Professional Documents
Culture Documents
Makalah Sindrom Nefrotik
Makalah Sindrom Nefrotik
DISUSUN OLEH:
1. PANGESTU PURJAWADANI
2. SELLA
3. UMI KALSUM
5. INDAH CAHYANI
6. TIARA NOFITRIANI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan
hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara
2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan
penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-
2000.
2
Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia saat serangan
pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin,
komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk
Shistopatologik memberikan gambaran terhadap respons pengobatan
steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP)
sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat
data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom
nefrotik resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid
(SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin
diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara
berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan
respons terhadap pengobatan steroid (SNRS dan SNSS). (Behrman,
2000)
3
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen –
antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi :
1) Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis
buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
4
Gejala : Edema pada masa neonatus
2) Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan
plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama
daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala
pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari
setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi
tiap tiga hari) atau parasit lainnya.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata,
purpura anafilaktoid.
c. Glumerulonefritis akut atau kronik,
d. Trombosis vena renalis.
e. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin,
garam emas, air raksa.
f. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik. (Ngastiyah,
2005)
3) Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk
membaginya menjadi :
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel
epitel berpadu. Dengan cara imu5nofluoresensi ternyata
tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler
glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler
yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
5
c. Glomerulonefritis proliferatif
a) Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat
proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel
yang menyebabkan kapiler tersumbat.
b) Dengan penebalan batang lobular. Terdapat
prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular. Dengan bulan sabit ( crescent)
c) Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel
epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
d) Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membran basalis di mesangium. Titer
globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
e) Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus.
Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.
3. Patofisiologi
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama
albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi
albumin, namun organ ini tidak mampu untu k terus mempertahankannya
jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga terjadi
hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata
akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan
ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem
renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi
sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak
dalam darah (hiperlipidemia).
6
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik
atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum
penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga
terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik
mencakup glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus
erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan
memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang
mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin, 2011).
7
Pathway
Etiologi primer dan sekunder
Kerusakan glomerulus
Protein terfiltrasi
8
4. Manifestasi Klinik
1) Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema
biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka).
Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan
umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke
abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2) Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
3) Pucat
4) Hematuri
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom
nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk
membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
5) Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
6) Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat
dan keletihan umumnya terjadi.
7) Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily
L.2002 )
5. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Urin
Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis
sindrom nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau
4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian semi
kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300
mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan
dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks
kimia albumin adalah protein utama yang diuji.
a. Protein urin > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan
tubuh/hari
b. Urinalisa cast hialin dan granular, hematuria
c. Dipstick urin positif untuk protein dan darah
d. Berat jenis urin meningkat (normal : 285 mOsmol)
9
2) Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
a. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)
b. Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml). Hal ini disebut
sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam
darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN ternyata
katabolisme protein meningkat akibat katabolisme
protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan
katabolisme in merupakan factor tambahan terjadinya
hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria).
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema
mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada
gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada
umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin
darah < 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi
biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml. (Betz, 2002)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang
berlebihan.
b. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan
pengkisutan ginjal.
c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukkan jaringan
parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)
6. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik,
untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan
memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan
mengatasi komplikasinya, yaitu:
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan
natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis
dengan menggunakan garam secukupnya dan
10
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
b. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 –
4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema
masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam
sedikit.
c. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam,
dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1
mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan
respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat
digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama
pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan
hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan
intravaskuler berat.
d. Dengan antibiotik bila ada infeksi.
e. Diuretikum
f. Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in
Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan
sebagai berikut :
1) Selama 28 hari prednison diberikan per oral
dengan dosis60mg/hari/luaspermukaan badan
(lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per
oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu
dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila
terdapat respons, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4
minggu.
3) Tapering-off: prednison berangsur-angsur
diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg
sampai akhirnya dihentikan.
11
g. Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada
indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan
digitalis. (Behrman, 2000)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit,
karena memerlukan pengawasan dan pengobatan yang
khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema
yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan
mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman dan
nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit pasien.
12
didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien
tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema
pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien.
Selain itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu
dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama
24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet
rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori
yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk
makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan
biasa atau lunak. (Ngastiyah, 2005)
7. Komplikasi
1) Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang
rendah akibat hipoalbuminemia.
13
2) Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga
menyebabkan shock.
3) Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem
koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4) Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan
ginjal. (Rauf, .2002)
14
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Pengkajian Anamnesa
a. Identitas
b. Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.
c. Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat
menanyakan hal berikut :
1. Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.
2. Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah
disertai dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah.
3. Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.
d. Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu
mengkaji apakah klien pernah menderita penyakit edema, apakah
ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan
penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya
riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
e. Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik,
wajah, dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak rasa
cemas dan koping yang maladaptif pada klien.
f. Riwayat kehamilan dan persalinan
1. Prenatal
Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama
mengandung dan asupan nutrisi selama kehamilan.
2. Natal
Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat
dilahirkan.
3. Postnatal
Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.
4. Imunisasi
BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali
15
Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.
h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali
tinggi badan lahir.
16
Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan
tidur, kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel,
gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
2) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat
kesadaran biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan
adanya perubahan.
B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola
nafas dan jalan napas walau secara frekuensi mengalami
peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering
didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons
sekunder dari peningkatan beban volume.
B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera
tidak ikterik. Status neurologis mengalami perubahan sesuai
dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen
B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek
sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
17
Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih
lanjut dan menurunkan risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi,
maka penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal berikut :
Tirah baring
Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada
bahaya trombosis, apabila relaps.
Diuretik
Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.
Adenokortikosteroid, golongan prednison
Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu
(maksimal 80 mg/24 jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam
dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4 minggu.
Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama
2-4 bulan.
Diet rendah natrium tinggi protein
Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama
pemberian kortikosteroid. Cairan dibatasi. Pemberian kalsium dan
vitamin D.
Terapi cairan
Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur
secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi
kehilangan cairan dan berat badan harian.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan natrium
2) defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
mengabsorpsi nutrien.
3) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot, kontrol dan atau massa.
4) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sindrom
hipoventalis
3. Rencana Asuhan Keperawatan
18
Diagnose Luaran keperawatan Intervensi keperawatan
keperawatan
19
BB bertambah > 1 kg
dalam sehari
Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan
dan haluaran cairan
Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
diuritik
Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretic
Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy
Identifikasi
20
kebutuhan kalori
Identifikasi
perlunya
penggunaan
selang
nasogastrik
Monitor asupan
makanan
Monitor berat
badan
Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
Lakukan oral
hygiene sebelum
Fasilitasi
menentukan
pedoman
diet (mis.
Piramida
makanan)
Sajikan makanan
secara menarik
21
dan suhu yang
sesuai
Berikan makan
mencegah
konstipasi
Berikan makanan
tinggi protein
Berikan suplemen
makanan, jika
perlu
Hentikan
pemberian
makan melalui
selang nasogastri
dapat ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi
duduk, jika
mampu
diprogramkan
Kolaborasi
22
Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu Kolaborasi
untuk
menentukan
jenis nutrient
yang dibutuhkan,
jika perlu
meningkat ambulasi
23
Terapeutik
Fasilitasi aktivitas
Fasilitasi melakukan
meningkatkan ambulasi
Edukasi
prosedur ambulasi
Anjurkan melakukan
ambulasi dini
Ajarkan ambulasi
dilakukan.
24
membaik atau fowler
5. Kedalaman napas Berikan minum hangat
membaik Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
Lakukan hiper
oksigenasi sebelum
penghisapan
endotrakeal
Keluarkan sumbatan
benda pada dengan
forsep McGill
Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan tehnik batuk
efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
4. Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan
neoprotik syndrome diharapkan sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan dapat teratasi
25
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Meningkatnya citra tubuh
4. Bersihan jalan nafas efektif
5. Perfusi jaringan perifer efektif
6. Pola nafas efektif
7. Aktivitas dapat ditoleransi
8. Curah jantung mengalami peningkatan
26
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan
oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik;
proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema.
(Suriadi, 2006)
2. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi
pembaca.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Untuk penyempurnaan saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
27