You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS TRAUMATIC BRAIN INJURY

Disusun Oleh :
Nama : Andra Esmeralda Rumlauna
Nim : A1C122039

CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi mekanik
terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi satu atau lebih
kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan kesadaran, amnesia pasca trauma,
atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal neurologis,kejang, lesi intrakranial).
Traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak
yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana saja
termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan perang
(Atmadja, 2016).

B. Etiologi
Berdasarkan Hurst (2016) penyebab umum Traumatic Brain Injury adalah:
1. Kecelakaan kendaraan bermotor (termasuk mobil, sepeda motor, dan kendaraan off-
road)
2. Gaya akselerasi/deselerasi pada kepala, seperti cedera olahraga (sepak bola) atau
sindrom bayi terguncang (shaken baby syndrome).
3. Setiap benturan langsung ke kepala, yang akibat berupa cedera tak sengaja dalam
olahrga atau akibat tindakan kekerasan.
4. Cedera akibat ledakan atau luka tembak, seperti yang dialami oleh tentara selama
perang.

C. Patofisiologi
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak terhindarkan
dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi trauma. Cedera ini
dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan
distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini
menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi neuron, glia,
dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun
difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah
otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal
injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan
epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan
(Atmadja, 2016).
Menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak dapat dihindari setelah
setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia,
hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang. Cedera otak sekunder merupakan
lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan,
biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuroapoptosis, dan
inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder
adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan perfusi ke jaringan
di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat,
demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang
mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi
hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan
hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta hemostasis (Atmadja, 2016).

D. Manifestasi Klinik
Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun
pada umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran bahkan hingga koma. Cedera
otak traumatik (traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis
otak yang diakibatkan trauma dengan manifestasi klinik berikut ini (Soemarmo, 2018):
1. Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit
2. Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post
traumatic amnesia) kurang dari 24 jam
3. Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)
4. Defisit neurologis fokal transien atau non transien
5. Skor GCS 13-15 setelah 30 menit

E. Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang terjadi pada
sekitar 10% penderita yang mengalami cedera hebat tanpa adanya luka tembus di
kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Obat-
obat anti kejang (misalnya feniton, karbamazepinatau valproate) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini, 2017).
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya (Ristanto,
Indra, Pueranto, & Styorini, 2017).
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan
atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh
kerusakan pada lobus parietalis ataulobus frontalis (Ristanto, Indra, Pueranto, &
Styorini, 2017).
4. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Amnesia hanya
berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada
beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang
hebat, amnesia bias bersifat menetap (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini, 2017).
5. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini,
2017).
6. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretic (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini,
2017).
7. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu) (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini, 2017).
8. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien
dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi
kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien (Ristanto, Indra, Pueranto, &
Styorini, 2017).
9. Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 jam setelah
cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala
klinis adanya peningkatan TIK (Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini, 2017).
10. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neurologis :perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala
hebat, Mual atau Muntah proyektil (tanda dari peningkatan TIK) (Ristanto, Indra,
Pueranto, & Styorini, 2017).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien cedera kepala yaitu
(Hurst, 2016):
1. Computed Tomography (CT-Scan)
Peran CT scan kepala pada pasien cedera kepala merupakan salah satu informasi
tambahan yang bisa digunakan untuk menentukan kondisi pasien menggunakan
teknologi imaging. CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-
struktur intrakranial. Densitas serebrum pada CT adalah isodens. Hematoma
epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali memiliki bentuk yang
berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular karena kerekatan dura mater
dengan tabula dalam tulang tengkorak pada kedua tepi/ujung lesi. Hematoma
epidural dapat menggeser sistem ventrikuler dan kelenjar pineal.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan structural yang paling sensitive. MRI, sesuai yang
diindikasikan oleh namanya, penggunaan bidang magnet untuk menggambarkan
jaringan otak, yang bertentangan dengan radiasi sinar-X dari pemindaian CT. MRI
akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
3. EEG (elektroensafa-logram)
Memantau gelombang otak yang dihasilkan oleh aktivitas listrik, area kerusakan
diotak akan menghasilkan penurunan aktivitas listrik.
4. Angiografi selebral
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sinar X pada sirkulasi serebral:
a. Sebuah kateter dimasukkan melalui arteri femoralis dan naik ke akrteri di leher
b. Pewarna (berbahan iodin) diinjeksikan kedalam arteri untuk menggambarkan
pembuluh darah serebral.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan traumatic brain injury menurut Dash &
Chavali (2018), dijelaskan sebagai berikut:
1. Manajemen cairan
Saline adalah kristaloid yang paling umum digunakan pada pasien cedera kepala,
dan yang paling sering menjadi alternatif adalah Ringer Laktat. Solusi kristaloid
seimbang mungkin merupakan alternatif yang baik. Namun, pemberian cairan ini
perlu diperhatikan, karena pemberian dalam normal salin dalam jumlah volume
besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik yang merugikan pasien.
2. Osmoterapi
Osmoterapi dengan manitol sebagai pengobatan utama untuk peningkatan ICP dan
tetap menjadi komponen pedoman manajemen TBI. Manitol meningkatkan CBF
(cerebral blood flow/aliran darah otak) oleh ekspansi plasma, mengurangi viskositas
darah melalui eritrosit yang terdeformasi, dan meningkatkan diuresis osmotik.
3. Terapi antikonvulsan
Setelah mengalami cedera kepala, aktivitas kejang menghasilkan peningkatan ICP
dan pasokan oksigen yang berubah ke otak yang terluka. Untuk mencegah cedera
otak sekunder, profilaksis kejang perlu diketahui. Pengobatan dengan phenytoin
efektif dalam menurunkan tingkat kejang pasca trauma dalam 7 hari pertama cedera,
tetapi tidak peran penting dalam pencegahan kejang pasca trauma setelah minggu
pertama cedera. Perbandingan klinis levetiracetam dan phenytoin dalam pencegahan
profilaksis kejang posttraumatic awal telah ditemukan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam tingkat kejang pascatrauma awal di antara pasien yang diobati
dengan fenitoin dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan levetiracetam
4. Managemen suhu
Dalam praktik klinis, hipertermia dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk, yang
mungkin menyebabkan peningkatan edema dan peradangan.
5. Pembedahan (kraniektomi)
Kraniektomi dekompresi adalah prosedur pembedahan yang melibatkan
pengangkatan sebagian besar tengkorak. Craniectomy dapat mengurangi ICP dengan
memberi ruang ekstra pada otak yang mengalami edema dan mencegah terjadinya
herniasi batang otak.
6. Terapi antibiotik
Pasien dengan cedera kepala lebih banyak menerima tindakan invasif dan perawatan
terapeutik, termasuk ventilasi mekanis, sehingga lebih rentan terhadap risiko
berkembangnya infeksi. Sumber infeksi perlu untuk diidentifikasi dan terapi yang
tepat yang akan digunakan. Sumber infeksi yang umum adalah tindakan invasif ICP
berkisar dari 1% hingga 27%.

H. Pencegahan
1. Menjaga jalan nafas bebas dan C-spine control.
Pasien dengan TBI memiliki risiko insiden cedera cervical hingga 5% hingga 6%.
Oleh karena itu, apabila pasien diindikasikan untuk dilakukan intubasi, upaya
stabilisasi leher harus dilakukan untuk mencegah perburukan cidera neurologis
(Dash & Chavali, 2018).
2. Memberikan oksigenasi.
Pemberian oksigenasi ini harus hati-hati, hiperventilasi hanya direkomendasikan
untuk tanda-tanda jelas herniasi. Dalam kasus seperti itu, hanya hiperventilasi ringan
yang disarankan. Ventilasi pasien dengan severe TBI bertujuan untuk
mempertahankan PCO2 dalam kisaran normal, yaitu 34-38 mmHg. Keadaan
hipoventilasi harus dihindari, karena peningkatan kadar PCO2 dapat menyebabkan
perdarahan cerebral disertai peningkatan volume darah dan ICP. Di sisi lain,
hiperventilasi akan mengakibatkan peningkatan risiko vasokonstriksi dan hipoksia
jaringan, sehingga sebaiknya dihindari (Dash & Chavali, 2018).
3. Pemberian cairan dan menjaga keseimbangan cairan tubuh.
TBI guideline merekomendasikan untuk menjaga Systolic Blood Pressure (SBP) ≥
90 mmHg. Resusitasi cairan intravena (IV) dengan bolus awal 1 L Normal Saline
atau Ringer laktat pada orang dewasa dan remaja, serta 20 ml/kg pada anak-anak
diikuti oleh pemberian cairan IV dengan kecepatan dan volume yang cukup untuk
mempertahankan SBP ≥ 90 mmHg. Meskipun penggunaan cairan kristaloid dapat
memberikan efek brain edema dan peningkatan Intra Cranial Pressure (ICP), namun
penggunaannya relatif lebih aman dibandingkan koloid yang meningkatkan risiko
acute kidney injury dan peningkatan kemungkinan untuk renal replacement pada
pasien kritis. Penggunaan manitol dan hipertonik saline sering diaplikasikan pada
pasien dengan TBI. Keduanya bekerja untuk mengurangi tekanan intracranial
melalui penurunan viskositas darah, yang bertujuan untuk peningkatan aliran
mikrosirkulasi darah dan membuat penyempitan pial arteriole, mengakibatkan
penurunan volume darah serebral dan tekanan intracranial. Pada pembandingan
antara keduanya dari beberapa penelitian, hipertonik saline ditemukan lebih
memberikan manfaat dalam segi masa perawatan yang lebih pendek, penurunan ICP
kumulatif dan ICP harian (Dash & Chavali, 2018).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesis
a. Identitas pasien: usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku, tanggal masuk rumah sakit, penanggung jawab, status perkawinan.
b. Keluhan utama: nyeri kepala disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise peningkatan TIK
serta gejala neurologik fokal
d. Riwayat kejadian cedera kepala
2. Pengkajian Fokus
a. Airway
 Terdapat sumbatan atau penumpukan secret
 Adanya suara nafas tambahan, terdengar adanyasuara snoring (+)
b. Breathing
 Perubahan frekuensi nafas (Takipnea)
 Irama nafas abnormal (cepat dan dangkal)
 Nafas spontan tetapi tidak adekuat
c. Circulation
 Perubahan tekanan darah
 Perubahan frekuensi jantung (takikardia)
 Akral dingin
 Hidung dan mulut mengeluarkan darah atau perdarahan massif
 Anemis (+)
d. Disability
 Mata: pupil anisokor
 Reaksi cahaya menurun
 Penurunan GCS
 Peningkatan TIK
 Kerusakan system saraf pusat atau neuromuscular
e. Exposure
 Kepala terdapat lesi
3. Pemeriksaan Fisik
a. ktifitas dan istirahat: penekanan perdarahan serebral menyebabkan terjadinya
penurunan tingkat kesadaran akibat hipoksia serebral
b. Sirkulasi: Dapat terjadi perubahan denyut nadi dan tekanan darah
c. Eliminasi: inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
gerak peristaltik usus
d. Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
e. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori: hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, gangguan penglihatan
h. Nyeri/kenyamanan: nyeri kepala
i. Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan: suhu yang naik turun
k. Pemeriksaan diagnostik CT- SCAN: dasar dalam menentukan diagnosa dengan
memperlihatkan lokasi hematoma dan juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
3. Nyeri akut
4. Risiko defisit nutrisi
5. Defisit Perawatan Diri
6. Risiko infeksi
7. Kerusakan integritas kulit
8. Hipovolemia
9. Risiko cedera
10. Penurunan kapasitas adaptif intracranial
11. Hipertermi
12. Risiko penurunan curah jantung

C. Rencana/Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan Rasional
1 Risiko Setelah Pemantauan neurologis Observasi:
perfusi dilakukan Observasi: 1. Untuk mengetahui
serebral tindakan 1. Monitor ukuran, reaksi pupil
tidak efektif keperawatan bentuk, kesimetrisan 2. Untuk mengetahui
diharapkan dan reaktifitas pupil tingkat kesadaran
perfusi serebral 2. Monitor tingkat 3. Untuk mengetahui
meningkat. kesadaran kondisi vital pasien
Kriiteria Hasil: 3. Monitor tingkat 4. Untuk mengetahui
1. Tingkat orientasi status pernaasan
Kesadaran 4. Monitor tanda-tanda pasien
cukup vital 5. Untuk mengetahui
meningkat 5. Monitor status kondisi balutan
2. Tekanan pernapasan 6. Untuk menilai
intrakranial 6. Monitor ICP DAN respon pasien
cukup CPP terhadap
menurun 7. Monitor reflek kornea pengobatan yang di
3. Tekanan h. Monitor balutan berikan
darah sistolik kraniatomi dan Terapeutik:
dan diastolic laminektomi terhadap 1. Untuk lebih
cukup adanya drainase mengetahui secara
membaik 8. Monitor respon signifikan kondisi
4. Tekanan pengobatan neurologis pasien
nadi cukup Terapeutik: 2. Untuk menghindari
membaik 1. Tingkatkan frekuensi hal yang berisiko
pemantauan 3. Agar pemantauan
neurologis, jika perlu sesuai kondisi
2. Hindari aktivitas yang pasien
dapat meningkatkan 4. Untuk mengetahui
tekanan intracranial keadaan pasien
3. Atur interval waktu Edukasi:
pemantauan sesuai 1. Agar pasien
dengan kondisi pasien mengetahui tujuan
4. Dokumentasi hasil dan prosedur
pemantauan pemantauan
Edukasi: 2. Agar pasien
1. jelaskan tujuan dan mengetahui
prosedur pemantauan kondisinya
2. informasikan hasil
pemantauan
2 Bersihan Setelah Manajemen Jalan Napas Manajemen Jalan
dilakukan Observasi: Napas
jalan nafas
intervensi 1. Monitor pola napas Observasi:
tidak efektif keperawatan 2. Monitor bunyi napas 1. Mengetahui pola
maka bersihan tambahan nafas klien
jalan nafas (mis:gurgling, mengi, 2. Mengetahui bunyi
membaik dengan wheezing, ronghi) nafas tambahan
kriteria hasil: 3. Monitor sputum klien
1. produksi (jumlah,warna,aroma 3. Mengetahui jumlah
sputum ) dan warna sputum
menurun Terapeutik: klien
2. wheezing 1. Pertahankan Terapeutik:
menurun kepatenan jalan napas 1. Menjaga kebersihan
3. Gelisah 2. Posisikan semi fowler jalan nafas klien
menurun atau fowler 2. Mengatur posisi
3. Lakukan penghisapan klien dengan kepala
lendir kurang dari 15 lebih tinggi
detik 3. Membersihkan jalan
Edukasi: nafas kurang dari 15
1. Anjurkan asupan detik
cairan 2000ml/hari, Edukasi:
jika tidak 1. Menyarankan
kontraindikasi pemberian asupan
Kolaborasi: cairan 2000ml
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi:
bronkodilator, 1. Bekerjasama dalam
ekspektoran, pemberian obat
mukolitik, jika perlu pengencer lendir
2. Pemantauan Respirasi 2. Memantau
pernapasan
3 Nyeri akut Setelah tindakan Manajemen Nyeri Manajemen nyeri
keperawatan, Observasi: Observasi:
diharapkan 1. Lakukan pengamatan 1. Agar mengetahui
partisipan pada lokasi, lokasi, karakteristik,
mampu karakteristik, durasi, durasi, frekuensi,
menangani frekuensi, kualitas kualitas dan
masalah nyeri dan intensitas nyeri. intensitas nyeri
dengan indikator: 2. Identifikasi skala 2. Mengetahui skala
1. Rasa nyeri nyeri. nyeri
berkurang 3. Perhatikan respon 3. Melihat respon
2. Tidak nyeri pada wajah nyeri pada wajah
kesulitan klien. klien
tidur 4. Identifikasi faktor 4. Mengetahui factor
3. Gelisah yang memperberat yang memperberat
berkurang serta meringankan nyeri
4. Frekuensi nyeri. 5. Menilai tingkat
nadi 5. Identifikasi pengetahuan nyeri
membaik pengetahuan tentang terhadap nyeri
5. Pola nafas nyeri. 6. Mengetahui budaya
normal 6. Identifikasi budaya terkait respon nyeri
terkait respon nyeri. 7. Mengetahui
7. Pantau keberhasilan keberhasilan dari
terapi komplementer terapi
yang telah dilakukan. komplementer yang
8.Pantau efek samping dilakukan
pemberian obat anti 8. Mengetahui tingkat
nyeri. kondisi pasien
Terapeutik: Terapeutik:
1. Beri teknik non 1. Untuk mengurangi
farmakologis agar rasa nyeri
rasa nyeri berkurang. 2. Untuk mengurangi
2. Kontrol lingkungan nyeri
agar rasa nyeri bisa 3. Untuk memberi
menurun. kenyamanan kepada
3. Bantu fasilitasi klien
istirahat dan tidur. Edukasi:
4. Pada saat pemilihan 1. Agar pasien
strategi untuk mengetahui
mengatasi nyeri itu penyebab, periode
patut untuk dan pemicu
mempertimbangkan timbulnya rasa nyeri
sumber dan jenis dari 2. Agar pasien tau cara
nyeri itu sendiri. meredakan nyeri
Edukasi: 3. Mengetahui
1. Beri penjelasan frekuensi nyeri
tentang penyebab, Kolaborasi:
periode dan pemicu 1. Bekerja sama dalam
timbulnya rasa nyeri menurunkan rasa
2. Ajarkan tentang cara nyeri
meredakan nyeri
3. Anjurkan untuk
memonitor rasa nyeri
sendiri
Kolaborasi:
1. Kolaborasikan tentang
pemberian analgesic
untuk meredakan
nyeri
4 Risiko Setelah Manajemen Nutrisi Observasi:
dilakukan Observasi: 1. Mengetahui jenis,
defisit
tindakan 1. Identifikasi status jumlah makanan
nutrisi keperawatan nutrisi yang dikonsumsi.
diharapkan status 2. Monitor asupan Terapeutik:
nutrisi membaik makanan 1. Agar asupan nutrisi
Kriteria Hasil: 3. Monitor hasil lab tetap terkontrol dan
1. Porsi Terapeutik: terjamin
makanan 1. Berikan makanan Edukasi:
yang kaya akan kalori dan 1. Agar makanan yang
dihabiskan protein dikonsumsi sesuai
2. Frekuensi 2. Berikan nutrisi dengan asupan
makan cukup melalui NGT nutrisi yang
membaik Edukasi: dibutuhkan tubuh
3. Membran 1. Anjurkan posisi Kolaborasi:
mukosa semifowler 1. Bekerja sama dalam
cukup 2. Ajarkan keluarga diet mengontrol asupan
membaik yang diprogramkan nutrisi yang
Kolaborasi: dikonsumsi
1. Kolaborasikan dengan
ahli gizi untuk kalori
dan nutrisi yang
dibutuhkan
5 Defisit Setelah Observasi: Observasi:
dilakukan 1. Identifikasi kebiasaan 1. Mengetahui
Perawatan
intervensi aktivitas perawatan kebiasaan aktivitas
Diri keperawatan diri sesuai usia klien
maka defisit 2. Monitor tingkat 2. Menilai tingkat
perawatan diri kemandirian kemandirian pasien
membaik dengan Teraupetik: Teraupetik:
kriteria hasil: 1. Sediakan lingkungan 1. Menciptakan
1. Kemampuan yang teraupetik suasana
mandi 2. Damping dalam kenyamanan
meningkat melakukan perawatan terhadap klien
2. Kemampuan diri sampai mandiri 2. Agar pasien tau
mengenakan Edukasi: cacatara melakukan
pakaian 1. Anjurkan melakukan perawatan
meningkat perawatan diri secara Edukasi:
3. Kemampuan konsisten sesuai 1. Agar pasien terjaga
makan kemampuan ke bersihannya
meningkat
4. Kemampuan
toilet
(BAB/BAK)
meningkat
6 Risiko Setelah Pencegahan Infeksi Observasi:
dilakukan Observasi: 1. Untuk melihat dan
infeksi
tindakan 1. Mengidentifikasi dan membantu
keperawatan menurunkan risiko menurunkan risiko
tidak terjadi terserang organisme terserang organisme
infeksi Kriteria patogenik patogenik
hasil: 2. Monitor tanda dan 2. Untuk mengetahui
1. Integritas kulit gejala infeksi lokal jika teradi tanda dan
cukup dan sistemik gejala infeksi
meningkat Terapeutik: Terapeutik:
2. Integritas 1. Batasi jumlah 1. pasien beristirahat
mukosa cukup pengunjung dan mengurangi
meningkat Edukasi: kebisingan
3. Infeksi tidak 1. Jelaskan tanda dan Edukasi:
berulang gejala infeks 1. Memberikan
4. Suhu tubuh 2. Ajarkan cara mencuci informasi kepada
cukup tangan dengan benar pasien dan terhadap
membaik tanda dan gejala
inveksi
2. Untuk mengurangi
terjadinya infeksi
silang atau
menyebaran
mikroorganisme
7 Kerusakan Setelah Perawatan integritas Observasi:
dilakukan kulit 1. Mengetahui
integritas
tindakan Observasi: penyebab gangguan
kulit keperawatan 1. identifikasi penyebab integritas kulit
diharapkan gangguan integritas Teraupetik:
integritas kulit kulit 1. Agar sirkulasi dara
membaik Terapeutik: pasien lancar
Kriteria Hasil: 1. ubah posisi tiap dua 2. Agar menghindari
1. elastisitas jam risiko infeksi
meningkat 2. bersihkan perineal 3. Agar kulit pasien
2. hidrasi dengan air hangat, tetap lembab
meningkat terutama pada periode Edukasi:
3. perfusi diare 1. Agar kulit pasien
meningkat 3. gunakan produk yang tetap lembab
4. hematoma mengandung 2. Memenuhi
menurun petroleum atau kebutuhan cairan
5. nyeri minyak pada kulit pasien
menurun kering 3. Memenuhi
6. perdarahan Edukasi: kebutuhan nutrisi
menurun 1. anjurkan pasien
menggunakan
pelembab
2. anjurkan minum air
yang cukup
3. anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
8 Hipovolemia Setelah Manajemen Hipovolemia Manajemen
dilakukan Observasi: Hipovolemia
tindakan 1. Periksa tanda dan Observasi:
keperawatan gejala hipovolemia 1. Mengetahui tanda
status cairan 2. Monitor intake dan dan gejala
Kriteria hasil: output cairan hipovolemia
1. Kekuatan Terapeutik: 2. Mengetahui volume
nadi 1. Hitung kebutuhan cairan
meningkat cairan Terapeutik:
2. Turgor kulit 2. Berikan asupan cairan 1. Mengetahui
meningkat oral kebutuhan cairan
3. Perasaan Edukasi: 2. Terpenuhi cairan
lemah 1. Anjurkan pasien
menurun memperbanyak Edukasi:
4. Keluhan asupan cairan oral 1. Agar terpenuhi
haus 2. Anjurkan menghindari cairan tubuh pasien
menurun perubahan posisi 2. Agar tidak terjadi
5. Frekuensi mendaadak pembengkakan
nadi Kolaborasi: Kolaborasi:
membaik 1. Kolaborasi pemberian 1. Memnuhi
6. Intake cairan cairan IV isotonis kebutuhan cairan
membaik 2. Kolaborasi pemberian pasien
7. Suhu tubuh cairan IV hipotonis
membaik
9 Risiko Setelah Pencegahan Cedera Pencegahan Cedera
dilakukan Observasi: Observasi:
cedera
tindakan 1. Identifikasi 1. Mengetahui potensi
keperawatan lingkungan yang penyebab cedera
tidak berpotensi 2. Mengetahui obat
menurunkan menyebabkan cedera yang menyebabkan
resiko terjadi
2. Identifikasi obat yang cedera
cedera Kriteria berpotensi Terapeutik:
hasil: menyebabkan cedera 1. Agar menerangi
1. Toleransi Terapeutik: penglihatan pasien
aktivitas 1. Sediakan pencahayaan 2. Mengurangi resiko
membaik yang memadai cedera pasien
2. Nafsu makan 2. Sediakan alas kaki Edukasi:
membaik anti slip 1. Agar keluarga
3. Kejadian 3. Sediakan pispot atau mengetahui tujuan
cedera urinal untuk eliminasi dari intervensi
menurun di tempat tidur
4. Pola 4. Tingkatkan frekuensi
istirahat/tidurobservasi dan
membaik pengawasan pasien
Edukasi:
1. Jelaskan alasan
intervensi pencegahan
jatuh ke pasien dan
keluarga
10 Penurunan Setelah Pemantauan neurologis Observasi:
dilakukan Observasi: 1. Untuk mengetahui
kapasitas
tindakan 1. Monitor ukuran, reaksi pupil
adaptif keperawatan bentuk, kesimetrisan 2. Untuk mengetahui
kapasitas dan reaktifitas pupil tingkat kesadaran
intracranial
intracranial 2. Monitor tingkat 3. Untuk mengetahui
membaik kesadaran kondisi vital pasien
Kriteria hasil: 3. Monitor tingkat 4. Untuk mengetahui
1. Tingkat orientasi status pernaasan
kesadaran 4. Monitor tanda-tanda pasien
meningkat vital 5. Untuk mengetahui
2. Fungsi 5. Monitor status kondisi balutan
kognitif pernapasan 6. Untuk menilai
meningkat 6. Monitor ICP DAN respon pasien
3. Sakit kepala CPP terhadap
menurun 7. Monitor reflek kornea pengobatan yang di
4. Gelisah 8. Monitor balutan berika
menurun kraniatomi dan Terapeutik:
5. Tekanan laminektomi terhadap 1. Untuk lebih
darah adanya drainase mengetahui secara
membaik 9. Monitor respon signifikan kondisi
pengobatan neurologis pasien
Terapeutik: 2. Untuk menghindari
1. Tingkatkan frekuensi hal yang berisiko
pemantauan 3. Agar pemantauan
neurologis, jika perlu sesuai kondisi
2. Hindari aktivitas yang pasien
dapat meningkatkan 4. Untuk mengetahui
tekanan intracranial keadaan pasien
3. Atur interval waktu Edukasi:
pemantauan sesuai 1. Agar pasien
dengan kondisi pasien mengetahui tujuan
4. Dokumentasi hasil dan prosedur
pemantauan pemantauan
Edukasi: 2. Agar pasien
1. jelaskan tujuan dan mengetahui
prosedur pemantauan kondisinya
2. informasikan hasil
pemantauan
11 Hipertermi Setelah Manajemen Hipertermia Manajemen
dilakukan Observasi: Hipertermia
tindakan 1. Identifikasi penyebab Observasi:
keperawatan hipertermia (mis. 1. Mengetahui
diharapkan status dehidrasi, terpapar Penyebab
suhu membaik lingkungan panas, hipertermia
Kriteria Hasil: penggunaan 2. Memperhatikansuhu
1. Menggigil inkubator) tubuh
menurun 2. Monitor suhu tubuh 3. Memperhatikan
2. Kejang 3. Monitor kadar kadar elektrolit
menurun elektrolit 4. Menghitung
3. Takikardi 4. Monitor haluaran pengeluaran urine
menurun urine 5. memperhatikan
4. Takipnea 5. Monitor komplikasi komplikasi akibat
menurun akibat hipertermia hipertermia
5. Suhu tubuh Terapeutik: Terapeutik:
membaik 1. Sediakan lingkungan 1. sediakan
6. Tekanan yang dingin lingkungan dingin
darah 2. Longgarkan atau 2. Longgarkan atau
membaik lepaskan pakaian lepaskan pakaian
3. Basahi atau kompres 3. Basahi atau
hangat kompres hangat
4. Berikan cairan oral 4. Berikan cairan oral
Edukasi: Edukasi
1. Anjurkan tirah baring 1. Menyarangkan
Kolaborasi: istirahat total
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi
cairan dan elektrolit 1. pemberian cairan
intravena, jika perlu dan elektrolit
intravena
12 Risiko Setelah Perawatan jantung akut Observasi:
penurunan dilakukan Observasi: 1. Mengetahui
curah tindakan 1. Identifikasi karakteristik nyeri
jantung keperawatan karakteristik nyeri dada
diharapkan tidak dada 2. Memantau oksigen
terjadi penurunan 2. Monitor saturasi yang di butuhkan
curah jantung oksigen pasien
Kriteria Hasil: Terapeutik: Terapeutik:
1. Kekuatan 1. Pertahankan tirah 1. Agar pasien dapat
nadi perifer baring beristirahat
meningkat 2. Berikan relaksasi 2. Mengurangi stress
2. Edema untuk mengurangi pasien
menurun ansietas dan stress 3. Agar pasien merasa
3. Dyspnea 3. Sediakan lingkungan nyaman
menurun yang kondusif untuk Edukasi:
4. Suara beristirahat 1. Anjurkan
jantung S3 Edukasi: melaporkan nyeri
menurun 1. Anjurkan melaporkan 2. Agar pasien
5. Suara nyeri mengetahui segala
jantung S4 2. Jelaskan tindakan tindakan yang
menurun yang dijalani pasien diberikan
6. TD membaik 3. Ajarkan teknik Kolaborasi:
menurunkan 1. Kolaborasi untuk
kecemasan meningkatkan
Kolaborasi: kesehatan pasien
1. Kolaborasi pemberian
obat
Penyimpangan KDM
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, DS. 2016. Cedera Kepala Tertutup.

Dash, H. H., & Chavali, S. 2018. Management Of Traumatic Brain Injury Patients. Korean
Journal of Anesthesiology, 12-21.

Hurst. 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah, Vol. 1. Jakarta: EGC.

Ristanto, R., Indra, R Pueranto, S., & Styorini, I. 2017. Akuransi Reviset Trauma Score
Sebagai Predikator Murtality pasien Cidera Kepala. Jurnal Fakultas Kedokteran, 1-15.

Soemarmo. 2018. Neurologi. Jakarta: Binarupa Aksara.

You might also like