You are on page 1of 1

PENDEKATAN HISTORISITAS

3. Historisitas

Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang
ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-
olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu
Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada
suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan
berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme,
atau pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang
menyatakan bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat
Hegel.[10] Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang
dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan
evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa
Althusser bersusah payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser
adalah alah seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari
pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat
voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia”
(missionary of the human essence).[11] Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh
Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah
problem yang asing terhadap filsafat Marx.[12]

Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada
praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia
dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema Marx yang terkenal
tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme:
karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan
realitas ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap.
Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis”
bahwa kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti
dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun
pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang menstruktur relasi antara
subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya. Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris
frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok
terakhir”.[13] Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi.
Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya
melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal
di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri.
[14] Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi
antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen
pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last
instance’ never comes].”[15] Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam
pemikiran Marx.

You might also like