You are on page 1of 18

MENERAPKAN NILAI ISLAM DALAM MEWUJUDKAN

MASYARAKAT MADANI

Kelas : PB 1B

Kelompok 6:

Bayu Ansar NIM: 2006321030

Sheilamita Utami Putri NIM: 2006321032

Dhea Alvionita NIM: 2006321035

TEKNIK GRAFIKA DAN PENERBITAN

PROGRAM STUDI D-3 PENERBITAN (JURNALISTIK)

2020
1. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI DALAM ISLAM

Kata madani sendiri berasal dari bahasa arab yang


artinya civil atau civilized (beradab). Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari
civil atau civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban. Mayarakat
madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat
yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya.

Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah masyarakat madani adalah


Anwar Ibrahim - mantan wakil perdana menteri Malaysia- dan dikembangkan di
Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari
individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.

Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan


peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Dawam menjelaskan,
dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan
yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Masyarakat
Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis,
menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif,
bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu berkoordinasi,
sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling
dominan adalah masyarakat yang demokratis.

Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan melindungi warga


negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan. Bahkan Masyarakat madani
tiang utama kehidupan politik yang demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja
melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan
dan menyuarakan aspirasi masyarakat

Masyarakat Madani akan terwujud apabila suatu masyarakat telah menerapkan


prinsip-prinsip demokrasi dengan baik. Di dalam Al qur’an sudah dijelaskan tentang
umat yang terbaik untuk membentuk peradaban manusia yang lebih humanis dan
toleran yaitu:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS Ali Imran
[3]: 110)

Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep


“civil society”. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat Madani merujuk pada
konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad dengan
menerapkan Piagam Madinah. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi
historis pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.

2. SEJARAH MASYARAKAT MADANI DALAM PERADABAN ISLAM

Ada dua Masyarakat Madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai


Masyarakat Madani, yaitu:

A. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Allah SWT


memberikan gambaran dari Masyarakat Madani dengan firman-Nya dalam Q.S.
Saba’ ayat 15:

‫ق َربِ ُك ْم‬ِ ‫وا ِمن ِر ْز‬ ۟ ُ‫ين َو ِش َما ٍل ۖ ُكل‬ ٍ ‫عن يَ ِم‬ ِ ‫سبَإٍ فِى َم ْس َكنِ ِه ْم َءايَةٌ ۖ َجنَّت‬
َ ‫َان‬ َ ‫لَقَ ْد َكانَ ِل‬
‫ور‬ٌ ُ ‫غف‬ َ ٌّ‫طيِبَةٌ َو َرب‬ ۟ ‫َوٱ ْش ُك ُر‬
َ ٌ ‫وا لَهُۥ ۚ بَ ْل َدة‬

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”

B. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara


Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama
Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah
berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk
memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Secara historis kita lebih mudah secara langsung merujuk kepada


“masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan menggunakan agama sebagai landasan analisisnya.
Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan Masyarakat Madani.
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur
oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar
negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al
Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham Masyarakat
Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil.

Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya
didasarkan dari akar kata din. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi
Madinah bermakna di sanalah din berlaku. Secara historispun masyarakat Sipil dan
Masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula
dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat
Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa
menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum dan mewujudan cita-
cita membentuk madaniyyah (beradab).

3. SEJARAH MASUKNYA MASYARAKAT MADANI KE INDONESIA

Seperti diketahui bahwa civil society merupakan wacana yang berkembang dan
berasal dari kawasan Eropa Barat. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan dan
perkembangan wacana tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial-kultural, politik dan
ekonomi yang berkembang pada saat itu.

Masyarakat Madani muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan militeristik


yang dibangun oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Bangsa Indonesia berusaha
untuk mencari bentuk Masyarakat Madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil
yang demokrasi dan agamis/religius.

Dalam kaitannya pembentukan Masyarakat Madani di Indonesia, maka warga


negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas,
demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif,
berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat
Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon
pemimpin secara jujur-adil, menyikapi media massa secara kritis dan objektif, berani
tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis, berani dan mampu menjadi saksi,
memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang
dan sebagainya.

Masyarakat Madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki


kemandirian aktivitas warga masyarakatnya yang berkembang sesuai dengan potensi
budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai
keadilan, prinsip kesetaraan (persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan,
kebebasan, kemajemukan (puralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekhasan sosial-budaya.
Merupakan fakta historis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk,
yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Masing-masing suku,
budaya, dan bahasa memiliki satu sistem nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan
menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan baik.

Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah yang harus dikelola sehingga
menjadi basis bagi terwujudnya Masyarakat Madani, karena Masyarakat Madani
Indonesia harus dibangun dari nilai-nilai yang ada didalamnya, bukan dari luar.

Ciri Masyarakat Madani di Indonesia Menurut Tilaar


Menurut Tilaar ciri-ciri khas Masyarakat Madani Indonesia adalah:
1. Keragaman budaya sebagai dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia
dan identitas nasional;
2. Adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat;
3. Adanya toleransi yang tinggi, dan
4. Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum.

Masyarakat Madani Indonesia saat Orde Baru


Masyarakat Madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru
karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di
hampir seluruh aspek kehidupan. Kebijakan pemerintah yang otoriter,
menyebabkan organisasi-oranisasi kemasyarakatan tidak memiliki kemandirian,
tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalanya pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies),
sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat.
Hanya ada beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar
yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri
sebagai unsur dari Masyarakat Madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang
dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof.
Dr. Amien Rais.
Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan
organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam
pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini
bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Masyarakat Madani Indonesia saat Reformasi


Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966–1998) dan
menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah
mempopulerkan konsep Masyarakat Madani karena presiden beserta kabinetnya
selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan.
Bahkan, Presiden Habibie telah membentuk satu tim, dengan Keputusan
Presidan Republik Indonesia, Nomor 198, tentang Pembentukan Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk
membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk
membangun Masyarakat Madani Indonesia, yaitu di antaranya:
1. menghimpun tentang transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan
budaya serta pemikiran dampak globalisasi terhadap berbagai aspek
kehidupan bangsa.
2. merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong
transformasi bangsa menuju Masyarakat Madani.
Konsep Masyarakat Madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma
lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak
cocok lagi.
Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan
dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan
militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara
Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi
Manusia (HAM).

Usaha Mantan Presiden Habibie dan ICMI untuk Masyarakat Madani


Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia
duduk sebagai Ketua Umumnya. Kemudian konsep Masyarakat Madani mendapat
dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena
mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi
yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan
HAM.
Tetapi untuk segera masuk kewilayah kehidupan Masyarakat Madani
ternyata tidak mudah, karena pola kehidupan masyarakat yang diimpikan itu
masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
Selain itu secara kultural, tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah
pluralisme masyarakat indonesia. Pluralisme tidak hanya berkaitan denagan
budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan proses panjang dan waktu serta menuntut
komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total
menuju terwujudnya Masyarakat Madani, dan juga menuntut berbagai upaya
perubahan untuk mewujudkan Masyarakat Madani, baik yang berjangka pendek
maupun yang berjangka panjang.
Pertama, perubahan jangka pendek, menyangkut perubahan pada
pemerintah, politik, ekonomi dan hukum. Pada bidang pemerintahan, masyarakat
pada era reformasi menuntut terciptanya pemerintahan bersih yang menjadi
prasyarat untuk tumbuh dan berkembangnya Masyarakat Madani.
Sehingga terwujud pemerintahan yang berwibawa, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme yaitu pemerintahan yang dapat dipercaya, dapat diterima
dan dapat memimpin.
Pada bidang politik, terutama diarahkan kepada hidupnya kembali
kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945 serta
adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat
kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem demokrasi.
Dimensi demokrasi dari pemerintah yaitu terciptanya tingkat keseimbangan
relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Sedangkan dimensi demokrasi dari masyarakat adalah terciptanya
kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, kesetaraan
dalam kompetisi dan kontestasi politik, kemandirian dan kemampuan
menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai, yang mencerminkan ciri-
ciri Masyarakat Madani.
Pada bidang ekonomi, menuntut kehidupan ekonomi yang lebih merata dan
bukan hanya untuk kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Dalam
bidang hukum, reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang
bukan hanya untuk kepentingan penguasa.
Setiap orang sama didepan hukum dan dituntut untuk kedisipinan yang
sama terhadap nilai-nilai hukum yang dikesepakati. Sehingga diharapkan
terbentuknya lenbaga penegak hukum yang mencerminkan berlakunya supremasi
hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu
tatanan Masyarakat Madani atau civil society Indonesia. Dalam bidang jurnalistik,
terciptanya kebebasan pers.
Kedua, perubahan dalam jangka panjang, meliputi bidang kebudayaan dan
pendidikan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan budaya
Indonesia, maka kebudayaan daerah merupakan dasar bagi perkembangan
identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan dikembangkan.
Pengembangan budaya daerah akan memberikan sumbangan bagi
perkembangan rasa persatuan bangsa Indonesia yang menunjang ke arah identitas
bangsa Indonesia yang kuat dan benar, yang mencerminkan masyarakat plural
sebagai ciri Masyarakat Madani.
Pada bidang pendidikan, penyiapan sumber daya manusia yang berwawasan
dan berperilaku madani melalui pendidikan, karena konsep Masyarakat Madani
merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional.
Semua pihak mutlak setuju, bahwa pendidikan amat penting bagi ikhtiar
membangun manusia berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan,
pengetahuan dan keterampilan, karena pendidikan sendiri merupakan wahana
strategi bagi usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai
dengan membaiknya derajat kesejahtaraan, menurunnya kemiskinan, dan
terbentuknya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri menuju
Masyarakat Madani.

Wacana Masyarakat Madani oleh Nahdlatul Ulama


Selanjutnya, munculnya wacana civil society di Indonesia banyak
disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh
kalangan “modernis”. Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU
adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan
dipinggirkan dalam peran kenegaraan.
Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai
masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kebangkitan
wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah
1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah
problem tentang prospek Masyarakat Madani di kalangan NU karena NU yang
dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang,
kini telah menjadi “negara” itu sendiri.
Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan
dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Bahwa
timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya
negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas
negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren.
Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis
supaya memungkinkan berkembangnya Masyarakat Madani, dimana negara
hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama
dengan rambu-rambu Pancasila.

Tantangan Masyarakat Madani Indonesia Kini?


Untuk mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia dibutuhkan motivasi
yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat.
Diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen dan penuh kearifan dalam
menyikapi konflik yang tak terelakkan.
Tuntutan untuk mewujudkan Masyarakat Madani, tidak hanya dilakukan
dengan seminar, diskusi, penataran. Tetapi perlu merumuskan langkah-langkah
yang sistematis dan kontinyu yang dapat merubah cara pandang, kebiasaan dan
pola hidup masyarakat.
4. ANTARA MASYARAKAT MADANI DAN CIVIL SOCIETY

Secara historis kita lebih mudah secara langsung merujuk kepada


“masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.
Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan Masyarakat Madani.
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur
oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di
luar negara.

Masyarakat Madinah, yang oleh Nurcholish Madjid dijadikan tipologi Masyarakat


Madani, merupakan masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar
kelompok masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah,
mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan
yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan
melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku
ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku
(Nurcholis Madjid 1997).

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya
dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth)
dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada
masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja. ( lihat, Deny Suitor, Membangun Masyarakat Madani,
Buletin No.138 , 28 Juli 2006).

Dalam analisis pakar lain, yakni (Muhammad Imarah 1999), setidaknya ada tiga
karakteristik dasar dalam Masyarakat Madani. Pertama, diakuinya semangat
pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat
dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi
dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah
SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.

َّ ‫ارفُ َٰٓو ۟ا ۚ ِإ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد‬


ِ‫ٱَّلل‬ َ ‫شعُوبًا َوقَ َبا َٰٓ ِئ َل ِلتَ َع‬ ُ َّ‫َٰ َيَٰٓأ َ ُّي َها ٱلن‬
ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْق َٰنَ ُكم ِمن ذَك ٍَر َوأُنثَ َٰى َو َج َع ْل َٰنَ ُك ْم‬
‫ير‬
ٌ ِ‫ع ِلي ٌم َخب‬ َ َّ ‫أَتْقَ َٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam
kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. menyesuaikan diri.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama
Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Landasan normatif dari sikap toleransi
dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.

‫عد ًْوا ِبغَي ِْر ِع ْل ٍم َكذَلِكَ زَ َّي َّنا ِل ُك ِل أ ُ َّم ٍة‬ َ َّ ‫سبُّوا‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫َّللا فَ َي‬ ِ ‫سبُّوا الَّذِينَ َي ْدعُونَ ِم ْن د‬
ِ َّ ‫ُون‬ ُ َ‫َو ََل ت‬
َ‫ع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَى َر ِب ِه ْم َم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُن َِبئ ُ ُه ْم ِب َما َكانُوا َي ْع َملُون‬َ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal
dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep
demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada
wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-
nilai demokrasi (surat As-Syura:38 dan surat Al-Mujadalah:11).

Surah As-Syura:38

َ‫ور َٰى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َرزَ ْق َٰنَ ُه ْم يُن ِفقُون‬


َ ‫ش‬ُ ‫صلَ َٰوةَ َوأَ ْم ُر ُه ْم‬ ۟ ‫ُوا ِل َربِ ِه ْم َوأَقَا ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ۟ ‫َوٱلَّذِينَ ٱ ْستَ َجاب‬

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka”.

Surah Al-Mujadalah:11

۟ ‫ش ُز‬
‫وا‬ ُ ‫ٱَّللُ لَ ُك ْم ۖ َوإِذَا قِي َل ٱن‬ َّ ‫ح‬ ِ ‫س‬
۟ ‫س ُح‬
َ ‫وا يَ ْف‬ َ ‫وا فِى ْٱل َم َٰ َج ِل ِس فَٱ ْف‬ ۟ ‫س ُح‬ َّ َ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِذَا قِي َل لَ ُك ْم تَف‬
ٌ ِ‫ٱَّللُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخب‬
‫ير‬ ٍ ‫وا ْٱل ِع ْل َم َد َر َٰ َج‬
َّ ‫ت ۚ َو‬ ۟ ُ ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلَّذِينَ أُوت‬ ۟ ُ‫ٱَّللُ ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
َّ ‫وا يَ ْرفَ ِع‬۟ ‫ش ُز‬
ُ ‫ فَٱن‬Arab-Latin:

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah


dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

Perbedaan Konsep Civil Society dan Masyarakat Madani


Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata
“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali
dipahami sebagai negara (state).
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Perbedaan lain antara civil society dan Masyarakat Madani adalah civil
society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah
dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan
Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh
karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan Masyarakat Madani lahir dari dalam buaian dan asuhan
petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan Masyarakat Madani
sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-
nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif,
2004: 84).

5. PRINSIP-PRINSIP MASYARAKAT MADANI DALAM ISLAM


A. Karakteristik Masyarakat Madani Ada beberapa karakteristik
Masyarakat Madani, diantaranya:
1. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum
Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
2. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif
ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
3. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-
kekuatan alternatif.
4. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh
negara dengan program-program pembangunan yang berbasis
masyarakat.
5. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
6. Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh
rejim-rejim totaliter.
7. Meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan
tidak mementingkan diri sendiri.
8. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara
individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara
adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain
yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang
telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak
merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.

Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat


dikatakan sebagai Masyarakat Madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi Masyarakat Madani, yakni pertama, adanya democratic
governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara
demokratis. Kedua, adanya democratic civilian (masyarakat sipil) yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience.

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat Masyarakat


Madani sebagai berikut:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (social
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-
tugas kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi sosial antar
kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan
kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadaya untuk terlibat dalam berbagai forum di mana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya
sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan Lembaga-
lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan
berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka Masyarakat Madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat Madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang
sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan
sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa ramburambu
yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan Masyarakat Madani (lihat
DuBois dan Milley 1992).

Ada pendapat lain bahwa karakteristik Masyarakat Madani adalah


sebagai berikut:
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi .
Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilarpilar demokrasi
yang meliputi: Lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers yang bebas,
supremasi hukum, perguruan tinggi, dan partai politik.
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandanganpandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling
menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang
majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai
positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang
proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu
terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari
rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga
masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang
bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya
keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang
memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
6. MENERAPKAN MASYARAKAT MADANI DALAM KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA

Masyarakat madani selalu mengamalkan nilai kewarganegaraan, dan mempunyai


pengaruh yang sangat kuat dalam proses membuat keputusan, yang dapat menentukan
masa depan yang baik dalam segi kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.

Implementasi Pancasila dalam perwujudan masyarakat madani/masyarakat yang


beradab dan terwujud dalam sila-sila dalam Pancasila, antara lain :

A. Sila ke-1 : Ketuhanan Yang Maha Esa


1) Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama). Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan masyarakat memiliki adab
terhadap Tuhan seperti melakukan ibadah sesuai kepercayaan masing-
masing.
2) Tidak ada saling memaksakan kehendak memeluk agama karena adanya
toleransi antar umat beragama.
3) Pelarangan atheisme di Indonesia. Negara atau pemerintah mengadakan
fasilitas dalam menunaikan agama masing-masing.

B. Sila ke-2 : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.


1) Memanusiakan manusia atau menempatkan manusia sesuai dengan
hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, tidak ada pembedaan antara si kaya dan
si miskin, yang kuat dan yang lemah karena semuanya sama di hadapan
Tuhan.
2) Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dalam
masyarakat madani diwujudkan dengan adanya ruang publik yang luas
untuk berpendapat dan adanya demokrasi dalam masyarakat. Misalnya
dengan melkukan musyawarah dalam menyelesaikan konflik/permasalahan.
3) Adanya penegakan hukum yang tegas, karena merupakan sebuah
kedewasaan dan tanggung jawab yang besar dalam penegakan hukum.

C. Sila ke-3 : Persatuan Indonesia.


1) Rasa nasionalisme terhadap negara yang tidak berlebihan, dengan menjaga
kebudayaan asli Indonesia seperti sopan santun, gotong royong, pakaian,
tempat tinggal, dan lain-lain.
2) Cinta bangsa dan tanah air, dengan memiliki moral yang baik.
3) Menggalang kesatuan dan persatuan, dengan bermusyawarah untuk
menyelesaikan suatu masalah dan tidak membeda-bedakan karena
semuanya bersaudara.
4) Memahami pluralisme.
5) Menumbuhkan rasa senasib sepennaggungan, dengan keswasembadaan,
keswadayaan, dan kemandirian untuk menghasilkan.
D. Sila ke-4 : Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan / Perwakilan.
1) Adanya demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
2) Dalam mengambil keputusan dengan musyawarah mufakat seperti dalam
masyarakat madani.
3) Adanya kejujuran bersama dalam pengambilan keputusan.
4) Pemutusan masalah menghasilkan keputusan yang bulat bukan dengan
pemungutan suara seperti yang terjadi di dunia Barat.

E. Sila ke-5 : Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


1) Kemakmuran yang merata pada seluruh rakyat dalam arti dinamis dan
meningkat seperti rasa kebersamaan yang diciptakan masyarakat madani,
tidak egois dan selalu ada rasa saling tolong menolong.
2) Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan untuk kebahagiaan
bersama menurut potensi masing-masing.
3) Melindungi yang lemah agar kelompok masyarakat dapat bekerja.

A. Kendala Mewujudkan Masyarakat Madani


Dalam hal ini, Robert Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa Masyarakat
Madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu,
Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan Masyarakat
Madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Pendapat Hefner
tersebut, memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan
Masyarakat Madani.

Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan Masyarakat


Madani di Indonesia diantaranya:
1. Posisi Umat Islam yang berjumlah 85% tapi kondisinya SDM nya tangat
rendah, karena pendidikan yang belum merata.
2. Sistem ekonomi dan kesejahteraan umat. Di dalam ajaran Islam terdapat dua
prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun
yang berhak mengeksploitasi orang lain; lihat Q.S. As-Syu’ara ayat 183 dan
kedua, komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan,
keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan
kekayaan bertentangan dengan Islam.(lihat. Q.S Q.S. An-Nahl ayat 71).
3. Management Zakat dan Wakaf yang belum professional (lihat Q.S
AlBaqaqarah : 110.)
4. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
5. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
6. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas.
7. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar dan
Penanganan TKI yang masih belum maksimal.
8. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
9. Pemerintah yang belum bebas dari KKN.
10. Demokrasi pendidikan belum berjalan dengan lancar. (lihat.
http;//www.Usman, Husaini Dosen FIS UN Yogya, “Menuju Masyarakat
Madani melalui demokrasi Pendidikan” Makalah seminar, 18 Juli 2007.).

B. Strategi Mewujudkan Masyarakat Madani


1. Umat Islam harus mempunyai pandangan tentang integrasi nasional dan
politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin
berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang
belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
2. Umat Islam harus mereformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan
yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi perlu ditekankan
pada usaha demokratisasi yang memberikan impak pada kesejahteraan
ekonomi. Revitalisasi bidang politik mesti sejajar dengan perbaikan
ekonomi masyarakat.
3. Umat Islam harus mempunyai paradigma membangun Masyarakat Madani
yang lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga
negara, khususnya kalangan kelas menengah (middle class) yang terdiri para
akademisi, intelektual, budayawan, para pengusaha, dan para mahasiswa
sebagai kelompok kritis).

C. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Peranan umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani adalah dengan
menerapkan lima prinsip dasar yaitu muakkah, ikatan iman, ikatan cinta,
persamaan si kaya dan si miskin dan toleransi umat beragama;
1. Muakhah atau persaudaran, yaitu mmemandang seluruh orang muslim
sebagai suadara, sebagaimana perintah ALLAH dalam surah al hujurat ayat
10. Dimana telah dicontohkan Rasulullah dengan memepersaudarakan
orang-orang muhajirin dan orang-orang anshor.
2. Ikatan iman, yaitu menjadikan ikatan keimanan sebagai dasar yang paling
kuat dalam membentuk keharmonisan dalam masyarakat. Sehingga setipa
warga negara diikat oleh kalimat yang sama yaitu kalimat syahadat, bahkan
diharamkan darah , harta dan menganggu kehormatan diantara orang-orang
islam.
3. Ikatan cinta, yaitu memupukkan paham nasionalisme, dimana kepahaman
akan cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Maka setiap warga
masyarakat punya ras memiliki terhadapat masayrakat tersebut.
sebagaimana Rasulullah memimpin madinah berlandaskan cinta dan rasa
tolong – menolong
4. Persamaan si kaya dan si miskin, yaitu menyempitkan jurang pembatas
antara si kaya dan si miskin, berdasrkan ikatan iman dengan cara
menerapkan zakat, sehingga masyarakat menjadi sejahtera karena harta tiap
orang dapt digunakan untuk orang lain yang membutuhkan.
5. Toleransi umat beragama, yaitu menerapkan hukum islam sebagai landasan
toleransi, dimana rasulullah begitu menekankan untuk berbuat baik kepada
orang-orang kafir yang tidak melawan atau dalam perlindungan negara,
bahkan memberi ancaman yang berat bagi orang-orang islam yang
mendzolimi orang kafir.

Dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman, maka umat Islam


harus berperan aktif dalam mewujudkan Masyarakat Madani.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (Q.S.Ali Imron:110).

Oleh karena itu maka Umat Islam harus menunjukan perannya dalam
mewujudkan Masyarakat Madani yaitu antara lain;
1. Melakukan pembenahan kedalam tubuh umat Islam untuk menghapus
kemiskinan.
2. Menciptakan keadilan sosial dan demokrasi.
3. Merangsang tumbuhnya para intelektual.
4. Mewujudkan tata sosial politik yang demokratis dan sistem ekonomi yang
adil.
5. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan
dan pendidikan rakyat.
6. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang “teraniaya”, tidak berdaya membela
hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran,
kelompok buruh, TKI, TKW yang digaji atau di PHK secara sepihak, di
siksa bahkan di bunuh oleh majikannya dan lainlain).
7. Sebagai kontrol terhadap negara .
8. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan
(pressure group) dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan.

Bangsa Indonesia berusaha untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang


pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokratis dan agamis/religius.
Dalam kaitannya pembentukan Masyarakat Madani di Indonesia, maka warga
negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas,
demokratis, dan religius dengan bercirikan imtaq, kritis argumentatif, dan kreatif,
berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat
Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih
calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan
objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis, berani dan
mampu menjadi saksi, memiliki wawasan yang luas, memiliki semangat toleransi
mengerti cita-cita nasional bangsa Indonesia yang demokratis, aman, adil dan
makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.

7. KESIMPULAN

Konsep Masyarakat Madani menurut Islam adalah bangunan politik yang:


demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak
asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas. Ciri utama
Masyarakat Madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda,
penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan
berbudaya.

Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya Masyarakat Madani ialah terciptanya


tatanan masyarakat yang lebih terbuka. Di samping itu, dengan terwujudnya Masyarakat
Madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik
suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan,
ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, diharapkan dapat
mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat, sehingga kekhawatiran akan
terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.

Strategi membangun Masyarakat Madani di Indonesia dapat dilakukan dengan


integrasi nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan dan
penyadaran politik, melalui masyarakat sipil yang mengejewantah dalam berbagai
wadah sosial politik di masyarakat, seperti organisasi keagamaan, organisasi profesi,
organisasi komunitas, media dan lembaga pendidikan, dan sejenisnya. Dalam konteks
ini, maka peran umat Islam amat menentukan dalam artian memberikan kontribusi nyata
bagi pembentukan tatanan yang kondusif.

You might also like