You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ternate adalah nama suatu pulau, nama suatu suku bangsa, nama suatu

bahasa, sekaligus nama suatu kesultanan. Sebagai suatu kesultanan, Ternate

awal merupakan suatu kerajaan kecil yang hanya terpusat di pulau-pulau

sekitar Pulau Ternate. Namun, pada abad ke-15, penguasa Ternate mulai

melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya. Pada abad ke-16, terutama di

bawah pemerintahan Sultan Babullah (1570- 1584), wilayah Kesultanan

Ternate meliputi sebagian wilayah perairan Indonesia Timur dan juga ke

Selatan sampai Bima, sebelah Barat sampai Makassar, ke Timur sampai

Banda, dan sebelah utara sampai Kepulauan Raja Ampat. Seorang misionaris

Italia, Pigafeta, dalam cacatan perjalanannya menulis bahwa Babullah

menguasai 72 pulau (Amal, 2007: 27).

Selain wilayah kekuasaannya yang luas, Kerajaan Ternate juga memiliki

kekuatan militer yang cukup tangguh untuk menaklukkan dan menjaga

dominasinya, sekaligus mengontrol perdagangan bebas antara berbagai

bangsa – Arab, India, Cina, Jawa, dan penguasa lokal. Dengan demikian,

Ternate menjadi pusat kekuasaan politik, ekonomi perdagangan khususnya

rempah-rempah, dan memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pertemuan

berbagai kebudayaan dari berbagai bangsa memperkaya khazanah

1
2

kebudayaan Ternate yang bermuara pada Ternate menjadi salah satu kekuatan

kerajaan Islam di timur Indonesia (Amal, 2007: 51).

Pada masa Kerajaan-kerajaan Islam muncul, perdagangan rempah-

rempah sangat ramai, baik jalur perdagangan antar pulau di Nusantara

terutama pada jalur perdagangan Jawa-Maluku dan Makassar-Maluku,

menjadi bagian yang inheren dalam konteks perdagangan nasional. Bangsa

Barat yang pertama datang di Nusantara adalah bangsa Portugis, dengan

semangat ekspansi dan jiwa berdagang berhasil merintis hubungan dagang

antara Eropa dan Nusantara. Sebelum tahun 1514, Portugis menyebut Maluku

sebagai as ilhas do cravo atau bisa di sebut dengan kepulauan cengkeh.

Pedagang-pedagang Arab menyebutnya Jazirat al-Muluk (daerah dari banyak

tuan). Cengkeh hanya terdapat di kepulauan Maluku. Maluku, terdiri dari

gugusan pulau-pulau kecil, didominasi oleh pulau kembar Ternate dan

Tidore. Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Uli Lima, yaitu persekutuan lima

bersaudara dengan wilayahnya mencakup pulau-pulau Ternate, Obi, Bacan,

Seram, dan Ambon. Sementera itu, Kerajaan Tidore memimpin Uli Siwa,

yang berarti persekutuan sembilan bersaudara dengan wilayahnya mencakup

pulau-pulau Makayan, Jailolo atau Halmahera, dan pulau-pulau di antara

daerah itu sampai dengan Irian Barat. Ternate dan Tidore mempunyai

kekayaan alam yang unik dan unggul, yaitu pohon cengkeh yang daunnya

menyelimuti lereng-lereng gunung-gunung berapi di antara pulau itu (Hasan,

1998: 14).
3

Pada abad ke-16, Kesultanan Ternate tampil lebih unggul. Masyarakat

Halmahera dimanfaatkan sebagai angkatan laut kesultanan. Sehingga,

kebesaran sultan Ternate Babullah yang sebagai “Raja 72 Pulau” tidak lepas

dari peran masyarakat Halmahera. Jenis-jenis perahu yang ada di Maluku

adalah jenis juanga, lakafiunu, korakora, kalulus, dan perahu kecil. Kapal

juanga adalah kapal kebesaran untuk raja, yang semuanya digerakkan oleh

pendayung. Palka dan lunas panjang antara 18-20 depa. Lambung kiri dan

kanan terdapat 200 pendayung dan hampir 100 orang prajurit bersenjata. Ada

yang lebih kecil lagi ukuran juanga, berukuran antara 10-11 depa (Lapian,

2008: 20).

Persentuhan dengan kekuatan kolonial adalah awal dari kemunduran

kekuasaan Ternate. Walaupun diakui bahwa persentuhan itu juga pada tataran

tertentu ikut memperbesar hegemoni dan dominasi Ternate, namun kehadiran

kekuatan kolonial memiliki dampak besar. Di satu sisi, ia bermanfaat

memperkuat posisi kekuatan kesultanan Ternate menghadapi dengan rival-

rival tradisionalnya, terutama Kesultanan Tidore dan Jailolo. Di sisi lain,

penguasa kolonial juga menggerogoti dan melemahkan Kesultanan Ternate

(Leirissa dkk, 1999: 35). Kolonialis yang bersentuhan dengan Ternate adalah

bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang. Inggris dan Jepang

termasuk rezim yang tidak terlalu banyak berdampak pada kemerosotan

kekuasaan Ternate. Berbeda dengan kekuatan kolonial Portugis, Spanyol, dan

Belanda yang memberi dampak besar bagi kemunduran kekuasaan

Kesultanan Ternate. Bahkan, dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.


4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat di

rumuskan beberapa poin utama sebagai masalah penelitian yang hendak

dikaji lebih mendalam, sebagai berikut :

1. Bagaimana keadaan ekonomi dan politik di Kesultanan Ternate di

awal abad ke-17 ?

2. Bagaimana kebijakan Perniagaan yang diterapkan penguasa Ternate

sepanjang abad ke-17 dan 18 ?

3. Bagaimana perkembangan perniagaan di Kesultanan Ternate pada

awal abad ke-18 ?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka akan diturunkan

dalam tiga poin ruang lingkup penelitian, yakni : aspek tematik, aspek

spasial dan aspek temporal. Berkaitan dengan aspek tematik, penelitian ini

akan memfokuskan kajian kepada tema sejarah sosial dari orang-orang

Arab di Batavia pada masa kolonial. Aspek temporal pada penelitian ini

ditetapkan pada abad ke17 sampai dengan abad ke-18. Pemilihan aspek

temporal ini berdasarkan pertimbangan bahwa abad ke-17 menjadi periode

persaingan kegiatan perniangaan di Ternate-Maluku, sementara itu awal

abad ke-18 menjadi akhir dengan pertimbangan runtuhnya kegiatan

perniagaan di Maluku. Aspek spasial dalam penelitian ini dipilih wilayah

Ternate-Maluku sebagai wilayah perniagaan yang dinamis di Nusantara

bagian timur sepanjang abad ke-17 hingga awala abad ke-18.


5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini, memiliki beberapa tujuan

pelaksanaannya, diantaranya adalah :

1. Untuk menjadi persyaratan kelulusan penulis dalam tingkat

pendidikan sarjana.

2. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Indonesia bagian timur

dalam satu periode kesejarahan Indonesia (masa kolonial).

3. Untuk menjadi landasan bagi penulis untuk memahami lebih lanjut

tentang sejarah maritime dan perniagaan yang menjadi ketertarikan

intelektual penulis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

pelaksanaanya, sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk

referensi bagi penelitian sejenis yang akan dilakukan oleh mahasiswa

di masa yang akan datang.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam

menghadapi isu-isu yang berkembang mengenai isu tentang

perdagangan yang sedang berkembang dewasa ini

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan sebagai

penambah wacana mengenai sejarah maritime dan ekonomi di

Indonesia.

E. Metode Sejarah
6

Metode penelitian sejarah disebut Metode Sejarah yang artinya

metode penelitian adalah urutan langkah-langkah untuk melaksanakan

penelitian, langkah-langkah harus logis dan sistematis sehingga apapun yang

melaksanakan penelitian mengulang metode yang sama akan memeroleh hasil

yang sama dengan tingkat kesalahan yang relatif sedikit dapat diperhitungkan.

Penulisan Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan melakukan tahapan

Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi (Gottschalk, 2006:57) melalui

kajian pustaka yang berhubungan erat dengan materi pembahasan.

Menurut Kuntowijoyo (2004: 53) metode penelitian sejarah lazim

disebut metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk

pelaksanaan atau petunjuk teknis. Oleh karena itu, metode sejarah dalam

pengertiannya yang umum adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan

mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis.

Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode dan teknik

penulisannya tidak terlepas dari cara-cara menghimpun dan mengolah sumber-

sumber atau bahan-bahan yang menjadi sumber penelitian. Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein, yang artinya

memperoleh, heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu.

Oleh karena itu, heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum.

Heuristik sering kali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan,


7

menangani, dan memerinci bibliografi, atau mengklasifikasi dan merawat

catatan-catatan (Kuntowijoyo, 2004: 53).

Salah satu prinsip heuristik ialah sejarawan harus mencari sumber

primer. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang

disampaikan oleh saksi mata, seperti catatan rapat, daftar anggota organisasi,

dan arsip-arsip laporan pemerintah. Sedangkan sumber lisan yang dianggap

primer ialah wawancara secara langsung dengan pelaku peristiwa atau saksi

mata. Sumber sekunder ialah sumber yang disampaikan bukan oleh saksi

mata seperti koran, majalah, dan buku. Segala bentuk sumber tertulis, baik

primer maupun sekunder, biasanya tersajikan dalam aneka bahan dan ragan

tulisan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, pencarian sumber

ditekankan kepada jenis sumber pelengkap. Sumber primer (dalam bentuk

dokumen sejarah) yang berada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),

dan sumber pendukung (dalam bentuk surat kabar) tidak dapat diakses oleh

penulis secara keseluruhan karena masa-masa pandemi yang dihadapi.

Penelitian ini lebih menekankan kepada sumber pendukung dalam bentuk

buku-buku sejarah yang berhubungan dengan judul penelitian, dan artikel-

artikel sejarah yang sudah dipublikasikan dalam jurnal sejarah.

Beberapa buku yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini

diantaranya adalah :

a. Buku Perdagangan dan Masyarakat Indonesia karya J.C. Van Leur


8

Sejarah sosial ekonomi sebagai ilmu sosial memiliki peranan penting

dalam kajian sistematik mengenai gambaran kehidupan masa lalu.

Sejumlah besar pengkajian sejarah dalam kajian oriental bersama

dengan kajian filologi menghasilkan kronologi sejarah yang lengkap

mengenai negeri-negeri di Asia. Weber mulia mengkaji India dan Cina

namun untuk Indonesia hal tersebut belum dilakukan. Gambaran

mengenai Asia mulai mendapatkan sudut pandang berbeda ketika

pengkajiannya dikaitkan dengan karya geografi, catatan perjalanan

bangsa barat ke asia. Hal tersebut menawarkan informasi mengenai

negara, orang-orang, agama, kerajinan dan pedagang di Asia. Kajian

oriental tersebut menggunakan sumber filologis dan geografis.

Sejarah perdagangan pada umumnya sering digantikan oleh sejarah

perkembangan teknik perkapalan yang memberikan sedikit manfaat

terhadap sejarah umum. Penggambaran geografis dan historis banyak

mengaburkan gambaran sejarah perdaganag dan ekonomi. Eksistensi

konsep peradaban agraris disini berkaitan dengan sistem ekonomi pra

kapitalis. Maka terdapat korelasi antara peradaban agraris dengan

perdagangan. Zaman dulu lalu lintas perdagangan berjalan beriringan

dengan migrasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh angin musim. Yang

kaitannya nanti dengan munculnya tempat-tempat singgah di pelabuhan

b. Buku Portugis dan Spanyol di Maluku, karya M. Adnan Amal.

Buku ini terdiri dari 17 Bab yang menjelaskan secara detail mengenai

sejarah Portugis dan Spanyol selama berada di Maluku. Mulai dari awal
9

kedatangannya sampai masa kekuasaannya di Maluku, serta beberapa

peninggalannya yang masih ada hingga sekarang seperti benteng

Gamlamo. Benteng ini dibangun pada masa pemerintahan gubernur de

Brito yang merupakan gubernur pertama.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana keadaan Maluku sebelum

kedatangan bangsa asing. Yang mana pada saat itu terdapat empat

kerajaan besar, yaitu Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Namun yang

memiliki pengaruh lebih besar diantara keempat kerajaan itu adalah

Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini selalu bersaing untuk bisa

menjadi yang terkuat. Ketika mendengar kabar kedatangan orang-orang

Portugis, keduanya berusaha mendapatkan perhatian sehingga nantinya

dapat menjalin kerja sama untuk memperkuat kerajaannya. Namun

ternyata Ternate satu langkah lebih cepat daripada Tidore.

2. Kritik Sumber

Kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan sumber. Dalam

hal ini, dilakukan kritikan intern dan kritikan ekstern.

a. Intern yaitu menilai keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas)

yang ditelusuri. Pokok untuk menetapkan kredibilitas sumber adalah

“Nilai bukti apakah yang ada di dalam sumber?”. Bahwa kesaksian dalam

sejarah meupakan faktor paling menentukan sahih dan tidaknya bukti atau

fakta sejarah. Kekeliruan saksi pada umumnya ditimbulkan oleh dua

penyebab utama. Pertama, kekeliruan dalam sumber informal yang terjadi

dalam usaha menjelaskan, menginterprestasikan, atau menarik kesimpulan


10

dari suatu sumber itu. Kedua, kekeliruan dalam sumber formal

(Gottschalk, 2006: 63).

b. Ekstern yaitu menilai keabsahan tentang keaslian sumber (autentisitas)

dengan melakukan pengujian atas asli dan tidaknya sumber, berarti

menyelidiki segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Sumber itu

berupa dokumen tertulis, maka sumber itu harus diteliti kertasnya,

tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-

katanya, hurufnya, dan segi penampilan luarnya yang lain. Semua

autentisitas dapat diuji berdasarkan lima pertanyaan pokok berikut: (1)

Kapan sumber itu dibuat, (2) Di mana sumber itu dibuat, (3) Siapa yang

membuat, (4) Dari bahan apa sumber itu dibuat, dan (5) Apakah sumber

itu dalam bentuk asli.

3. Interpretasi

Dari tahap kritik lalu menuju tahap interpretasi. Dalam tahap ini

dilakukan penafsiran terhadap data yang telah terseleksi, melalui analisis dan

sintesis. Analisis adalah menguraikan sekian data yang ada dan kemudian

mencari hubungan dari data-data tersebut melalui sintesis. Untuk mengontrol

tingkat objektifitas penafsiran maka digunakan teori serta konsep ilmu-ilmu

sosial sehingga hasil penafsiran tidak terjebak dalam sudut pandang subjektif

melainkan sebesar-besarnya kepada obyektifitas (Kuntowijoyo, 2004: 24).

Interpretasi sejarah sering disebut juga dengan analisis sejarah. Ada

dua metode yang digunakan, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti

menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan. Keduanya sebagai


11

metode utama di dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 2004: 100). Analisis

sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari

sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori diusulkan fakta

itu dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.

4. Penulisan Sejarah

Fase terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi

merupakan cara penulisan, pemaparan atas pelaporan hasil penelitian sejarah

yang telah dilakukannya. Penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya

memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal (fase

perencanaan) sampai dengan akhir (penarikan simpulan). Jadi, dengan

penulisan itu akan dapat ditentukan mutu penelitian sejarah itu sendiri

F. Kajian Pustaka dan Pendekatan Penelitian

Kajian pustaka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya

untuk mencari unsur yang akan ditekankan dalam penelitian sejarah yang

dilakukan. Unsur yang dimaksud adalah fokus kajian yang hendak dibahas, dan

dominan dalam pembahasannya, untuk itu diperlukan ilmu bantu dalam

memahaminya. Dalam penelitian ini akan digunakan konsep etnis yang

dimiliki oleh ilmu sosiologi, sebagai alat bantu menuliskan sejarah orang-orang

Arab di Batavia pada masa kolonial

1. Konsep Perniangaan dan Tinjauan Singkat Kerjaaan Ternate.

Pengertian Etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub-kelompok

manusia) yang di persatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur

atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa,
12

bahkan peran atau fungsi tertentu. Karena etnik berkesinambungan dengan

suatu budaya. Dan kebudayaan terbentuk dari sekumpulan orang yang

menghasilkan suatu budaya yang terjadi dari kebiasaan para anggotanya. Hal

tersebut merupakan suatu gejala yang ada dalam pengalaman manusia,

walupun definisi tersebut seringkali mudah diubah. Yang lain, contohnya

antropolog Fredrik Brath serta Erik Wolf, memiliki tanggapan etnisitas sebagai

hasil interaksi, serta bukan sifat-sifat hakiki suatu kelompok.

Sebelum kedatangan bangsa Barat, kegiatan perdagangan di wilayah

kepulauan Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan

internasional. Jalur perniagaan melalui darat dimulai dari Cina (Tiongkok)

melalui Asia Tengah, Turkestan sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga

berhubungan dengan jalan-jalan kaflah dari India. Jalur ini terkenal dengan

sebutan “Jalur Sutra” (silk road). Sejauh ini, jalur perdagangan lewat darat

inilah yang merupakan jalur paling tua, yang menguntungkan Cina dengan

Eropa.

Adapun jalan perniagaan melalui jalur laut juga dimulai dari Cina malalui

laut Cina, Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk s, melalui Syam (Suriah)

sampai ke Laut Tengah; atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir, lalu menuju

Laut Tengah. Pada waktu itu komoditas ekspor dari wilayah Nusantara yang

sampai di pasaran India dan Kekaisaran Romawi (Byzantium), antara lain;

rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, kemenyan, gaharu (lignum aloes),

kayu manis hijau, cengkeh yang biasa disebut oleh orang Tiongkok “dupa

kayu” (Van Leur, 2015: 30).


13

Kelompok dagang Asia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu;

kelompok finansir, yaitu orang-orang kaya, hartawan yang memasukkan

uangnya ke dalam dunia perdagangan secara incidental. Kelompok berikutnya

adalah para saudagar kelontong atau pedagang keliling. Mereka ini biasanya

merupakan pemilik modal yang ikut langsung dalam dunia perdagangan

dengan cara ikut berlayar berkeliling menjajakan barang-barang dagangannya.

Oleh sebab itu istilah untuk jalur rempah-rempah ini dinamakan spice

route. Perjalanan dari satu pelabuhan tempat pemberangkatan ke pelabuhan

lain sebagai tujuan perdagangan itu umumnya memakan waktu yang relatif

lama. Burger menggambarkan pelayaran dari Tonkin ke India memakan waktu

sekitar 12 sampai 15 bulan. Dari Kanton ke Palembang ditempuh sekitar 20

hari sampai dengan satu bulan (Van Leur, 2015: 45).

Adapun dari Aceh ke Cina memakan waktu sekitar 20 sampai dengan 30

hari. Dengan sendirinya biaya angkut barang itu menjadi cukup tinggi,

sehingga harga jual barang dagangan itupun menjadi tinggi pula alias mahal.

Ternyata dari harga yang relatif mahal itu, para pendagang memperoleh

keuntungan yang cukup tinggi pula. Namun yang lebih utama lagi bahwa

disepanjang jalur ini telah terjadi pertukaran berbagai produk budaya yang

bersifat halus seperti wacana lisan, musik, tari-tarian, berbagai jenis

pertunjukkan dan adat kebiasaan maupun yang sama sekali tidak terlihat secara

kasat mata seperti; berbagai macam gagasan, nilai, kaidah-kaidah mitos,

legenda berbagai macam kandungan sastra. Oleh sebab itu laut, selat, tanjung,

padang pasir, steppa, merupakan jalur-jalur penghubung dan pertemuan serta


14

dialog yang sangat mempengaruhi proses saling mempengaruhi antara satu

budaya dengan budaya lain sepanjang jalur tersebut, Tidak dapat disangkal lagi

bahwa Maluku terutama Banda, Ternate, Tidore maupun Bacan merupakan

pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa.

Lokasinya merupakan jalur yang menghubungkan antara Jawa dan Sulawesi

dan telah tercipta suatu peninggalan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,

kesenian yang merupakan bukti tentang masuknya aneka ragam kebudayaan

dari berbagai penjuru dunia seperti Arab, Cina, India dan Eropa (Reid, 2004:

17).

Menurut Van Leur (2015: 62) pada masa kerajaan lama, baik pada masa

kejayaan Hindu, Budha, maupun Islam, pengaruh raja ataupun sultan sebagai

kepala negara dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak

hanya  keamanan atau penarik pajak, tetapi sering juga bertindak sebagai

“pemegang saham”. Oleh karena itu, pada dasarnya dunia perdagangan di

wilayah Nusantara pada waktu itu telah mempunyai sifat kapitalis, atau

tepatnya sifat kapitalis politik.

Rempah-rempah hasil Maluku pula dan cengkeh merupakan petunjuk

penting untuk mengetahui bilamana Maluku mengadakan hubungan dengan

dunia luar. Sebab menurut para ahli tumbuh-tumbuhan, tanah asal rempah-

rempah adalah Maluku terutama Maluku Tengah dengan palanya dan Maluku

Utara dengan cengkehnya. Orang Tionghoa hanya mengetahui bahwa cengkeh

dari Maluku saja dalam sejarah raja-raja Ming sekitar abad XVI sampai dengan

1644 tercatat bahwa Maluku satu-satunya Negara Timur yang memproduksi


15

cengkeh. Hal ini didukung oleh berita Romawi tentang cengkeh yang

disebut garyophyllon merupakan tumbuhan sakti, yang dikatakan berasal dari

India. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Eropa telah mengenal

cengkeh sejak abad kedua Masehi (Reid, 2004: 27).

Dari berita-berita yang ada tersebut dapat diartikan bahwa pelayaran

ke Maluku memang belum dilakukan secara langsung, tetapi Maluku telah

dikenal oleh  para pedagang dari Arab, Eropa dan Timur Tengah terputama

hasil alamnya. Hasil dari tanah kepulauan ini diambil dari pelabuhan-

pelabuhan besar di sebelah barat. Hal ini dapat dibuktikan karena disebelah

barat telah berkembang kerajaan maritim dengan pelabuhan besar yaitu

Sriwijaya. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim bin Wasif-sah bahwa Djaba

menghasilkan cengkeh seperti juga dari daerah maharaja (Reid, 2004: 26).

Meningkatnya aktifitas perdagangan, dan adanya ancaman eksternal dari

para lanun atau perompak laut, maka kemudian timbul keinginan untuk

mempersatukan kampung-kampung yang ada di Ternate, agar posisi mereka

lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin Tobona, kemudian

diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan

mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko,

pemimpin Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama pada

tahun 1257 M dengan gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur berkuasa

hingga tahun 1272 M. Kerajaan Ternate memainkan peranan penting di

kawasan ini, dari abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor perdagangan.

Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara


16

kerajaan Islam tertua di Nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi.

Tapi, nama Ternate jauh lebih populer dibanding Gapi (Hasan, 1998: 12).

Sebagaimana disebutkan di atas, selain Ternate, di Maluku juga terdapat

beberapa kerajaa lain yang juga memiliki pengaruh. Masing-masing kerajaan

bersaing untuk menjadi kekuatan hegemonik. Dalam perkembangannya,

Ternate tampaknya berhasil menjadi kekuatan hegemonik di wilayah tersebut,

berkat kemajuan perdagangan dan kekuatan militer yang mereka miliki.

Selanjutnya, Ternate mulai melakukan ekspansi wilayah, sehingga

menimbulkan kebencian kerajaan lainnya. Dari kebencian, akhirnya berlanjut

pada peperangan. Untuk menghentikan konflik yang berlarut-larut, kemudian

Raja Ternate ke-7, yaitu Kolano Cili Aiya (1322-1331) mengundang raja-raja

Maluku yang lain untuk berdamai. Setelah pertemuan, akhirnya mereka

sepakat membentuk suatu persekutuan yang dikenal sebagai Persekutan Moti

atau Motir Verbond. Hasil lain pertemuan adalah, kesepakatan untuk

menyeragamkan bentuk lembaga kerajaan di Maluku. Pertemuan ini diikuti

oleh 4 raja terkuat Maluku, oleh sebab itu, persekutuan tersebut disebut juga

sebagai Persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku) (Hasan, 1998:

19-20).

Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara diam-diam ke Ternate

melalui jalur perdagangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang Arab

yang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang bermukim.

Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur


17

dakwah. Muballigh yang terkenal dalam menyebarkan Islam di kawasan ini

adalah Maulana Hussain dan Sunan Giri (Ricklefs, 2008: 97).

Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang

memeluk Islam, namun, hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja

Ternate yang diketahui memeluk Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486

M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486- 1500) yang kemudian

menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren Sunan Giri di

Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkeh).

Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam

sebagai undangundang kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano dengan

sultan. Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga membangun sekolah

(madrasah). Sejak saat itu, Islam berkembang pesat di Ternate dan menjadi

agama resmi kerajaan (Ohorella, 1997: 32).

Orang Eropa pertama yang datang ke Ternate adalah Loedwijk de

Bartomo (Ludovico Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun kemudian,

pada 1512 M, rombongan orang Portugis tiba di Ternate di bawah pimpinan

Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang, bangsa kulit putih ini masih

belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka masih

menunjukkan itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu,

Sultan Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin

pada Portugis untuk mendirikan pos dagang. Sebenarnya, Portugis datang

bukan hanya untuk berdagang, tapi juga menjajah dan menguras kekayaan

Ternate untuk dibawa ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui oleh
18

orang-orang Ternate. Ketika Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan

seorang permaisuri bernama Nukila, dan dua orang putera yang masih belia,

Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah,

Pangeran Taruwese juga masih hidup dan ternyata berambisi menjadi Sultan

Ternate. Portugis segera memanfaatkan situasi dengan mengadu domba kedua

belah pihak hingga pecah perang saudara (Ohorella, 1997: 41).

Dalam perang saudara tersebut, Portugis berpihak pada Pangeran

Taruwese, sehingga Taruwese berhasil memenangkan peperangan. Tak

disangka, setelah memenangkan peperangan, Pangeran Taruwese justru

dikhianati dan dibunuh oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan

Kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate. Sejak

saat itu, Pangeran Tabarij menjadi Sultan Ternate. Dalam perkembangannya,

Tabarij juga tidak menyukai tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia

difitnah Portugis dan dibuang ke Goa-India. Di sana, ia dipaksa

menandatangani perjanjian untuk menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen,

namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang menggantikan Tabarij juga

menolak mentah-mentah perjanjian ini (Leirissa dkk, 1999: 17).

Tindak-tanduk Portugis yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan

keluarga sultan di Ternate membuat Sultan Khairun jadi geram. Ia segera

mengobarkan semangat perlawanan terhadap Portugis. Untuk memperkuat

posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan Portugis dari Malaka, Ternate

kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan Demak dan Aceh, sehingga

Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke Ternate. Portugis hampir


19

mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan, kemudian Gubernur

Portugis di Ternate, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun untuk

berunding. Berbekal kelicikan dan kejahatan yang memang telah biasa mereka

lakukan, Portugis kemudian membunuh Sultan Khairun di meja perundingan.

Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian naik menjadi Sultan

Ternate menggantikan Sultan Khairun yang dibunuh Portugis. Ia segera

memobilisasi kekuatan untuk menggempur kekuatan Portugis di seluruh

Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama lima tahun,

akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi

Maluku pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini

merupakan kemenangan pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit

putih (Rikclefs, 2008: 101).

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan narativis dalam penyajian

tulisannya, penjelasan mengenai pendekatan narativis yang akan digunakan

diambil dari Ankersmit.

Narativisme adalah metodologi dalam filsafat sejarah yang digunakan

untuk merekonstruksi masa silam. Menafsirkan masa lampau, yang dilakukan

adalah mengaitkan berbagai fakta dari masa silam yang semula tidak koheren

dan tanpa struktur, menjadi satu kesatuan yang menyeluruh. (Ankersmit, 1987:

222-226). Dalam menginterpretasikan masa lampau, naratif menggunakan

kata-kata yang terpilih (bahasa yang mudah difahami), sehingga menarik


20

perhatian pembacanya. Jadi, linguistik mempunyai peran penting dalam

narativisme.

Menurut Ankersmit, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam

mewujudkan sejarah naratif yaitu: pertama, harus menggambarkan seluruh

bidang kehidupan, yang disusun berdasarkan rangkaian peristiwa sehingga

tampak perubahannya. Kedua, naratif menghubungkan minimal dua peristiwa

(situasi) yang berbeda, sehingga menjadi koheren (saling berhubungan) dan

mampu menjelaskan keseluruhan peristiwa (Ankersmit, 1987: 226).

G. Historiografi Relevan

Penelitian ini akan menggunakan penelitian lain sebagai

pembandingnya, penelitian tersebut berupa Skripsi berjudul “Kesultanan

Ternate Abad ke-16 dan 17” karya Irnawati Gani Arief.

Skripsi tersebut menjelaskan tentang sejarah Islam pertama kali masuk

di Ternate dibawa oleh para pedagang dan para mubalig, namun raja pertama

yang menerima Islam adalah Sultan Zainal Abidin. Pada masa pemerintahan

Sultan Babullah (1570-1583M), Kesultanan Ternate mengalami masa

kejayaan, beliau dikenal sebagai pemimpin yang gigih dan anti-Portugis.selain

itu, Kesultanan Ternate mengalami perkembangan pesat terutama dalam

bidang perdagangan karena banyak pedagang dari luar yang datang mencari

rempah-rempah ke Ternate. Dalam hal perkembangan Islam, Sultan Ternate

melakukan beberapa tahapan baik di bidang Dakwah, Pendidikan dan Sosial

Kemasyarakatan.

.
21

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka

dibuatkan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka

konseptual dan penelitian relevan, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II. Berisi mengenai narasi wilayah Maluku-Ternate serta deskripsi tentang

keadaan geografis, sejarah kesultanan Ternate dan posisi ekonomi

kesultanan Ternate.

BAB III. Bab ini menjelaskan mengenai deskripsi kebijakan peguasa

Kesultanan Ternate terhadap kegiatan perniagaan di Ternate-Maluku

sepanjang abad ke-17 hingga awal abad ke-18.

BAB IV. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai perkembangan kegiatan

perniagaan di Kesultanan Ternate hingga awal abad ke-18.

BAB V. Penutup, yang berisi mengenai kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian yang telah dilakukan.

Daftar Pustaka

Lampiran

You might also like