You are on page 1of 30

MAKALAH PENGANTAR ILMU PESISIR

”KARATERISTIK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA


MASYARAKAT DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN”

DOSEN: Dr. Suhadi, S.KM., M.Kes

Disusun Oleh :
Dinda Putri Aprilia (J1A122022)
KESMAS A

Fakultas Kesehatan Masyarakat


UNIVERSITAS HALUOLEO
Tahun 2022
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................................6
1.3 Tujuan..................................................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir.................................................................................................................7
2.2 Karakteristik Masyarakat Pesisir......................................................................................................8
2.2.1Karakteristik Permukiman Nelayan.........................................................................................13
2.2.2 Ekonomi Nelayan........................................................................................................................15
2.2.3 Keidupan Sosial Masyarakat Nelayan......................................................................................16
2.2.4 Perekonomian Keluarga nelayan...............................................................................................18
2.2.5 Kebudayaan Keluarga Nelayan.................................................................................................18
2.2.6 ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan..............................................................................19
2.2.7 Ketergantungan pada musim.....................................................................................................19
2.2.8 Ketergantungan pada Pasar......................................................................................................24
3.1 Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir................................................................................25
4.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir............................................................28
BAB III.....................................................................................................................................................29
PENUTUP................................................................................................................................................29
5.1 Kesimpulan........................................................................................................................................29
5.2 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................30
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pengantar ilmu
pesisir kepulauan dengan judul “KARATERISTIK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA
MASYARAKAT DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN” sesuai dengan waktu yang
telah di tentukan.

Dengan selesainya makalah ini ,saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
memberi kan pengarahan kepada saya,dan saya harap dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Walaupun saya telah berusaha semaksimal mungkin, saya
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan..

Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Kendari, 21 Oktober 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau
mencapai lebih kurang 17.500 buah dan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar, dengan kekayaan ragam flora dan faunanya, termasuk
didalamnya endemik. Sebagai konsekuensinya, Indonesia secara komparatif memiliki
keunggulan dibandingkan negara lain. Pertama adalah keunggulan sumberdaya alam. Sebagai
negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang dua pertiga dari luas keseluruhan
teritorial negara kesatuan yang berbentuk republik ini merupakan perairan, dengan luas lebih
kurang 5,8 juta km2. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki garis
pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yang mencapai lebih kurang 81.000 km. Dan sudah
barang tentu dengan luas perairan, panjang garis pantai dan jumlah pulau yang demikian besar,
secara alami Indonesia mewarisi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah.

Indonesia adalah negara kepuluan yang secara geografis diapit oleh dua benua dan
Samudra yaitu Asia dan Benua Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Posisi
Indonesia menjadikan Indonesia dikarunia kekayaan dan sumber daya laut yang sangat
berlimpah. Sumber daya yang berlimpah baik sumber hayati dan non hayati, yang dapat berupa
lingkungan di sekitar laut. Dengan demikian Indonesia memiliki karakter yang unik yaitu
terdapatnya jutaan potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kesejahteraan mereka. Indonesia adalah negara kepulauan. Terdapat 17.504 pulau yang termasuk
ke dalam wilayah kedaulatan NKRI menurut Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, di mana 16.056 pulau telah dibakukan namanya di PBB
hingga Juli 2017.

Pada tahun 2017, terdapat kontroversi di tengah publik ketika ada puluhan pulau yang
dimiliki secara pribadi oleh warga negara asing yang bahkan berani mengusir warga sekitar
untuk mengunjungi pulau-pulau privat tersebut yang beberapa diantaranya terletak di
Karimunjawa & Kepulaun Seribu akan tetapi temuan ini tidak ditindak serius oleh pemerintah.
Secara umum pengelompokan Pulau di Indonesia sudah ada sejak masa Majapahit dengan istilah
Mandala. Mandala 1 Jawa, Mandala 2 Sumatera, Mandala 3 Kalimantan, Mandala 4 Nusa
Tenggara, Mandala 5 Sulawesi, Mandala 6 Maluku, Mandala 7 Papua dan Mandala 8 adalah
Kepulauan di Timur Sumatera (termasuk juga Malaya saat dikuasai Majapahit)

Daerah sepanjang garis pantai disebut wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan daerah
peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pesisir mendapatkan tekanan
dari berbagai aktivitas dan fenomena di darat maupun di laut. Fenomena yang terjadi di daratan
antara lain abrasi,, banjir dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yaitu pembangunan
pemukinan, pembabatan hutan untuk persawahan, pembangunan tambak yang pada akhirnya
memberi dampak pada ekosistem pantai. Demikian pula fenomena fenomena laut seperti, pasang
surut air laut, gelombang badai dan sebagainya.

Secara umum, aktivitas masyarakat pesisr meliputi aktivitas ekonomi berupa kegiatan
perikanan yang memanfaatkan lahan daratan, lahan air dan lahan terbuka. Kegiatan pariwisata
dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan objek di bawah air. Kegiatan
transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut untuk jalur pelayaran,
kolam pelabuhan dan lain lain. Kegiatan industry yang memanfaatkan lahan darat, kegiatan
pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan laut, kegiatan pembangkit energi yang
menggunakan lahan darat dan laut. Pemukiman yang memanfaatkan lahan darat untuk
perumahan dan fasilitas pelayanan umum dan kegiatan pertanian dan kehutanan yang
memanfaatkan lahan darat. Aktivitas ekonomi yang dilakukan untuk meningkatkan kesejehteraan
masyarakat dengan ketergantungan terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada
disekitarnya.

Setiap manusia memiliki prilaku yang berbeda tergantung dari bagaimana manusia atau
individu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, prilaku
manusia dapat menentukan keberlanjutan kondisi lingkungan. Perilaku pengelolaan lingkungan
hidup bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kehidupan hidupnya.

Secara kuantitas, jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia,
yaitu lebih kurang 220 juta jiwa dan lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan bermukim di
sekitar wilayah pesisir. dan sebagian besar diantaranya menggantungkan kehidupannya kepada
keberadaan sumberdaya alam pesisir dan lautan. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa
sebagian besar kegiatan dan aktivitas sehari-harinya selalu berkaitan dengan keberadaan
sumberdaya sekitarnya.

Sebagai konsekuensinya, sumberdaya pesisir dan laut semakin banyak dieksploitasi mulai
dengan menggunakan teknologi yang paling sederhana sampai teknologi moderen. Fenomena ini
memberikan indikasi bahwa semakin tinggi tingkat penggunaan teknologi eksploitasi, maka
semakin besar tekanan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut. Bahkan tidaklah
mengherankan bilamana tingkat teknologi yang digunakan sangat ekstraktif dan cenderung
destruktif, maka hal ini akan menjadi ancaman yang sangat signifikan bagi keberlangsungnan
sumberdaya pesisir dan laut Indonesia.Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan sumberdaya
tersebut, maka perlu kiranya dirancang dan diimplementasikan rambu-rambu atau batasan-
batasan eksploitasi disesuaikan dengan keberadaan sumberdaya, zonasi dan karakteristik
sumberdaya serta karakteristik daerahnya (propinsi/kabupaten/kota) sebagai satuan wilaya
pembangunannya. Dalam hal ini, karena implikasi pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh
masyarakat pesisir, maka perlu kiranya diketahui bagaimana sebenarnya karakteristik masyarakat
pesisir, sehingga kebijakan, strategi dan program pengelolaan sumberdaya dapat mengakomodasi
karakter masyarakat pesisir yang memang sangat dinamis dan sangat tergantung pada
ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut di sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
 Karakteristik masyarakat pesisir
 Ketergantungan pada musim.
 Perubahan sosial budaya masyarakat pesisir.

 Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir.
 Untuk mengetahui ketergantungan pada musim.
 Untuk mengetahui perubahan sosial budaya masyarakat pesisir.

 Untuk mengetahui pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir


Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut yang bagian lautnya
masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, dan bagian
daratannya masih dipengaruhi oleh aktivitas lautan seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin (Ketchum,1972). GESAMP1 (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai
wilayah daratan dan perairan yang dipengaruhi oleh proses biologis dan fisik dari perairan laut
maupun dari daratan, dan didefinisikan secara luas untuk kepentingan pengelolaan sumber daya
alam. Sehingga deliniasi wilayah pesisir ini dapat berbeda tergantung dari aspek administratif,
ekologis, dan perencanaan. Definisi wilayah pesisir seperti yang sudah dijelaskan memberikan
suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang tinggi dan beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain
mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah
terkena dampak kegiatan manusia. Lebih lanjut, umumnya kegiatan pembangunan, secara
langsung maupun tidak langsung, dapat berdampak buruk bagi ekosistem pesisir.
Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No.1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut.Dalam konteks ini, ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh
12 (dua belas) mil menurut batas yurisdiksi suatu negara.
Batas wilayah pesisir ke arah darat semacam ini sama seperti yang dianut oleh United
States (US) Coastal Management Act dan California sejak tahun 1976. Ke arah laut hendaknya
meliputi daerah laut yang masih dipengaruhi oleh pencemaran yang berasal dari darat, atau suatu
daerah laut dimana kalua terjadi pencemaran (misalnya tumpahan minyak), minyaknya akan
mengenai perairan pesisir. Batasan wilayah pesisir yang sama dapat berlaku, jika tujuan
pengelolaannya adalah untuk mengendalikan penebangan hutan secara semena-mena dan bertani
pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40%. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah
pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai
ekonomi
yang luar biasa terhadap manusia. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah
pengelolaan yang berasal dari konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan
yang ada di wilayah pesisir.
   Setiap orang yang akan memanfaatkan ruang secara menetap di wilayah pesisir harus
mendapatkan izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan dari Gubernur. Izin Lokasi
Perairan Pesisir adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang secara menetap di
sebagian perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang mencakup permukaan laut dan
kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Izin lokasi perairan
pesisir menjadi dasar pengajuan izin pengelolaan. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan
untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil. Izin tersebut dapat diberikan kepada orang perseorangan, korporasi, atau koperasi yang
melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk
kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain
energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut dan/atau pengangkatan benda
muatan kapal tenggelam,
 Seperti kita ketahui, wilayah pesisir rawan terhadap bencana, seperti tsunami. Mitigasi
bencana, yaitu upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui
pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menjadi
tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.
   Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang khas, dalam pengelolaannya perlu
melibatkan banyak pihak yang berkepentingan baik pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan
masyarakat setempat.

2.2 Karakteristik Masyarakat Pesisir


Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi
adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri
berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah
suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas
yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan
untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut yang bagian lautnya
masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, dan bagian
daratannya masih dipengaruhi oleh aktivitas lautan seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin (Ketchum, 1972). GESAMP1 (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai
wilayah daratan dan perairan yang dipengaruhi oleh proses biologis dan fisik dari perairan laut
maupun dari daratan, dan didefinisikan secara luas untuk kepentingan pengelolaan sumber daya
alam. Sehingga deliniasi wilayah pesisir ini dapat berbeda tergantung dari aspek administratif,
ekologis, dan perencanaan.
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi
masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata
merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal
yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka
peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-
kemudahan tersebut diantaranya: Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber
mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir menggantungkan
kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti
penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan sebagainya. Kedua, bahwa
mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci dan kakus), dimana
mereka dapat dengan serta merta menceburkan dirinya untuk membersihkan tubuhnya; mencuci
segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian, gelas dan piring; bahkan
mereka lebih mudah membuang air (besar maupun kecil). Selain itu, mereka juga dapat dengan
mudah membuang limbah domestiknya langsung ke pantai/laut.
Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat
ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat dari
usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan
pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No.1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut. Dalam konteks ini, ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh
12 (dua belas) mil menurut batas yurisdiski suatu negara.
Karakteristik wilayah pesisir secara umum penting untuk diketahui dalam upaya
perlindungan wilayah pesisir, karena sumber daya hayati perairan pesisir merupakan satuan
kehidupan (organisme hidup) yang saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-
hayatinya (fisik) membentuk suatu sistem, yang sering disebut dengan ekosistem wilayah pesisir
dan lautan. Beberapa ekosistem utama yang terdapat di wilayah pesisir mempunyai karakteristik
sebagai berikut (Bengen, 2000):
 Mengandung habitat dan ekosistem seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun yang
menyediakan barang (seperti ikan, mineral, minyak bumi) dan jasa (seperti pelindung alami
dari badai dan gelombang pasang, tempat rekreasi) untuk masyarakat pesisir.
 Dicirikan oleh persaingan dalam pemanfaatan sumber daya dan ruang oleh berbagai
stakeholder, yang sering menimbulkan konflik dan kerusakan terhadap integritas fungsional
dari sistem sumber daya.
 Merupakan tulang punggung ekonomi dari negara pesisir dimana sebagian besar dari Gross
National Product (GNP) tergantung pada aktivitas seperti pengapalan, penambangan minyak
dan gas, wisata pantai dan sejenisnya.
 Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan bagian yang disukai
untuk ber-urbanisasi.
Kedudukan Rencana Zonasi. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara
berkelanjutan. Dalam kontek ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu
dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah
tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan
wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu yang
melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relefan.
Karakteristik Masyarakat Pesisir memiliki ciri yang khas. masyarakat pesisir adalah
sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan
memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan
sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga
pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau
petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola
panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat ditentukan
untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan masyarakat
pesisir yang mata pencahariannya didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut
untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat
atau karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha
di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan  pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut dan faktor-faktor lainnya. Beberapa sifat dan karakteristik
masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut :
1. Mata Pencaharian Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based),
seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. 
2. Penghasilan Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat
agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat
dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang
mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata  pencahariannya didominasi
dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka
pendapatan yang mereka inginkan tidak  bisa dikontrol. Secara umum, pendapatan
nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada suatu hari, mungkin nelayan
memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja “kosong”.
Hasil tangkapan dan pada giliranya  pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh jumlah
nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan. Di daerah yang padat
penduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan
volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya
akan mempengaruhi pendapatan mereka.
3. Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat
menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung
pada kondisi lingkungan, khususnya air. Keadaan ini mempunyai implikasi yang sangat
penting bagi kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Kehidupan
masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada kondisi lingkungan itu dan sangat
rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena limbah industri
maupun tumpahan minyak, misalnya, dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir.
4. Ketergantungan pada musim Karakteristik lain yang sangat mencolok di kalangan
masyarakat pesisir, terutama masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada
musim. Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada
musim penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim
peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa
menganggur.
5. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat yang Kuat Dilihat dari aspek kepercayaan,
masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga
mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini
sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta
laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata.
Masyarakat hukum adat (MHA) adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam,
memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan definisi tersebut maka terdapat empat
syarat utama masyarakat disebut sebagai MHA, yaitu
A. Ikatan pada asal usul leluhur; MHA memiliki sejarah asal muasal masyarakat dan wilayah
tempat mereka tinggal yang diyakini secara turun temurun. Sejarah tersebut umumnya
tertuang pada nama MHA, serta menggambarkan kekerabatan antara satu MHA dengan
MHA lainnya.
B. Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam; MHA bergantung pada
sumber daya alam di wilayah yang merupakan kewenangannya (wilayah kelola adat). Untuk
MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil maka hubungan yang kuat terlihat pada pola
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan kearifan lokal
sebagai wujud kedaulatan terhadap wilayah kelola adat dan demi kesejahteraan bersama.
C. Pranata pemerintahan adat; MHA memiliki struktur lembaga adat dengan tugas dan fungsi
yang jelas, yang mengatur seluruh aspek tatanan hidup masyarakatnya baik di bidang sosial,
ekonomi, dan budaya.
D. Tranata pemerintahan adat; MHA memiliki struktur lembaga adat dengan tugas dan fungsi
yang jelas, yang mengatur seluruh aspek tatanan hidup masyarakatnya baik di bidang sosial,
ekonomi, dan budaya.
Masyarakat lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari
berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak
sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. Berbeda dari
MHA, masyarakat lokal tidak memiliki pranata pemerintahan adat secara turun -temurun
diterapkan berdasarkan nilai-nilai adat dan asal-usulnya
Kata “lokal” sendiri menegaskan bahwa batasan spasial atau lokasi geografis merupakan entitas
utama masyarakat ini. Berdasarkan definisi tersebut, maka ciri-ciri masyarakat lokal adalah:
 Tatanan kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai yang berlaku umum; Masyarakat lokal
menerapkan nilai-nilai yang berlaku umum, atau yang umumnya disepakati bersama
kebenarannya, dalam struktur dan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Termasuk di sini adalah struktur pemerintahan, mata pencaharian, relasi sosial, pola
stratifikasi, adat istiadat, pembagian tugas dan tanggung jawab yang dijalankan setiap hari
dalam waktu yang relatif lama.
 Tatanan kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai yang berlaku umum; Masyarakat lokal
menerapkan nilai-nilai yang berlaku umum, atau yang umumnya disepakati bersama
kebenarannya, dalam struktur dan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Termasuk di sini adalah struktur pemerintahan, mata pencaharian, relasi sosial, pola
stratifikasi, adat istiadat, pembagian tugas dan tanggung jawab yang dijalankan setiap hari
dalam waktu yang relatif lama.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak
tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di
daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ciri-ciri masyarakat tradisional adalah:
 Masyarakat perikanan tradisional; Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang
tinggal dekat, hidup bersama dan menggantungkan kehidupannya pada sumber daya
perikanan secara turun temurun sesuai budaya dan kearifan lokal, serta dengan menggunakan
metode dan sarana prasarana yang sederhana.
 Melakukan kegiatan perikanan di dearah tertentu sesuai kaidah hukum laut internasional;
Dalam hal ini, kaidah hukum internasional yang dimaksud ialah United Nations Convention
on the Law of the Sea (UNCLOS) terkait kodifikasi ketentuan hukum laut, misalnya tentang
kebebasan laut lepas dan hak lintas damai di laut teritorial, serta asas negara kepulauan dan
zona ekonomi eksklusif. Salah satu contoh daerah atau wilayah tertentu yang dimaksud ialah
MoU Box 1974 berdasarkan UNCLOS dan Memorandum of Understanding antara Indonesia
dan Australia pada tahun 1974, yang memberikan jaminan hukum untuk hak penangkapan
ikan tradisional oleh nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia. Artinya, nelayan-
nelayan tradisional Pulau Rote atau pulau lain yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah
MoU Box disebut sebagai masyarakat tradisional. 
2.2.1Karakteristik Permukiman Nelayan
Secara umum pemukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu permukiman yang
Sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan.
Sedangkan nelayan itu sendiri adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari ikan di
perairan. Sedangkan menurut Keputusan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum Nomor 43/KPTS/CK/1999 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Perumahan Nelayan,
perumahan nelayan merupakan kelompok rumah Kawasan dengan luas tertentu yang dihuni oleh
masyarakat yang sebagian besar masyarakatnya menangkap ikan. Kawasan perumahan nelayan
ini dilengkapi oleh sarana dan prasana yang memadai untuk kelangsungn hidup dan penghidupan
para keluarga nelayan.

Kawasan pemukiman nelayan merupakan bagian dari system permukiman perkotaan atau
pedesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan perkotaan atau pedesaan lainnya yang
dihubungkan dengan jaringan transportasi. Kawasan pemukiman nelayan tersusun atas satuan
lingkungan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi prinsip prinsip
layak huni yaitu, memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administrasi, maupun persyaratan
lingkungan sesuai dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan
Pemukiman serta biaya perumahan dapat dijangkau oleh masyaakat. Persyaratan teknis berkaitan
dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan sarana serta prasarana
lingkunganya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan baik antara
lingkungan social budaya., termasuk nilai nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Persyaratan administrasi berkaitan dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan
bangunan serta pemberian hak atas tanah. Persyaratan lingkungan meliputi pemantauan
lingkungan dan pengelolaan lingkungan.

Pemantauan lingkungan bertujuan untuk mengetahui dampak negative yang terjadi


selama pelaksanaan pembangunan rumah atau perumahan, sedangkan pengelolaan lingkungan
bertujun untuk dapat mengambil tindakan koreksi bila terjadi dampak negative dari
pembangunan rumah atau perumahan.

Kondisi rumah dilingkungan permukiman nelayan dapat dikelompokkan menjadi tiga


macam yaitu:

 Rumah permanen dengan ciri ciri:


 Atap rumah memakai genteng beton, genteng biasa, asbes, seng kayu dan sirap.
 Dinding rumah terbuat dari bahan batu bata atau batako yang diplester.
 Lantai rumah memakai ubin biasa, keramik, semen/plester.

2.2.2 Ekonomi Nelayan


Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pengertian mata
pencaharian adalah sumber nafkah utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan menangkap ikan.
Sedangkan nelayan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah orang
yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam UU Nomor 31 Tahun 2004, nelayan dan
nelayan kecil mempunyai definisi berbeda yaitu nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi pembuat undang-
undang membedakan berdasarkan besar kecil skala penangkapan tetapi dalam penegakan hokum hanya
mengenal istilah nelayan, tidak membedakan nelayan kecil atau besar.
Nelayan dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi orientasi pasar dan
karakteristik hubungan produksi . Keempat tingkatan nelayan tersebut adalah:

1. Pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan
alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan
anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju
seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin
membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan
memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.
Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan
sudahberorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak
bergantung pada anggota keluarga saja.
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala
usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang
berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang di gunakanpun lebih modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan caracara yang mirip dengan
perusahaan agroindustri di negara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan
pendapatan yang lebih tinggi daripadaperikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak
perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Argumen lain tentang nelayan yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena
rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan
atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap
ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila
saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap
melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.Ada juga
argumen yang mengatakanbahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat
kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai
mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan
karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan
bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena
way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap
sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut
pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa
saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
Secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat
petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan
menghadapi sumber daya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangakapan berkurang, maka
nelayan tersebut harus mencari lahan baru.

Nelayan bisa bertahan jika didorong semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras melawan terpaan
gelombang kemampuan mesin dompeng misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari
pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan mendapatkan lebih banyak dibandingkan
dengan bila menangkap ikan di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah langka.

2.2.3 Keidupan Sosial Masyarakat Nelayan


Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan
buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional.
Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang
timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak memperoleh bagian
pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan berskala besar
atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi penguasa ekonomi di
desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa nelayan tanpa harus
mengetahui bagaimana mengakhirinya.
Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada masyarakat
nelayan. Namun demikian, belenggu structural dalam aktivitas perdagangan tersebut bukan
merupakan satu-satunya factor yang menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan, faktor-
faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya perikanan,
kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas teknologi
penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ketimpangan akses terhadap sumberdaya
perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan duakungan fasilitas pembangunan untuk
masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan persoalan.
Kondisi kesejahteraan sosial yang memburuk di kalangan nelayan sangat dirasakan di
desa-desa pesisir yang perairannya mengalami overfishing (tangkap lebih) sehingga hasil
tangkap atau pendapatan yang di peroleh nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti, dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan akan senantiasa
berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan mereka, yaitu (1)
pergulatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (2) tersendat-sendatnya pemenuhan
kebutuhan pendidikan anakanaknya, dan (3) terbatasnya akses mereka terhadap jaminan
kesehatan.
Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dalam rumah
tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara optimal. Dengan realitas kehidupan yang
demikian, sangat sulit merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat nelayan,
agar mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi sumber daya pesisir laut
yang ada. Ketiadaan atau kekurangan kemampuan kreatif masyarakat nelayan untuk mengatasi
sosial ekonomi didaerahnya akan mendorong mereka masuk perangkat keterbelakangan yang
berkepanjangan sehingga dapat mengganggu pencapaian tuj uan kebijakan pembangunan di
bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu, perlu dipikirkan solusi strategi alternative untuk
mengatasi persoalan kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Dalam
hal ini, program jaminan sosial (sosial security) yang dirancang secara formal merupakan salah
satu strategi yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi kemelut sosial ekonomi yang
menimpa kehidupan dari masyarakat nelayan.
Sekalipun negara atau pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk
membangun sektor perikanan tangkap dan pemberdayaan ekonomi produktif dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum maksimal. Kalau
kita perhatikan, selama ini spirit kebijakan nasional dalam pembangunan perikanan sejak awal
1970-an dan masih terus di berlakukan hingga saat ini yang mengutamakan meningkatan
produksi, mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir laut,
kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian tidak disertai atau di kawal dengan
kebijakan pembanding tentang bagaimana masyarakat nelayan harus menjaga keberlanjutan
sumberdaya kelautan. Sebenarnya, kebijakan ini member keuntungan ekonomi bagi paranelayan
bermodal besar yang secara kuantitatif berjumlah sedikit, namun pda akhirnya semua nelayan
dari berbagai kategori usaha mengahadapi persoalan yang sama.
Demikian juga kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan yang selama ini
diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang memancing, kebijakan tersebut hanya memberi
ikan kepada nelayan, tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan bagaiaman seandainya alat
pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya dukungan kebijakan lembaga-
lembaga perbankan resmi untuk penyaluran kredit dengan bunga rendah kepada masyarakat
nelayan secara berkesinambungan dan konsisten.Pada dasarnya, dukungan ini sangat dibutuhkan
nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha perikanannya.
Gejala fluktual diatas mencerminkan belum adanya payung kebijakan pemberdayaan
yang bersifat nasional dan menjadi referensi para penentu keputusan setingkat menteri sehingga
hal demikian memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja sama dengan
nelayan dalam transaksi bantuan kredit.
Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan bersungguh-
sungguh dalam membangun masyarakat nelayan, mendorong masyarakat nelayan
mengembangkan strategi kemandirian berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini membangkitkan sikap-
sikap otonom di kalangan nelayan merupakan modal sosial yang sangat berharga sebagai basis
kelangsungan hidup mereka. Manifestasi dari sikap-sikap otonom nelayan terwujud dalam
konstruksi pranata sosial, seperti perkumpulan simpan pinjam, arisan, dan jaringan sosial
berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya ekonomi kolektif dalam relasi timbal balik
sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap terjamin.
2.2.4 Perekonomian Keluarga nelayan
Strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui , (1) Peranan Anggota
KeluargaNelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota
rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus
ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, (2) Diversifikasi Pekerjaan, dalam
menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi
pekerjaan, (3) Jaringan Sosial, melalui jaringan sosial, individu-individu rumah tangga akan
lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang
tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan
miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan
baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan
manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat
kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan kesulitan ekonomi yang
dihadapi nelayan tidak di respon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumah tangga
nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut,
jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka, (4)
Migrasi, hal ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan
pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yangada di daerah tujuan yang sedang
musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar
kebutuhan hidup keluarga terjamin. Dalam waktuwaktu tertentu, penghasilan yang telah
diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya.     
2.2.5 Kebudayaan Keluarga Nelayan
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif
yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan, referensi pola-pola kelakukan sosial serta sebagai
sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya.217
Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang
diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan
keyakinan-keyakinan. Kebudayaan kerap digunakan sebagai instrumen untuk menginterpretasi
lingkungan hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi pengembangan sumber
daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat. Bagi Suparlan, nilai budaya terdiri atas dua
kategori : (1) yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh kehidupan sehari-hari dan pendukung
kebudayaan tersebut. Ia dinamakan world view, dan (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi
coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan yang dinamakan
etos (ethos)218
Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
masyarakat nelayan. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama.
Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu
terhadap lingkungan hidupnya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat,
isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu, yang disepakati secara sosial.
2.2.6 ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau
keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air. Keadaan
ini mempunyai implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat
pesisir. Kehidupan masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada kondisi lingkungan itu
dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena limbah
industri maupun tumpahan minyak, misalnya, dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir. Pencemaran di pantai Jawa beberapa waktu lalu, contohnya, telah
menyebabkan produksi udang tambak anjlok secara drastis. Hal ini tentu mempunyai
konsekuensi
yang besar terhadap kehidupan para petani tambak tersebut.
2.2.7 Ketergantungan pada musim
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir khususnya
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim
ini semakin besar bagi para nelayan kecil, Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk
melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak
nelayan yang terpaksa menganggur.Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka
mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja,lemari,dan sebagainya.
Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan
mereka juga semakin buruk.

Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barang-
barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim paceklik
pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya
bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga
sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan
(fishing ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa,
misalnya, sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan
volume hasil tangkapan para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya
akan mempengaruhi pendapatan mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi.

Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
“kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat dipengaruhi
oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Di daerah
yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi kelebihan
tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan para nelayan menjadi
semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya,para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut.Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi.

Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan,
umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :
(1) Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor
lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau
modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada
orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau
tiga puluhan.
(2) Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata
ini biasanya pemilik tersebut ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang
ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
(3) Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya
jelajah mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan menggunakan
kapal motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di daerah-
daerah yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan perahu tanpa motor hanya
mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir saja. Sifat usaha
penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal kebersamaan antar anggota
keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali mereka berangkat sore hari
kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-pagi sekali, kemudian kembali
pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang beroperasi dengan kapal motor bisa
meninggalkan rumah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum wanita
dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari
nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan
(pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada
pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam
kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak
sekolah.
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir khususnya
masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim
ini semakin besar bagi para nelayan kecil, Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk
melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak
nelayan yang terpaksa menganggur.Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka
mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja,lemari,dan sebagainya.
Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan
mereka juga semakin buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa saja
“kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat dipengaruhi
oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing ground). Di daerah
yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya, sudah terjadi kelebihan
tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan para nelayan menjadi
semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang bersifat
patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan,
petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang
kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tauke).
Konsekuensinya,para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang.
Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada pedagang atau
juragan tersebut.Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi
alat dominansi dan eksploitasi
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi yang beedasarkan penguasaan alat produksi.Pada masyarakat nelayan,
umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :
 Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor lengkap
dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern.
Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang
lain.Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau tiga
puluhan.
 Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor lengkap
dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar atau modern.
Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan kepada orang
lain.Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sampai dua atau tiga
puluhan.
 Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan . Meskipun para nelayan kecil
bisa juga merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian,
biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang ini merupakan
kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang dominan ketika berhadapan dengan
para nelayan kecil.

Dalam masyarakat petani tambak, stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan alat


produksi ini juga menonjol. Mirip dengan strata sosial yang ada pada masyarakat nelayan,
masyarakat petani tambak juga terdiri dari 3 strata sosial yang dominan yaitu :

 Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas,

 Strata menengah yang memiliki luas tambak sedang/kecil, dan

 Strata paling bawah adalah para pengelola/buruh.

Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya jelajah
mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan menggunakan kapal
motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus pemasaran di daerah-daerah
yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan menggunakan perahu tanpa
motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir saja. Aspek lain
yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum wanita dan anak-anak.
Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah.

Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang ikan
(pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada
pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam
kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan banyak yang tidak
sekolah.

2.2.8 Ketergantungan pada Pasar


Karakteristik lain dari usaha perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini adalah
ketergantungan pada pasar. Tidak seperti petani padi, para nelayan dan petani tambak ini sangat
tergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan karena komoditas yang dihasilkan oleh
mereka itu harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi keperluan hidup. Jika petani padi
yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual sedikit saja,
maka nelayan dan petani tambak harus menjual sebagian besar hasilnya. Setradisional atau
sekecil apapun nelayan dan petani tambak tersebut, mereka harus menjual sebagian besar
hasilnya demi memenuhi kebutuhan hidup. Karakteristik di atas mempunyai implikasi yang
sangat penting, yakni masyarakat perikanan sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk
perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat perikanan.
3.1 Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir

Terlihat bahwa sumber perubahan sosial yang terjadi pada komunitas nelayan di
keempat lokasi penelitian itu adalah teknologi. Perubahan teknologi telah menyebabkan
perubahan pada tiga tipe struktur sosial yang dikemukakan oleh Mouzelis (2008), yaitu struktur
normatif/institusional,interaktif/figurasional maupun distribusional. Memang teknologi
merupakan salah satu sumber perubahan sosial yang sangat penting sejak lama. Seperti
dijelaskan sebelumnya, perspektif materialistis menekankan pentingnya peranan teknologi dalam
proses perubahan sosial, dan Marx merupakan salah satu tokoh yang menekankan peranan
teknologi ini. Selain Marx, Lewis H. Morgan juga sudah menerbitkan buku yang berjudul
Ancient Society pada tahun 1877, yang membahas tahapan perubahan berdasarkan
perkembangan teknologi (Vago, 1989). Di masa kini, pengkategorian era yang dilakukan oleh
Schwab (2016), yakni era industri 1.0, 2.0, 3.0, dan 4.0, juga didasarkan pada perkembangan
teknologi. Demikian juga dengan penggolongan masyarakat menjadi hunting society, agrarian
society, industrial society, information society, dan super smart society atau society 5.0 yang
dikemukakan oleh Salgues (2018), didasarkan pada perkembangan teknologi. Selanjutnya,
uaraian beragam kasus di atas juga menunjukkan kemiripan dengan fenomena perubahan sosial
komunitas pedesaan Jawa yang dikemukakan oleh Prof. Tjondro dalam beberapa tulisannya.
Prof. Tjondro misalnya mencatat gejala “bertambahnya lapisan sosial” di pedesaan akibat
masuknya teknologi pertanian. Dikatakan: “Dengan bertambahnya lapisan sosial, tampaknya
juga suatu lapisan menengah muncul lebih nyata, dan gejala ini memang umum sekali di negara-
negara sedang berkembang yang mengalami Revolusi Hijau” (Tjondronegoro, 2008).
Selanjutnya, Prof. Tjondro juga menyoroti polarisasi komunitas desa akibat masuknya teknologi
pertanian dalam program revolusi hijau. Di komunitas nelayan, adopsi teknologi penangkapan
yang dilakukan oleh sebagian nelayan, juga menyebabkan munculnya strata baru yang sekaligus
menyebabkan terjadinya polarisasi antara para nelayan besar dengan nelayan kecil, juga antara
nelayan pemilik kapal dan alat tangkap skala besar dengan para buruh nelayan.
perkembangan teknologi penangkapan juga menyebabkan perubahan struktur sosial
nelayan secara horizontal, berupa munculnya kelompok-kelompok sosial berbasis alat tangkap
yang baru. Dengan kata lain, basis kolektifitas sosial komunitas nelayan bukan pada teritorial,
yaitu dukuh (hamlet) dan kampung (RK) seperti yang dikemukakan oleh Prof. Tjondro dalam
konsep sodality. Ini nampaknya memang salah satu perbedaan antara komunitas petani dengan
nelayan. Di beberapa tempat, komunitas nelayan bahkan tersegregasi menurut jenis alat tangkap.
Di Balikpapan misalnya, para nelayan tinggal mengelompok dan masing-masing kelompok
tersebut ditandai dengan penggunaan jenis alat tangkap tertentu (Kinseng, 2014: 61-62). Serupa
dengan itu, Setyowati (2020) menjelaskan bahwa “warga Desa Paciran yang notabennya
merupakan nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap bubu dilarang menikah dengan
orang yang berasal dari daerah Weru yang nelayannya menggunakan alat tangkap mini trawl”.
Ini merupakan akibat konflik dalam kegiatan penangkapan ikan di laut yang terjadi antara
nelayan kecil dengan nelayan trawl tersebut. Namun nampaknya sodality memang tidak semata
berbasis teritorial, tetapi merupakan kolektifitas sosial di daerah pedesaan “yang berdasarkan
atas kepentingan kelompok” (Tjondronegoro, 2008:341). Selanjutnya dikatakan: “Istilah sodality
atau sodalis, yang sifatnya kelompok tatap muka, akrab dan solider” dan “bukan semata-mata
hubungan keluarga lagi”. Dengan demikian, kelompok social nelayan berbasis alat tangkap
tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk sodality di kalangan komunitas nelayan. Jika Prof.
Tjondro mengatakan bahwa sodality ini perlu “dibina dan dikembangkan menjadi organisasi
desa yang tetap demokratis dan lebih mutahir” (Tjondronegoro, 2008:341), maka kelompok-
kelompok nelayan berbasis alat tangkap tersebut sebagian sudah berkembang ke arah itu. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, kelompk-kelompok nelayan berbasis jenis alat tangkap cenderung
menjadi “lebih formal” bahkan memiliki “kesadaran kelompok” atau “group consciousness”
yang semakin menguat.
Perubahan social budaya masyarakat pesisir:
 Intervensi factor external ( individu, kelompok dan system masyarakat)Perubahan individu
berdampak pada perubahan masyarakat dan berimbas pada perubahan ekosistem. Namun
juga dapat terjadi perubahan ekosistem berdampak pada perubahan struktur masyarakat.
 Dinamika kapasitas ruang struktur social pada ekosistem pesisir. Hal ini ternasuk
ketersediaan ruang usaha dan bekerja serta tingkat akses individu masyarakat dalam
pengelolaan ruang pesisir
 Konstruksi masyarakat pesisir itu sendiri.

Kehidupan sosial budaya di pengaruhi oleh ekspektasi kelompok atau individu yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan kelautan. Salah satu yang
menstimulasi kecepayan perubahan social adalah masyarakat pesisir lebih terbuka terhadap
perubahan sosial hal ini dikarenakan masyarakat pesisir memiliki interaksi yang lebih tinggi
dengan masyarakat yang berasal dari negara atau wilayah lain.
Budaya dapat dipahami sebagai hasil kegiatan manusia dalam hubungannya dengan
kehidupan karya, waktu, alam lingkungan dan sebagainya. Kebudayaan adalah keseluruhan
system, gagasan, dan hasil karya manusai dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar.
Hampr semua Tindakan manusia adalah bentuk kebudayaan, karena hanya sedikit Tindakan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu
hanya beberapa tindakan naluri, Tindakan refleks dan kelakuan membabi buta.
Manusia dan kebudayaan memiliki interaksi menjadi pondasi atau dasar segala yang
bersangkutan dengan proses kehidupan manusia. Manusia yang menciptakan kebudayaan namun
kemudian kebudayaan yang membentuk manusia.
Sosial budaya atau yang akrab juga disebut kebudayaan secara universal merupakan suatu
tata nilai dalam masyarakat yang berasal dari pola pikir dan akal budi manusia-manusia yang
hidup di dalamnya. Hasilnya berupa penciptaan akan beragam hal seperti kesenian, kepercayaan,

maupun adat istiadat yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

4.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir


Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak jaman nenek
moyang mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk menunjang kehidupan mereka.
Sebelum era dunia modern pengelolaan sumberdaya alam masih bersifat lokal, dimana struktur
masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Beberapa ciri dari pengelolaan sumberdaya alam
secara tradisional antara lain adalah :

1) Pengelolaan sumberdaya alam cenderung berkelanjutan


2) Struktur pihak yang terlibat masih sederhana
3) Bentuk pemanfaatannya terbatas dan termasuk skala kecil
4) Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen
5) Komponen pengelolaannya (manajemen) berasal dan berakar pada masyarakat
6) Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam tinggi
7) Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi

BAB III

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Masyarakat pesisir juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas
masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di
wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang
terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir, khususnya
yang tinggal di wilayah Indonesia, mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas
atau unik, yaitu : 

 Mata pencaharian 
 Pendapatan 
 Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan 
 Ketergantungan Pada Musim 
 Ketergantungan Pada Pasar  
 Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat Yang Kuat
5.2 DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/
282662169_Sistem_Sosial_Ekonomi_dan_Budaya_Masyarakat_Pesisir

https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MMPI510402-M1.pdf

https://kkp.go.id/djprl/p4k/artikel/19048-karakteristik-masyarakat-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil

https://www.psychologymania.com/2013/05/karakteristik-masyarakat-pesisir.html

https://www.academia.edu/38156258/Karakteristik_Masyarakat_Pesisir

file:///C:/Users/HP/Downloads/1078-2621-1-SP.pdf

https://www.academia.edu/13821368/KEHIDUPAN_SOSIAL_EKONOMI_MASYARAKAT_NELAYAN

https://123dok.com/article/kebudayaan-nelayan-konsep-budaya-masyarakat-muslim-
nelayan.q5nw33rq

You might also like