You are on page 1of 17

BAB IV

HUBUNGAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH TERNATE

DALAM KONSTETASI PERNIAGAAN DI AWAL ABAD KE-18

Jalur sutera adalah nama puitis dari jalur perdagangan yang

berkembang antara Asia dan Eropa sejak abad-abad pertama masehi. Nama

Seidentrasse yang pada abad ke 19 M, diberi oleh seorang pakar geografi

Jerman, Baron Ferdinand von Richthofen, kini telah diterjemahkan ke dalam

banyak bahasa, dan sejak tahun 1978 M, menjadi nama sebuah proyek

penelitian Unesco yang diberi judul : Integral Study of the Silk Roads: Roads of

Dialogue. Dengan memilih nama demikian hendak diperingatkan bahwa

melalui jalur itu tidak hanya mengalir barang dagangan seperti sutera, rempah-

rempah, dan sebagainya tetapi juga gagasan dan pemikiran, nilai dan norma,

dan sebagainya yang telah memperkaya, malah mengubah kebudayaan

setempat (Van Leur, 2015: 217).

Jalur sutera ini juga meliputi atau melewati perairan Indonesia. Jalur

ini menyatu dengan jalur rempah-rempah yang berawal dari Maluku, penghasil

pala dan cengkeh. Sampai akhir abad ke-13 M, rempah-rempah Maluku dahulu

hanya diperdagangkan ke Ambon dan Banda oleh para pedagang lokal. Para

pedagang Jawa dan Melayu kemudian membawanya dari Ambon atau tepatnya

Hitu dan Banda ke Pelabuhan Gresik, Tuban, Pasai, dan Malaka. Tetapi para

pedagang Hitu dan Banda ketika itu juga membawa rempah-rempah Maluku ke

pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur dan Malaka. Pada awal abad ke-14 M,

47
48

pelabuhan Ternate, Tidore, Makian, dan Bacan mulai dikunjungi para

pedagang Nusantara yaitu Jawa dan Melayu lalu menyusul pedagang-pedagang

Cina dan Arab. Agaknya perdagangan cengkeh mulai ramai kala itu. Dengan

datangnya para pedagang dari Arab, agama Islam mulai masuk namun belum

dianut oleh para bangsawan maupun oleh kalangan penduduk lainnya (Vlekke,

2008: 68).

Barulah pada pertengahan abad ke-15 M agama Islam mulai dianut

oleh para bangsawan kemudian menyusul kalangan penduduk lainnya. Namun,

rupanya bukan bangsa Arab yang mengislamisasi penduduk Ternate melainkan

orang Jawa atau tepatnya berasal dari Giri (Gresik) yaitu Maula Husein. Pada

pertengahan abad ini jugalah motivasi para pelayar ataupun para pedagang

asing untuk memperoleh rempah-rempah ini secara langsung (tanpa pedagang

perantara seperti pada abad-abad sebelumnya) telah mendorong mereka

melakukan pelayaran hingga menemukan daerah asal produsennya. Mula-mula

terbatas pada orang Portugis dan Spanyol saja, tetapi sejak akhir abad ke 16 M

orang Inggris, Perancis, Belanda, dan kemudian juga orang Denmark, mulai

terlibat dalam pertarungan sengit yang terjadi ketika kapal-kapal Eropa tersebut

saling memperebutkan hegemoni dan monopoli perdagangan pada masa

globalisasi awal ini (Ricklefs, 2008: 201).

Cengkeh merupakan komoditi dagang yang dibawa dari Indonesia

oleh pedagang India. Cengkeh yang merupakan hasil dari wilayah Timur

Indonesia rupa-rupanya telah dikenal lama dalam tradisi India ini dibuktikan

dalam kitab Raghuvamsa yang ditulis Kalidasa disebut lavanga yang berarti
49

cengkeh yang berasal dari Dvipantara yang artinya nama lain dari Indonesia.

Cengkeh oleh orang India digunakan antara lain untuk campuran bahan obat

yang diperkenalkan oleh seorang tabib raja (Lapian, 2008: 39).

Digunakannya jalur laut ke ”kepulauan rempah-rempah” oleh para

pedagang bangsa asing untuk mencapai dan membawa ke pelabuhan-pelabuhan

lain. Karena jalur darat dirasakan tidak aman dan beresiko tinggi selain

berhadapan dengan para perampok, para pedagang yang melewati jalur ini

harus mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi belum lagi terjadi pungutan

dalam sepanjang perjalanan oleh orang-orang yang bermukim di wilayah jalur

niaga. Kerajaan atau kesultanan-kesultanan di Maluku sangat mengandalkan

penghasilannya pada sektor perdagangan rempah-rempah. Hingga pada abad

ke-16 M, Ternate berhasil mencapai kejayaannya. Menurut catatan sejarah

tentang dunia perniagaan cengkeh merupakan niaga utama yang mempengaruhi

dunia perniagaan karena mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Jadi

tidaklah mengherankan para pedagang terdorong untuk menemukan wilayah

produsen rempah-rempah, walaupun jalan menuju tujuan ke Maluku tidaklah

mudah (Leirissa, 1973: 33).

Pengaruh rempah-rempah telah mengangkat perekonomian Ternate,

pengaruh rempah-rempah juga membuat percaturan politik antara kerajaan

maupun kesultanan daerah sekitar Maluku saling memperluas wilayahnya.

Kedatangan para bangsa asing khususnya bangsa Eropa pada abad ke-16, telah

membawa perubahan dalam perniagaan rempah-rempah. Kebanyakan dari

mereka ingin menguasai dan memonopoli perdagangan dengan cara politik


50

bujuk rayu dan adu domba antar-kesultanan hingga menyebabkan kerajaan atau

kesultanan-kesultanan di Maluku terperangkap dengan siasat itu. Sejalan

dengan penyebaran barang perdagangan yang diduga dibuat di dalam maupun

di luar kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan impor. Sistem ekspor

dimaksudkan adalah penjualan barang-barang ke luar wilayah dari Kesultanan

Ternate. Baik berupa hasil pertanian dan non-pertanian. Sedangkan sistem

impor adalah penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah

kekuasaan Kesultanan Ternate, baik berupa bahan makanan seperti beras,

benda seni seperti keramik yang didatangkan dari Jawa dan Cina, dan peralatan

sehari-hari (Alwi, 2005: 92).

Mengacu pada sumber-sumber yang ada saat ini. Sulit sekali untuk

mendapatkan rincian tertulis mengenai komoditi ekspor dan impor di Ternate.

telah diketahui bahwa pada umumnya barang yang diekspor oleh Kesultanan

Ternate antara lain, cengkeh, pala, dan kayu manis. Kesulitan data ini

mengakibatkan pengambaran komoditi ekspor dan impor ini hanya di pilih

beberapa saja. Dari sumber yang ada, barang ekspor antara lain cengkeh dan

pala, sedangkan untuk barang impor yaitu beras.

Bentuk komoditi cengkeh yang diperdagangkan berupa putik bunga

cengkeh yang dikeringkan. Awalnya tanaman ini tumbuh subur di pulau-pulau

kecil di Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai Barat Halmahera.

Kegunaan cengkeh sebelum Masehi sampai sekarang masih dimanfaatkan

untuk pengobatan, parfum, dan bumbu masak.62 Selama abad ke-16

penanaman jenis tanaman tropis ini mulai meluas ke Selatan yakni ke Ambon
51

dan Seram. Pada abad ke-17 kepulauan di sebelah Selatan ini merupakan pusat

produksi utama. Kombinasi antara tanah subur walaupun berbatu, kabut

pegunungan, angin laut, dan matahari serta hujan tropis adalah kondisi alam

yang sangat baik bagi pertumbuhan cengkeh. Tidak memerlukan tenaga ekstra

untuk memproduksi cengkeh (Leirissa dkk, 1999: 70).

Ketika pohon cengkeh mendekati masa berbunga pada Agustus atau

September, maka orang-orang siap memanen yang berlangsung selama

beberapa pecan. Pada awalnya cengkeh hanya dijual ke Ambon dan sekitarnya

kemudian para pedagang dari Ambon membawanya ke Jawa. Setelah

kedatangan bangsa Eropa, perdagangan rempah-rempah Maluku dimonopoli

oleh mereka. Hal ini menjadikan harga cengkeh di Maluku sangat rendah

sedangkan di pasaran Eropa sangat mahal. Dengan kisaran harga 1 bahar (456

lb, atau setara dengan 309 kg) di Maluku hanya 2 ducat (1 ducat=f5,25).

Sementara di Malaka harganya mencapai 10 ducat (525 Gulden). Di Calcutta,

harga cengkeh naik tajam menjadi 500-600 fanom (1fanom=1 real) sedang

cengkeh dengan kualitas terbaik seharga mencapai 700 fanom. Pada tahun

1600 harga 1 pon cengkeh (1 pon=0,54 kg) di Maluku hanya ½ penny (penny,

mata uang Inggris. 100 penny=1 poundsterling), tetapi di Eropa harganya bisa

mencapai 16 poundsterling atau naik menjadi 32.000% (Vlekke, 2008: 148).

Pala, berbentuk agak bulat biasa dipakai sebagai bumbu masakan.

Sama halnya dengan cengkeh. Komoditas yang termasuk dengan rempah-

rempah ini hanya ada di Maluku. di Banda pohon pala berbuah sepanjang

tahun dan para pemetiknya menggunakan bambu panjang yang ujungnya


52

terdapat keranjang agar kualitas buah pala dapat terjaga. Dalam memanennya

jauh lebih ringan daripada memanen cengkeh. Oleh para pedagang rempah-

rempah (cengkeh dan pala) dibawa menuju Eropa. Pada tahun 1390-an. ±

sekitar 6 metrik ton cengkeh dan 1 ½ metrik pala mencapai daerah Eropa. Pada

abad sesudahnya terjadi peningkatan dalam pengiriman rempah-rempah yaitu

menjadi 52 ton untuk cengkeh dan 26 ton untuk pala. Jalur perdagangan ini

melalui Timur Tengah hingga sampai di Italia tepatnya kota Venesia.

Kebutuhan pasarlah yang menyebabkan meningkatnya pengiriman rempah-

rempah (Vlekke, 2008: 148).

Sulit untuk menjelaskan berapa nominal harga pala pada saat itu,

kesulitan dalam pencarian sumber-sumber yang menjelaskan harganya.

Membuat penulis tidak dapat menerangkan dan menjelaskannya. Yang bisa

dijelaskan, menurut sumber-sumber yang diperoleh keuntungan yang didapat

dari perdagangan lada telah menjadikan raja dan para bangsawan cepat kaya,

rempah-rempah sangat laku dan banyak membawa keuntungan.

Beras adalah barang impor terpenting yang didatangkan dari luar,

beras merupakan salah satu hasil pertanian terpenting. Untuk masyarakat

Indonesia beras merupakan bahan makanan pokok yang dikonsumsi sehari-

hari. Tetapi makanan pokok ini tidak terlalu berpengaruh bagi penduduk di

wilayah Maluku, karena pada umumnya rakyat Maluku lebih banyak yang

mengkonsumsi sagu. Dengan perkembangan perdagangan cengkeh yang

menyebabkan perluasan lahan perkebuanan cengkeh dan menurunnya produksi

bahan pangan, maka bahan makanan harus didatangkan dari luar, terutama
53

dibawa oleh orang Jawa dan Melayu. Selain bahan pangan, Ternate juga

mendatangkangkan berbagai macam bahan pakaian, seperti kain sutra dari Cina

termasuk juga bermacam-macam porselin. Tidak didapatkannya banyak data

mengenai komoditi impor di Kesultanan Ternate namun komoditi tersebut

sangat bernilai penting untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang

tinggal di KesultananTernate (Kartodirdjo, 1992: 16).

Semua barang ekspor dan impor tersebut sangatlah berpengaruh bagi

kehidupan Kesultanan Ternate dan masyarakatnya. Karena di samping

perdagangan rempah-rempah yang telah mendatangkan kemakmuran bagi

Kesultanan Ternate, mendatangkan bahan pangan dan sandang, seperti beras

yang amat penting peranannya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat

Ternate. Semuanya itu merupakan barang-barang yang diperdagangkan di

Ternate. Di Ternate juga telah dikenal penggunaan mata uang yang telah di

gunakan sebagai alat transaksi pembelian suatu barang. Namun, berbeda

dengan Aceh pada zaman Iskandar Muda (1607-1636), yang menggunakan

mata uang kesultanan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa mata uang

emas untuk menggantikan mata uang real Spanyol. Kesultanan Ternate sama

seperti bandar dagang di Nusantara lainnya, bertransaksi dengan penggunaan

mata uang real Spanyol, terkadang juga mengunakan mata uang gulden

Belanda, karena hal ini lebih memudahkan dalam transaksi baik di dalam

maupun ke luar. Hal ini wajar karena mata uang real Spanyol telah banyak

beredar dan berlaku di berbagai tempat, seperti Malaka, Banten, Sulawesi, dan

tempat lain (Leirissa, 1973: 60).


54

Dalam sebuah lintas perdagangan, akan didapati keterlibatan

berbagai kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi

suatu kota perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif

dalam perdagangan baik lokal maupun internasional. Hal ini telah menjadikan

sebuah kota perdagangan yang bersifat pluralistik menjadi titik temu antar

bangsa-bangsa dari seluruh wilayah.

Pada abad ke-XVI, yang merupakan puncak kemakmuran

Kesultanan Ternate, telah banyak didatangi oleh berbagai bangsa yang ikut

meramaikan perdagangan. Seringnya mereka melakukan perdagangan, lambat

laun mereka berdomisili di Ternate. Berbagai bangsa itu datang dari kawasan

sekitar Nusantara maupun asing, antara lain bangsa: Cina, Arab, Portugis,

Spanyol, Belanda, Jawa, dan Melayu. Para pedagang Cina, Arab, dan para

pedagang dari bumi Nusantara, pada umumnya datang ke Ternate hanya untuk

berdagang. Namun, tak dipungkiri pedagang-pedagang dari Arab maupun

pedagang Nusantara membawa misi mengislamkan penduduk sekitar. Berbeda

dengan para pedagang dari Eropa yang selain berdagang dan misi penyebaran

agama Kristen mereka juga berupaya untuk memonopoli perdagangan hingga

menimbulkan pertentangan dengan penguasapenguasa lokal. Jika melihat dari

data yang ada dalam abad ke-XVI, dari semua negara di atas, Cina, Portugis,

dan Belanda-lah yang memiliki peran yang amat berarti bagi perdagangan di

Kesultanan Ternate. Peran penting ini dapat dilihat dari sejauh mana mereka

dapat memainkan pengaruh dalam faktor ekonomi dan politik (Ricklefs, 2008:

192).
55

Orang-orang Cina berabad-abad lamanya telah merahasiakan negeri

asal cengkeh. Penemuan kompas oleh orang Cina, telah memberi jalan

pengetahuannya tentang kelautan, sehingga dapat dipastikan orang Cina-lah

yang pertama kali datang ke kepulauan rempah-rempah, kemudian menyusul

setelahnya para pedagang asing lainnya dengan tujuan yang sama pula.

Diperkirakan pada abad ketiga sebelum masehi telah ada hubungan dagang

antara Indonesia dan Cina dalam perdagangan rempah-rempah atau antara

Maluku dengan Cina. Hubungan dagang mengalami perbedaan pada era

Majapahit berkuasa. Semua hasil komoditi Indonesia Timur terutama cengkeh

harus dikumpulkan oleh kapal pengangkut dari Jawa ke pelabuhan-pelabuhan

besar Majapahit sebelum dibawa oleh para pedagang asing. Ini karena

komoditi cengkeh merupakan komoditi dagang ketika itu (Lombard, 2006:

109).

Diberlakukannya sistem perdagangan ala Majapahit menyebabkan

bangsa Cina mengurangi pelayarannya menuju Maluku. Sistem perdagangan

pada masa ini adalah barter, Cina mendatangkan kain sutra, keramik, dan

logam. Barangbarang tersebut kemudian ditukar dengan cengkeh dari Maluku

yang dikumpulkan terlebih dahulu di pelabuhan-pelabuhan besar Majapahit

Jalur-jalur perdagangan Nusantara menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa.

Didorong oleh kebutuhan masyarakat Eropa akan rempah-rempah, maka

bangsa-bangsa ini mencari jalan untuk menuju ke daerah penghasil

rempahrempah, kemudian menagadakan hubungan dagang dengan penguasa-

penguasa setempat (Lombard, 2006: 109).


56

Pada tahun 1511 M, Portugis sebagai salah satu pendatang dari

benua Eropa, berhasil menguasai Malaka yang merupakan Bandar terbesar di

perairan Barat Nusantara. Setelah penaklukan Malaka, Portugis melakukan

ekspedisi yang mengarah menuju akhir dari jalur pelayarannya ke bagian

Timur Nusantara, untuk mencari dan mencapai daerah penghasil rempah-

rempah yang konon katanya berada di Timur Nusantara. Daerah penghasil

rempah-rempah inilah sasaran utama Portugis dari berpuluh-puluh tahun

menjelajahi jalur pelayaran internasional.

Kedatangan Portugis yang dipimpin oleh Fransisco Serrao pada

tahun 1512 M, di kepulauan Maluku disambut oleh penguasa Ternate yang

pada waktu itu sedang mencari sekutu untuk memenangkan persaingan sebagai

penguasa tunggal daerah Maluku. Sultan Ternate ketika itu adalah Bayan

Sirullah, menjanjikan persahabatan dan mengangkat Serrao sebagai penasehat

dalam bidang militer. Pada tahun 1513 M pendirian kantor dagang Portugis di

Ternate. Bahkan di tahun 1513 M Sultan meminta Portugis mendirikan benteng

dan mengadakan perjanjian berupa pemberian hak monopoli perdagangan

cengkeh kepada Portugis (Ricklefs, 2008: 177).

Tahun 1522 M mulai berdiri benteng pertamaPortugis di Ternate.

Benteng ini selain memperkuat kedudukan perdagangan Portugis di Ternate

juga memberikan jaminan kekuatan politik dan militer, sehingga dapat menjadi

pusat perdagangan cengkeh bagi seluruh daerah Maluku. Setelah Sultan Bayan

meninggal dunia tahun 1522 M, kericuhan mulai timbul dikarenakan campur

tangan Portugis dalam negeri mengenai pengangkatan sultan baru Ternate.


57

Portugis akhirnya menggunakan pengaruhnya setelah terjadi beberapa kali

perubahan kepala pemerintah dengan menempatkan Sultan Tabarija tahun

1535, tetapi akhirnya ia juga ditahan dan diasingkan ke Goa. Namun tidak

berlangsung lama, yang menjadi Sultan Ternate setelah Tabarija adalah Sultan

Khairun (Kartodirdjo, 1992: 30).

Pada masa pergantian sultan ini, telah ada dokumen-dokumen

penting pewarisan tahta, surat wasiat dari Tabarija kepada seorang bangsawan

Portugis bernama Jurdao de Freitas dan juga testamen dari Sultan Khairun

tentang pewarisan Kesultanan Ternate. Hal ini mencerminkan sudah adanya

pengaruh pemikiran Barat, bahwa segala sesuatu harus diatur secara legal dan

ditulis hitam di atas putih. Sultan Khairun berusaha mengukuhkan kekuatan

dan memperluas daerah Kesultanan Ternate selain membantu kegiatan Portugis

di wilayahnya. Masa pemerintahan Sultan Khairun berakhir ketika tahun 1570

M terjadi pembunuhan atas dirinya, setelah selesai mengadakan persetujuan

mengenai penjualan rempah-rempah dengan Portugis yang kemudian

melanggar kesetiaannya melalui pembunuhan tersebut (Leirissa dkk, 1999: 81).

Dengan terbunuhnya Sultan Hairun seluruh rakyat Ternate merasa

terhina dan dengan serentak bangkit menyerang Benteng Gamlamo di bawah

pimpinan Sultan Baabullah (1570-1583). Baabullah menuntut balas atas

pembunuhan ayahnya, ia beserta para pengikutnya mengumumkan perang

jihad untuk memerangi Portugis selama 5 tahun. Tahun 1575 akhirnya Portugis

berhasil diusir dari Ternate dan bentengnya dipindahkan ke Tidore. Pengusiran

bangsa Portugis oleh Sultan Baabullah adalah kemenangan besar suatu bangsa
58

dalam menegakkan kewibawaan dan martabat. Kemenangan Sultan Baabullah

memberikan kredibilitas kepemimpinannya dalam menyusun kekuatan bangsa

mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan seluruh wilayah kesatuan.

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate mengalami

kemajuan yang luar biasa. Berkat keterampilan politiknya, ia meluaskan daerah

kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Baabullah juga bangsa Eropa lainnya

datang ke Kesultanan Ternate. Francis Drake seorang pedagang petualang

Inggris datang pada tahun 1579. Saat itu sultan yang sedang kesal dan dendam

dengan Portugis, bersumpah untuk mengadakan persahabatan dan kesetiaan

kekal kepada Ratu Elisabeth dan mempercayakan sebuah cincin materai

berhias batu merah delima untuk diserahkan kepada ratu serta menawarkan

padanya suatu perjanjian dan pengangkutan rempah-rempah (Alwi, 2007: 80).

Setelah orang-orang Portugis diusir ke luar dari Ternate oleh Sultan

Baabullah. Ternate juga harus menghadapi Bangsa Spanyol, inilah yang

menyebabkan Kesultanan Ternate mencari kekuatan baru dalam upayanya

mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Pada 22 Mei 1599 kapal Belanda yang

pertama tiba di Ternate di bawah pimpinan Wijbrand van Warwijk kemudian

menyusul Jacob Corneliszoon van Neck dalam upaya mencari rempah-rempah.

Sultan Said yang ketika itu menjabat sebagai kepala pemerintahan Kesultanan

Ternate segera mengundang saingan orang Portugis dan Spanyol untuk

berkunjung ke daerahnya. Maksud tujuan utama Belanda untuk berdagang

segera tercapai. Ternate merangkul Belanda sebagai mitra dagang dan sebagai
59

sekutu untuk mengusir Spanyol maupun Portugis yang ingin kembali ke

Terante (Hanna, dan Alwi, 1996: 59).

Sementara itu, pada bulan Maret 1602 M dibentuklah Persatuan

Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda atau VOC (Verenigde Oost

Indische Companie). Terbentuknya VOC untuk menyatukan perusahaan-

perusahaan ekspedisi Belanda yang saling bersaing memperebutkan rempah-

rempah. Menurut Boxer, ada dua sebab utama dibentuknya persatuan

perusahaan dagang ini, yaitu: guna meneimbulkan bencana pada musuh dan

guna keamanan Tanah Air. Para pendiri VOC benar-benar sadar bahwa setiap

usaha untuk memperkukuh dan memperluas perdagangan Belanda di Asia,

tidak boleh tidak melibatkan persengketaan bersenjata dengan orang-orang

Portugis maupun Spanyol, kendatipun perang dengan mereka telah

diperhitungkan, oraganisasi VOC pertama kalinya hanya ditujukan untuk

maksud-maksud dagang (Ricklefs, 2008: 187).

Di tahun 1609, VOC membuat perjanjian lagi dengan pihak

Kesultanan Ternate, masih seputar perdagangan rempah-rempah dan

pengamanan dari persaingan orang-orang Iberia yaitu Spanyol dan Portugis.

Dalam perdagangan setiap barang yang masuk dikenakan tarif atau bea masuk,

oleh karena itu VOC juga membuat peraturan mengenai hal ini, seperti

tercantum pada perjanjian tahun 1610 yang salah satu syaratnya adalah

setengah dari penghasilan bea cukai adalah untuk Sultan sendiri. Dalam rangka

pengamanan perdagangan, akhirnya VOC mulai turut campur dalam urusan

dalam negeri, seperti pendirian badan administrasi Gouverment der Molukken


60

yang berpusat di Ternate, tercantum dalam perjanjian tahun 1623, 1652, 1667,

dan 1683 (Leirissa, 1973: 60).

Monopoli VOC telah menentukan akan dibawa kemana Kesultanan

Ternate, kalangan istana maupun rakyat Ternate sadar akan konsekuensinya

dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat VOC kepada Kesultanan Ternate

maupun sebaliknya akan menimbulkan percikan pertikaian yang berujung pada

peperangan antara Ternate dengan VOC. Monopoli VOC mengakibatkan

kerugian, kegelisahan, dan penyeludupan rempah-rempah oleh para pedagang

gelap dari belahan Bumi Nusantara, misalnya, Makassar. Perdagangan gelap

terus berlangsung di tahun 1636 dan berpusat di Makassar. Karena itu pada

tahun 1683 dibuat pejanjian VOC dengan Sultan Hamzah yang memerintah

pada masa itu di Ternate, mengenai pengakuan hak-hak pengusahaan di

kepulauan rempah- rempah, penyerahan hak untuk penangkapan dan

penghancuran kapal-kapal Makassar yang dijumpai di dekatnya (Boxer, 1983:

24).

Tahun 1649 Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn

mengeluarkan kebijakan menghancurkan pohon rempah-rempah yang

berkelebihan di daerah Seram Barat. Maksud mula-mula adalah sebagai senjata

untuk menghukum penyelundup yang melanggar hak monopoli VOC dan

menakutkan saudagar-saudagar yang masih berniaga dengan orang-orang di

Maluku. Maksud kedua adalah untuk membatasi produksi dengan

menghancurkan atau menebang sebagian pohon-pohon cengkeh agar harga itu

tetap tinggi. Kebijakan ini dipakai terus selama 2 abad berikutnya 1618-1857
61

tanpa ada yang bisa melanggarnya, termasuk Sultan Ternate sendiri (Boxer,

1983: 39).

Meskipun terdapat kekuasaan VOC di Maluku, namun perebutan

wilayah kekuasaan antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore masih

tetap terjadi, bahkan dimanfaatkan oleh penguasa asing tersebut. Pihak

penguasa VOC di Maluku maupun di Belanda pada tahun 1649 menyetujui

siasat pejabat VOC di Maluku bahwa Sultan Ternate harus selalu dilibatkan

dalam peperangan dengan Sultan Tidore dan diusahakan agar kedua kesultanan

ini jangan pernah berdamai karena hal ini sebenarnya dapat mencegah jatuhnya

cengkeh ke tangan pedagang Spanyol ataupun pedagang lainnya. Perebutan

kekuasaan ini terus meluas, sampai tahun 1665 ketika Kerajaan Goa

memaksakan pengukuhan kekuasaan kepada raja-raja daerah Kepulauan Sula,

Banggai, dan Tambuku yang sebelumnya merupakan daerah kekuasaan

Ternate. Kesultanan Ternate membentuk aliansi dengan VOC dan

mendapatkan perlawanan dari pihak Kerajaan Goa yang beraliansi dengan

Kesultanan Tidore. Akhirnya Kerajaan Goa berhasil ditaklukan dan daerah

Kesultanan Ternate semakin meluas, tetapi karena semakin besarnya

ketergantungan sultan terhadap VOC, untuk masa selanjutnya kedudukan

sultan di daerahnya mulai tergeser oleh kekuatan asing (Boxer, 1983: 51).

Pihak Kesultanan Ternate juga merasa dirugikan dengan adanya hak

monopoli VOC. Merasa dirugikan Sultan Sibori pun memberontak terhadap

VOC. Sultan yang dikenal dengan nama Raja Amsterdam ini mencoba

mengambil bagian dalam perdagangan rempah-rempah yang menghasilkan


62

keuntungan besar. Tahun 1675 Sultan Amsterdam memulai perang melawan

Belanda. Namun usahanya gagal, ternyata VOC telah siap siaga melakukan

tindakan pencegahan untuk menggagalkan niat sultan. Akhirnya Sibori

ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Kemenangan VOC atas Ternate 1683

mengecilkan posisi Kesultanan Ternate yang dijadikan sebagai negara di

bawah naungan VOC dan Sultan harus melepaskan semua klaimnya atas

kedaulatan Laut Sulawesi. Tetapi segala upaya yang dilakukan oleh Sultan

Sibori ternyata pada akhirnya membawa kerugian besar.

Sepanjang dua puluh tahun terkahir dari abad ke-17 M, kekuasaan

atas wilayah Timur berada di tangan Belanda. Tidak diperlukan lagi tindakan

besar, kecuali sesekali melakukan ekspedisi untuk memadamkan

pemberontakan setempat. Hal ini terlebih karena perhatian Belanda semakin

tertuju ke Pulau Jawa. Perdagangan rempah-rempah semakin kurang berarti

jika dibandingkan dengan hasil perkebunan di Jawa dan Sumatera. Karenanya,

pada saat itu tidak terjadi perluasan wilayah lagi (Ricklefs, 2008: 204).

Sementara itu perdagangan antara Inggris dan Kesultanan Ternate,

diawali dengan kedatangan Sir Francis Drake tiba di Ternate pada tahun 1579,

dan diterima baik oleh Sultan Baabulah. Drake melewati benua pesisir Benua

Amerika dan hinggap di Kepulauan Maluku. orang Inggris melayari tersebut

dengan kapal Galleon yang dinamakan Golden Hind dan empat kapal yang lain

yang bermuatan harta yang mereka ambil dari armada utama Spanyol. Sultan

dan Drake merasakan adanya daya tarik timbal balik dalam hubungan antara

mereka berdua, sehingga Sultan Baabulah bersumpah untuk mengadakan


63

persahabatan dan kesetiaan yang kekal kepada Ratu Elisabeth. Sultan Baabulah

memberikan cincin meterai berhias batu merah delima kepada Ratu Elizabeth

lewat Tudor Drake (Van Leur, 2015: 179).

Tudor Drake juga memberikan meriam serta kain tekstil untuk

Sultan Ternate. Orang Inggris mendapatkan kemurahan hati dari penguasa

Ternate yaitu berupa beras yang jumlahnya banyak, ayam, tebu, gula cair yang

belum diolah, buah yang dinamakan figo, kelapa, dan tepung sagu untuk

perbekalan di kapal untuk kembali ke Inggris. Drake kemudian kembali

berlayar setelah memuat sedikit cengkeh di kapalnya.

You might also like