You are on page 1of 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurban
Kata kurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qa-ru-ba artinya dekat.
Ibadah kurban adalah ibadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu yakni pada hari Idul
Adha yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kurban dengan maksud untuk
mendekatkan diri kepada Allah.1
Dalam istilah fiqih hewan kurban disebut dengan istilah udh-hiyah yang artinya
hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Udh-hiyah adalah
hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya kurban dan hari-
hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.2

B. Hukum Berkurban
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum
berkurban. Mayoritas fuqaha menyatakan bahwa hukum kurban adalah sunah muakkadh
bagi mereka yang mampu. Tetapi Abu Hanifah (seorang ulama Tabi’in) menyatakan
hukumnya wajib.
Sedangkan dalam mazhab Syafi’i mencul pendapat bahwasanya hukum berkurban
adalah sunah ‘ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam
seumur hidup dan sunah kifayah bagi sebuah keluarga besar.
Menurut jumhur ulama kurban bisa dihukumi wajib apabila dalam keadaan dua
hal:
1. Jika telah bernadzar untuk melakukan kurban, sebagaimana hadis,

ِ ‫َم ْن نَ َذ َر َأ ْن ي ُِط ْي َع هَّللا َ فَ ْلي ُِط ْعهُ َو َم ْن نَ َذ َر َأ ْن يَع‬


ِ ‫ْصيَهُ فالَ يَع‬
‫ْص ِه‬
“seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah,
hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk bermaksiat
maka janganlah melakukan maksiat.” (H.R. al-Bukhari)

1
H. Damanhuri, Masail Udhhiyyah Tanya Jawab Seputar Kurban dan Aqiqah, hlm. 12.
2
Ibid.
2. Jika telah berniat untuk melakukan kurban. Menurut Imam Malik, seorang
yang membeli binatang dengan mengatakan, “Ini untuk kurban (hadzihi
udhiyatun)” maka wajib untuk melakukan niat itu.
.
C. Syarat-syarat Kurban
Syarat kurban dapat dibagi menjadi 3 bagian:
1. Syarat Wajib/Sunah Kurban
a. Untuk dijadikan ibadah kurban wajib ataupun sunah disyaratkan dia
mampu melaksanakannya.
b. Orang yang dianggap mampu ialah mereka yang mempunyai harta untuk
membeli binatang kurban yang lebih dari kebutuhannya dan keperluan
mereka yang di bawah tanggungannya untuk hari raya dan hari-hari
tasyrik, karena inilah rentang waktu untuk melakukan kurban tersebut.
c. Kedudukannya sama seperti dalam masalah zakat fitrah, di mana
disyaratkan ia hendaklah merupakan kelebihan dari kebutuhan seseorang
juga keperluan mereka tang ada di bawah tanggungannya pada hari raya
dan juga malamnya.
2. Syarat Sah Kurban
a. Hendaklah binatang yang dikurbankan itu tidak mempunyai cacat yang
menyebabkan kekurangan kuantitas dagingnya ataupun menyebabkan
kemudhorotan terhadap kesehatan.
b. Hendaklah kurban itu pada masa yang tertentu yaitu selepas shalat Hari
Raya Haji pada 10 Dzulhijjah hingga sebelum terbenam matahari pada
akhir hari Tasyrik, yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah.
c. Hendaklah disembelih oleh orang Islam
d. Orang yang berkongsi mengorbankan unta atau lembu tidak lebih dari
tujuh orang di mana masing-masing menyumbang 1/7 bagian.
3. Syarat Mereka yang Dituntut Berkurban
a. Islam.
b. Merdeka.
c. Aqil Baligh.
d. Bermukim atau Musafir.
e. Berkemampuan.

D. Binatang Kurban
1. Jenis Binatang
Binatang yang diperbolehkan untuk berkurban ialah binatang ternak seperti onta,
sapi, kambing atau domba. Boleh berkurban baik jantan atau betina. Sebagian ulama
juga memperbolehkan berkurban dengan kerbau karena diqiyaskan dengan sapi.
Dalil ketentuan binatang ini sesuai firman Allah dalam surah al-Hajj ayat 34,

‫َو لِ ُكلِّ ُأ ّم ٍة َج َع ْلنَا َم ْن َس ًكا لِيَ ْذ ُكرُوا ا ْس َم هّللا ِ َعلَى َما َر َز قَهُ ْم ِم ْن‬
‫بَ ِهي َم ِة اَأل ْن َعام‬.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan
Allah kepada mereka.”
2. Binatang Kurban yang Paling Utama
Tidak ada keterangan atau penjelasan khusus dari Rasulullah saw. mengenai
binatang apa yang paling utama untuk berkurban. Lalu dengan mengabil sebuah
pelajaran dari perintah Rasulullah yang memerintah untuk segera menghadiri salat
Jumat. Bisa disimpulkan bahwasanya hewan yang utama ialah unta, lalu sapi atau
kerbau, setelah itu baru kambing atau domba.3
3. Hewan yang Dilarang dalam Berkurban
Beberapa cacat yang ada pada hewan menyebabkan dilarangnya hewan itu
disembelih untuk berkurban. Larangan itu termaktub dalam hadis Nabi yang
berbunyi:

َ ‫ضا ِح ِّي ْال َع ْو َرا ُء ْالبَي ُِّن َع َو ُرهَا َوال َم ِر‬


ُ‫يضة‬ َ ‫َأرْ بَ ٌع ال تُجْ ِزُئ ِفي اَأل‬
‫يرةُ الَّتِي ال تُ ْنقِي‬ ْ ‫ضهَا َو ْال َعرْ جا َ ُء ْالبَي ُِّن ظَ ْل ُعهَا‬
َ ‫وال َك ِس‬ ُ ‫ْالبَي ُِّن َم َر‬

3
Ibid. hlm. 24
“Ada empat hal yang tidak boleh dalam berkurban, 1) buta sebelah mata, yang
nampak jelas kebutaannya; 2) sakit yang jelas sakitnya; 3) pincang yang nyata-nyata
pincangnya; dan 4) kurus tidak berlemak.” (HR. Abu Dawud)
4. Syarat-Syarat Hewan Kurban
Hewan untuk berkurban hendaklah hewan ternak dari jenis unta, sapi, kambing
baik jantan maupun betina. Hewan-hewan ini disyaratkan sebagai berikut:
a. Unta, harus berusia genap lima tahun (qamariyyah) dengan fisik tidak cacat dan
tidak sakit.
b. Sapi, harus berusia genap dua tahun (qamariyyah) dengan fisik tidak cacat dan
tidak sakit.
c. Kambing, harus berusia genap satu tahun (qamariyyah) atau giginya sudah
tanggal untuk kambing domba/gibas dan dua tahun (qamariyyah) atau giginya
sudah tanggal untuk kambing kacang (jawa).
Apabila seorang laki-laki yang berkurban dan ia mampu. Maka disunahkan untuk
menyembelih hewan kurbannya sendiri. Jika ia hanya mewakilkan maka sunah
menyaksikan penyembelihannya. Sedangkan untuk perempuan lebih utama
mewakilkan pada orang lain.

E. Niat dalam Berkurban


Berkurban merupakan amal ibadah. Maka sudah semestinya didahului oleh niat
untuk membedakannya dengat adat (kebiasaan). Al-Kisani mengatakan: “maksudnya
adalah amal perbuatan untuk kurban, maka berkurban tidaklah memiliki nilai kecuali
dengan niat.” Beliau juga meneruskan “Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
mensyaratkan: hendaknya berniat sebelum menyembelih, karena menyembelih (hewan
kurban) merupakan kurbah. Telah mencukupi bahwa niat adalah di hati. Tidak
disyaratkan melafalkan niat dengan lisan, karena niat adalah amalan hati, dan
pengucapan di lisan merupakan petunjuk bagi amal di hati.”
Bagi orang yang hendak menyembelih hewan kurban disunahkan baginya saat
akan menyembelih untuk membaca:

‫ك هَ َذا َعنِّي‬ َ ‫بِس ِْم هّللا اللَّهُ َّم وهَّللا ُ َأ ْكبَ ُر اَللَّهُ َّم هَ َذا ِم ْن‬
َ َ‫ك و ل‬
“Dengan nama Allah, Allah yanga Maha Besar, ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini
kurban dariku.”
Jika ia menyembelihkan hewan kurban milik orang lain, maka ia membaca:

‫فالن‬
ٍ ‫ك هَ َذا َعن‬ َ ‫بِس ِْم هّللا اللَّهُ َّم وهَّللا ُ َأ ْكبَ ُر اَللَّهُ َّم هَ َذا ِم ْن‬
َ َ‫ك و ل‬
“Dengan nama Allah, Allah yanga Maha Besar, ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini
kurban dariku.” Ditambah:

‫فالن‬
ٍ ِ ‫اَللَّهُ َّم تَقَبَّلْ ِم ْن فال ٍن َو‬
‫آل‬
“Ya Allah, terimalah kurban dari fulan dan keluarga fulan,” (dengan menyebut
namanya)
Dan yang paling wajib dari bacaan ini adalah membaca Basmalah (Bismillah).
Jika ia sudah membacanya, maka sah penyembelihan hewan kurban tersebut walau tidak
menambah bacaan lainnya.4

F. Tata Cara, Etika, dan Waktu Penyembelihan Hewan Kurban


1. Tata Cara Penyembelihan
Penyembelihan hewan kurban secara umum sama halnya dengan penyembelihan
hewan lainnya. Adapun prosesi penyembelihan berdasarkan syariat Islam ialah;
Pertama: Penyembelih merupakan seorang muslim yang berakal sehat atau
sudah tamyiz, memahami ketentuan penyembelihan. Yang berarti orang gila, mabuk,
atau seorang anak yang belum bisa membedakan baik buruk (tamyiz)
sesembelihannya tidak sah. Demikian pula apabila yang menyembelih ialah orang
kafir. Penyembelih juga harus memahami tata cara ketentuan dan tata cara
penyembelihan. Jika diberikan kepada sembarang orang dikhawatirkan
penyembelihannya tidak sah.
Kedua: Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam, sehingga
memungkinkan mengalirkan darah dan terputusnya tenggorokan. Penyembelihan

4
Ibid. hlm. 31
harus dilakukan sesegera mungkin dengan menggunakan pisau yang tajam.
Menyembelih menggunakan alat yang kurang tajam sehingga menyakiti hewan
adalah makruh hukumnya. Tidak boleh pula memotong menggunakan kuku dan gigi.
Ketiga: Memotong tenggorokan atau bagian leher di bawah pangkal kepala
sehingga terputusnya tiga saluran; saluran napas, jalan darah dan janlan makan.
Tidak sah meyembelih hanya dengan melukai bagian luar dengan alat tidak tajam dan
membiarkan hewan mati karena kehabisan darah. Demikian juga tidak sah
menyembelih dengan pelan-pelan sehingga diprakirakan hewan lebih dulu mati
sebelum sempurna penyembeliahannya. Syarat memotong bagian leher tidak berlaku
untuk hewan yang terperosok bagian kepala ke sebuah lubang sehingga tidak
memungkinkan melakukan penyembeliah secara normal. Demikian juga hewan yang
gagal disembelih dan lepas sehingga susah dilakukan penyembelihan. Untuk hal-hal
seperti ini diberlakukan seperti binatang buruan.
Keempat: Menyembelih dengan menyebut nama Allah. Menurut Imam Malik
semua sembelihan yang tidak menyebut nama Allah adalah haram dimakan, demikian
pula pendapat Ibnu Sirin dan golongan ahli kalam. Abu Hanifah berpendapat, jika
tidak disebut nama Allah karena disengaja maka hukumnya haram, tetapi sekiranya
lupa maka tetap halal, dengan syarat yang menyembelih adalah orang yang memenuhi
syarat menurut hukum.
Kelima: Tidak menyebut nama selain Allah. Syarat ini merupakan ijma’. Hal ini
karena masyarakat jahiliyah melakukan taqarrub kepada tuhan-tuhan dan berhala-
berhala mereka dengan melakukan penyembelihan atas namanya. Hal ini barang kali
karena mereka menyembelih sebagai pengorbanan untuk berhala-berhala mereka.
Keenam: Hewan yang akan disembelih masih hidup. Sebelum melakukan
penyembelihan harus dipastikan bahwa hewan yang akan disembelih masih hidup.
Indikasi masih hidup dapat dilihat dari adanya gerakan anggota tubuh atau gerakan
napas. Hal ini penting diperhatikan bagi yang menyembelih menggunakan cara
pemingsanan. Karena apabila hewan telah mati maka dihukumi bangkai dan
penyembelihan yang dilakukan sudah tidak berguna lagi, artinya daging dari hewan
tersebut tetap haram.
Ketujuh: Tidak mematahkan leher atau mengulitinya sebelum hewan benar-
benar mati.
2. Etika Penyembelihan
Disimpulkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menghukumi sebagai
perbuatan sunnah:
a. Disunahkan menyembelih sendiri bagi yang mampu menyembelih, dan tidak
boleh apabila penyembelihan dilakukan oleh selain muslim termasuk ahli kitab.
b. Menghadap ke kiblat saat menyembelih demikian juga hewan sembelihannya.
Untuk ini, posisi hewan dirobohkan, lambung kiri ada di bawah, sedangkan posisi
kepala hewan ada di sebelah kiri penyembelih.
c. Membaca basmalah dan takbir (Bismillahi Allaahu Akbar) kemudian membaca
doa Allahumma hadza minka wa laka anni fataqabbal (bila untuk menyembelih
milik orang lain anni diganti an… nama orang…)
d. Jika tidak bisa menyembelih sendiri hendaknya ikut menghadiri dan menyaksikan
penyembelihannya.
3. Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan kurban adalah sesudah salat Idul Adha sampai dengan
akhir hari Tasyriq tanggal 13 Dzulhijjah. Permulaan pelaksanaan penyembelihan
hewan kurban adalah setelah selesai salat Ied Adha. Kurban tidak sah bila disembelih
sebelum salat Idul Adha.
Dibolehkan untuk menunda penyembelihan hewan kurban, pada hari kedua dan
ketiga setelah hari Ied. Batas akhir penyembelihan adalah hari tasyriq terakhir,
sebagaimana diterangkap dalam hadis dari Jubair bin Muth’im bahwa beliau
Rasulullah saw. Bersabda:

ِ ‫ُكلُّ َأي َِّام التَّ ْش ِر‬


‫يق َذ ْب ٌح‬
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) adalah waktu untuk
menyembelih kurban.” (HR. Ahmad)
Menyembelih kurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari. Menyembelih
pada malam hari hukumnnya sah, kebanyakan ulama menghukumi makruh. Hal ini
karena penyembelihan di malam hari dikhawatirkan penyembelihannya kurang
sempurna karena penerangan tidak mencukupi.

G. Pembagian Daging Kurban


Daging kurban wajib disedekahkan dalam keadaan mentah dan juga boleh
mudhahhi memakan sebagiannya, kecuali kurban itu telah dinadzarkan, maka harus
disedekahkan seluruhnya.
Adapun yang berhak mendapatkan atau menerima daging kurban ialah orang
fakir.
Hasil ijtihad para fuqaha’ tentang pembagian daging kurban setidaknya
menghasilkan tiga pendapat:
1. Disedekahkan seluruhnya kecuali sekedar hanya untuk lauk pauk.
2. Dimakan sendiri separo dan disedekahkan separo.
3. Sepertiga dimakan sendiri, sepertiga dihadiahkan dan sepertiga lagi disedekahkan.
(Kifayatul Akhyar: II/241)
DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri. 2014. Masail Udhhiyyah Tanya Jawab Seputar Qurban dan Aqiaqh. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.

You might also like