You are on page 1of 12

TUGAS KELOMPOK HUKUM PERIKATAN DAN KONTRAK

AKIBAT WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK


FRANCHISE DALAM PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)

Disusun oleh:
1. ALVESH FAR FAR 2021010462055
2. ANASTASIA SARAH JOSELINDA 2021010462042

3. BIDAYATURRAHMAH KAMILAH 2021010462036


4. ENTIN 2021010462045
5. MARIO SEMBIRING MELIALA
2021010462068
6. MUHAMMAD KABUL DAHLAN
2021010462044
7. SARASTYO DWI WIDAGDO
2021010462004

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS JAYABAYA

JAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan kemajuan zaman dan pertumbuhan ekonomi yang


pesat pada saat ini timbullah kerjasama bisnis salah satunya waralaba
atau franchise yang saat ini sangat banyak ditemukan di hampir semua
bidang usaha di berbagai negara. Kerjasama waralaba atau franchise
termasuk yang sangat di minati di dunia termasuk di Indonesia. Dengan
adanya waralaba atau franchise memudahkan pelaku bisnis khususnya
produsen untuk menyebarkan produk mereka kepada konsumen.

Karena sistem franchise begitu menarik dan menguntungkan bagi


dunia usaha bisnis franchise asing masuk ke Indonesia dan berkembang
pesat di Indonesia dengan memberi lisensi kepada pengusaha lokal.
Maka dari itu, perkembangannya pun telah merambat dari kota besar
sampai ke kota kecil. Di Indonesia sendiri bisnis semacam franchise mulai
dikembangkan oleh pengusaha lokal. Tentu saja akibatnya menimbulkan
persaingan berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang
usaha yang sejenis. Karena bisnis franchise begitu menarik dan
menguntungkan, pemerintah berkepentingan untuk mengembangkan
bisnis ini di Indonesia guna terciptanya iklim kemitraan usaha melalui
pemanfaatan lisensi sistem franchise.

Pada dasarnya waralaba atau franchise merupakan salah satu


bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian
lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk
mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran
dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi
waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan
oleh penerima lisensi.1
1
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, Hal.12.
Waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Kerjasama waralaba juga harus
dituangkan dalam perjanjian untuk memberi perlindungan hukum bagi
para pihak. Namun dalam pelaksanaannya kerjasama waralaba sering
menimbulkan masalah. Biasanya salah satu faktor masalahnya adalah
pihak franchise tidak memenuhi atau melanggar perjanjian yang telah
dibuat sehingga menimbulkan wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi
maka pihak yang dirugikan dapat melakukan penuntutan kepada pihak
yang melakukan pelanggaran.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang kami paparkan di atas, kami
menyimpulkan bahwa yang menjadi rumusan masalah di dalam penulisan
ini adalah:

1. Apa saja akibat dari wanprestasi dalam perjanjian waralaba (franchise)?

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh frencisor setelah


adanya wanprestasi?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua) tujuan yaitu,
tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan adalah untuk
mengetahui apa saja akibat dari wanprestasi dalam perjanjian
waralaba (franchise)

2. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mencari tahu


upaya
hukum apa saja yang dapat dilakukan oleh frencisor setelah
adanya wanprestasi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akibat dari Wanprestasi Dalam Perjanjian Waralaba (franchise)


Sebelum membahas lebih detail mengenai akibat hukumnya perlu kita
ketahui terlebih dahulu mengenai definisi wanprestasi, wanprestasi
menurut kamus hukum berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak
menepati kewajibannya dalam perjanjian.2

Adapun bentuk kategori wanprestasi menurut Subekti terdapat empat


macam wanprestasi, yakni:
1. Tidak melaksanakan apa yang telah disepakati dalam perjanjian;
2. Melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya;
3. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat atau telah
lewat jangka waktu;atau
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 3

Secara konkrit, suatu wanprestasi baru terjadi jika pihak yang


mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak dinyatakan
lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) untuk melaksanakan
prestasinya atau dengan kata lain wanprestasi ada jika pihak yang
mempunyai kewajiban melaksanakan prsetasi dalam kontrak tersebut
tidak dapat membuktikan bahwa iya telah melakukan wanprestasi itu
diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Jadi, pernyataan
lalai adalah suatu rechtmiddel atau upaya hukum kontrak (vide
KUHperdata) untuk sampai pada tahap pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut dinyatakan wanprestasi. 4

Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang


menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

2
Subekti dan Tjitrosoedivio, Kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1996, Hlm.110.
3
https://smartlegal.id/smarticle/2018/11/16/pengusaha-wajib-ketahui-soal-wanprestasi/ di
akses tanggal 2 April 2022
4
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat,
Teori Dogmatik Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV Mandar
Maju, Semarang, 2012, Hal. 339.
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini
mengisyaratkan betapa kuatnya kedudukan hukum suatu perjanjian
meskipun perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak yang bukan tergolong
pejabat publik. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Asas Pacta
Sunt Servanda) dengan rumusan pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, sebagai kreditur yang tidak memperoleh pelaksanaan
kewajiban oleh debitur dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya
dengan meminta bantuan kepada pejabat negara yang berwenang yang
akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi
yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan,
atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat
dilaksanakan.5

Akibat hukum dari wanprestasi adalah Pembatalan disertai ganti


rugi. Pembatalan perjanjian sebagaimana telah dijelaskan diatas dapat
dilakukan juga disertai dengan ganti rugi, dalam artian perjanjian itu batal
namun segala kerugian yang telah ditimbulkan harus dibayarkan.
Kepentingan para pihak dalam perjanjian waralaba, apabila dilihat dari
pihak franchisor yaitu melindungi usaha waralabanya dari kerugian yang
diperbuat oleh pihak lawannya dalam perjanjian, dalam artian
mementingkan kepentingan pihaknya sendiri. Pihak franchise, tidak ada
kepentingan yang sengaja di utamakan, melainkan hanya memberatkan
tanggung jawab yang dipikulnya dalam menjalankan perjanjian dengan
franchisor. Semua hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan merupakan yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian
waralaba, jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak
akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba, namun
tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Sering terjadi
penyimpangan, penyimpangan tersebut akan menimbulkan wanprestasi,
wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak tidak menjalankan hal-hal
5
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, Hal. 57.
yang menjadi kewajibannya dalam perjanjian waralaba. Timbulnya
wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, terhadap
kerugian yang ditimbulkan dalam perjanjian waralaba ini berlaku
perlindungan hukum bagi para pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang
dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan
kerugian, kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi
merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di
Indonesia.6

B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Franchisor Setelah


Adanya Wanprestasi

Pada semua perjanjian, tidak terkecuali perjanjian franchise


(waralaba) dimungkinkan salah satu pihak tidak melaksanakan isi dari
perjanjian yang telah disepakati bersama. Apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan prestasi atas perjanjian tersebut, maka salah
satu pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Terdapat sanksi yang
diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi yaitu dengan
memberikan ganti kerugian. sebagai contoh dalam hal pihak
franchisee tidak membayar fee kepada franchisor sesuai dengan yang
dijanjikan, maka pihak franchisor dapat menuntut pihak franchise
untuk membayar kerugian atas wanprestasi tersebut. Berdasarkan Pasal
1266 KUH Perdata dijelaskan bahwa apabila salah satu pihak
wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya
hukum penyelesaian sengketanya. Penyelesaian sengketa dapat
menggunakan jalan litigasi yaitu melalui lembaga peradilan maupun
jalan non litigasi, sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut 7 :

6
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, Hal.80.

7
Agustinah, Dwi, Isdiyana Kusuma Ayu dan M. Taufik, Penyelesaian Sengketa Antara
Franchisee Dan Franchisor Dalam Perjanjian Waralaba, Jurnal Dinamika Ilmu Hukum
Vol. 27,13, 2021,Hal.12-13.
1. Pengadilan negeri

Menangani kasus sengketa waralaba menggunakan jalur


pengadilan dengan mengajukan surat gugatan ke pengadilan yang
berwenang untuk mengadili. Proses di pengadilan ini pada umumnya
akan diselesaikan melalui usaha perdamaian oleh hakim pengadilan
perdata. Apabila perdamaian tercapai diluar persidangan, maka gugatan
akan dicabut oleh penggugat dengan atau tanpa persetujuan dari
tergugat. Namun jika perdamaian diselesaikan atau dilakukan di
muka persidangan, maka pada saat sidang berlangsung akan
dibuatkan akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum sama
dengan suatu vonis hakim (Pasal 18858 ayat (1) KUH Perdata)

2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pada umunya upaya hukum yang dapat dilakukan melalui


forum pengadilan, namun dengan mengingat akan sifat dari
pemberian waralaba, penyelesaian yang dilakukan melalui forum
peradilan dikhawatirkan oleh pihak pemberi waralaba akan menjadi
suatu forum buka-bukaan” bagi penerima waralaba yang tidak beritikad
baik.8 Untuk menghindari hal tersebut maka sebaiknya setiap
sengketa yang berhubungan dengan perjanjian pemberian waralaba
diselesaikan dalam rangka pranata alternatif upaya hukum atau
penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya pranata arbitrase.

Pengaturan upaya hukum atau penyelesaian sengketa atau yang di


lakukan oleh pihak frencisor melalui arbitrase diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa
lembaga arbitrase hanya dapat menyelesaikan sengketa terkait
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai

8
Ibit, Hal.13
oleh pihak yang bersengketa. Pada dasarnya, untuk menyelesaikan
permasalahannya sebagian besar pengusaha lebih memilih jalur non-
litigasi. Tidak terkecuali dalam bisnis waralaba, penyelesaian
sengketa yang ditempuh dengan menggunakan musyawarah dan apabila
tidak mencapai mufakat maka dalam penyelesaian sengketa tersebut
akan menggunakan cara arbitrase dengan jasa arbitrator.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis bahwa betapa


pentingnya suatu pengaturan perjanjian waralaba (Franchise)
dikarenakan riskan sekali dalam pelaksanaan perjanjian waralaba
timbulnya permasalahan yang terjadi karena adanya perbedaan pendapat
maupun ketidak sepahaman antara kedua belah pihak terhadap isi
perjanjian. Biasanya juga salah satu faktor masalahnya adalah pihak
franchise tidak memenuhi atau melanggar perjanjian yang telah dibuat
sehingga menimbulkan wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi maka
pihak yang dirugikan dapat melakukan penuntutan kepada pihak yang
melakukan pelanggaran.

Maka dari itu ada sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang
melakukan wanprestasi yaitu dengan memberikan ganti kerugian.
sebagai contoh dalam hal pihak franchisee tidak membayar fee
kepada franchisor sesuai dengan yang dijanjikan, maka pihak
franchisor dapat menuntut pihak franchisee untuk membayar kerugian
atas wanprestasi tersebut. Berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata
dij elaskan bahwa apabila salah satu pihak wanprestasi maka
pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum
penyelesaian sengketanya. Penyelesaian sengketa dapat menggunakan
juga jalur litigasi yaitu melalui lembaga peradilan maupun jalan non
litigasi. Seperti Pengadilan Negeri dan Arbitrase Pengaturan upaya hukum
atau penyelesaian sengketa atau yang di lakukan oleh pihak frencisor
melalui arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 5 ayat
(1). Pada dasarnya, untuk menyelesaikan permasalahannya sebagian
besar pengusaha lebih memilih jalur non-litigasi. Tidak terkecuali
dalam bisnis waralaba, penyelesaian sengketa yang ditempuh dengan
menggunakan musyawarah dan apabila tidak mencapai mufakat maka
dalam penyelesaian sengketa tersebut akan menggunakan cara arbitrase
dengan jasa arbitrator.
DAFTAR PUSTAKA

Agustinah, Dwi, Isdiyana Kusuma Ayu dan M. Taufik. 2021. Penyelesaian


Sengketa Antara Franchisee Dan Franchisor Dalam Perjanjian
Waralaba. Jurnal Dinamika Ilmu Hukum Vol. 27,13.
Subekti dan Tjitrosoedivio. 1996. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya
Pramita.

Sutedi, Adrian. 2008. Hukum Waralaba. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Syaifuddin, Muhammad. 2012. Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam


Perspektif Filsafat, Teori Dogmatik Dan Praktik Hukum (Seri
Pengayaan Hukum Perikatan). Semarang: CV Mandar Maju.

Widjaja, Gunawan. 2013. Seri Hukum Bisnis Waralaba. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Widjaja, Gunawan. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Akmal , Thareq Hibatullah.2018. Pengusaha Wajib Mengetahui Soal


Wanprestasi.
https://smartlegal.id/smarticle/2018/11/16/pengusaha -wajib-
ketahui-soal-wanprestasi/. di akses pada 2 April 2022 Pukul 10.55.

You might also like