You are on page 1of 11
Wr iw ae? Australia’ ‘ Global. Alumni . fol '* “ts Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia Gerakan Ayo Mondok: Menegaskan Khittah Pesantren sebagai Pengembang Tradisi yang Plural dan Toleran (Hindun Anisah) 245 Islam Transnasional di Kota Jayapura: Beberapa Observasi (Ridwan Al-Makassary) 254 Gerakan Neo-Salafisme dan Tantangannya terhadap Kehidupan Beragama dan Adat Budaya Masyarakat Jambi (Mohamad Rapik) 261 Bagian Tiga: Islam dan Institusi Keagamaan dan Hubungan Indonesia-Australia Filantropi Islam: Hubungan Negara dan Agama, serta Penguatan Masyarakat Sipil (Amelia Fauzia) 270 Promosi Islam Moderat di South Australia: Pelajaran Berharga dari Kajian Islam Adelaide (Yuyun Sunesti) 279 Indonesia, Agama dan Negara Pengalaman_Belajar Kebijakan Negara atas Agama di Australian National University (ANU) Canberra (/smatu Ropi) 298 Pembelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia lewat Video Teleconference Antara Santri PPMI Assalaam Pabelan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah Indonesia dengan Murid Portland Secondary College Victoria dan Scotch College Perth Australia (Bambang Arif Rahman) 308 vi Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia Filantropi Islam: Hubungan Negara dan Agama, serta Penguata, Masyarakat Sipil Amelia Fauzia Melihat fenomena praktik sedekah, zakat, wakaf, donasi, gotong royong, relawan (volunteer), pengabdian dan sumbangan tenaga serta pikiran yang dilakukan masyarakat, bisa dikatakan bahwa filantropi (kedermawanan Sosial) telah menjadi keseharian yang begitu kuat mengakar bagi Muslim gj Indonesia. Survey UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2003/4 menegaskan kesimpulan itu dan menemukan bahwa 98,5 persen Muslim Indonesia memberi zakat dan 93,6 persen bersedekah; bahkan Masyarakat tidak mampu pun tetap berderma! Namun, kemana uang sebanyak itu, dan digunakan untuk apa? Jika filantropi saat ini begitu kuat, apakah dalam sejarah lampau juga demikian? Kapan praktik filantropi Islam itu mul dilakukan dan apa dampaknya? Mengapa studi tentang fenomena filantropi begitu terbelakang di Indonesia dan dunia Islam, sedangkan di tempat lain studi ini sudah sangat maju? Itulah diantara pertanyaan-pertanyaan yang “‘menganggu’ benak saya mulai tahun 2002 dan semakin menguat, hingga di tahun 2004 berhasil Mengubah topik studi Ph.D saya, dari kajian tentang gerakan mesianisme Ratu Adil menjadi Filantropi Islam—walau fokusnya tetap sama yaitu melihat fenomena gerakan sosial keagamaan dan hubungannya dengan negara. Tulisan ini merupakan refleksi ata: studi Ph.D saya di Universitas Melbout"® (2004-2008) dan memaparkan intisari temuan studi di sana menge™! , rt 4 potensi sumber Pendanaan yang sae K ini digunakan baik oleh negara mau 270 4 ‘slam, Institusi Keagamaan dan Hubungan Indonesia P Australia masyarkat sipil, menjadi gerakan yang men, dor i i" ‘On| 7 . dan menjadi unsur penting dalam kuat-lema 18 kebajikan (public Good) hnya_masyar: id ay society)- Varakat sipil (civil studi sejarah Filantropi Islam, ™engapa di Melbourne? ganyak yang menyangsikan pilihan saya Mengambil studi di Melbourne, Australia, ketika tahu bidang kajian saya adalah sej dan menyarankan saya pergi ke negara di Timur Tengah, yang d (katakanlah di abad 8-13 M) menjadi pusat peradaban Hee Universitas jarah Islam, lulu pernah i i ya berefleksi dan saya dapati para ilmuwan besar Muslim Pada masa kejayaan peradaban islam menimba pengetahuan dari mana saja dan siapa saja yang dianggap pakar. Mereka menimba pengetahuan yang bersumber dari pusat peradaban saat itu, belajar dari buku-buku yang ditulis oleh ilmuwan Yunani-Romawi, Persia dan lainnya yang notabenenya bukan Muslim. Bahkan ada gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan di lembaga kajian dan perpustakaan Bait al-Hikmah atau Dar al-Hikmah (9-13 M) di Baghdad yang didirikan oleh Sultan Harun Al-Rashid. Lembaga ini tidak saja dipenuhi oleh ilmuwan Muslim, tapi juga Yahudi dan Kristiani. Sayang center of excellence ini sudah tidak ada. Pada abad 20 dan 21 ini, harus diakui bahwa kajian sejarah Islam yang sering dikutip dunia belum banyak yang dihasilkan dari wilayah yang dikajinya, tapi dari universitas dan Pusat kajian di luar dunia Islam. Mengapa? Kajian membutuhkan lingkungan akademik (academic environment) yang baik untuk menghasilkan karya yang mumpuni, seperti diperlihatkan eat al-Hikmah dahulu yang didukung dana, kebijakan, fasilitas dan kebebasan intelektual. kajian yang saya pilih Dan hal lai jadi perti ialah witayah wae pene ete peruimbané?™ ber data dari wilayah adalah Nusantara yang mewajibkan saya mencari sum 271 d Et, aT slam Kontemporer diIndonesia dan Australia ntuk melengkapi teori dan metodelog! yang sudah ada Ponti mber-sumber data awal mengenai sejarah Nusantarg \ ee ask arent karena perlu menguasai bahasa masyarakat loa, pendatang (imigran yang banyaknya adalah pedagang), pengemp,,. (traveler) dan penguasa pada periode yang dikaji. Sumber-sumbe, Nusantara pun terserak dalam bahasa Jawa Kuno, Melayu, Arab, Persia, Cina, Urdu, Belanda, Portugis, serta bahasa-bahasa lokal lainnya (sepert Aceh, Sunda, dan, Bugis). Selain penguasaan bahasa, mendapatkan sumber-sumber, arsip, Naskah menjadi tantangan karena sebagian besar sudah hilang atau kalau berhasil diselamatkan/disimpan adanya di perpustakaan yang letaknya di luar negeri Islam. Hasil kajian sejarah Nusantara pun (mulai abad 18-20 M) banyak ditulis dalam bahasa Belanda, Perancis dan Inggris. Mungkin jika ada semacam Bait al-Hikmah di Indonesia atau negeri Muslim, upaya transfer ilmu pengetahuan menjadi lebih mudah untuk melanjutkan apa yang sudah diteliti para ilmuwan sebelum ini. Dengan penguasaan beberapa bahasa, dan sedikit ilmu metodologi sejareh dan Islamic studies, Saya _memilih tempat yang memiliki academic environment serta keberadaan pakar tempat saya dapat berguru. Selain juga adanya kemudahan untuk akses ke pusat keilmuan lain, kepastian Sokongan fasilitas untuk bisa traveling mendapatkan data—entah itu di Indonesia atau di Eropa. Dan ternyata pilihan itu tidak salah, Hasil studis2¥@ telah diterbitkan? dan dapat * Faith and th : Boston: EJ. Bri, as’ ee ¢f Islamic Philanthropy in Indonesia, Leide™ - Tetestasi Masyarakat Sipit dan at'S* 'ndonesia: Filantropi Islam, Sejardh 272 E= SSS eeeeeeeeee) Islam, Institusi Keagamaan dan Hubungan Indonesia-Australia Muslim. Saya bersyukur atas kesempatan studi di Melbourne. Di bawah ini akan saya sarikan temuan riset tentang sejarah filantropi Islam di Indonesia. praktik filantropi sepanjang sejarah Islam di Nusantara filantropi atau kegiatan memberikan bantuan yang sifatnya personal untuk kepentingan umum merupakan fenomena universal yang bisa ditemukan di berbagai periode sejarah, berbagai tradisi serta berbagai peradaban. | praktik ini terkait erat dengan perkembangan masyarakat sipil, karena hal itu merupakan wujud dari kepedulian membantu orang lain serta keinginan kuat untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Penelitian saya di Melbourne melihat perkembangan sejarah filantropi (kedermawanan) \slam—zakat, sedekah dan wakaf-— dari masa kerajaan Islam, masa kolonial Belanda, sampai periode kontemporer, dan melihat hubungan agama dan negara melalui praktek filantropi. Dari periode panjang itu saya mengumpulkan bukti-bukti bagaimana masyarakat Muslim di Nusantara mempraktikkan filantropi, baik dalam bentuk peristiwa maupun individu, organisasi atau kelembagaan. Sejarah panjang Islam di Nusantara memperlihatkan _ praktik kedermawanan menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat. Kedermawanan ini menyerap nilai-nilai lokal serta ajaran Islam yang dibawa oleh pada pedagang serta guru sufi dan dai baik secara langsung dari jazirah Arabia maupun dari tempat lain. Praktik filantropi semakin lama semakin kuat mengakar sebagai tradisi, dan bertahan bahkan menjadi semakin Penting pada periode modern. Praktik filantropi itu ternyata memperlihatkan hal penting terkait eksistensi Masyarakat sipil (civil society). Terlihat bahwa masyarakat Muslim tidak Satu suara atau pandangan dalam pemahamann dan pengelolaan filantropi Islam kaitannya dengan peran negara. Apakah sebaiknya dikelola oleh 273 {slam Kontemporer di Indonesia dan Australia negara, atau dikelola oleh masyarakat? Ada suara-suara (pandangan) Vang , nsi (penolakan), tetapi ada pula yang enunjukkan menunjukkan resiste! ' . : ij dalam kegiatan filantropi. Semua Suara. dukungan atas keterlibatan negara ; i suara ini dilandasi oleh keyakinan keagamaan. Di bawah ini, saya contohkan empat peristiwa yang ditemukan pada periode yang berbeda-beda, Dua yang pertama menolak pengelolaan zakat dan sedekah oleh Penguasa, sedangkan dua yang terakhir mendukung. (1) Adanya fatwa-fatwa dari Mekah tertanggal tahun 1889 (pada kumpulan fatwa Muhimmat Al-Nafais) yang memperlihatkan penolakan masyarakat di Jawa atas pengumpulan zakat dan sedekah oleh penguasa lokal (raja) yang dilakukan secara paksa; (2) Demonstrasi sekitar 4000 guru di Lombok Timur yang terjadi pada tahun 2005. Demonstrasi ini menolak pengelotaan zakat oleh Badan Amil Zakat Daerah, yang dianggap tidak benar; (3) Pada tahun 1968 sebanyak 11 ulama melakukan resolusi meminta Presiden Soeharto supaya pemerintah mengelola zakat; (4) Asosiasi Forum Zakat mengusulkan pada tahun 2007 dalam sebuah konferensi zakat internasional supaya zakat dikelola oleh negara melalui pendirian Kementrian Zakat. Melalui analisa atas peran serta kekuatan negara dan masyarakat sipil dalam urusan filantropi di atas, ternyata terdapat perbedaan pandangan dan peran berdasarkan tiga periode waktu, dan sikap penguasa (negara): Tiga periode itu yaitu masa Pra-modern pemerintahan non-Muslim {Kolonial Belanda), pribumi Indonesia (sejak kemerdekaan sampai s; periode itu adalah sebagai berikut: (Kerajaan Islam), m@s@ dan masa pemerintahan aat ini). Temuan pada tie? 274 ? Islam, Insttusi Keagamaan dan Hubungan Indonesia-Australa siantrOp! Islam Masa Pra Modern (Kerajaan Islam) f oad periode ini, praktik filantropi Islam telah muncul sejak periode awal gatangnva Islam di Nusantara, dan terus _berlangsung seiring dengan serkembangan Islam. Eksistensi civil society Muslim sudah ada, walau masin pada tahap rendah, yaitu direpresentasikan oleh kelompok masyarakat independen seperti ulama, tarekat, lembaga pengelola wakaf, den masjid. Pada masa ini hubungan antara masyarakat sipil dan penguasa cangat beragam,disebabkan karena beragamnya model kekuasaan yang ada, serta perbedaan wilayah dan periode di Nusantara zaman pra-modern fabad ke-13-19 M). Ada kerajaan yang sangat ketat memberlakukan zakat dibawah sentralisasi kerajaan (misalnya Kerajaan Aceh dalam beberapa periode Sultan), ada kerajaan yang hanya mengatur pajak saja, sedangkan semua praktik kedermawanan berbasis agama diserahkan kepada masing- masing individu dan ulama (Kerajaan Mataram Islam) , dan ada pula kerajaan yang memang lebih mementingkan pajak ketimbang zakat {Kerajaan Islam Banjar). Sejalan pada masuk abad ke 19 dan 20 M, berangsur-angsur terdapat kecenderungan penurunan jumlah pengelolaan zakat yang awalnya diberikan kepada kerajaan (otoritas politik lokal), menjadi diserahkan kepada pemuka agama lokal serta lembaga non- negara/kerajaan, atau diberikan langsung kepada fakir miskin dan lembaga non pemerintah. Filantropi Islam Masa Pemerintahan Non-Muslim (Kolonial Belanda) Pada periode ini diluar dugaan, civil society menjadi kuat dan modern akibat "egara yang sekular dan politik tidak turut campur kolonial Belanda untuk 4rusan agama dan filantropi (dana masyarakat). Pada masa ini juga terjadi kedermawanan yang P'0ses ‘privatisasi’ yaitu transformasi zakat menjadi bersifat individu, terpisah dari pengelolaan negara. Pesantren, masjid dan | ‘emudian Panitia-panitia kegiatan kedermawanan serta organisasi modern *e'peran menjadi pusat-pusat filantropi masyarakat dan menjadi bukti atas masa ini memperlihatkan m ot “nculnya masyarakat sipil Muslim. Selain itu, 275 Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia = dua tipe tradisi filantropi: 1) Sn eae ahi pesantren, masjid dan ulama tradisional, ae tel n, yang Meng figurenya adalah organisasi kemasyarakatan Is! “ 4 nis. Kedua tay ini sama-sama memiliki sifat yang independen dari negara (Walay tig sepenuhnya). Masa Kolonial Belanda juga memunculkan praktik filantroy Islam yang infklusif dan humanis, ditujukan untuk yang membutuhkan Lida membedakan kelompok dan agama. Filantropi Islam Masa Pemerintahan Indonesia (sejak kemerdekaan hing Saat ini) Organisasi filantropi berkembang pesat setelah Indonesia Merdeka, khususnya pada periode Reformasi. Namun organisasi bukanlah saty. satunya faktor yang menentukan kekuatan civil society karena negara juge intervensi & terlibat mengelola filantropi. Walau demikian, kelompok civil society Muslim semakin kuat dan modern, berupaya membawa filantropi supaya ada di bawah pengaruh civil society. Mereka bersaing dengan kekuatan pemerintah dan sesama organisasi civil society lain yang menginginkan zakat dan aktivitas filantropi dikelola oleh negara. Karena itu, pada masa Modern organisasi civil society dan para aktivis zakat dalam hal ini terbelah, ada yang mendukung pemerintah untuk mengelola dan sentralisasi zakat-beberapa dengan pemahaman dan kepentingan merele sendiri—atau ada yang menentang usaha pemerintah untuk campur tanga? dan mengelola zakat dan urusan filantropi Islam. Persaingan/kontestasi antara ne sepertinya akan tetap berlan dan filantropi. ‘ara dan civil society ini memanas dan Jut untuk urusan yang terkait dengan age” 276 \slam, Institusi Keagamaan dan Hubungan Indonesia-Australia gan antara agama dan negara, xetegant dan kekuatan masyarakat sipil Muslim terdapat tiga kecenderungan kelompok Masyarakat Muslim menyikapi hubungan agama dengan negara dalam hal filantropi. 4) Menolak campurtangan negara dalam kegiatan kedermawanan. Kelompok ini menganggap keimanan sebagai urusan pribadi dan praktik kedermawanan sebagai bagian dari budaya saling memberi (reciprocal). Ekspresi ini disuarakan oleh mayoritas Muslim Tradisionalis, yakni mereka yang mengikuti ajaran empat mazhab Sunni sebagai rujukan untuk menjalankan ajaran Islam. Berkeyakinan bahwa penerapan aturan keagamaan (termasuk filantropi Islam) harus mendapat dukungan dari negara atau bahkan dikelola negara. Ekspresi ini disuarakan oleh kelompok Muslim Reformis dan Muslim Revivalis. Keduanya cenderung pada puritanisme (gerakan pemurnian), dan cenderung bersandar secara letterlijk pada Qur’an Hadith. Berkeyakinan bahwa filantropi harus dikelola oleh civil society, namun dengan bekerjasama dengan pemerintah. Ekspresi ini disuarakan oleh kelompok Muslim Modernis yang secara sosio- politis cenderung pada posisi yang disebut Dakwahis. Dakwahisme merupakan agenda jangka panjang dakwah yang lokus kegiatan utamanya ada di masyarakat (bukan menggunakan negara). 2) 3) Kontestasi antara usaha negara untuk turut campur dalam mengelola filantropi Islam, dan usaha untuk mengelola filantropi supaya tetap di bawah kontrol masyarakat sipil Muslim menghasilkan keseimbangan hubungan agama dan negara. Praktek filantropi juga menjadi indikasi dari keberadaan civil society. Ketika negara lemah, filantropi tumbuh kembang kuat dan digunakan untuk menantang negara (periode Reformasi). Ketika Negara kuat, civil society Muslim cenderung femah, walaupun masih bisa 277 ™ {slam Kontemporer di Indonesia dan Australia menggunakan aktivitas filantropi untuk perubahan sosial (petiode or Baru). Pengecualian terjadi pada masa kolonial (yaitu negara kuat os ow society-filantropi kuat) karena pemerintah yang sekular yang tidak a campur tangan urusan agama & urusan filantropi. Aktivitas filantropi ternyata tidak saja menghasilkan sesuatu yang materia seperti masjid, langgar, sekolah, pesantren, jembatan, koleksi buku, Das, hotel, mobil, organisasi, panitia derma, dan lainnya, yang digunakan untuk kebaikan dan kepentingan bersama (public good). Tapi ia memiliki peran sangat penting yang tidak kasat mata, yaitu menjadi indikator dan Penguat masyarakat sipil (civil society). 278

You might also like