You are on page 1of 5

I.

Pengertian Belajar  
-Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas belajar.
-Para Pakar psikologi saling berbeda dalam menjelaskan mengenai cara atau aktivitas
belajar itu berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat ditandai, bahwa
belajar yang sukses selalu diikuti oleh kemajuan tertentu yang terbentuk dari pola pikir dan
berbuat.
-Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar ialah untuk memperoleh
kesuksesan dalam pengembangan potensi-potensi seseorang.
-Beberapa aspek psikologis aktivitas belajar itu misalnya: motivasi, penguasaan
keterampilan dan ilmu pengetahuan, pengembangan kejiwaan dan seterusnya.
Bahwa setiap saat dalam kehidupan mesti terjadi suatu proses belajar, baik disengaja
atau tidak, disadari maupun tidak.
Dari proses ini diperoleh suatu hasil, yang pada umumnya disebut sebagai hasil belajar.
Tapi untuk memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar harus dilakukan dengan
sadar dan sengaja dan terorganisasi dengan baik dan rapi. Atas dasar ini, maka proses
belajar mengandung makna: proses internalisasi sesuatu ke dalam diri subyek didik;
dilakukan dengan sadar dan aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.
Sumadi Suryabrata (1983:5) menjelaskan pengertian belajar dengan mengidentifikasikan
ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu: “
Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar
(dalam arti behavioral changes) baik aktual maupun potensial; perubahan itu pada
pokoknya adalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif
lama; perubahan itu terjadi karena usaha”.
-  Menurut Begge (1982:1-2), belajar adalah suatu perubahan yang berlangsung dalam
kehidupan individu sebagai upaya perubahan dalam pandangan, sikap, pemahaman atau
motivasi dan bahkan kombinasi dari semuanya. Belajar selalu menunjukkan perubahan
sistematis dalam tingkah laku yang terjadi sebagai konsekwensi pengaalaman dalam
situasi khusus. Bertolak dari pemahaman di atas dapatlah ditegaskan, bahwa belajar
senantiasa  merupakan perbuatan tingkah laku dan penampilah dengan serangkaian
aktivitas misalnya: membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.
Dengan demikian, belajar juga bisa dilihat secara makro dan mikro, luas dan khusus.
Dalam arti makro, luas, belajar dapat diartikan sebagai aktivitas ruhani-jasmani menuju
perkembangan pribadi yang utuh. Seperti yang dijelaskan oleh Bloom (1979), bahwa belajar
itu mencakup tiga ruang lingkup, yaitu  cognitive domain  yang berkaitan dengan
pengetahuan hapalan dan pengembangan intelektual, affective domain, yang berkaitan
dengan minat, sikap dan nilai serta pengembangan apresiasi dan
penyesuaian, psychomotor domain, yang berkaitan dengan prilaku yang menuntut
koordinasi syaraf.  
II. Teori-teori Belajar
Banyak para pakar membuat teori atau paradigma mengenai belajar ataupun pendidikan,
dan mereka saling berbeda di dalam merumuskan teori atau konsep-konsep itu.
Diversifikasi pemahaman itu dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif filosofisnya.
Dan memang  patut diketahui bahwa filsafat merupakan teori umum dan landasan bagi
pendidikan itu sendiri, oleh sebab itu hubungan antara keduanya merupakan suatu
keharusan (condisio sin quanon). Sebagaimana aliran essensialisme (yang dibentuk dari
idealisme dan realisme), memperhatikan pendidikan dari sisi nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan.
Nilai-nilai tersebut diderivasi dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat
abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman renaisance, sebagai pangkal timbulnya
----- Menurut idealisme, bila seorang belajar, pada tahap awal adalah berarti ia memahami
“aku”–nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikro
kosmos menuju makro-kosmos.
Ini seperti juga yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang
dicapai manusia lewat indera memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh
pengalaman terlebih dahulu.
Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka
mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah ada dalam
ide atau budi manusia (innate ideas) sebelum ada pengalaman dan pengamatan. Jadi,
apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, melainkan benda-benda itulah yang
terarah kepada budi.
Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan
berpikir diatas, belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya
sendiri sebagai substansi spiritual.
Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri (Pudjawijatno, 1964: 120-121).
Pandangan realisme mengenai belajar tercermin dalam pandangan atau aliran psikologi
behaviorisme, asosiasionisme atau koneksionisme.
- A.L. Thorndike, pendukung koneksionisme misalnya menyatakan, bahwa belajar adalah
berbagai kombinasi. Suatu bagian mental adalah menerima atau merasa, sedangkan
bagian fisik adalah suatu stimulus atau respon.
- Secara khusus Thorndike melihat bahwa belajar adalah suatu proses hubungan mental
dan fisik dan mental dengan mental atau fisik dengan fisik.
Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori S – R bond  ( lihat Bigge, 1982:52-53).
Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi rohani
yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang
ditentukan oleh peraturan alam (determinsm).
Ini berarti bahwa pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam
kehidupan sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-
nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan
oleh angkatan berikutnya.
Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua jenis determinisme, yaitu
determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar
adalah mengenai hal-hal yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada.
Sedangkan dengan determinisme terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat
pasif mengenai belajar. Tuntutan tertinggi  dalam belajar menurut perenialisme adalah
latihan dan disiplin mental.
Maka teori dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Sebagai
makhluk, manusia memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya karena anugerah “rasio”-nya.
Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia dan merupakan evidensi diri. Konsep
dasar tentang kebebasan manusia juga lahir dari sifat rasional manusia.
Dengan demikian manusia dapat menghilangkan belenggu penindasan terhadap dirinya
dan mampu menjadi merdeka. Kemerdekaan menjadi tujuan dan dilaksanakan di dalam
pendidikan dan belajar itu.
Oleh sebab itu, belajar hakekatnya adalah belajar berpikir dan menggunakan rasio tersebut.
Menurut perenialisme, belajar adalah bertujuan agar anak didik mengalami perkembangan
kepribadian yang utuh, integral dan seimbang sesuai dengan pandangannya, bahwa
manusia adalah bersifat psiko-somatik (Barnadib, 1988: 77).
Menurut perenialisme, belajar itu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu belajar karena
pengajaran dan belajar karena penemuan. Belajar karena pengajaran adalah dengan cara
guru/ pendidik memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada subyek didik, dengan
menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan
belajar karena penemuan adalah subyek didik diharapkan dapat belajar atas
kemampuannya sendiri (belajar mandiri ). Pandangan di atas memang bersifat humanistik,
yang memusatkan perhatian pada interes dan nilai-nilai kepada manusia.
Teori humanisme klasik beranggapan, bahwa pikiran manusia adalah perantara aktif di
dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan secara moral pikiran manusia
mempunyai sifat dasar netral sejak lahir (Bigge, 1982: 26). Sifat netral tersebut maksudnya,
bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat tidak jelek dan juga tidak baik, tetapi ia potensial
untuk menjadi buruk atau baik (tidak ada hubunganya dengan pembawaan lahirnya) (Bigge,
1982: 16).
Pandangan di atas didasari oleh konsep moral manusia, yaitu, bahwa substansi (pikir
manusia adalah netral-aktif, yang harus dikembangkan lewat latihan dan disiplin mental.
Dalam hal ini sebagai aspek yang mendasar adalah reason  yang menjadi manusia mampu
mencapai pengertian tentang kebutuhan-kebutuhan dan mampu menyelaraskan antara
tindakan, pengertian serta mampu mengkomunikasikan pengertian-pengertian tersebut
kepada setiap anggota di dalam kelompoknya.
Oleh sebab itu pula, maka pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang demikian itu (netral-
active) jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir akan mencuat keluar (Bigge,
1982: 26). Oleh humanisme klasik, belajar dipandang sebagai proses disiplin diri yang
tegas, terdiri dari perkembangan yang harmonis antara semua kekuatan di dalam diri
manusia, Hingga tidak satu bagian pun yang berkembang melebihi yang lain.
Dengan demikian, fungsi seorang guru adalah untuk membantu para siswa mengenali
kembali apa yang telah ada dalam pikir mereka.
Metode ini juga sekedar hanya menarik informasi dari para siswa dengan mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan dengan ketrampilan penuh.
Metode ini didasarkan pada prinsip, bahwa ilmu pengetahuan adalah pembawaan, yang
tak akan muncul tanpa bantuan tenaga ahli (Bigge, 1982: 28). Learning through
unfoldment atau disebut juga naturalisme-romantic  mengatakan, bahwa manusia pada
dasarnya adalah baik dan aktif (good-active).
Melalui alam anak akan berkembang secara wajar.
Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan kodrat alam. Anak harus dijauhkan dari
paksaan. Belajar sendiri sesuai dengan minatnya, ia  bebas menentukan perbuatannya dan
sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya.
Teori ini dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul oleh pembaharu pendidikan
dari Swiss, Pestlozzi dan Froebel seorang filosof dari Jerman (Bigge, 1982: 33-34). Rousseu
berpendapat, bahwa secara heriditi manusia adalah baik dan mempunyai kemampuan yang
perlu dikembangkan secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan yang jelek
mampu membuat orang menjadi jelek pula, sebab lingkungan sosial bukanlah alamiah.
Rousseu memberi saran, agar guru memberikan kebebasan pada siswa untuk mandiri,
sehingga memungkinkan mereka berkembang secara wajar dan alamiah, baik perasaan,
naluri maupun kesadaran mereka. Disamping  naturalisme-romantic, terdapat pula
pandangan appersepsi, yang merupakan asosianisme mental dinamis yang didasarkan
pada pemikiran, bahwa tidak ada ide-ide pembawaan lain. Segala sesuatu yang diketahui
orang datangnya dari luar dirinya. Asosionisme merupakan teori psikologi umum yang di
klasifikasikan menjadi dua bagian : pertama, Asosiasionisme mentalistik awal, yaitu
appersepsi yang berfokus pada ide-ide dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-
respon fisikalistik yang lebih modern (Bigge, 1982: 36). Perkembangana appersepsi didasari
oleh pemikiran Aristoteles pada abad ke-empat S.S. Kemudian pada abad ke 17 ditentang
oleh John Locke dengan mengatakan, bahwa pikiran tidak hanya dipegang oleh seseorang
pasti pertama-tama diperoleh dari indera-inderanya. Teori John Locke ini sangat populer
dengan teori Tabolarasa. Konsep moral appersionisme  adalah, bahwa sifat asli manusia
adalah tidak baik dan tidak pula jelek dipandang dari sisi moral dan tidak pula aktif
dipandang dari sisi aksi. Dibaliknya sifat asli manusia dipandang sebagai netral dari aspek
moral dan pasif dari aspek aksi. Dengan demikian, pikiran merupakan produk dari
pengalaman-pengalaman kehidupan (Bigge, 1982: 37).   III. Prinsip-prinsip Belajar Seperti
yang dijelaskan di depan, bahwa menurut teori kependidikan yang berdasarkan pandangan
psikologi mekanistik, sejak John Lock pada abad 17 sampai aliran Bahaviorisme dari J.B.
Waston abad 20 terdapat pandangan, bahwa manusia dalam batas-batas kemampuan
fisiknya dapat dibentuk melalui cara-cara yang terbatas. John lock berpendapat, bahwa jiwa
itu bagaikan meja lilin (tabularasa) yang bersih dari goresan. Pengalamanlah yang
membentuk kepribadiannnya. Behavviorsme juga berbuat sama, dengan konsep S – R
bond-nya. Dalam sistem nilai dari paham naturalisme juga diorientasikan pada alam
(naturo-centris): jasmaniah, panca indera, kekuatan, kenyataan, survival, organisme dst.
Oleh sebab itu naturalisme menolak hal-hal yang bersifat moral dan spiritual, sebab paham
ini, bahwa kenyataan/ realistas yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat fisik dan
inderawi. Naturalisme dekat dengan materalisme yang menafikan nilai-nilai manusia.
Kebalikan dari paham di atas adalah idealisme, yang memandang realitas yang hakiki ada
pada ide yang terdapat dalam jiwa atau spirit manusia. Idialisme berorientasi pada ide-ide
ketuhanan dan nilai-nilai sosial. Tetapi perlu diketahui, bahwa meskipun idealisme
berorientasi kepada ideal-spiritual, ia bukanlah agama, idealisme hanyalah merupakan
salah satu basis dari agama. Menurut Horne, idealisme sebagai filsafat adalah sistem
berpikir manusia (man-thinking), sementara agama adalah sistem peribadatan manusia
(man– worshipping). Filsafat dan agama mempunyai hubungan erat, tetapi tidak identik
(lihat M. Arifin, 1991:149). Nilai-nilai pendidikan menurut kaum idealisme adalah
pencetusan dari sususan atau sistem yang kekal abadi yang memiliki nilai dalam dirinya
sendiri. Kewajiban manusia dan pendidikan adalah berusaha mengaktualisasikan nilai
tersebut. Filsafat pendidikan Islam dalam beberapa aspek pendekatan memang memiliki
prinsip-prinsip yang simbiotik dengan idealisme, terutama idealisme spiritualistik. Idealisme
juga mengakui adanya zat yang Maha Tinggi yang menciptakan realitas alam serta
menggerakkan hukum-hukumnya termasuk sanksi-sanksinya. Tetapi ada titik perbedaan
yang cukup tajam yang terletak pada sanksi moral sebagai konsekwensi. Bagi kaum
idealisme, sanksi moral terletak pada siksa Tuhan dan balasan perbuatan yang bermoral
baik adalah pahala dari-Nya kelak di hari kiamat. Kualifikasi moral dalam Islam adalah
sumber dari Tuhan dan bagi setiap orang sanksi hukuman tergantung kepada sejauh mana
porsi perbuatan yang dilanggarnya (M. Arifin, 1991: 150-151) dan bukankah Nabi diutus
untuk menyempurnaka akhlak-karimah?
Belajar adalah serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut: pemahaman, pendengaran
dan peniruan untuk memperoleh suatu pengalaman atau ilmu baru. Lingkup belajar
mencakup : kognisi, afeksi dan psikomotor.    

You might also like