You are on page 1of 22

MAKALAH

PERKEMBANGAN TASYRI’ PADA ABAD KE-2 SAMPAI


PERTENGAHAN ABAD KE-4
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’

Disusun oleh :
Kelompok 10
1. Azzahra Elsyifa 12110120793
2. Liana 12110120921

Dosen Pengampu:
Syaifuddin Yuliar, Lc., MA.

KELAS FIQH 3A / SEMESTER 3


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
NOVEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan mengucapkan syukur kepada Allah Ta’ala yang


telah memberikan petunjuk, rahmat, hidayah dan segala nikmat-Nya kepada seluruh hamba-
Nya, serta tidak lupa shalawat serta salam kita ucapkan kepada Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’
tentang “Perkembangan Tasyri’ pada Abad ke-2 sampai Pertengahan Abad ke-4”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tentu menghadapi hambatan dan rintangan.
Namun dengan bantuan berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu, terutama kepada Bapak Saifuddin Yuliar, Lc., MA. selaku dosen
pengampu mata kuliah Tarikh Tasyri’ yang telah membimbing penulis sehingga makalah ini
terselesaikan,
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah di masa
yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan
bagi penulis dan para pembaca.

Pekanbaru, 24 November 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1

C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II.................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3

A. Tasyri’ pada Masa Awal Abad ke-2 sampai dengan Abad ke-4 Hijriah ....................... 3

B. Faktor-faktor Penyebab Perkembangan Tasyri’ pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah.............................................................................................................. 4

C. Sumber Tasyri’ dan Pemegang Wewenangnya pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah.............................................................................................................. 8

D. Perkembangan Kodifikasi Al-Qur’an dan Hadits pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah.............................................................................................................. 9

E. Lahir dan Melembaganya Madzhab-madzhab pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah............................................................................................................ 12

BAB III .............................................................................................................................. 18

PENUTUP ......................................................................................................................... 18

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 18

B. Saran ........................................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa abad ke-2 sampai dengan pertengahan abad ke-4, terjadi perpindahan
kekhalifahan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah. Pemimpin pertamanya adalah Abu
Al-Abbas Al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas. Masa ini merupakan
masa keemasan tasyri’, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Ketika Abu Bakar Al-
Manshur menjadi khalifah, ia membangun kota Baghdad menjadi ibu kota negara-negara
Islam. Di sanalah ulama-ulama dari seluruh penjuru dunia berkumpul, sekaligus para
pengusaha dan teknokrat (cendekiawan dalam pemerintahan) mengembangkan bakat dan
kemampuannya. Pada periode inilah pembukuan sunnah mengalami penyempurnaan,
serta pembukuan fiqh dan munculnya ulama-ulama besar yang dikenal dengan berbagai
macam madzhabnya.
Tidak semua hal yang terjadi pada rentang abad tersebut akan dibahas pada
makalah ini. Pada makalah ini hanya akan memaparkan dari sisi perkembangan tasyri’,
seperti beberapa faktor penyebab perkembangan tasyri’, sumber tasyri’ yang dijadikan
dasar pembentukan hukum dan pemegang wewenangnya, perkembangan al-Qur’an dan
hadits, serta faktor pendorong ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tasyri’ pada masa awal abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan tasyri’ pada
masa abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah?
3. Apakah yang menjadi sumber tasyri’ pada masa abad ke-2 sampai dengan abad ke-4
hijriah dan siapakah pemegang wewenangnya?
4. Bagaimanakah perkembangan kodifikasi al-Qur’an dan hadits pada masa abad ke-2
sampai dengan abad ke-4 hijriah?
5. Bagaimana lahir dan melembaganya madzhab-madzhab (termasyhur) pada masa abad
ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tasyri’ pada masa awal abad ke-2 sampai dengan
abad ke-4 hijriah.
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perkembangan tasyri’ pada masa abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah.
3. Untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi sumber tasyri’ pada masa abad
ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah dan pemegang wewenang tasyri’ masa itu.
4. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan kodifikasi al-Qur’an dan hadits
pada masa abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah.
5. Untuk mengetahui bagaimana lahir dan melembaganya madzhab-madzhab
(termasyhur) pada masa abad ke-2 sampai dengan abad ke-4 hijriah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tasyri’ pada Masa Awal Abad ke-2 sampai dengan Abad ke-4 Hijriah
Masa tasyri’ periode ini dimulai pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad
ke-4 hijriah (lebih kurang 250 tahun), yaitu masa Bani Abbasiyyah dan mujtahidin.
Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyyah (setelah runtuhnya Dinasti
Umayyah pada tahun 132 H) dan berakhir pada pertengahan abad ke-4 H ketika Dinasti
Abbasiyyah mengalami kemunduran dan tidak ada lagi yang tersisa dari kekuasaan
dinasti tersebut kecuali namanya saja. 1
Periode ini disebut sebagai periode perkembangan kematangan tasyri’ yang
gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama mengalami perkembangan yang luar biasa. Masa
ini disebut juga masa penyempurnaan di mana terjadi pembukuan sunnah, fatwa para
sahabat, fatwa tabi’ dan tabi’ tabi’in, hadits-hadits tafsir, ilmu-ilmu hadits, serta fiqh dan
ushul fiqh. Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi
di kalangan ulama, sehingga pemikiran tentang ilmu-ilmu pengetahuan berkembang.
Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam
bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.2
Selain disebut sebagai periode keemasan perkembangan tasyri’, masa abad ke-2
sampai pertengahan abad ke-4 hijriah ini juga dikenal sebagai periode tadwin atau
pembukuan, karena pada masa inilah gerakan penulisan dan pembukuan hukum-hukum
Islam mengalami perkembangan kemajuan yang sangat pesat. Hadits-hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi’in-tabi’in, tafsir al-
Qur’an, fiqh para imam mujtahid, serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasi
dalam suatu bentuk pembukuan. 3
Pada periode inilah muncul para mujtahidin dan ulama besar yang menjadi tokoh
istinbath dari berbagai madzhab. Madzhab-madzhab tersebut, yaitu madzhab Hanafi,
madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali. Kitab-kita fiqh mulai disusun
pada periode ini dan pemerintah Daulah Abbasiyyah menganut madzhab Hanafi sebagai
pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab fiqh

1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, terj. Nadirsyah Hawari,
(Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 102.
2
Noor Harisudin, Pengantar Ushul Fiqh, (Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama, 2019), hlm. 37.
3
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 71.

3
dalam berbagai madzhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti
kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i.
Sejak periode ini, fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu yang
mengandung pengertian hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Ushul fiqh pun telah matang menjadi salah satu cabang ilmu.
Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas dan istihsan, telah dikembangkan oleh ulama fiqh.
Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga
menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftiradhi (fiqh yang
berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa mendatang). 4

B. Faktor-faktor Penyebab Perkembangan Tasyri’ pada Masa Abad ke-2 sampai


dengan Abad ke-4 Hijriah
Faktor-faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum Islam dan gerakan
ijtihad pada periode ini, di antaranya sebagai berikut:
a. Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
Sebagaimana yang diketahui, perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada
periode Khulafaur Rasyidin. Dengan demikian, banyak daerah yang telah
ditakhlukkan oleh Islam. Pada masa Daulah Abbasiyyah, perluasan wilayah telah
mencapai ke Barat (Andalusia) dan ke Timur (Cina). Perluasan wilayah yang
dipimpin oleh Abu Al-Abbas Al-Saffah mempunyai pengaruh yang besar dalam
perkembangan fiqh dan tasyri’, karena pemerintahannya mengatasnamakan agama. 5
Penduduk negara yang sangat luas ini merupakan keharusan mutlak adanya undang-
undang yang djadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, terutama para hakim dan gubernur. Dan penetapan undang-undang dan
pemberian fatwa-fatwa tetap bersumberkan dari sumber-sumber syari’at.
Oleh karena itu, para ulama berusaha mengembalikan seluruh permasalahan
yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Mereka tetap berpedoman kepada
nash-nash syari’ah (al-Qur’an dan sunnah) dan dalil-dalil lain yang dibenarkan oleh
syari’at serta hukum-hukum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu. 6

4
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 83-84.
5
Ibid., hlm. 85.
6
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 72.

4
b. Para ulama dalam menetapkan perundang-undangan dan memberi fatwa telah
menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
Hal ini disebabkan karena mereka telah menguasai sumber-sumber tasyri’ dan
mengetahui berbagai peristiwa yang pernah terjadi dan sejumlah kemusykilan yang
sudah diatasi jalan keluarnya oleh paar ulama sebelumnya.7
c. Umat Islam memiliki semangat dan antusias dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam
hal ibadah, mu’amalah, dan transaksi-transaksi sosial lainnya agar penerapannya
sesuai dengan hukum Islam.
Dalam menghadapi permasalahan hukum, umat Islam langsung mendatangi
dan menanyakan kepada para ulama dan meminta fatwa tentang ketetapan hukum-
hukumnya menurut syari’at Islam. Begitu pula dengan para penguasa dan pejabat
negara serta hakim-hakim ketika menghadapi berbagai kasus, mereka langsung
merujuk kepada mufti (ahli fatwa) dan tokoh-tokoh tasyri’. Dengan demikian, pada
periode ini, para imam mujtahid benar-benar menjadi sentral tumpuan harapan umat,
mulai dari masyarakat kalangan bawah, para hakim, bahkan pejabat petinggi negara
datang dan berkunjung terus-menerus kepada mereka. Kondisi seperti ini membuat
para imam mujtahid produktif melahirkan hasil pemikiran ijtihad yang semakin
berkembang. 8
d. Muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh
faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum Islam semakin berkembang.
Tokoh-tokoh yang muncul tersebut seperti para pemuka madzhab serta para
sahabat dan murid mereka. Situasi dan kondisi pada masa itu juga turut
mempermatang kualitas pemikiran para tokoh mujtahid hingga melahirkan berbagai
madzhab. Akal pemikiran yang cerdas dan berkualitas melahirkan bibit unggul yang
baik. 9

Dalam sumber lain disebutkan ada beberapa faktor penyebab kemajuan fiqh
Islam pada masa Dinasti Abbasiyyah (awal abad II – pertengahan abad IV), yaitu:
1) Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah terhadap Fiqh dan Fuqaha
Para khalifah Dinasti Abbasiyyah sangat memberikan perhatian kepada fiqh,
berbeda dengan khalifah Dinasti Umayyah yang lebih konsentrasi kepada masalah

7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 73.
9
Ibid., hlm. 73-74.

5
politik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek yang dilakukan Dinasti Abbasiyyah
terhadap fiqh dan fuqaha, di mana aspek-aspek tersebut sebagai berikut:
a) Semua undang-undang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, terutama yang
terkait dengan urusan pemerintahan.
b) Memberikan perhatian terhadap sunnah dan mengumpulkan hadits, ditulis dan
dibukukan, seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih al-Bukhari, dan yang lainnya.
c) Para khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah
(bantuan), dan menyuruh pemimpin negeri untuk menjadikan para ulama sebagai
rujukan dalam menentukan hukum.
d) Perhatian para khalifah juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqaha
untuk meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam mengatur urusan
negara. 10
2) Perhatian dan Semangat Tinggi untuk Mendidik Para Penguasa dan Keturunannya
dengan Pendidikan Islam
Hal ini dapat dilihat dari contoh ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid yang
mengirimkan kedua anaknya, yaitu Al-Amin dan Al-Ma’mun untuk mengikuti majelis
ilmu Imam Malik di Madinah. Contoh lainnya, ketika Imam Muhammad bin Al-
Hasan Asy-Syaibani menulis kitab As-Siyar (sejarah), Khalifah Ar-Rasyid menyuruh
anak-anaknya menemui sang imam mendengarkan pelajarannya. 11
3) Iklim Kebebasan Berpendapat
Para ulama pada periode ini mempunyai kebebasan menyatakan pendapat
dalam melakukan kajian ilmiah, tidak ada satu penguasa pun yang dapat mengikat
mereka. Oleh karena itu, mereka melakukan istinbath hukum dari berbagai sumber,
mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang banyak. Namun yang dimaksud
dengan kebebasan berpendapat pada zaman Dinasti Abbasiyyah ini bukan secara
mutlak, melainkan ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh fuqaha
dan pengikutnya, yaitu hanya terbatas pada urusan agama, sosial, dan ekonomi, bukan
pada bidang politik.12
4) Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di antara Para Fuqaha
Pada periode ini, muncul madzhab dan perseteruan fiqh yang tajam, sehingga
perselisihan di antara mereka tidak hanya dalam hal-hal furu’iyyah (pandangan, pola

10
Rasyad Hasan Khalil, op. cit., hlm. 102-103.
11
Ibid., hlm. 104.
12
Ibid., hlm. 104-105.

6
pikir, atau pendapat), namun terkadang menyentuh masalah sumber dalil. Hal ini
disebabkan beberapa faktor, sebagai berikut:
a) Banyaknya para fuqaha, sehingga masing-masing berijtihad secara bebas;
b) Upaya sebagian fuqaha untuk menyebarkan pendapat mereka kepada masyarakat
dengan cara memberi fatwa, menghafal fatwa, dan menuliskannya; dan
c) Himbauan kepada masyarakat agar menjadikan hukum ini sebagai aturan hidup
mereka. 13
5) Banyaknya Permasalahan Baru yang Muncul
Penakhlukan yang dilakukan pasukan Islam semakin meluas pada zaman
Dinasti Abbasiyyah. Para fuqaha yang sudah menyebar ke berbagai negeri kemudian
menemukan banyaknya adat istiadat, aturan sosial, hukum, dan ekonomi yang
sebelumnya tidak mereka temukan, sehingga mereka harus menemukan jawaban dan
pendapat sesuai dengan syari’at Islam.
Manfaat yang dapat diambil dari banyaknya permasalahan baru yang muncul
pada zaman ini adalah lahirnya hukum fiqh baru dari para fuqaha di tempat masing-
masing. Tidak hanya itu, para fuqaha juga harus melakukan perjalanan ilmiah untuk
mengambil ilmu dari ulama yang lain karena tuntutan keadaan. 14
6) Akulturasi Budaya dengan Bangsa-bangsa Lain
Umat Islam terdiri dari beberapa ras, seperti Arab, Persia, Romawi, yang
hidup berdampingan dengan penganut agama-agama lain, seperti Yahudi, Nasrani,
Majusi, dan lainnya. Setiap ras tersebut memiliki ilmu dan peradaban yang berbeda
satu dengan lainnya. Jadi, ketika Islam mengikat dan melunakkan hati mereka dalam
satu barisan politik yang menghilangkan segala perbedaan yang ada pada mereka,
mereka pun saling bertukar adat istiadat, ilmu, dan pengalaman hidup, sehingga
memberikan pengaruh terhadap kematangan berpikir dan pengembangan
intelektualitas, ditambah dengan kerapnya komunikasi ilmiah dan sosial di antara
mereka. 15
7) Penulisan Ilmu dan Penerjemahan Kitab
Pada masa Dinasti Abbasiyyah yang merupakan zaman dibentuknya madzhab-
madzhab fiqh, penulisan ilmu pengetahuan lebih banyak. Kitab-kitab sunnah dan fiqh
sudah banyak ditulis dan Imam Syafi’i mempunyai andil yang besar dalam menulis

13
Ibid., hlm. 106.
14
Ibid., hlm. 107-108.
15
Ibid., hlm. 109.

7
ilmu ushul fiqh. Penulisan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang
sudah disebutkan, tetapi juga meluas kepada bidang ilmu tafsir, bahasa, dan adab.
Semua ini tidak terlepas dari jasa orang-orang Islam luar Arab karena peradaban
mereka yang lalu telah mengajarkan kepada mereka bagaimana cara menulis dan
membuat hasil karya. 16

C. Sumber Tasyri’ dan Pemegang Wewenangnya pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah
1. Sumber Tasyri’
Sumber perundang-undangan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan periode
sahabat. Sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat, yaitu al-
Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Apabila terjadi suatu peristiwa, para ahli fatwa
merujuk pada al-Qur’an. Mereka memerhatikan nash yang menunjuk kepada hukum
yang dimaksud dan memahami nash itu. Jika apa yang mereka maksud tidak terdapat
dalam Kitabullah, mereka baru beralih ke sunnah, karena sunnah berfungsi
menerangkan al-Qur’an.
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah
atau hadits, mereka mencari ijma’ ulama salaf. Jika terdapat dalam ijma’, mereka
mengamalkannya. Jika tidak terdapat di dalam ijma’, barulah mereka berijtihad
dengan menggunakan qiyas atau memerhatikan ruh syari’at untuk memerhatikan
kemaslahatan umat. Ijtihad yang mereka lakukan adalah dengan jalan qiyas atau
dengan jalan istinbath yang lain, seperti istihsan, istishhab, dan lainnya. 17
2. Pemegang Wewenang Tasyri’
Mereka yang menjadi pemegang wewenang perkembangan tasyri’ pada
periode ini adalah generasi tabi’in yang telah menyertai para sahabat sebelumnya
yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari
para sahabat inilah, para tabi’in mempelajari al-Qur’an, menerima periwayatan
sejumlah hadits, dan menelaah berbagai fatwa. Dari mereka juga, para tabi’in
mempelajari berbagai rahasia tasyri’, dan beragam metode istinbath. Para tabi’in
tersebut juga selalu disertai oleh tabi’ tabi’in yang menjadi murid-murid mereka.
Tabi’ tabi’in menerima pelajaran dari tabi’in sebagaimana mereka menerimanya dari
para sahabat; baik berdasarkan al-Qur’an, hadits, fiqh, dan lainnya.

16
Ibid., hlm. 110.
17
Abdul Majid Khon, op. cit., hlm. 87-88.

8
Hampir di setiap kota besar terdapat para generasi pemuka tasyri’. Mereka
berguru dari generasi sebelumnya dan mengajarkan kepada generasi sesudahnya.
Mereka yang menjadi ahli tasyri’ ini adalah melalui pengakuan masyarakat, bukan
pengangkatan khalifah atau anggota majelis tasyri’. Di antara generasi ulama tasyri’
yang terkenal pada periode ini, sebagai berikut:
a. Di Madinah
Dari kalangan tabi’in, di antara ulama tasyri’ adalah Abu Bakar bin
Abdurrahman bin Al-Haris bin Hisyam dan Al-Qarim bin Muhammad bin Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Adapun dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Muhammad bin
Syihab Az-Zuhri dan Yahya bin Syu’aib. Kemudian, dari kalangan imam mujtahid
adalah Malik bin Anas dan para sahabatnya.
b. Di Mekkah
Dari kalangan tabi’in adalah Ikrimah, Mujahid, dan Atha’. Sementara itu,
dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid.
Adapun dari kalangan imam mujtahid Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. lalu,
murid-murid Asy-Syafi’i yang memiliki madzhab tersendiri adalah Ahmad bin
Hanbal dan Dawud bin Ali Az-Zhahiri.
c. Di Kufah
Dari kalangan tabi’in adalah Alqamah bin Qais dan Al-Qadhi Syuraih.
Dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Ibrahim Al-Nakha’i. selanjutnya, murid Ibrahim
yang terkenal adalah Hammad bin Sulaiman dan Abu Hanifah.
d. Di Mesir
Dari kalangan tabi’in adalah Yazid bin Habib (mufti Mesir). Kemudian,
dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Al-Laits bin Sa’id dan Abdullah bin Hakam.
Dari kalangan imam mujtahid adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. 18

D. Perkembangan Kodifikasi Al-Qur’an dan Hadits pada Masa Abad ke-2 sampai
dengan Abad ke-4 Hijriah
1. Kodifikasi Al-Qur’an
Pada periode ini, para penghafal al-Qur’an semakin bertambah banyak dan
tersebar di seluruh wilayah Islam. Di setiap wilayah, terdapat para qari dan penghafal
al-Qur’an. Pada abad ke-2 H ini, timbul banyak bacaan al-Qur’an yang berbeda. Ada
sekitar sepuluh sampai empat balas bacaan. Akan tetapi, bacaan tersebut diseleksi

18
Ibid., hlm. 88-91.

9
oleh ulama. tujuh di antaranya mutawatir dan dapat diterima umat Islam. Tujuh
bacaan tersebut dinamakan Qira’ah Imam Tujuh (Qira’ah Sab’ah). Nama tujuh imam
tersebut adalah, Abu Amr bin Ali Al-Mazini, Ibnu Katsir, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Ibnu
Amir Al-Syami Abdullah bin Amir, Ashim Al-Kufi, Hamzah bin Habib Al-Zayyah
Al-Kufi, dan Al-Kisa’i Al-Kufi. Di antara tujuh imam tersebut, yang paling banyak
diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia adalah qiraah Imam Ashim Al-Kufi
melalui periwayatan muridnya, Hafshah bin Sulaiman.
Pada abad ke-3 H, keindahan khat al-Qur’an berkembang dari sistem
penulisan dasar naskhi menjadi berbagai bentuk tulisan, di antaranya seperti kufi,
maghribi, dan riqa’i. Demikian juga terjadi perkembangan pada tanda-tanda di dalam
al-Qur’an, seperti lambang pada akhir ayat, serta tanda wakaf, juz, dan hizb.19

2. Kodifikasi Hadits
Pengodifikasian hadits terjadi sekitar tahun 140 H. kemudian pada abad III H,
terjadi kemajuan dalam pengodifikasian yang disebut azha ‘ushur as-sunnah an-
nabawiyah (masa keemasan sunnah). Pada masa ini, kegiatan rihlah untuk mencari
sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Hampir
seluruh hadits telah berhasil dibukukan. Di samping itu, ulama telah mampu
memfilter antara hadits Nabi dan perkataan sahabat. Mereka juga telah mampu
menyeleksi dan mengklasifikasi antara hadits yang shahih dan yang tidak shahih.
Oleh sebab itu, lahirlah buku hadits Musnad, Kutubussittah, buku hadits Sunan, dan
buku hadits Shahih yang dijadikan sebagai pedoman oleh umat Islam.
Pada masa ini juga lahir para huffazh dan para pembesar kritikus hadits,
seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in,
Muhammad bin Muslim, Abu Abdillah Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj dan Abu
Zar’ah. Tidak banyak penambahan hadits pada abad IV H dan berikutnya dilakukan
teknik pembukuan ddengan lebih sistematis. Kegiatan pengodifikasian hadits dibuat
dalam bentuk ikhtisar, istikhraj, dan syarh (ulasan).20

Selain dari kodifikasi-kodifikasi di atas, para periode abad II sampai dengan


pertengahan abad IV hijriah ini juga terjadi kegiatan kodifikasi-kodifikasi di bidang lain,
yaitu kodifikasi tafsir, kodifikasi fiqh, dan kodifikasi ushul fiqh.

19
Ibid., hlm. 92.
20
Ibid., hlm 93-95.

10
a. Kodifikasi Tafsir
Pada zaman tabi’in, pengahajatan dan kebutuhan akan tafsir semakin
menggeliat, terutama ketika berhadapan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang kandungan
hukumnyamasih tersirat secara implisit. Pada akhir periode tabi’in, beberapa ulama
mulai mengumpulkan tafsir-tafsir Nabi dan sahabat serta memisahkannya dari hadits
dan mengodifikasikannya secara tersendiri dan akhirnya menjadi disiplin ilmu tafsir.
Di antara ulama perintis penulisan tafsir pada periode ini adalah Sufyan bin Uyainah,
Waki’ bin Jarah, dan Ishaq bin Rawaih. Pada periode inilah kodifikasi tafsir dilakukan
secara sistematis menurut kronologi surat dan ayat. Di antara kitab tafsir yang lahir
pada periode ini adalah tafsir Ibnu Juraih, tafsir Muhammad bin Ishaq, dan tafsir Ibnu
Jarir At-Thabari. 21
b. Kodifikasi Fiqh
Pada era Bani Abbasiyah inilah muncul era baru dalam kodifikasi fiqih,
dimana para fuqaha mulai menulis sendiri pendapat dan fatwa- fatwanya kemudian
mengajarkannya pada murid-muridnya. Ada tiga metode penulisan fiqih pada periode
ini, yaitu sebagai berikut:
 Pertama, metode penulisan fiqih yang bercampur dengan hadist dan fatwa sahabat
dan tabi’in. Al-Muwatha' karya Imam Malik bisa diklaim juga sebagai kitab fiqih
yang ditulis menggunakan metode ini. Karya ini memuat masalah-masalah fiqh
yang diambil dari hadits, qaul sahabat dan ijtihad tabi'in serta tradisi orang-orang
Madinah. Selain itu, karya Sufyan al-Stauri, Jami' al Kabir, dan karya Imam
Syafi'i, Ikhtilaf al-Hadits juga bisa dikategorikan sebagai karya yang
menggunakan metode ini.
 Kedua, metode penulisan fiqh yang terpisah dari hadits dan fatwa sahabat. Pelopor
penggunaan metode ini adalah fuqaha Hanafiyah. Karya Abu Yusuf, Al-Kharraj,
yang berisikan tentang administrasi, keuangan, dan kedaulatan negara Islam
merupakan contoh karya besar yang mengadopsi metode ini.
 Ketiga, metode komparatif, merupakan metode yang mengetengahkan berbagai
pendapat sumber, metode dan argumentasinya, kemudian mendiskusikannya guna
mendapatkan pendapat tervalid dengan dalil terkuat. Untuk melacak dan

21
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’, (Surabaya: Jenggala Putaka Utama, 2014), hlm. 112-113.

11
menulusuri metode ini, bisa rujuk salah satu karya terbaik Imam Syafi'I, yaitu
kitab Al-Umm.22
c. Kodifikasi Ushul Fiqh
Terjadi perdebatan di kalangan sejarawan mengenai siapa yang sebenarnya
pertama kali menggagas tentang ushul fiqih. Kendatipun demikian, mereka sepakat
bahwa penulis pertama yang merumuskan ushul fiqih secara sistematis adalah Imam
Syafi'i dalam karya agungnya Ar-Riisalah.
Pada zaman sahabat dan tabi'in, kaidah-kaidah ushul fiqih ini juga telah
menjadi dasar dan kaidah dalam berijtihad meski belum pernah ditulis. Sebagai
contoh, ketika Abu bakar dilantik menjadi khalifah pertama, beberapa sahabat
memintanya untuk berhenti berdagang dan memfokuskan diri dalam urusan
kekhalifahan serta segala kebutuhannya akan ditanggungkan dari Baitul Mal. Melihat
gagasan sahabat yang dilandaskan pada kemaslahatan umum yang harus didahulukan
atas kemaslahatan pribadinya, Abu Bakar menerima gagasan para sahabat tersebut.
Gagasan Abu Bakar ini pada dekade selanjutnya menjadi kaidah ushul fiqih yang
menyatakan bahwa kemaslahatan umum didahulukan atas kemaslahatan individu. 23

E. Lahir dan Melembaganya Madzhab-madzhab pada Masa Abad ke-2 sampai dengan
Abad ke-4 Hijriah
1. Madzhab Hanafi
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah. Namanya ialah Nu'man bin
Tsabit yang lahir pada tahun 80 H (687 M) di Kufah dan wafat pada tahun 150 H (767
M) di Baghdad. Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain sutera di Kufah. la
terkenal jujur dalam melakukan transaksi mu’amalah. Ia menetapkan harga pas pada
setiap barangnya kepada pembeli dan tidak menyukai cara tawar menawar. 24
Abu Hanifah banyak berguru kepada para ulama. salah satunya dengan
seorang ulama terkemuka pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman, yang
merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan
pengaruh dalam membangun madzhab fiqhnya. Di samping itu, ia juga belajar fiqh
selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha Mekkah
termasuk ketika ia mukim di sana selama enam tahun setelah hijrah tahun 130 H.25

22
Ibid., hlm. 113-114.
23
Ibid., hlm. 114-115.
24
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 104.
25
Rasyad Hasan Khalil, op. cit., hlm. 173.

12
Imam Abu Hanifah juga memiliki banyak murid. Ada yang tinggal beberapa
waktu untuk belajar dan ada pula di antara murid sang Imam yang selalu menyertai
sampai beliau wafat. Imam Abu Hanifah adalah sosok yang dicintai dan mendapat
tempat khusus di mata para muridnya. Di antara murid adalah Abu Yusuf,
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Zufar bin Al-Huzail, dan Al-Hasan bin Zaid
Al Lu'lu'i. Dari keempat muridnya ini, yang paling banyak jasanya dalam
meriwayatkan pendapat sang Imam adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani.
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri
dalam perfiqihan dan meng-istinbath hukum. Manhaj Imam Abu Hanifah dalam
meng-istinbath hukum, adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah; sebagai penjelas kandungan al-Qur’an, yaitu menjelaskan yang global
dan alat dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Dengan
demikian, siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya dengan ia tidak
mengakui risalah Tuhannya.
c. Pendapat sahabat; karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah, mereka
lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan
merekalah yang membawa ilmu Rasulullah kepada umatnya.
d. Qiyas; digunakan ketika tidak ada nash al-Qur’an atau sunnah atau ucapan
sahabat, caranya dengan menggali ‘illat dan jika menemukannya akan dilakukan
pegujian terlebih dahulu, lalu barulah mentapkan dan bisa menjawab masalah
yang terjadi dengan melihat ‘illat yang ditemukan tersebut.
e. Istihsan; yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hukum yang lain,
karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah.
Oleh karena itu, perlu mencari ‘illat lain dengan cara qiyas khafi, atau karena
qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Ijma’; yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama.
g. Al-‘Urf (adat istiadat); yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum
muslimin dan tidak ada nash, baik dari Alquran, sunnah, atau perbuatan sahabat,
dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga dapat
dijadikan sebagai hujjah.26

26
Ibid., hlm. 176-177.

13
2. Madzhab Maliki
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Maliki. Nama lengkapnya adalah Malik
bin Anas al-Asbahiy, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M) dan wafat pada tahun
173 H (792 M). Walaupun lahir di Madinah, sesungguhnya Imam Malik berasal dari
Yaman. Salah seorang kakeknya yang bernama Abu Amir termasuk di antara sahabat
Rasulullah. Imam Malik merupakan seorang ahli hadits sekaligus ahli fiqh. Umat
Islam telah menyepakati keahlian, keutamaan, dan kepemimpinannya dalam disiplin
ilmu hadits dan fikih. Imam Syafi'i belajar hadits dan fiqh dari Imam Malik. 27
Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan kaidah madzhabnya dalam
ber-istinbath serta manhaj-nya dalam berijtihad walaupun beliau pernah mengatakan
atau mengisyaratkannya. Berdasarkan penjelasan dan isyarat Imam Malik itu serta
hasil istinbath para fuqaha madzhab serta juga pendapat yang ada dalam kitab Al-
Muwatha', dapat disimpulkan bahwa dasar madzhab Imam Malik, yaitu:
a. Alquran
b. Sunnah; menempati urutan kedua setelah Alquran. Manhaj Imam Malik dalam
meng-istinbath hukum dari sunnah adalah mengambil hadits mutawatir dan hadits
masyhur di zaman tabi'in atau tabi’ tabi'in.
c. Amalan penduduk Madinah; Imam Malik menganggap amalan (perilaku)
penduduk Madinah schagai hujjah karena perbuatan ini tidak mungkin melainkan
cerminan dari baginda Rasulullah.
d. Fatwa sahabat; Imam Malik mengambil fatwa sahabat karena fatwa sahabat
adalah hadits yang harus diamalkan jika memang benar periwayatannya, terutama
dari para Khulafaur Rasyidin jika memang tidak ada nash tentang masalah
tersebut.
e. Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, dan Istihsan; Imam Malik menggunakan qiyas
dengan maknanya menurut istilah, yaitu menggabungkan hukum satu masalah
yang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nya karena ada
persamaan dalam aspek illat-nya. Beliau juga mengamalkan istihsan, yaitu
menguatkan hukum suatu kemaslahatan yang merupakan cabang dari sebuah
qiyas, dan tentunya juga mencakup al-mashalih al-mursalah yang merupakan
kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menolak atau membenarkannya, dengan

27
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 109.

14
syarat dalam pengambilannya demi menghilangkan kesusahan dan termasuk jenis
kemaslahatan yang memang dianggap oleh syari’at Islam.
f. Sadd Adz-Dzara’i; maksud dari sadd adz-dzara'i ini adalah sesuatu yang
mengakibatkan terjadinya perbuatan haram adalah haram, dan yang dapat
membawa kepada yang halal maka hukumnya halal sesuai dengan ukurannya.
Misalnya, menggali sumur di belakang pintu rumah, hukumnya haram karena bisa
menyebabkan orang terjatuh.
g. Al-'Urf (adat istiadat).28

3. Madzhab Syafi’i
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Asy-Syafi’i. Nama lengkapnya
Muhammad bin Idris al-Syafi'i al-Quraisy. Nasab keturunannya bersambung dengan
Rasulullah pada nama Abdi Manaf. Imam Syafi’i lahir dalam keadaan yatim pada
tahun 150 H (767M) di Guzah (wilayah Palestina). Syafi'i sejak kecil sudah hafal al-
Qur’an. Kemudian, dia mengadakan perjalanan ke berbagai etnis Hudzail di
pedalaman Arab. Etnis Hudzail ini merupakan etnis Arab yang terpisah. Dari mereka
inilah Syafi'i memperoleh dan menghafal banyak sya’ir.
Dalam menetapkan fiqhnya, Imam Asy-Syafi' menggunakan lima sumber,
yaitu sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’; merupakan salah satu dasar yang dijadikan sebagai hujah oleh Imam Asy-
Syafi'i yang menempati urutan setelah al-Qur’an dan sunnah. Imam Syafi’I
mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu
masalah hukum syar'i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijma' pertama yang
digunakan oleh Imam Syafi'i adalah ijma'nya para sahabat.
d. Pendapat para sahabat; Imam Asy-Syafi'i membagi pendapat sahabat kepada tiga
bagian; pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma' mereka untuk
membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh
pemiliknya. Ijma' seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya
serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada
yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka Imam Syafi'i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal

28
Rasyad Hasan Khalil, op. cit., hlm. 182-184.

15
ini Imam Syafi'i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan al-Qur’an,
sunnah, atau ijma', atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat, beliau tidak
akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
e. Qiyas; Imam Syafi’i menilainya sebagai sebuah bentuk ijtihad yang sama dengan
menggali makna nash atau menguatkan salah satu pendapat untuk mencapai
putusan yang lebih mudah dilaksanakan. Atas dasar ini, beliau menetapkan qiyas
sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran
hukum al-Qur’an dan sunnah yang tidak ada nash pastinya. 29

4. Madzhab Hanbali
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Nama lengkapnya
adalah Ahmad bin Hambal al-Syaibani al-Marwaziy, lahir di Marwa pada tahun 164
H (780 M) dan wafat tahun 241 H (855 M) di Baghdad. Banyak tokoh hadits besar
yang hidup sezaman dengannya dan belajar hadis kepadanya, termasuk tokoh hadits
yang masyhur, yaitu Imam Bukhari dan Muslim. Imam Ahmad bin Hanbal tekun
menggeluti dunia ilmu hadits hingga digelari dengan Imam Ahl as-Sunnah. Ia telah
menyusun kitab hadits yang disebut musnad yang sangat populer dengan nama
Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal. Musnad ini terdiri atas enam jilid dan sudah
dicetak dan diterbitkan di Mesir.30
Imam Ahmad bin Hanbal mendirikan madzhabnya di atas lima dasar, yaitu:
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah; sebagai realisasinya, Imam Ahmadt mendahulukan hadis tentang
‘iddah seorang wanita hamil yang ditinggalkan oleh suaminya sampai melahirkan
dan tidak berpendapat dengan mengambil dua tempo yang paling lama, seperti
dalam fatwa Abdullah bin Abbas yang sama dengan Imam Syafi'i.
c. Fatwa para sahabat; Imam Ahmad memilih pendapat sahabat yang tidak
menyalahi (iktilaf) dan yang sudah sepakat.
d. Jika fatwa para sahabat berbeda-beda, Imam Ahmad memilih salah satu pendapat
mereka yang lebh dekat kepada al-Qur’an dan sunnah.
e. Hadits Mursal dan Dha’if; Imam Ahmad mengunakannya apabila tidak adanya
atsar, qaul sahabat, atau ijma’ yang menyalahinya.

29
Ibid., hlm. 189-191.
30
Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 112.

16
f. Qiyas; bagi Imam Ahmad, qiyas adalah dalil yang digunakan ketika sudah dalam
keadaan terpaksa. Artinya, permasalahan yang dicari tidak ada dalam nash al-
Qur’an, sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits mursal, maupun dha’if.31

31
Rasyad Hasan Khalil, op. cit., hlm. 195-196.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan tasyri’ pada abad ke-2 sampai dengan pertengahan abad ke-4
termasuk dalam periode kemajuan Islam pertama. Periode ini disebut juga sebagai
periode tadwin atau pembukuan, karena pada masa inilah gerakan penulisan dan
pembukuan hukum-hukum Islam mengalami perkembangan kemajuan yang sangat pesat.
Ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan
ulama, kebebasan berpikir, dan meluasnya wilayah Islam, sehingga berbagai pemikiran
tentang ilmu pengetahuan pun semakin berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan umum
lainnya.
Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali
munculnya madzhab-madzhab fiqh, di mana yang termasyhur yaitu madzhab yang empat;
madzhan Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali. Periode
keemasan ini juga ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan pengodifikasian, baik itu
kodifikasi al-Qur’an, hadits, tafsir, fiqh, serta ushul fiqh.

B. Saran
Pokok bahasan tulisan ini sudah dipaparkan di atas. Besar harapan penulis semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi,
penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih
baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Harisudin, Noor. 2019. Pengantar Ushul Fiqh. Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama.

Khalil, Rasyad Hasan. 2016. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam. Terj. Nadirsyah
Hawari. Jakarta: Amzah.

Khallaf, Abdul Wahab. 2001. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Khon, Abdul Majid. 2015. Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari
Masa ke Masa. Jakarta: Amzah.

Nawawie, Hasyim. 2014. Tarikh Tasyri’. Surabaya: Jenggala Putaka Utama.

19

You might also like