehatan.
1.Kesimpulan
Dengan perubahan paradigma perawat dari yang dulunya vokasional menjadi professional maka
perawat dan mahasiswa sebagai calon perawat harus memahami betapa pentingnya standart
praktik keperawatan sehingga membantu dalam kelancaran memberikan asuhan keperawatan
Dan dengan konsekuensi tersebut perawat dan mahasiswa harus mampu mengembangkan
kemampuan kognitif maupun psikomotornya serta juga mengerti dengan hokum hokum yang
berkaitan dengan pelayanan keperawatan, sehingga bias terhindar dari kesalahan dan dapat
melaksanakan pelayanan sesuai dengan standart, sehingga menghasilkan pelayann yang bermutu.
2.Saran
Perawat dan mahasiswa harus lebih mampu untuk megembangkan dirinya sehingga dapat
memberikan pelayanan yang terbaik serta mampu melaksanakan standart praktik dengan baik
sehingga dengna perubahan paradigma tersebut dan pembagian tugas dan tanggung jaawab
membuat seorang perawaat selalu siap.
DAFTAR PUSTAKA
http://bidankita.com/?p=210
http://chans-ums.blogspot.com/2009/07/malpraktek.html
http://everythingaboutortho.wordpress.com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-sebagai-
seorang-dokter-memahaminya/
http://rob13y.wordpress.com/2010/06/28/salah-operasi-mata-bayi-6-bulan-copot/
http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-29-tahun-2004-tentang-praktik-
kedokteran-t93.htm
DAFTAR PUSTAKA