You are on page 1of 14

SEJARAH PEMIKIRAN TAFSIR MASA SHAHABAT

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Matakuliah : Sejarah Pemikiran Tafsir

Dosen Pengampu : Dr. Ma'mun Mu'min, M.Ag, M.Ag., M.Si., M.Hum.

Disusun Oleh : Kelompok 3 (C4-IQR)

1. Aufi Isni Naila (2030110079)


2. Ahsan Kamal (2030110097)
3. Afa Syihabul Habib (2030110099)

PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh dimasa Nabi Saw. dan beliaulah penafsir awal (al-
mufassir al-awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu
yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang mulia tidak ada yang berani
menafsirkan Al-Qur’an ketika beliau masih hidup. Rasulullah sendirilah yang memikul
tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Para sahabat ialah orang-orang yang paling tau terhadap al-Qur’an setelah Nabi
saw. Karena mereka berguru langsung kepada Nabi SAW, dan mereka sangat
memperhatikan kalam Allah ini serta menerapkan dalam kehidupan kandungan-
kandungannya. Masalah baru menerpa para sahabat dikala sang guru yakni Rasulullah
saw wafat pada saat itulah sahabat-sahabat yang utama dalam al-Qur’an melanjutkan
estafet untuk mengajarkan kalamullah kepada umat. Para sahabat sangat teliti dalam
memahami ayat-ayat Allah. Dalam masalah penafsiran mereka, terutama akan merujuk
kepada al-Qur’an, apabila tidak ada maka Hadist-hadits Nabi saw, jika tidak maka
istinbath menjadi keharusan. Sebagai bahan tambahan, mereka ternyata juga merujuk
pada keterangan ahli kitab yang telah masuk islam, para sahabat menjadi sosok
pengemban amanah untuk menyebarkan ajaran Islam dan mengajarkan Al-Qur’an kepada
umat manusia. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat menyampaikan risalah
agama Islam kepada generasi berikutnya dengan meriwayatkan penjelasan Nabi SAW
tentang Al-Qur’an, akan tetapi penjelasan Nabi SAW terbatas dan kebutuhan masyarakat
terhadap penjelasan Al-Qur’an lebih besar dari sebelumnya. Maka, merekapun berijtihad
untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an berdasarkan pemahaman dan ilmu yang mereka
miliki.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana para Mufassir generasi shahabat?
2. Bagaimana materi tafsir generasi shahabat?
3. Bagaimana pemikiran tafsir generasi shahabat?
4. Bagaimana produk tafsir generasi shahabat?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Para Mufassir Generasi Shahabat

Sahabat Nabi Muhammad yang dikenal dengan keahlian tafsir terbilang sangat
sedikit. Mereka adalah sahabat yang belajar langsung kepada Rasulullah. Mereka
menyaksikan sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Mereka yang diberikan pemahaman yang
dalam melalui ijtihad dan pendapatnya tentang makna yang terkandung dalam ayat Al-
Qur’an, Periode masa Sahabat dimulai setelah Nabi Muhammad wafat. setidaknya ada 10
orang Sahabat yang dikenal sebagai mufassir. 1 Seperti, Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin
al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas.

Para sahabat ra juga bertingkat-tingkat dalam pemahaman Al-Qur’an,


sebagaimana mereka bertingkat-tingkat dalam periwayatan hadits nabawi. Sebagian
mereka banyak meriwayatkan hadits, dan sebagian lainnya sedikit riwayat haditsnya.
Imam Al-Suyuti menjelaskan bahwa di antara sahabat Nabi yang dikenal sebagai ahli
dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah para khulafal rosyidun (Abu bakar, Umar, utsman,
Ali), Abdullah bin Abbas, Abdulloh bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu
Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair.2. Beberapa ulama juga menambahkan nama
sahabat yang lain. Seperti, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin
Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash, Aisyah binti Abu Bakar. Akan tetapi periwayatan
mereka tentang tafsir setelah masa tadwin hanya sedikit yang sampai kepada kaum
muslimin.

Adapun riwayat yang dinukil dari sahabat Nabi berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an
itu tidak banyak, terhitung lebih sedikit jika dibandingkan periwayatan mereka pada fiqih
dan fatwa. Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak didapati dalam kitab-kitab tafsir
periwayatan mereka melainkan sesuatu yang sedikit, di sebabkan beberapa faktor yaitu :
Pertama, kehidupan mereka yang termasuk singkat setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw sehingga tidak banyak waktu untuk meriwayatkan dan menjelaskan tafsir kepada
1 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1991),h,17.

2Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Suyyuti. (1426 H). Al-Itqan Fii Uluum Al-Qur’an.Madinah Munawarah: Majma’ Malik Fadh. hlm. 187.
generasi setelahnya. Kedua, abu Bakar, Umar dan Utsman lebih disibukkan dengan
urusan kekhilafahan dan kemasyarakatan dari pada pengajaran Al-Qur’an di masjid.
Ketiga, masih terdapat banyak sahabat di Madinah. Mereka memahami Al-Qur’an dan
kandungan isi, sehingga tidak ada kebutuhan yang besar untuk merujuk kepada Abu
Bakar, Umar dan Utsman dalam tafsir Al-Qur’an.3

Dari kalangan Khulafa al-Rasyidin, disebutkan dalam sebuah sumber maka Ali
bin Abi Thaliblah yang dikenal paling banyak menafsirkan Al-Qur'an. Hal itu disebabkan
pertama, usia kehidupannya terbilang lama setelah Nabi Muhammad yaitu sampai tahun
40 H. Kedua, beliau tidak tersibukkan urusan kekhilafahan dalam waktu yang lama, yaitu
pada masa Abu Bakar, Umar dan Uthman. Ketiga, kebutuhan masyarakat terhadap tafsir
Al-Qur’an dari kalangan tabiin, terutama berasal daerah-daerah ajam yang baru masuk
Islam.4 Faktor ini juga yang menyebabkan banyaknya riwayat tafsir Al-Qur’an dari
sahabat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab.

Mengenai Ali bin Abi Thalib, beliau terkenal dengan keberaniannya,


kepintarannya dalam bidang ilmu dan kesucian jiwa. Diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib, beliau mengatakan : “tanyakanlah saya, tanyakanlah saya, dan tanyakanlah saya
tentang kitabullah !, Demi Allah tidak satu ayat pun dalam kitabullah, kecuali saya
mengetahui diturunkannya siang atau malam hari.”

Abdullah bin Mas’ud, beliau termasuk orang-orang yang pertama kali masuk
islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan badar serta peperangan
lainnya. Beliau sempat mempelajari dari Nabi Muhammad Saw lebih dari 70 surat dalam
Al-Qur’an. Nabi Saw pernah mengatakan kepada bdullah bin mas’ud pada masa pertama
keislamannya : ”sesungguhnya engkau adalah anak yang cerdik”. Beliau katakan lagi:
“barang siapa yang hendak membaca Al-Qur’an setepat diturunkan, hendaklah ia
membacanya menurut bacaan Ibnu Ummi Abd” dan sementara itu Ibnu Mas’ud r.a lebih
banyak diriwayatkan tafsirnya dari pada Ali r.a.5

3Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2000).hlm. 49.

4 Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2000).hlm. 49.

5 H. Aunur Rafiq Al-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2004), hlm.202
Abdullah bin Abbas, beliau merupakan anak paman Rasulullah Saw., dilahirkan
tiga tahun sebelum hijriyah. Beliau melazimkan pergaulan dengan Nabi SAW karena
kedudukannya sebagai anak paman Nabi dan bibinya yang bernama Maimunah
merupakan istri Nabi berkat doa-doa Nabi Muhammad beliau menjadi tinta umat dalam
penyebaran tafsir Al-Qur’an dan fiqih. Seperti disebutkan dalam kitab Shahih dari Ibnu
Abbas bahwa Nabi Muhammad mendekapnya dan berrdoa, “Ya Allah ajarkanlah hikmah
kepadanya.” Disebutkan dalam Mu’jam al-Baghawi dan lainnya, diriwayatkan dari Umar
bahwa ia mendekati Ibnu Abbas dan berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah Saw
memanggilmu, mengusap mengusap kepalamu, meludah dimulutmu dan berdoa ‘Ya
Allah! Berilah ia pemahaman mendalam didalam agama dan ajarkan takwil padanya".6

Adapun sahabat Nabi, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah bin
Zubair, mereka merupakan sahabat yang ahli dalam tafsir Al-Qur’an, akan tetapi
periwayatan mereka sedikit yang sampai kepada kita, dan keahlian mereka berada di
bawah dari khulafaul Rasyidin. Corak penafsiran pada masa ini adalah bil Ma’tsur.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai hukum marfu’ (disandarkan
kepada Rasulullah).

B. Materi Tafsir Generasi Shahabat


Sahabat merupakan generasi pertama yang menerima al-Qur’an, menyaksikan
turunnya al-Qur’an secara perlahan, sekaligus sahabatlah orang pertama yang menerima
penafsiran dari Rasulullah Saw, bahkan para sahabat tidak meneruskan bacaan al-Qur’an
lebih dari 10 ayat sebelum mengetahui dan memahami maksudnya dengan cara beriman,
berilmu atau beramal.7 Disamping sumber penafsiran sahabat langsung kepada al-Qur’an,
Sunnah Rasulullah dan ahl al-Kitab, ijtihad. Sahabat juga memiliki keistimewaan di mana
mereka lebih mengetahui asal-usul peletakan bahasa Arab dan segala macam rahasianya,
pengetahuan mereka terhadap adat-istiadat bangsa Arab, halihwal Yahudi dan Nasrani di
Jazirah Arab di mana al-Qur’an diturunkan serta kemampuan dan wawasan keilmuan
mereka yang begitu dalam dan luas. Berdasarkan beberapa argumen yang telah
disebutkan, tafsir sahabat sudah sepantasnya didahulukan dari pada penafsiran orang-
orang setelahnya, bahkan sebagiannya harus didahulukan. Tafsir sahabat juga memiliki
6 Syekh Manna bin Al-Qatthan, Dasar-dasar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Ummul Quro, 2017), hlm.569

7 Abd al-Rahman ibn Nasir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an (CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah), hlm. 3.
tingkatan yang berpengaruh kepada hukum penggunaan tafsir sahabat. Beberapa
penjelasan mengenai tafsir shahabat sebagai berikut :
Pertama, Tafsir Sahabat yang Bebas dari Intervensi (campur tangan dalam
perselisihan antara golongan) apapun. Tafsir sahabat yang tidak bisa diintervensi oleh
rasio, maka hal itu dihukumi marfu’ yang berkonsekuensi kewajiban merujuk kepada
tafsir sahabat tersebut, seperti asbabu nuzul, berita tentang alam gaib sepanjang tidak
diambil dari kisah-kisah israiliyat dan sejenisnya. Hal itu ditegaskan oleh al-Zarqani dan
al-Zarkasyi dalam kitabnya.8 Salah contohnya, ayat ‫ث لَ ُك ْم فَْأ ُتوا حَ رْ َث ُك ْم َأ َّنى ِش ْئ ُت ْم‬
ٌ ْ‫ن َِس اُؤ ُك ْم حَ ر‬
dimana Jabir ibn Abdillah mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah
perkataan orang Yahudi bahwa suami yang mendatangi istrinya dari belakang, anaknya
akan cacat.
Kedua, Tafsir yang Merujuk kepada Bahasa. Sahabat jika menafsirkan al-Qur’an
dengan merujuk kepada bahasa yang ada para mereka, maka tidak ada keraguan untuk
menjadikannya sebagai pegangan atau rujukan bahkan harus diterima sebagai sebuah
tafsir yang benar karena mereka adalah ahl al-lisan.9 Salah satu contohnya, ketika para
sahabat menafsirkan kata ‫ القصر‬dalam QS. al-Mursalat: 32 ‫ ِا َّن َها َترْ مِيْ ِب َش َر ٍر َك ْال َقصْ ۚ ِر‬dengan
mengatakan bahwa mereka membuat tiga kayu bakar dengan panjang lebih 3 siku lalu
membangunnya untuk musim dingin, bangunan itulah yang disebut ‫القصر‬.
Ketiga, Tafsir yang Merujuk kepada Ahl al-Kitab Sebagaimana diketahui bahwa
riwayat israiliyat dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu: riwayat sah karena
sesuai dengan al-Qur’an dan hadis Nabi, riwayat batil karena bertentangan dengan al-
Qur’an dan hadis Nabi, riwayat yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan.10 Salah satu
contohnya adalah penjelasan tentang kisah Nabi Musa dalam ayat 26 dari surah al-
Maidah.
Keempat, Tafsir menggunkan Ijtihad. Penafsiran sahabat yang bersumber pada
ijtihad, dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Tafsir Sahabat yang Hasil Ijtihadnya Sama

8 al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, op.cit., h. Juz. II, 37 dan alZarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, op.cit., Juz. II, h. 157.

9 alZarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, op.cit., Juz. II, hlm 172.

10 Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 166.


Jika ijtihad sahabat terhadap satu kasus atau masalah kemudian hasilnya sama,
maka dapat dipastikan ijtihad mereka dapat dijadikan hujjah karena hal itu masuk
kategori ijma’ sahabat.
b. Tafsir Sahabat yang Hasil Ijtihadnya Berbeda
Jika terjadi perbedaan pendapat penafsiran sahabat terhadap sebuah kata al-
Qur’an, kalimat atau ayat al-Qur’an, maka dilakukan altarjih kepada salah satu
pendapat sahabat dengan tingkatan yaitu mendahulukan pendapat yang sesuai dengan
al-Qur’an, mendahulukan pendapat yang sesuai dengan al-Sunnah, mendahulukan
pendapat sahabat yang paling benar cara qiyasnya.
c. Tafsir Seorang Sahabat yang Ijtihadnya tidak Ditentang oleh Sahabat Lain
Ijtihad tersebut masyhur, Pendapat seorang sahabat yang sudah masyhur
kemudian tidak ditentang oleh sahabat lain maka tidak disangsikan lagi bahwa
pendapat tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah, bahkan dianggap sebagai ijma’
oleh mayoritas ulama.
Ijtihhad tersebut tidak masyhur (terkenal) Sedangkan penafsiran sahabat yang
tidak tersebar dan dikenal luas atau tidak jelas apakah tafsir sahabat tersebut dikenal
luas atau tidak, maka dianggap hujjah oleh imam mazhab empat.
C. Pemikiran Tafsir Generasi Shahabat
Pada periode ini, shahabat pada dasarnya telah dapat memahami al-Quran secara
globalatas dasar pengetahuannya mereka terhadap bahasa arab. Namun, pemahaman
mereka secara detail atas makna al-Quran masih memerlukan penjelasan. Ibnu Chaldun
dalam muqaddimahnya menyebutkan bahwa semua sahabat memiliki pemahaman yang
sama terhadap al-Qur’an. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka sendiri.11
Ibnu Quthaibah dalam risalahnya al-Masaa’ilu wal Wajibat yang didukung oleh
Amin al-Khuly menyebutkan bahwa orang Arab termasuk juga para sahabat, berbeda
pengertian dan pemahamannya terhadap keseluruhan dari isi al-Qur’an, karena meskipun
al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz
gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi
saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat
kualitasnya dalam memahami al-Qur’an.

11 Mannā’ Khalīl al-Qațțān, Mabāhith Fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Cairo: Maktabah Wahbah, t.th), 326.
Penafsiran shahabat terhadap al-Qur’an mengacu kepada inti dan kandungan Al-
Qur’an dari segi penjelasan makna yang dikehendaki hukum-hukum yang terkandung
dalam ayat. Oleh karena itu, Para shahabat merujuk kepada pengetahuan mereka tentang
sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebab turunnya ayat. Jadi,
mereka tidak mengkaji segi nahwu, I’rab, dan macam-macam balaghah yaitu ilmu
ma’ani, bayan, badi’, majaz, dan kinayah. Mereka juga tidak mengkaji dari segi lafald,
susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya, hal ini karena mereka
memiliki dzauq (rasa kebahasaan) dan mereka mengetahui hal itu semua karena fitrah
mereka. 12
Sekalipun demikian, Para shahabat merasa perlu untuk mendiskusikan dan
mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat dalam dan jauh untuk dipahami. Beberapa
shahabat merasa kesulitan ketika memahami al-Qur’an sebagai contohnya Abu Bakar As-
Shidiq ditanya mengenai pengertian “al-Abb” pada Q.s. ‘Abasa ayat 31, lalu dijawab :
“langit mana lagi tempat aku berteduh, serta bumi mana lagi tempat aku berpijak, jika
aku berkata terhadap kitab Allah SWT, tentang hal yang tidak aku mengetahuinya
sedikitpun.
Dengan demikian, pengetahuan para shahabat dari segi bahasa arab tidaklah
cukup baginya untuk menafsirkan makna kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara final.
Akan tetapi mereka memerlukan sesuatu yang datangnya dari Rasul secara taufiqiyah.
Pada periode shahabat sumber dari penafsiran mereka adalah Al-Quran, Hadits, Ijtihad
mereka masing-masing dan khabar dari ahlu kitab baik yahudi maupun nasrani.
Imam ibnu shalah mengatakan “Tafsir shahabat itu hukumnya marfu’ apabila
digantungkan pada sebab-sebab turunya al-Qur’an atau yang didalamnya tidak
menggunakan ra’yu, jika demikian maka hukumnya mauquf yakni selama tidak
disandarkan kepada Rasullullah Saw. Pada periode shahabat belum ada pentadwinan
dalam masalah tafsir, karena pentadwinan baru dimulai abad II H dimana pada masa itu
sebagai cabang hadits. 13

D. Produk Tafsir Generasi Shahabat

12 Dr. Ma’mun Mu’min, M.Ag “ Sejarah Pemikiran Tafsir” hlm. 17

13 Dr. Ma’mun Mu’min, M.Ag “ Sejarah Pemikiran Tafsir” hlm. 23


Sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling terkemuka dalam bidang
tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu: 1) Abu Bakar al-Siddīq (573 – 634 M), 2)
‘Umar bin al-Khaţţāb 9584 – 644 M), 3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M), 4) ‘Ali bin
Abī Ţālib (600 – 661 M), 5) ‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M), 6) ‘Abdullah bin Mas’ūd
(w. 625 M), 7) Ubay bin Ka’ab (w. 642 M), 8) Zaid bin Śābit (611 – 655), 9) Abu Mūsā
al-Asy‘arī dan 10) ‘Abdullah bin Zubair.14

Empat orang pertama dari sahabat-sahabat tersebut pernah menjadi khalifah. Akan
tetapi, di antara keempat khalifah ini yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah
‘Ali bin Abī Ţālib. Mengapa demikian? Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi
Muhammad saw, dia menantu Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah
lainnya. Sedangkan sahabat yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah
bin ‘Abbās, ‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat
ini adalah Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat yang
terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak dengan tafsir sahabat
yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik, ‘Abdullah bin Dīnār,
Jābir bin ‘Abdullah dan ‘Aisyah.15

Sejak masa Nabi Muhammad saw, agama Islam itu tersebar dan wilayahnya
tambah meluas. Dan pada masa para khalifah, agama Islam semakin tersebar, wilayahnya
pun semakin bertambah luas, sehingga para sahabat menyebar ke berbagai penjuru seiring
dengan semakin bertambah meluasnya wilayah Islam. Maka pada masa itulah berdiri
madrasah-madrasah tafsir yang gurunya dari para sahabat dan muridnya dari para tabi‘in,
contohnya:

a) Madrasah tafsir di Mekah yang dipelopori oleh Ibnu ‘Abbās. Dia menajarkan tafsir
kepada tabi‘in dengan menjelaskan makna- makna Al-Qur’an yang sulit. ‘Umar bin
Khaţţāb memasukkannya ke dalam majelis syūrā bersama dengan para tokoh Badar.
Karena itu, para sahabat dan tabi‘in menetapkan Ibnu ‘Abbas sebagai turjumān al-
Qur’an (penafsir Al-Qur’an) berkat doa Nabi Muhammad saw. untuknya, yaitu (Ya
Allah, berikanlah faham kepadanya tentang agama dan ajarkanlah kepadanya

14 Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h. 47

15 Ibid, hlm 48
ta’wil).16Amat banyak tafsir diambil dari Ibnu ‘Abbas, karena dia meninggal
belakangan daripada sahabat-sahabat lainnya. Di samping itu, dia memang
mengabdikan hidupnya pada pengembangan ilmu dengan memberikan pelajaran dan
tidak memperhatikan soal-soal politik.
b) Madrasah tafsir di Irak yang dipelopori oleh Ibnu Mas‘ūd. Selain dia terdapat pula
sahabat yang mengajarkan tafsir di Irak, namun dialah yang dianggap sebagai guru
pertama karena popularitasnya dan banyaknya riwayat darinya. Karena itu, dia
mendapatkan ilmu yang banyak dari Nabi, sehingga para sahabat memandangnya
sebagai salah seorang sahabat yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an,
mengetahui muhkamnya, mutasyabihnya, halalnya dan haramnya
c) Madrasah tafsir di Madinah yang dipelopori oleh Ubay bin Ka‘ab. Ubay bin Ka‘ab
adalah salah seorang penulis wahyu dan salah seorang ahli qiraat yang terkenal.
Sebagimana Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa: Ubay bin Ka‘ab adalah salah
seorang sahabat yang paling pandai membaca kitab Allah. Abū Ja‘far al-Rāzi
mengatakan bahwa: Ubay bin Ka‘ab memiliki satu naskah yang besar dalam bidang
tafsir. Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Hātim, al-Hakim da Ahmad telah meriwayatkan banyak
tafsirnya. 17

Model tafsir para sahabat ialah menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, al-
Qur’an dengan hadis menafsirkan al-Qur’an lewat pendapat atau ijtihad para sahabat dan
penafsiran al-Qur’an dengan pendapat ahli kitab akan tetapi pada masa itu tidak
seluruhnya ayat al-Qur’an ditafsirkan dan juga pada masa sahabat belum ada
pembukuan/produk hasil karya tafsir yang dikodifikasi

1. Tafsir Ayat al-Qur’an yang yang bersumber dari ayat lain dalam al-Qur’an
Contohnya adalah tasfir firman Allah SWT :
“Dan atap yang ditinggikan (langit).” (Q.S. al-Thur:5)
Ayat ini ditafsirkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib dengan langit. Hal
itu didasarkan oleh beliau kepada firman Allah S.W.T. dalam Surat al-
Anbiya;

16 Ahmad bin Taimiyyah, Muqaddimah fī Usūl al-Tafsīr (Kairo: Maktabat al-Turāś al-Islāmī, t.th.), h. 97

17 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsie (Cet. XV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 217
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang
mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat
padanya.” (Q.S. al-Anbiya: 32)

Maksudnya adalah kata langit itu diibaratkan sebagai atap yang


terpelihara dan ditinggikan oleh Allah SWT.18

2. Tafsir ayat al-Qur’an yang bersumber dari hadis


“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. (QS. Al-Baqarah :
238)
Ibnu mas’ud merujuk kepada hadits yang menyatakan bahwa shalat
wustha adalah shalat ashar, sebagaimana riwayat berikut :

‫ قال ابوعيسى هذا‬.‫ ُال رسول هللا صلى هللا و سلم صالة الوسطى صالة العصر‬: ‫عن عبد هللا بن مسعود ُال‬

‫حديث حسن صحيح‬

Diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW berkata,


shalat wusthaa yaitu shalat ‘ashr Abu ‘isa berkata, bahwsanya hadits ini adalah
hasan /shahih).19
3. Tafsir ayat al-Qur’an yang bersumber dari ijtihad sahabat
Contoh penafsiran dengan menggunakan ijtihad terdapat pada surat al-
Taubah ayat 37.
ِ ‫ضلُّ بِ ِه الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا يُ ِحلُّوْ نَهٗ عَا ًما َّويُ َح ِّر ُموْ نَهٗ عَا ًما لِّي َُو‬
‫اطـُٔوْ ا ِع َّدةَ َما‬ َ ُ‫اِنَّ َما النَّ ِس ۤ ْي ُء ِزيَا َدةٌ فِى ْال ُك ْف ِر ي‬
َ‫ࣖ ح َّر َم هّٰللا ُ فَيُ ِحلُّوْ ا َما َح َّر َم هّٰللا ُ ۗ ُزيِّنَ لَهُ ْم س ُۤوْ ُء اَ ْع َمالِ ِه ۗ ْم َوهّٰللا ُ اَل يَ ْه ِدى ْالقَوْ َم ْال ٰكفِ ِر ْين‬
َ
Berbekal pengetahuan tradisi arab, para sahabat memahami kalimat ‫اِنَّ َما‬
ٌ‫ النَّ ِس ۤ ْي ُء ِزيَا َدة‬pada ayat tersebut dengan ta’khir hurmati. Al-syahr ila akhar, ya’ni
tahlil al-muharraam wa ta’khiruhu ila shafar. Sebelum Islam datang, bulan
Muharram, Shafar, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah adalah bulan-bulan yang
dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh dilakukan peperangan.
Tetapi peraturan ini dilanggar oleh kaum musyrikin Arab dengan mengadakan
peperangan.
18 Muhammad bin Jarir Al-Tabari. (2001). Tafsir Al-Tobari: Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an. Kairo: Dar Hijr. hlm. 18

19 .Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi AliranAliran Tafsir Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, (Yogakarta, Adab Press, 2012), h.59
4. Tafsir ayat al-Qur’an yang bersumber dari pendapat para ahli kitab Yahudi dan
Nasrani atau yang disebut kisah Israilliyat
“(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu
mereka berdoa, ‚Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu
dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.‛ (al-
Kahfi : 10)

Di dalam ayat tersebut mengisahkan tentang Ash-hab al-Kahfi, namun


al-Qur’an tidak menyebutkan letak gua dan nama-nama para pemudanya.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Periode masa Sahabat dimulai setelah Nabi Muhammad wafat. Setidaknya ada 10 orang
Sahabat yang dikenal sebagai mufassir. seperti, Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin al-Khattab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa
al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas.

Kaidah tafsir generasi shahabat dapat diklasifikasi dalam empat bagian. Pertama, Tafsir
sahabat yang bebas dari intervensi apapun. statusnya harus diterima dan menjadi hujjah. Kedua,
Tafsir yang merujuk kepada bahasa juga menjadi hujjah dan diterima karena mereka adalah ahl
lisan al-‘Arab. Ketiga, Tafsir yang merujuk kepada ahl alkitab yang status kehujjahannya terbagi
tiga yaitu diterima, ditolak dan tidak diterima dan tidak ditolak. Keempat, Tafsir yang
menggunakan ijtihad juga dapat dibagi dalam tiga bagian lagi yaitu diterima sebagai sebuah
ijma’, dilakukan tarjih dan diterima sebagai hujjah oleh mayoritas ulama, khususnya mazahib al-
Arba’.
Pada periode shahabat sumber dari penafsiran mereka adalah Al-Quran, Hadits, Ijtihad
mereka masing-masing dan khabar dari ahlu kitab baik yahudi maupun nasrani. pada masa
itulah berdiri madrasah-madrasah tafsir yang gurunya dari para sahabat dan muridnya dari para
tabi‘in, contohnya: Madrasah tafsir di Mekah yang dipelopori oleh Ibnu ‘Abbās, Madrasah tafsir
di Irak yang dipelopori oleh Ibnu Mas‘ūd. Madrasah tafsir di Madinah yang dipelopori oleh
Ubay bin Ka‘ab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan. 1991. Sejarah Dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Abi Bakr Al-Suyyuti, Abdurrahman Bin. 1426 H. Al-Itqan Fii Uluum Al-Qur’an. Madinah
Munawarah: Majma’ Malik Fadh.
Al-Dzahabi, M.H. 2000. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah

Al-Mazni, H. Aunur Rafiq. 2004. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar,

Al-Qatthan, Syekh Manna Bin. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Ummul Quro.

Nasir Al-Sa’di, Abd Al-Rahman Ibn. Al-Qawa’id Al-Hisan Fi Tafsir Al-Qur’an. CD-ROM Al-
Maktabah Al-Syamilah.

Al-Zarqani. Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Op.Cit.

Alzarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Op.Cit.

Khalīl Al-Qațțān, Mannā’. Mabāhith Fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Cairo: Maktabah Wahbah, T.Th

Mu’min, M.Ag, Dr. Ma’mun “ Sejarah Pemikiran Tafsir”

Departemen Agama RI. 2008. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen
Agama
Taimiyyah, Ahmad bin. Muqaddimah fī Usūl al-Tafsīr. Kairo: Maktabat al-Turāś al-Islāmī, t.th.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1994. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsie . Jakarta: Bulan
Bintang,
Jarir Al-Tabari, Muhammad bin. 2001. Tafsir Al-Tobari: Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-
Qur’an. Kairo: Dar Hijr.

Mustaqim, Abdul. 2012. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi AliranAliran Tafsir Periode
Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogakarta : Adab Press

You might also like