You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang kemunculan islam, tentu tidak bisa lepas dari sosok
Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya. Pada sekitar tahun 610 M islam
diperkenalkan oleh Allah kepada Muhammad yang ditandai dengan turunnya
wahyu pertama di makkah. Sejak inilah kemudian islam disebarkan di sekitar
makkah, atau bahkan di seluruh jazirah arab.
Sebagai pembawa risalah yang dipilih oleh Allah, Nabi Muhamma SAW
senantiasa selalu berdakwah, meskipun banyak rintangan yang harus beliau
lewati. Dalam jangka waktu kurang lebih 22 tahun, beliau berjuang dengan
sepenuh hati, melakukan transformasi budaya, dari alam jahili ke alam Islam yang
bersendikan tauhid, kemerdekaan, persaudaraan, ukhuwah, persatuan dan
keadilan.
Perjalanan nabi Muhammad dalam berdakwah semenjak diutus sebagai
rasulullah dapat diklasifikasikan menjadi dua preode. Pertama, preode Makkah.
Pada masa ini beliau melakukan transformasi melalui dakwah bissiri (dengan
sembunyi-sembunyi), lalu dakwah bijahri (terang-terangan). Kedua, masa di
Madinah (Yatsrib). Masa ini diawali dengan berhijrah ke Madinah beserta para
kaum Muhajirin, yang selanjutnya beliau mulai menata masyarakat sesuai dengan
nilai-nilai ke-Islaman.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini :
1. Bagaimana munculnya islam di kota Makkah?
2. Bagaimana munculnya islam di kota Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    ISLAM DI MAKKAH
1.      Awal Munculnya Islam
Masyarakat arab sebelum islam datang dikenal dengan masyarakat
jahiliyah. Mereka hidup dalam bentuk masyarakat yang terkotak kotak, yang
dibangun dengan system kabilah-kabilah, bersuku-suku, yang mana antara
kelompok yang satu dengan lainnya seringkali terjadi pertumbuhan darah, bahkan
mereka sudah terbiasa melakukan kekerasan dan pembunuhan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya.[1]
Kompleksitas masalah yang terjadi pada masyarakat arab jahiliyah inilah
yang membuat nabi Muhammad termotivasi untuk mencari jalan keluar dengan
cara mengasingkan diri berkhulwat di Gua Hira’. Di sana Nabi Muhammad
berhari-hari dan berbulan-bulan melakukan kontemplasi dan bertafakur. Tidak
henti-hentianya ia melakukan hal tersebut sampai menjelang usianya yang
keempat puluh. Dan akhirnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, malaikat
pembawa wahyu datang dengan membawa wahyu yang pertama: “Bacalah dengan
nama tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar
dengan Qolam.  Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui” (QS.
al-Alaq ayat:1-5’).
Dengan turunnya ayat di atas, merupakan sebuah petanda bahwasanya
Muhammad telah resmi diangkat sebagai seorang Nabi.[2] Sekeligus mengakhiri
zaman jahiliyah masyarakat arab. Dan selang beberapa bulan kemudian beliau
menerima wahyu yang berisi perintah untuk mendakwahkan islam kepada semua
manusia. Hal tersebut tergamabar dalam surat al-Muddatsir ayat 1-7:
“hai orang-orang berkemul, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlan, dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi dengan maksud mendapatkan balasan yang lebih
banyak. Dan untuk memenuhi perintah tuhanmu bersabarlah”, (Q,S. al-Mdtssir,
1-7).
Dengan diturunkannya ayat di atas, memberikan sebuah pengertian  bahwa
sejak itulah nabi Muhammad secara defacto telah resmi diangkat menjadi
rasulullah dengan mengemban tugas untuk memberi peringatan bagi seluruh
manusia.
2.      Setrategi Dakwah Islam Di Makkah
a.       Dakwan bil-Sirri (diam-diam)
Pada awal perjalanannya, nabi Muhammada melakukan dakwah dengan cara
diam-diam sirri. beliau menyampaikan dakwahnya pada keluarga keluarga
terdekat dan juga pada orang-orang yang diyakini akan menerima seruannya. hal
ini beliau lakukan sejak turunnya surah al-Muddatstsir, yang mana isi kandungan
ayat tersebut adalah perintah untuk melakukan seruan dan peringatan kepada umat
manusia.
Adapun orang pertama yang masuk islam adalah Khatijah yang tidak lain
adalah istri rasulullah, baru kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib yang waktu
itu baru berumur 10 tahun. Kemudian disusul oleh Abu Bakar yang merupakan
sahabat nabi sejak masa kecil.
Dakwah secara diam-diam ini terus beliau lakukan selama tiga tahun, dan
berhasil mengajak belasan orang memeluk islam. Meskipun nabi berdakwah
dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi tetap saja kaum Quraisy memusuhi dan
mengejek umat islam. 
b.      Dakwah bil-Jahri (terang terangan)
Setelah beberapa tahun Rasulullah hanya berdakwah secara sembunyi-
sembunyi, maka datanglah seruan untuk berdakwa secara terang-terangan dan
tidak mempedulikan sikap orang-orang yang menentangnya. Sebagaimana
terkandung dalam firman allah:
Artinya: maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.
Sesungguhnya kami memelihara kamu dari pada (kejahatan) orang-orang yang
memperolok-olokkan kamu (Q.S. al-Hajr ayat 214-216).
Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada
seluruh lapisan masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan
sampai golongan budak serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama
berbeda dan berbagai suku. Untuk berdakwah secara terang-terangan ini beliau
menjadikan bukit “shofa” sebagai tempat dakwahnya. Rasulullah SAW.
Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua kali, namun orang-orang
banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang menerima dan sebagian ada yang
menolaknya dengan kasar.
Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari bahaya api neraka,
sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Dan
Abu-Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau
mengumpulkan kami hanya untuk ini saja?
Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab
sebagai berikut :
Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan
binasa, tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan,
kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya,
pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut”.
Sikap Rasulullah Saw, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat
sikap pribadi yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk
kepentingan pribadinya dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan
tidak terdapat sikap pribadi sifat kemewah-mewahan menyebabkan orang terkejut
dan mencegah akan manusia yang lemah.[3]
Setelah peristiwa Thaif itulah bermulalah sikap kaum quraisy memusuhi
rasulullah secara terang-terangan. Mereka mengobarkan api permusuhan dan
mereka sepakat untuk menentang rasulullah, dan menyakiti para pengikutnya agar
mereka kembali ke dalam agama lamanya, yaitu penyembah Lata dan Uzza.
Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang mendorong orang Quraisy
menentang seruan islam. Pertama, mereka tidak dapat membedakan antara
kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan
Muhammad sama halnya dengan tunduk kepada kepemimpinan bani abdul
muthalib, padahal hal tersebut sangat tidak diinginkan oleh mereka.
Kedua, nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan
hamba sahaya. Ketiga, para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran
tentang kebangkitan kembali dan pembalasan hari akhirat. Keempat,  taklid kepada
nenek moyang adalah keniasaan yang sudah berakar pada bangsa
arab. Kelima, pemahat dan penjual patung memandang islam sebagai penghalang
rezeki.[4]
3.      Dua Perjanjian Penting Periode Makkah
Setelah nabi Muhammad melakukakan Isra’ dan Mikraj, suatu
perkembangan besar terjadi bagi kemajuan islam. Embrio kemajuan tersebut
datang dari sejumlah penduduk yasrib yang berhaji ke Makkah. Mereka terdiri
dari duan suku, yaitu suku ‘Aus dan Khazraj, datang menemui nabi Muhammad
dan melakukan perjanjian yang kemudian dikenal dengan perjanjian Aqobah.
a.       Perjanjian Aqobah I
Proses terjadinya perjanjian aqobah I di awali dengan datangnya rombongan
dari Madinah di Makkah, mereka datang untuk menunaikan haji, lalu kedatangan
mereka diketahui oleh nabi, maka beliau segera menemui mereka di dekat bukit
aqabah untuk menyampaikan seruan islam. Mendengar dakwah yang disampaikan
oleh nabi, kemudian mereka berkata: bangsa kami telah lama terjadi permusuhan,
yaitu antara suku Khajraj dan suku ‘Aus. Mereka benar-benar merindukan
perdamaian. Kiranya tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan
enkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah
agar mereka mengatahui agama yang kami terima dari engkau.
Setelah berselang dua tahuan, yaitu pada tahun ke dua belas, mereka datang
lagi menemui nabi dengan jumlah 12 orang (10 kaum Khajraj dan 2 kaum ‘Aus).
Mereka menemui nabi pada tempat yang sama, yang mana dalam pertemuan ini
mereka telah membuat suatu perjanjian dengan nabi yang kemudian dikenal
dengan Perjanjian Aqobah I ”perjanjian wanita”.

b.      Perjanjian Aqobah II  
Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari madinah makin
tambah banyak, yaitu berjumlah 73 orang, diantaranya 2 orang perempuan dari
suku ‘Aus. Mereka kemudian menemui nabi pada tempat yang sama dengan
pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan ini kemudian dikenal dengan
Perjanjian Aqobah II (perjanjian peperangan).[5]

B.     ISLAM DI MADINAH
1.      Hijrah Starting Kebangkitan Islam
Sebelum kedatangan nabi, kota ini bernama Yatsrib. Penduduknya sangat
majemuk, mereka terdiri dari kabilah-kabilah dan suku-suku, dan terbesar adalah
suku aus dan khazraj. Mereka menganut agama yang bermacam-macam,
diantaranya adalah nasrani, yahudi, majusi, sabi’I, dan lain-lain. Sebagai suku
yang dominan, suku Aus dan Khazraj seringkali hidup dalam pertikaian yang
melibatkan sentiment keagamaan.[6]
Secara giografis Madinah sangat berbeda dengan mekkah yang terdiri dari
padang pasir dan tandus. Madinah tanahnya yang subur sehingga penduduknya
bercocok tanam seperti kurma. Keadaan ini menjadikan masyarakat madinah
mempunyai corak berbeda dengan masyarakat lainnya, mereka hidup dengan pola
yang sederhana, solidaritas masyarakatnya sangat kuat.
Sekitar pada tahun 622 M. nabi Muhammad beserta pengikutnya berhijrah
ke madinah. Keputusan berhijrah sebenarnya telah dipertimbangkan sejak jauh-
jauh hari sebelumnya, keputusan tersebut didasarkan pada beberapa
pertimbangan: pertama, beratnya perlawanan dan siksaan Quraisy makkah
terhadap nabi dan para pengikutnya. Kedua, adanya harapan dan tawaran dari
sebagian masyarakat  madinah  karena adanya konflik. Ketiga, dilihat dari
lingkungannnya, madinah dianggap lebih memungkinkan untuk masa depan
islam. Kelima, adanya perintah allah untuk melakukan hijrah ke sana.[7]
Hijrah, yang mengakhiri pereode makkah dan mengawali pereode
Madinah, merupakan titik balik perkembangan dan kejayaan islam.  Pada pereode
ini rasulullah berusaha membangun dasar-dasar suatu masyarakat yang
menjungjung tinggi nilai-nilai keadaban (civility), sebagaimana yang di ajarkan
dalam agamanya. Untuk mencapai cita-cita pembangunan masyarakat yang
beradab, nabi Muhammad melakukan langkah-langkah sebagaimana dikutip oleh
Prof. Dr. Ahmad Syalabi, diantaranya:
Pertama, mendirikan masjid. Masjid yang pertama kali dibangun adalah
masjid Quba yang terletak di pinggiran kota madinah. Masjid ini tidak hanya
berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga digunakan berbagai macam
kegiatan, seperti, tempat belajar agama, latihan berperang, mengadili perkara-
perkara, dan administrasi negara. Jadi masjid ini mempunyai multifungsi, satu sisi
berfungsi untuk mengembangkan kehidupan spiritual, dan pada sisi yang lain
untuk melakukan konsolidasi sosial.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya dijadikannya masjid
sebagai media tranformasi baik yang sifatnya dirosi ataupun sebagai konsolidasi
social berkontribusi pada peradaban islam. Melalui media ini tampak keakraban
antara nabi dana para sahabat, dan begitu juga terjadi pada hubungan antara
sahabat dengan sahabat yang lain baik muhajirin dan anshar.
Kedua, mempersatukan sahabat ansor dan muhajirin. Untuk membangun
suatu masyarakat yang dicita-citakan, maka sebelum mempersatukan komponen
masyarakat yang lebih luas dan majmuk, langkah pertama yang dilakukan adalah
mempersatukan antara sahabat ansor dan sahabat muhajirin. Dari komunitas
keagamaan inilah kemudian lahir sebuah negara islam yang lebih besar.
Masyarakat baru yang terdiri atas masyarakat anshar dan muhajirin dibangun atas
dasar agama, bukan hubungan darah.
Ketiga, kerjasama antar komponen penduduk madinah, baik muslim dan
nonmuslim. Langka ini dilakukan mengingat penduduk madinah yang majemuk,
tentu, dengan tujuan untuk menjalin harmoni antar golongan muslim dan
nonmuslim sehingga tercipta suatu hubungan kerjasama yang baik antara
mereka. Keempat, meletakkan dasar-dasar  politik, ekonomi, dan social untuk
masyarakat baru.[8]
Dari beberapa langkah yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW.
Secara implisit menegaskan bahwasanya islam sejak awal telah memberikan
kontribusi besar terhadap eksistensi masyarakat arab khususnya masyarakat
Madinah dan dan umumnya pada konstruksi konsep negara medern.

2.      SAHIFAH; BANGSA DAN NEGARA ISLAM


Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan
tentang social dan politik, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui
“bahwa” Piagama Madinah” merupakan instrumen hukum ,politik yang membuat
komunitas Islam dan non Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di
bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu
politik piagam ini dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama
bagi “Negara Islam” yang didirikan Nabi Saw di Madinah.
Dalam sejarah kebudayaan islam, adanya “Piagam Madinah”, mempunyai
kontribusi besar atau bahkan merupakan prasyarat pada terwujudnya sejarah
perubahan masyarakat Arab. Sebab dengan instrument itulah Nabi kemudian
membangun masyarakat baru yang berbeda dari masyarakat manapun pada waktu
itu.
Masyarakat yang dibangun oleh Nabi tersebut diikat oleh tali kepentingan
dan cita-cita bersama. Setiap warga negara dituntut untuk menaati kontrak sosial
(perjanjian) yang dibuat bersama. Masyarakat ini lahir berdasarkan kontrak sosial
yang dibuat dan disetujui bersama oleh seluruh penduduk Yasrib (Madinah) dan
sekitarnya yang terekam dalam sebuah piagam yang dikenal dengan nama Piagam
Madinah.
Masyarakat yang mendukung piagam ini jelas memperlihatkan karakter
masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di
dalamnya terdapat etnis Arab, Muslim, Yahudi, dan Arab nonMuslim.
[9] Keberadaan Piagam Madinah juga sangat terkait dengan perjalanan politik
Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah yang sangat plural. Piagam ini dibuat
sebagai salah satu siasat Nabi untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan
warga Madinah.[10] Oleh karena itu, dalam piagam ini dirumuskan kebebasan
beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup
dan sebagainya.
Munawir Sjadzali, menerangkan bahwa ada dua poin penting yang
merupakan inti Piagam Madinah, yaitu antara lain sebagai
berikut: pertama,  Semua pemeluk agama Islam merupakan satu komunitas
(umat) meskipun berasal dari banyak suku. Kedua, hubungan Islam dengan
komunitas lain didasarkan pada prinsip untuk bertetangga, baik saling membantu
dalam menghadapi musuh membela mereka yang teraniaya, saling menasehati,
dan menghormati kebebasan beragama.[11] Watak masyarakat yang dibina oleh
Nabi adalah berpegang kepada prinsip kemerdekaan berpendapat dan
menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada umat sendiri.[12]
Sedangkan Piagam Madinah menurut Ali. K. secara garis besar
mengandung pokok ketentuan antara lain:
a.       Seluruh masyarakat yang turut menandatangi bersatu membentuk satu kesatuan
kebangsaan.
b.      Jika salah satu kelompok yang turut menandatangani piagam ini diserang oleh
musuh, maka kelompok yang lain harus membelanya dengan menggalan kekuatan
gabungan.
c.       Tidak suatu kelompokpun diperkenankan mengadakan persekutuan dengan kafir
Quraisy atau memberikan perlindungan kepada mereka atau membantu mereka
mengadakan perlawanan terhadap masyarakat madinah.
d.      Orang islam, yahudi dan seluruh warga madinah yang lain bebas memeluk agama
dan keyakinan masing-masing dan mereka dijamin kebebasannya dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Tidak
seorangpun yang diperkenankan mencampuri urusan agama lain.
e.       Urusan pribadi atu perorangan, atau perkara-perkara kecil kelompok nonmuslim
tidak harus melibatkan pihak-pihak yang lain secara keseluruhan
f.        Setiap entuk penindasan dilaran.
g.      Mulai hari ini segala bentuk pertumbuhan darah, pembunuhan, dan pengeniayaan
diharamkan di seluruh negri muslimin.
h.      Muhammad, rasulullah, menjadi kepala republic madinah dan memegang
kekuasaan peradilan yang tinggi.[13]
Penjelasan di atas memberikan sebuah gambaran bawasanya masyarakat
yang di impikan rasulullah yang kemudian dituangkan dalam Piagam Madinah
adalah bertumpu pada beberapa asas yang sangat fundamental:
Pertama, Asas kebebasan beragama. Negara mengakui dan melindungi
setiap kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Kedua, asas
persamaan. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota
masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan
secara buruk.
Ketiga, Asas kebersamaan. Setiap dan semua anggota masyarakat
mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negra. Keempat, Asas
keadilan ataupun asas perdamaian yang berkeadilan. Kelima, Asas musyawarah.
Maka dengan demikian, peraturan yang dibuat oleh nabi yang telah didasarkan
pada beberapa asas tersebut senantiasa mendapat sambutan dari seluruh lapisan
masyarakat madinah kaculai bagi kalangan kaum munafik, sehingga islam dalam
waktu yang tidal lama mampu menjadi kekuatan besar dijazirah arab.
3.      Polarisasi Islam Di Madinah
Usaha-usaha awal yang telah dilakukan Nabi Muhammad di madinah seperti
dikemukakan di atas, khususnya usaha penataan masyarakat dan pembentukan
konstitusi piagam madinah, ternyata melahirkan polarisasi dan dinamika social
yang luar biasa baik yang positif atau negatif. sisi positifnya dalam artian, suatu
keadaan yang harmunis dan beradab, sehingga memungknkan misi nabi berjalan
dengan baik. Namun pada sisi lain ada aspek negatif yang diawali dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh orang yahudi terhadap kesepakatan yang telah
dibuat bersama. Sehingga menimbulkan peperangan-peperangan antara orang
mulim dengan orang musyrik dan orang kafir.[14]

KESIMPULAN

Pada masa rasulullah, islam tampil menjadi kekuatan baru ditengah-tengah


kekuatan kabilah-kabilah dan suku-suku yang mengakar kuat di kalangan
masyarakat arab. Dalam diskursus sejarah perdaban islam, kajian islam pada masa
nabi Muhammad dapat dipetakan menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan
periode Madinah.
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah awalmulanya
mentranformasikan nilai-nilai dan ajaran islam di Makkah. Yang paling penting
dalam masa ini adalah ajaran tentang tauhid, yaitu mengesakan tuhan dari
makhluk selain dzatnya. Sedangkan pola dakwah yang digunakan oleh rasulullaha
ada dua cara: pertama,  dengan cara sembunyi-sembunyi bissirri. Cara ini
dilakkan oleh nabi pada awal kerasulannya selama tiga tahun. Kedua, dakwah
dengan terang-terangan biljahri. Cara ini dilkukan oleh nabi Muhammad mulai
masa keempat kerasulannya sampai masa ketujuh.
Islam pada periode Makkah tidak banyak berkembang, karena tekanan dari
orang-orang musyrik Quraisy. Mereka melakukan berbagai cara untuk
mengahalangi nabi menyebarkan islam, diantaranya adalah menyakiti orang-orang
yang memeluk islam, lebih-lebih pada golongan mustad’afin dan hamba sahaya.
Setelah nabi hijrah ke madinah, islam mempunyai sejarah baru. Dalam
waktu yang relative singkat islam mampu menjadi kekuatan domenan di wilayah
tersebut. Islam mampu menjadi landasan moral, social dan politik. Bahkan nabi
dengan tuntunan wahyu, membuat suatu keputusan-keputusan yang dikenal
dengan “Piagam Madinah”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya islam di madinah berbeda
dengan di makkah. Di makkah islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad lebih
pada aspek tauhid dan moralitas. Berbeda dengan itu, di Madinah islam menjadi
regulasi social. Islam menjadi aturan yang mengatur relasi antara masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut, tertuang dalam 47 pasal yang ada di Piagam Madinah.

DAFTAR PUSTAKA

K. Ali, Study of Islamic History, terj. Cet. Ke-2, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.


M. Yh. Houtsma (ed), Encyclopaedia Islam, Vol. 7, at al. Jakarta: Karim, 2000.
Mahayudin, Hj Yahaya & Ahmad Jelani Halwi, Sejarah Islam, Slangor: Fajar
Bakti Sdn, 1995.
Munawwir, Sjadzali, , Islam dan tata negara: ajaran, sejarah, dan
pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI Press,1993.
Nurhakim, Moh., Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Pres, 2004.
Syalabi, Ahmad, sejarah dan kebudayan islam, jilid I, terj., cet. Ke-9 ,Jakarta: Al-
Husna Zikra, 1997.
Sukarja, Ahmad, piagam madinah dan undangundang dasar 1945: Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang
Majemuk, Cetakan 1. Jakarta: UI Press, 1995.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Perdaban Islam, Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998.

You might also like