You are on page 1of 33

Responsi

LIMFOMA NON HODGKIN

Oleh:
Putu Dharma Putri Mahastuti 1702612108
Diviya Batumalay 1702612130

Pembimbing
dr. I Wayan Losen Adnyana, Sp.PD-KHOM

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Responsi yang berjudul “Lifoma Non-Hodgkin” ini tepat pada waktunya dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan


bimbingan maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku kepala SMF Ilmu


Penyakit Dalam yang telah mengizinkan kami untuk belajar di SMF Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Sanglah
2. dr. I Wayan Losen Adnyana, Sp.PD-KHOM, FINASIM selaku dosen
pembimbing dan penguji, atas segala bimbingan, saran-saran, dan bantuan
dalam penyusunan Responsi ini.
3. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi kasus ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa responsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga responsi ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan
dan kedokteran.

Denpasar, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 3
2.1 Definisi .................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi .......................................................................... 3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .................................................... 3
2.4 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin ..................................... 6
2.5 Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin ...................................... 7
2.6 Stadium Penyakit................................................................... 8
2.7 Diagnosis ............................................................................... 9
2.8 Penatalaksanaan .................................................................... 12
2.9 Komplikasi ............................................................................ 14
2.10 Prognosis ............................................................................... 15
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................. 17
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 26
BAB V SIMPULAN ............................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 30

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Keganasan merupakan salah satu penyakit utama penyebab kematian di


dunia. Diperkirakan terdapat 14 juta kasus baru keganasan dan 8,2 juta kematian
akibat keganasan di dunia. Salah satu keganasan yang yang ditakutkan adalah
limfoma. Limfoma merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh
penumpukan sel limfosit ganas di kelenjar getah bening dan jaringan limfoid
lainnya dan menyebabkan gambaran klinis karakteristik limfadenopati. Secara
umum limfoma dibagi menjadi dua kelompok besar neoplasma, yaitu Limfoma
Non-Hodgkin dan Limfoma Hodgkin. Sekitar 85% dari semua limfoma ganas
adalah Limfoma Non Hodgkin. 1,2
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan
primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer. Limfoma Non Hodgkin
merupakan penyakit yang sangat heterogen dapat dilihat dari segi perjalanan
klinis, gejala, histologis, respon terhadap pengobatan, dan prognosis. Pada LNH
sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan
terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga
semua sel dalam tumor pasien LNH memiliki imunoglobulin yang sama pada
permukaan selnya1.
Setiap tahunnya terjadi peningkatan insiden LNH, dari awal 1970-an
hingga awal abad ke-21 tingkat kejadian LNH hampir dua kali lipat. Berdasarkan
data dari American Cancer Society diperkirakan sebanyak 4% dari seluruh kasus
kanker baru, yakni 74.680 kasus merupakan limfoma non Hodgkin pada tahun
2018. Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak. Menurut
Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam
Indonesia, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat
ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru. 1,2
Etiologi sebagian besar LNH belum diketahui secara pasti. Namun
terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu usia,
2

jenis kelamin, genetik, paparan bahan kimia, penurunan fungsi imun, autoimun,
diet, infeksi virus maupun bakteri 1,3.
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi
kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium LNH didasarkan atas
kriteria Ann Arbor, yang dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan luasnya
keterlibatan KGB yang terkena. Pengobatan dengan menggunakan kombinasi
kemoterapi (multiagent) dapat mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis
limfoma tergantung pada tipe histologi dan staging 4.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan kelompok keganasan primer
limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer1.
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau Non-Hodgkin Lymphomas merupakan
penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra nodal
jauh lebih sering dijumpai4.

2.2 Epidemiologi
Limfoma non Hodgkin menduduki peringkat ke 7 dari semua jenis kanker,
mewakili 4% dari semua diagnosis kanker. American Cancer Society
memperkirakan sebanyak 74.680 kasus limfoma non Hodgkin didiagnosis pada
tahun 2018. Secara keseluruhan LNH paling sering didiagnosis pada usia 65 – 74
tahun, usia rata-rata saat diagnosis adalah 67 tahun. Pengecualiannya pada
limfoma tingkat keganasan rendah dengan 37% kasus yang biasanya mengenai
pasien berusia 35-64 tahun tetapi hanya 16% kasus pada pasien berusia dibawah
35 tahun. Limfoma keganasan rendah jarang terjadi pada anak-anak. 1,2
Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan
Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam
Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih
tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling
cepat setelah melanoma dan paru.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.
Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu5,6,9:
a. Usia: sebagian besar kasus limfoma terjadi pada penderita berusia 60
tahun ke atas. Namun pada beberapa jenis kasus limfoma juga terjadi pada
usia muda.
4

b. Jenis Kelamin: risiko menderita limfona non Hodgkin meningkat pada


jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, tidak diketahui penyebab
dari kejadian ini.
c. Genetik: sejumlah penelitian mengungkapkan adanya keterlibatan peran
varian genetik yang mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel
B sehingga meningkatkan risiko terjadinya LNH. Contohnya dikaitkan
dengan variasi genetik di berbagai jalur, termasuk sitokin, innate
immunity, stres oksidatif, dan perbaikan apoptosis DNA pada regio HLA.
d. Paparan terhadap bahan kimia dan obat tertentu: beberapa studi
mengungkapkan bahan-bahan seperti benzene dan herbisida serta
insektisida berhubungan dengan meningkatnya risiko Limfoma Non
Hodgkin. Beberapa pekerjaan yang dikaitkan dapat meningkatkan risiko
terkena LNH termasuk petani, pengguna pestisida, pekerja benzene, petani
karet, pekerja kilang minyak, pemadam kebakaran dan ahli kimia. Obat
kemoterapi yang digunakan dalam mengobati kanker dapat meningkatkan
risiko berkembangnya Limfoma Non Hodgkin beberapa tahun setelah
penggunaan, namun belum jelas diketahui apakah kejadian ini
berhubungan dengan penyakit kankernya sendiri ataupun efek dari
pengobatannya. Beberapa studi juga mengungkapkan obat tertentu yang
digunakan untuk mengobati rematoid artitis seperti methotrexate dan
tumor nekrosis faktor (TNF) inhibitor dapat meningkatkan risiko Limfoma
Non Hodgkin. Hal ini juga meliputi keadaan rematoid arthritis itu sendiri
merupakan suatu penyakit autoimun yang juga sudah meningkatkan risiko
terjadinya limfoma non Hodgkin.
e. Penurunan fungsi imun: beberapa contoh penderita dengan penurunan
fungsi imun memiliki risiko tinggi menderita limfoma non Hodgkin,
pasien penerima transplantasi organ yang mengkonsumsi imunosupresan,
pasien dengan chemotherapy, human immunodeficiency virus (HIV), pada
penyakit genetik seperti ataxia-telangiectasia (AT) dan Wiskott-Aldrich
syndrome, anak lahir dengan defisiensi sistem imun.
f. Penyakit autoimun: beberapa kondisi penyakit autoimun seperti
rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjogren
5

disease, Celiac disease (gluten sensitive enteropathy) meningkatkan risiko


menderita limfoma non Hodgkin. Sistem imun yang meningkat pada
penyakit autoimun menyebabkan aktivitas limfosit membelah lebih tinggi
dari normal dan meningkatkan risiko berkembang menjadi sel-sel
limfoma.
g. Infeksi Virus:
• Infeksi human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1) menyebabkan
kejadian angka limfoma < 1%. HTLV-1 menular melalui hubungan
seksual dan darah yang terkontaminasi, dapat menular pada bayi lewat
air susu dari ibu yang terinfeksi.
• Infeksi Eipstein-Barr virus : EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma
Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit
sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan
EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma
Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi
awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah
prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttranspIant
lymphoproIifer ative disorders (PTLDs) dan AIDS-associat ed
lymphomas.
• Human herpes virus 8 (HHV-8) juga menginfeksi limfosit,
menyebabkan kejadian limfoma yang langka yang disebut dengan
primary effusion lymphoma. Limfoma ini lebih sering ditemukan pada
pasien yang terinfeksi HIV. HHV 8 juga berhubungan dengan kanker
lainnya yaitu Kaposi sarcoma (Kaposi sarcoma-associated herpes
virus).
• HIV/AIDS menurunkan sistem imun yang berisiko meningkatkan
kejadian Limfoma Non Hodgkin tipe tertentu, seperti primary CNS
lymphoma, Burkitt lymphoma, dan diffuse large B-cell lymphoma.
h. Infeksi Bakteri:
• Beberapa infeksi kronis meningkatkan riiko terjadinya limfoma non
Hodgkin dengan mendorong sistem imun aktif secara konstan.
6

Semakin banyak limfosit diproduksi untuk melawan infeksi yang


terjadi, semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi gen,
menyebabkan terjadinya limfoma. Beberapa jenis limfoma yang
berhubungan dengan infeksi ini seringkali menjadi lebih baik ketika
infeksinya tertangani. Helicobater pylori, bakteri penyebab ulkus
gaster berhubungan dengan mucosa-associated lymphoid tissue
(MALT) lymphoma pada gaster. Chlamydophila psittaci, bakteri
penyebab infeksi paru yang disebut psittacosis, berhubungan dengan
MALT lymphoma pada jaringan sekitar mata yang disebut ocular
anexal marginal zone lymphoma. Infeksi Campylobacter jejuni
berhubungan dengan MALT lymphoma yang disebut
immunoproliferative small intestine disease. Infeksi kronis virus
hepatitis C (HCV) menjadi risiko splenic marginal zone lymphoma.
i. Berat badan dan Diet: studi menunjukkan keadaan obesitas
meningkatkan risiko terjadinya limfoma non Hodgkin. Studi lain juga
menunjukkan diet berupa makanan tinggi lemak dan daging merah juga
meningkatkan risiko.
2.4 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen
(antigent independent) dan tahap yang tergantung antigen (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi
sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive
B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan
akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah
bening, dimana terjadi immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir
menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang 4.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini
berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat
terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini
7

menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan4.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi
menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell
mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma4.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat
adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening,
dimana sel limfosit tua berada diluar "centrum germinativum" sedangkan
imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar;
2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor4.
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap nempertahankan sifat
dasarnya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah
masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel
kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan
tingkat mitosis yang tinggi3.

2.5 Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin


Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada
suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia.9,11.

Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL)/WHO


mencakup semua keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis
dibandingkan dengan skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi
8

pergeseran pembagian limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan


histologik menjadi lebih ke arah sindrom dengan gambaran morfologik,
imunofenotipe, genetik, dan klinis yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk
mempertimbangkan kemungkinan asal keganasan masing-masing limfoid
berdasarkan fenotipe dan status penataan ulang imunoglobulinnya7.

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk


neoplasma limfoid

Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)


Neoplasma prekursor sel B Neoplasma prekursor sel T
• Limfoma/leukimia limfoblastik • Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor B (ALL-B/LBL) prekursor T (ALL-T/LBL)

Neoplasma sel B matur (perifer) Neoplasma sel T matur (perifer)


• Leukimia limfositik kronik sel • Leukimia prolimfositik sel T
B/ Limfoma limfositik kecil • Leukimia limfositik granular sel T
• Leukimia prolimfositik sel B • Leukimia sel NK agresif
• Limfoma limfoplasmasitik • Leukimia/Limfoma sel T dewasa
• Limfoma sel B zona marginal (HTLV-1)
limpa (limfosit vilosa) • Limfoma sel T/NK ekstranodal,
• Leukimia sel berambut tipe nasal
• Myeloma sel plasma/ • Limfoma sel T jenis enteropati
plasmasitoma • Mycosis fungoides/ sindrom
• Limfoma sel B zona marginal Sezary
ekstranodal tipe MALT • Limfoma sel besar anaplastik, tipe
• Limfoma sel mantel kutaneus primer
• Limfoma folikular • Limfoma sel T perifer, tidak
• Limfoma sel B zona marginal dispesifikasi
nodal • Limfoma sel T angioimunoblastik
• Limfoma sel B besar difus • Limfoma sel besar anaplastik, tipe
• Limfoma Burkitt sistemik primer

2.6 Stadium Penyakit


Stadium penyakit didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.
Jenis patologi didasarkan pada formulasi kerja yang baru. Tingkat keterlibatan
ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.1,9
Stadium I: Pembesaran kelenjar getah bening hanya pada satu regio
Stadium II: Pembesaran kelenjar getah bening pada 2 regio atau lebih,
tetapi masih dalam satu sisi diafragma :
9

• II E : Pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam satu sisi diafragma


dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus/batas tegas.
Stadium III: Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma
• III E : Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma yang disertai keterlibatan organ ekstra limfatik
• III S : disertai keterlibatan spleen (limpa)
• III SE : disertai keterlibatan organ ekstra limfatik dan spleen (limpa)
Stadium IV: Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara
difus.
Stadium juga dapat ditambahkan penunjukan keterangan A dan B. Pasien
tanpa gejala konstitusional ditunjukan dengan (A) dan pasien dengan gejala
konstitusional (B).
Gejala Konstitusional :
• Demam tanpa sebab yang jelas dengan suhu di atas 38 °C,
• Keringat pada malam hari,
• Penurunan berat badan > 10% dalam 6 bulan sebelum di diagnosis.

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis secara umum didapatkan:8,9,12
• Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri pada satu atau lebih
regio kelenjar getah bening perifer (Limfadenopati perifer).
• Gejala konstutisional, demam tanpa sebab >38°C, keringat pada malam
hari, dan penurunan berat badan 10% dalam waktu 6 bulan.
• Gangguan orofaring : timbulnya keluhan sakit tenggorok atau nafas
berbunyi atau tersumbat. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur
orofaringeal (cincin Waldeyer).
• Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura
merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus.
Sitopenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.
10

• Keluhan Gastrointestinal :Hati dan limpa seringkali membesar dan


kelenjar getah bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena.
Saluran gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering
terkena setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri
abdomen akut. Keluhan pada lambung dapat juga terjadi.
• Gejala pada organ lain : kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit
juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum
dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

Anamnesis yang dapat digali lainnya, meliputi:9,12


• Penyakit autoimun (SLE, sjorgen, rheumatoid)
• Kelainan darah
• Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)
• Keadaan defisiensi imun.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dapat dilihat dari pembesaran kelenjar getah bening di
seluruh tubuh, yang biasanya terjadi pada leher, ketiak dan lipat paha, serta
kelainan/pembesaran organ ekstralimfatik seperti hepatomegaly, splenomegali.9,11

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pendekatan evaluasi diagnostik untuk pasien dengan LNH, meliputi:1,4
a. Laboratorium
a) Hematologi
Darah perifer lengkap : Pada pemeriksaan darah lengkap seorang
LNH dapat dijumpai kondisi sebagai berikut:9
Ø Anemia normokromik normositik, keterlibatan sumsum tulang
jarang terjadi pada penyakit awal, tetapi jika terjadi, kegagalan
sumsum tulang dapat terjadi dengan anemia leukositroblastik.
Ø Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum
tulang, mungkin terdapat netropenia, eosinophilia,
11

trombositopenia (khususnya jika limpa membesar), atau


gambaran leukoeritroblastik.
Ø Jumlah trombosit normal atau meningkat selama awal penyakit,
dan berkurang pada tahap selanjutnya.
Ø Tingkat sedimentasi eritrosit (ESR) dan protein C-reaktif
biasanya meningkat. ESR berguna dalam memantau
perkembangan penyakit.
Gambaran darah tepi : Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel
zona selubung, sel limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan
kelainan inti yang bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi
beberapa pasien.
b) Urinalisa : pemeriksaan urin lengkap
c) Kimia klinik : Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji
fungsi hati yang abnormal mengesankan adanya penyakit
diseminata. Kadar LDH serum meningkat pada penyakit yang lebih
cepat berproliferasi dan luas serta dapat digunakan sebagai suatu
petanda prognostik.

b. Biopsi eksisional atau core biopsy Kelenjar Getah Bening


• Untuk menentukan penderita LH atau LNH. Biopsi KGB dilakukan
cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superfisial yang representatif,
maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar
getah bening yang diperiksa disarankan dari leher dan supraclavicular,
pilihan kedua adalah axilla dan terakhir inguinal. Spesimen kelenjar
rutin diperiksa berupa histopatologi yang sesuai klasifikasi WHO
terbaru, yaitu REAL-WHO dan Working Formulation. Pemeriksaan
khusus dapat dilakukan immunohistokimia.
• Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup
hanya dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit di
biopsi, maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan
teknik lain seperti flowcytometri dapat mencukupi untuk diagnosis.
12

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi
spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Biopsi trephin sumsum
tulang menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus. Keterlibatan sumsum
tulang lebih sering ditemukan pada limfoma maligna derajat rendah.
d. Radiologi
• Untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan foto toraks dan CT scan
toraks/abdomen
• Untuk pemeriksaan khusus dilakukan USG Abdomen, limfografi, dan
limfosintigrafi
e. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika
dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di
samping pemeriksaan rutin lainnya

2.8 Penatalaksanaan
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma
dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk
menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk
LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut: 10
1. Radioterapi
a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Untuk ajuvan pada bulky disease
c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
• CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,
prednison)
• CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
• COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue)
13

• CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)


• C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine)
ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
• COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
• Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
• M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
• COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
• ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with
leucovorin rescue, doxorubicine, doxorubicine,
cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycin,
vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).
• MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednison,
bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi
kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi
kombinasi lain. Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian
tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi
kedua dan ketiga jarang digunakan.
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
14

Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,


dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi
untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang
masih kontroversial.
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit
B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu
memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung
digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH
agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5

Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian


ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit,
sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan
anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi
DLCL.9,11,10

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat langsung penyakitnya:
• Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf
• Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Komplikasi akibat terapi:
• Radioterapi
Dapat menimbulkan nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid.
• Kemoterapi
Dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas dan timbulnya
keganasan hematologik sekunder.11,13
15

2.10 Prognosis
Prognosis LNH dapat beraneka ragam karena merupakan sekumpulan
kelainan yang beraneka ragam pula. Prognosis LNH dapat dibagi menjadi : 9,10
1. Indolent Lymphoma terjadi pada sekitar 30-40% Limfoma.
Indolent Lymphoma memiliki prognosis yang relatif baik, dengan
median survival 7-10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen
adalah follicular lymphoma, small lymphocytic leukemia, dan
chronic lymphocytic leukemia.
2. Moderately aggressive incurable non-Hodgkin Lymphomas
memiliki median survival 3-4 tahun, sering dijumpai pada derajat
lanjut. Contohnya mantle cell lymphoma.
3. Agresif Lymphoma memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek,
namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan
kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada
pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok
Indolen maupun Agresif.1
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi
outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi
regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi
prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan
jumlah lokasi ekstra nodal.10

Tabel 5. Indeks Prognostik Internasional Pasien LNH


Faktor risiko Skor
Usia > 60 tahun 1
Stadium III atau IV 1
Peningkatan LDH 1
≥ 2 lokasi ekstralimfatik 1
Status kinerja (ECOG ≥ 2) 1
16

Tabel 6. Prognosis LNH Agresif Berdasarkan Skor IPI


IPI Score
Expected complete Predicted 2 –years Predicted 5- years
Remission Survival rate survival rate
0-1 87 84 73
2 67 66 51
3 55 54 43
4-5 44 34 26
17

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : SH
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Puspalaya Pringgarata Lombok Tengah
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 18-02-2019
Tanggal Pemeriksaan : 20-02-2019
No. RM : 19007513

II. Anamnesis
Keluhan utama : Benjolan Pada leher, ketiak dan lipatan paha
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan rujukan dari RSUD Provinsi NTB datang ke RSUP
Sanglah pada tanggal 18 Februari 2019 dengan keluhan muncul benjolan
pada leher, ketiak dan lipat paha sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan
dirasakan semakin membesar dengan konsistensi keras, mobile dan tidak
nyeri. Awalnya benjolan pertama kali muncul 1 tahun yang lalu pada lipat
paha kiri berjumlah 1 buah, kemudian pasien ke dokter dan disarankan
operasi serta diberikan obat, setelah diberikan obat benjolan mulai
mengecil. Setelah 6 bulan kemudian mulai muncul benjolan baru yang
dirasakan pertama kali pada leher kiri sebanyak 2 buah, kemudian di
ketiak kanan 1 buah, dan di lipatan paha kanan. Tidak ada yang
memperberat dan memperingan keluhan pasien.
Pasien juga mengeluhkan perut terasa penuh sejak ± 5 bulan yang lalu
saat pasien pergi ke Sumatera. Dahulu saat di Sumatera keluhan dirasakan
18

hilang timbul namun saat ini setelah di rawat di RSUP Sanglah keluhan
dirasakan terus menerus. Keluhan dirasakan seperti perut diremas-remas
dan bertambah berat saat pasien makan. Keluhan dirasakan sangat
mengganggu sehingga pasien tidak bisa tidur. Pasien sempat
mengkonsumsi obat maag untuk nyeri perutnya namun dirasakan tidak
membaik. Keluhan dirasakan membaik saat punggung diganjal dengan
bantal.
Pasien juga mengalami penurunan berat badan sejak 6 bulan yang lalu,
berat dikatakan turun sekitar ± 12 Kg. Dikatakan tidak ada perubahan pada
nafsu makan pasien, porsi makan pasien dikatakan seperti biasanya.
BAB dikatakan sulit sejak 6 bulan yang lalu, BAB dikatakan keluar
setiap 3-5 hari sekali. Saat diperiksa, pasien sudah BAB setelah diberikan
obat. Nyeri saat BAB dan BAB berdarah disangkal, konsistensi BAB
dikatakan normal. BAK dikatakan normal, tidak ada nyeri. Keluhan
demam, dan berkeringat di malam hari disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sempat dirawat di RSUD Provinsi NTB untuk dilakukan biopsy
pada bejolan di leher, sebelum dirujuk ke RSUP Sanglah. Riwayat infeksi
penyakit TB, gangguan ginjal, gangguan hati dan keganasan disangkal
oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit TB, hepatitis, dan riwayat penyakit keganasan pada anggota
keluarga disangkal.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien merupakan seorang petani dan sudah menikah. Riwayat
merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status Present
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
19

Tekanan Darah : 110/70 mmHg


Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu Aksila : 36,50 C
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 45 kg
BMI : 16,52 kg/m2
2. Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterus (-/-),
Edema palpebra (-/-)
THT : Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-)
Tenggorokan : Tonsil (T1/T1) Hiperemis faring (-)
Mulut : Gusi berdarah (-), sianosis (-)
Leher : Pada leher kiri terdapat pembesaran kelenjar getah
bening (+) sewarna kulit, berjumlah dua, berbentuk
buat, berbatas tegas, berukuran 2x1,5 cm,
permukaan rata dan licin, tidak teraba hangat dan
berbau, berkonsistensi kenyal.
Aksila : pada aksila kanan teraba perbesaran kelenjar getah
bening (+) sewarna kulit, berjumlah satu, bentuk
bulat, berbatas tegas, berukuran 3x 2 cm,
permukaan rata dan licin, tidak teraba hangat dan
berbau, konsistensi kenyal.

Thoraks :
Cor : Inspesksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan jantung : PSL dekstra
Batas kiri jantung : MCL sinistra ICS
V
Batas atas jantung : setinggi ICS II
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, Murmur (-)
20

Pulmo : Inspeksi : Simetris, retraksi (-)


Palpasi : Vocal fremitus normal
Perkusi : sonor/sonor
sonor/sonor
sonor/redup
Auskultasi : vesicular , Rh , Wh

Friction rub (+)


Abdomen : distensi (-), ascites (-), shifting dullness (-), nyeri
tekan (+) di area epigastrium, hipokondriak kanan
dan hipokondriak kiri. Teraba massa berbentuk
lonjong di regio epigastrium, hipokondriak kiri
hingga ubilikalis, berukuran ± 10x15 cm,
permukaan rata, tidak teraba hangat, konsistensi
keras dengan batas tegas.
Hepar : Tidak teraba pembesaran hepar
Lien : Teraba pembesaran lien, schuffner III
Ekstremitas : Hangat Edema - -
- -


Lokasis : pada lipatan paha kanan teraba perbesaran kelenjar
getah bening (+) sewarna kulit, berjumlah satu ,
bentuk bulat, berbatas tegas, berukuran 3x4 cm,
permukaan rata dan licin, tidak teraba hangat dan
berbau, konsistensi kenyal.
pada lipatan paha kiri teraba perbesaran kelenjar
getah bening (+) sewarna kulit, berjumlah dua,
bentuk bulat, berbatas tegas, berukuran 2x2 cm,
21

permukaan rata dan licin, tidak teraba hangat dan


berbau, konsistensi kenyal.

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Lengkap (18-02-2019)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
WBC 11.46 10µ/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

NE% 84.82 % 47 - 80 Tinggi

LY% 7.05 % 13 - 40 Rendah

MO% 7.10 % 2.0 - 11.0

EO% 0.29 % 0.0 - 5.0

BA% 0.73 % 0.0 - 2.0

NE# 9.72 10µ/µL 2.50 - 7.50

LY# 0.81 10µ/µL 1.00 - 4.00 Rendah

MO# 0.81 10µ/µL 0.10 - 1.20

EO# 0.03 10µ/µL 0.00 - 0.50

BA# 0.08 10µ/µL 0.0 - 0.1

RBC 5.68 106/µL 4.5 - 5.9

HGB 14.26 g/dL 13.5 - 17.5

HCT 44.70 % 41.0 - 53.0

MCV 78.76 fL 80.0 - 100.0 Rendah

MCH 25.13 pg 26.0 - 34.0 Rendah

MCHC 31.90 g/dL 31 - 36

RDW 12.06 % 11.6 - 14.8

PLT 286.10 10µ/µL 150 - 440

2. Tes Fungsi Hati, Tes Fungsi Ginjal, dan Elektrolit (18-02-2019)


Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

SGOT 72.8 U/L 11.00 - 33.00 Tinggi


22

SGPT 17.10 U/L 11.00 - 50.00

Albumin 4.00 g/dL 3.40 - 4.80

GDS mg/dL 70 - 140

BUN 28.20 mg/dL 8.00 - 23.00 Tinggi

Kreatinin 1.20 mg/dL 0.70 - 1.20

Natrium 134 mmol/L 136 - 145 Rendah

Kalium 4.35 mmol/L 3.50 - 5.10

3. Kimia Darah (18-02-2019)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

LDH 1465 U/L 240 - 480 Tinggi


Asam Urat 9.5 mg/dL 2.00 – 7.00 Tinggi

4. Foto Thorax PA (18-02-2019)

Cor : tidak valid di evaluasi karena batas kiri jantung tertutup


perselubungan
23

Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul. Corakan bronchovaskuler


normal
Tampak perselubungan pada basal helimthorax kiri dengan pelebaran
pleural space
Sinus pleura kanan tajam kiri tertutup perselubungan
Diaphragma kanan normal, kiri tertutup perselubungan
Tulang-tulang : tidak tampak lesi litik maupun blastik
Kesan: Efusi pleura kiri suspek pleural effusion type pulmonary
metastase

5. USG Abdomen (01-02-2019)

Tampak pembesaran KGB multipel pada paraaorta ukuran terbesar


3,8cm.
Lien tampak membesar, tampak nodul multipel ukuran terbesar 7,3
cm.
Liver : ukuran normal, permukaan rata, tepi tajam
Echoparenchym meningkat diffuse, tak tampak
nodule/abscess.
Vaskuler normal, IHBD/CBD normal.
Gall Bladder : Dinding normal tak tampak batu.
Pancreass : Normal
24

Gaster : Tak tampak massa.


Ren D/S : Normal, tak tampak batu/ectasis
Buli-buli : Normal, tak tampak batu
Prostat : Normal
Tak tampak cairan bebas cavum abdomen

Kesan: Lymphadenopati multipel paraaorta + nodul multipel


pada lien, Lymphoma maligna.

6. Biopsi (19-01-2019)
Mikroskopik :Sediaan berupa potongan jaringan mengandung
struktur kelenjar getah bening. Tampak ploriferasi
sel-sel bulat yang membentuk struktur vaguely
nodular dan sinsisial, sebagian difus dengan batas
tidak tegas. Sel-sel tersebut berbentuk bulat,
berukuran besar, dengan N/C ratio meningkat,
membrane inti irreluger dan anak inti prominen,
sitoplasma sebagian eosinofilik. Disekitarnya
tampak sebaran padat sel-sel limfosit, dan sel
plasma. Mitosis >20/10HPF.
Kesimpulan : Colli, biopsi: Malignant round cell tumor dd/

- Metastase suatu karsinoma nasofaring.

- Non Hodgkin Lymphoma

V. Diagnosis Kerja
1. LNH stage IV
• Splenomegali
2. Konstipasi

VI. Planing Terapi


1. IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
2. Laxadin 15 cc tiap 8 jam per oral
3. Kemoterapi CHOP

• Cyclophospamide 750mg/m2 hari 1


25

• Hydroxydaunomycin (Adriamycin) 50mg/m2 IV hari 1


• Oncovin (vincristine) 2mg/m2 IV hari 1 dan 5
• Prednisone 3x100mg oral hari 1-5

Planing Monitoring
1. Keluhan
2. Vital Sign
26

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Limphoma Non Hodgkin dapat ditegakkan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien
berusia 34 tahun, secara epidemiologis, kasus baru LNH paling sering terdiagnosa
pada usia 65 – 74 tahun dan hanya 16% kasus pada pasien berusia dibawah 35
tahun. Pasien bekerja sebagai petani dimana salah satu faktor risiko LNH adalah
paparan bahan kimia dan obat-obatan yang termasuk pestisida. Tidak ditemukan
adanya riwayat terinfeksi EBV pada pasien.
Saat datang ke UGD RSUP Sanglah, keluhan utama pasien adalah adanya
benjolan di leher, ketiak dan lipatan paha yang bersifat kenyal serta tidak nyeri.
Keluhan utama pasien dengan LNH adalah pembesaran kelenjar, tidak nyeri dan
rubbery-like sesuai dengan paparan kasus diatas. Urutan pembesaran kelenjar
yang tersering pada pasien dengan limfoma maligna adalah leher (60-70%), aksila
(10-15%), inguinal (6-12%), mediastinal (6-11%), kelenjar para-aorta dan
retroperitoneal. Gejala konstitusional seperti berkeringat pada malam hari, dan
demam subfebris yang berlangsung terus menerus tidak ditemukan pada pasien
namun penurunan berat badan > 10% ditemukan pada pasien yang terjadi > 6
bulan terakhir. Akan tetapi, gejala konstitusional ini lebih jarang ditemukan pada
pasien dengan LNH dibandingkan pada pasien dengan penyakit Hodgkin.
Pada kasus, saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan adanya benjolan
di daerah leher, ketiak dan lipatan paha, tidak nyeri serta bersifat kenyal.
Pembesaran kelenjar/limfadenopati pada LNH, tidak nyeri, dan padat kenyal
seperti karet sesuai dengan deskripsi pada kasus.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakan diagnosis pada
kasus ini diantaranya melalui pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks dan
dilakukan biopsy eksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Hasil
pemeriksaan darah lengkap pada kasus menunjukan adanya limfopenia, hal ini
sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa limfopenia dapat
dijumpai pada fase-fase lanjut dari LNH. Limfopenia pada LNH terjadi karena
adanya mutasi ganas pada salah satu tingkat perkembangan limfosit yang
27

menyebabkan tidak terbentuknya limfosit-limfosit normal sehingga jumlah


limfosit akan berkurang. Pada pemeriksaan darah tidak ditemukan adanya
leukopenia dan trombositopenia yang mengarahkan pada infilltrasi sumsum tulang
yang luas. Pada pemeriksaan serum darah dijumpai adanya peningkatan LDH. Hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kadar LDH serum meningkat
pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan luas serta dapat digunakan
sebagai suatu petanda prognostik.
Selain itu pada kasus juga dilakukan pemeriksaan biopsi dan didapatkan
adanya potongan tumor yang terdiri dari sel-sel bulat yang membentuk struktur
vaguely nodular dan sinsisial, sebagian difus dengan batas tidak tegas. Sel-sel
tersebut berbentuk bulat, berukuran besar, membrane inti irreluger dan anak inti
prominen, sitoplasma sebagian eosinofilik. Disekitarnya tampak sebaran padat
sel-sel limfosit, dan sel plasma. Hasil pemeriksaan ini menunjukkan adanya
malignant round cell tumor, yang mengarah ke Non Hodgkin Lymphoma.
Berdasarkan tinjauan pustaka diagnosis LNH harus ditegakkan dari
pemeriksaan histologi biopsi eksisi kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Penentuan stadium atau derajat berdasarkan klasifikasi Ann-Arrbor
yaitu pada derajat IVA jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi
secara difus tanpa gejala konstutional seperti demam, penurunan berat badan,
berkeringat pada malam hari. Pada pasien ditemukan benjolan di daerah leher,
ketiak dan lipatan paha, tidak nyeri, bersifat kenyal, disertai penurunan berat
badan, namun tidak disertai berkeringat di malam hari. Berdasarkan pemeriksaan
USG Abdomen didapatkan Lymphadenopati multipel paraaorta dan nodul
multipel pada lien, yang mengesankan Lymphoma maligna.
Pada kasus, pasien LNH derajat IVA diberikan kemoterapi kombinasi
generasi I, yaitu CHOP. Obat Laxidin diberikan pada pasien untuk mengobati
gejala konstipasi, dimana sebelum ke RSUP Sanglah pasien sangat sulit BAB
teratur. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka, terapi untuk LNH terdiri atas
terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk
meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping
kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam
bentuk, yaitu radioterapi, kemoterapi, transplantasi sumsum tulang dan
28

transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan


kesembuhan jangka panjang, kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai
peripheral blood stem cell transplantasi, serta terapi dengan imunomodulator.
Dimana dari perkembangan terapi sampai saat ini kemoterapi kombinasi CHOP
terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. Penambahan
jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan.
Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan.
29

BAB V
KESIMPULAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit


yang dapat berasal dari limfosit B dan limfosit T yang merupakan penyakit yang
sangat heterogen dilihat dari segi patologis, manifestasi klinis, respon terhadap
terapi dan penyebarannya.
Etiologi Limfoma Non-Hodgkin sebagian besar tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Limfoma Non-
Hodgkin, yaitu Usia, jenis kelamin, genetic, paparan bahan kimia dan obat
tertentu, penurunan fungsi imun, penyakit autoimun, infeksi virus, infeksi bakteri.
Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin bisa didapatkan melaui amanmnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise
umum, dan pada pemeriksaan labratorium biasanya ditemukan lympopenia dan
anemia. Namun untuk penegakan diagnosis pasti Limfoma Non-Hodgkin adalah
dengan melakukan pemeriksaan histologi biopsi eksisi (excisional biopsy)
kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Stadium dari LNH dapat dibagi
menjadi 4 stadium dengan atau tanpa gejala konstusional.
Penanganan dengan kemoterapi dan komplikasi penyakit dengan tepat,
serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan dapat
membantu mencegah perburukan kondisi dan metastase sehingga meningkatkan
kualitas hidup pasien. Terapi spesifik yaitu radioterapi, kemoterapi (CHOP),
transplantasi sumsum tulang, transplantasi sel induk, imunomodulator, dan
targeted therapy.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2018. Available at


https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and-
statistics/annual-cancer-facts-and-figures/2018/cancer-facts-and-figures-
2018.pdf.
2. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan
Limfoma Non-Hodgkin. 2016.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. SEER Cancer Stat Facts: Non-Hodgkin Lymphoma. National Cancer
Institute. Bethesda, MD, Available at
https://seer.cancer.gov/statfacts/html/nhl.html
4. Sutrisno, H. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-
Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam.
2010. Volume 2; 96-102
5. Setioyohadi, B. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009. 1251-1260.
6. Chiu B.CH., Hou N. Epidemiology and Etiology of Non-Hodgkin
Lymphoma. In: Evens A., Blum K. (eds) Non-Hodgkin Lymphoma. Cancer
Treatment and Research. Springer, Cham. 2015.Vol 165. p1-25.
7. American Cancer Society. About Non-Hodgkin Lymphoma; 2016. 1-96.
8. Lowry L, Linch D. Non Hodgkin’s Lymphoma. Medicine. 2013.Volume 41,
Issue 5, 282-289. Available at
https://www.medicinejournal.co.uk/article/S1357-3039(13)00075-3/abstract
9. Hoffbrand A.V., Moss P.A.H. Hoffbrand’s essential haematology. Edisi VII.
Penerbit : Wiley-Blackwell. 2016. p. 214-225
10. Nogai, H et al. Pathogenesis of Non-Hodgkin’s Lymphoma. Journal of
Clinical Oncology. 2011. Vol 29. Number 14. (1803-1811)
11. Bakta IM. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I. Jakarta:
EGC;. 2007. p.192- 219.
12. Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma.
Lancet.; 2012.380: 848–857.

You might also like