You are on page 1of 176

Bunga Rampai

TEKNOLOGI PEMBENIHAN DAN PEMBIBITAN


JABON PUTIH
(Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)

Editor:
Nina Mindawati
Irdika Mansur
Pujo Setio
Editor:
Nina Mindawati, Irdika Mansur dan Pujo Setio

FORDA PRESS, 2015


BUNGA RAMPAI
TEKNOLOGI PEMBENIHAN DAN PEMBIBITAN
JABON PUTIH (Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser)

Editor:
Nina Mindawati, Irdika Mansur, dan Pujo Setio

Desain Sampul dan Tata Letak:


FORDA PRESS

Copyright © 2015 FORDA PRESS dan BPTPTH


Cetakan Pertama, Desember 2015
xii + 160 halaman; 148 x 210 mm

ISBN: 978-602-6961-00-6

Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610
Telp./Fax. +62 251 7520093
Email: fordapress@yahoo.co.id

Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:


BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Jl. Pakuan, Ciheuleut PO Box 105 Bogor, Jawa Barat 16144
Telp. +62 251 8327768
Email: bptpbogor@dephut.go.id

Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih


(Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser) / Editor: N. Mindawati, I. Mansur, P.
Setio -- Bogor : Forda Press, 2015. xii, 160 hlm. ; 21 cm.

ISBN: 978-602-6961-00-6

1. Jabon Putih, Pembenihan, Pembibitan. I. Mindawati, N. II. Mansur, I.


III. Setio, P. IV. Forda Press
634.9
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

KATA PENGANTAR

inat berbagai kalangan masyarakat untuk

M menanam pohon mulai meningkat sejalan dengan


meningkatkan harga kayu. Kondisi ini dipicu oleh
semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam yang
menjadi tumpuan berbagai industri kayu di Indonesia. Jenis
yang cepat tumbuh yang memiliki nilai ekonomi menjadi
pilihan investasi yang menarik dan diharapkan. Selain
sebagai sumber ekonomi, juga mampu memperbaiki kondisi
lingkungan yang saat ini mengalami degradasi cukup berat
sebagai akibat kebakaran lahan dan hutan, pembalakan liar,
dan penebangan berlebihan oleh perusahaan pemegang Hak
Pengusahaan Hutan.

Salah satu jenis cepat tumbuh yang memiliki ekonomi tinggi


dan banyak diminati masyarakat untuk ditanam ialah jabon
putih (Neolamarckia cadamba, sinonim Anthocephalus
cadamba). Kayu jabon dapat digunakan untuk berbagai
produk, seperti konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas,
langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit,
dan pensil. Sekarang ini, beberapa perusahaan di Pulau Jawa
telah menggunakan kayu dari jenis ini untuk produksi kayu
lapis. Beberapa studi pun menyatakan bahwa jabon dapat
digunakan juga sebagai bahan obat-obatan. Mengingat minat
masyarakat yang tinggi dan nilai ekonomi jabon yang cukup
baik, serta berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.707/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Jenis Tanaman
Hutan yang Benihnya Wajib Diambil dari Sumber Benih
Bersertifikat, jenis ini menjadi salah satu prioritas yang
mensyaratkan kegiatan penanaman wajib menggunakan
benih dari sumber benih bersertifikat.

KATA PENGANTAR | iii


Selain itu, untuk meningkatkan keberhasilan penyediaan
bibit, tentunya teknologi penanganan benih dan bibit sangat
diperlukan. Rangkaian teknologi penanganan benih dan
bibit, mulai dari sumber benih, produksi benih,
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, perkecambahan,
penyapihan, pemeliharaan bibit hingga bibit siap tanam
sangat diperlukan dalam kegiatan pengadaan bibit.
Penerapan teknologi pembenihan dan pembibitan yang
memadai tentunya akan meningkatkan keberhasilan
pengadaan bibit yang akan berdampak pada meningkatnya
keberhasilan rehabilitasi lahan dan pembangunan hutan,
serta memperbaiki produktivitas dan kualitas lingkungan.

Penyusunan buku bunga rampai ini diyakini sangat


bermanfaat dan mampu memberikan pedoman bagi berbagai
stakeholders yang berminat mengembangkan jabon putih.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para penulis serta
pihak lain yang terlibat, baik langsung maupun tidak
langsung, dalam penyusunan buku bunga rampai ini.
Semoga buku bunga rampai ini mampu memberikan
wawasan, keterampilan, dan motivasi bagi para pelaku
pembenihan dan pembibitan dalam meningkatkan kualitas
dan kuantitas bibit yang dihasilkannya, terutama untuk jenis
jabon.

Kepala Balai Penelitian


Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan,

Ir. Suhariyanto, M.M.


NIP. 19580425 198703 1 002

iv | KATA PENGANTAR
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………..…………………………. iii


DAFTAR ISI ………………………...……………………… v
DAFTAR TABEL …………………………………………... vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………….. viii
I. PENDAHULUAN ………………………………….. 1
II. JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN
BERMANFAAT (Dede J. Sudrajat) ……………….. 5
A. Pendahuluan …………..…………………………. 5
B. Jabon Putih Sebagai Jenis Populer …………...….. 6
C. Pentingnya Jabon Putih ………………….………. 8
D. Sekilas Tentang Pohon dan Kayu Jabon Putih …… 10
E. Pemanfaatan Kayu Jabon Putih ………………..…. 13
F. Permasalahan Budi Daya Jabon Putih …………… 14
III. KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH,
KERAGAMAN GENETIS, DAN POTENSI
SUMBER BENIH JABON PUTIH (Dede J. Sudrajat) 19
A. Pendahuluan ………………………………..……. 19
B. Sebaran Alami dan Karakteristik Tempat Tumbuh 20
C. Hubungan Karakteristik Tempat Tumbuh dengan
Pertumbuhan ……..……………………….……… 28
D. Kemampuan Adaptasi Jabon Putih terhadap
Cekaman Lingkungan (Kekeringan dan Genangan
Air …………………………………….…..……… 30
E. Keragaman Genetis Jabon Putih ……….....……… 40
F. Pengembangan Sumber Benih ………...….……… 50
IV. BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH (Agus
Astho Pramono dan Evayusvita Rustam) ………..….. 61
A. Pendahuluan …………………………….…….….. 61
B. Morfologi Bunga dan Buah Jabon ……………...... 63
C. Periode Perkembangan Bunga dan Buah ………... 66
D. Musim Buah ……………………………..……….. 70

DAFTAR ISI | v
V. PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS (Eliya Suita
dan Naning Yuniarti) ………………………………… 73
A. Pendahuluan ……………………..……………….. 73
B. Pengumpulan Buah ………..……….…………...… 73
C. Ekstraksi Benih ……………..……………………. 75
D. Sortasi Benih ……………………..………………. 76
VI. PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR
MUTU BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH (Naning
Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi) …………….. 81
A. Pendahuluan ………………………..…………….. 81
B. Perkecambahan ………………………..…………. 82
C. Pembibitan …………………………………..……. 90
D. Standardisasi Mutu Benih dan Bibit Jabon Putih .... 97
VII. KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH
(Nurhasybi dan Naning Yuniarti) ……………………. 107
A. Pendahuluan ………………….…………..………. 107
B. Karakteristik Benih Jabon Putih ……………..…… 108
C. Teknik Penyimpanan Benih Jabon Putih …….…... 112
VIII. HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT
JABON PUTIH (Yulianti dan Tati Suharti) …....……. 119
A. Pendahuluan ……………………..……………….. 119
B. Identifikasi dan Gejala Serangan Hama dan
Penyakit .…………………………………..……… 121
C. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Benih
dan Bibit …………………………………….……. 127
IX. APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN
JABON PUTIH (M. Zanzibar dan Danu) ……………. 137
A. Pendahuluan ……………………………..……….. 137
B. Prakondisi Benih Sebelum Iradiasi ………….….. 138
C. Metode Iradiasi Sinar Gamma, Perkecambahan,
dan Pembibitan ………………………………..…. 139
D. Pengaruh Iradiasi terhadap Kecambah dan Bibit …. 141
E. Penggunaan Klon untuk Perbanyakan Massal
Vegetatif …………………………………….…… 146
X. PENUTUP ……………………………………………. 157

vi | DAFTAR ISI
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

DAFTAR TABEL

Hal.
Tabel 3.1. Karakteristik geoklimat dan hasil analisis tanah
(kedalaman 0–20 cm) pada 11 populasi jabon
putih (Sudrajat et al., 2014) ................................ 25
Tabel 3.2. Satuan kesuburan tanah 11 populasi jabon putih
(Sudrajat, 2015).................................................. 27
Tabel 3.3. Evaluasi indeks sensitivitas (rangkai
sensitivitas) 12 provenansi jabon putih terhadap
cekaman kekeringan dan genangan air. .............. 36
Tabel 3.4. Evaluasi indeks toleransi (rangking toleransi)
12 provenansi jabon putih terhadap cekaman
kekeringan dan genangan ................................... 37
Tabel 3.5. Keragaman, koefisien keragaman populasi dan
lingkungan, serta heritabilitas karakter benih
dan bibit jabon putih .......................................... 42
Tabel 3.6. Keragaman genetis di dalam populasi famili
jabon berdasarkan APLF .................................... 48
Tabel 4.1. Karakteristik morfologi dan periode
perkembangan bunga dan buah jabon putih. ...... 69
Tabel 6.1. Nilai rerata daya kecambah benih jabon putih
berdasarkan taraf pengusangan. ......................... 86
Tabel 7.1. Sifat Benih Ortodoks.......................................... 110
Tabel 7.2. Sifat Benih Rekalsitran ...................................... 111
Tabel 8.1. Kandungan hara makro N, P, dan K, serta pH
media bibit jabon putih ...................................... 133
Tabel 9.1. Jumlah kecambah jabon putih pada berbagai
dosis iradiasi ...................................................... 141
Tabel 9.2. Nilai peubah bibit jabon putih akibat perlakuan
iradiasi sinar gamma pada benih ........................ 142
Tabel 9.3. Komposisi beberapa media kultur jaringan yang
digunakan untuk perbanyakan tanaman ............. 149

DAFTAR TABEL | vii


DAFTAR GAMBAR

Hal.
Gambar 2.1. Penampilan jabon putih (A), jabon merah (B)
dan jabon kuning/gempol (C) .......................... 7
Gambar 2.2. Agroforestry tanaman jabon putih dengan
beberapa tanaman pertanian di BKPH Pare
(KPH Kediri, Jawa Timur): (A) persiapan
lahan di bawah tegakan jabon putih, (B)
tumpangsari tanaman jabon putih dengan
tomat, (C) tumpangsari tanaman jabon putih
dengan nenas, (D) tumpangsari tanaman jabon
putih dengan jagung dan nenas ........................ 10
Gambar 2.3. Perkembangan arsitektur bentuk tajuk (Rouxs
model) jabon putih umur satu hingga empat
tahun (Shukla & Ramakrishnan, 1986) (A)
dan penampilan pohon dewasa (B) .................. 11
Gambar 2.4. Pemanfaatan kayu jabon putih: kayu
pertukangan (A), furniture (B), pulp dan
kertas (C), dan kayu lapis (D) .......................... 14
Gambar 3.1. Populasi jabon putih di hutan sekunder di
sepanjang sempadan Sungai Kapuas,
Kalimantan Tengah .......................................... 22
Gambar 3.2. Hubungan antara umur pohon dengan rerata
diameter (A) dan rerata tinggi (B) tanaman
jabon putih (Krisnawati et al., 2011)................ 28
Gambar 3.3. Persamaan indeks tapak diameter setinggi
dada (A) dan tinggi total jabon putih (B)
(Haneda et al., 2012)........................................ 29
Gambar 3.4. Tanaman jabon yang rentan roboh pada tanah
dengan kedalaman air (water table) dangkal.... 31
Gambar 3.5. Tanaman jabon putih yang baru ditanam
sebagian besar rentan terhadap kekeringan ...... 32

viii | DAFTAR GAMBAR


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 3.6. Keragaman bibit jabon pada perlakuan kontrol


(A), cekaman genangan air (B), cekaman
kekeringan dengan kapasitas lapang air media
50% (C), dan kapasitas lapang air media 25%
(D) ................................................................... 33
Gambar 3.7. Biplot pengelompokan adaptasi populasi
jabon berdasarkan parameter pertumbuhan
bibit dengan menggunakan analisis PCA
(Principal Componen Analysis/Analisis
Komponen Utama)........................................... 38
Gambar 3.8. Pengelompokan populasi jabon berdasarkan
analisis komponen utama (A) dan analisis
klaster (B) menurut morfofisiologi benih dan
bibit.................................................................. 44
Gambar 3.9. Contoh cetak AFLP untuk jabon putih ............. 47
Gambar 3.10. Pola kekerabatan genetis antara famili jabon
dari empat populasi dengan metode UPGMA .. 49
Gambar 4.1. Bunga majemuk jabon putih ............................ 63
Gambar 4.2. Bunga tunggal dan struktur bunga jabon putih. 64
Gambar 4.3. Buah semu majemuk jabon putih ..................... 65
Gambar 4.4. Buah majemuk (A), buah tungal (B), dan
ruang yang berisi benih (C).............................. 66
Gambar 4.5. Tahapan perkembangan bunga dan buah ......... 67
Gambar 4.6. Tahap perkembangan benih di dalam buah ...... 68
Gambar 5.1. Buah jabon putih yang sudah masak ................ 75
Gambar 5.2. Ukuran saringan untuk benih jabon putih ........ 77
Gambar 5.3. Proses sortasi (A) dan hasil sortasi (B) ............ 78
Gambar 5.4. Benih jabon putih (A) dan benih jabon putih
dilihat dengan mikroskop (B) .......................... 79
Gambar 6.1. Bak kecambah ukuran 15x20 cm ..................... 85
Gambar 6.2. Persiapan media tabur ...................................... 87
Gambar 6.3. Cara penaburan benih jabon putih.................... 88
Gambar 6.4. Cara penutupan plastik transparan di atas bak
kecambah ......................................................... 88
Gambar 6.5. Pengamatan perkecambahan jabon putih ......... 88

DAFTAR GAMBAR | ix
Gambar 6.6. Kecambah normal jabon putih ......................... 89
Gambar 6.7. Perkecambahan di media pasir : arang sekam
(1:1) ................................................................. 89
Gambar 6.8. Polycup (A) dan bibit jabon dengan polycup
(B).................................................................... 91
Gambar 6.9. Semai yang telah disapih ................................. 92
Gambar 6.10. Rak tempat pemeliharaan bibit ........................ 93
Gambar 6.11. Bibit jabon siap tanam (A) dan kekompakan
media dan perakaran pada bibit jabon siap
tanam (B) ......................................................... 96
Gambar 6.12. Korelasi antara tinggi bibit jabon putih di
persemaian dan indeks kekokohan dengan
tinggi bibit di lapangan (tinggi uji lapangan) ... 100
Gambar 6.13. Korelasi antara indeks kekokohan dengan
persen hidup bibit, dan berat basah akar
dengan tinggi bibit jabon putih di lapangan
(tinggi uji lapangan) ......................................... 100
Gambar 8.1. Cendawan terbawa benih: cendawan
Fusarium sp (A), cendawan Aspergillus sp
(B), dan cendawan Rhizopus sp (C) ................. 122
Gambar 8.2. Hama ulat daun pada tanaman jabon putih
umur enam bulan: Attacus atlas (A) dan ulat
tanduk (B dan C) .............................................. 123
Gambar 8.3. Hama serangga dari Ordo Hemiptera (A dan
B) pada tanaman jabon putih umur enam
bulan di lapangan ............................................. 123
Gambar 8.4. Gejala serangan hama kepik pada tanaman
jabon putih umur enam bulan (A dan B) .......... 125
Gambar 8.5. Gejala serangan ulat keket tanaman jabon
putih umur enam bulan (A) dan serangga
pengisap seperti semut menyebabkan daun
mengering (B) .................................................. 125
Gambar 8.6. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon pada
berbagai perlakuan ........................................... 132
Gambar 8.7. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon putih
umur enam bulan pada berbagai perlakuan ...... 132
x | DAFTAR GAMBAR
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 9.1. Pengemasan benih praradiasi ........................... 139


Gambar 9.2. Gamma chamber 4000 A tipe Irpasena ............ 140
Gambar 9.3. Pertumbuhan bibit jabon putih pada berbagai
dosis iradiasi. Kontrol dan 10 Gy (A), kontrol
dan 15 Gy (B), kontrol dan 20 Gy (C), kontrol
dan 40 Gy (D), kontrol dan 80 Gy (E), kontrol
dan 100 Gy (F) ................................................. 143
Gambar 9.4. Bentuk pertumbuhan bibit dari benih
teriradiasi (0–100 Gy) yang berbentuk
sigmoid dan sistem perakaran bibit jabon
putih pada umur dua bulan di persemaian.
[pertumbuhan yang tinggi dan bentuk
perakaran yang kokoh dan kompak diperoleh
pada dosis 10–20 Gy] ...................................... 144
Gambar 9.5. Penampilan stomata permukaan daun atas dan
bawah jabon putih akibat perlakuan iradiasi
sinar gamma..................................................... 145
Gambar 9.6. Perbanyakan kultur jaringan jabon:
perbanyakan tunas (A), pembentukan akar (B
dan C), aklimatisasi bibit jabon (D) ................. 148
Gambar 9.7. Pertumbuhan stek jabon: bahan stek (A),
rumah perakaran stek (B), stek umur dua
bulan setelah tanam (C), dan kondisi
perakaran (D) ................................................... 153

DAFTAR GAMBAR | xi
PENDAHULUAN

apasitas industri pengolahan kayu nasional pada

K tahun 2013 mencapai 70 juta m 3 per tahun yang


terdiri dari 38,8 juta m3 kapasitas industri tunggal
dan 31,2 juta m3 kapasitas industri terintegrasi. Realisasi
penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60,4 juta
m3 per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman
industri dan hutan alam sebesar 23,2 juta m3 (38,4%),
sedangkan sebagian besar sisanya berasal dari Perum
Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang sah, perkebunan dan
impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan, 2014).
Data tersebut menunjukan adanya kekurangan bahan baku
untuk memenuhi kapasitas industri terpasang dan bukan
tidak mungkin bila produksi kayu bulat dalam negeri
menurun maka volume impor berpotensi semakin tinggi.

Untuk meningkatkan produksi kayu, penerapan silvikultur


intensif dengan penggunaan bibit unggul, manipulasi tapak,
dan pengendalian hama dan penyakit sangat mutlak
dilakukan. Selain itu, pemilihan jenis-jenis baru untuk
diintroduksikan ke dalam sistem budi daya masih sangat
terbuka lebar mengingat Indonesia mempunyai pilihan jenis
yang sangat banyak. Jenis-jenis potensial tersebut dapat
menjadi alternatif untuk mensubstitusi beberapa jenis
eksotik atau jenis-jenis lokal yang telah didomestikasi lebih
dahulu yang pada saat ini mendapat ancaman hama dan
penyakit yang serius, seperti sengon dan akasia.
Pengembangan jenis-jenis alternatif juga dapat
meningkatkan keberhasilan program penanaman dan

PENDAHULUAN | 1
rehabilitasi lahan karena tersedia pilihan jenis yang memiliki
kesesuaian dengan tipe tapak yang menjadi objek kegiatan
penanaman dan rehabilitasi lahan.

Jabon putih (Neolamarkcia cadamba [Roxb.] Bosser,


sinonim Anthocephalus cadamba [Roxb.] Miq.,
Anthocephalus chinensis Lamk.; famili Rubiaceae)
merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang
cepat tumbuh dan multiguna. Jabon putih dapat digunakan
untuk kayu lapis, konstruksi, pulp, papan serat, papan
partikel (Soerianegara & Lemmens, 1993; Kartawinata,
1994) dan bahan obat-obatan seperti penghilang rasa sakit,
radang, penurun demam (Modal et al., 2009), antimikroba
(Acharyya et al., 2011) dan antibakteri (Mishra & Siddique,
2011). Menurut Wong (1989), jabon putih pertama kali
dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1933. Pada saat ini,
jabon putih sudah banyak ditanam dalam skala besar di
beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Riau dan
Kalimantan Tengah, serta penanaman juga dalam skala kecil
dalam bentuk hutan rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan
Selatan (Nair & Sumardi, 2000; Kallio et al., 2011;
Krisnawati et al., 2011; Irawan & Purwanto, 2014).

Intensitas budi daya jabon putih yang meningkat


memerlukan dukungan penyediaan benih dan bibit yang
bermutu. Penggunaan benih bermutu, baik secara genetis,
fisis dan fisiologis merupakan salah satu jaminan untuk
meningkatkan keberhasilan pembangunan hutan, selain
tentunya perlu kesesuaian lahan, teknik silvikultur yang
tepat, dan rekayasa sosial yang memadai. Benih merupakan
jasad hidup yang membawa sifat-sifat yang akan
ditampilkan dalam bentuk pertumbuhan tanaman sewaktu
ditumbuhkan pada kondisi yang optimal. Untuk
mendapatkan benih bermutu diperlukan pemilihan karakter-
karakter yang baik yang diharapkan dapat dilakukan melalui

2 | PENDAHULUAN
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

serangkaian kegiatan pemuliaan. Selanjutnya, hasil ini


dimanifestasikan dalam bentuk sumber benih, kemudian
benih-benih dari sumber benih tersebut perlu penanganan
yang optimal untuk menjaga kualitas fisis dan fisiologisnya.
Serangkaian teknik penanganan benih dan bibit diperlukan
mulai dari pengumpulan benih hingga pembibitan untuk
mendapatkan mutu benih dan bibit yang baik.

Pada saat ini, informasi yang menyeluruh mengenai


pembenihan dan pembibitan jabon putih masih terbatas.
Minimnya informasi yang memadai mengenai teknologi
pembenihan dan pembibitan jabon putih menyebabkan
rendahnya kualitas benih dan bibit. Bahkan, banyak
penyedia benih yang tidak bisa membedakan benih dan
kotoran sehingga kemurnian benih sangat rendah dan daya
kecambah per berat benihnya pun sangat rendah. Begitu pula
dengan teknik ekstraksi yang sering kali menurunkan daya
berkecambah benih karena terlalu lama direndam; atau
teknik pengeringan yang belum sempurna sehingga daya
simpannya rendah; atau pengeringan yang berlebihan di
bawah sinar matahari yang berakibat menurunnya daya
berkecambah benih. Begitu pula halnya dengan pembibitan
terutama dalam proses penaburan hingga semai siap sapih
yang memerlukan waktu cukup lama dan teknik penyapihan
yang sering mengalami kegagalan dalam pembuatan bibit.

Beberapa buku tentang jabon putih telah banyak ditulis,


namun masih belum menyampaikan data-data hasil
penelitian yang akurat tentang tempat tumbuh, pembenihan,
dan pembibitan. Beberapa informasi karakteristik dan
penanganan benih masih belum disampaikan secara tepat,
seperti habitat alami dan daya adaptasinya, cara seleksi
dengan penyaringan, karakter benih, pengeringan dan daya
simpannya, hingga cara penaburan dan pembibitannya.
Dengan demikian, review hasil-hasil penelitian pembenihan

PENDAHULUAN | 3
dan pembibitan dalam bentuk bunga rampai untuk jenis
jabon putih akan membantu menyediakan referensi yang
ideal untuk mengatasi permasalahan pembenihan dan
pembibitan di lapangan.

Bunga rampai ini terdiri dari sepuluh bab yang memuat


beberapa data dan informasi umum hingga khusus untuk
pembenihan dan pembibitan. Bab I memuat pendahuluan
yang merupakan gambaran umum jabon putih, khususnya
permasalahan dalam pengadaan benih dan bibit berkualitas.
Bab II menjelaskan jabon putih dalam hubungannya dengan
nama daerah, karakteristik morfologi, pola pertumbuhan,
kegunaan, dan permasalahan dalam budi dayanya. Bab III
mendeskripsikan sebaran tumbuh, keragaman genetis, dan
daya adaptasi jabon putih terhadap cekaman, khususnya
kekeringan dan genangan, serta potensi sumber
pengembangan sumber benih. Bab IV mengulas biologi
reproduksi antara lain morfologi bunga, morfologi buah,
periode perkembangan bunga dan buah, dan musim buah.
Bab V menyampaikan bagaimana penyiapan benih
berkualitas, sedangkan Bab VI menerangkan bagaimana
perkecambahan, pembibitan dan standar mutu benih dan
bibitnya. Bab VII menjelaskan karakteristik benih dan cara
penyimpanannya. Bab VIII memuat hasil-hasil penelitian
untuk aspek hama dan penyakit pada benih dan bibit jabon
putih. Selanjutnya, Bab IX memberikan gambaran mengenai
aplikasi sinar gamma untuk meningkatkan produktivitas
tanaman jabon putih. Pada bab ini juga disampaikan
bagaimana teknik perbanyakan jabon putih secara vegetatif
mulai dari kultur jaringan hingga stek sebagai pendukung
untuk perbanyakan klon-klon jabon putih yang unggul.
Selanjutnya, buku ini ditutup dengan Bab X yang mengulas
kembali pentingnya penggunaan teknologi pembenihan dan
pembibitan jabon putih untuk menghasilkan kualitas bibit
yang baik dan produktivitas pertumbuhannya.

4 | PENDAHULUAN
JABON PUTIH: JENIS POPULER,
PENTING, DAN BERMANFAAT
Dede J. Sudrajat

A. Pendahuluan

ndonesia merupakan negara megadiversity yang

I memiliki berbagai jenis flora dan fauna. Sebagian


besar jenis-jenis flora dan fauna tersebut masih belum
dimanfaatkan secara optimal. Namun, sebagian tumbuhan
hutan berkayu telah lama dieksploitasi dari hutan-hutan alam
Indonesia dan hingga saat ini keberadaan jenis-jenis kayu
yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ulin, merbau, eboni,
ramin, dan meranti sudah mulai sulit diperoleh. Untuk
mengatasi kekurangan bahan baku kayu dan sekaligus
melindungi kawasan hutan alam dari kerusakan yang lebih
parah, pembangunan hutan tanaman dengan jenis-jenis cepat
tumbuh harus terus ditingkatkan.

Awalnya, pembangunan hutan tanaman lebih cenderung


memilih jenis-jenis yang sebagian besar materi genetisnya
didatangkan dari luar negeri, seperti Acacia spp., Eucalyptus
spp., dan Gmelina arborea. Namun, jenis-jenis tersebut
setelah ditanam dalam skala besar mulai memperlihatkan
permasalahan, seperti rentan terhadap serangan hama dan
penyakit, berdampak negatif terhadap lingkungan, dan
cenderung bersifat invasif.

Upaya untuk mencari jenis lokal yang unggul agar mampu


memasok industri perkayuan terus dilakukan dengan
JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 5
menguji beberapa jenis potensial untuk didomestikasi lebih
lanjut. Upaya tersebut memacu pergeseran paradigma dalam
pemilihan jenis-jenis untuk ditanam, baik di hutan tanaman
industri maupun hutan rakyat, yang mana jenis-jenis lokal
mulai menjadi pilihan dengan intensitas penanaman yang
mulai meningkat. Salah satu jenis yang banyak diminati
masyarakat untuk ditanam ialah jabon putih (Neolamarckia
cadamba). Jenis ini menjadi jenis yang populer dan penting
karena cepat tumbuh, memiliki banyak manfaat, dan mudah
dibudidayakan sehingga banyak diminati untuk ditanam,
baik dalam skala kecil maupun skala besar.

B. Jabon Putih Sebagai Jenis Populer

Jabon putih dikenal dengan nama ilmiah Neolamarckia


cadamba (Roxb.) Bosser, dan mempunyai beberapa
sinonim, seperti Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.,
Anthocephalus chinensis (Lamk.), Anthocephalus indicus
var. glabrescens, Nuclea cadamba Roxb., Neonauclea
megaphylla S.More, Samama cadamba (Roxb.) Kuntze dan
Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kutz (www.theplantlist.
org). Jenis ini termasuk dalam famili Rubiaceae. Nama
jabon putih sendiri dimaksudkan untuk membedakan dengan
jenis jabon lainnya yang memiliki penampilan hampir sama,
yaitu jabon merah atau samama (Neolamarckia macrophylla
[Roxb.] Bosser, sinonim Anthocephalus macrophyllus
[Roxb.] Havil, Nuclea macrophylla Roxb.). Selain itu,
terdapat jenis lain dari famili Rubiaceae yang
penampilannya hampir sama, yaitu gempol atau longida atau
sebagian orang menyebutnya jabon kuning (Nauclea
orientalis [L.] L) (Gambar 2.1). Ketiga jenis dari famili
yang sama ini mulai mendapatkan perhatian untuk
dibudidayakan, namun jabon putih lebih dulu populer
daripada kedua jenis tersebut.

6 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

A B C

Gambar 2.1. Penampilan jabon putih (A), jabon merah (B), dan
jabon kuning/gempol (C)

Jabon putih merupakan salah satu jenis potensial asli


Indonesia yang cepat tumbuh dan multiguna. Di Indonesia,
jenis ini dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti
galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain,
kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian,
serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan,
kelampaian (Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak,
tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua, suge
manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi); gumpayan,
kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire,
masarambi (Papua) (Martawijaya et al., 1989). Nama lokal
di negara lain di antaranya ialah bangkal, kaatoan bangkal
(Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma);
thkoow (Kamboja); kadam, cadamba, common burr-flower
tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos); kelempayan, laran,
selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan
bangkal (Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand)
(Soerianegara & Lemmen, 1993).

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 7


Menurut Wong (1989), jabon putih pertama kali
dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1933. Pada saat ini,
jabon putih sudah banyak ditanam dalam skala besar di
beberapa daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan
Kalimantan Tengah dan juga dalam skala kecil dalam bentuk
hutan rakyat terutama di Jawa dan Kalimantan Selatan (Nair
& Sumardi, 2000; Kallio et al., 2011; Krisnawati et al.,
2011; Irawan & Purwanto, 2014). Jenis ini semakin populer
dengan maraknya kegiatan seminar, pelatihan budi daya, dan
penerbitan buku-buku khusus mengenai budi daya dan
peluang bisnis tanaman jabon (Mulyana, 2010; Mansur &
Tuheteru, 2010; Kallio et al., 2011; Krisnawati et al., 2011).

C. Pentingnya Jabon Putih

Jabon putih sebagai jenis multiguna dan potensial banyak


diminati masyarakat. Hal ini karena pertumbuhannya yang
cepat, kemampuan beradaptasi yang baik, dan nilai ekonomi
yang tinggi. Selain sebagai penghasil kayu, pohon jabon
juga dapat berfungsi sebagai peneduh dan hiasan di tepian
jalan dan desa-desa, serta pelindung bagi tanaman lain pada
sistem wanatani. Jabon juga digunakan untuk program
reboisasi, penghijauan, rehabilitasi lahan kritis, dan
reklamasi lahan karena kemampuan beradaptasi yang cukup
baik pada berbagai tipe tapak (Mansur & Tuheteru, 2010).
Penanaman jabon juga dapat memperbaiki sifat-sifat fisika
dan kimia tanah di bawah tegakan karena serasah cabang,
ranting, dan daun-daun yang lebar dan besar mampu
meningkatkan kandungan karbon organik tanah, kapasitas
tukar kation, dan nutrisi tanaman (Orwa et al., 2009).

Bagian-bagian tanaman jabon putih, seperti daun, akar dan


kulit batang, dilaporkan mempunyai khasiat farmakologi
(Joker, 2000; Patel & Kumar, 2008; Acharyya et al., 2010).

8 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Secara ethnomedik, jabon putih digunakan untuk mengobati


demam, anemia, keluhan buang air kecil, tekanan darah
tinggi, penyakit kulit, lepra, disentri, dan untuk memperbaiki
sperma (Chandel et al., 2011). Di India, bagian-bagian
tanaman jabon putih telah diteliti untuk berbagai manfaat
dan bahan obat-obatan, seperti penghilang rasa sakit, radang,
penurun demam (Modal et al., 2009), antimikroba
(Acharyya et al., 2011), dan antibakteri (Mishra & Siddique,
2011). Ekstrak dari daun jabon dapat berfungsi sebagai obat
kumur (Soerianegara & Lemmens, 1993) dan daun segarnya
dapat digunakan sebagai pakan ternak atau kadang-kadang
digunakan sebagai piring dan serbet alami. Buah jabon dapat
dijadikan bahan antibakteri (Mishra & Siddique, 2011).
Kulit kayu yang kering digunakan sebagai bahan tonik dan
obat untuk menurunkan demam. Bagian akarnya dapat
dijadikan bahan antimikroba, pewarna kuning dari kulit akar
berfungsi sebagai tanin (Soerianegara & Lemmens, 1993).

Jabon putih dapat dipanen pada umur 5 tahun dengan


diameter dapat mencapai 30-40 cm (Mansur & Tuheteru,
2010). Selain itu, jenis ini mudah tumbuh dan relatif lebih
tahan serangan penyakit dibandingkan dengan jenis cepat
tumbuh lainnya yang direkomendasikan untuk hutan
tanaman dan hutan rakyat, seperti sengon (Paraserianthes
falcataria) dan gmelina (Gmelina arborea) (Irawan &
Purwanto, 2014). Jabon putih menjadi jenis yang penting
sebagai penghasil kayu ketika produksi kayu dari hutan alam
semakin menurun.

Jabon putih mempunyai pengaruh naungan yang kecil dan


tidak berpengaruh alelopatik terhadap tanaman pertanian
sehingga jenis ini cocok untuk tujuan agroforestry. Selain
itu, laju dekomposisi serasah jabon putih sangat cepat
sehingga lebih sesuai untuk sistem agroforestry (Bijalwan et
al., 2014). Di India, jabon putih dijadikan jenis yang

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 9


potensial sebagai tanaman hutan pada sistem agroforesty,
sedangkan di Indonesia, uji coba sistem agroforestry jabon
putih dengan beberapa jenis tanaman pertanian juga telah
dilakukan, seperti di BKPH Pare (KPH Kediri, Jawa Timur).

A B

C D

Gambar 2.2. Agroforesty tanaman jabon putih dengan beberapa


tanaman pertanian di BKPH Pare (KPH Kediri, Jawa Timur): (A)
persiapan lahan di bawah tegakan jabon putih, (B) tumpangsari
tanaman jabon putih dengan tomat, (C) tumpangsari tanaman
jabon putih dengan nenas, (D) tumpangsari tanaman jabon putih
dengan jagung dan nenas

D. Sekilas Tentang Pohon dan Kayu Jabon Putih

Jabon putih termasuk pohon berukuran besar dengan batang


lurus dan silindris, serta memiliki tajuk tinggi seperti payung
dengan sistem percabangan yang khas mendatar (Gambar
2.3) (Shukla & Ramakrishnan, 1986). Tinggi pohon dapat
10 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

mencapai 45 m dengan diameter batang 100–160 cm dan


kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Kulit
pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit
pohon tua bertekstur kasar dan sedikit beralur. Daun
menempel pada batang utama, berwarna hijau mengilap,
berpasangan, dan berbentuk oval-lonjong (berukuran 15–50
cm x 8–25 cm). Daun pada pohon muda yang diberi pupuk
umumnya lebih lebar dengan posisi lebih rendah di bagian
pangkal dan meruncing di bagian puncak.

A B

Gambar 2.3. Perkembangan arsitektur bentuk tajuk (Rouxs


model) jabon putih umur satu hingga empat tahun (Shukla &
Ramakrishnan, 1986) (A), dan penampilan pohon dewasa (B)

Jabon putih termasuk jenis kayu daun lebar yang lunak


(ringan). Kayu teras berwarna putih kekuningan sampai

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 11


kuning terang; tidak dapat dibedakan dengan jelas warnanya
dari kayu gubal (Martawijaya et al., 1989). Tekstur kayu
agak halus hingga agak kasar, berserat lurus, kurang
mengilat dan tidak berbau. Kerapatan kayunya berkisar 0,55
g/cm3 pada kadar air kering udara 15%. Nilai modulus of
elasticity (MOE) dan modulus of rupture (MOR) kayu jabon
ialah 42.850 dan 124, dan dapat dikelompokkan ke dalam
kelas kuat IV dan kelas awet III–V (Abdurachman & Hadjib,
2009). Perlakuan resin (phenol formaldehyde, melamine
formaldehyde, dan urea formaldehyde) pada kayu jabon
dapat meningkatkan kekuatan (MOR), stiffness (MOE), dan
ketahanan terhadap rayap (Odontotermis spp.) (Deka et al.,
2002). Kayu jabon putih juga memiliki keteguhan tarik dan
retak yang cukup baik, sedangkan kekuatan sobek dan
bilangan kappa-nya kurang baik. Namun demikian, kekuatan
sobek dan bilangan kappa tersebut dapat diperbaiki melalui
pengolahan kayu jabon putih dengan meningkatkan kondisi
pemasakannya (Aprianis & Junaedi, 2009).

Pada skala industri, jabon putih banyak digunakan untuk


industri kayu lapis, khususnya untuk bagian tengah kayu
lapis (core). Beberapa industri telah menggunakan kayu
jabon putih sebagai pengganti sengon yang saat ini
mengalami penurunan produksi sebagai akibat serangan
boktor dan karak puru yang cukup parah terutama di sentra-
sentra tanaman sengon, seperti di Kediri (Jawa Timur).
Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan jabon putih
dibandingkan dengan sengon, khususnya untuk industri kayu
lapis, yang mana kayu jabon putih lebih cepat terserang
jamur blue stain dan memiliki emisi perekat yang tinggi.
Selain itu, terdapat mata kayu yang memengaruhi kualitas
veneer sehingga menambah volume pekerjaan untuk
menambah bekas mata kayu sebelum dijadikan produk kayu
lapis.

12 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

E. Pemanfaatan Kayu Jabon Putih

Kayu jabon putih mudah dikerjakan, baik dengan tangan


maupun mesin, mudah dipotong dan diketam, serta
menghasilkan permukaan kayu yang halus. Kayunya juga
mudah dipaku, dibor, dan dilem. Namun demikian, kayu
jabon putih dinilai tidak tahan lama. Hasil uji kayu di
Indonesia menunjukan bahwa rata-rata kayu jabon putih
dapat tahan kurang dari 1,5 tahun jika dibiarkan di atas
tanah. Kayu jabon putih termasuk mudah dikeringkan
dengan sedikit atau tanpa cacat. Untuk mencegah jamur
(noda) biru pada permukaan kayu, kayu harus segera diolah
setelah pemanenan atau harus diberi perlakuan seperti
pengeringan dalam waktu 48 jam atau direndam dalam air
(Soerianegara & Lemmens, 1993).

Kayu jabon putih dapat digunakan untuk bahan baku kayu


lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit,
kotak, peti, mainan, ukiran, korek api, sumpit dan pensil
(Soerianegara & Lemmens, 1993). Kayu jabon putih juga
dapat dipakai untuk bahan pembuatan sampan dan perkakas
rumah sederhana jika dikeringkan dengan benar. Kayunya
juga dapat digunakan untuk lapisan inti atau lapisan
permukaan veneer (kayu lapis) dan cocok pula untuk bahan
papan partikel, papan semen dan papan blok. Pulp kadang-
kadang dicampur dengan jenis kayu lain [umumnya kayu
yang berserat panjang]. Penambahan anthraquinone and 2-
methylanthraquinone pada kraft pulping juga dapat
meningkatkan fiber yang dihasilkan (0.5–2.7% on chips) dan
memperbaiki delignifikasi (lignin vs. carbohydrate
removal). Peningkatan hasil pulp yang disebabkan oleh
penambahan anthraquinone and 2-methylanthraquinone
lebih nyata pada dosis basa aktif rendah (Biswas et al.,
2011).

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 13


A B

C D

Gambar 2.4. Pemanfaatan kayu jabon putih: kayu pertukangan


(A), furniture (B), pulp dan kertas (C), dan kayu lapis (D)

F. Pemasalahan Budi Daya Jabon Putih

Menurut Sunthornhao dan Hoamuangkaew (2010) yang


meneliti kelayakan investasi jabon putih di Thailand, budi
daya jabon belum menjadi bisnis yang viable karena kurang
upaya pengembangan industri yang menghasilkan produk
akhir yang mampu menciptakan pasar bagi kayu jabon putih.

14 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Kondisi tersebut serupa dengan di Indonesia yang mana budi


daya perlu dukungan industri yang mampu menciptakan
pasar. Permasalahan budi daya jabon putih antara lain
praktik budi daya jabon putih masih sangat bervariasi dan
belum mengindahkan penerapan silvikultur yang tepat,
seperti jarak tanam yang terlalu rapat dan pemupukan
(Krisnawati et al., 2011). Selain itu, keterbatasan
pengetahuan dan keterampilan dalam perbanyakan tanaman,
seperti penanganan benih (ekstraksi, pengeringan, dan
penyimpanan) dan pembibitan (penaburan benih,
penyapihan, dan pemeliharaan bibit) masih menjadi kendala
dalam budi daya jabon putih (Irawan & Purwanto, 2014).

Daftar Pustaka

Abdurachman & Hadjib, N. 2009. Mutu beberapa jenis kayu


tanaman untuk bahan bangunan berdasarkan sifat
mekanisnya. Prosiding PPI Standardisasi 2009-
Jakarta, 19 November 2009. Badan Standardisasi
Nasional. Jakarta.
Acharyya, S., Rathore, D.S., Kumar, H.K.S. & Panda, N.
2011. Screening of Anthocephalus cadamba (Roxb.)
Miq. root for antimicrobial and anthelmintic activities.
Int. J. Res. Pharmaceut. Biomed. Sci., 2(1): 297–300.
Acharyya, S., Dash, G.K, Modal, S. & Dash, S.K. 2010.
Studies on glucose lowering efficacy of the
Anthocephallus cadamba (Roxb.) Miq. root. Int. J.
Pharm. Biosci., 81: 137–142.
Aprianis, Y. & Junaedi A. 2009. Jabon (Anthocephalus
cadamba Miq) sebagai bahan baku pulp. Mitra Hutan
Tanaman, 4(1): 1–8.

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 15


Bijalwan, A., Manmohan, J. R., Dobriyal & Bhartiya, J. K.
2014. A potential fast growing tree for agroforestry
and carbon sequestration in India: Anthocephalus
cadamba (Roxb.) Miq.. American Journal of
Agriculture and Forestry, 2(6): 296–301. doi:
10.11648/j.ajaf.20140206.21
Biswas, D., Misbahuddin, M., Roy, U., Francis, R.C. &
Bose, S.K. 2011. Effect of additives on fiber yield
improvement for kraft pulping of kadam
(Anthocephalus chinensis). Bioresource Tech., 102:
1284–1288.
Chandel, M., Kaur, S. & Kumar, S. 2011. Studies on the
genoprotective/antioxidant potential of methanol
extract of Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. J.
Med. Plants Res., 5(19): 4764–4770.
Deka, M., Saikia, C.N. & Baruah, K.K. 2002. Studies on
thermal degradation and termite resistant properties of
chemically modified wood. Bioresource Tech., 84:
151–157.
Irawan, U.S. & Purwanto, E. 2014. White jabon
(Anthocephalus cadamba) and red jabon
(Anthocephalus macrophyllus) for community land
rehabilitation: Improving local provagation efforts.
Agricul. Sci., 2(3): 36–45.
Joker, D. 2000. Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser
(Anthocephalus chinensis (Lam.) A. Rich. Ex Walp.).
Seed Leaflet No. 17, Danida Forest Seed Center.
Denmark.
Kallio, M.H., Krisnawati, H., Rohadi, D. & Kanninen, M.
2011. Mahogany and kadam planting farmers in South
Kalimantan: The link between silvicultural activity
and stand quality. Small-scale Forestry, 10: 115–132.

16 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Krisnawati, H., Kallio, M. & Kanninen, M. 2011.


Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan
produktivitas. Bogor (ID): Center for International
Forestry Research, Bogor.
Mansur, I. & Tuheteru, D. 2010. Kayu jabon. Penebar
Swadaya.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira,
S.A. & Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan Bogor.
Mishra, R.P. & Siddique, L. 2011. Antibacterial properties
of Anthocephalus cadamba fruits. Asian J. Plant Sci.
Res., 1(2): 1–7.
Mondal, S., Dash, G.K. & Acharyya, S. 2009. Analgesic,
anti-inflammatory and antipyretic studies of
Neolamarckia cadamba barks. J. Pharm. Res., 2(6):
1133–1136.
Mulyana, D., Asmarahman, C. & Fahmi, I. 2011. Panduan
lengkap bisnis dan bertanam kayu jabon. Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Nair, K.S.S. & Sumardi. 2000. Insect pests and diseases of
major plantation species. In Nair KSS, editor. Insect
pests and diseases in Indonesian forests: an
assessment of the major treats, research efforts and
literature. Bogor (ID): Center for International
Forestry Research.
Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R. & Anthony,
S. 2009. Agroforestry tree database: a tree reference
and selection guide version 4.0.
http://www.worldagroforestry.org /treedb2/AFTPDFS
/Anthocephalus_cadamba. pdf. diakses 12 Juli 2011.

JABON PUTIH: JENIS POPULER, PENTING, DAN BERMANFAAT | 17


Patel, D. & Kumar, V. 2008. Pharmacognostical studies of
Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser leaf. Int. J.
Green Pharm., 2: 26–27.
Shukla, R.P. & Ramakrishnan, P.S. 1986. Architecture and
growth strategies of tropical trees in relation to
successional status. J. Ecol., 74: 33–46.
Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. 1993. Plant
resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major
commercial timbers. Wageningen (NL): Pudoc
Scientific Publishers.
Sunthornhao, P. & Hoamuangkaew, W. 2010. Marketing
potential of mai taku (Anthocephalus chinensis) and
investment feasibility of forest plantations. Kasetsart
J. (Soc. Sci.), 31: 445–457.
Wong, K.M. 1989. Rubiaceae. In: Ng FSP, Editor. Tree
flora of Malaya: A manual for foresters. FRIM and
Ministry of Primary Industries, Malaysia. 4: 381–382.

18 | Dede J. Sudrajat
KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH,
KERAGAMAN GENETIS, DAN POTENSI
SUMBER BENIH JABON PUTIH
Dede J. Sudrajat

A. Pendahuluan

K eberhasilan budi daya suatu jenis tanaman hutan


sangat tergantung dari kesesuaian jenis dengan
tapak atau tempat tumbuhnya, teknik silvikultur
yang tepat [termasuk di dalamnya pengendalian hama dan
penyakit], ketersediaan benih yang bermutu, dan tata kelola
sosial lainnya yang berhubungan dengan kelembagaan dan
pemasaran pasca panen. Tapak atau tempat tumbuh
merupakan informasi penting yang sangat diperlukan pada
awal kegiatan penanaman. Informasi kondisi tapak pada
habitat alami suatu jenis dapat menjadi acuan untuk
menentukan tempat tumbuh yang sesuai untuk suatu jenis
tanaman hutan. Dengan demikian, produktivitas yang tinggi
bisa dicapai jika kondisi tapak sesuai dengan jenis yang
dikembangkan, penggunaan bibit unggul hasil kegiatan
pemuliaan, dan penerapan teknik silvikutur yang tepat.

Program pemuliaan merupakan kegiatan penting untuk


menyediakan benih bermutu dalam rangka mendukung budi
daya atau domestikasi jabon putih yang produktif dan
memberikan manfaat yang berkelanjutan. Keberhasilan
program pemuliaan memerlukan informasi keragaman dan
struktur genetis pada sebaran alami jenis target (Zobel &

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 19


Talbert, 1984; Loveless & Hamrick, 1984; Bawa &
Krugman, 1990; Johnson et al., 2001). Pengembangan
penanda genetika dapat berdasarkan morfologi, biokimia,
dan DNA, serta hal ini telah membangkitkan banyak kajian
keragaman genetika secara luas pada jenis-jenis tanaman
hutan (Glaubitz & Moran, 2000; White et al., 2007).
Informasi keragaman dan struktur genetis populasi sangat
diperlukan untuk pengumpulan materi genetis pada
populasi-populasi terpilih untuk pembangunan populasi
pemuliaan (Johnson et al., 2001; White et al., 2007).

Program pemuliaan jabon putih tidak hanya diperlukan


untuk tapak-tapak yang optimal tetapi juga untuk
mengembangkan populasi atau pohon-pohon yang cocok
untuk tapak-tapak marginal. Kompetisi penggunaan lahan
yang terus meningkat dan menurunnya kualitas lahan di
beberapa lokasi telah memaksa operasional kehutanan
bergeser dari lahan produktif ke lahan marginal.

Secara umum, pembahasan dalam bab ini mengupas tentang


sebaran alami dan karakteristik tempat tumbuh jabon putih,
keragaman genetis berdasarkan morfologi dan penanda
AFLP, daya adaptasi jabon terhadap cekaman lingkungan,
dan potensi pengembangan sumber benih jabon putih.
Informasi ini diharapkan mampu memberikan acuan untuk
memilih tempat tumbuh yang sesuai dan informasi awal bagi
program pemuliaan dalam rangka menyediakan benih-benih
bermutu untuk kegiatan penanaman.

B. Sebaran Alami dan Karakteristik Tempat Tumbuh

Jabon putih merupakan jenis pohon tropis yang berasal dari


Asia Selatan dan Asia Tenggara,termasuk Indonesia. Jabon
putih tumbuh secara alami di India, Myanmar, Thailand,

20 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Laos, Kamboja, Cina Bagian Selatan,Vietnam, Indonesia,


Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dan Australia bagian
Utara. Jabon putih merupakan jenis tanaman yang disukai
tidak hanya di habitat alami, tetapi juga di luar habitat
alaminya dan telah diintroduksikan di Kosta Rika, Puerto
Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, Venezuela dan
negara-negara subtropis dan tropis lainnya (Lamprecht,
1989; Orwa et al., 2009). Jabon putih telah ditanam di
Indonesia dalam skala besar sejak tahun 1933 (Wong, 1989;
Slik, 2006). Jenis ini juga telah dibudidayakan di Jawa
(terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur), Kalimantan
(terutama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur),
Sumatera (hampir tersebar di seluruh provinsi), Sulawesi
(hampir tersebar di seluruh provinsi), Sumbawa (Nusa
Tenggara Barat) dan Papua (Irian Jaya) (Martawijaya et al.,
1989).

Jabon putih merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh


baik pada tanah-tanah aluvial yang lembab dan umumnya
dijumpai di hutan sekunder atau terdegradasi (heavy
disturbed forest) di sepanjang bantaran sungai dan daerah
transisi antara daerah berawa, daerah yang tergenang air
secara permanen ataupun secara periodik (Phillips et al.,
2002; Sudrajat, 2015b). Jenis ini dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah, terutama pada tanah-tanah yang subur
dan beraerasi baik (Soerianegara & Lemmens, 1993). Jabon
putih dapat dikategorikan sebagai jenis tanaman yang
tumbuh pada tahapan awal suksesi (early-successional tree
species) (Shukla & Ramakrishnan, 1986).

Cahaya merupakan faktor yang sangat penting bagi


pertumbuhan jabon putih sehingga jenis ini tidak mampu
tumbuh optimal pada kondisi ternaungi. Pada habitat
alaminya, suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon
berkisar 32–42°C dan suhu minimum berkisar 3–15,5°C.

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 21


Jabon putih tidak toleran terhadap cuaca dingin. Curah
hujan rerata tahunan di habitat alaminya berkisar 1.500–
5.000 mm. Jabon putih dapat pula tumbuh pada daerah
kering dengan curah hujan tahunan sedikitnya 200 mm
(misalnya di bagian tengah Sulawesi Selatan). Jenis ini
tumbuh baik pada ketinggian 300–800 m di atas permukaan
laut (dpl). Di daerah khatulistiwa, jenis ini tumbuh pada
ketinggian 0–1.000 m dpl (Martawijaya et al., 1989).

Gambar 3.1. Populasi jabon putih di hutan sekunder di sepanjang


sempadan Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah

Menurut Sudrajat et al. (2014) yang melakukan penelitian


pada 11 populasi alami jabon putih, kondisi tempat tumbuh
jabon putih cukup beragam (Tabel 3.1). Kondisi tapak 11
populasi jabon putih yang tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa

22 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Kambangan, Kalimantan, Sumbawa dan Sulawesi sangat


beragam dan umumnya berada pada daerah-daerah dengan
ketinggian tempat di bawah 200 m dpl, kecuali populasi di
Garut, Rimbo Panti, dan Pomalaa yang masing-masing
berada pada ketinggian tempat 628, 294, dan 210 m dpl.
Curah hujan rerata tahunan berkisar 1.500-3.500 mm dengan
tipe iklim berdasarkan Schmidt dan Fergusson berada pada
tipe A (sangat basah) hingga E (agak kering). Dilihat dari
tingkat kesuburannya, tapak pada populasi-populasi yang
diamati cukup beragam; sebagian besar pH tanah
dikategorikan sangat rendah dan rendah, kecuali untuk
populasi Nusa Kambangan yang berada pada pH sedang.
Kandungan C organik berada pada kondisi rendah hingga
sangat tinggi; N total berada pada tingkatan rendah hingga
tinggi; nisbah C/N berada pada tingkatan rendah hingga
tinggi; P tersedia berada pada kondisi rendah hingga sangat
tinggi; K berkisar rendah hingga sedang; Ca berkisar sangat
rendah hingga sangat tinggi; dan Mg berada pada kondisi
rendah hingga sangat tinggi. Unsur-unsur tersebut
merupakan unsur makro yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman. Unsur N merupakan penyusun
semua protein, klorofil di dalam koenzim, dan asam-asam
nukleat. Unsur P berperan dalam transfer energi sebagai
bagian dari adenosin tripospat, beberapa penyusun protein,
koenzim, asam nukleat, dan substrat metabolisme. Unsur K
meskipun penting tetapi hanya sedikit peranannya sebagai
penyusun komponen tanaman; fungsi utamanya ialah untuk
pengaturan mekanisme, seperti fotosintesis, translokasi
karbohidrat, sintesa protein, dan lain-lain (Soepardi, 1983).

Kapasitas tukar kation (KTK) di habitat alami 11 populasi


jabon putih tersebut dikategorikan rendah hingga sangat
tinggi dan kejenuhan basa sangat tinggi (Pusat Penelitian
Tanah, 1983). KTK ialah kemampuan koloid tanah
mengikat dan mempertukarkan kation-kation yang

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 23


umumnya berkorelasi positif dengan kandungan bahan
organik dan liat (Tisdale et al., 1985). Dilihat dari
teksturnya, sebagian besar tapak mempunyai kelas tekstur
liat, kemudian pasir berlempung, liat berdebu, dan lempung
liat berpasir. Analisis berdasarkan kunci status kesuburan
tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983) yang kombinasikan
lima parameter (kapasitas tukar kation, kejenuhan basa,
kadar K, kadar P, dan C-organik tanah) menunjukan bahwa
status kesuburan tanahnya juga cukup beragam, yaitu dari
tingkat kesuburan tanah rendah hingga tinggi (Tabel 3.2).

Secara umum, jabon putih dapat tumbuh pada kondisi tanah


asam dengan tingkat kesuburan rendah hingga tinggi (Tabel
3.2). Keragaman tapak ini memberi indikasi bahwa jabon
memiliki kisaran lingkungan tumbuh dan daya adaptasi yang
cukup luas. Teori evolusi menduga bahwa jenis dengan
sebaran tumbuh luas akan memiliki tingkat keragaman yang
luas, termasuk dalam hubungannya dengan keragaman benih
dan bibit antarpopulasi.

24 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 25


26 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 27


C. Hubungan Karakteristik Tempat Tumbuh dengan
Pertumbuhan

Kemampuan untuk memprediksi potensi pertumbuhan dan


hasil tanaman jabon sangat diperlukan untuk perencanaan
hutan tanaman. Beberapa sumber pustaka menyatakan
bahwa jabon putih tumbuh dengan cepat (Soerianegara &
Lemmen, 1993; Orwa et al., 2009). Hubungan antara rerata
diameter dan umur, dan rerata tinggi dan umur tanaman
jabon dideskripsikan oleh Krisnawati et al. (2011) (Gambar
3.2).

60 35
(A) V
(B)
50 30 IV
V
Rerata tinggi total (m)

III
IV
Rerata DBH (cm)

25
40 III II
20 I
II
30
I 15
(cm)

20
(m)

10
10
5
0 0
0 5 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25
Umur (tahun) Umur (tahun)
Keterangan:
Titik-titik: rerata hasil pengukuran; Garis: nilai yang diambil dari tabel hasil
tegakan sementara; Angka romawi: menunjukan kelas kualitas tempat tumbuh
(semakin besar nilainya, semakin bagus kualitas tempat tumbuh)

Gambar 3.2. Hubungan antara umur pohon dengan rerata


diameter (A) dan rerata tinggi (B) tanaman jabon putih
(Krisnawati et al., 2011)

28 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Pertumbuhan diameter jabon putih meningkat cukup cepat


8–18 cm hingga tegakan berumur 5 tahun. Pertumbuhan
mulai lambat setelah tegakan berumur 10 tahun dan
pertumbuhan diameter mulai konstan setelah umur 15 tahun.
Rerata tinggi pohon dalam tegakan mencapai 19,6 m untuk
tegakan muda kurang dari 10 tahun dan setelah 10 tahun
rerata tinggi berkisar 17,3–30 m. Variasi yang cukup besar
dari diameter dan tinggi ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan kualitas tempat tumbuh dan kualitas manajemen
silvikultur yang diterapkan. Tegakan jabon putih berumur
hingga 5 tahun memiliki riap diameter rerata sebesar 1,2–
11,6 cm per tahun dan riap tinggi rerata sebesar 0,8–7,9 m
per tahun. Secara umum, riap diameter turun sekitar 2 cm
per tahun dan riap tinggi sekitar 3 m per tahun hingga umur
10 tahun. Setelah itu, pertumbuhan jabon turun secara
signifikan (Krisnawati et al., 2011).

A B

Gambar 3.3. Persamaan indeks tapak diameter setinggi dada (A)


dan tinggi total jabon putih (B) (Haneda et al., 2012)

Sementara itu, Haneda et al. (2012) telah menghitung


persamaan pertumbuhan untuk diameter setinggi dada yang
dibuat dengan menggunakan model regresi Chapman dengan

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 29


menggunakan indeks tapak (Gambar 3.3). Berdasarkan kelas
indeks tapak, pertumbuhan jabon putih di Jawa dapat
diklasifikasikan sebagai baik, menengah, dan jelek.

D. Kemampuan Adaptasi Jabon Putih terhadap


Cekaman Lingkungan (Kekeringan dan Genangan
Air)

Secara umum, jabon putih memerlukan tanah yang lembab,


berdrainase baik, dan subur (input yang tinggi terhadap air
dan hara). Beberapa studi menunjukan bahwa jenis ini
kurang cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Voukko &
Otsamo, 1996), tidak mampu tumbuh optimal pada tanah
dengan kandungan air rendah (Soetrisno, 1996), atau
kedalaman air tanah yang dangkal (Mansur & Surahman,
2011). Namun, terdapat pula laporan yang menunjukan
bahwa ada populasi atau provenansi yang mampu tumbuh
pada kondisi marginal di beberapa lokasi, seperti lahan
kering atau tergenang air (Martawijaya et al., 1989;
Soerianegara & Lemmens, 1993). Informasi tentang respons
suatu populasi atau provenansi terhadap cekaman
kekeringan dan genangan air ini dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan pedoman transfer benih (Wang et al., 1998),
pemilihan provenansi potensial untuk tapak-tapak yang
spesifik, dan juga sebagai salah satu strategi adaptasi
terhadap perubahan iklim (Rehfeldt et al., 2006; Millar et
al., 2007).

30 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 3.4. Tanaman jabon yang rentan roboh pada tanah


dengan kedalaman air (water table) dangkal

Pada tingkat bibit, kerentanan jabon putih terhadap cekaman


lingkungan sangat tinggi. Kekeringan merupakan salah satu
cekaman yang banyak mengakibatkan kegagalan penanaman
(Gambar 3.5). Respon terhadap kekeringan dan genangan
air juga dipengaruhi oleh asal populasi atau provenansi.
Dari 12 populasi yang diuji, provenansi Kampar memiliki
tinggi bibit, diameter pangkal akar, luas daun, luas daun
spesifik, kadar air relatif, akar adventif, dan lentisel tertinggi
pada perlakuan genangan air. Akar adventif dan lentisel
hanya muncul pada perlakuan genangan air. Formasi lentisel
dan akar adventif merupakan salah satu tipe adaptasi
morfologi tanaman hutan toleran terhadap tapak-tapak
tergenang air (Yamamoto et al., 1995). Formasi lentisel pada
bagian batang berkayu tanaman yang tergenang air
memfasilitasi transpor oksigen ke akar karena lentisel
merupakan suatu jalur angkutan yang mana gas-gas,

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 31


terutama oksigen dapat berdifusi melalui sel-sel kulit batang
(Konzlowski, 1997). Akar adventif sangat penting untuk
tanaman di bawah kondisi hypoxia (sedikit oksigen) atau
anoxia (tidak ada oksigen) pada akar untuk memperoleh
karena akar adventif dapat langsung memperoleh oksigen
dari lingkungan sekitarnya dan secara internal mengangkut
oksigen melalui aerenkim. Selanjutnya, kemampuan untuk
menghasilkan akar adventif umumnya berasosiasi dengan
meningkatnya toleransi terhadap genangan (Steffens et al.,
2006).

Gambar 3.5. Tanaman jabon putih yang baru ditanam sebagian


besar rentan terhadap kekeringan

32 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

D
SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT KBL CPG CPK NBH PKK SRP SKR SOK JGS JNK JAP KKT
KBL CPG CPK NBH PKK

Keterangan: SRP = Rimbopanti-Sumatera Barat, SKR = Kampar-Riau, SOK =


Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, JGS = Garut Selatan-Jawa Barat, JNK =
Nusa Kambangan-Jawa Tengah, JAP = Alaspurwo-Jawa Timur, KKT = Kapuas-
Kalimantan Tengah, KBL = Batulicin-Kalimantan Selatan, CPG = Gowa-
Sulawesi Selatan, CPK = Pomalaa-Sulawesi Tenggara, NBH = Batuhijau-Nusa
Tenggara Barat, PKK = Kuala Kencana-Papua.

Gambar 3.6. Keragaman bibit jabon pada perlakuan kontrol (A),


cekaman genangan air (B), cekaman kekeringan dengan kapasitas
lapang air media 50% (C), dan kapasitas lapang air media 25%
(D)

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 33


Pada kondisi cekaman kekeringan selama empat bulan, bibit
jabon putih asal provenansi Gowa mempunyai tinggi bibit,
diameter pangkal akar, berat kering total, luas daun spesifik,
kadar air relatif, ketebalan daun, panjang akar, dan
kandungan prolina tertinggi (Sudrajat et al., 2015a). Pada
kondisi cekaman kekeringan, genetis resisten menghasilkan
luas daun, kadar air relatif, dan kandungan prolina lebih
tinggi (Sanches-Diaz et al., 2008; Possen et al., 2011).
Secara umum, luas daun spesifik dan kadar air relatif yang
lebih tinggi menghasilkan laju pertumbuhan yang relatif
lebih tinggi (Wright & Westoby 1999; Possen et al., 2011).
Akumulasi prolina di bawah kondisi cekaman pada banyak
jenis tanaman berhubungan dengan toleransi cekaman dan
konsentrasi prolina dan secara umum ditemukan lebih tinggi
pada tanaman yang toleran terhadap cekaman daripada
tanaman yang sensitif terhadap cekaman (Anjum et al.,
2011a). Pada cekaman kekeringan, bibit jabon putih
umumnya tidak mampu menghasilkan dan mengakumulasi
lebih banyak prolina yang menyebabkan rendahnya daya
adaptasi terhadap cekaman kekeringan.

Bibit jabon putih lebih toleran terhadap cekaman genangan


air daripada cekaman kekeringan yang dapat diamati dari
karakter morfologi, fisiologi, dan anatomi, serta tidak ada
bibit yang mati pada perlakuan genangan air (Sudrajat et al.,
2015a). Daya adaptasi bibit jabon putih terhadap genangan
air diduga berhubungan dengan habitat alami yang
umumnya tersebar pada tapak-tapak yang dalam, lembab,
dan daerah endapan di sepanjang sempadan sungai
(Soerianegara & Lemmens 1993; Kartawinata, 1994).
Sebaliknya, kondisi umum habitat alami tersebut juga
berdampak pada adaptasi bibit yang kurang mampu
beradaptasi terhadap cekaman kekeringan.

34 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Indeks sesitivitas cekaman (ISC) merupakan faktor yang


cocok untuk mengidentifikasi genetis-genetis yang toleran
terhadap cekaman (Yarnia et al., 2011), sedangkan indeks
toleransi cekaman (ITC) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi genetis-genetis yang menghasilkan
pertumbuhan dan berat kering terbaik pada kondisi optimal
ataupun kondisi cekaman (Fernandes, 1992). Berdasarkan
ISC dan ITC (Tabel 3.3 dan 3.4); pada cekaman genangan
air, bibit jabon putih yang berasal dari provenansi Kampar
memiliki daya adaptasi terbaik (Sudrajat et al., 2015a).
Provenansi Kampar memberikan nilai ISC terendah dan nilai
ITC tertinggi untuk tinggi dan berat kering total bibit. Nilai
ISC yang lebih rendah dan nilai ITC yang lebih tinggi
menunjukan adaptasi yang lebih baik dari suatu genetis
(Olaoye et al., 2009).

Pada perlakuan cekaman kekeringan, nilai ISC terendah


untuk tinggi dan berat kering total bibit diperlihatkan oleh
provenansi Gowa. Sebaliknya, nilai ITC provenansi Gowa
memberikan nilai tertinggi yang mengindikasikan
pertumbuhannya lebih baik pada kondisi cekaman
kekeringan (KL50% dan KL25%). Pola sebaran adaptasi
provenansi berdasarkan karakter pertumbuhan; seperti
tinggi, diameter pangkal akar, berat kering pucuk, berat
kering akar, berat kering total, akar adventif, lentisel, luas
daun, dan jumlah daun; disajikan pada Gambar 3.7.
Provenansi yang memiliki karakteristik pertumbuhan baik
berada pada kuadran IV pada setiap perlakuan.

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 35


36 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 37


Kuadran III Kuadran IV

Kuadran I Kuadran II

Keterangan: KL = kapasitas lapang, PC = komponen utama (principal


component), SRP = Rimbopanti-Sumatera Barat, SKR = Kampar-Riau, SOK =
Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, JGS = Garut Selatan-Jawa Barat, JNK =
Nusa Kambangan-Jawa Tengah, JAP = Alaspurwo-Jawa Timur, KKT = Kapuas-
Kalimantan Tengah, KBL = Batulicin-Kalimantan Selatan, CPG = Gowa-
Sulawesi Selatan, CPK = Pomalaa-Sulawesi Tenggara, NBH = Batuhijau-Nusa
Tenggara Barat, PKK = Kuala Kencana-Papua.

Gambar 3.7. Biplot pengelompokan adaptasi populasi jabon


berdasarkan parameter pertumbuhan bibit dengan menggunakan
analisis PCA (Principal Component Analysis/Analisis Komponen
Utama)

38 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Pola sebaran adaptasi provenansi terhadap cekaman


berdasarkan analisis biplot PCA terhadap karakteristik
morfologi bibit mempunyai kecenderungan yang sama
dengan hasil analisis ISC dan ITC. Pada kondisi normal;
provenansi Pomalaa, Batu Hijau, Rimbo Panti, dan Gowa
membentuk satu kelompok di kuadran IV yang menunjukan
pertumbuhan terbaik. Namun pada kondisi cekaman
genangan; provenansi Kampar, Gowa, OKI, dan Kuala
Kencana berada pada satu kelompok dengan pertumbuhan
lebih baik. Sementara itu, kelompok dengan pertumbuhan
yang lebih baik pada kondisi kekeringan (KL50% dan
KL25%) ialah provenansi Gowa, Pomalaa, Kampar, dan
Batu Hijau (Sudrajat et al., 2015a).
Respons bibit jabon dalam menghadapi cekaman air
dilakukan melalui mekanisme avoidance yang dicapai
dengan perubahan morfologi dan juga melalui mekanisme
tolerance yang dilakukan dengan fisiologi jaringan dan sel
tertentu, biokimia, dan akumulasi protein tertentu.
Berdasarkan beberapa indikator morfofisiologi, indeks
toleransi, dan pengelompokan PCA; provenansi Kampar,
Gowa, OKI, dan Kuala Kencana memberikan indikasi
sebagai provenansi yang mampu beradaptasi baik terhadap
cekaman genangan air sehingga dapat menjadi pedoman
transfer benih untuk daerah-daerah yang potensial tergenang
atau mengalami banjir. Pada cekaman kekeringan, secara
umum jabon tidak mampu beradaptasi baik. Namun,
beberapa provenansi ( seperti Gowa, Pomalaa, Rimbo Panti,
dan Batu Hijau) relatif mampu tumbuh lebih baik
dibandingkan dengan provenansi lainnya (Sudrajat et al.,
2015a).

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 39


E. Keragaman Genetis Jabon Putih

Intensitas budi daya jabon yang meningkat memerlukan


dukungan program pemuliaan untuk mendapatkan benih
unggul sehingga program budi dayanya dapat memberikan
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk
meningkatkan efektivitas pembangunan populasi pemuliaan,
informasi keragaman populasi dan struktur genetis pada
sebaran alami jenis target sangat diperlukan (Zobel &
Talbert, 1984; Bawa & Krugman, 1990; Johnson et al.,
2001; Ayele et al., 2011) sehingga materi genetis yang
dikumpulkan mampu mewakili keragaman yang terdapat
pada sebaran alaminya (Johnson et al., 2001; White et al.,
2007). Jabon secara alami tersebar luas di hutan hujan
dataran rendah di Asia yang menyebar dari India, Nepal,
Burma, Sri Langka, Malaysia hingga Indonesia dan Filipina,
serta New Guinea (Lamprecht, 1989; Orwa et al., 2009). Di
Indonesia, jabon tersebar hampir di seluruh pulau, seperti
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua (Krisnawati et al., 2011). Teori evolusi
menduga bahwa jenis dengan sebaran luas akan memiliki
tingkat keragaman genetik yang luas.

Penelitian ini telah dilakukan untuk menjawab apakah


distribusi geografis dan kisaran tipe tapak yang luas
berasosiasi dengan keragaman morfofisologi benih dan bibit
jabon. Hasil analisis keragaman berdasarkan morfofisiologi
benih dan bibit jabon putih dari 11 populasi menunjukan
bahwa keragaman genetik beragam dari nilai tertinggi
2.858,637 (kerapatan stomata) hingga nilai terendah 0,009
(klorofil B). Koefisien keragaman fenotipe (KKF) dan
koefisien keragaman genetik (KKG) memberikan nilai
tertinggi pada karakter tinggi bibit (masing-masing 76,40
dan 76,33), sedangkan koefisien keragaman lingkungan
(KKL) tertinggi dihasilkan oleh berat kering akar (29,36).

40 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Nilai KKF dan KKG terendah ditunjukkan oleh rerata waktu


berkecambah (masing-masing 1,87 and 1,56) dan nilai
terendah untuk KKL adalah berat 1.000 butir benih (0,64)
(Tabel 3.5). Keragaman genetis dan koefisien keragaman
genetis untuk semua karakter buah, benih, dan bibit jabon
ditemukan lebih tinggi daripada koefisien keragaman
lingkungan. Besaran keragaman galat relatif lebih rendah
daripada keragaman genetis untuk semua karakter,
sedangkan koefisien keragaman fenotipe dan genetis sangat
dekat satu dengan yang lainnya untuk semua karakter.
Begitu pula dengan heritabilitas yang berada pada kisaran
52% sampai 99% (Sudrajat et al., 2015b).

Analisis komponen utama dengan menggunakan


karakteristik morfofisiologi benih dan bibit menghasilkan
enam komponen yang memiliki nilai eigen di atas 1 dengan
nilai kumulatif varian 93,47%. Komponen utama pertama
dan kedua menghasilkan masing-masing 39,94% dan
21,95% keragaman dari jumlah karakter yang ada.
Komponen pertama terdiri dari diameter pangkal akar, tinggi
bibit, panjang daun, lebar daun, klorofil A, indeks
kekokohan, berat kering batang, berat kering total, kerapatan
stomata, klorofil B, berat kering akar, diameter buah, dan
berat buah. Komponen tersebut merupakan indentitas dari
karakter-karakter bibit dan morfologi buah. Komponen
kedua terdiri dari indeks vigor, panjang hipokotil, panjang
benih, kecepatan berkecambah, panjang radikel, dan daya
berkecambah yang dinamai sebagai kemampuan fisiologi
benih (Sudrajat et al., 2015a). Grafik biplot sebaran populasi
berdasarkan komponen utama pertama dan kedua disajikan
pada Gambar 3.8 (A). Grafik tersebut mempunyai pola yang
hampir sama dengan hasil analisis klaster (Gambar 3.8 [B]).

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 41


42 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 43


jjkk

BLB
KBL
Grup 1
KTB
KKT
Grup 1
PGC
CPG
Grup 2
PKC
CPK

KRS
SKR

OKS
SOK

JAP
APJ
Grup 3 Grup 3
JGS
GSJ

JNK
NKJ

NBH
BHS

(A) SRP
RPS Grup 4 (B)

Gambar 3.8. Pengelompokan populasi jabon berdasarkan analisis


komponen utama (A) dan analisis klasterKkk (B) menurut
morfofisiologi benih dan bibit

Pendugaan heritabilitas (He) ini berguna sebagai indikator


awal kemungkinan untuk seleksi satu atau lebih karakter
(Namkoong et al., 1966). Nilai heritabilitas yang tinggi
berpasangan dengan kemajuan genetis yang tinggi
dihasilkan oleh karakter berat buah, tinggi bibit, diameter
pangkar akar, indeks kekokohan, jumlah daun, panjang
daun, dan lebar daun. Nilai ini menunjukan bahwa karakter-
karakter tersebut mempunyai nilai genetis yang tinggi
dengan jumlah komponen genetis aditif yang dapat
diturunkan lebih tinggi. Johnson et al., (1995) melaporkan
bahwa nilai heritabilitas yang tinggi dan diikuti dengan
kemajuan genetis yang tinggi cukup memadai dan akurat
untuk pemilihan populasi terbaik. Sebaliknya, nilai
heritabilitas yang tinggi yang berpasangan dengan kemajuan
genetis rendah (seperti yang ditunjukkan diameter buah,
berat 1.000 butir benih, daya dan kecepatan berkecambah)

44 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

memberikan indikasi bahwa karakter-karakter tersebut


mempunyai lebih banyak komponen genetis nonaditif
daripada komponen aditifnya sehingga karakter tersebut
tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi yang baik
(Rawat & Bakshi, 2011).

Biplot populasi jabon berdasarkan analisis komponen utama


dan analisis klaster hirarki karakter morfofisiologi benih dan
bibit (Gambar 3.8) mempunyai pola yang hampir sama dan
menghasilkan kecenderungan klasifikasi genetis 11 populasi
jabon dalam empat kelompok (klaster). Kelompok I terdiri
atas dua populasi (Kapuas dan Batu Licin), kelompok II
memiliki dua anggota populasi (Gowa dan Pomalaa),
kelompok III memiliki jumlah populasi terbesar, yaitu enam
populasi (Kampar, OKI, Garut, Alas Purwo, Nusa
Kambangan, dan Batu Hijau). Sementara itu, kelompok IV
hanya memiliki satu populasi (Rimbo Panti). Sebagian besar
pengelompokan jarak populasi secara geografis ke dalam
satu group menunjukan bahwa populasi yang jaraknya
berdekatan secara genetis memiliki kekerabatan yang lebih
dekat, kecuali untuk populasi Rimbo Panti yang terisolasi
dari populasi lainnya yang berasal dari satu pulau yang sama
(Sumatera). Perusakan dan degradasi hutan yang sangat
intensif pada wilayah tersebut menyebabkan populasi yang
tersisa terisolasi dan mengalami penghanyutan genetis dan
inbreeding yang menghasilkan keragaman genetis
antarpopulasi yang tinggi.

Beberapa penelitian keragaman genetis untuk jenis jabon


putih juga dilakukan dengan menggunakan penanda
molekuler. Mardiningsih (2002) menggunakan allozyme
untuk menganalisis keragaman genetis populasi jabon di
Kalimantan Timur, sedangkan Phui et al. (2008) dan Seng
et al. (2010) menggunakan simple sequence repeats pada
populasi jabon di Serawak. Mardiningsih (2002)

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 45


melaporkan bahwa keragaman dalam populasi jabon cukup
besar, sedangkan Phui et al. (2008) dan Seng et al. (2010)
mengemukakan bahwa antarpopulasi jabon di Serawak
terdapat hubungan yang kuat.

Sudrajat et al. (2015b) menggunakan AFLP (Amplified


Fragment Length Polymorphisms) untuk menganalisis
keragaman genetis jabon putih dari empat pulau berbeda:
Sumatera (populasi Kampar), Nusa Kambangan, Kalimantan
(populasi Kapuas Tengah), dan Sulawesi (populasi
Pomalaa). Hasilnya menunjukan bahwa jumlah lokus
polimorfis (JLP) berkisar antara 135 (populasi Kampar)
hingga 242 (populasi Kapuas) dengan persentase lokus
polimorfis 46,71% (populasi Kampar) hingga 83,74%
(populasi Kapuas) (Tabel 3.5). Nilai heterozigositas (He)
berkisar 0,1489 (populasi Kampar) hingga 0,3339 (populasi
Kapuas). Indeks Shannon terendah dihasilkan oleh populasi
Kampar (0,2278), sedangkan indeks Shannon terbesar
ditunjukkan oleh populasi Kapuas (0,4894). Secara
keseluruhan, rerata nilai heterozigositas dan indeks Shannon
masing-masing ialah 0,2788 dan 0,4347, sedangkan jumlah
alel per lokus dan jumlah alel efektif per lokus ialah 1,9723
dan 1,4475.

Keragaman dalam populasi jabon pada penelitian ini cukup


tinggi. Rerata nilai He jabon dari 4 populasi yang diuji (He =
0,2788) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis
tropis lainnya, seperti Tonna chinensis di Jawa (Hidayat
2011), Shorea leprosula dan Shorea parvifolia (Cao et al.,
2011) dan jenis-jenis lainnya pada Tabel 3.7, kecuali pada
Azadiracta indica (Singh et al., 1999). Keragaman genetis
jabon putih juga lebih tinggi (indeks Shannon berkisar
0,2278–0,4894) bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Tiong et al. (2010) pada enam populasi jabon di Serawak
dengan indeks Shannon berkisar 0,154–0,235 dan Seng et al.

46 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

(2010) pada uji keturunan jabon yang melibatkan 247 famili


dengan rerata indeks Shannon 0,296. Keragaman genetis
dalam populasi yang relatif tinggi ini menunjukan bahwa
populasi jabon tersebut masih memiliki ukuran populasi
yang cukup memadai untuk melakukan perkawinan silang
sehingga keragamannya masih terpelihara.

Kapuas Kampar Nusa Kambangan Pomalaa


KK KR NK PM

2 3 4 6 14 24 1 4 6 7 9 10 11 12 13 14 2 7 11 12 13 15 17 22 23 24 6 7 8 10 21

Gambar 3.9. Contoh cetak AFLP untuk jabon putih

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 47


Tabel 3.6. Keragaman genetis di dalam populasi famili jabon
berdasarkan APLF
PLP
Populasi n JLP Na Ne He I
(%)
Kapuas 6 242 83,74 1,8374 1,5846 0,3339 0,4894
Kampar 10 135 46,71 1,4671 1,2478 0,1489 0,2278
Nusa 10 156 53,98 1,5398 1,3287 0,1940 0,2904
Kambangan
Pomalaa 5 176 60,90 1,6090 1,3774 0,2270 0,3394
Rerata 7,75 177 61,33 1,6133 1,3846 0,2756 0,3367
Total 31 281 97,23 1,9723 1,4475 0,2788 0,4347
SD 0,1643 0,3058 0,1465 0,1871
Keterangan: n = ukuran sampel, JLP = jumlah lokus polimorfis, PLP = persen
lokus polimorfis, Na = jumlah alel yang teramati (Kimura & Crow, 1964), Ne =
jumlah alel efektif (Kimura & Crow, 1964), He = heterosigositas (Nei’s (1973)
gene diversity), I = indeks Shannon (Lewontin, 1972), SD = standar deviasi dari
nilai total.

Keragaman genetis antarpopulasi diukur dengan jarak


genetis antarpopulasi, differensiasi genetis (Gst) dan analisis
klaster. Kisaran jarak genetis Nei’s paling kecil terjadi
antara populasi Nusa Kambangan dan Kampar (0,0284),
sedangkan jarak terbesar ditemukan antara populasi Pomalaa
dan Kapuas (0,1946) (Tabel 3.6). Jarak genetis tidak
berkorelasi nyata dengan jarak geografis (Gambar 3.10).
Populasi Kampar dan Nusa Kambangan membentuk satu
klaster pada jarak genetis kurang dari 5%. Kemiripan terjadi
juga antarpasangan individu dari populasi yang berbeda
yang dapat dilihat pada dendrogram kekerabatan genetis
antarfamili pada Gambar 3.9, namun sebagian besar
individu-individu tersebut mempunyai jarak genetis yang
cukup lebar (>10%).

Berdasarkan analisis AFLP, tingkat differensiasi populasi


jabon pada penelitian ini juga menunjukan nilai yang cukup
tinggi (Gst = 0,2707) jika dibandingkan dengan tingkat

48 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

diferensiasi populasi jabon di Serawak, Malaysia (Gst =


0,2013) (Tiong et al., 2010). Apabila dibandingkan dengan
jenis-jenis lainnya yang dianalisis dengan AFLP, keragaman
antarpopulasi jabon dalam penelitian ini relatif lebih tinggi,
seperti pada Shorea leprosula di Indonesia dengan Gst =
0,25 (Cao et al., 2006), dan Hibiscus tiliaceus di Cina
Selatan dengan Gst = 0,152 (Tang et al., 2003). Hasil ini
sepertinya bertolak belakang dengan harapan rendahnya
keragaman genetis antarpopulasi untuk jenis-jenis tanaman
hutan yang mempunyai umur panjang dan kawin silang
(Loveless & Hambrick 1984). Jarak antarpulau yang cukup
jauh dengan hambatan alam yang besar menyebabkan aliran
gen antarpopulasi yang diamati relatif rendah (Nm =
1,3473). Laju aliran gen jabon pada penelitian ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan jenis lainnya, seperti
Shorea leprosula (Nm = 1,54) (Cao et al., 2006).
KKT3KK3
KKT6KK6
Populasi
Kapuas PM7
CPK7
KK14
Kapuas
population KKT14
KK24
KKT24
KKT4KK4
KK2
JNK15
SKR2
KR13
SKR13
KR6
Populasi
Kampar SKR6
KR10
SKR10
KR11
Kampar
population SKR11
KR14
SKR14
KR4
SKR4KR7
SKR7
KR9
SKR9
NK7
JNK7
NK13
JNK13
NK17
JNK17
Populasi NK11
JNK11
Nusa Kambangan JNK2NK7
Nusa
population KR12
SKR12
Kambangan NK12
JNK12
NK23
JNK23
SKR1KR1
NK22
JNK22
NK24
JNK24
Populasi PM21
CPK21
Pomalaa CPK8
PM8
Kampar
population CPK6
PM6
CPK10
NK15
CPK15
PM10

Gambar 3.10. Pola kekerabatan genetis antara famili jabon dari


empat populasi dengan metode UPGMA

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 49


hhjjj
F. Pengembangan Sumber Benih

Sumber benih jabon putih yang sudah dimuliakan hingga


saat ini belum tersedia. Sementara itu, kegiatan penanaman
saat ini menggunakan benih yang berasal dari sumber benih
hasil penunjukan berupa hutan alam atau hutan tanaman
dengan kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT). Kelas
sumber benih tersebut merupakan kelas terendah dalam
klasifikasi sumber benih yang berlaku di Indonesia.

Inisiasi pengembangan sumber benih yang dimuliakan telah


dilakukan dengan membangun uji keturunan, seperti
pembangunan uji keturunan jabon putih di Wonogiri, Jawa
Tengah oleh Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan Yogyakarta (Setyadi et al., 2013). Selain
itu, populasi pemuliaan jabon putih juga dibangun di dua
lokasi: Parungpanjang (Bogor) dan Limbangan (Garut)
dalam bentuk uji provenansi-keturunan dengan melibatkan
105 famili dari 12 provenansi (Rimbo Panti, Kampar, Ogan
Komering Ilir, Garut Selatan, Nusa Kambangan, Alas
Purwo, Kapuas, Batu Licin, Gowa, Pomalaa, Batu Hijau,
dan Kuala Kencana) (Sudrajat, 2015a).

Pertumbuhan awal tinggi dan diameter jabon uji provenansi-


keturunan umur satu tahun di Parungpanjang dan
Limbangan menunjukan perbedaan nyata antarprovenansi
dan antarfamili di dalam provenansi. Tingkat keragaman
genetis jabon ditemukan lebih tinggi antarprovenansi
daripada antarfamili di dalam provenansi yang memberikan
indikasi kemungkinan untuk menggunakan provenansi-
provenansi yang berpenampilan lebih baik sebagai sumber
benih untuk kegiatan pembangunan hutan tanaman.
Heritabilitas famili menunjukan lebih tinggi daripada
heritabilitas individu sehingga kemajuan genetis yang lebih
tinggi akan diperoleh dari seleksi famili daripada seleksi

50 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

masa. Bagaimana pun juga, heritabilitas yang relatif rendah


pada semua parameter di kedua tapak memberikan indikasi
bahwa kemungkinan perolehan genetis melalui seleksi
menghasilkan perolehan yang rendah. Oleh sebab itu,
seleksi sebaiknya dilakukan hingga heritabilitas mencapai
nilai yang tinggi dan lebih stabil yang umumnya untuk jenis
cepat tumbuh dicapai pada umur 2–3 tahun. Kombinasi
seleksi famili dan seleksi individu di dalam famili akan lebih
efektif untuk meningkatkan pertumbuhan jenis ini (Sudrajat
et al., 2015c). Melalui seleksi yang direncanakan tahun ke-3,
ke-4, dan ke-5; uji keturunan tersebut akan dikonversi
menjadi kebun benih semai.

Daftar Pustaka

Anjum, S., Xie, X., Wang, L., Saleem, M., Man, C. & Lei,
W. 2011. Morphological, physiological and
biochemical responses of plants to drought stress.
African J. Agric. Res., 6(9): 2026–2032.
Ayele, T.B., Gailing, G. & Finkeldey, R. 2011. Assessment
and integration of genetic, morphological and
demographic variation in Hagenia abyssinica (Bruce)
J.F. Gmel. to guide its conservation. J. Nat. Conserv.,
19: 8–17.
Bawa, K.S. & Krugman, S.L. 1990. Reproductive biology
and genetics of tropical trees in relation to
conservation and management. In: Gomez-Pampa A,
Whitmore TC, Hadley M, editors. Rain forest
regeneration and management. The Parthenon
Publishing Group. pp. 119–136.
Budiman, B., Sudrajat, D.J., Lee, D.K. & Kim, S.Y. 2015.
Effect of initial morphology on field performance in

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 51


white jabon seedlings at Bogor, Indonesia. For. Sci.
Tech., 11(4): 206–211. doi:10.1080/21580103.2015.
1007897.
Cao,C.P., Finkeldey, R., Siregar, I.Z., Siregar, U.J. &
Dailing, O. 2006. Genetic diversity within and among
populations of Shorea leprosula Miq. and Shorea
pevifolia Dyer (Dipterocarpaceae) in Indonesia
detected by AFLPs. Tree Gen. Genom., 2(4): 225–239.
Fernandez, G.C.J. 1992. Effective selection criteria for
assessing plant stress tolerance. In: Proceedings of the
international symposium on adaptation of vegetable
and other food crops in temperature and water stress.
Taiwan. pp. 257–270.
Glaubitz, J.C. & Moran, G.F. 2000. Genetic tools: the use of
biochemical and molecular markers. In: Young A,
Boshier D, and Boyle T, editors. Forest conservation
genetics, principles and practice. CSIRO Publishing
and CABI Publishing. pp. 39–62.
Haneda, N.F., Wilarso, S., Tiryana, T., Seo, J.W. & Susanty,
S.C. 2012. Inventarisasi praktek silvikultur,
pertumbuhan dan hama jabon di hutan rakyat. Laporan
Penelitian Tahun 2012. SEAMEO-BIOTROP Bogor.
Hidayat, Y. 2011. Variasi genetik populasi pohon surian
(Toona chinensis Roem) di Pulau Jawa (Disertasi).
Bandung (ID): Program Pascasarjana Universitas
Pajajaran. Bandung.
Johnson, H.W., Robinson, H.F. & Comstock, R.F. 1955.
Estimates of genetic and environmental variability in
Soyabean. Agron. J., 47: 14–318.
Johnson, R., Clair, B.S. & Lipow, S. 2001. Genetic
conservation in applied tree breeding programs. In:
Thielges BA, Sastrapraja SD, Rimbawanto A., editors.
52 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Proceeding of International Conference on In-situ and


Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees.
Yogyakarta.
Kartawinata, K. 1994. The use of secondary forest species in
rehabilitation of degraded forest lands. J Trop. For.
Scie., 7(1): 76–86.
Kimura, M. & Crow, J. 1964. The number of alleles that can
be maintained in a finite population. Genetics, 49:
725–738.
Kozlowski, T.T. 1997. Responses of woody plants to
flooding and salinity. Tree Physio. Monogr., 1: 1–28.
Krisnawati, H., Kallio, M. & Kanninen, M. 2011.
Anthocephalus cadamba Miq.: ekologi, silvikultur dan
produktivitas. Bogor (ID): Center for International
Forestry Research, Bogor.
Lamprecht, H. 1989. Silviculture in the tropics; Tropical
forest ecosystems and their tree species – Possibilities
and methods for their long-term utilization. Eschbor
(DE): Deutsche Gesellschaft fur Technische
Zusammenarbeit (GTZ).
Lewontin, R.C. 1972. The apportionment of human
diversity. Evol. Biol., 6: 381–398.
Loveless, M.D. & Hamrick, J.L. 1984. Ecological
determinants of genetic structure in plant populations.
Ann. Rev. Ecol. Systematics, 15: 65–95.
Mansur, I. & Surahman. 2011. Respon tanaman jabon
(Anthocephalus cadamba) terhadap pemupukan
lanjutan (NPK). J. Silvik. Trop., 3(1): 71–77.
Mardiningsih, O. 2002. Teknik kultur in vitro dan variasi
genetik jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.)

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 53


Skripsi. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira,
S.A. & Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan Bogor.
Millar, C.I., Stephenson, N.L. & Stephens, S.L. 2007.
Climate change and forests of the future: managing in
the face of uncertainty. Ecological Applications, 17:
2145–2151.
Namkoong, G., Synder, E.B. & Stonecypher, R.W. 1966.
Heratibility and gain concepts for evaluating breeding
system such as seedling orchards. Silvae Genetica, 15:
76–84.
Nei, M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided
population. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 70: 3321–
3323.
Olaoye, G., Menkir, A., Ajala, S.O. & Jacob, S. 2009.
Evaluation of local maize (Zea mays L.) varieties from
Burkina Faso as source of tolerance to drought. J.
Applic. Biosci., 17: 887–898.
Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R. & Anthony,
S. 2009. Agroforestry tree database: a tree reference
and selection guide version 4.0.
http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/
Anthocephalus cadamba. pdf. diakses 12 Juli 2011.
Phillips, P.D., Yasman, I., Brash, T.E. & van Gardingen,
P.R. 2002. Grouping tree species for analysis of forest
data in Kalimantan (Indonesian Borneo). For. Ecol.
Manag., 157: 205–216.

54 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Phui, S.L., Ho, W.S. & Julaihi, A. 2008. Microsatellite


markers for Neolamarkia cadamba (Roxb.) Bosser
(Kelampayan): preliminary result. Proceedings of the
1st Research Symposium on Biotechnology: Curent
Atate of Knowledge and Future Directions.
Department of Moleculer Biology, Faculty of
Resource Science and Technology, University
Malayasia Serawak.
Possen, B.J.H.M., Oksanen, E., Rousi, M., Ruhanen, H.,
Ahonen, V., Tervahauta, A., Heinonen, J., Heiskanen,
J., Kärenlampi, S. & Vapaavuori, E. 2011.
Adaptability of birch (Betula pendula Roth) and aspen
(Populus tremula L.) genotypes to different soil
moisture conditions. For. Ecol. Manag., 262: 1387–
1399.
PPT (Pusat Penelitian Tanah). 1983. Jenis dan Macam
Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survai dan
Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID):
Pusat Penelitian Tanah Bogor.
Rawat, K. & Bakshi, M. 2011. Provenance variation in
cone, seed and seedling characteristics in natural
populations of Pinus wallichiana A.B. Jacks (Blue
Pine) in India. Annals For. Res., 54(1): 39–55.
Rehfeldt, G.E., Crookston, N.L., Warwell, M.V. & Evans,
J.S. 2006. Empirical analyses of plant–climate
relationships for western United States. International
Journal of Plant Science, 167: 1123–1150.
Sanches-Diaz, M., Tapia, C. & Antolin, M.C. 2008. Abscisic
acid and drought response of canarian laurel forest tree
species growing under controlled conditions. Environ.
Experim. Bot., 64: 155–161.

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 55


Seng, H.W., Siong, L.K., Bakar, E.A., Julin, F.B.,
Asyawandie, M.K.M. & Loi, P.S. 2010. Genetic
diversity of kalampayan using dominant DNA markers
based on inter-simple sequence repeats (ISSR) in
Serawak. Partnership Programme Serawak Forestry
Corporation and University Malayasia Serawak.
Serawak.
Setyadi, T., Nirsatmanto, A. & Sunarti, S. 2013. Genetic
variation on early growth of jabon (Antocephalus spp.)
observed in fisrt generation seedling seed orchard.
International Conference of Indonesia Forestry
Researchers, Bogor.
Shukla, R.P. & Ramakrishnan, P.S. 1986. Architecture and
growth strategies of tropical trees in relation to
successional status. Journal of Ecology, 74: 33–46.
Singh, A., Negi, M.S., Rajagopal, J., Bhatia, S., Tomar,
U.K., Srivastava, P.S. & Lakshmikumaran. 1999.
Assessment of genetic diversity in Azadirachta indica
using AFLP markers. Theorit. Appl. Gen., 99: 272–
279.
Slik, J.W.F. 2006 Trees of Sungai Wain. National Herbarium
Nederland, Leiden University Branch, Leiden,
Belanda.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Bogor (ID): IPB
Press.
Soerianegara, I. & Lemmens, R.H.M.J. 1993. Plant
resources of South-East Asia 5(1): Timber trees: major
commercial timbers. Wageningen (NL): Pudoc
Scientific Publishers.
Soetrisno, K. 1996. Pengaruh kandungan air tanah terhadap
pertumbuhan anakan jabon (Anthocephalus cadamba
Miq.). Frontir, 18: 99–109.
56 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Steffens, B., Wang, J. & Sauter, M. 2006. Interactions


between ethylene, giberellin and abscisic acid regulate
emergence and growth rate of adventitious roots in
deep water rice. Planta, 233: 604–612.
Sudrajat, D.J. 2015a. Genetic variation of fruit, seed and
seedling characteristics among 11 populations of
White jabon in Indonesia. For. Sci. Tech., DOI:
10.1080/21580103.2015.1007896. p. 1–7.
Sudrajat, D.J. 2015b. Keragaman populasi, uji provenansi
dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba (Roxb.)
Bosser). Disertasi Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. &
Mansur, I. 2015a. Adaptability of white jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) seedling from 12
populations to drought and waterlogging. Agrivita J.
Agric. Sci., 37(2): 130–143.
Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. &
Mansur, I. 2015b. Genetic diversity of white jabon
(Anthocephalus cadamba Miq.) based on AFLP
markers. Asia Pasific J. Mol. Biol. Biotech., 2(3): 224–
231.
Sudrajat, D.J., Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar, U.J. &
Mansur, I. 2015c. Genetic Parameters on Early
Growth of Anthocephalus cadamba Miq. in
Provenance-Progeny Test in West Java, Indonesia.
Biotropia. Inpress.
Sudrajat, D.J., Yulianti, Siregar, I.Z., Khumaida, N., Siregar,
U.J. & Mansur, I. 2014. Karakteristik tapak, benih dan
bibit jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.).
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(1): 31–44.

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 57


Tang, T., Zhong, Y., Jian, S. & Shi, S. 2003. Genetic
diversity of Hibiscus tiliaceus (Malvaceae) in China
assessed by AFLP markers. Annals Bot., 92: 409–414.
Tiong, S.Y., Chew, S.F., Ho, W.S. & Julaihi, A. 2010.
Genetic diversity of kelampayan (Neoklamarkia
cadamba) in Serawak using ISSR markers. Proceeding
of the 3rd Biotechnology Colloquium 2010. How far
have we gone? Departement of Molecular Biology,
Faculty of Resource Science and Technology.
Universiti Malaysia Serawak.
Tisdale, S.L., Nelson, W.L. & Beaton, J.D. 1985. Soil
fertility and fertilizer. 4th Edition. New York (US):
Macmillan.
Vuokko, R. & Otsamo, A. 1996. Species and provenance
selection for plantation forestry on grassland. In
Reforestation: metting the future industrial wood
demand. Proceedungs of a workshop held in Jakarta,
30 April-1 May 1996. Ministry of Forestry of
Indonesia and Enso Forest Development Oy Ltd.
Jakarta.
Wang, J.R., Hawkins, C.D.B. & Letchford, T. 1998.
Photosynthesis, water and nitrogen use efficiencies of
four paper birch (Betula papyrifera) populations
grown under different soil moisture and nutrient
regimes. For. Ecol. Manag., 112: 233–244.
White, T.L., Adams, W.T. & Neale, D.B. 2007. Forest
genetics. CAB International. Wallingford Oxfordshire
(UK): CABI Publishing.
Wright, I.J. & Westoby, M. 1999. Differences in seedling
growth behaviour among species: trait correlations
across species, and trait shifts along nutrient compared
to rainfall gradients. Journal of Ecology, 87: 85–97.

58 | Dede J. Sudrajat
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Yamamoto, F., Sakata, T. & Terazawa, K. 1995.


Physiological, morphological and anatomical
responses of Fraxinus mandshurica seedlings to
flooding. Tree Physiol., 15: 713–19.
Yarnia, M., Arabifard, N., Khoei & Zandi, P. 2011.
Evaluation of drought tolerance indices among some
winter rapeseed cultivars. African J. Biotech., 10(53):
10914–10922.
Zobel, B. & Talbert, J. 1984. Aplied forest tree
improvement. Illinois (US): Waveland Press Inc.

KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH, … | 59


BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH
Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam

A. Pendahuluan

alah satu tahap dalam upaya pembangunan hutan

S tanaman ialah ketersediaan pasokan benih dan bibit


yang berkualitas. Hal ini berkaitan erat dengan teknik
memproduksi benih dan bibit yang berkualitas. Banyak
permasalahan yang ditemui dalam opersional di lapangan
untuk mendapatkan benih dalam kualitas dan kuantitas yang
mencukupi. Beberapa permasalahan telah menyebabkan
produksi benih yang rendah antara lain keterbatasan pohon
induk, ketidak teraturan musim buah, ketidakpahaman
karakter bunga dan benih, serta rendahnya penguasaan
teknik pengunduhan benih. Rendahnya produksi benih juga
disebabkan oleh kendala-kendala ekologis dan/atau kendala
biologis.

Menurut Owen (1995), produksi benih yang rendah


disebabkan oleh kendala biologis, antara lain (1) lemahnya
inisiasi bunga, (2) pembungaan yang tidak serempak, (3)
gugurnya bunga, (4) gugurnya bakal biji, (5) gugurnya
embrio, dan (6) kegagalan benih atau buah untuk
berkembang menjadi masak atau ketidakmampuan
pengunduh untuk menentukan saat buah masak. Upaya
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang semuanya harus
dimulai dengan pemahaman tentang biologi reproduksinya.

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 61


Oleh karena itu, upaya meningkatkan produksi benih perlu
disertai dengan mengenal dan memahami biologi reproduksi
yang meliputi fenologi pembungaan.

Fenologi pembungaan atau proses pembungaan memiliki


tahapan penting yang semuanya harus berhasil
dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir, yaitu biji
(Ashari, 1998). Tahapan dalam pembungaan berupa induksi
bunga (evokasi), inisiasi bunga, perkembangan kuncup
bunga menuju anthesis, anthsesis, penyerbukan dan
pembuahan, serta perkembangan buah muda menuju
kemasakan buah dan biji (Elisa, 2004). Mengetahui saat
pohon menghasilkan buah yang masak secara fisiologis
merupakan hal yang penting. Mmenurut Copeland (1976),
benih yang masak memiliki kondisi fisis dan fisiologis yang
telah berkembang sempurna untuk bisa mengekspresikan
secara maksimum vigornya. Benih ini pada umumnya juga
lebih tahan untuk disimpan. Sebaliknya, keterlambatan
mengunduh juga dapat berakibat buruk. Memanen setelah
buahnya benar-benar masak kadang benar namun tidak
selalu demikian, karena masak fisiologis benih dapat dicapai
sebelum masak morfologis. Menunda panen demikian sama
artinya dengan menyimpan benih di pohon yang bersuhu
tinggi dan lembab. Pada suatu tegakan sumber benih, kadang
menentukan saat pengunduhan yang tepat tidak mudah
dilakukan karena buah masak seringkali tidak bisa dilihat
secara visual dari bawah pohon atau petugas pengunduh
tidak dapat memantau kondisi pembuahan pada suatu
sumber benih secara rutin setiap saat [terutama jika
lokasinya relatif jauh]. Dengan demikian, upaya
mendapatkan teknik memprediksi musim buah berdasarkan
fenologi pohon sangat diperlukan. Dalam hal ini, periode
buah masak dapat diprediksi berdasarkan pemahaman yang
baik tentang tata waktu perkembangan bunga dan buah.
Pemahaman tentang karakteristik morfologi dalam

62 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

perkembangan bunga dan buah, serta jangka waktu yang


diperlukan untuk perubahan dari satu tahap ke tahap yang
lain akan sangat membantu dalam memprediksi kapan saat
pengunduhan buah yang tepat.

B. Morfologi Bunga dan Buah Jabon

1. Morfologi Bunga Jabon

Bunga jabon (Gambar 4.1) merupakan bunga majemuk tak


berbatas (inflorescentia racemosa) yang tersusun dalam satu
rangkaian bunga yang berbentuk bulat disebut bongkol
(capitullum). Kumpulan bunga tersusun pada dasar bunga
yang berbentuk bulat. Malai bunga muncul dari ujung setiap
anak cabang (terminal). Satu bongkol bunga majemuk
menghasilkan 4.080 hingga 7.200 bunga tunggal.

Gambar 4.1. Bunga majemuk jabon putih

Berdasarkan kelengkapannya, bunga jabon disebut bunga


lengkap karena setiap bagian dari bunga berada dalam satu

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 63


kuntum bunga. Kelopak bunga berwarna putih berjumlah 5
helai dan saling berlekatan, panjang sekitar 1,13–1,55 mm
dan diameter sekitar 0,53 mm. Mahkota bunga gamopetal,
yaitu petal menyatu pada pangkalnya dan membentuk
seperti cawan dengan panjang petal 3,0–3,6 mm, diameter
ujung mahkota sekitar 0,8 mm, berwarna kuning dengan
jumlah 5 helai mahkota.

pistillum

stamen
petal

sepal

Gambar 4.2. Bunga tunggal dan struktur bunga jabon putih

Berdasarkan kelengkapan jenis kelamin, bunga jabon


merupakan bunga banci (hermaphroditus) yang mana
benang sari (stamen) dan putik (pistillum) berada dalam satu
bunga (Gambar 4.2). Benang sari berjumlah sama dengan
jumlah kelopak dan mahkota, yaitu 5 helai dengan tangkai
pendek atau melekat pada tabung mahkota sehingga posisi
kepala sari tenggelam di dalam mahkota; panjang benang
sari sekitar 0,44 mm. Putik berjumlah satu, berwarna putih,
dan putik memanjang keluar pada saat bunga mekar.
Panjang tangkai putik sekitar 3,73–4,47 mm dengan kepala

64 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

putih sepanjang 0,077–0,86 mm. Posisi kepala putik


menjuntai keluar dari mahkota bunga. Putik dan kepala putik
yang menjuntai keluar panjangnya sekitar 1,37–1,69 mm.
Putik (alat kelamin betina) dengan tangkai yang langsing
memanjang keluar dari kelopak dengan posisi yang berada
jauh di atas tangkai sari dan mengindikasikan bahwa
penyerbukan jabon memerlukan bantuan serangga yang
harus mengunjungi bunga untuk menyentuh kepala sari yang
menempel di bagian dalam mahkota bunga.

2. Morfologi Buah Jabon

Buah merupakan buah semu majemuk tersusun dari


kumpulan buah tunggal, berbentuk bulat dan lunak, dengan
bagian atas terdiri atas empat struktur berongga atau padat.
Dalam satu buah terdapat 3.280–5.792 buah tunggal.

Gambar 4.3. Buah semu majemuk jabon putih

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 65


Buah jabon berbentuk kapsul berdaging yang berkelompok
rapat bersama untuk membentuk daging buah. Ukuran buah
bervariasi. Hasil pengamatan terhadap tegakan jabon yang
berada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor,
menghasilkan buah yang berukuran panjang 28,3–53,5 cm
dan lebar 27,5–51,1 cm, dengan berat sekitar 13,7–70,4 gr.
Satu buah memiliki empat ruangan yang berisi kumpulan
benih. Selaput yang menyelubungi benih memiliki kulit
yang keras. Satu buah semu majemuk jabon menghasilkan
benih murni seberat 0,042–0,067 gr atau berisi sekitar
4.000–14.500 butir benih. Benih jabon berwarna coklat yang
bentuknya tidak teratur atau kadang berbentuk trigonal
dengan ukuran sekitar 0,54–0,68 x 0,38–0,47 mm.

A B C

Gambar 4.4. Buah majemuk (A), buah tunggal (B), dan ruang
yang berisi benih (C)

C. Periode Perkembangan Bunga dan Buah

Perkembangan bunga dimulai dari munculnya kuncup bakal


bunga yang terdapat pada bagian ujung dari anak cabang
hingga bunga layu. Kemudian, proses dilanjutkan dengan

66 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

perkembangan buah. Tahapan perkembangan bunga dan


buah dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Tunas generatif Kuncup Kuncup Bunga mekar


bakal bunga hijau kuning

Buah masak Buah hijau Bakal buah Bunga layu

Gambar 4.5. Tahapan perkembangan bunga dan buah

Buah mencapai masak fisiologis ketika sudah berwarna


kuning. Pada kondisi masak fisiologis, benih jabon berwarna
coklat gelap. Gambar perkembangan benih jabon dari muda
hingga masak ialah sebagai berikut:

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 67


Benih dalam
perkembangan
ukuran, volume
ovarium kecil, benih
pucat transparan.
Benih seperti ini
dijumpai pada bakal
buah atau buah kecil
berwarna kuning
kehijauan.

Benih berukuran
besar, luna,k dan
berwarna pucat.
Ditemukan pada
buah berwarna hijau.

Benih berukuram
maksimal, keras
berwarna coklat tua.
Dijumpai pada buah
berwarna kuning.

Gambar 4.6. Tahap perkembangan benih di dalam buah

68 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Tabel 4.1. Karakteristik morfologi dan periode perkembangan


bunga dan buah jabon putih.
No. Tahap Uraian Periode
1. Tunas Tunas bunga berbentuk seperti kerucut
generatif yang diselubungi sepasang seludang
(sphata) bunga. Seludang bunga
terlepas seiring bertambah besarnya
bakal bunga.
2. Kuncup Kuncup bunga berwara hijau tersusun
hijau pada permukaan dasar bunga yang
berbentuk bonggol dan susunan sangat
rapat. Kuncup kemudian bertambah
4–5
panjang dan mengalami perubahan
minggu
warna.
3. Kuncup Pada tahap ini, mahkota bunga memiliki
kuning pertambahan ukuran panjang dan
perubahan warna dari hijau menjadi
kuning. Jarak antarbunga yang
menempel di bonggol merenggang.
4. Bunga Ciri bunga telah mekar ialah keluarnya
mekar putik dari kuncup bunga yang berwarna
kuning. Putik memiliki ukuran yang
sangat panjang sehingga pada saat
mahkota membuka putik akan langsung
keluar. Sementara itu, benang sari akan
tetap berada di dalam mahkota bunga.
5. Bunga Semua bagian-bagian penyusun bunga
layu layu. Layunya bunga dimulai dari
mahkota bunga yang berubah warna
menjadi coklat dan selanjutnya diikuti
oleh benang sari, putik, dan terakhir
bagian bunga yang layu akan rontok dan
menyisakan kelopak bunga yang
menyelubungi bakal buah.
6. Bakal buah Setelah bunga layu, bakal buah akan
/ buah terbentuk. Pada tahap ini, bakal buah
kecil berwarna kuning kehijauan, kedudukan
kuning dari kumpulan biji berada di bagian
kehijauan bawah dari buah.

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 69


No. Tahap Uraian Periode
7. Buah Pada fase ini terjadi perkembangan pada 4–4,5
muda hijau kumpulan biji yang terkandung di bulan.
dalamnya. Hal ini terlihat bahwa rongga
antarbuah semakin memadat dan penuh,
yang mana terjadi pertambahan panjang
buah akibat perkembangan benih.
8. Buah Buah berwarna kuning kecoklatan pada
masak buah menandakan buah telah masak.
Benih yang terkandung dalam satu buah
mengalami perubahan warna dari warna
pucat menjadi warna coklat tua.

D. Musim Buah

Pohon jabon mulai menghasilkan buah dan benih setelah


berumur lima tahun. Pohon mulai belajar berbunga pada
umur empat tahun. Pembungaan umumnya dimulai pada
bulan April–Agustus, kadang Maret–November, dan buah
masak pada bula Juni–Agustus (Martawijaya et al., 1989).
Menurut Bijalwan et al. (2014), pohon jabon mulai berbunga
dan berbuah umur 6–7 tahun. Pada tegakan jabon di
Kecamatan Rumpin Bogor, beberapa pohon diketahui
memiliki periode buah masak dua kali setahun. Setelah
pohon berbunga kemudian berkembang menjadi buah
masak, dan setelah buah gugur langsung diikuti dengan
munculnya bunga baru sehingga selisih antara buah pertama
ke buah kedua ialah sekitar lima bulan. Bunga muncul di
bulan November–Desember dan buah masak pada bulan
April–Mei. Kadang setelah buah gugur, pohon jabon
berbunga lagi dan buah masak kedua terjadi pada bulan
Oktober–November. Pengumpulan benih buah dapat
dilakukan dari buah yang berjatuhan. Buah kadang menjadi
makanan kelelawar sehingga buah kadang harus diperoleh

70 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

bukan di bawah pohon bersangkutan, tetapi berada di tempat


kelelawar memakan buah jabon.

Daftar Pustaka

Ashari, S. 1998. Pengantar Biologi reproduksi Tanaman.


Rineka Cipta, Jakarta.
Bijalwan, A, Dobriyal, M.J.R. & Bhartiya, J. K. 2014. A
potential fast growing tree for Agroforestry and
Carbon Sequestration in India: Anthocephalus
cadamba (Roxb.) Miq. American Journal of
Agriculture and Forestry, 2(6): 296–301.
Elisa. 2004. Biologi Reproduksi Tanaman Buah-Buahan
Komersial. Bayu Media Malang, Jawa Timur
May, R.M., Lawton, J.H. & Stork, N.E. 1995. Extinction
Rates. Oxfort University Press. pp. 1–24.
Moncur, M.W., Rasmussen, G.F. & Hasan, O. 1994.
Effect of Paclobutrazol on Flower Bud Production in
Eucalyptus nitens Espalier Seed Orchards. Canadian
Journal of Forest, 24: 46–49
Yuniarti, N., Zanzibar, M. & Pramono, A.A. 2013.
Pendugaan vigor daya simpan benih antar jenis
tanaman hutan berdasarkan karakteristik fisik,
fisiologis dan kandungan biokimia. Dalam:
Optimalisasi Peran Silvikultur untuk Menjawab
Tantangan Kehutanan Masa Depa. Prosiding Seminar
nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Tahunan
Masyarakat Silvikultur Indonesia Makasar, 29–30
Agustus 2013. pp 396–401.
Nerd, A., Irijimovich, V. & Mizrahi, Y. 1998. Phenology,
breeding system and fruit development of argan

BIOLOGI REPRODUKSI JABON PUTIH | 71


(Argania spinosa, Sapotaceae) cultivated in Israel.
Economic Botany, 52(2): 161–167.
Owens, J.N. 1993. Biological Constraints to Seed
Production in Tropical Forest Trees. In Proceedings
International Symposium on Genetic Conservation and
Production of Tropical Forest Tree Seed. Drysdale,
R.M., John, S.E.T & Yapa, A.C. (eds). ASEAN-
CANADA Forest Tree Seed Centre. Muak-Lek,
Saraburi, Thailand. pp 40–51.
Owens, J.N. 1995. Constraints to Seed Production:
Temperate and Tropical Forest Trees. Tree Physiology
15. Heron Publishing. Canada. pp. 477–484.
Pramono, A.A., Rustam, E., Ismiati, I. & Royani, H. 2012.
Fenologi Jenis Nyawai (Ficus variegata), Suren
(Toona sinensis), dan Kayu Bawang (Dysoxylum
mollisimum). Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Bogor. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor
Pramono, A.A. 2014. Aspek Ekologi dan Silvikultur dalam
Pengelolaan Sumber Benih dengan Pola Agroforestri:
Kasus pada Surian (Toona sinensis (A. Juss) M.
Roem) di Kabupaten Sumedang. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertaian Bogor.
Pramono, A.A., Syamsuwida, D., Aminah, A., Royani, H.,
Muharam, A. & Abay. 2010. Teknik Peningkatan
Produksi Benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu
Pertukangan Jenis Jelutung Rawa (Dyera lowii),
Gelam (Melaleuca leucadendron) dan Suren (Toona
sinensis). Laporan Hasil Penelitian. Sumber Dana
Dipa Bptp Bogor Tahun 2010. Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Bogor. Tidak diterbitkan.

72 | Agus Astho Pramono dan Evayusvita Rustam


PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS
Eliya Suita dan Naning Yuniarti

A. Pendahuluan

enyiapan benih berkualitas merupakan kegiatan

P teknologi perbenihan untuk menghasilkan benih


bermutu fisis-fisiologis tinggi sebagai bahan tanaman
yang berkualitas. Sumber benih berperan dalam
menghasilkan mutu genetis yang baik. Dengan demikian,
tingkatan sumber benih yang tinggi dan dipadu dengan
penanganan benih yang baik, akan menghasilkan benih
bermutu fisis-fisiologis dan genetis yang tinggi untuk
meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Oleh sebab itu,
untuk mendapatkan benih berkualitas diperlukan tahapan
kegiatan meliputi pengumpulan buah yang sudah masak
fisiologis, ekstraksi benih (proses pengeluaran benih dari
buah), dan sortasi benih.

B. Pengumpulan Buah

Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih.


Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia,
beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan, seperti (a) hutan
lindung, (b) hutan rakyat, dan (c) hutan tanaman milik
perusahaan BUMN/swasta. Pengumpulan buah dapat
dilakukan dengan cara pengumpulan buah dari lantai hutan
dan dari atas pohon. Buah dikumpulkan dari minimal 10

PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 73


pohon induk untuk keperluan skala kecil dan minimal 25
pohon induk untuk keperluan skala besar.

Pengumpulan buah dilakukan hanya pada pohon-pohon yang


memiliki fenotip dan pertumbuhan baik, serta tidak tumbuh
terisolir. Beberapa peralatan yang diperlukan dalam kegiatan
pengumpulan buah, antara lain wadah benih (seperti karung
goni, kantong kain katun, dan kantong plastik); penanda
pohon atau pita berwarna, dan clipper besar; peralatan
memanjat pohon; pemetik buah (seperti tongkat panjang
atau galah berkait); pemotong ranting; teropong binocular
untuk mengamati tajuk pohon dan perkembangan buah;
kapak, gergaji, dan pisau; peralatan mengukur pohon;
penampung buah/benih di bawah pohon (seperti terpal atau
plastik), dan peralatan lainnya untuk berbagai keperluan
(tali, label, spidol, buku, kaca pembesar, peta, kompas,
altimeter dan kamera).

Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat sebagian besar


pohon yang berada pada sumber benih berbuah. Semakin
besar persentase pohon yang berbuah akan memengaruhi
mutu benih secara genetis dan efisiensi biaya. Cara
pengumpulan buah yang dipilih dipengaruhi oleh
karakteristik benih, sebaran pohon induk, tegakan, dan
kondisi lokasi.

Pengumpulan buah jabon putih dilakukan dengan cara


memanjat dan memetiknya dan/atau dengan cara
mengumpulkan yang sudah jatuh. Buah jabon putih yang
diunduh yaitu buah yang sudah tua/masak yang ditandai
dengan kulit buah berwarna kuning atau coklat muda dan
daging buah sudah lunak (Mansur & Taheteru, 2011). Buah
yang dikumpulkan sebaiknya berukuran besar dan jika
dibelah, akan terlihat ruang-ruang yang penuh biji.

74 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 5.1. Buah jabon putih yang sudah masak

C. Ekstraksi Benih

Ekstraksi benih jabon putih dapat dilakukan dengan dua


cara, yaitu ekstraksi kering dan basah. Menurut Mansur dan
Taheteru (2011), apabila benih jabon putih diekstraksi cara
kering akan menghasilkan kemurnian benih kurang dari 50%
karena tercampur dengan serbuk dan daging buah.
Sebaliknya, cara ekstraksi basah dapat menghasilkan
kemurnian 100%.

1. Ekstraksi Kering

Ekstraksi kering dilakukan dengan cara buah jabon putih


dicacah hingga berukuran kecil dan tipis agar mudah kering,
lalu dijemur selama ±2 hari. Cacahan buah yang sudah
kering ditumbuk halus, kemudian disaring dengan
menggunakan saringan santan (Mansur & Taheteru, 2011).

PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 75


2. Ekstraksi Basah

Menurut Bogidarmanti et al. (2013), ekstraksi basah buah


jabon dilakukan dengan menaruh buah jabon putih dalam
karung dan memeramnya hingga daging buah lunak (±1
minggu). Selama pemeraman, penyiraman dilakukan setiap
hari. Kemudian, buah jabon akan mengalami pecah-pecah
dan dilanjutkan dengan perendaman dalam bak yang berisi
air. Buah diremas-remas hingga hancur. Mengingat buah
jabon berlendir, benih disaring lebih kurang tiga kali dengan
pergantian air dan diendapkan. Kemudian, hasil tersebut
disaring dengan kain blacu, diperas, dan dikeringanginkan
selama 3–4 hari. Sementara itu, Mansur dan Taheteru (2011)
menyebutkan bahwa cara ekstraksi basah buah jabon yaitu
buah direndam dalam air semalam atau hingga buah lunak,
kemudian buah diremas-remas hinga halus. Setelah itu,
bahan disaring dengan saringan santan ukuran lubang 1–2
mm untuk memisahkan benih dan daging buah. Daging buah
dibuang, sedangkan butiran yang lolos diendapkan.
Kemudian, endapan disaring dengan kain blacu/sifon,
diperas, dan dicuci beberapa kali hingga air bilasan bersih
atau lendirnya hilang. Setelah itu, benih dikeringanginkan.

D. Sortasi Benih

Menurut Zanzibar (2008), sortasi ialah salah satu cara untuk


meningkatkan viabilitas benih. Sortasi benih merupakan
pengelompokan benih berdasarkan ukuran tertentu dan
memisahkan benih dari kotoran lainnya. Sortasi secara
umum bertujuan menentukan klasifikasi komoditas
berdasarkan mutu sejenis yang terdapat dalam komoditas itu
sendiri (Anugrahandy et al., 2013). Tujuan sortasi secara
khusus ialah meningkatkan dan menjaga kemurnian benih
(Bramasto, 2008). Sortasi benih dapat didasarkan pada sifat-

76 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

sifat morfologi atau fisiologi benih, misalnya dimensi (kecil,


sedang, dan besar) atau berat benih (Suita, 2010; Suita,
2013; Yuniarti et al., 2013).

Sortasi benih meliputi kegiatan pemilahan fraksi


berdasarkan karakteristik fisik (kadar air, bentuk ukuran
berat, jenis, tekstur, warna, benda asing/kotoran), kimia
(komposisi bahan, bau, dan rasa ketengikan), dan kondisi
biologisnya (jenis dan kerusakan oleh serangga, jumlah
mikroba, dan daya tumbuh khusus untuk benih). Sortasi
dilakukan dengan cara penyaringan, pengukuran, dan
penimbangan untuk memisahkan ukuran benih berdasarkan
kelas ukuran tertentu. Cara penyaringan dengan ayakan
(mes) akan efektif untuk benih-benih yang berukuran kecil
dan untuk benih-benih yang berbentuk relatif bulat.

Gambar 5.2. Ukuran saringan untuk benih jabon putih

Sortasi benih jabon menggunakan saringan/ayakan (mes)


berukuran 0,25 mm dan 0,3 mm. Benih besar ialah benih
yang tertahan pada mes ukuran 0,3 mm, benih sedang ialah

PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 77


yang tertahan pada mes ukuran 0,25 mm, dan benih kecil
ialah yang lolos dari mes 0,25. Benih hasil sortasi yang
dikecambahkan sesuai ukuran benih masing-masing ±0,1 g,
menghasilkan daya berkecambah benih untuk ukuran besar
(>0,3 mm) 727 kecambah, ukuran sedang (0,25–0,3mm) 518
kecambah dan ukuran kecil (<0,25mm) 54 kecambah,
sedangkan benih kontrol (sebelum sortasi) menghasilkan
kecambah sebanyak 430 kecambah.

A B

Gambar 5.3. Proses sortasi (A) dan hasil sortasi (B)

Menurut Duladi (2013), jumlah benih jabon putih per kg


ialah 21.739.000–26.182.000 benih dengan berat satu butir
benih jabon ialah 0,000038–0,000046 g. Sementara itu,
menurut Bogidarmanti et al. (2013), jumlah benih jabon
putih per kg ialah 26.667.667–28.888.889 butir atau berat
satu juta butir biji kering udara ialah sekitar 38–56 g.
Terdapat variasi antarpopulasi dalam ukuran buah dan benih
tanaman jabon putih. Berat buah jabon putih berkisar antara
28,15–111,25 g. Panjang benih jabon putih berkisar antara
562,8–635,6 µm dan diameter benih antara 395,9–471,0 µm.

78 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

A B

Gambar 5.4. Benih jabon putih (A) dan benih jabon putih dilihat
dengan mikroskop (B)

Daftar Pustaka
Anugrahandy, A., Argo, B.D. & Susilo, B. 2013.
Perancangan Alat Sortasi Otomatis Buah Apel
Manalagi (Malus sylvestris Mill) Menggunakan
Mikrokontroler AVR ATMega 16. Jurnal Keteknikan
Pertanian Tropis dan Biosistem, 1(1): 1–9.
Bogidarmanti, R., Mindawati, N. & Bramasto, Y. 2013.
Manual Budidaya Jabon Putih. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Direktorat Jenderal
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial, Direktorat Bina Perbenihan
Tanaman Hutan.
Bramasto, Y. 2008. Teknik Penanganan Benih Tanaman
Hutan Hasil Panen. Mitra Hutan Tanaman, 3(3): 131–
140.

PENYIAPAN BENIH BERKUALITAS | 79


Duladi. 2013. Panduan Lengkap Pembibitan Jabon
(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq). IPB Press.
Mansur, I. & Tuheteru, F.D. 2011. Kayu Jabon. Penebar
Swadaya.
Suita, E. 2010. Seleksi dan Pendugaan Umur Simpan benih
Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi Jenis Weru
(Albizia procera) dan Pilang (Acacia leucophloea).
Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan
Tanaman. Tanggal 1 Desember 2010. Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Hal : 323–
325.
Suita, E. 2013. Pengaruh Sortasi Benih Terhadap Viabilitas
dan Pertumbuhan Bibit Akor (Acacia auriculiformis).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan, 1(2): 83–91.
Yuniarti, N., Megawati & Leksono, B. 2013. Pengaruh
Metode Ekstraksi dan Ukuran Benih Terhadap Mutu
Fisik-Fisiologis Benih Acacia crassicarpa. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(3): 129–137.
Zanzibar, M. 2008. Metode Sortasi dengan Perendaman
Dalam H2O dan Hubungan Antara Daya Berkecambah
dan Nilai Konduktivitas Pada Benih Tusam (Pinus
merkusii Jungh Et De Vriese). Jurnal Standardisasi,
10(2): 86–92.

80 | Eliya Suita dan Naning Yuniarti


PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN,
STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT
JABON PUTIH
Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi

A. Pendahuluan

alah satu faktor yang menentukan keberhasilan

S penanaman jabon putih ialah tersedianya benih dan


bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tepat
waktu. Guna mendapatkan benih dan bibit berkualitas
tersebut, teknik perkecambahan dan pembibitan yang tepat
sangat diperlukan agar standar mutu benih dan bibit
berkualitas tercapai.

Perkecambahan benih merupakan salah satu indikator yang


berkaitan dengan kualitas benih (Rohandi & Widyani,
2009). Tujuan pengujian perkecambahan (daya
berkecambah) yaitu mendeteksi parameter viabilitas
potensial benih dalam kondisi optimum (Sutopo, 2010).
Selain pengujian daya berkecambah, teknik pembibitan juga
harus dilakukan secara benar agar bibit yang dihasilkan
berkualitas.

Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dapat dilakukan


melalui pembibitan secara generatif dengan media yang
kaya bahan organik dan mempunyai unsur hara yang
diperlukan tanaman (Durahim, 2001). Hal ini karena media
tumbuh di persemaian menjadi penting sebagai tempat
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 81
tanaman menyerap unsur hara selama tanaman belum siap
untuk di tanam di lapangan (Kurniaty et al., 2006). Pada
beberapa jenis tanaman hutan, naungan diperlukan untuk
mengurangi penguapan (transpirasi) dan mempertahankan
kelembaban di persemaian sebagai suatu upaya manipulasi
terhadap masuknya sinar matahari yang diterima oleh
tanaman (Kurniaty et al., 2010).

Dalam sertifikasi mutu benih dan bibit, perangkat berupa


standar metode pengujian dan standar mutu benih dan bibit
sangat diperlukan. Kebutuhan standar mutu benih dan bibit
dalam rangka pengawasan mutu benih dan bibit yang
beredar dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) No. P.01/Menhut-II/2009 pada pasal 47 yang
menyatakan bahwa “Setiap benih atau bibit yang beredar
harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat
mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih
bersertifikat; atau surat keterangan pengujian untuk benih
dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih
bersertifikat”. Beberapa alasan penting ditetapkannya
standar mutu benih dan bibit, antara lain (1) untuk
perencanaan pengadaan bibit di persemaian, (2) mutu fisik
dan fisiologis dapat menggambarkan mutu genetisnya, dan
(3) perlindungan terhadap pengguna benih.

B. Perkecambahan

Secara morfologis, perkecambahan benih ialah perubahan


bentuk dari embrio menjadi kecambah. Secara fisiologis,
perkecambahan benih ialah dimulainya kembali proses
metabolisme dan pertumbuhan struktur penting embrio yang
tadinya tertunda ditandai dengan munculnya struktur
tersebut menembus kulit benih. Secara biokimiawi,
perkecambahan merupakan rangkaian perubahan lintasan-

82 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

lintasan oksidatif dan biosintesis. Secara teknologi benih,


perkecambahan yaitu muncul dan berkembangnya struktur
penting dari embrio, serta menunjukan kemampuan untuk
berkembang menjadi tanaman normal dan diharapkan
berproduksi normal pada kondisi lingkungan yang optimum
(Widajati et al., 2012).

Tahapan proses metabolisme perkecambahan dari benih


hingga tumbuh menjadi kecambah normal, yaitu imbibisi,
reaktivasi, inisiasi pertumbuhan embrio, retaknya kulit
benih, munculnya akar menembus kulit benih, dan
munculnya kecambah hingga kecambah normal. Faktor-
faktor yang memengaruhi perkecambahan benih ialah faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor genetis,
tingkat kemasakan benih, dan umur benih. Faktor eksternal
(lingkungan perkecambahan) terdiri atas air, suhu, cahaya,
gas, dan media perkecambahan (Widajati et al., 2012).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik


perkecambahan benih jabon putih, yaitu (1) densitas/
kerapatan benih, (2) sterilisasi media tabur benih, dan (3)
media perkecambahan dan penaburan benih.

1. Densitas/Kerapatan Benih

Pengujian densitas/kerapatan benih dapat memberikan


informasi mengenai tingkat keberhasilan perkecambahan
untuk mendukung pengadaan bibit dalam program
penanaman. Penggunaan benih secara efektif untuk
penaburan pada wadah bibit di persemaian dapat
ditingkatkan dengan menggunakan daya berkecambah untuk
menentukan tingkat penaburan.

Pengujian densitas umumnya dapat dilakukan dengan


mengatur jumlah benih di penanaman, populasi tanaman,
PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 83
atau pengaturan jarak tanam. Densitas benih dapat dilakukan
antara lain dengan cara mengatur jumlah benih per cm 2 atau
bobot benih per cm2 di bak kecambah atau bedeng tabur
sebelum kecambah atau semai dipindahkan ke persemaian.
Pengujian densitas benih dapat dilakukan pada bak tabur
berukuran 15 x 20 cm atau ukuran yang lain dengan jumlah
benih yang ditabur disesuaikan dengan ukuran benih.
Pengujian daya tumbuh kecambah di bedeng tabur
merupakan pengujian benih dalam kondisi suboptimum yang
bertujuan memprediksi kemampuan tumbuh benih pada
kondisi yang mendekati kondisi sebenarnya di lapangan,
serta dengan pengamatan pada hitungan awal dan akhir
(Kartika, 1994).

Penentuan kerapatan benih jabon putih berdasarkan data


hasil pengamatan pada tahap pengusangan (0, 48, 96, 144,
dan 192 jam). Apabila data daya berkecambah benih dari
masing-masing tahap pengusangan sudah diperoleh,
informasi kerapatan benih yang akan digunakan dapat
diketahui. Penentuan kerapatan benih dihitung berdasarkan
kelipatan nisbah kecambah yang tumbuh normal setiap lot
(N) terhadap kontrol. Kerapatan benih jabon putih
menggunakan benih seberat 0,1 gram benih dengan ukuran
bak kecambah 300 cm2 sehingga kerapatan benih (d) awal
atau d0 = 0,1 gram benih/300 cm2 (Kartika, 1994).

84 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 6.1. Bak kecambah ukuran 15x20 cm

Kerapatan benih setelah pengusangan dalam penelitian ini


ialah (Kartika, 1994):

N0 N0
d1 =  d0 d3 =  d0
N1 N3
N0 N0
d2 =  d0 d4 =  d0
N2 N4

Hasil nilai rerata daya berkecambah benih jabon putih


berdasarkan taraf pengusangan dan densitas benih jabon
putih setelah mengalami pengusangan dicantumkan pada
Tabel 6.1 (Yuniarti et al., 2013).

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 85


Tabel 6.1. Nilai rerata daya berkecambah benih jabon putih
berdasarkan taraf pengusangan.
Daya
Perlakuan
Berkecambah/ Densitas benih
Pengusangan
0,1 gram benih
P0 (0 Jam/kontrol) 1.140 0,1000 gram benih/300 cm2
P1 (48 Jam) 826 0,1972 gram benih/300 cm2
P2 (96 Jam) 873 0,2581 gram benih/300 cm2
P3 (144 Jam) 961 0,1279 gram benih/300 cm2
P4 (192 Jam) 980 0,1161 gram benih/300 cm2

2. Teknik Perkecambahan

a. Sterilisasi media tabur


Media tabur harus disterilisasi terlebih dahulu sebelum
dilakukan penaburan benih. Tujuan dari sterilisasi media
ialah menghilangkan mikroorganisme, seperti cendawan dan
bakteri yang terdapat pada media tabur. Sterilisasi media
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1) media
disangrai selama 2 jam, (2) media diuap air panas dengan
menggunakan drum selama 1–1,5 jam, dan (3) media
direbus dengan menggunakan drum selama 1–1,5 jam.

b. Media perkecambahan dan penaburan benih


Kamil (1982) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
substrat/media perkecambahan ialah bahan atau material di
mana biji ditempatkan untuk pengujian perkecambahan.
Persyaratan media yang baik untuk perkecambahan ialah
ringan, tidak mahal, mempunyai komposisi yang seragam,
mudah didapat, mempunyai kapasitas tukar kation (KTK)
yang tinggi, mengandung hara, porous, mampu menyimpan
air, serta bebas hama dan penyakit.

86 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Benih jabon putih mempunyai ukuran yang sangat kecil


sehingga memerlukan struktur media yang halus. Untuk
mendapatkan struktur media yang halus dilakukan
pengayakan media seperti pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2. Persiapan media tabur

Sebelum penaburan benih dilakukan, media tabur disiram


hingga jenuh dan disemprot dengan fungisida untuk
mencegah timbulnya jamur penyebab busuk kecambah
(Surip & Sumaryana, 2012). Benih jabon putih tidak
memerlukan perlakuan pendahuluan sebelum ditabur.
Untuk penaburan, benih dicampur dulu dengan pasir halus
dengan perbandingan benih dan pasir halus yaitu 1:10/v:v
(Gambar 6.3).

Setelah dilakukan penaburan, bak kecambah ditutup dengan


plastik transparan (Gambar 6.4) Hal ini dimaksudkan agar
kelembaban di dalam bak kecambah bisa terjaga. Setelah
benih tumbuh menjadi kecambah normal, tutup plastik
dibuka agar cahaya dan udara luar bisa masuk karena
diperlukan untuk pertumbuhan kecambah.

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 87


Gambar 6.3. Cara penaburan benih jabon putih

Gambar 6.4. Cara penutupan plastik transparan di atas bak


kecambah

Gambar 6.5. Pengamatan perkecambahan jabon putih

88 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Daya berkecambah benih memberikan informasi kepada


pemakai benih terhadap kemampuan benih tumbuh normal
menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam keadaan
biofisik lapangan yang serba optimum (Sutopo, 2010).
Benih jabon putih tumbuh menjadi kecambah normal pada
hari ke 10 sejak penaburan. Pengamatan daya berkecambah
(DB) diawali pada hari ke 10 sejak penaburan dan diakhiri
pada ke 40 hari (Gambar 6.5). Kriteria kecambah normal
benih jabon yaitu telah muncul sepasang daun (Gambar 6.6).

Gambar 6.6. Kecambah normal jabon putih

Gambar 6.7. Perkecambahan di media pasir : arang sekam (1:1)

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 89


Hasil pengamatan daya berkecambah menunjukan bahwa
ada beberapa media perkecambahan yang cocok untuk benih
jabon, yaitu (1) campuran media pasir : tanah : cocopeat
dengan perbandingan volume 1:1:1 menghasilkan DB: 912
kecambah/0,1 g, (2) campuran media pasir : tanah : cocopeat
: kompos (1:1:1:1) menghasilkan DB: 871 kecambah/0,1 g,
(3) campuran media pasir : arang sekam (1:1) menghasilkan
DB: 902 kecambah/0,1 g, dan (4) campuran media tanah :
pasir (1:1) menghasilkan DB: 727 kecambah/0,1 g.

C. Pembibitan

1. Pembuatan Media Sapih

a. Media
Media sapih harus memenuhi syarat murah, mudah didapat,
ringan, mengandung hara, dan porous. Sebelum digunakan,
media harus disterilkan terlebih dahulu dengan cara diuap air
panas atau direbus dengan menggunakan drum. Dalam
pembibitan jabon putih, media yang sesuai untuk
pertumbuhan bibit hinga umur lima bulan ialah media
kompos organik yang dapat menghasilkan tinggi 27,7 cm,
diameter 2,23 mm, persen hidup 86%, berat kering 4,86 g,
dan IMB 0,65 (Pramono et al., 2011).

b. Wadah bibit
Umumnya wadah bibit menggunakan kantung plastik yang
berlubang di bagian bawah dan pinggirnya (polybag).
Ukuran wadah tergantung bibit yang akan dibuat, mulai
ukuran kecil (4 x 10 cm) yang biasa disebut sosis hingga
ukuran 30 x 40 cm. Bibit jabon bisa menggunakan ukuran
sosis. Selain polybag, polycup dapat juga digunakan. Wadah

90 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

ini dapat digunakan berulang, namun harganya lebih mahal


dari polybag (Gambar 6.8)

A B

Gambar 6.8. Polycup (A) dan bibit jabon dengan polycup (B)

c. Naungan
Fungsi naungan pada bibit sewaktu kecil (Prastowo et al.,
2006):
1) Mengatur sinar matahari yang masuk ke pembibitan (30–
60%).
2) Menciptakan iklim mikro yang ideal bagi pertumbuhan
awal bibit.
3) Menghindarkan bibit dari sengatan matahari langsung
yang dapat membakar daun-daun muda.
4) Menurunkan suhu tanah di siang hari, memelihara
kelembaban tanah dan mengurangi derasnya curahan air
hujan
5) Naungan dapat dibuat dari plastik, paranet atau dari
pelepah daun.
6) Naungan yang cocok untuk bibit jabon putih yaitu yang
memiliki kerapatan 50%.

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 91


2. Penyapihan

Semai jabon yang disapih ialah semai yang telah memiliki


minimal empat pasang daun atau sekitar 21–30 hari setelah
penaburan. Penyapihan dilakukan pada pagi hari sekitar jam
7.00–10.00 atau sore jam 15.00–17.00. Sebelum disapih,
media semai disiram sampai lembab untuk memudahkan
pencabutan semai. Pencabutan dilakukan dengan hati-hati
supaya akar tidak patah. Pinset atau batang yang lancip
seperti pensil digunakan untuk membantu mencongkel
semai. Semai ditanam dalam polybag atau polycup yang
medianya telah dilubangi, kemudian media sekitar semai
dipadatkan. Media disiram menggunakan sprayer.
Polybag/polycup tersebut diletakkan di tempat yang teduh.
Setelah segar, polybag/polycup disusun di dalam rak
pembibitan dengan naungan 50% (Gambar 6.9).

Gambar 6.9. Semai yang telah disapih (Foto: Eva, 2015)

92 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

3. Tempat Pemeliharaan Bibit

Bibit jabon yang telah disapih ke dalam polybag atau


polycup sebaiknya dipelihara di atas rak pembibitan. Hal ini
dapat mencegah kelebihan air siraman atau air hujan karena
dengan menggunakan rak, air tersebut langsung jatuh
sehingga bibit dapat terhindar dari serangan jamur akibat
kelembaban yang tinggi. Selain itu, manfaat lain
menggunakan rak ialah pertumbuhan akar tunggang akan
terhambat dan akar lateral akan bertambah sehingga bibit
menjadi kokoh (Gambar 6.10).

Gambar 6.10. Rak tempat pemeliharaan bibit (Foto: Rina, 2015)

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 93


4. Pemeliharaan Bibit

Pemeliharaan bibit jabon di persemaian terdiri atas:

a. Penyiraman
Penyiraman dilakukan sehari dua kali, yaitu pagi sekitar jam
6.00–8.00 dan sore jam 16.00–18.00 dengan menggunakan
gembor

b. Penyiangan
Penyiangan ialah menghilangkan rumput atau tumbuhan liar
yang tumbuh bersama semai

c. Pemupukan
Pemupukan dilakukan pada umur satu bulan setelah
penyapihan dengan menggunakan pupuk NPK dosis 2 g per
bibit, dan diulang pada umur dua bulan.

d. Pewiwilan
Pewiwilan dilakukan setelah tinggi bibit minimal 20 cm
dengan membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau
berpenyakit, dan menyisakan tiga pasang daun teratas.

e. Pemotongan akar
Pemotongan akar rutin dilakukan agar akar tidak keluar dari
polybag [jika menggunakan polybag]. Pemotongan terakhir
minimal 1–2 minggu sebelum bibit didistribusikan.

f. Penjarangan
Jarak antarbibit perlu dijarangkan jika antarbibit sudah
saling bersinggungan atau daunnya saling menutupi.

94 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

g. Penyulaman
Penyulaman dilakukan jika ada bibit yang mati atau hampir
seluruh bagian tanaman terserang hama atau penyakit.

h. Pemberantasan hama dan penyakit


Hama yang biasa menyerang bibit di persemaian antara lain
ulat penggulung daun, kutu putih, dan ulat perisai.
Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif
permetrin dan BPMC atau insektisida hayati berbahan aktif
Bacillus thuringiensis, insektisida sistemik yang
mengandung senyawa organophospor. Contoh insektisida
antara lain Supracide 25 WP, Decis 2,5 EC, atau Reagent 50
SC dengan konsentrasi 2 cc/l air.

Penyakit yang menyerang bibit di persemaian umumnya


disebabkan oleh Rhizoctonia sp, Phytophthora sp, Fusarium
sp, dan Phytium sp. Bibit yang terserang penyakit segera
dipisahkan dari bibit yang sehat, kemudian seluruh bibit
disemprot dengan Antracol 70 WP atau Dithane M-45 80
WP dengan konsentrasi 2 cc/l atau 2 g/l air. Penyemprotan
diulang seminggu sekali.

5. Aklimatisasi

Sebelum dipindahkan ke lapangan, bibit jabon perlu


diadaptasi selama 3–4 minggu untuk menyesuaikan dengan
kondisi di lapangan. Caranya yaitu dengan membuka
naungan secara bertahap dari 50%, 30%, hingga terbuka,
kemudian mengurangi penyiraman dan menjarangkan jarak
antarbibit.

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 95


6. Seleksi Bibit

Seleksi bertujuan memilih bibit yang baik dan memenuhi


syarat untuk ditanam di lapangan. Bibit jabon umur lima
bulan telah siap dipindahkan ke lapangan. Ciri bibit yang
baik, yaitu:
a. Batang kokoh dan berkayu dengan warna kecoklatan.
b. Batang tunggal, tumbuh tegak, proporsi antara diameter
dan tinggi tampak seimbang.
c. Pucuk sehat, daun segar dan tidak terserang hama atau
penyakit.
d. Media porus dan akarnya kuat mengikat media. Apabila
bibit dicabut dari polybag/polycup, media dan akar akan
membentuk gumpalan yang utuh (kompak) (Gambar
6.11).

A B

Gambar 6.11. Bibit jabon siap tanam (A) dan kekompakan media
dan perakaran pada bibit jabon siap tanam (B) (Foto: Rina, 2009)

96 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

7. Pengiriman Bibit

Bibit dapat dikirim dengan dua cara, yaitu berupa


cabutan/stump (tanpa polybag) atau dengan polybag.
a. Bibit dalam bentuk cabutan dikirim dengan memberikan
bahan pelembab pada akarnya (seperti cocopeat basah),
kemudian dibungkus dengan pelepah pisang dan diikat.
b. Bibit yang dikirim dengan polybag: media dalam polybag
dikeluarkan setengahnya, kemudian diisi cocopeat basah.
Bibit diletakkan di tempat yang teduh. Setelah satu
minggu, bibit disusun dalam peti berventilasi dan siap
untuk dikirim.
c. Apabila pengiriman bibit lewat darat, media dalam
polybag tidak perlu dikurangi.

D. Standardisasi Mutu Benih dan Bibit Jabon Putih

Bibit ialah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara


generatif atau secara vegetatif. Mutu bibit merupakan
ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan bibit beradaptasi dan tumbuh setelah
penanaman (Mattson, 1996; Wilson & Jacobs, 2005). Mutu
bibit juga didefinisikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan
tujuan (fitness for purpose) yang mencerminkan berbagai
parameter yang menentukan bibit dapat beradaptasi dan
tumbuh setelah ditanam di lapangan (Mattson, 1996; Wilson
& Jacobs, 2005). Kriteria mutu bibit sangat terkait dengan
jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi) sehingga
tidak dapat diadopsi secara langsung dari berbagai jenis
yang berbeda atau dari berbagai wilayah lain. Pengertian
yang mendasar dalam memformulasikan suatu standar mutu
bibit ialah mutu bibit bukan merupakan parameter yang kaku
tetapi suatu yang dinamis dan merefleksikan semua aspek

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 97


dari lingkungan tempat tumbuh, perubahan musim, dan
variasi perlakuan tanaman (Hawkins, 1996).

Mutu bibit yang ditujukan untuk penanaman pada tapak-


tapak berbeda akan berbeda kriterianya, tetapi secara umum
bibit-bibit tersebut harus mempunyai sistem perakaran yang
baik dengan banyak akar baru yang tumbuh cepat (Wilson &
Jacobs, 2005). Pada areal tertentu yang lingkungannya agak
ekstrem (seperti daerah banjir, kering, kadar garam tinggi,
dan tapak yang miskin hara) hanya bibit yang mampu
berkembang baik yang mempunyai kesempatan untuk
tumbu. Sebagai contoh; pada daerah kering, bibit dengan
sistem perakaran dalam akan lebih mampu tumbuh dengan
baik; sedangkan pada daerah bergulma, bibit dengan ukuran
yang lebih besar akan tumbuh lebih baik karena memerlukan
kemampuan bersaing pada tahap awal pertumbuhan.

Menurut Haase (2006), kriteria mutu bibit yang banyak


digunakan, yaitu deskripsi tipe stok bibit di persemaian,
karakteristik morfologi, dan kondisi fisiologis. Stok bibit
digambarkan oleh umur, lokasi persemaian, dan
pertumbuhan bibit. Karakteristik morfologi bibit merupakan
atribut yang ditentukan secara visual, seperti tinggi,
diameter, masa akar, dan rasio pucuk akar. Sementara itu,
kondisi fisiologis bibit merupakan suatu kondisi awal dan
hasil proses fisiologi pada bibit, yaitu ketahanan terhadap
stres, keseimbangan nutrisi, kemampuan menumbuhkan
tunas dan akar baru, dan kondisi-kondisi fisiologis lainnya.

Pengukuran mutu morfologi bibit umumnya digunakan


untuk bibit jenis-jenis kayu keras. Parameter seperti tinggi,
diameter pangkal batang, volume akar, dan jumlah akar
lateral telah digunakan cukup sukses (Thompson & Schultz,
1995; Jacobs & Seifert, 2004). Namun demikian,
efektivitasnya sangat tergantung pada kondisi fisiologi bibit

98 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

dan lingkungan penanaman. Bibit yang berukuran besar


tidak selalu menjadi bibit bermutu tinggi. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa uji morfologi bibit
memberikan hasil yang tidak konsisten yang disebabkan
oleh perbedaan dalam praktik pengelolaan persemaian, jenis,
dan kondisi lingkungan penanaman (Wakeley, 1954).

Pengukuran aktivitas fisiologi bibit dapat memberikan hasil


pendugaan mutu bibit yang lebih akurat (Ritchie, 1984). Uji
fisiologi telah dipratikkan pada jenis-jenis konifer di
beberapa lokasi persemaian secara operasional oleh USDA
Forest Service dan memberikan hasil yang lebih nyata.
Pengujian mutu fisiologi bibit dapat dilakukan dengan
beberapa uji, seperti potensi pertumbuhan akar, dormansi
pucuk, stres terhadap seluruh bagian tanaman, hara/nutrisi
tanaman, dan kapasitas fotosintesis. Uji fisiologi meskipun
lebih mencerminkan kemampuan bibit tumbuh setelah
penanaman, uji ini relatif membutuhkan waktu dalam
pengukurannya (Rietveld & Tinus, 1987).

Penentuan standar mutu bibit di beberapa negara didasarkan


pada uji mutu bibit, baik morfologi maupun fisiologi, yang
dihubungkan dengan keberhasilan bibit setelah ditanam di
lapangan (Jacobs et al., 2005). Beberapa penelitian
menyatakan bahwa parameter morfologi yang mempunyai
korelasi positif dengan daya adaptasi dan pertumbuhan bibit
di lapangan ialah diameter batang (South & Mitchell, 1999).
Diameter berkorelasi baik dengan ukuran dan perkembangan
akar (Rose et al., 1997). Hasil penelitian lain menyatakan
diameter atau tinggi bibit yang lebih kecil mempunyai daya
adaptasi dan pertumbuhan yang lebih baik, khususnya pada
kondisi tapak spesifik, seperti pegunungan atau lokasi-lokasi
spesifik lainnya (Jurasek et al., 2009).

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 99


Secara umum, korelasi antara beberapa parameter yang
diukur untuk melihat hubungan antara morfologi bibit jabon
putih di persemaian dengan di lapangan masih rendah
(Gambar 6.12 dan 6.13).

Gambar 6.12. Korelasi antara tinggi bibit jabon putih di


persemaian dan indeks kekokohan dengan tinggi bibit di lapangan
(tinggi uji lapangan)

Gambar 6.13. Korelasi antara indeks kekokohan dengan persen


hidup bibit, dan berat basah akar dengan tinggi bibit jabon putih di
lapangan (tinggi uji lapangan)

100 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Bibit jabon putih memiliki ciri khas batang yang lunak


sehingga persyaratan persentase batang berkayu minimal
50% tidak dapat dipenuhi. Kondisi ekologi tempat
tumbuhnya yang relatif berair dengan lapisan tanah
sedimentasi menyebabkan kondisi batang tanaman seperti
ini cukup ideal untuk beradaptasi dan mengalami
pertumbuhan selanjutnya. Menurut Budiman et al. (2015),
kriteria morfologi bibit jabon putih yang dapat beradaptasi
pada kondisi lapangan dari uji penanaman di Parung Panjang
(Bogor), yaitu tinggi bibit 20–30 cm, diameter lebih dari 4,5
mm, kekokohan batang di bawah 6 dan berat kering total 3
gram.

Kriteria bibit jabon putih siap tanam minimal berukuran


diameter mendekati 5,25 mm, tinggi lebih dari 40 cm,
jumlah daun minimal 6 helai, dan umur bibit sekitar 4–5
bulan. Kriteria tersebut dapat ditetapkan sebagai suatu
standar mutu bibit siap tanam.

Daftar Pustaka
Budiman, B., Sudrajat, D.J., Lee, D.K. & Kim, Y.S. 2015.
Effecet of initial morphology on field performance in
white jabon seeedlings at Bogor, Indonesia. Forest
Science and Technology, 11(4): 206–211.
Dey, D.C. & Parker, W.C. 1997. Morphological Indicators
of Stock Quality and Yield Performance of Red Oak
(Quercus rubra L.) Seedlings Underplanted in a
Central Ontario Shelterwood. New Forests, 14: 145–
156.
Durahim & Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan
Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi
Sebagai Campuran Top Soil Untuk Mikoriza

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 101


Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swietenia macrophylla
King). Buletin Penelitian Hutan, 628: 13–26.
Haase, D.L. 2008. Understanding Forest Seedling Quality:
Measurements and Interpretation. Tree Planters’ Notes
USDA Forest Service, 52(2): 24–30.
Hawkins, B. J. 1996. Planting Stock Quality Assessment. In
Yapa, A.C. (ed.). Proc Intl. Symp. Recent Advances in
Tropical Tree Seed Technol. and Planting Stock
Production. ASEAN Forest Tree Seed Centre,
Muaklek, Saraburi, Thailand.
Kamil. 1982. Teknologi Benih I. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Kartika, E. 1994. Penentuan Kriteria Vigor Bibit serta
Pengaruh Tingkat Devigorasi dan Densitas Benih
terhadap Keberhasilan Persemaian Paraserianthes
falcataria (L.) dan Acacia mangium Wild. Skripsi.
Kurniaty, R., Budiman, B. & Suartana, M. 2006. Teknik
Pembibitan Tanaman Hutan Secara Generatif.
Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor.
Kurniaty, R., Damayanti, R.U., Budiman, B. & Sumarna.
2010. Teknik Pembibitan Tanaman Hutan Secara
Generatif. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Bogor.
Jacobs, D.F. & Seifert, J.R. 2004. Re-evaluating the
Significant on the Fisrt Order Lateral Root Grading
Criterion for Hardwood Seedlings. In Proceeding of
the Fourteenth Central Hardwood Foreast
Conference. 16-19 March 2004. USDA Forest Service.
pp. 382–388.

102 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Jacobs, D.F., Garnider, E.S., Salifu, K.F., Overton, R.P.,


Hernandes, G., Corbin, M.E., Wightman, K.E. &
Selig, M.F. 2005. Seedling Quality Standards for
Bottomland Hardwood Afforestation in the Lower
Mississippi River Alluvial Valley: Preliminary
Results. USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-
35. pp. 9–16.
Jurasek, A., Leugner, J. & Martincova, J. 2009. Effect of
Initial Height of Seedlings on the Growth of Planting
Material of Norway Spruce (Picea abies (L.) Karst.) in
Mountain Conditions. Journal of Forest Science,
55(3): 112–118.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using
Seedling Quality Assessment. New Forests, 13: 223–
248.
Nurhasybi, Widyani, N., Royani, H. & Hadi, A. 2013.
Standar mutu bibit siap tanam jenis jabon putih
(Anthocephalus cadamba) dan bambang lanang
(Magnolia champaca). BPTPTH. Bogor. (tidak
diterbitkan)
Pramono, A., Kurniaty, R. & Siregar, N. 2011. Teknik
Perbanyakan Tanaman Secara Generatif dan Vegetatif
jenis Mahang (Macaranga hypoleuca), skubung (M.
gigantea), benuang bini (O. sumatrana) dan jabon (A.
cadamba). Laporan Hasil Penelitian, Balai Penetian
Teknologi Perbenihan Bogor.
Prastowo, N.H., Roshetko, J.M, Maurung, G.E.S., Nugraha,
E., Tukan, J.M. & Harum, F. 2006. Teknik Pembibitan
dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World
Agroforestry Centre (IGRAF) & Winrock
International. Bogor. Indonesia. pp. 100.

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 103


Rietveld, W.J. & Tinus, R.W. 1987. Alternative Methods to
Evaluate Root Growth Potential and Measure Root
Growth. The Intermountain Forest Nursery
Association Meeting, Oklahoma, August 10–14, 1987.
Ritchie, G.A. 1984. Root Growth Potential; Principles,
Procedurs and Predictive Ability. In Proceedings
Evaluation Seedling Quality; Principles, Procedures
and Predictive Abilities of Mayor Test (Duryea, M.L.,
Ed.). Oregon State University. Forest Research
Laboratory. pp. 93–105.
Rohandi, A. & Widyani, N. 2009. Komposisi Vigor
Kecambah Tusam Pada Beberapa Tingkat Devigorasi
Dan Kerapatan Benih. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 6(5): 261–271.
Rose, R., Haase, D.L., Kroiher, F. & Sabin, T. 1997. Root
Volume and Growth of Ponderosa Pine and Douglas-
fir Seedlings. A Summary of eigth growing seasons.
Western Journal of Applied Forestry, 12: 69–73.
Semerci, A. 2005. Fifth Year Performance of
Morphologically Graded Cedrus libani Seedlings in
the Central Anatolia Region of Turkey. Turkey Jurnal
Agricultural and Forestry, 29: 483–491.
South, D.B. & Mitchell, R.J. 1999. Determining the
Optimum Slash Pine Seedling Size for Use with Four
Levels of Vegetation Management on a Flatwoods Site
in Georgia, USA. Canadian Journal of Forest
Research, 29(7): 1039–1046.
South, D.B., Mexal, J.G. & Van Buijtenen. J.P. 1989. The
Relationship between Seedling Diameter and Planting
and Long Term Growth of Loblolly Pine Seedlings in
East Texas. In Proc. 10th North Am. Forest Biology

104 | Naning Yuniarti, Rina Kurniaty, dan Nurhasybi


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Workshop, August, 1989. University of British


Columbia, Vancouver, B.C., Canada. pp: 192–199.
Sudrajat, D.J., Syamsuwida, D., Nurhasybi & Budiman, B.
2009. Kajian Standar Mutu Bibit Tanaman Hutan.
Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor.
Surip & Sumaryana. Teknik Pembuatan Bibit Jabon Putih
(Anthocepalus cadamba) sebagai Materi
Pembangunan Kebun Benih Semai Uji Keturunan
Generasi Pertama (F-1). Info Pemuliaan Tanaman
Hutan, 10(1).
Sutopo, L. 2010. Teknologi Benih. Edisi Revisi. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Thompson, J.R. & Schultz, R.C. 1995. Root System
Morphology of Quercus rubra L. Planting Stock and
3-year Field Performance in Iowa. New Forest, 9:
225–236.
Wakeley, P.C. 1954. Planting the Southern Pines.
Agriculture Monograf No. 18. USDA Forest Service.
Washinton D.C. pp: 233.
Widajati, E., Murniati, E., Palupi., E., Kartika, T.,
Suhartanto, M.R. & Qadir, A. 2012. Dasar Ilmu dan
Teknologi Benih. IPB Press. Bogor.
Wilson, B.C. & Jacobs, D.F. 2005. Quality Assessment of
Hardwood Seedings. Hardwood Tree Improvement
and Regeneration Center, Purdue University. Indiana.
Yuniarti, N., Nurhasybi, Suharti,T., Haryadi, D. & Royani,
H. 2013. Penentuan karakteristik dan densitas benih
jabon putih (Anthocephalus cadamba (Roxb) Miq.)
dan bambang lanang (Michelia champaca Linn.).
Laporan Hasil Penelitian, BPTP Bogor.

PERKECAMBAHAN, PEMBIBITAN, STANDAR MUTU … | 105


KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN
BENIH
Nurhasybi dan Naning Yuniarti

A. Pendahuluan

ermasalahan yang sering timbul dalam pengadaan

P benih tanaman hutan ialah viabilitas dan vigor benih


yang rendah, terutama jika disimpan dalam waktu
yang cukup lama. Keadaan ini sangat memengaruhi
keberhasilan penanaman di lapangan. Teknik penyimpanan
dari masing-masing benih berbeda antara benih yang satu
dengan lainnya, tergantung dari karakteristik/watak benih.
Oleh sebab itu, karakteristik/watak benih harus diketahui
untuk berhasilnya penyimpanan benih.

Berdasarkan potensi fisiologisnya, karakteristik benih


dikelompokkan menjadi tiga kelompok: benih ortodoks,
intermediate, dan rekalsitran. Benih ortodoks ialah benih
yang dapat dikeringkan hingga kadar air rendah (2,5%) dan
dapat disimpan dalam waktu lama pada suhu dan
kelembaban yang rendah tanpa menyebabkan penurunan
viabilitas benih yang berarti (Chin & Krisnaphillay, 1989).
Benih rekalsitran ialah benih yang cepat rusak (viabilitas
menurun) jika diturunkan kadar airnya (12–31%) dan tidak
tahan disimpan pada suhu dan kelembaban rendah (Roberts,
1973). Selain itu, benih rekalsitran ketika jatuh mengandung
kadar air tinggi sehingga sedikit/tidak mengalami kering

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 107


masak pada pohon induk (Berjak et al., 1990). Sensitivitas
terhadap pengeringan untuk benih rekalsitran berbeda untuk
setiap jenis, bahkan dalam famili atau genus yang sama.
Sementara itu, benih intermediate ialah benih yang dapat
dikeringkan hingga kadar air agak rendah tapi tidak tahan
terhadap temperatur rendah (Ellis et al., 1990).

Benih ortodoks mempunyai sifat toleran terhadap


pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5–7%,
dan suhu ruang simpannya 0–20oC (Schmidt, 2000). Benih
ortodoks pada umumnya memiliki kandungan karbohidrat
yang paling tinggi dibandingkan dengan protein dan lemak.
Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa benih yang
memiliki kandungan karbohidrat tinggi relatif memiliki daya
simpan yang tinggi. Karbohidrat merupakan cadangan
makanan bagi benih untuk bertahan hidup sehingga benih
dapat bertahan hidup selama disimpan dan tumbuh menjadi
kecambah. Sementara itu, benih rekalsitran pada umumnya
memiliki kandungan lemak yang tinggi. Menurut Sudjindro
(1994) & Suzanna (1999), benih yang mempunyai
kandungan lemak tinggi akan cepat rusak selama
penyimpanan. Kandungan asam lemak yang tinggi di dalam
benih juga merupakan indikasi terjadinya proses respirasi
yang tinggi sehingga menyebabkan benih kehilangan energi
untuk perkecambahan. Selama penyimpanan, benih yang
mengandung banyak lemak lebih cepat rusak dibandingkan
dengan benih yang banyak mengandung pati atau protein
(Sudjindro, 1994).

B. Karakteristik Benih Jabon Putih

Penentuan karakteristik benih jabon putih didasarkan pada


perlakuan tingkat pengeringan dan daya simpan benih. Pada
pengeringan 0 jam (kontrol), nilai kadar air awal benih jabon

108 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

putih yang dihasilkan yaitu sebesar 9,15% dengan daya


berkecambah 1.140 kecambah/0,1 g, kecepatan
berkecambah 60,46 kecambah/hari, kadar protein 13,4%,
lemak 19,9%, dan karbohidrat 46,7%. Nilai kadar air
mengalami penurunan pada pengeringan selama 24 jam
(8,59%) dan terus menurun hingga pengeringan 48 jam
(8,11%). Pada pengeringan 48 jam hingga 72 jam (7,94%),
kadar air relatif stabil dan tidak memberikan nilai kadar air
yang berbeda nyata. Pada pengeringan 72 jam, daya
berkecambah yang dihasilkan yaitu 953 kecambah/0,1 g,
kecepatan berkecambah 42,65 kecambah/hari, kadar protein
14,4%, lemak 21%, dan karbohidrat 44,1%. Penurunan
kadar air benih hingga ke pengeringan 72 jam menyebabkan
penurunan daya berkecambah yang nyata. Diduga, kadar air
benih kritis jabon putih mendekati 7,94–8,11% (Yuniarti,
et.al, 2013).

Penurunan kadar air benih juga berpengaruh nyata terhadap


daya simpan benih jabon putih. Perlakuan yang dapat
menghasilkan viabilitas benih lebih tinggi, yaitu
menggunakan tingkat pengeringan selama 72 jam
(KA=7,08%) yang disimpan di kulkas (suhu 1–4oC dan
kelembaban 50%). Dilihat dari kandungan biokimia
(protein, lemak, karbohidrat), terlihat bahwa benih jabon
putih memiliki kadar karbohidrat yang paling tinggi (46,7%)
dibandingkan dengan kadar protein (13,4%) dan lemak
(19,9%). Setelah penyimpanan, terjadi penurunan nilai
kadar protein dan peningkatan kadar lemak dan karbohidrat.
Benih jabon putih memiliki kandungan karbohidrat yang
paling tinggi dibandingkan dengan protein dan lemak
(Yuniarti et al., 2013). Justice & Bass (2002) menyatakan
bahwa benih yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi
relatif memiliki daya simpan yang tinggi. Karbohidrat
merupakan cadangan makanan bagi benih untuk bertahan

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 109


hidup sehingga benih dapat bertahan hidup selama disimpan
dan tumbuh menjadi kecambah.

Menurut Yuniarti et al. (2013), karakteristik benih jabon


putih termasuk ke dalam benih ortodoks yang mempunyai
kadar air awal 9,15% dan kadar air kritis 7,94–8,11%. Benih
ortodoks dapat dikeringkan hingga kadar air rendah dan
dapat disimpan dalam waktu lama pada suhu dan
kelembaban yang rendah tanpa menyebabkan penurunan
viabilitas benih yang berarti (Chin & Krisnaphillay, 1989).
Benih ortodoks dapat disimpan untuk periode yang relatif
lama pada suhu rendah dengan kadar air benih <10%
(Bonner, 1990). Benih ortodoks mempunyai sifat toleran
terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air
penyimpanan 5–7%, dengan suhu ruang simpannya 0–20oC
(Schmidt, 2000).

Tabel 7.1. Sifat Benih Ortodoks


Sifat Deskripsi
Keadaan alami Dominan di lingkungan arid dan semiarid, serta
pionir di iklim basah; juga banyak dijumpai di
iklim sedang dan dataran tinggi tropis.
Famili dan genus Myrtaceae, Leguminosae, Pinaceae,
Casuarinaceae, Dipterocarpaceae *).
Kadar air benih Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah,
dan suhu kadar air penyimpanan 5–7%, dengan suhu 0–
penyimpanan 20oC, sedangkan untuk cryo-preservasi kadar air
2– 4% dan suhu -150C hingga -20oC.

Potensi waktu Pada kondisi optimal, beberapa tahun untuk


penyimpanan kebanyakan jenis hingga puluhan tahun untuk
jenis lainnya.
Karakteristik Kecil hingga medium, seringkali dengan kulit
benih biji keras.

110 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Sifat Deskripsi
Karakteristik Penambahan berat kering berhenti sebelum
kemasakan masak. Kadar air turun hingga 6–10% saat
masak dengan variasi kecil di antara individu
benih
Dormansi Dormansi sering terjadi
Metabolisme saat Tidak aktif
masak
Kategori Dapat dikeringkan pada kadar air rendah tetapi
karakteristik lain peka suhu rendah (disebut intermediate seperti
pada benih Swietenia macrophylla). Beberapa jenis pohon
ortodoks tidak dapat mempertahankan viabilitas di bawah
kadar air minimum tertentu disebut
suborthodoks, seperti Agathis australis dan
Agathis macrophylla

Sumber: Schmidt, 2000


Catatan: Beberapa jenis Dipterocarpus sp. (Dipterocarpus alatus, Dipterocarpus
intricatus, Dipterocarpus tuberculatus).

Tabel 7.1. Sifat Benih Rekalsitran


Sifat Deskripsi
Keadaan alami Iklim panas dan lembab (hutan klimaks
tropika basah dan mangrove), iklim sedang,
dan beberapa jenis ditemukan di daerah
kering.
Famili dan genus Dipterocarpaceae, Rhizophoraceae,
Meliaceae, Artocarpus, Durio, Araucaria,
Triplochiton, Agathis, Syzgium, Quercus.
Kadar air benih dan Tidak toleran terhadap pengeringan dan
suhu penyimpanan suhu rendah, kecuali beberapa jenis
rekalsitran iklim sedang. Tingkat toleransi
tergantung jenis, biasanya kadar air
penyimpanan 20–35% dengan suhu 12–15oC
(beberapa jenis lain pada suhu 15–20oC.)

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 111


Sifat Deskripsi
Potensi waktu Beberapa hari untuk rekalsitran ekstrim
penyimpanan sampai beberapa bulan untuk yang lebih
toleran. Beberapa jenis Dipterocarpus dapat
disimpan bertahun-tahun pada kadar air
rendah (10–12%) dan temperatur di bawah
titik beku (-20oC hingga -30oC).
Karakteristik benih Umumnya, ukuran benih medium hingga
besar, dan berat.
Karakteristik Penambahan berat kering terjadi hingga
kemasakan buah/benih jatuh, Kadar air pada saat masak
30–70% dengan variasi besar di antara
individu benih.
Dormansi Tidak terdapat dormansi atau dormansi
lemah. Kemasakan dan perkecambahan
terjadi dalam waktu singkat.
Metabolisme saat Aktif.
masak

Sumber: Schmidt, 2000

C. Teknik Penyimpanan Benih Jabon Putih

Pernyimpanan benih merupakan upaya mempertahankan


viabilitas benih, sejak dari pengumpulan benih, distribusi
benih hingga ke persemaian, dan penanaman benih secara
langsung di lapangan. Viabilitas benih diharapkan dapat
dipertahankan, tetapi tidak dapat ditingkatkan karena daya
berkecambahnya menurun sejalan dengan waktu
penyimpanan (Byrd, 1983). Beberapa pertimbangan dalam
kaitannya dengan penyimpanan benih: 1) musim panen
buah tidak sejalan dengan musim penanaman, 2) jenis-jenis
pohon tertentu tidak selalu berbuah setiap tahun, 3) benih
harus diangkut ke tempat pemrosesan benih yang jauh, dan

112 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

4) benih jenis tertentu memerlukan proses pemasakan lebih


dahulu (after ripening) agar daya berkecambahnya optimal.

Penyimpanan hanya dilakukan pada benih dengan daya


berkecambah awal lebih dari 50% karena di bawah nilai ini
mengindikasikan bahwa benih telah mengalami kerusakan
permanen (Schmidt, 2000). Penyimpanan menggunakan rak
kayu/besi merupakan cara untuk mencegah benih
bersentuhan dengan lantai yang rawan terhadap serangan
jamur karena meningkatnya kelembaban di dalam kemasan.
Beberapa faktor yang memengaruhi ketahanan benih dalam
penyimpanan, antara lain 1) genetik, 2) kemasakan buah, 3)
waktu pemanenan, 4) kerusakan mekanis selama peng-
olahan, 5) penurunan fisiologi selama proses pemanenan dan
pengangkutan, 6) serangan jamur dan/atau serangga, dan 7)
viabilitas awal benih.

Beberapa jenis tanaman hutan, seperti jati dan gmelina,


benihnya memerlukan pemeraman atau pemasakan buatan
selama 15–30 hari agar benih yang dihasilkan mempunyai
potensi tumbuh maksimum. Cara pemeraman benih jati
menggunakan wadah porous (seperti kain blacu atau karung
goni) yang diletakkan dalam ruang suhu kamar dan benih,
sedangkan benih gmelina menggunakan wadah agak porous
(seperti kantong plastik tipis tebal 0,07–0,1 mm) yang
diletakkan dalam ruang ber-AC.

Untuk penyimpanan jangka panjang (lebih dari 1 tahun)


digunakan wadah yang impermeabel terhadap uap air dan
gas (kaleng aluminium atau timah, plastik tebal 0,1–0,25
mm, drum, dan sebagainya), sedangkan untuk jangka pendek
(1–12 bulan) dapat digunakan wadah yang bersifat
permeabel terhadap uap air dan gas (kain katun, kantong
kertas, kertas karton, dan sebagainya). Kondisi wadah
dalam keadaan kedap untuk membatasi benih berespirasi.

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 113


Benih ditempatkan dalam wadah secara penuh dan padat
yang hanya sedikit sekali menyisakan ruang udara di antara
benih.

Ruang simpan yang dapat digunakan, antara lain 1) ruang


kamar (suhu 25–30oC, kelembaban nisbi 70–80%), 2) ruang
simpan kering sejuk/AC (suhu 18–20oC, kelembaban nisbi
50–60%), 3) ruang simpan kering dingin/drycold storage
(suhu 4–8oC, kelembaban nisbi 40–50%), dan 4) ruang
simpan dingin (suhu -10– -15oC, kelembaban nisbi 40–
50%). Ruang simpan yang digunakan juga harus dalam
keadaan gelap untuk membatasi metabolisme benih.
Penyimpanan jangka pendek menggunakan ruang kamar
atau ruang simpan kering sejuk/AC, sedangkan
penyimpanan jangka panjang menggunakan ruang simpan
kering dingin atau ruang simpan dingin.

Penelitian penyimpanan benih sangat bermanfaat untuk


mempertahankan viabilitas benih sebelum digunakan dalam
perbanyakan tanaman untuk penanaman. Beberapa hasil
penelitian berhasil mempertahankan viabilitas cukup lama,
walaupun masih belum mencapai hal yang ideal jika
dibandingkan dengan penelitian di luar negeri. Hal ini
karena keterbatasan sarana dan prasarana penyimpanan
benih, seperti penyimpanan benih mahoni (S. macrophylla)
sebagai benih intermediate. Benih jenis ini memiliki kadar
air setelah pengeringan 3–5% jika disimpan di ruang ber-AC
(suhu 18–20°C, kelembaban 50–60%), dan dengan
menggunakan wadah kedap (kantong plastik tebal dalam
kaleng logam) selama satu tahun menghasilkan daya
berkecambah mencapai 70–80%. Namun di Thailand, benih
mahoni dapat disimpan selama dua tahun dalam kantong
plastik pada temperatur 10° C (Pukittayacamee et al., 1995).
Sebaliknya, penelitian penyimpanan tidak terlalu penting
dilakukan untuk benih ortodoks, seperti jenis-jenis Acacia

114 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

sp, P. falcataria, dan Eucalyptus sp yang dapat disimpan


sangat lama (5–20 tahun) (Wang et al., 1993).

Benih jabon putih dapat disimpan selama sembilan bulan


menggunakan wadah simpan kantong plastik dalam
refrigerator (suhu 7–10C, kelembaban relatif 40–50%)
dengan rerata jumlah kecambah 1.234,50 kecambah/0,1 g
pada rerata kadar air benih 7,78% (Nurhasybi et al., 2003).
Benih jabon putih masih memiliki jumlah kecambah 314
kecambah/0,1 g setelah disimpan 18 bulan (Nurhasybi,
1997).

Daftar Pustaka
Berjak, P, Farrant, J., Mycock, D.J. & Pammenter, N.W.
1990. Recalcitrant (homiohydrous) Seeds: The Enigma
of Their Desiccation Sensitivy. Seed Sci. & Tech., 18:
297–310.
Bonner, F.T. 1990. Storage of Seeds: Potential and
Limitations for Germplasm Conservation. Forest
Ecology and Management, 35: 35–43.
Byrd, H.W. 1993. Pedoman teknologi benih. PT.
Pembimbing Massa. Jakarta. (terjemahan).
Chin, H.F. & Krishnapillay, G. 1989. Seed Moisture:
Recalcitrant vs Orthodox Seeds. In Seed Moisture
(eds. Stanwood & Mc. Donald), pp 15–22. Crop
Science and Technology, 1: 427–452.
Ellis, R.H., Hong, T.D. & Roberts, E.H. 1990. An
Intermediate Category of Seed Storage Behaviour I.
Coffee. Journal of Experimental Botany, 41: 1167–
1174.

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 115


Justice, O.L & Bass, L.N. 2002. Prinsip dan Praktek
Penyimpanan Benih (Terjemahan). PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Nurhasybi, Muharam, A. & Ismed. 2003. Daya Simpan
Benih Jabon (Anthocephalus cadamba) pada Berbagai
Ruang dan Wadah Simpan. Buletin Teknologi
Perbenihan, 10(2).
Nurhasybi. 1997. Teknik Penyimpanan Benih Jabon
(Anthocephalus cadamba). LUC No. 227. Balai
Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Pukittayacamee, P., Saelim, S. & Bhodthipuks, J. 1995. Seed
Storage of Swietenia macrophylla. ASEAN Forest
Tree Seed Centre Project. Muak-lek Saraburi.
Thailand.
Roberts, E.H. 1973. Predicting the Viability of Seeds. Seed
Science and Technology, 1: 499–514.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman
Hutan Tropis dan Sub Tropis (Terjemahan).
Kerjasama Direktorat Jenderal RLPS dan IFSP. PT.
Gramedia. Jakarta. 530 hal. (terjemahan).
Suzana, E. 1999. Pengaruh penurunan kadar air dan
penyimpanan terhadap perubahan fisiologis dan
biokimia benih karet (Hevea brasilliensis). Tesis,
Program Pasca sarjana. IPB-Bogor. Unpublished.
Sudjindro. 1994. Indikasi kemunduran viabilitas oleh
dampak guncangan pada benih kenaf (Hibiscus
cannabinus L.). Disertasi Program Pasca Sarjana.
IPB.
Yuniarti, N., Nurhasybi, Suharti, T., Haryadi, D., & Royani,
H. 2013. Penentuan karakteristik dan densitas benih

116 | Nurhasybi dan Naning Yuniarti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

jabon putih (anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)


dan bambang lanang (michelia champaca Linn.).
Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor.
Wang, B.S.P., Charest, P.J. & Downie, B. 1993. Ex situ
storage of seeds, pollen and in vitro cultures of
perennial woody plant species. FAO. Rome, Italy.

KARAKTERISTIK DAN PENYIMPANAN BENIH | 117


HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT
JABON PUTIH
Yulianti dan Tati Suharti

A. Pendahuluan

roduktivitas dan kualitas hutan tanaman dipengaruhi

P oleh berbagai hal, salah satu faktor yang cukup


berperan ialah penggunaan benih. Penggunaan benih
bermutu mutlak adanya, yaitu bermutu fisis, fisiologis dan
genetis yang tinggi, serta bebas dari hama dan penyakit.
Benih dan bibit tidak menutup kemungkinan untuk terserang
hama atau penyakit. Sebagai struktur perbanyakan tanaman,
benih dan bibit mempunyai hubungan sangat erat dengan
perkembangan dan penyebaran hama dan penyakit. Benih
sebagai bahan yang memiliki nutrisi tinggi, seperti
karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber pakan
menarik bagi sejumlah organisme sehingga kemungkinan
untuk diserang hama atau patogen sangatlah besar.
Serangan dapat dimulai dari proses pembungaan hingga
pembuahan, pada saat penanganan, atau pada saat benih
disimpan.

Menurut Schmidt (2000), organisme luar yang dapat


menyebabkan kerusakan benih dapat digolongkan sebagai
hama dan penyakit. Jenis hama yang umum menyerang
benih dan bibit tanaman hutan ialah jenis serangga.
Sementara itu, penyakit pada benih dan bibit tanaman hutan
dapat disebabkan oleh cendawan, bakteri, atau virus. Hama

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 119


dan penyakit harus dikendalikan selama proses penanganan
benih, baik pada saat setelah panen maupun pada saat
penyimpanan. Hal ini untuk mencegah kerusakan yang
lebih parah pada benih yang sudah terinfeksi dan untuk
mencegah penyebarannya terhadap benih-benih yang lain.
Adanya serangan hama atau penyakit pada benih akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas
semai ataupun bibit hingga pertumbuhan tanaman di
lapangan.

Organisme patogen, seperti cendawan, bakteri dan virus


dapat menurunkan nilai ekonomis dari suatu kelompok
benih (Schmidt, 2000). Kerugian akibat penyakit atau
patogen yang terbawa benih tersebut sering terjadi di
lapangan dan di tempat penyimpanan. Kerugian tersebut
dapat terjadi secara langsung pada tanaman yang berasal dari
benih yang bersangkutan atau dapat terjadi dalam jangka
panjang setelah patogen mampu bertahan pada habitatnya di
tanah, sisa tanaman, dan tumbuhan gulma.

Permasalahan yang sering muncul dalam program


penanaman ialah serangan penyakit (patogen) yang
seringkali terjadi pada waktu mengecambahkan benih di
bedeng tabur sehingga dapat menyebabkan bibit mati. Hadi
(1996) menyatakan bahwa cendawan dapat merusak benih
dan mengakibatkan penurunan/hilangnya viabilitas atau
menyebabkan penurunan ketahanan benih. Beberapa jenis
cendawan dapat berada dalam keadaan dorman pada
permukaan atau di dalam jaringan benih. Cendawan
tersebut kemudian dapat berkembang pada kecambah yang
lain, bibit, atau tanaman yang telah dewasa. Patogen inilah
yang disebut patogen terbawa benih.

Identifikasi hama dan penyakit benih dan bibit penting


dilakukan karena akan berkaitan dengan strategi

120 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

pengelolaannya. Selain itu, apabila diketahui adanya hama


atau penyakit yang menyerang, dapat diduga sejauh mana
pengaruh yang ditimbulkan pada kualitas benih, bibit,
hingga tanaman di lapangan, serta produktivitas dari tegakan
untuk jangka panjang.

Tanaman jabon merupakan salah satu tanaman yang saat ini


banyak dikembangkan oleh masyarakat ataupun pengelola
hutan tanaman industri. Untuk mendukung keberhasilan
pengembangannya, informasi kesehatan benih dan bibit
jabon mutlak diperlukan, terutama tentang jenis hama dan
penyakit yang umumnya menyerang benih dan bibit jabon
putih, serta bagaimana pola penyerangan dan gejala yang
ditimbulkan oleh serangan tersebut. Oleh karena itu, proses
monitoring kesehatan pada tingkat benih dan bibit mutlak
dilakukan sehingga dapat ditentukan teknik pengendalian
yang tepat, yaitu melalui pengendalian secara fisik, kimia,
ataupun biologi.

B. Identifikasi dan Gejala Serangan Hama dan


Penyakit

Secara umum, jenis cendawan yang terbawa benih jabon


putih, yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp. Bentuk
morfologi cendawan dapat dilihat pada Gambar 8.1. Kedua
jenis cendawan tersebut sangat umum ditemukan pada
benih-benih tanaman hutan. Cendawan Fusarium sp dapat
menyebabkan penyakit lodoh pada semai ataupun bibit
jabon. Benih jabon mempunyai ukuran yang cukup kecil
sehingga tergolong ke dalam kelompok benih halus dengan
kulit benih keras. Selain itu, benih jabon tercampur dengan
kotorannya (chaff) yang mempunyai ukuran hampir sama
dengan benih, namun lebih lunak sehingga lebih mudah
terjadinya pembusukan. Kemungkinan besar, cendawan

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 121


hidup pada bagian ini dan menulari benih setelah benih
berkecambah. Oleh karena itu, pemisahan antara benih dan
kotorannya perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan
terkena hama ataupun penyakit.

A B C

Gambar 8.1. Cendawan terbawa benih: cendawan Fusarium sp


(A), cendawan Aspergillus sp (B), dan cendawan Rhizopus sp (C)

Cendawan yang ditemukan setelah benih disimpan selain


Aspergillus sp dan Fusarium sp ialah Rhizopus sp. Adanya
ketiga cendawan tersebut dapat menurunkan viabilitas benih
jabon. Hal ini terbukti dari persentase infeksi setiap jenis
cendawan tersebut yang bertambah seiring dengan lamanya
penyimpanan, yaitu pada kondisi benih yang tidak diberi
perlakuan apapun. Kondisi kadar air benih sangat
memengaruhi tumbuhnya cendawan. Pada kadar air benih
jabon putih sekitar 6–8%, jumlah benih yang terinfeksi
cukup rendah, yaitu sekitar 1–6% (Suharti et al., 2012).

Sementara itu, serangga hama tidak ditemukan pada benih


jabon putih. Namun, serangan hama pemakan daun dari ordo
Lepidoptera (Gambar 8.2 [A,B, dan C]) ataupun serangga
penusuk penghisap dari ordo Hemiptera (Gambar 8.3 [A dan
B]) ditemukan pada tingkat bibit dan tanaman muda di
lapangan. Hama yang berasal dari kedua ordo ini, semuanya
menyerang bagian daun, menyebabkan daun menggulung

122 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

dan tersisa tulang daun, yang berakibat pada gangguan


proses fotosintesis sehingga asupan bahan makanan bagi
pertumbuhan menjadi berkurang.

A B C

Gambar 8.2. Hama ulat daun pada tanaman jabon putih umur
enam bulan: Attacus atlas (A) dan ulat tanduk (B dan C)

A B

Gambar 8.3. Hama serangga dari Ordo Hemiptera (A dan B)


pada tanaman jabon putih umur enam bulan di lapangan

Selain hama ulat, serangga yang mengisap cairan ditemukan


pula sehingga membuat daun mengering dan pertumbuhan
terganggu karena fotosintesis tidak dapat berlangsung

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 123


sempurna. Bentuk serangga yang menyerang tanaman jabon
umur enam bulan dapat dilihat pada Gambar 8.3 (A) dan 8.4.

Serangga penusuk penghisap yang menjadi hama pada


tanaman jabon muda tersebut termasuk dalam famili
Reduviidae (Gambar 8.3 [A dan B]). Adapun ulat pemakan
daun ialah kemungkinan termasuk dalam kelompok ulat
keket (Attacus atlas) yang termasuk dalam famili
Saturniidae (Gambar 8.2[A]) dan ulat tanduk (Gambar 8.2
[B dan C]) yang termasuk dalam famili Sphingidae. Ulat
keket ini juga dapat memakan daun dari jenis tanaman
gempol (Nauclea orientalis), sirsak (Annona muricata L.),
dan alpukat (Persea americana Mill.)

Keberadaan hama benih dapat menimbulkan kerugian,


seperti benih berlubang, keropos, atau hancur menjadi
butiran kecil/tepung sehingga memudahkan serangan
patogen. Kerugian serangan hama dan penyakit antara lain
menurunnya persentase perkecambahan dan kualitas benih
(Sutopo, 2002). Kerusakan pada kulit benih tidak saja
berpengaruh secara langsung pada viabilitas, tetapi dapat
mengganggu daya simpan, terutama dalam kasus patogen
masih aktif selama penyimpanan (Schmidt, 2000).

Demikian pula serangan hama pada bibit maupun tanaman


muda dapat menimbulkan kerusakan, terutama pada bagian
daun, yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu
sehingga tanaman tidak dapat tumbuh optimal. Pada
awalnya, gejala serangan ialah serangga ataupun ulat
memakan bagian daun dan akan menyisakan tulang daun.
Bentuk gejala serangan hama walang sangit dan ulat pada
tanaman jabon muda dapat dilihat pada Gambar 8.4 (A dan
B) dan Gambar 8.5 (A dan B).

124 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

A B

Gambar 8.4. Gejala serangan hama kepik pada tanaman jabon


putih umur enam bulan (A dan B)

A B

Gambar 8.5. Gejala serangan ulat keket tanaman jabon putih


umur enam bulan (A) dan serangga pengisap seperti semut
menyebabkan daun mengering (B)

Mikroorganisme yang ditemukan pada benih tanaman hutan


didominasi cendawan. Cendawan perusak benih dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu cendawan yang berasal
dan terbawa dari lapangan (field fungi) dan cendawan yang
berkembang di penyimpanan (storage fungi). Field fungi
umumnya menyerang biji atau benih selama masih di
lapangan dan menginfeksi benih yang sudah masak atau

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 125


sesudah dipanen. Cendawan dapat berupa patogen atau
saprofit, salah satunya ialah jamur Fusarium sp. Cendawan
ini dapat bertahan pada benih dalam kondisi dingin atau
kering. Cendawan Fusarium sp dapat mengakibatkan warna
benih berubah, perkecambahan benih terhambat, dan dapat
menyebabkan penyakit di persemaian atau pada tanaman
dewasa di lapangan. Selama biji atau benih dalam
penyimpanan, aktivitas cendawan tersebut terhenti (istirahat)
karena syarat untuk pertumbuhannya tidak terpenuhi.
Storage fungi ialah sekelompok cendawan yang berkembang
selama benih berada dalam penyimpanan dan dapat tumbuh
tanpa adanya air bebas, serta pada media dengan tekanan
osmotik tinggi. Cendawan yang termasuk storage fungi,
yaitu Aspergillus sp dan Penicillium sp. Menurut Semangun
(2000), Aspergillus sp sangat saprofitik sehingga dapat
memperlemah benih ketika ditanam. Benih yang terinfeksi
Aspergillus sp dapat menjadi rentan terhadap serangan
patogen di dalam tanah sehingga kematian bibit bisa
disebabkan oleh patogen dalam tanah tersebut.

Aspergillus sp, Penicillium sp, dan Fusarium sp dapat


menyebabkan penyakit moulding (bubuk) yang dapat
menyerang hampir semua jenis tanaman kehutanan. Pada
tingkat lanjut, serangan ini dapat menyebabkan kematian
benih (Darma, 1992 dalam Zanzibar, 2000). Infeksi pada
akar kecambah pinus oleh cendawan Aspergillus sp dan
Penicillium sp. dapat menyebabkan kematian atau
menghambat pertumbuhan semai (Rees et al., 1986 dalam
Schmidt, 2000). Penyakit lodoh umumnya terjadi pada bibit
di persemaian. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai
cendawan penghuni tanah seperti Phytium sp, Rhizoctonia
sp, Fusarium sp, Lasiodiplodia sp, Phytophthora sp, dan
Cylindrocladium sp (Anggraeni et al., 2006).

126 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

C. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Benih dan


Bibit

Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan


dengan pendekatan sistem pengendalian hama dan penyakit
secara terpadu yang efektif dan efisien, yaitu
menggabungkan teknik pengendalian secara fisik, kimia, dan
biologi. Teknik pengendalian secara fisik, antara lain
menggunakan media tabur dan media bibit yang dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan mengurangi
serangan hama dan penyakit, seperti sekam dan kompos.
Teknik pengendalian secara kimia menggunakan pestisida
dan insektisida buatan. Teknik pengendalian secara biologi
menggunakan pestisida biologi, seperti ekstrak cengkeh
(Syzygium aromaticum), laos atau lengkuas (Alpinia
galangal), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia
galanga L.), dan penggunaan agen antagonis seperti
cendawan Trichoderma sp. Penjelasan masing-masing
teknik yang digunakan (fisik, kimia, dan biologi) untuk
pengendalian hama dan penyakit diuraikan di bawah ini.

1. Teknik Pengendalian Secara Fisik

Penggunaan sekam dan kompos sebagai media bibit


merupakan salah satu cara pengendalian secara fisik. Sekam
dapat memberikan tambahan unsur hara bagi tanaman.
Sekam tersebut mengandung bahan silikat yang cukup
tinggi, kalium dioksida, magnesium oksida, fosfat oksida,
sulfat oksida, dan karbon (Badan Pengendali Bimas, 1983
dalam Wilis, 2010). Menurut Ritonga (1991) dalam Wilis
(2010), pengaruh silikat terhadap tanaman yaitu dapat
memperbaiki daya tumbuh, meningkatkan ketahanan
terhadap serangan hama dan penyakit, memperlancar
penyerapan hara, dan dapat juga membantu penghematan

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 127


pemakaian air pada tanaman. Selain penggunaan sekam dan
kompos sebagai media bibit, pengendalian secara fisik juga
dapat dilakukan dengan menghilangkan bagian tanaman
yang diserang, atau apabila serangan sudah sangat parah,
pemusnahan dilakukan pada tanaman yang sudah terserang
berat.

2. Teknik Pengendalian Secara Kimia

Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menggunakan


pestisida ataupun insektisida kimia. Penggunaan cara ini
dirasakan cukup efektif dan efisien, namun tidak ramah
lingkungan. Akibat penggunaan bahan kimia yang terus
menerus dikhawatirkan dapat menghilangkan predator alami
dari hama tersebut. Teknik pengendalian kimia yaitu
menggunakan pestisida kimia, seperti imidakloprid,
karbofuran, benomil 50%, dan mancozeb 80%.

3. Teknik Pengendalian Secara Biologi

Pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida


maupun insektisida alami dan dimaksudkan untuk
menghambat, bahkan mematikan organisme yang
menganggu ataupun merusak tanaman. Sifat dari pestisida
maupun insektisida ialah racun yang dapat menghambat
pertumbuhan ataupun perkembangan pertumbuhan dari
organisme pengganggu tanaman. Bahan yang digunakan
dapat berasal dari bahan alami, yaitu dari tanaman ataupun
mikroorganisme seperti cendawan Trichoderma sp yang
bersifat antagonis sehingga kelompok ini termasuk ke dalam
pengendalian secara biologi. Beberapa jenis tanaman sudah
digunakan sebagai bahan pestisida ataupun insektisida
ramah lingkungan karena mempunyai kandungan biokimia

128 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

yang mampu menekan perkembangbiakan organisme


pengganggu tanaman. Jenis-jenis tersebut antara lain:

a. Cengkeh (Syzygium aromaticum)


Berbagai produk dihasilkan dari tanaman cengkeh ini, salah
satunya minyak cengkeh. Komponen utama dalam minyak
cengkeh ialah senyawa eugenol, eugenol asetat, dan
caryophylene dengan kandungan total mencapai 70–80%.
Komponen lain yang terdapat dalam minyak cengkeh, antara
lain methyl n-hepthyl alcohol, benzyl alcohol, methyl
salicylate, dan methyl n-amyl carbinl. Sementara itu, serasah
daun cengkeh masih mengandung eugenol sekitar 60–65%
(Agusta, 2000 dalam Agustinus, 2009). Selain mematikan
cendawan, berdasarkan hasil penelitian di Balittro (Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat), minyak cengkeh
dan eugenol yang terdapat pada serasah daun cengkeh dapat
menekan, bahkan mematikan pertumbuhan koloni bakteri
dan nematoda. Oleh karena itu, produk cengkeh dapat
digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, dan
insektisida (Agustinus, 2009).

b. Laos/Lengkuas (Alpinia galangal)


Menurut Kusnaedi (1999), penggunaan fungisida nabati
dengan empon-empon yang mengandung minyak atsiri dapat
menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri. Senyawa
kimia yang terdapat pada lengkuas antara lain minyak atsiri,
minyak terbang, eugenol, seskuiterpen, pinen, metilsinamat,
cineol, kamfer, camphor, galangin, galangol, cadinine,
hidrateshexahydor-cadalene dan kristal kuning (Thomas,
1992; Muhlisah, 1999). Riyanti (1996) dalam Riyanto
(2009) menyatakan bahwa ekstrak lengkuas mengandung
terpenoid, alkaloid dan fenol yang dapat bersifat bakterisida
dan fungisida. Selanjutnya, penelitian Areekul et al. (1987)
dalam Sukhirun et al., (2009) menunjukan bahwa cineol

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 129


mempunyai sifat insektisida yang dapat mengendalikan
berbagai jenis hama.

c. Jahe (Zingiber officinale)


Tanaman jahe diduga dapat berperan sebagai pestisida
nabati karena rimpang tanaman jahe mengandung 2–3%
minyak atsiri (Mursito, 2003 dalam Mujim, 2010). Minyak
atsiri dalam jahe terdiri atas n-nonylaldehide, dcamphene, d-
aphellandrene, metyl heptenone, cineol,d-borneol, geraniol,
linalool, acetates, caprylate, citral, chavicol, dan
zingiberene (Setiawati et al., 2008).

d. Kencur (Kaempferia galanga L)


Kandungan kimia yang terdapat di dalam rimpang kencur
ialah minyak atsiri, flavonoid, saponin, methyl-p-
methoxycinnamate, methyl-cinnamate, carvone, eucalyptol,
dan pentadecane yang berperan sebagai fungisida (Gholib,
2009 dalam Monika, 2014). Minyak atsiri mengandung
seskuiterpenoid yang dapat bekerja sebagai fungisida dan
insektisida (Robinson, 1995 dalam Monika, 2014). Kencur
dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dengan cara
bagian rimpang ditumbuk atau dibuat tepung dan
diaplikasikan dengan konsentrasi 3–5% (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 1994).

e. Cendawan antagonis Trichoderma sp.


Trichoderma sp ialah salah satu jamur tanah yang bersifat
antagonis terhadap patogen tular tanah. Bahkan, jamur ini
telah dilaporkan pula mampu menginduksi ketahanan
tanaman terhadap berbagai penyakit dan dapat mening-
katkan pertumbuhan tanaman (Harman, 2000 dalam
Nurbailis et al., 2012). Keberhasilan penggunaan Tricho-
derma sp untuk pengendalian penyakit tanaman; baik di
rumah kaca, pada pembibitan maupun di lapangan; telah
130 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

banyak dilaporkan (Howell,1987; Harman, 2000; Nurbailis


et al., 2008 dalam Nurbailis et al., 2012). Beberapa jenis
bahan yang telah terbukti mampu mengaktivasi per-
tumbuhan Trichoderma sp ialah jerami padi, campuran
dedak dengan serbuk gergaji, dan campuran sekam padi
dengan sekam gandum (Sinaga, 1989; Sivan et al., 1984;
Ernariza, 1984 dalam Nurbailis et al., 2012). Trichoderma
sp dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur
penyebab penyakit pada tanaman, antara lain Rigidiforus
lignosus, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani,
Sclerotium rolfsi. Selain kemampuan sebagai pengendali
hayati, Trichoderma harzianum memberikan pengaruh
positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman,
dan hasil produksi tanaman. Sifat ini menandakan bahwa
Trichoderma harzianum juga berperan sebagai plant growth
enhancer. Pada tahun 1988, penelitian aplikasi Trichoderma
harzianum ternyata dapat meningkatkan 150–250%
pertumbuhan tanaman (Nurbailis et al., 2012).

Pada bibit jabon, penambahan Trichoderma sp pada media


tanah:sekam:kompos (1:1:1) menghasilkan biomassa dan
nilai Indeks Mutu Bibit (IMB) yang paling tinggi pada bibit
hingga umur tiga bulan. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon
yang diberi Trichoderma sp dengan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 8.6 (A dan B). Pertumbuhan bibit (Gambar
8.6 [A]) dan perakaran (Gambar 8.6 [B]) terlihat lebih baik
sehingga diharapkan bibit yang akan ditanam mempunyai
vigor yang tinggi dan mampu tumbuh dengan baik di
lapangan.

Pertumbuhan bibit jabon umur enam bulan dengan


pemberian Trichoderma sp. pada campuran media tanah:
sekam:kompos (1:1:1/v:v:v) menghasilkan perbedaan
pertumbuhan tinggi ±10 cm dibandingkan dengan media
tanah:sekam:kompos (1:1:1/v:v:v) tanpa Trichoderma sp.
HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 131
(Gambar 8.7). Selain itu, Trichoderma sp dapat
meningkatkan pH dan unsur hara, seperti N, P, dan K dalam
media bibit (Tabel 1) sehingga pertumbuhan bibit dapat
optimal.

A B

Kontrol/ Tanah+ Tanah+kompos+ Kontrol/ Tanah+ Tanah+kompos+


Tanah kompos+ sekam+ Tanah kompos+ sekam+
sekam Trichoderma sp sekam Trichoderma sp

Gambar 8.6. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon pada berbagai


perlakuan

Kontrol/ Tanah+kompos Tanah+kompos+


Tanah + sekam sekam+
Trichoderma sp

Gambar 8.7. Perbedaan pertumbuhan bibit jabon putih umur


enam bulan pada berbagai perlakuan

132 | Yulianti dan Tati Suharti


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Tabel 8.1. Kandungan hara makro N, P, dan K, serta pH media


bibit jabon putih
Perlakuan
Tanah:
Parameter Tanah:
Satuan kompos:sekam
pengujian Tanah kompos:sekam
(1:1:1) ditambah
(1:1:1)
Trichoderma sp.
pH 5,6 5,9 6,5
N % 0,17 0,37 60,43
P ppm 7,4 35,14 120,47
K Cmol/kg 2,11 4,64 5,97

Pengendalian terhadap serangan cendawan ataupun serangga


pada benih juga harus dilakukan pada saat benih disimpan.
Kelompok cendawan yang menyerang benih jabon putih
pada saat disimpan ialah Rhizopus sp, Penicillium sp, dan
Aspergillus sp. Teknik pengendalian hama dan penyakit
benih pada saat disimpan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain untuk pencegahan di ruang simpan, yaitu
menjaga kondisi kebersihan ruang simpan, kebersihan benih,
dan kadar air benih. Untuk mendapatkan benih jabon murni
cukup sulit karena benih tercampur dengan serbuk atau chaff
yang merupakan bagian dari buah jabon sehingga chaff ini
dapat menjadi media tumbuh cendawan ataupun makanan
bagi serangga. Selain itu, kadar air benih jabon sebelum
disimpan harus diturunkan terlebih dahulu menjadi sekitar
6–8%. Teknik pengendalian yang cukup efektif untuk
menghambat pertumbuhan cendawan pada benih jabon pada
saat disimpan ialah pemberian campuran bubuk jahe, laos,
kencur, dan benomil 50%. Perlakuan ini mampu
menurunkan persentase infeksi Aspergillus sp dan
meningkatkan viabilitas benih jabon putih setelah tiga bulan
disimpan.

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 133


Daftar Pustaka

Agustinus, I.M.D. 2009. Pencegahan Penyakit Layu


Fusarium pada Tanaman Pisang dengan Meman-
faatkan Serasah Daun Cengkeh di Banjar Badingkayu
Desa Pengeragoan Kecamatan Petutatan Kabupaten
Jembrana. www.teknologi.kompasiana. com.
Anggraeni, I., Intari, S.E. & Darwiati, W. 2006. Hama dan
Penyakit Hutan Tanaman. Badan penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Asikin, S. 2011. Flora Rawa Sebagai Pengendali Hama dan
Penyakit Tanaman. Prosiding Seminar Nasional
Persatuan Entomologi Indonesia. Universitas Padja-
djaran.
Barnett, H.L & Hunter, B.B. 1998. Illustrated Genera of
Imperfect Fungi. Fourth Edition. The American
Phytopathological Society.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson, N.F. 1989. An
Introduction to The Study of Insect. Sixth Edition.
Harcourt Brace College Publishers. Florida. The
United States of America.
Booth, R.G. , Cox, M.L. & Madge, R.B. 1990. Coleoptera.
CAB international. Cambridge. Australia.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 1994. Pedoman Penge-
nalan Pestisida Botani. Direktorat Bina Perlindungan
Tanaman Perkebunan. Deptan. Jakarta.
Monika, M. 2014. Uji Aktivitas Ekstrak Kencur Terhadap
Pengendalian Pertumbuhan Fusarium oxysporum dan
Implementasinya dalam Pembuatan Flipbook. Artikel
Penelitian. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan
Fmipa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tanjungpura, Pontianak.
134 | Yulianti dan Tati Suharti
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Muhlisah, F. 2010. Temu-temuan dan Empon-Empon:


Budidaya dan Manfaatnya. Kanisius.Yogyakarta.
Hadi, S. 2001. Patologi Hutan: Perkembangannya di
Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Mujim, S. 2010. Pengaruh Ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber
officinale Rosc) terhadap Pertumbuhan Phytium sp.
Penyebab Penyakit Rebah Kecambah Mentimun
Secara In Vitro. Jurnal HPT Tropika, 10(1): 59–63.
Nurbailis, Trizelia, Reflin & Rahma, H. 2012. Pemanfaatan
Jerami Padi sebagai Medium Perbanyakan Trichi-
derma harzianum dan Aplikasinya pada Tanaman.
Octriana, L. & Noflindawati. 2010. Efektifitas Agen Hayati
dalam menekan Penyakit Rebah Semai pada Benih
Pepaya. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika.
Sumatera Barat.
Riyanto. 2009. Potensi Lengkuas (Languas galangal L.),
Beluntas (Plucheaindica L.), dan Sirsak
(Annonamuricata L.) sebagai Insektisida Nabati
Kumbang Kacang Hijau Callosobruchus chinensis L.
(Coleoptera: Bruchidae). http://eprints.unsri.ac.id/
1135/1/Potensi_Lengkuas,_beluntas,_dan_sirsak_seba
gai_insekti_nabati_kumbang_kacang_Hijau__Jurnal_.
pdf. Diunduh tanggal 10 Januari 2012.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman
Hutan Tropis dan Subtropis. Danida Forest Seed
Centre.
Setiawati, W., Murtiningsih, R., Gunani, N. & Rubiati, T.
2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.

HAMA PENYAKIT PADA BENIH DAN BIBIT JABON PUTIH | 135


Suharti, T., Yulianti & Yuniarti, N. 2012. Teknik
Pengendalian Hama dan Penyakit Benih dan Bibit
Tanaman Hutan Jenis Jabon Putih (Anthocepalus
cadamba Miq.), Jabon Merah (Anthocepalus
macrophyllus Roxb.) dan Bambang Lanang (Michelia
campaka L.). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan. Bogor.
Sukhirun, N., Bullangpoti, V. & Pluempanupat, W. 2009.
The Insecticidal Studies from Alpinia galangal and
Cleome viscose Extract as Alternative Control Tool to
Bactrocera dorsalis (Hendel). KKU Science Journal,
37. Faculty of Science. Kasetsart University.
Bangkok. Thailand.
Thomas, A.N.S. Tanaman Obat Tradisional 2. Kanisius.
Yogyakarta.
Tindaon, H. 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma
harzianum dan Pupuk Organik untuk Mengendalikan
Patogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii sacc. pada
Tanaman kedelai (Glycine max L.) di Rumah kaca.
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Wiwin S., Murtiningsih, R., Gunaeni, N. & Rubiati, T. 2008.
Tumbuhan Bahan pestisida Nabati dan cara Pem-
buatannya untuk Pengendalian Organisme Penggang-
gu Tanaman (OPT). Balai penelitian Tanaman
Sayuran. Jawa Barat.

136 | Yulianti dan Tati Suharti


APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA
UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
TANAMAN JABON PUTIH
M. Zanzibar dan Danu

A. Pendahuluan

nduksi mutasi dapat terjadi secara alamiah atau melalui

I teknik kimia/fisik. Mutasi spontan (alamiah) tidak


mampu memberikan keragaman genetis secara cepat
dan akurat sehingga metode mutasi yang dipercepat
merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam upaya
perbaikan dan peningkatan produktivitas tanaman
(Ahloowalia & Maluszynsky, 2001). Iradiasi sinar gamma
merupakan teknik induksi mutasi secara fisik dan
merupakan suatu proses ionik sebagai salah satu metode
modifikasi fisik polisakarida alami (Hai et al., 2003; Rombo
et al., 2004; Relleve et al., 2005). Dalam hubungannya
dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar
gamma telah banyak diaplikasikan untuk peningkatan
viabilitas dan vigor (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al.,
2012).

Penerapan mutasi induksi dengan sinar gamma di Indonesia


dimulai pada tahun 1967 setelah berdirinya instalasi sinar
60
Co di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Pasar Jum’at,
Jakarta. Program pemuliaan mutasi secara intensif dimulai
tahun 1972 dengan bantuan teknik dari International Atomic
Energy Agency (IAEA) yang berpusat di Wina. Prioritas

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 137


kegiatan diarahkan pada perbaikanvarietas padi, yakni umur
genjah, tahan terhadap serangan patogen dan kekeringan,
serta kualitas biji disenangi konsumen. Kegiatan dilanjutkan
pada tanaman palawija, perkebunan, dan hortikultura
(Soedjono, 2003); sedangkan aplikasi pada jenis tanaman
hutan masih sangat terbatas.

Iradiasi selain dapat meningkatkan keragaman populasi


dasar, pada tahap awal dapat digunakan pula sebagai
perlakuan praperkecambahan untuk mendapatkan bibit cepat
tumbuh dan lebih tahan terhadap serangan hama/penyakit.
Oleh karena itu, penggunaan iradiasi sinar gamma pada jenis
jabon putih bertujuan memberbaiki perkecambahan benih
dan pertumbuhan, serta untuk mendapatkan varietas
mutan/klon unggul jabon putih.

B. Prakondisi Benih Sebelum Iradiasi

Benih jabon yang akan diiradiasi merupakan benih yang


telah dibersihkan dari kotoran (bekas daging/kulit buah,
ranting, dan daun) melalui penggunaan saringan (420
mikrometer); kelompok benih yang tertahan pada ukuran
tersebut umumnya terdiri atas benih murni. Tingkat kadar
air kelompok benih sebelum iradiasi harus dibuat seragam,
yaitu berkisar 8–10% dengan cara mengangin-anginkannya
selama tiga hari pada suhu kamar (suhu 27oC, kelembaban
relatif <80%). Radiosensitivitas dipengaruhi kondisi fisik
(bentuk morfologi) dan biologis benih yang dapat berupa
genetis dan faktor lingkungan (oksigen, kadar air, dan suhu).
Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air berada
dalam materi, semakin banyak pula radikal bebas yang
terbentuk sehingga menjadi semakin sensitif (IAEA, 2009).
Pengemasan benih jabon putih pra radiasi dapat dilihat pada
Gambar 9.1.

138 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Gambar 9.1. Pengemasan benih praradiasi

C. Metode Iradiasi Sinar Gamma, Perkecambahan, dan


Pembibitan

Wadah benih dapat menggunakan kantong kertas, plastik


atau dalam botol kaca. Menurut Soedjono (2003), dosis
iradiasi untuk mendapatkan mutan tergantung pada jenis
tanaman, fase tumbuh, ukuran, kekerasan, dan bahan yang
dimutasi. Dosis iradiasi diukur dalam satuan Gray (Gy); 1
Gy sama dengan 0,10 krad, yakni 1 J energi per kilogram
iradiasi yang dihasilkan (Anonimous, 1997). Dosis iradiasi
dibagi tiga, yaitu tinggi (>10 k Gy), sedang (1−10 k Gy),
dan rendah (<1 k Gy). Perlakuan dosis tinggi akan
mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan
sterilitas. Pada umumnya, dosis yang rendah dapat
mempertahankan daya hidup atau tunas, dapat
memperpanjang waktu kemasakan pada buah-buahan dan
sayuran, serta meningkatkan kadar pati, protein, dan kadar
minyak pada biji jagung, kacang, dan bunga matahari.

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 139


Percobaan pendahuluan pada benih jabon putih hanya tahan
diiradiasi pada dosis lebih rendah dari 100 Gy (dosis
sedang). Pada dosis yang lebih besar 100 Gy, meskipun
mampu berkecambah, benih tidak dapat hidup hingga
tingkat bibit (mati). Iradiasi tersebut menggunakan mesin
iradiasi gamma chamber 4000 A tipe Irpasena (Gambar 9.2).

Gambar 9.2. Gamma chamber 4000 A tipe Irpasena

Benih teriradiasi selanjutnya dikecambahkan pada media


campuran pasir : tanah : arang sekam (1 : 1 : 1) (v/v). Bak
kecambah ditutupi plastik transparan hingga benih tumbuh
mencapai 0,1–0,3 cm. Penyiraman dilakukan dua kali sehari
dengan sprayer halus. Kecambah normal yang telah berumur
40 hari disapih di polybag yang telah berisi media campuran
tanah, pasir dan kompos (1 : 1 : 1) (v/v) dan menggunakan
naungan dengan intensitas 60%.

140 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

D. Pengaruh Iradiasi terhadap Kecambah dan Bibit

Perlakuan iradiasi akan meningkatkan perolehan jumlah


kecambah, yang mana pada dosis 10 Gy menghasilkan
jumlah kecambah tertinggi. Semakin tinggi dosis iradiasi,
semakin sedikit jumlah kecambah; meskipun hingga dosis
100 Gy, jumlah kecambah masih lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok benih tanpa iradiasi. Selain peningkatan
jumlah kecambah, iradiasi juga mempercepat laju
pertumbuhan sehingga kecambah dapat lebih dan mudah
disapih.

Tabel 9.1. Jumlah kecambah jabon putih pada berbagai dosis


iradiasi

Dosis Iradiasi (Gy) Jumlah Kecambah/0,05 gram


0 146
5 504,5
10 515,5
15 394,5
20 413
40 225,5
80 266,5
100 210

Penyapihan kecambah dari benih-benih halus seperti jabon


putih yang selama ini menjadi kendala dapat teratasi dengan
menggunakan cara ini. Respons iradiasi bervariasi antar-
tanaman, tergantung dari morfologi dan fisiologi tanaman,
jenis, umur, ukuran dan komposisi genom, dosis irradiasi,
tipe iradiasi, dan sebagainya. Pengaruh stimulasi sinar
gamma terhadap perkecambahan mungkin disebabkan oleh
aktivasi sintesa RNA atau sintesa protein yang terjadi selama
tahap awal perkecambahan setelah benih diiradiasi (Kuzin et
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 141
al., 1975; Kuzin et al., 1976; Abdel-Hady et al., 2008).
Perubahan biokimia memengaruhi proses metabolisma sel
yang pada tingkat tertentu dapat menguraikan bahan kimia
penghambat perkecambahan (Busby, 2008) dan meningkat-
kan pembelahan sel sehingga tidak hanya berpengaruh
terhadap perkecambahan tetapi juga terhadap pertumbuhan
bibit (Piri et al., 2011).

Pada tahap bibit, pengaruh iradiasi sinar gamma


memberikan respons yang sangat beragam pada daya hidup,
tinggi, diameter, kerapatan stomata, dan jumlah daun (Tabel
9.2).

Tabel 9.2. Nilai peubah bibit jabon putih akibat perlakuan iradiasi
sinar gamma pada benih

Kerapatan
Daya Stomata/mm Luas
Dosis Tinggi Diameter
Hidup Daun
Iradiasi (cm) (mm) Daun Daun
(%) (mm)
atas Bawah
0 100 29,02 3,08 42,5 106,16 456,33
5 85,33 34,12 3,71 11,66 68,66 271,67
10 100 46,08 4,27 46,75 143,66 616,33
15 65 51,22 5,75 32,66 76,66 475,67
20 35 32,86 5,13 6,16 50,83 400,33
40 100 14,23 3,19 51 74,66 474
80 26,66 8,17 2,98 13,33 68,16 209,33
100 78,33 16,92 2,03 0 10,16 298,33

Tanggap pertumbuhan bibit jabon merah dari benih yang


diiradiasi tergantung dari dosis iradiasi. Tinggi bibit
meningkat tajam pada dosis iradiasi 15 Gy, kemudian terus

142 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

menurun hingga dosis 80 Gy. Perlakuan iradiasi benih dosis


15 Gy akan meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter
(umur dua bulan) masing-masing sebesar 176,49% dan
187,29%. Penggunaan dosis 10−20 Gy umumnya
menghasilkan bibit dengan pertumbuhan yang seragam dan
lebih besar (superior), sedangkan dosis lebih besar dari 40
Gy mulai menghambat pertumbuhan (kerdil). Rentang dosis
10–20 Gy dapat digunakan sebagai perlakuan benih (seed
treatment) dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 9.3.
Peningkatan pertumbuhan tersebut dibandingkan dengan
bibit dari benih tanpa iradiasi terlihat sangat dramatis.
Kondisi ini perlu mendapat penekanan karena peningkatan
pertumbuhan tersebut ialah pertambahan pertumbuhan yang
sangat besar yang mungkin sukar dicapai dengan perlakuan
penanganan benih maupun pemuliaan konvensional.

A B C

D E F

Gambar 9.3. Pertumbuhan bibit jabon putih pada berbagai dosis


iradiasi. Kontrol dan 10 Gy (A), kontrol dan 15 Gy (B), kontrol
dan 20 Gy (C), kontrol dan 40 Gy (D), kontrol dan 80 Gy (E),
kontrol dan 100 Gy (F)

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 143


Gambar 9.4. Bentuk pertumbuhan bibit dari benih teriradiasi (0–
100 Gy) yang berbentuk sigmoid dan sistem perakaran bibit jabon
putih pada umur dua bulan di persemaian [pertumbuhan yang
tinggi dan bentuk perakaran yang kokoh dan kompak diperoleh
pada dosis 10–20 Gy]

Luas daun, kerapatan stomata permukaan daun atas dan


bawah tertinggi dicapai pada iradiasi benih dosis 10 Gy
(kerapatan stomata per helai, atas 28813, 43, bawah 88541,
97), sedangkan terendah pada dosis 100 Gy (kerapatan
stomata per helai, atas 0.00, bawah 6261, 91). Iradiasi
secara nyata memengaruhi kerapatan jumlah stomata,

144 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

khususnya pada permukaan daun bawah; dosis iradiasi lebih


besar dari 10 Gy cenderung terus menurun. Sebagaimana
peubah lainnya, luas dan kerapatan stomata pada tingkat
tertentu, yaitu dosis yang lebih merespons perlakuan iradiasi
cenderung membuat daun lebih kecil, serta susunan dan
jumlah stomata yang tidak beraturan. Kedua peubah ini
kemungkinan juga dapat dijadikan indikasi bahwa perlakuan
iradiasi sinar gamma terhadap jabon putih telah
mengakibatkan mutasi (Gambar 9.4 dan Gambar 9.5).

Dosis iradiasi (Gy) Stomata daun atas Stomata daun bawah

10

20

40

80

Gambar 9.5. Penampilan stomata permukaan daun atas dan


bawah jabon putih akibat perlakuan iradiasi sinar gamma.

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 145


Fan et al. (2003) memberikan indikasi bahwa radikel bebas
yang dibangkitkan dalam tanaman yang disebabkan iradiasi
sinar gamma akan bertindak sebagai sinyal stres dan
merangsang respons stres dalam tanaman. Kondisi ini
menghasilkan peningkatan sintesa asam polifenol yang
mempunyai kegunaan antioksidatif. Sjodin (1962)
melaporkan bahwa bahan dan energi yang diperlukan selama
pertumbuhan awal tersedia dalam benih sehingga dosis
iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan
membangkitkan embrio muda. Hal ini menghasilkan
stimulasi terhadap laju pembelahan sel dan meningkatkan
tidak hanya proses perkecambahan, tetapi juga pertumbuhan
vegetatif. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman sering dijadikan ukuran respons terhadap dosis
radiasi. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan
irradiasi dosis rendah, seperti pada padi, memberikan
pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya.
Radiasi gamma dosis rendah (10–30 Gy) merangsang
kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum),
sedangkan pada 40–50 Gy menunjukan bahwa tinggi dan
panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis
tinggi (60 Gy) menunjukan tidak ada tunas yang muncul
(Cheng et al., 2010).

E. Penggunaan Klon untuk Perbanyakan Massal


Vegetatif

Peningkatan produktivitas tanaman menggunakan metode


iradiasi sinar gamma (mutation breeding) melalui
pengembangan klon-klon unggul membutuhkan metode
perbanyakan massal secara vegetatif. Perbanyakan tanaman
secara vegetatif dapat mengunakan teknik perbanyakan
secara mikro dan makro. Perbanyakan tanaman jabon secara
mikro umumnya digunakan teknik kultur jaringan melalui

146 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

perbanyakan tunas dan organogenesis. Perbanyakan secara


makro umumnya menggunakan teknik stek pucuk.

1. Perbanyakan Tanaman dengan Metode Kultur


Jaringan

Beberapa faktor penting yang memengaruhi keberhasilan


metode kultur jaringan, yaitu:

a. Eksplant
Bahan tanaman yang digunakan ialah seluruh bagian
tanaman yang masih muda dan mampu untuk mengadakan
proses pertumbuhan, yaitu bagian tanaman yang masih
meristematik (sel-selnya mudah melakukan pembelahan)
dan sehat.

b. Media
Media yang digunakan dalam propagasi klonal ialah media
buatan. Media tersebut mengadung zat-zat yang sama
dengan yang terkandung dalam tanah. Media dasar
umumnya menggunakan media Murashige dan Skoog (1962)
(Tabel 9.3).

c. Zat pengatur tumbuh


Pertumbuhan dari suatu tumbuhan terdapat empat proses: 1)
pembelahan sel, 2) pembesaran sel, 3) perpanjangan sel, dan
4) diferensiasi sel. Untuk pembesaran sel, pembesaran sel
dan perpanjangan sel dibutuhkan nutrisi terutama HNO 3, zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, serta karbohidrat. Zat
pengatur tumbuh berfungsi sebagai pengatur dan pendorong
proses-proses pertumbuhan. Konsentrasi zat pengatur
tumbuh dapat memengaruhi proses pertumbuhan dan hasil
pertumbuhan, misalnya menjadi kalus, tunas, akar, atau

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 147


hanya terjadi perpanjangan saja. Berdasarkan hasil
penelitian Kartikasari (2013), penggunaan media MS +
1.10-1 mg/L 2,4 D + 3.10-1 mg/L kinetin mampu
menginduksi tunas dalam waktu dua hari dan rerata tinggi
tunas yang optimal sebesar 1,28 cm. Selanjutnya, tunas
diakarkan pada media dasar Murashige and Skoog (1962)
ditambah ZPT IBA 0,25 µM dan NAA 0,27 µM; setelah 7–
10 hari, subkultur tunas akar berakar (Huang et al., 2014)
(Gambar 9.6). Kemudian, aklimatisasi setelah berumur 4–5
minggu dan setelah tumbuh menjadi bibit berukuran tinggi
sekitar 10–20 cm dapat ditanam di lapangan. Pada umur 7
bulan dapat mencapai tinggi 2,31 m dan diameter batang 47
mm. Proses perbanyakan secara kultur jaringan jenis jabon
putih dapat dilihat pada Gambar 9.6.

Gambar 9.6. Perbanyakan kultur jaringan jabon: perbanyakan


tunas (A), pembentukan akar (B dan C), aklimatisasi bibit jabon
(D)
148 | M. Zanzibar dan Danu
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

Tabel 9.3. Komposisi beberapa media kultur jaringan yang


digunakan untuk perbanyakan tanaman
Medium
Bahan (mg/l) Murashige Gamborg Nitsch Schenk and
and Skoog et al. (1972) Hilderbrandt
(1962) (1968) (1972)
NH4NO3 1.650 - 720 -
KNO3 1.900 2.500 950 2.500
CaCl2.2H20 440 150 166 200
Ca(NO3)2.4H2O - - - -
Ca (NO3) - - - -
NH4H2PO4 - - - 300
MgSO4.7H2O 370 250 185 400
KH2PO4 170 - 68 -
(NH4)2SO4 - 134 - -
NaH2PO4.H2O - 150 - -
KI 0,83 0,75 - 1,0
H3BO3 6,2 3,0 10 5,0
MnSO4.4H2O 22,3 - 25 -
MnSO4.H20 - 10 - 10
ZnSO4.7H2O 8,6 2,0 10 1,0
Zn versinate - - - -
Na2MoO4.2H2O 0,25 0,25 0,25 0,1
CuSO4.4H20 0,025 0,025 0,025 0,2
CoCl2.6H20 0,025 0,025 - 0,1
Na2Fe EDTA - - 37,5 -
Na2EDTA 37,3 37,3 - 20
FeSO4.7H2O 27,8 27,8 - 15
Sukrosa (g/l) 30 20 20 30
Inositol (mg/l) 100 100 100 1.000
Nicotinic acid 0,5 1,0 5,0 5,0
Pyridoxin-HCl 0,5 1,0 0,5 0,5
Thiamine-HCl 0,1 10,0 0,5 5,0
Folic acid - - 0,5 -
Biotin - - 0,05 -
Glisin 2,0 - 2,0 -
Sumber: Noerhadi (1989), Pierik (1987)

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 149


2. Perbanyakan Tanaman dengan Stek

Untuk mempercepat dan mengurangi biaya penyediaan bibit


klon-klon unggul dapat menggunakan teknik perbanyakan
vegetatif secara stek. Bibit hasil kultur jaringan
diaklimatisasi kemudian dibangun kebun pangkas permanen
ataupun kebun pangkas bergulir [tergantung jenis tanaman].
Faktor-faktor yang memengaruhi perbanyakan tanaman
dengan stek, yaitu:

a. Bahan stek
Asal bahan stek berpengaruh terhadap kemampuan berakar
stek dan pertumbuhan biakannya. Bahan stek yang masih
muda (juvenil) secara fisiologis memiliki kemampuan
berakar yang lebih baik daripada biakan stek yang telah tua.
Hartman et al. (1997) menyatakan bahwa bahan tanaman
yang berasal dari bagian tanaman dekat dengan akar lebih
juvenil dari pada bahan tanaman yang berada pada tajuk
yang lebih tinggi. Bahan stek pucuk jabon dipilih pucuk
yang berumur muda secara fisiologis ataupun kronologis
yaitu berumur maksimal satu tahun. Ukuran diameter 0,5–1
cm, panjang 10–15 cm, memiliki 2–3 ruas (nodul), memiliki
2 daun (untuk mengurangi penguapan, daun dipotong 2/3
bagian). Bagian bawah batang dipotong miring dengan sudut
40o agar permukaan batang lebih luas dan memudahkan
dalam penanaman. Bahan stek sebelum dan sesudah
pemotongan diletakkan di dalam wadah berisi air agar bahan
stek tidak layu.
Tanaman jabon termasuk tanaman yang cepat mengalami
penuaan secara fisiologis sehingga dalam penyediaan bahan
stek dalam jumlah besar dapat digunakan kebun pangkas
bergulir, yaitu bibit jabon berumur 5–6 bulan diambil
pucuknya sebagai bahan stek, kemudian potongan bawah
atau sisa potongan dipelihara sebagai bahan tanaman atau

150 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

tunas lagi sebagai sumber bahan stek. Sementara itu, stek


yang sudah berakar kemudian disapih di persemaian setelah
cukup umur sebelum ditanam di lapangan; pucuknya dapat
dipotong dulu sebagai bahan stek selanjutnya.

b. Media
Media perakaran stek dapat menggunakan pasir atau media
padat lainnya. Media perakaran stek jabon dapat
menggunakan media steril campuran sekam padi dan
cocopeat (1:2, v/v). Sterilisasi media dapat dilakukan dengan
dikukus, dijemur sinar matahari, atau fumigasi
menggunakan fungisida. Wadah media dapat menggunakan
polybag ukuran 10 x 10 cm atau polytube atau potray ukuran
9 x 9 cm (45 pot setiap tray). Kemudian diletakkan di ruang
pertumbuhan stek.

c. Kondisi lingkungan ruang tumbuh stek


Keberhasilan pembibitan secara vegetatif salah satunya
ditentukan oleh kondisi lingkungan/iklim mikro tempat
pengakaran stek. Perbanyakan tanaman jabon dapat
menggunakan rumah perakaran stek sistem KOFFCO.
Sistem ini memiliki suhu <30oC , kelembaban >95%, dan
intensitas cahaya 5.000–20.000 lux (Shakai et al., 1995).
Dalam sistem ini, bahan stek ditanam di polypot kemudian
dimasukkan ke dalam sungkup plastik transparan dan di
bawahnya diberi batu-batu kerikil. Hal ini dimaksudkan
untuk menstabilkan kelembaban ataupun suhu di dalam
sungkup.

d. Zat pengatur tumbuh


Untuk menstimulir pertumbuhan akar dan tunas, bagian
pangkasl stek diberi zat pengatur tumbuh dari kelompok
auxin (IBA, IAA, NAA) dan yang banyak digunakan untuk
pembuatan stek atau cangkok [dikenal dengan nama dagang
APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 151
Rootone-F ataupun Atonik], sedangkan dari kelompok
sitokinin terutama kinetin, adenin, zeatin. Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) untuk memperbanyak stek jabon dapat
mengunakan IBA 1.500 ppm dengan cara perendaman
selama 10 menit. Danu et al. (2014) melaporkan penelitian
terhadap bahan stek pucuk jabon merah yang dipotong
dengan ukuran minimal dua ruas daun (tiga nodul),
kemudian diberi zat pengatur tumbuh IBA 1.500 ppm,
ditanam pada media pasir, dan ditempatkan di rumah kaca
yang dilengkapi dengan sistem pendingin (KOFFCO
System). Pada umur empat minggu setelah tanam dapat
menghasilkan stek berakar 97,33%, panjang akar 31,74 cm,
dan panjang tunas 5,94 cm. Penambahan zat pengatur IBA
hingga 1.500 ppm dapat menghasilkan jumlah akar stek
dengan nilai rerata 72 helai. Sementara itu, hasil penelitian
Putra et al. (2014) menunjukan bahwa setek pucuk jabon
yang diberi Rootone-F dengan konsentrasi 200 ppm
memiliki memiliki persentase hidup 96%, panjang tunas
20,47 cm, panjang akar 19,60 cm, dan jumlah daun 6,18
helai.

Perbanyakan tanaman jabon putih melalui stek pucuk


dengan memerhatikan faktor-faktor di atas telah
menghasilkan bibit jabon yang berkualitas yang dapat dilhat
pada Gambar 9.7.

152 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

5 cm

A B

5 cm

C D

Gambar 9.7. Pertumbuhan stek jabon: bahan stek (A), rumah


perakaran stek (B), stek umur dua bulan setelah tanam (C), dan
kondisi perakaran (D)

Daftar Pustaka

Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A. & Tallat,


M. 2008. Effect of gamma radiation and gibberellic
acid on germination and alkaloid production in Atropa
belladonna L. Australian Journal of Basic and Applied
Sciences, 2: 401–405.
Ahlowalia, B.S. & Maluszynski, M. 2001. Induced
mutation-A new paradigm in plant breeding.
Euphytica, 118: 167–173.

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 153


Busby, B. 2008. Radiation and Radioactivity.
Physics.isu.edu/ radinf.htm.6 April 2008. [2 November
2008].
Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T. & Sokorai,
K.J.B. 2003. Warm water treatment in combination
with modified atmosphere packaging reduces
undesirable effects of irradiation on the quality of
fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 51: 1231–1236.
Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F. & Kume, T.
2003. Radiation depolymerization of chitosan to
prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res.
B, 208: 466–470.
Hartmann, H.T., Kester, D.E. & Davies, Jr.F.T. 1997. Plant
Propagation, Principles and Practices. Fifth edition.
Prentice-Hall Inc. New Jersey
Huang H., Li, J., OuYang, K., Zhao, X., Li, P., Liao, B. &
Chen, X. 2014. Direct adventitious shoot
organogenesis and plant regeneration from cotyledon
explants in Neolamarckia cadamba. Plant
Biotechnology, 31: 115–121.
Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. & Bello-Bello, J.
2012. Current importance and potential use of low
doses of gamma radiation in forest species. In Gamma
radiation (Adrovic, F., Ed.) .InTech Europe. Rijeka,
Croatia. p. 265-280.
Kartikasari, P., Hidayat, M.T. & Ratnasari, E. 2013.
Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D (2,4-
Dichlorophenoxyacetic acid) dan Kinetin (6-
Furfurylaminopurine) untuk Pertumbuhan Tunas
EksplanPucuk Tanaman Jabon (Anthocephalus

154 | M. Zanzibar dan Danu


Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

cadamba Miq. ex Roxb.) secara In Vitro. LenteraBio,


2(1): 75–80.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E. & Revin, A.F. 1976.
Molecular mechanisms of the stimulating action of
ionizing radiation on seeds. 2. ctivation of protein and
high molecular RNA synthesis. Radiobiologiya, 16:
259–261.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E. & Prinak-Mirolyubov, V.N.
1975. Molecular mechanisms of the stimulating effect
of ionizing radiation on seed. Activation of RNA
synthesis. Radiobiologiya, 15: 747–750.
Murashige, T. & Skoog, F. 1962. A revised medium for
rapid growth and bioassays with tobacco tissue
culture. Physiol Plant. 15: 473–497.
Noerhadi, E., Bartholomeus, H. & Danu. 1989. Prospek
Pembiakan Vegetatif Jenis-Jenis HTI dengan Kultur
Jaringan. Prosiding. Diskusi Hasil Penelitian
Silvikultur Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Badan
Litbang Kehutanan. Jakarta. 217–231.
Piri, I., Babayan, M.A., Tavassoli & Javaheri, M. 2011. The
use of gamma irradiation in agriculture. African
Journal of Microbiology Research, 5(32): 5806–5811.
Putra, F., Indriyanto & Riniarti, M. 2014. Keberhasilan
hidup stek pucuk jabon (Anthocephalus cadamba)
dengan pemberian beberapa konsentrasi Rootone-F.
Jurnal Sylva Lestari, 2(2): 33–40.
Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C.
& Abad, L. 2005. Degradation of carrageenan by
radiation. Polymer Degradation and Stability, 87:
403–410.

APLIKASI IRADIASI SINAR GAMMA … | 155


Rombo, G.O., Taylor, J.R.N. & Minnaar, A. 2004.
Irradiation of maize and bean flours: Effects on starch
physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84:
350–356.
Shakai, C., Yamamoto, Y., Hendromono, Prameswari, D. &
Subiakto, A. 1995. Sistem Pendingin Dengan Pengka-
butan Pada Pembiakan Vegetatif Dipterocarpaceae.
Buletin Penelitian Hutan, No. 588. Bogor
Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia
faba L. after treatment with different mutagens.
Hereditas, 48: 565–573.
Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi
Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal
Litbang Pertanian, 22(2): 70–78.

156 | M. Zanzibar dan Danu


PENUTUP

abon putih [Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser,

J sinonim Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.,


Anthocephalus chinensis (Lamk.), famili Rubiaceae)]
merupakan salah satu jenis potensial asli Indonesia yang
cepat tumbuh dan multiguna. Pengembangan jenis ini
membutuhkan dukungan informasi dan IPTEK, khususnya
tentang pembenihan dan pembibitan jabon putih untuk
menghasilkan benih dan bibit berkualitas yang dapat
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Review hasil-
hasil penelitian pembenihan dan pembibitan dalam bentuk
bunga rampai untuk jenis jabon putih ini akan membantu
menyediakan referensi yang ideal untuk mengatasi
permasalahan pembenihan dan pembibitan di lapangan.
Beberapa informasi karakteristik dan penanganan benih
yang telah disampaikan, antara lain cara seleksi dengan
penyaringan, karakter benih, pengeringan dan daya
simpannya, serta cara penaburan dan pembibitannya.
Pengendalian hama penyakit, pemanfaatan sinar gamma
sebagai seed treatment dan teknik perbanyakan vegetatif
sebagai pendukungnya untuk peningkatan produktivitas.

Jabon putih menjadi jenis yang penting sebagai penghasil


kayu ketika produksi kayu dari hutan alam semakin turun
sehingga dikenal sebagai jenis alternatif. Keunggulan lain
dari jenis ini ialah mempunyai sebaran tempat tumbuh yang
cukup beragam, walaupun rentan pada kondisi kekeringan.
Untuk pengembangan jenis jabon diperlukan populasi yang
cukup beragam sehingga informasi mengenai keragaman
PENUTUP | 157
genetis pada populasi jabon penting untuk diketahui. Secara
umum, keragaman genetis dalam populasi yang relatif tinggi
pada populasi jabon menunjukan bahwa populasi jabon
tersebut masih memiliki ukuran yang cukup memadai untuk
melakukan perkawinan silang sehingga keragamannya
masih terpelihara, serta sangat mendukung pembangunan
sumber benihnya. Kualitas genetis apabila tidak diimbangi
dengan teknologi produksi buah dan teknologi penanganan
benih yang tepat, dapat menurunkan kualitas benih secara
keseluruhan.

Penentuan saat panen merupakan langkah awal mendapatkan


benih yang bermutu. Selanjutnya, penanganan benih yang
dimulai dengan ekstraksi dan sortasi menjadi sangat penting
untuk benih jabon putih yang berukuran halus. Benih jabon
seperti pada benih-benih tanaman kehutanan lainnya cukup
rentan terserang hama dan penyakit. Oleh karena itu,
penurunan kadar air benih jabon penting diperhatikan.
Demikian pula dengan teknik persemaian dan pembibitan,
hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu saat
penyapihan yang tepat dan standar bibit siap tanam.

Peningkatan produktivitas bibit jabon dapat dilakukan


menggunakan teknologi irradiasi. Penggunaan irradiasi
sinar gamma pada benih jabon mampu meningkatkan
perkecambahan dan pertumbuhan bibit yang lebih cepat
sehingga teknik ini dapat dijadikan sebagai seed treatment.
Selain itu, klon-klon unggul yang mempunyai produktivitas
tinggi dapat pula diperoleh. Produksi klon unggul hanya bisa
dilakukan melalui teknik perbanyakan vegetatif, antara lain
stek dan kultur jaringan.

Uraian mengenai teknologi pembenihan dan pembibitan


yang telah disusun dalam bentuk bunga rampai ini
diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi

158 | PENUTUP
Bunga Rampai Teknologi Pembenihan dan Pembibitan Jabon Putih

dalam memperkaya khasanah pengetahuan tentang jabon


putih.

PENUTUP | 159
Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat
Telp./Fax. +62251 7520093
E-mail: fordapress@yahoo.co.id

Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh:


BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN
TANAMAN HUTAN
Jalan Pakuan, Ciheuleut, PO Box 105 Bogor 16144
Telp./Fax. +62 251 8327768
E-mail: bptpbogor@dephut.go.id

You might also like