Professional Documents
Culture Documents
KAIZEN
KAIZEN
A. PENGERTIAN KAIZEN
[1]
Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus pada upaya perbaikan terus-
menerus.[1] Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian perbaikan
berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, darimanajemen tingkat atas sampai
manajemen tingkat bawah.[2]
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan teknologi, sistem manajemen, dan standar operasional yang ada
sekaligus menjaga standar tersebut melalui pelatihan serta disiplin dengan tujuan agar semua
karyawan dapat mematuhi prosedur pengoperasian standar (Standard Operating Procedure-
SOP) yang telah ditetapkan.[3]
Perbaikan
Kegiatan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada.[3]
Kedua fungsi ini disimpulkan sebagai Pemeliharaan dan Perbaikan Standar. Perbaikan ini
sendiri dapat terbagi menjadi kaizen dan inovasi.[3] Kaizen bersifat perbaikan kecil yang
berlangsung oleh upaya berkesinambungan, sedangkan inovasi merupakan perbaikan drastis
sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi atau peralatan.
[3]
Kaizen menekankan pada upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama,
pemberdayaan dan disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal
sehat, berbiaya rendah.[3]
Komitmen Kualitas
Sasaran akhir kaizen adalah tercapainya Kualitas, Biaya, Distribusi (Quality, Cost, Delivery --
QCD), sehingga pada praktiknya kaizen menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi.[3] Kaizen
mengajarkan bahwa perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas produk dan
pelayanannya tidak memadai, sehingga komitmen manajemen terhadap kualitas sangat
dijunjung tinggi.[2] Kualitas yang dimaksud dalam QCD bukan sekedar kualitas produk
melainkan termasuk kualitas proses yang ditempuh dalam menghasilkan produknya.[2]
Orientasi Proses
Kaizen menekankan bahwa tahap pemrosesan dalam perusahaan harus disempurnakan agar
hasil dapat meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat ini mengutamakan proses.
[3]
Dalam kaizen dipercaya bahwa proses yang baik akan memberikan hasil yang baik pula.[4]
PDCA/SDCA
Salah satu langkah awal penerapan kaizen adalah menjalankan siklus Plan-Do-Check-
Act (PDCA) untuk menjamin terlaksananya kesinambungan kaizen.[3] Siklus ini terdiri atas :
1. Rencana (plan)
Penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target
tersebut.[1]
2. Lakukan (do)
Pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat.[1]
3. Periksa (check)
Kegiatan pemeriksaan segala prosedur yang telah dijalankan guna memastikannya agar tetap
berjalan sesuai rencana sekaligus memantau kemajuan yang telah ditempuh.[1]
4. Tindak (act)
Menindaklanjuti ketiga langkah yang ditempuh sekaligus memutuskankan prosedur baru guna
menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi
perbaikan berikutnya.[1]
Siklus PDCA berputar secara terus menerus dengan diselingi oleh siklus Standarize-Do-
Check-Act (SDCA) di antaranya.[3] Dalam langkah Standar (Standarize) pada siklus ini, segala
prosedur baru yang telah diputuskan pada langkah Tindak (Act) dalam siklus PDCA sebelumnya
disahkan menjadi pedoman yang wajib dipenuhi. SDCA fokus pada kegiatan pemeliharaan,
sedangkan PDCA lebih mengacu pada perbaikan.[5]
“do it better, make it better, improve it even if it isn’t broken, because if we don’t, we can’t compete
with those who do.”
Kaizen merupakan sebuah proses yang, jika dilakukan dengan benar, akan memanusiakan tempat kerja,
menghilangkan tekanan kerja keras, dan mengajarkan orang bagaimana melakukan eksperimen pada
pekerjaan mereka dengan menggunakan metode ilmiah dan cara belajar untuk menemukan dan
menghilangkan pemborosan dalam proses bisnis. Lalu seperti apakah Kaizen tersebut? Kurang lebih
seperti ini
B. Konsep utama kaizen
Manajemen harus belajar untuk menerapkan konsep dan sistem yang mendasar tertentu
dalam rangka mewujudkan strategi kaizen:
· Kaizen dan manajemen
· Proses versus hasil
· Siklus PDCA/SDCA
· Mengutamakan kualitas
· Berbicara dengan data
· Proses berikut adalah konsumen
1. Kaizen dan manajemen
Pada awalnya, setiap proses kerja baru belum cukup stabil. Sebelum kita mengerjakan
siklus PDCA berikutnya, proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA. Setiap kali
ketidakwajaran timbul dalam suatu proses, pertanyaan-pertanyaan berikut hendaknya
diajukan sebagai bahan koreksi: Apakah hal itu terjadi karena kita tidak memiliki standar?
Apakah hal itu terjadi karena standar tidak dipatuhi? Atau apakah hal itu terjadi karena
standar yang ada tidak cukup rinci atau kurang memadai? Hanya setelah standar
ditetapkan dan dipatuhi serta membawa kestabilan pada prose, kita boleh beralih ke PDCA
berikutnya.
Jadi SDCA menerapkan standarisasi guna mencapai kestabilan proses, sedangkan PDCA
menerapkan perubahan guna meningkatkannya. SDCA berkaitan dengan fungsi
pemeliharaan, sedang PDCA merujuk pada fungsi perbaikan; dua hal inilah yang menjadi
dua tanggung ajwab utama manajemen.
4. Mengutamakan kualitas
Tujuan utama dari kualitas, biaya, dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas
pada prioritas tertinggi. Tidak jadi soal bagaimana menariknya harga dan penyerahan yang
ditawarkan pada konsumen, perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas produk
dan pelayanannya tidak memadai. Praktek mengutamakan kualitas membutuhkan
komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan berbagai godaan
untuk membuat kompromi berkenaan persyaratan penyerahan atau pemotongan biaya.
Dalam hal ini, mereka mengambil resiko mengorbankan tidak hanya kualitas, tetapi juga
kehidupan bisnisnya.
Kaizen adalah proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara
benar dan dipecahkan, masalah itu harus ditemukenali untuk kemudian secara benar data
yang relevan dikumpulkan serta ditelaah. Mencoba menyelesaikan masalah tanpa data
adalah pemecahan masalah berdasarkan selera dan perasaan—suatu pendekatan yang
tidak ilmiah dan tidak objektif. Mengumpulkan data tentang keadaan saat ini membantu
memahami kea rah mana fokus harus diarahkan; hal ini menjadi langkah awal dalam upaya
perbaikan.
6. Proses berikut adalah konsumen
Semua pekerjaan pada dasarnya terselenggara melalui serangkaian proses, dan masing-
masing proses memiliki pemasok maupun konsumen. Suatu material atau butiran
informasi disediakan oleh proses A (pemasok) kemudian dikerjakan dan diberi nilai
tambah dip roses B untuk selanjutnya diserahkan ke proses C (konsumen). Proses berikut
harus selalu diperlakukan sebagai konsumen. Aksioma ini, proses berikut adalah
konsumen, merujuk pada dua macam konsumen: konsumen internal (proses yang masih
berada dalam perusahan yang sama) dan pelanggan eksternal (yang ada di pasar).
C. Sistem utama kaizen
Berikut ini adalah sistem utama yang harus mendapat posisi penting guna mencapai sukses
strategi kaizen:
2. Sistem produksi just-in-time
Lahir di Toyota Motor Company di bawah kepemimpinan Taiichi Ohno, sistem
produksi just-in-time (JIT) bertujuan menghapuskan segala jenis kegiatan tak bernilai
tambah dan mencapai sistem produksi yang ramping dan luwes dalam menampung
fluktuasi dari permintaan dan pesanan konsumen. Sistem produksi ini didukung oleh
konsep seperti pacu kerja (takt time—waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu
unit secara harmonis) di atas siklus kerja (cycle time), aliran proses satu unit (one-piece
flow), sistem produksi tarik (pull production),jidohka (otonomisasi), tata letak sel produksi
berbentuk U, dan pengurangan waktu set-up.
5. Sistem saran
Sistem satan berfungsi sebagai bagian terpadu dari kaizen secara perorangan dan
menekankan peningkatan moral serta memperbedar manfaat positif dari partisipasi
karyawan. Manajer Jepang memandang peran utama sari sistem saran sebagai saranan
menumbuhkan minat terhadap kaizen, yaitu dengan memberdayakan karyawan mereka
dalam mengajukan saran, betatapun kecil arti saran tersebut. Karyawan Jepang umumnya
didorong untuk mendiskusikan saran mereka dengan atasannya dan langsung
menerapkannya, bahkan sebelum mereka mencatatnya dalam formulir saran. Mereka tidak
mengharapkan keuntungan ekonomi yang besar dari setiap saran
diajukannya. Membudayakan pola pikir kaizen dan disiplin diri. Pandangan ini berlawanan
tajam dengan pandangan manajemen Barat yang menekankan keuntungan ekonomis serta
intensif berupa uang pada sistem saran.
Kegiatan QCD merupakan jembatan antar fungsi atau antar departemen dalam organisasi,
seperti: litbang, rekayasa teknik, produksi, dan pemeliharaan pasca penjualan. Oleh karena
itu, kerja sama silang fungsi sangat penting, seperti juga kerja sama dengan pemasok atau
dengan agen penjualan. Manajemen puncak bertanggung jawab untuk melakukan penilaian
terhadap posisi QCD perusahaan, yang tercermin di pasar setiap saat. Mereka juga harus
menetapkan prioritas dari perbaikan QCD dalam kebijakannya.
Seorang ahli dari Lembaga Riset Nomura Tokyo, Dr Satoshi Kuribayashi, menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Manajemen Jepang memperlakukan orang sebagai anggota dari organisasi, bukan sebagai
karyawan
2. Sebagai pedoman operasi digunakan “nilai-nilai bersama”, bukan prosedur mendetil dan
pengawasan ketat.
3. Pendekatan terhadap strategi perusahaan adalah “berpikir besar”.
4. Manajer Jepang adalah pendengar yang baik.
Setelah melihat sebab-sebab tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah manajemen
gaya Jepang ini dapat diterapkan di Indonesia? Apa prasayarat yang harus dipenuhi? Dr
Satoshi Kuribayashi berpendapat, Indonesia hendaknya tidak menjiplak begitu saja
manajemen Jepang, melainkan memilih unsur-unsurnya yang dapat diterapkan.
Manajemen Jepang bukanlah jaminan, bahwa akan merupakan bentuk menejemen terbaik
bagi Indonesia. Lebih baik jika Indonesia mengembangkan sendiri suatu bentuk
manajemen Indonesia. Satu hal yang kemungkinan besar yang dapat diterapkan di
Indonesia adalah sistem quality control delivery(QCD) berasal dari Barat, dan dalam bentuk
aslinya disebut Statistical Quality Control. Ini adalah suatu cara mengawasi kualitas melalui
teknik statistik ruwet, yang biasanya hanya dikerjakan oleh mereka yang ahli saja.
Namun, ketika konsep QCD ini diperkenalkan di Jepang dalam tahun 1950-an, tujuannya
diubah dari mengawasi kualitas menjadi meningkatkan kualitas. Jika semula hanya
diterapkan di bagian produksi saja, maka di Jepang diterapkan untuk semua bidang dan
bagian. Mulai dari desain sampai pelayanan, dari bagian produksi sampai ke bagian
keuangan dan pemasaran, dari pabrik sampai ke bank dan toko-toko. Oleh karena itu kerap
kali juga disebut Total Quality Control.
Dan kalau di Barat QCD ini dilakukan oleh para ahli, maka di Jepang semua karyawan yang
mau—mulai dari buruh paling rendah sampai ke atasa—dapat melakukannya. Melalui apa
yang disebut QCD, karyawan secara sukarela membentuk kelompok-kelompok kecil di
bagian masing-masing. Mereka mendapat latihan dalam teknik quality control, dan
bekerjasama untuk meningkatkan kualitas kerja tiap dari bagian masing-masing. Tiap
bagian sebaliknya bekerjasama erat dengan bagian-bagian lain.
Melihat sistem kerjanya, sistem QCD kemungkinan besar dapat dilaksanakan di Indonesia.
Yang perlu dipikirkan ialah, motivasi apakah yang paling baik digunakan, agar karyawan
merasa tertarik dan mau membuang waktu serta tenaga ekstra. Di Jepang, imbalan uang ini
ternyata bukan faktor penting. Berbeda dengan di AS, di Jepang imbalan uang bagi buruh
atau karyawan yang menemukan sesuatu yang baru, tidak seberapa. Menurut seorang ahli
Amerika, Prof J. M. Jran, insentif uang ini memenpati tempat terakhir dalam deretan
motivasi. Dalam sebuah simposium tentang QCD di Jepang dalam tahun1966, Prof Juran
menyebutkan bahwa motivasi pertama bagi karyawan untuk ikut QCD, adalah
meningkatkan prestasi perusahaan melalui kegiatan kelompok.
Motivasi lain adalah keinginan untuk menambahkan pengetahuan, pengakuan dari usaha
mereka di dalam perusahaan dan kesempatan untuk ikut dalam simposium serta
kunjungan kerja ke luar negeri, dan kesempatan untuk melakukan pekerjaan kreatif dalam
bidang pekerjaan rutin yang biasanya membosankan. Dan baru setelah motivasi-motivasi
di atas disebutkan insentif ekonomi yang disediakan oleh perusahaan.