You are on page 1of 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Vertebrae cervical

Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang merupakan sebuah struktur

yang lentur dan dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut ruas tulang belakang. Tiap

antara dua ruas tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Jumlah seluruhnya yaitu

33 ruas tulang yang terdiri dari 7 ruas vertebrae cervical, 12 ruas vertebrae thoracal, 5

ruas vertebrae lumbal, 5 ruas vertebrae sacrum, dan 4 ruas vertebrae cocygeus. Kolumna

vertebrae memperlihatkan bentuk kurva jika dilihat dari samping, yaitu daerah cervical

melengkung ke depan, daerah thoracal melengkung ke belakang, daerah lumbal

melengkung ke depan, dan daerah pelvis melengkung ke belakang. Semua daerah

vertebrae memiliki persamaan struktur dasar. Tiap vertebrae terdiri dari corpus,

processus articularis superior dan inferior (Yuyun Yueniwati, 2014).

Keterangan:
1 6 1. Vertebrae cervical
2. Vertebrae Thoracal
3. Vertebrae Lumbal
4. Vertebrae Sacrum
2 7
5. Vertebrae Coccygeus
6. Cervical curve (Lordotic curve)
7. Thoracal curve (Kyphotic curve)
8. Lumbal curve (Lordotic curve)
8 9. Sacrum dan coccygeus curve
3
(Kyphotic curve)
4 9
5

Gambar 2.1 Susunan dan Kurvatura Kolumna Vertebralis (Long et al, 2012)

6
7

Tujuh ruas vertebrae pertama dikenal sebagai vertebrae cervical. Dua

vertebrae cervical pertama dikenal dengan atipikal karena dimodifikasi secara

struktural yang terhubung dengan cranium. Vertebrae cervical ketujuh disebut

pula atipikal dan sedikit dimodifikasi untuk bergabung dengan vertebrae thoracal.

Vertebrae cervical ke – 3 hingga ke – 6 (C3 – C6) disebut tipikal (Long et al.,

2012).

Vertebrae cervical mewakili 22% dari segmen C1 – S1 dengan volume 9

cm3 saat lahir yang berakhir pertumbuhan dengan 110 cm3. Saat lahir tinggi tiap

cervical adalah 3,7 cm dan terus bertumbuh hinggan 12 – 13 cm pada akhir

pertumbuhan. Panjangnya bertumbuh hampir empat kali lipat. Membedakan

antara cervical bagian atas (C1 – C2) dan bagian bawah sangat diperlukan

(Combers, 2010).

Vertebrae cervical menunjukkan sedikit kemiripan dengan vertebrae

lumbal ataupun thoracal yang lebih khas pada penampilannya. Meskipun pada

sebagian besar bagian yang membentuk tipe vertebrae yang khas, beberapa

vertebrae memiliki karakteristik yang unik, seperti ujung processus spinosus ada

foramen bifida transversal dan corpus vertebrae yang overlapping. Setiap

lanjutan dari tiap vertebrae cervical selanjutnya membentuk ukuran yang semakin

membesar hingga pada vertebrae cervical ketujuh (Lampignano and Kendrick,

2018).
8

10
1 Keterangan:
1. Processus odontoideus (C2)
2 2. C1 (atlas)
9 3. C2 (axis)
3
4. C3
4 5. Processus spinosus bifida
5 6. Processus transversus
7. C7 (prominens)
6
8. Processus spinosus (C7)
9. Processus articularis superior (C2)
10. Processus transversus (C1)
7

Gambar 2.2 Anatomi cervical (Lampignano and Kendrick, 2018)

C1 (atlas) dan C2 (axis) memiliki bentuk yang berbeda. C3 – C6

merupakan vertebrae tipikal. C7 atau vertebrae cervical terakhir disebut juga

vertebrae prominens memiliki banyak ciri seperti vertebrae thoracal, termasuk

processus spinosus yang ekstra panjang dan horizontal yang dapat diraba pada

pangkal leher. Penanda tulang yang teraba ini berguna untuk penentuan posisi

radiografi (Lampignano and Kendrick, 2018).

Keterangan:
1. Posterior arch
2. Processus transversus
3. Processus articularis
superior dan facet
4. Transverse atlantal
ligament
5. Anterior arch
6. Odontoid
7. Lateral mass
8. Foramen transversus (for
vertebral artery and vein)

Gambar 2.3 Anatomi Atlas (C1) aspek superior (Long et al., 2012)
9

Atlas merupakan sebutan untuk vertebrae cervical pertama yang memiliki

struktur seperti cincin tanpa corpus dan processus spinosus yang sangat pendek.

Atlas terdiri dari beberapa bagian, yaitu anterior arch, posterior arch, dua massa

lateral, dan dua processus transversal. Anterior dan posterior arch membentang

diantara massa lateral serta ligamentum atlantal transversal, yaitu cincin yang

dibentuk oleh arch dibagi menjadi bagian anterior dan posterior oleh ligamen.

Bagian anterior dari cincin menerima dens (processus odontoid) dari axis, dan

bagian posterior mentrasmisikan proximal spinal cord. Tulang atlas tidak memiki

corpus dan sebagai struktur utamanya adalah massa lateral yang disebut dengan

pilar artikular. Processus tranversus dari atlas tampak lebih panjang daripada

dengan vertebrae cervical lainnya dan menonjol ke lateral serta sedikit ke inferior

dari bagian lateral. Terdapat processus articularis superior dan inferior pada

setiap massa lateral. Processus superior pada bidang horizontal, berukuran besar

dan cukup cekung serta dibentuk untuk menerima kondilus dari tulang occiptal

cranium (Long et al., 2012).

Keterangan:
1. Processus odontoid (dens)
2. Ligament atlantal transversus
3. Processus transversus
4. Posterior arch (with posterior
tubercle)
5. Superior facet (part of
atlantoccipital joint with skull)
6. Processus articularis superior
7. Lateral mass
8. Anterior arch (with posterior
tubercle)

Gambar 2.4 Anatomi Axis (C2) aspek posterior superior (Lampignano and
Kendrick, 2018)
10

Vertebrae cervical kedua (C2) atau disebut juga dengan axis, mempunyai

struktur yang lebih kompleks dan memiliki struktur berbeda dengan adanya

processus odontoideus biasa disebut dengan “dens” (gigi) yang terproyeksi ke

arah kranial dari permukaan anterior dari corpus. Atlanta dens interval merupakan

ruang antara processus odontoideus dan arcus anterior dari os atlas yang

memiliki ukuran tidak lebih dari 3 mm pada orang dewasa ketika kepala

melakukan gerakan fleksi – ekstensi dan untuk anak – anak diperkirakan memiliki

jarak sebesar 4 mm pada posisi fleksi. Dens bersendi pada arcus anterior os atlas

dengan ligamen transversum atlantis, sendi tersebut memungkinkan os atlas dapat

bergerak berputar pada saat menggelengkan kepala. Facet articularis superior

dari os atlas bersendi dengan condylus occipital sehingga dapat menghasilkan

gerakan mengangguk (Yuyun Yueniwati, 2014).

Axis memiliki ciri yaitu dens seperti gigi besar yang memanjang ke

superior dari corpus vertebrae. Permukaan dens anterior memiliki segi oval untuk

artikulasi dengan arcus anterior dari atlas. Kedua permukaan superolateral dens

memiliki kesan melingkar yang memiliki fungsi sebagai tempat perlekatan untuk

ligamen alar yang kuat yang terdapat satu di setiap sisi menghubungkan dens ke

medial permukaan kondilus occipital. Ligamen alar ini dapat memberika rotasi

yang cukup banyak pada kepala dan atlas relatif terhadap axis (Drake et al.,

2019).

Processus odontoideus berperan sebagai poros atau corpus atlas. Setiap

sisi dari dens pada permukaan superior corpus vertebrae terdapat processus

articularis superior yang disesuaikan untuk bergabung dengan processus

articularis inferior dari atlas. Sendi tersebut berbeda pada posisi dan arah dari
11

sendi zygapophyseal cervical lainnya yang dapat divisualisasi dengan jelas pada

proyeksi anteroposterior (AP) jika pasien berada pada posisi yang tepat. Lamina

dari axis tebal dan lebar serta processus spinosus berada pada posisi horizontal

(Long et al., 2012).

Hubungan C1 dengan dasar dari tengkorak secara klinis penting karena

jika terjadi cedera pada bagian tersebut dapat mengakibatkan kelumpuhan bahkan

kematian. Arcus anterior C1 yang terletak di depan dens tidak terlihat pada

proyeksi AP open mouth karena merupakan tulang yang tipis dibandingkan dens

yang padat (Lampignano and Kendrick, 2018).

Vertebrae cervical ketujuh merupakan bentuk peralihan dari vertebrae

thoracal. Ciri khususnya yaitu memiliki processus spinosus lebih panjang dan

tidak bercabang, terproyeksi horizontal hingga terletak subkutan di dasar leher. C7

ini memiliki bentuk segi empat dengan ukuran yang semakin membesar kebawah

untuk menopang vertebrae terhadap berat kepala, leher dan anggota bagian atas

sedangkan bentuk dari arcusnya seperti segitiga. Processus spinosus pada C7

relatif panjang sedangkan processus spinosus pada vertebrae cervical lainnya

relatif pendek dan bercabang dua dan processus tranversusnya ada foramen yang

disebut juga foramen transversum. Ciri pembeda lainnya yaitu pada C7 dilewati

saraf cervicalis 7 di bagian superior dan saraf cervicalis 8 di inferiornya (Yuyun

Yueniwati, 2014).

Vertebrae cervical tipikal (C3 – C6) mempunyai ciri corpus yang kecil,

terletak melintang serta lonjong dengan batas anteroinferior agak memanjang

yang mengakibatkan anteroposterior dari corpus overlapping dengan kolum

articularis. Processus tranversus pada cervical tipikal ini dibentuk dari sebagian
12

sisi dari corpus dan sebagian lagi berasal dari arcus vertebrae. Processus tersebut

pendek dan lebar yang terdapat foramen tranversal berfungsi untuk transmisi

arteri dan vena vertebralis serta terdapat cekungan yang dalam dari permukaan

atas bagian dari syaraf tulang belakang. Vertebrae cervical semuanya terdapat tiga

macam foramen, yaitu foramen transversal kanan dan kiri serta foramen

vertebralis (Long et al., 2012).

Vertebrae tipikal terdiri dari corpus vertebrae dan arcus vertebrae

posterior. Lanjutan dari arcus vertebrae yaitu sejumlah processus yang digunakan

untuk perlekatan dan artikulasi otot dengan tulang yang berdekatan. Corpus

vertebrae yaitu bagian yang menahan beban dari vertebrae dan dihubungkan ke

corpus vertebrae yang berdekatan oleh cakram dan ligamen intervertebralis.

Seiring jumlah beban yang didukung meningkat maka ukuran corpus vertebrae

meningkat secara inferior. Bagian lateral dan posterior dari foramen vertebrae

dibentuk oleh arcus vertebrae. Foramen vertebrae dari semua vertebrae secara

bersamaan membentuk kanal vertebralis yang berisi dan melindungi sumsum

tulang belakang. Pada bagian atas, kanal vertebrae lanjutan yang melewati

foramen magnum dari cranium dengan rongga tengkorak kepala (Drake et al.,

2019).

Pedicle dari vertebrae cervical tipikal diproyeksikan ke arah lateral dan

posterior dari corpus, superior dan inferior vertebral notches hampir sama

kedalamannya. Lamina pada vertebrae cervical sempit dan tipis. Vertebrae

cervical memiliki processus yang pendek, ujung seperti tanduk ganda (bifida), dan

tepat di bagian posterior dan hampir inferior. Ujungnya jelas pada level

interspace dibawah corpus pada vertebrae yang timbul (Long et al., 2012). Antara
13

corpus vertebrae dan asal mula dari processus articularis, setiap pedicle berlekuk

pada permukaan superior dan inferiornya. Lekukan ini berpartisipasi dalam

pembentukan foramen intervertebralis (Drake et al., 2019).

Foramen intervertebralis dapat diidentifikasi dengan pedicle yang

membentuk batas superior dan inferior dari foramen tersebut. Foramen tersebut

terletak pada sudut 45o pada bidang midsagital, terbuka ke arah anterior dan

mengarah pada sudut inferior sebesar 15o akibat dari overlapping vertebrae

cervical. Akibat hal tersebut, posisi oblique 45o yang dikombinasikan dengan arah

sumbu sinar – X15o diperlukan pada saat memerlukan demonstrasi dari foramen

intervertebralis cervical secara radiografi (Lampignano and Kendrick, 2018).

B. Biomekanika Cervical

Menurut Dharmajaya (2017) sistem kepala – leher terdiri dari tujuh

vertebrae cervical dan memiliki anatomi yang unik dan pergerakan untuk

mengakomodasi kebutuhan mobilitas kepala – tubuh yang tinggi pada zoma

transitori. Dari segi kinematika, sistem ini sangat kompleks. Fungsi utama tulang

belakang sebagai unit kerjasama, dan kinematika leher dapat dianalisa dengan

mempelajari pergerakan kepala terhadap tubuh bagian atas.

Pergerakan cervical pada setiap arah titik dibatasi oleh tahanan anatomi

yang melindungi korda spinalis dan struktur vaskuler. Gangguan pada bagian

mekanik dan anatomi dapat menyebabkan simptom klinis. Perubahan terkait usia

dapat memodifikasi anatomi dan kesejajaran cervical, secara drastis dapat

mengurangi jarak pergerakan.

Untuk menganalisis, mengerti dan memperbaiki perbedaan – perbedaan

malfungsi pada vertebrae cervical, pengertian dari karakteristik dan fungsi normal
14

sangat normal. Ketiga fungsi dari vertebrae antara lain untuk menyokong tubuh

dan kepala, melindugi elemen sistem saraf, dan memungkinkan pergerakan –

pergerakan tubuh yang kompleks. Beberapa terminologi kinematika vertebrae

yang perlu diketahui, antara lain:

1) Translasi: pergerakan tubuh yang kaku dimana sumbu lurus tetap pada posisi

pararel.

2) Rotasi: pergerakan tubuh yang kaku, dimana sumbu lurus tidak selalu berada

pada posisi pararel.

3) Center of Rotaton (COR): ketika tubuh bergerak kesatu arah, ada satu titik

yang tidak bergerak.

4) Degrees of Freedom (DOF): jumlah koordinat independen pada sistem

koordinat yang dibutuhkan untuk spesifikasi posisi suatu objek.

5) Posisi netral: postur erect vertebrae dimana stres internal pada kolumna

vertebrae dan effort muskular untuk menyangga postur diminimalkan.

6) Range of Motion (ROM): jarak pergerakan fisiologis intervertebra yang

dihitung dari posisi netral. Dibagi menjadi dua bagian, yaitu zona netral dan

zona elastik.

7) Zona netral: bagian dari gerakan fisiologi intervertebralis yang dihitung dari

posisi netral dimana resistensi internal yang terbentuk minimal. Zona ini

sangat fleksibel.

8) Zona Elastik: bagian dari gerakan fisiologi intervertebrae dihitung dari akhir

zona netral sampai limit akhir secara fisiologis. Zona ini sangat kaku.

Gerak dalam satu bidang pada tulang belakang cervical memerlukan

kontribusi gerak komplementer dari vertebrae individu pada bidang lainnya.


15

Rentang gerak cervical sekitar 80o – 90o fleksi, 70o ekstensi, 20o – 45o fleksi

lateral, dan rotasi sampai 90o pada kedua sisi. Namun, gerakan di cervical adalah

kompleks, karena gerakan uniplanar murni tidak secara akurat menggambarkan

gerakan antara level cervical, dan pergerakan ke dalam rentang apapun tidak

sederhana walaupun berupa gerakan yang sama dari satu vertebrae ke vertebrae

berikutnya.

Pada trauma dan proses degenerasi dapat mempengaruhi semua elemen

vertebrae yang dapat menyebabkan kerusakan parsial maupun komplit pada tiap

elemennya. Pada keadaan ini, akan terjadi perubahan karakteristik pergerakan

vertebrae cervical. Peningkatan kerusakan yang terjadi begantung pada arah

pegerakan. Perubahan yang paling besar terlihat rotasi aksial pada transeksi yang

berlawanan.

Kekuatan dan keutuhuan ligamen transversus menyediakan kestabilan

terhadap artikulasi C1 – C2. Kapsul artikuler antara C1 dan C2 yang longgar

memungkinkan gerakan rotasi maksimal dengan kebutuhan stabilitas minimal.

Walaupun secara klinis bagian C1 – C2 tidak stabil setelah kegagalan ligamen

transversus, resistensi terhadap dislokasi secara kasar disediakan oleh membran

tektorial dan ligamen apikal.

Kombinasi disrupsi ligamen alar dan kapsular digambarkan seperti

pengangkatan ligamen transversus sebagai usaha untuk menjelaskan efek

interaktif antar ligamen yang dapat menyebabkan subluksasi atlantoaksial.

Ligamen alar berinteraksi dengan ligamen kapsular yang utuh meningkatkan level

subluksasi atlantoaksial. Reseksi simultan ligamen transversus, alar dan kapsular

menyebabkan ketidakstabilan berat pada vertebrae cervical.


16

Stabilitas vertebrae dapat didefinisikasn sebagai kemampuan vertebrae

untuk menjaga relasi normal antar vertebrae dan memastikan gerakan harmonis

pada pemberian bebas, postur dan fisiologis. Pada kondisi normal, karakteristik

geometrik vertebrae, tekanan intradiskus normal, konfigurasi sendi, dan tarikan

ligamen bersamaan menjaga pergerakan tiap segmen yang stabil. Ketika kondisi

tersebut tidak terpenuhi, maka vertebrae menjadi tidak stabil.

Definisi yang dipakai dalam menetapkan ketidakstabilan vertebrae adalah

kehilangan ‘stiffness’ pada gerakan segmen sebagi respon terhadap berat. Secara

biomekanik, ‘stiffness’ diartikan sebagai perbandingan antara beban yang

diberikan dan hasil gerakan. Ketidakstabilan ini dapat merupakan akibat dari

trauma, penyakit degeneratif, dan lain – lain.

C. Patologi Cedera Traumatis pada Cervical

Vertebrae cervical merupakan bagian dari tulang belakang yang paling

banyak bergerak, sehingga termasuk bagian yang paling rawan dari konstruksi

tulang belakang. Trauma pada bagian cervical memiliki risiko tertinggi terjadinya

defisit neurologis akibat spinal cord injury (SCI) serta dapat menimbulkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Trauma tersebut insidennya cukup

bervariasi di seluruh dunia, banyak pasien dari trauma cervical dilakukan

pembedahan setelah terjadinya trauma, baik untuk stabilitas maupun dekompresi

spinal cord atau untuk menangani trauma lain yang menyertai (Hadley et al.,

2013).

Mekanisme cedera penting dalam mengidentifikasi jenis cedera yang

berisiko bagi pasien. Trauma merupakan penyebab paling umum dari cedera

cervical yang dapat disebabkan oleh kecelakaan bermotor, jatuh, trauma tumpul,
17

cedera terkait olahraga maupun menyelam. Cedera cervical ini dapat disebabkan

oleh fleksi, ekstensi, rotasi, kontusio, dan kompresi dari spinal cord. Cedera

cervical lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dengan prevalensi tertinggi

pada usia 15 – 30 tahun dan lebih tua dari 65 tahun. Penyebab yang paling umum

pada anak dibawah 15 tahun adalah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, dan

cedera yang berhubungan dengan olahraga. Area cedera yang umum terjadi pada

daerah C2, C5, C6, dan C7 (Torlincasi and Waseem, 2020).

Arah dan kekuatan gaya yang diberikan dapat memprediksi jenis cedera,

antara lain fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraction (peregangan),

kompresi (axial loading). Cedera yang parah mungkin pada awalnya tidak terlihat.

Lesi yang awalnya tampak tidak lengkap dapat berkembang menjadi lesi lengkap.

Pada cedera medulla spinalis, banyak proses patofisiologis yang terjadi. Hal ini

disebabkan oleh free radicals, edema vasogenik, dan perubahan aliran darah yang

mengakibatkan dekompensasi klinis (Torlincasi and Waseem, 2020).

Cedera vertebrae menurut kestabilannya dibagi menjadi dua, yaitu cedera

stabil dan cedera tidak stabil. Untuk cedera stabil jika hanya bagian medulla

spinalis anterior yang terkena tekanan, komponen dari vertebrae tidak bergeser

dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla

spinalis tidak terganggu, contohnya yaitu fraktur kompresi dan burst fraktur.

Pengertian dari cedera tidak stabil yaitu cedera yang dapat bergeser dengan

gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek. Kondisi ketika

fraktur medulla spinalis tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen

posterior (Wahyuni, 2012).


18

Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan

radiografi. Ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan dalam menilai

kestabilan vertebrae, yaitu kolumna posterior, kolumna media, dan kolumna

anterior. Mekanisme cedera ada beberapa tipe pergeseran yang penting, antara lain

hiperekstensi, fleksi, tekanan aksial, fleksi dan tekanan digabungkan dengan

distraksi posterior, fleksi yang digabungkan dengan rotasi dan translasi horizontal.

Fraktur pada vertebrae cervical dapat diakibatkan oleh trauma, osteoporosis

tulang ataupun patologis lain (Wahyuni, 2012).

Ketidakstabilan akibat cedera traumatis cervical dapat disebabkan oleh

beberapa hal yang meliputi dislokasi facet bilateral, dislokasi facet unilateral, dan

facet perch atau subluxation bilateral. Beberapa hal tersebut harus didiagnosis

dengan cepat dan akurat dari cedera vertebrae cervical. Hal tersebut dilakukan

untuk mengetahui stabilitas vertebrae cervical dan mengurangi kelainan lanjutan,

seperti cedera syaraf, cervical deformity, nyeri kronis, dan bahkan kematian

(Elsissy et al., 2019).

Kompresi aksial yang hebat dapat menyebabkan tetraplegi sehingga dapat

menghancurkan corpus vertebrae yang dapat mengakibatkan kegagalan pada

kolumna vertebralis anterior dan pertengahan dalam mempertahankan posisinya

sehingga dapat menimbulkan kolumna vertebrae menjadi tidak stabil. Corpus

vertebrae bagian posterior hancur yang dapat mengakibatkan fragmen tulang dan

diskus dapat bergeser ke kanalis spinalis. Gangguan pada fungsi neurologik dapat

terganggu jika vertebrae berkurang lebih dari 50%, sehingga gaya mekanik pada

bagian depan corpus vertebrae akan menyebabkan terjadinya kolaps (Wahyuni,

2012).
19

Beberapa klasifikasi cedera cervical yang berdasarkan lokasinya, antara

lain cedera occipital – cervical merupakan cedera dari occipital hingga C2. C3 –

C7 diklasifikasikan sebagai cedera cervical sub-axial. Fraktur baji adalah akibat

dari fleksi. Fraktur burst merupakan hasil dari kompresi vertikal. Fraktur laminar

bisa vertikal atau horizontal dan biasanya berhubungan dengan jenis fraktur lain.

Dislokasi atlanto-occipital yang merupakan cedera fleksi yang melibatkan C1 dan

C2. Dislokasi atlanto – axial merupakan cedera rotasi – fleksi yang melibatkan C1

dan C2. Fraktur Jefferson merupakan fraktur C1 yang tidak stabil akibat kompresi

(Torlincasi and Waseem, 2020).

1) Macam – macam fraktur yang dapat mempengaruhi kestabilan cervical:

a) Fraktur sub-axial vertebrae cervical

Gambar 2.5 Hasil Radiografi Proyeksi Lateral Fraktur Sub-axial Cervical


(C5) (Pope and Harris, 2013)

Vertebrae cervical sub-axial terdiri dari tingkat C3 hingga C7 dan

mencakup anatomi tulang serta anatomi ligamen. Fraktur sub-axial

vertebrae cervical dapat disebabkan oleh mekanisme energi tinggi, seperti

kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dari ketinggian ke mekanisme


20

energi sedang seperti olahraga kontak dan non-kontak, bahkan dapat

terjadi mekanisme yang lebih rendah, seperti jatuh dari permukaan tanah.

Vertebrae cervical rentan terhadap cedera karena banyaknya gerakan yang

diperoleh di vertebrae ini. Mekanisme cedera yang berbeda dapat

menyebabkan pola fraktur yang berbeda seta berbagai cedera ligamen

(DiPompeo and M Das, 2020).

Cedera vertebrae cervical sub-axial sering terjadi, mulai dari

tingkat keparahan dari regangan ligamen minor atau fraktur processus

spinosus hingga fraktur – dislokasi lengkap dengan kegagalan tulang dan

ligamen yang dapat mengakibatkan cedera tulang belakang yang parah

(Feuchtbaum et al., 2016).

Ligamen anterior yang bersamaan dengan discus intervertebralis

dan ligamen posterior secara kolektif disebut sebagai discoligamentous

complex (DLC). Cedera yang terjadi pada tiga ruas tulang sub-axial

cervical dapat mengakibatkan fraktur komplit, discoligamentous komplit,

atau kombinasi dari keduanya. Mekanisme gangguan, seringkali dengan

gaya rotasi, dapat menyebabkan subluksasi facet joint dengan gangguan

terkait pada discus atau capsule. Cedera pada posterior tension band

terjadi karena axial loading yang terjadi pada vertebrae cervical dengan

sedikit fleksi. Cedera pada ligamen anterior dapat terjadi dengan gangguan

dan saat ekstensi (DiPompeo and M Das, 2020).


21

b) Fraktur kompresi

Gambar 2.6 Hasil Radiograf Proyeksi Lateral Fraktur Kompresi (C4) (Cox
et al., 2017)
Menurut Wahyuni (2012) fraktur kompresi merupakan salah satu

penyebab terjadinya cedera vertebrae cervical. Adanya kekuatan secara

vertikal yang mengenai vertebrae dapat menimbulkan kompresi aksial.

Muatan aksial tersebut dapat melebihi kemampuan peredam kejut (shock

absorber) yang dimiliki oleh diskus intervertebralis, sehingga diskus akan

terdorong masuk ke dalam corpus vertebrae dan menghancurkannya.

Sesaat setelah cedera, pasien akan mengalami masa spinal shock yang

mengakibatkan penurunan aktivitas sel saraf yang dapat terjadi selama

beberapa jam atau hari bahkan mencapai 6 bulan. Reflek di bawah level

cedera dapat kembali setelah spinal shock mereda bahkan menjadi

hiperaktif, namun pada level cedera reflek dapat tidak kembali bahkan

menetap menjadi arcus reflek yang terputus – putus. Seperti yang terdapat

pada gambar 2.6 yang ditunjukkan dengan tanda panah yang menunjukkan

adanya fraktur kompresi pada C4 yang terjadi pada bagian corpus

vertebrae.
22

Akibat dari hal tersebut, kerusakan pada medulla spinalis yang

menyebabkan perjalanan sensorik dan motorik terputus di area lesi

sehingga informasi sensorik dan motorik di bawah level cedera dan

menyebabkan juga gangguan syaraf dari dan ke otak. Pada kerusakan

komplet pada sel syaraf untuk level cedera dapat mengakibatkan

terputusnya arcus refleks dan paralysis flaccid dari otot pada medulla

spinalis yang lesi yang dapat membuat otot – otot penting pada anggota

gerak bawah mengalami flaccid paralysis. Hal sama dapat terjadi jika lesi

meluas sampai level lumbal atau cauda equina sehingga dapat

menyebabkan kelumpuhan anggota gerak bawah.

c) Fraktur Jefferson (C1)

Gambar 2.7 Hasil Radiografi Proyeksi Lateral Fraktur Jefferson (C1)


(Pope and Harris, 2013)

Fraktur Jefferson ini merupakan fraktur kompresi vertebral dari C1

ketika gaya ditransmisikan melalui condylus occipital ke permukaan

articularis superior dari massa lateral C1 yang merupakan hasil dari axial

loading. Pola fraktur ini berkolerasi dengan posisi kepala selama impaksi.
23

Fraktur ini mendorong massa lateral keluar dari posisinya dan

menganggu ligamen transversal serta mengakibatkan fraktur pada anterior

dan posterior arch atlas. Ini merupakan fraktur yang paling tidak stabil.

Pada foto polos x – ray lateral, sebuah pelebaran predental space antara

anterior arch dari C1 dan processus odontoideus dari C2 akan terlihat.

Pada proyeksi open-mouth mungkin menunjukkan offset bilateral dari

massa lateral C2. Jika penjumlahan jarak offset dari sisi kanan dan kiri

lebih dari 7 mm, maka harus dicurigai adanya fraktur.

d) Fraktur Hangman’s (Fraktur C2)

Gambar 2.8 Hasil Radiografi Proyeksi Lateral Fraktur Hangman’s (C2)


(Pope and Harris, 2013)

Salah satu jenis fraktur lainnya yaitu fraktur Hangman’s. Fraktur

tersebut meluas melalui pedicle C2 dengan atau tanpa subluksasi C2 pada

C3. Fraktur terebut dapat terjadi akibat leher mengalami hiperekstensi

yang terlalu ekstrim. Keadaan pasien yang hidup menjadi tidak stabil
24

karena processus odontoid yang utuh ditekan secara posterior ke batang

otak (Torlincasi and Waseem, 2020).

Pemeriksaan radiografi proyeksi lateral fleksi – ekstensi pada

vertebrae cervical akan menunjukkan perpindahan anterior dari C2 yang

merupakan karakteristik dari fraktur Hangman’s yang digunakan untuk

menunjukkan subluksasi (Lampignano and Kendrick, 2018).

Fraktur ini merupakan jenis fraktur C2 paling umum kedua. Fraktur

ini dapat menghasilkan fraktur bilateral pada lamina dan pedicle.

Gejalanya dapat asimtomatik jika tidak berangulasi dan tidak bergeser.

Namun jika ada cedera arteri vertebralis memiliki tanda dan gejala,

meliputi mual, muntah, ataksia, pemeriksaan neurologis asimetris (Singh,

2019).

Beberapa klasifikasi dari fraktur ini yang didasarkan pada jumlah

perpindahan fraktur, yaitu:

Tipe I : fraktur vertikal dengan perpindahan kurang dari 3 mm dan

tanpa angulasi.

Tipe II : perpindahan dan angulasi lebih dari 3 mm.

Tipe III : fraktur vertikal dengan perpindahan yang signifikan dan

resiko defisit neurologis tertinggi.


25

e) Fraktur odontoid

Gambar 2.9 Hasil Radiografi Proyeksi Lateral Fraktur Odontoid Tipe III
(Pope and Harris, 2013)

Menurut Torlincasi and Waseem (2020) tipe mekanisme dari

fraktur ini adalah gerakan fleksi. Beberapa tipe dari fraktur ini, yaitu:

Tipe I : Fraktur dari processus odontoideus diatas ligamen tranversal

dan biasanya stabil.

Tipe II : Fraktur pada dasar processus odontoideus tempat menempel

pada C2. Fraktur lebih umum dan tidak stabil.

Tipe III : Fraktur meluas ke arah lateral dari facet articularis superior

dari atlas (meluas ke corpus axis) dan tidak stabil.

Manajemen perawatan dari cedera cervical ini juga perlu diperhatikan,

seperti dengan memberikan resusitasi berdasarkan protokol Advanced Trauma

Life Support (ATLS), pertahankan imobilisasi cervical dan minimalkan gerakan

leher selama prosedur yang dilakukan, memberikan pereda nyeri yang mencukupi,
26

serta penatalaksanaan lebih lanjut tergantung pada tingkat keparahan pada cedera

(Torlincasi and Waseem, 2020).

Fraktur minor pada cervical tanpa defisit neurologis dapat diobati dengan

manajemen konservatif dari manajemen nyeri, penyangga, dan tindak lanjut. Jika

cedera cervical tidak stabil, intervensi bedah mungkin diperlukan yang mungkin

bervariasi tergantung pada cederanya. Fusi dari vertebrae cervical mungkin dapat

dilakukan dengan atau tanpa fiksasi internal dengan pelat logam atau sekrup.

Fraktur sub-axial sering distabilkan dengan fiksasi internal, sedangkan fraktur

axial sering memerlukan fiksasi eksternal dengan pin eksternal guna menstabilkan

vertebrae. Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengurangi tekanan pada

sumsum tulang belakang dan menstabilkan cervical (Torlincasi and Waseem,

2020).

D. Teknik Pemeriksaan Radiografi Cervical

1. Pengertian

Pemeriksaan radiografi cervical merupakan salah satu teknik

pemeriksaan secara radiografi dengan menggunakan sinar – X pada cervical

yang digunakan untuk melihat anatomi atau menegakkan diagnosis jika ada

kelainan – kelainan pada cervical.

2. Persiapan Pemeriksaan

Persiapan pasien pada prosedur pemeriksaan radiografi cervical

menurut Lampignano and Kendrick (2018), meliputi persiapan pasien,

persiapan alat dan bahan.

a. Persiapan Pasien
27

Tidak ada persiapan khusus, pasien hanya diminta untuk melepaskan

benda – benda yang dapat menimbulkan artefak.

b. Persiapan Alat dan Bahan

1) Pesawat sinar – X

2) Marker

3) Image Reseptor (IR) ukuran 24 x 30 cm, diposisikan secara portrait

4) Alat proteksi radiasi

3. Proyeksi Pemeriksaan Cervical

a. Proyeksi Lateral – Horizontal Beam

Menurut Lampignano and Kendrick (2018) tujuan dari

pemeriksaan ini untuk menampakkan anatomi cervical, menampakkan

jarak antar intervertebral joint, articular pilar, processus spinosus dan

zygapophyseal joint yang dilakukan pada pasien trauma dengan

menggunakan arah sumbu sinar horizontal.

Indikasi klinis dilakukannya pemeriksaan lateral – horizontal beam,

antara lain fraktur kompresi, fraktur Hangman’s, fraktur odontoid, fraktur

teardrop burst, dan subluksasi.

Gambar 2.10 Posisi Lateral Cervical – Horizontal beam (Lampignano and


Kendrick, 2018)
28

1) Posisi Pasien

Pasien ditempatkan pada posisi supine diatas meja pemeriksaan dengan

lengan berada disamping tubuh.

2) Posisi Objek

Bidang Mid Sagital Plane (MSP) tubuh diposisikan tegak lurus dengan

meja pemeriksaan, bahu pasien diposisikan agar sejajar dengan

ketinggian yang sama. Tidak dianjurkan untuk menggerakkan kepala

atau leher atau melepaskan cervical collar jika ada. IR diposisikan

disangga pada posisi vertikal pada bahu pasien dengan memusatkan IR

ke titik bidik dengan batas atas IR berada sekitar 3 – 5 cm diatas

Meatus Acusticus Externus (MAE). Shoulder pasien ditekan kebawah,

sehingga tidak menutupi objek yang akan diperiksa.

3) Pengaturan teknis:

a) Arah sumbu sinar yang digunakan yaitu horizontal dan tegak lurus

terhadap Image Reseptor (IR).

b) Titik bidik diatur menuju C4 (setingkat dengan margin atas thyroid

cartilage).

c) Source Image Distance (SID): 60 – 72 inchi (150 – 180 cm)

direkomendasikan karena Source Image Distance (SID) yang lebih

panjang menghasilkan magnifikasi yang lebih sedikit dengan

peningkatan ketajaman gambar.

d) Pengaturan kV: 70 – 80 kV.


29

e) Pengaturan kolimasi: kolimasi sesuai dengan anatomi yang

diinginkan.

f) Eksposi: full ekspirasi dan tahan napas (untuk depresi bahu

maksimal).

4) Kriteria evaluasi:

Tampak C1 hingga C7 yang harus masuk dalam IR, meskipun

mungkin C7 tidak tampak secara sempurna pada beberapa pasien.

Tampak corpus vertebrae cervical, diskus intervertebralis, processus

spinosus, dan zygapophyseal joint. Jika margin atas T1 tidak terlihat,

maka diperlukan gambar tambahan, seperti cervicothoracic lateral

harus diperoleh. Pilar articularis kanan dan kiri serta zygapophyseal

joint harus superimposisi di tiap ruas vertebrae. Corpus vertebrae

harus bebas dari superimposisi dari pilar artivularis dan tampak

processus spinosus. Kolimasi mencakup area yang dikehendaki.

Keterangan:
1) Processus odontoideus (C2)
2) Intervertebral joint space (C6
– C7)
3) Corpus vertebrae (C7)
4) Zygapophyseal joint (C4 –
C5)
5) Vertebrae prominens (C7)

Gambar 2.11 Hasil radiografi cervical lateral – horizontal beam


(Lampignano and Kendrick, 2018)
30

b. Proyeksi lateral posisi fleksi – ekstensi vertebrae cervical

Fungsi dari pemeriksaan ini yaitu untuk menampakkan anatomi

dari cervical dan menampilkan jika adanya gerakan akibat trauma atau

penyakit.

Indikasi dilakukannya pemeriksaan radiografi dinamik cervical

fleksi – ekstensi menurut Lampignano and Kendrick (2018), yaitu :

a. Pemeriksaan fungsional yang dilakukan untuk mendemonstrasikan

mobilitas vertebrae anteroposterior.

b. Sering dilakukan untuk kemungkinan cedera whiplash atau untuk

tindak lanjut setelah operasi fusi tulang belakang.

Sedangkan menurut Long et al. (2012) pemeriksaan tersebut

digunakan untuk studi fungsional dari vertebrae cervical pada posisi

lateral yang dilakukan untuk menunjukkan gerakan anteroposterior

normal atau tidak adanya gerakan akibat trauma ataupun penyakit dengan

processus spinosus dielevasi dan dipisahkan secara luas pada posisi

hiperfleksi dan ditekan secara maksimal pada posisi hiperekstensi.

Menurut Singh (2019) pemeriksaan radiografi fleksi – ekstensi

pada cervical merupakan suatu teknik pemeriksaan radiografi yang

digunakan pada klinis traumatic spondylolisthesis C2 (Hangman’s

Fracture) yang berguna untuk memvisualisasikan ketidakstailan atau

sublukasi.
31

Gambar 2.12 Posisi Lateral Dinamik Cervical – Fleksi (kiri) dan Ekstensi
(kanan)(Lampignano and Kendrick, 2018)

1) Posisi pasien

Pasien ditempatkan pada posisi true lateral tanpa adanya rotasi dari

panggul, bahu, kepala, baik duduk maupun berdiri, menyamping bucky

stand, dengan lengan berada disamping tubuh.

2) Posisi objek

Tubuh pasien disejajarkan bidang Mid Coronal Plane (MCP) dengan

garis tengah IR. Pasien diminta untuk rileks serta depresikan bahu

semaksimal mungkin (beban di setiap lengan dapat digunakan). Untuk

fleksi: dagu didepresi hingga menyentuh dada atau sebanyak pasien

dapat mentoleransi (pasien diperhatikan agar tidak bergerak maju

untuk memastikan bahwa seluruh cervical masuk pada lapangan

penyinaran). Untuk ekstensi: dagu diangkat dan kepala ditekuk ke

belakang semaksimal mungkin (pasien tidak dibolehkan bergerak ke

belakang untuk memastikan bahwa seluruh vertebrae cervical masuk

dalam lapangan penyinaran).

3) Pengaturan teknis:

a) Arah sumbu sinar yang digunakan yaitu horizontal dan tegak lurus

terhadap Image Reseptor (IR).

b) Titik bidik diatur menuju C4 (setingkat dengan margin atas thyroid

cartilage).
32

c) Source Image Distance (SID): 60 – 72 inchi (150 – 180 cm)

direkomendasikan karena Object Image Distance (OID) yang

ditingkatkan, dengan jarak yang lebih jauh dapat membantu

mendemonstrasikan C7.

d) Pengaturan kV: 70 – 80 kV.

e) Pengaturan kolimasi: kolimasi sesuai dengan anatomi yang

diinginkan.

f) Eksposi: full ekspirasi dan tahan napas.

4) Kriteria evaluasi:

Tampak C1 hingga C7 yang harus masuk dalam IR, meskipun

mungkin C7 tidak tampak secara sempurna pada beberapa pasien.

Tampak vertebrae cervical, diskus intervertebralis, processus spinosus,

dan zygapophyseal joint. Tidak ada rotasi dari kepala yang ditunjukkan

dengan superimposisi dari ramus mandibula. Untuk fleksi: processus

spinosus tampak terpisah dengan baik. Untuk ekstensi: processus

spinosus tampak dekat satu sama lain.

Keterangan:
1. Posterior arch (C1)
2. Zygapophyseal (facet) joint
1 (C3 – C4)
6
3. Intervertebral joint (C4 – C5)
2 7 4. Processus articularis
superior (C6)
3
8 5. Processus articularis inferior
4
(C6)
5
9 6. Dens (C2)
7. Corpus vertebrae (C3)
8. Intervertebral joint (C5 – C6)
9. Processus spinosus (C7)
Gambar 2.13 Hasil radiografi cervical dinamik fleksi (kiri) – ekstensi (kanan)
(Lampignano and Kendrick, 2018)

You might also like