Professional Documents
Culture Documents
Dinda Putri Aprilia Pengantar Ilmu Pesisir Kepulauan
Dinda Putri Aprilia Pengantar Ilmu Pesisir Kepulauan
Disusun Oleh :
Dinda Putri Aprilia (J1A122022)
KESMAS A
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................................6
1.3 Tujuan..................................................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir.................................................................................................................7
2.2 Karakteristik Masyarakat Pesisir......................................................................................................8
2.2.1Karakteristik Permukiman Nelayan.........................................................................................13
2.2.2 Ekonomi Nelayan........................................................................................................................15
2.2.3 Keidupan Sosial Masyarakat Nelayan......................................................................................16
2.2.4 Perekonomian Keluarga nelayan...............................................................................................18
2.2.5 Kebudayaan Keluarga Nelayan.................................................................................................18
2.2.6 ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan..............................................................................19
2.2.7 Ketergantungan pada musim.....................................................................................................19
2.2.8 Ketergantungan pada Pasar......................................................................................................24
3.1 Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir................................................................................25
4.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir............................................................28
BAB III.....................................................................................................................................................29
PENUTUP................................................................................................................................................29
5.1 Kesimpulan........................................................................................................................................29
5.2 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................30
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pengantar ilmu
pesisir kepulauan dengan judul “KARATERISTIK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA
MASYARAKAT DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN” sesuai dengan waktu yang
telah di tentukan.
Dengan selesainya makalah ini ,saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
memberi kan pengarahan kepada saya,dan saya harap dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Walaupun saya telah berusaha semaksimal mungkin, saya
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan..
Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepuluan yang secara geografis diapit oleh dua benua dan
Samudra yaitu Asia dan Benua Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Posisi
Indonesia menjadikan Indonesia dikarunia kekayaan dan sumber daya laut yang sangat
berlimpah. Sumber daya yang berlimpah baik sumber hayati dan non hayati, yang dapat berupa
lingkungan di sekitar laut. Dengan demikian Indonesia memiliki karakter yang unik yaitu
terdapatnya jutaan potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kesejahteraan mereka. Indonesia adalah negara kepulauan. Terdapat 17.504 pulau yang termasuk
ke dalam wilayah kedaulatan NKRI menurut Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, di mana 16.056 pulau telah dibakukan namanya di PBB
hingga Juli 2017.
Pada tahun 2017, terdapat kontroversi di tengah publik ketika ada puluhan pulau yang
dimiliki secara pribadi oleh warga negara asing yang bahkan berani mengusir warga sekitar
untuk mengunjungi pulau-pulau privat tersebut yang beberapa diantaranya terletak di
Karimunjawa & Kepulaun Seribu akan tetapi temuan ini tidak ditindak serius oleh pemerintah.
Secara umum pengelompokan Pulau di Indonesia sudah ada sejak masa Majapahit dengan istilah
Mandala. Mandala 1 Jawa, Mandala 2 Sumatera, Mandala 3 Kalimantan, Mandala 4 Nusa
Tenggara, Mandala 5 Sulawesi, Mandala 6 Maluku, Mandala 7 Papua dan Mandala 8 adalah
Kepulauan di Timur Sumatera (termasuk juga Malaya saat dikuasai Majapahit)
Daerah sepanjang garis pantai disebut wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan daerah
peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pesisir mendapatkan tekanan
dari berbagai aktivitas dan fenomena di darat maupun di laut. Fenomena yang terjadi di daratan
antara lain abrasi,, banjir dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yaitu pembangunan
pemukinan, pembabatan hutan untuk persawahan, pembangunan tambak yang pada akhirnya
memberi dampak pada ekosistem pantai. Demikian pula fenomena fenomena laut seperti, pasang
surut air laut, gelombang badai dan sebagainya.
Secara umum, aktivitas masyarakat pesisr meliputi aktivitas ekonomi berupa kegiatan
perikanan yang memanfaatkan lahan daratan, lahan air dan lahan terbuka. Kegiatan pariwisata
dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan objek di bawah air. Kegiatan
transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut untuk jalur pelayaran,
kolam pelabuhan dan lain lain. Kegiatan industry yang memanfaatkan lahan darat, kegiatan
pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan laut, kegiatan pembangkit energi yang
menggunakan lahan darat dan laut. Pemukiman yang memanfaatkan lahan darat untuk
perumahan dan fasilitas pelayanan umum dan kegiatan pertanian dan kehutanan yang
memanfaatkan lahan darat. Aktivitas ekonomi yang dilakukan untuk meningkatkan kesejehteraan
masyarakat dengan ketergantungan terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada
disekitarnya.
Setiap manusia memiliki prilaku yang berbeda tergantung dari bagaimana manusia atau
individu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, prilaku
manusia dapat menentukan keberlanjutan kondisi lingkungan. Perilaku pengelolaan lingkungan
hidup bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupan hidupnya.
Secara kuantitas, jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia,
yaitu lebih kurang 220 juta jiwa dan lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan bermukim di
sekitar wilayah pesisir. dan sebagian besar diantaranya menggantungkan kehidupannya kepada
keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa
sebagian besar kegiatan dan aktivitas sehari-harinya selalu berkaitan dengan keberadaan
sumberdaya sekitarnya.
Sebagai konsekuensinya, sumberdaya pesisir dan laut semakin banyak dieksploitasi mulai
dengan menggunakan teknologi yang paling sederhana sampai teknologi moderen. Fenomena ini
memberikan indikasi bahwa semakin tinggi tingkat penggunaan teknologi eksploitasi, maka
semakin besar tekanan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut. Bahkan tidaklah
mengherankan bilamana tingkat teknologi yang digunakan sangat ekstraktif dan cenderung
destruktif, maka hal ini akan menjadi ancaman yang sangat signifikan bagi keberlangsungnan
sumberdaya pesisir dan laut Indonesia.Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan sumberdaya
tersebut, maka perlu kiranya dirancang dan diimplementasikan rambu-rambu atau batasan-
batasan eksploitasi disesuaikan dengan keberadaan sumberdaya, zonasi dan karakteristik
sumberdaya serta karakteristik daerahnya (propinsi/kabupaten/kota) sebagai satuan wilaya
pembangunannya. Dalam hal ini, karena implikasi pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh
masyarakat pesisir, maka perlu kiranya diketahui bagaimana sebenarnya karakteristik masyarakat
pesisir, sehingga kebijakan, strategi dan program pengelolaan sumberdaya dapat mengakomodasi
karakter masyarakat pesisir yang memang sangat dinamis dan sangat tergantung pada
ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut di sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Karakteristik masyarakat pesisir
Ketergantungan pada musim.
Perubahan sosial budaya masyarakat pesisir.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir.
Untuk mengetahui ketergantungan pada musim.
Untuk mengetahui perubahan sosial budaya masyarakat pesisir.
BAB II
PEMBAHASAN
Kawasan pemukiman nelayan merupakan bagian dari system permukiman perkotaan atau
pedesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan perkotaan atau pedesaan lainnya yang
dihubungkan dengan jaringan transportasi. Kawasan pemukiman nelayan tersusun atas satuan
lingkungan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi prinsip prinsip
layak huni yaitu, memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administrasi, maupun persyaratan
lingkungan sesuai dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan
Pemukiman serta biaya perumahan dapat dijangkau oleh masyaakat. Persyaratan teknis berkaitan
dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan sarana serta prasarana
lingkunganya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan baik antara
lingkungan social budaya., termasuk nilai nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Persyaratan administrasi berkaitan dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan
bangunan serta pemberian hak atas tanah. Persyaratan lingkungan meliputi pemantauan
lingkungan dan pengelolaan lingkungan.
1. Pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan
alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan
anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju
seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin
membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan
memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.
Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan
sudahberorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak
bergantung pada anggota keluarga saja.
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala
usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang
berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang di gunakanpun lebih modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan caracara yang mirip dengan
perusahaan agroindustri di negara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan
pendapatan yang lebih tinggi daripadaperikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak
perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Argumen lain tentang nelayan yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena
rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan
atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap
ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila
saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap
melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.Ada juga
argumen yang mengatakanbahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat
kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai
mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan
karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan
bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena
way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap
sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut
pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa
saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
Secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat
petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan
menghadapi sumber daya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangakapan berkurang, maka
nelayan tersebut harus mencari lahan baru.
Nelayan bisa bertahan jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan
gelombang kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari
pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan
dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka.
Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barang-
barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim paceklik
pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya
bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga
sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan
(fishing ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa,
misalnya, sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan
volume hasil tangkapan para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya
akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
“kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat dipengaruhi
oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Di daerah
yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi kelebihan
tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan para nelayan menjadi
semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya,para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut.Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi.
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan,
umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :
(1) Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor
lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau
modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada
orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau
tiga puluhan.
(2) Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata
ini biasanya pemilik tersebut ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang
ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
(3) Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.
Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya
jelajah mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan menggunakan
kapal motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di daerah-
daerah yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan perahu tanpa motor hanya
mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir saja. Sifat usaha
penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal kebersamaan antar anggota
keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali mereka berangkat sore hari
kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-pagi sekali, kemudian kembali
pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang beroperasi dengan kapal motor bisa
meninggalkan rumah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum wanita
dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari
nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan
(pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada
pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam
kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak
sekolah.
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir khususnya
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim
ini semakin besar bagi para nelayan kecil, Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk
melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak
nelayan yang terpaksa menganggur.Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka
mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja,lemari,dan sebagainya.
Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan
mereka juga semakin buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
“kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat dipengaruhi
oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Di daerah
yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi kelebihan
tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan para nelayan menjadi
semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya,para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut.Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi yang beedasarkan penguasaan alat produksi.Pada masyarakat nelayan,
umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :
Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor lengkap
dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern.
Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang
lain.Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau tiga
puluhan.
Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor lengkap
dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern.
Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang
lain.Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau tiga
puluhan.
Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan . Meskipun para nelayan kecil
bisa juga merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.
Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian,
biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan
kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang dominan ketika berhadapan dengan
para nelayan kecil.
Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya jelajah
mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan menggunakan kapal
motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di daerah-daerah
yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan menggunakan perahu tanpa
motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir saja. Aspek lain
yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum wanita dan anak-anak.
Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah.
Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan
(pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada
pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam
kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak
sekolah.
Terlihat bahwa sumber perubahan sosial yang terjadi pada komunitas nelayan di
keempat lokasi penelitian itu adalah teknologi. Perubahan teknologi telah menyebabkan
perubahan pada tiga tipe struktur sosial yang dikemukakan oleh Mouzelis (2008), yaitu struktur
normatif/institusional,interaktif/figurasional maupun distribusional. Memang teknologi
merupakan salah satu sumber perubahan sosial yang sangat penting sejak lama. Seperti
dijelaskan sebelumnya, perspektif materialistis menekankan pentingnya peranan teknologi dalam
proses perubahan sosial, dan Marx merupakan salah satu tokoh yang menekankan peranan
teknologi ini. Selain Marx, Lewis H. Morgan juga sudah menerbitkan buku yang berjudul
Ancient Society pada tahun 1877, yang membahas tahapan perubahan berdasarkan
perkembangan teknologi (Vago, 1989). Di masa kini, pengkategorian era yang dilakukan oleh
Schwab (2016), yakni era industri 1.0, 2.0, 3.0, dan 4.0, juga didasarkan pada perkembangan
teknologi. Demikian juga dengan penggolongan masyarakat menjadi hunting society, agrarian
society, industrial society, information society, dan super smart society atau society 5.0 yang
dikemukakan oleh Salgues (2018), didasarkan pada perkembangan teknologi. Selanjutnya,
uaraian beragam kasus di atas juga menunjukkan kemiripan dengan fenomena perubahan sosial
komunitas pedesaan Jawa yang dikemukakan oleh Prof. Tjondro dalam beberapa tulisannya.
Prof. Tjondro misalnya mencatat gejala “bertambahnya lapisan sosial” di pedesaan akibat
masuknya teknologi pertanian. Dikatakan: “Dengan bertambahnya lapisan sosial, tampaknya
juga suatu lapisan menengah muncul lebih nyata, dan gejala ini memang umum sekali di negara-
negara sedang berkembang yang mengalami Revolusi Hijau” (Tjondronegoro, 2008).
Selanjutnya, Prof. Tjondro juga menyoroti polarisasi komunitas desa akibat masuknya teknologi
pertanian dalam program revolusi hijau. Di komunitas nelayan, adopsi teknologi penangkapan
yang dilakukan oleh sebagian nelayan, juga menyebabkan munculnya strata baru yang sekaligus
menyebabkan terjadinya polarisasi antara para nelayan besar dengan nelayan kecil, juga antara
nelayan pemilik kapal dan alat tangkap skala besar dengan para buruh nelayan.
perkembangan teknologi penangkapan juga menyebabkan perubahan struktur sosial
nelayan secara horizontal, berupa munculnya kelompok-kelompok sosial berbasis alat tangkap
yang baru. Dengan kata lain, basis kolektifitas sosial komunitas nelayan bukan pada teritorial,
yaitu dukuh (hamlet) dan kampung (RK) seperti yang dikemukakan oleh Prof. Tjondro dalam
konsep sodality. Ini nampaknya memang salah satu perbedaan antara komunitas petani dengan
nelayan. Di beberapa tempat, komunitas nelayan bahkan tersegregasi menurut jenis alat tangkap.
Di Balikpapan misalnya, para nelayan tinggal mengelompok dan masing-masing kelompok
tersebut ditandai dengan penggunaan jenis alat tangkap tertentu (Kinseng, 2014: 61-62). Serupa
dengan itu, Setyowati (2020) menjelaskan bahwa “warga Desa Paciran yang notabennya
merupakan nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap bubu dilarang menikah dengan
orang yang berasal dari daerah Weru yang nelayannya menggunakan alat tangkap mini trawl”.
Ini merupakan akibat konflik dalam kegiatan penangkapan ikan di laut yang terjadi antara
nelayan kecil dengan nelayan trawl tersebut. Namun nampaknya sodality memang tidak semata
berbasis teritorial, tetapi merupakan kolektifitas sosial di daerah pedesaan “yang berdasarkan
atas kepentingan kelompok” (Tjondronegoro, 2008:341). Selanjutnya dikatakan: “Istilah sodality
atau sodalis, yang sifatnya kelompok tatap muka, akrab dan solider” dan “bukan semata-mata
hubungan keluarga lagi”. Dengan demikian, kelompok social nelayan berbasis alat tangkap
tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk sodality di kalangan komunitas nelayan. Jika Prof.
Tjondro mengatakan bahwa sodality ini perlu “dibina dan dikembangkan menjadi organisasi
desa yang tetap demokratis dan lebih mutahir” (Tjondronegoro, 2008:341), maka kelompok-
kelompok nelayan berbasis alat tangkap tersebut sebagian sudah berkembang ke arah itu. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, kelompk-kelompok nelayan berbasis jenis alat tangkap cenderung
menjadi “lebih formal” bahkan memiliki “kesadaran kelompok” atau “group consciousness”
yang semakin menguat.
Perubahan social budaya masyarakat pesisir:
Intervensi factor external ( individu, kelompok dan system masyarakat)Perubahan individu
berdampak pada perubahan masyarakat dan berimbas pada perubahan ekosistem. Namun
juga dapat terjadi perubahan ekosistem berdampak pada perubahan struktur masyarakat.
Dinamika kapasitas ruang struktur social pada ekosistem pesisir. Hal ini ternasuk
ketersediaan ruang usaha dan bekerja serta tingkat akses individu masyarakat dalam
pengelolaan ruang pesisir
Konstruksi masyarakat pesisir itu sendiri.
Kehidupan sosial budaya di pengaruhi oleh ekspektasi kelompok atau individu yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan kelautan. Salah satu yang
menstimulasi kecepayan perubahan social adalah masyarakat pesisir lebih terbuka terhadap
perubahan sosial hal ini dikarenakan masyarakat pesisir memiliki interaksi yang lebih tinggi
dengan masyarakat yang berasal dari negara atau wilayah lain.
Budaya dapat dipahami sebagai hasil kegiatan manusia dalam hubungannya dengan
kehidupan karya, waktu, alam lingkungan dan sebagainya. Kebudayaan adalah keseluruhan
system, gagasan, dan hasil karya manusai dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar.
Hampr semua Tindakan manusia adalah bentuk kebudayaan, karena hanya sedikit Tindakan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu
hanya beberapa tindakan naluri, Tindakan refleks dan kelakuan membabi buta.
Manusia dan kebudayaan memiliki interaksi menjadi pondasi atau dasar segala yang
bersangkutan dengan proses kehidupan manusia. Manusia yang menciptakan kebudayaan namun
kemudian kebudayaan yang membentuk manusia.
Sosial budaya atau yang akrab juga disebut kebudayaan secara universal merupakan suatu
tata nilai dalam masyarakat yang berasal dari pola pikir dan akal budi manusia-manusia yang
hidup di dalamnya. Hasilnya berupa penciptaan akan beragam hal seperti kesenian, kepercayaan,
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas
masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di
wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang
terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir, khususnya
yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas
atau unik, yaitu :
Mata pencaharian
Pendapatan
Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
Ketergantungan Pada Musim
Ketergantungan Pada Pasar
Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
5.2 DAFTAR PUSTAKA
https://www.researchgate.net/publication/
282662169_Sistem_Sosial_Ekonomi_dan_Budaya_Masyarakat_Pesisir
https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MMPI510402-M1.pdf
https://kkp.go.id/djprl/p4k/artikel/19048-karakteristik-masyarakat-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil
https://www.psychologymania.com/2013/05/karakteristik-masyarakat-pesisir.html
https://www.academia.edu/38156258/Karakteristik_Masyarakat_Pesisir
file:///C:/Users/HP/Downloads/1078-2621-1-SP.pdf
https://www.academia.edu/13821368/KEHIDUPAN_SOSIAL_EKONOMI_MASYARAKAT_NELAYAN
https://123dok.com/article/kebudayaan-nelayan-konsep-budaya-masyarakat-muslim-
nelayan.q5nw33rq