You are on page 1of 9

Rendahnya motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran Teknik Frais.

1. PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR DAN PEMAHAMAN TEORI FRAIS MELALUI METODE


COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TOURNMENT (TGT) DI KELAS XI TP 1 SMK NEGERI
2 YOGYAKARTA (Arizona Ajiputra, Skripsi, 2016)

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui peningkatan motivasi belajar siswa kelas XI TP 1 SMK
Negeri 2 Yogyakarta melalui penerapan pembelajaran kooperati tipe TGT. (2) Mengetahui
peningkatan pemahaman teori frais siswa kelas XI TP1 SMK Negeri 2 Yogyakarta melalui
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TG. (3) Mengetahui tingkat respon siswa SMK
dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT, sehingga dapat menjadi acuan dalam
proses pembelajaran yang lain. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom
action research). Penelitian ini dilaksanakan selama tiga siklus dan setiap siklusnya terdiri dari
satu pertemuan. langkah pembelajarannya meliputi perencanaan (planning), pelaksanaan (act),
observasi (observe) dan refleksi (reflect). Subjek penelitian berjumlah 32 siswa. Pengumpulan
data menggunakan metode observasi, penilaian hasil belajar, dan dokumentasi. Pengolahan
data penelitian mengunakan teknik analisis deskriptif. Validitas instrumen dalam penelitian ini
menggunakan validitas isi (content validity) dengan menggunakan pendapat dari ahli
(judgenemt expert). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
TGT dapat meningkatkan motivasi belajar siswa selama proses pembelajaran. Cara yang
digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan memotivasi siswa untuk
berperan aktif dalam pembelajaran. Melaksanakan kegiatan games dan memberikan
penghargaan kepada kelompok yang paling terbaik pada akhir pelajaran dapat membuat siswa
terpacu atau terdorong untuk menjadi yang terbaik. Hasil penelitian yang diperoleh sebagai
berikut: (1) Indek Rerata Motivasi Komulatif (IRMK) siklus I sebesar 3.53 (baik), siklus II sebesar
3.81 (baik), siklus III sebesar 3.91 (baik). (2) Rerata evaluasi/nilai teori frais siklus I sebesar 76.79
(tidak tuntas), siklus II sebesar 82.02 (tuntas), dan siklus III sebesar 90.15 (tuntas). (3). Respon
siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT diperoleh siklus I sebesar 80.27% (baik), siklus
II sebesar 82.10% (baik), dan siklus III sebesar 83.70% (baik). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa motivasi belajar dan nilai teori frais siswa mengalami peningkatan dengan
diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe TGT, serta memperoleh respon baik dari
siswa.

Pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning) adalah suatu strategi pembelajaran yang


menekankan pada sifat atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu antar sesama
dalam struktur kerjasama yang teratur pada kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih.
Keberhasilan kerjasama dipengaruhi oleh keterlibatan anggota kelompok itu sendiri.
Pembelajaran kooperatif memiliki tiga tujuan utama pembelajaran kooperatif yaitu:
peningkatan prestasi Akademik, hubungan sosial, keterampilan bekerja sama dalam
memecahkan permasalahan. Sehingga dapat mengembangkan pemikiran, nilai-nilai demokrasi,
belajar aktif ,perilaku kerjasama, dan menghargai pluralisme dalam masyarakat yang
multukultural. Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan metode pembelajaran
dengan membentuk kelompok-kelompok kecil di dalam kelas, kelompok dalam hal akademik,
jenis kelamin, ras, maupun etnis. Inti dari metode ini adalah adanya games dan turnamen
akademik. Secara umum TGT sama halnya dengan metode pembelajaran kooperatif yang lain,
yaitu belajar secara berkelompok, kecuali satu hal: TGT menggunakan turnamen akademik, dan
menggunakan kuis-kuis atau sistem skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba
sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lainnya yang kinerja akademik sebelumnya setara
seperti mereka.. 4 Metode pembelajaran kooperatif TGT dilakukan sebagai pemberian motivasi
guna meningkatkan keinginan siswa untuk belajar. Motivasi ini sangatlah penting melihat siswa
SMK yang berada pada masa remaja sehingga dapat juga membatasi diri siswa dari dampak
negatif lingkungan sekitarnya. Motivasi dapat dikatakan sebagai suatu dorongan untuk
melakukan sesuatu yang di dalam dan di sekitar kita termasuk pikiran-pikiran dan perasaan-
perasaan kita. Motivasi belajar pada mulanya adalah suatu kecendrungan alamiah dalam diri
umat manusia, tetapi kemudian untuk sedemikian rupa secara berangsur-angsur tidak hanya
sekedar menjadi penyebab dan mediator belajar tetapi juga sebagai hasil belajar itu sendiri.
Motivasi balajar sangat rapuh dalam menghadapi gangguan-gangguan eksistensi kehidupan
sehari-hari. Saat anak tumbuh dewasa, dunia mereka bertambah luas dan lingkungan yang
memberikan pengaruh yang kian lama kian kuat sehingga motivasi belajar tidak sanggup
mengatasinya. Motivasi belajar sangatlah penting bagi dunia pendidikan, motivasi mendukung
peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. Intensitas motivasi yang dimiliki seseorang akan
sangat mempengaruhi pencapaian hasil belajar. Pembelajaran kooperatif tipe TGT diharapkan
mampu meningkatan motivasi belajar dan hasil belajar pemahaman teori, sehingga dapat
mengatasi setiap permasalahan yang ada.

2. PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN TEORI KERJA MESIN FRAIS BERBASIS FLASH PADA
SISWA KELAS XI DI SMK PIRI SLEMAN (R DEDI OKTAVIANUR, Skripsi, 2013)
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan media pembelajaran teori kerja mesin frais
dengan menggunakan media berbasis Flash; (2) Mengetahui kelayakan media pembelajaran
multimedia interaktif teori kerja mesin frais berbasis Flash. Langkah pengembangan media ini
melalui lima tahap, yaitu: concept, design, material collecting, assembly, dan testing. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner/ angket. Responden adalah siswa
kelas XI Jurusan Teknik Pemesinan, SMK PIRI SLEMAN. Tahapan proses pembuatan media
pembelajaran ini adalah yaitu: Studi Lapangan dan Literatur, Identifikasi Kebutuhan, Perumusan
Tujuan, Perancangan Produk, Validasi Ahli Materi dan Media, Revisi 1, tanggapan responden dan
revisi akhir. Hasilnya berupa media pembelajaran dengan enam menu utama yaitu:
Pendahuluan, Mata Pisau dan Alat Bantu, Teknis Perhitungan, Proses Frais, Latihan Soal dan
Tentang Kami. Media ini didokumentasikan dalam bentuk Compact Disk (CD) dengan besar file
secara keseluruhan 120 MB dan dikemas dalam hard case bertuliskan Nama Media, Peruntukan
Media, Isi Media, Identitas Pembuat, Nama Instansi Pembuat, Beberapa Gambar Tampilan
Media, dan Software media yang digunakan.Hasil penilaian kelayakan media pembelajaran
berdasarkan skor penilaian kualitas produk ditinjau dari aspek pembelajaran termasuk dalam
kategori sangat baik (Skala Likert dengan rerata 3,30), aspek substansi materi termasuk dalam
kategori baik (Skala Likert dengan rerata 3,22), aspek tampilan termasuk dalam kategori baik
(Skala Likert dengan rerata 3,16), aspek pemrograman dan komunikasi visual termasuk dalam
kategori sangat baik (Skala Likert dengan rerata 3,33), Motivasi belajar termasuk dalam kategori
sangat baik (Skala Likert dengan rerata 3,32). Secara keseluruhan persentase penilaian
kelayakan media tanggapan responden dibandingkan dengan skor ideal adalah 76,44% dan
termasuk termasuk dalam kategori sangat baik untuk layak digunakan di SMK

Manfaat Media Pembelajaran Menurut Kemp dan Dayton (1985:3-4) dalam Azhar Arsyad (2006:
22-23) secara umum manfaat penggunaan media pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar,
yaitu : (1) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku dan terarah; (2) Pengajaran bisa lebih
menarik, karena media dapat diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa
terjaga dan memperhatikan; (3) Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya
teori belajar dan prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik, dan
penguatan.; (4) Lama waktu pengajaran yang diperlukan dapat dipersingkat karena kebanyakan
media hanya memerlukan waktu singkat untuk menyampaikan isi pelajaran dalam jumlah yan
cukup banyak dan kemungkinan dapat diserap oleh siswa; (5) Kualitas hasil belajar dapat
ditingkatkan bilamana integrasi kata dan gambar sebagai media pengajaran dapat
mengkomunikasikan elemen-elemen pengetahuan dengan cara yang terorganisasikan dengan
baik, spesifik dan jelas; (6) Pengajaran dapat diberikan kapan dan dimana diperlukan terutama
jika media pengajaran dirancang untuk penggunaaan secara individu; (7) Sikap positif siswa
terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat ditingkatkan; (8) Peran
guru dapat berubah ke arah yang lebih positif. Sedangkan menurut Arif Sadiman (2002-16)
mamfaat media pendidikan yaitu: (1) memperjelas penyajian pembelajaran; (2) mengatasi 12
keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera; (3) menimbulkan motivasi keefektivitas siswa
dengan pembelajaran

Pemilihan Media Dalam pengembangan media pembelajaran tentunya harus memilih media
yang tepat dalam menunjang prestasi siswa. Dalam pemilihan media harus mempertimbangkan
beberapa faktor. Menurut Azhar Arsyad (2006: 67-69 dan 73-74) faktor-faktor tersebut adalah:
a. Hambatan pengembangan dan pembelajaran meliputi faktor dana, fasilitas, peralatan yang
tersedia dan waktu yang tersedia b. Persyaratan isi, tugas dan jenis pembelajaran c. Hambatan
dari siswa dengan mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan awal d. Tingkat
kesenangan (prefensi lembaga, guru, dan pelajar) dan kefektivan biaya. e. Sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai, media dipilih berdasarkan tujuan instruksioanl yang telah ditetapkan yang
mengacu kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga ranah kongnitif, afektif, dan
psikomotor. f. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip atau
generalisasi. g. Praktif, luwes dan bertahan. Jika tidak tersedia waktu, dan atau sumber daya
lainnya untuk memproduksi tidak perlu dipaksakan. h. Guru terampil menggunakannya, karena
nilai dan mamfaatnya media amat ditentukan oleh guru yang menggunakannya. i.
Pengelompokan sasaran. Media yang efektif untuk kelompok besar belum tentu sama efektifnya
jika digunakan pada kelompok kecil atau perorangan. j. Mutu teknis. Pengembangan visual baik
gambar maupun fotograf harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Berdasarkan uraian di
atas bahwa pemilihan media pembelajaran merupakan langkah penting yang harus diperhatikan
oleh pengajar/guru. Media memiliki peranan yang penting dalam upaya pencapaian tujuan
pembelajaran.
3. PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL, PEMBELAJARAN LANGSUNG DAN MOTIVASI
BERPRESTASI TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF (Edy Suprapto, Jurnal, 2015)

Penelitian ini bertujuan: (1) menguji perbedaan hasil belajar kognitif antara siswa yang diajar
dengan model pembelajaran kontekstual dan pembelajaran langsung, (2) menguji perbedaan
hasil belajar kognitif antara siswa dengan motivasi berprestasi tinggi dan siswa dengan motivasi
berprestasi rendah, dan (3) menguji ada tidaknya interaksi antara model pembelajaran dan
motivasi berprestasi terhadap hasil belajar kognitif. Penelitian ini menggunakan model
rancangan nonequivalent control group design dengan rancangan faktorial 2x2. Subjek
penelitian adalah siswa SMK Negeri 2 Kupang, kelas X TKR yang memprogram pelajaran sepeda
motor semester ganjil tahun 2013/2014. Subjek penelitian tidak ditentukan secara random tapi
secara intact group, yaitu kelas X TKR 1 (38 siswa) sebagai kelas eksperimen (pembelajaran
kontekstual) dan kelas X TKR 2 (39 siswa) sebagai kelas kontrol (pembelajaran langsung). Data
penelitian dianalisis secara deskriptif dan ANOVA (Analysis of Variance) yang didasarkan pada
taraf signifikansi 5%. Dari hasil penelitian disimpulkan: (1) penggunaan model pembelajaran
kontekstual lebih unggul dibandingkan dengan model pembelajaran langsung terhadap hasil
belajar kognitif, (2) ada perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara siswa dengan
motivasi berprestasi tinggi dan siswa dengan motivasi berprestasi rendah, dan (3) tidak ada
interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan motivasi berprestasi pada hasil belajar
kognitif.

Paradigma pembelajaran harus menekankan pada pembelajaran yang terpusat pada siswa
(student centred learning), yaitu bergeser dari “guru dan apa yang akan diajarkan” ke arah
“siswa dan apa yang akan dilakukan”. Pembelajaran harus menciptakan hubungan yang
bermakna (meaningful connections) dengan kehidupan nyata. Pembelajaran harus memberikan
kesempatan yang luas kepada siswa untuk beraktivitas, baik minds-on activities maupun hand-
on activities. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dibangun dengan prinsip-prinsip seperti
di atas, dan mempunyai perhatian terhadap upaya-upaya implementasi dalam kehidupan nyata
adalah pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning [CTL]). Pembelajaran
kontekstual adalah pembelajaran yang berusaha mengaitkan konten mata pelajaran dengan
situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki
dengan kehidupan mereka sehari-hari (Johnson, 2002). Untuk mewujudkan pembelajaran yang
memiliki karakteristik seperti di atas, proses pembelajaran harus menekankan pada: making
meaningful connection, constructivism, inquiry, critical and creative thinking, learning
community, dan using authentic assessment. Pengaruh Model Pembelajaran Kontekstual,
Pembelajaran Langsung..... Edy Suprapto 26 Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
pembelajaran kontekstual akan mendorong pebelajar memahami hakekat, makna, dan manfaat
belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin belajar dan termotivasi untuk senantiasa belajar.
Hal tersebut sangat beralasan, karena materi pembelajaran kontekstual diperoleh dari
pengalaman kehidupan para pebelajar. Para ahli beranggapan bahwa, pembelajaran kontekstual
merupakan salah satu model pembelajaran yang inovatif, karena konsep model pembelajaran
ini selalu menghubungkan antara pengalaman kehidupan nyata pebelajar dengan materi yang
diajarkan, sehingga membantu pebelajar untuk menemukan sendiri hakekat dan makna belajar.
Akibatnya, pebelajar mempunyai motivasi belajar yang tinggi yang pada akhirnya dapat
meningkatkan hasil belajarnya. Hasil belajar dalam proses pembelajaran, menurut Bloom,
meliputi ranah (domain) kognitif, psikomotorik, dan afektif (Krathwohl et.al., 1964). Karena
luasnya permasalahan yang ada, maka dalam penelitian ini, hasil belajar hanya difokuskan pada
hasil belajar kognitif. Pembelajaran kontekstual dapat diimplementasikan dengan beberapa
macam strategi pembelajaran, namun dalam penelitian ini digunakan strategi pembelajaran
berbasis masalah (PBM) untuk mengimplementasikan pembelajaran kontekstual (Bern &
Erickson (2001), Efendi (2009), dan Komalasari (2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitiannya
Frank & Barzilai (2006), dengan pembelajaran kontekstual, pebelajar akan mendapatkan
pengetahuan/teknik interdisipliner serta menggunakan analisis dan pertimbangan optimal untuk
menghasilkan lebih dari satu alternatif penyelesaian masalah desain/rekayasa teknik dan dapat
merasakan pentingnya kerja sama tim. Kemudian menurut Fong Ma et al. (2008), pembelajaran
berbasis masalah akan dapat mendorong pebelajar memperoleh pengetahuan yang mereka
butuhkan sebelum praktek. Dengan masalah yang otentik dan didukung oleh media yang
bervariasi maka akan dapat membantu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek
serta mendorong untuk belajar mandiri yang akhirnya belajar seumur hidup. Selanjutnya, Kelley
& Kelam (2009), menyebutkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan strategi
pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek akan dapat membekali
pebelajar dengan kemampuan berpikir kritis yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi
berbagai macam masalah, sehingga memungkinkan pebelajar dapat beradaptasi bila bekerja di
masyarakat (pabrik, peternakan, kantor dan lainlain) atau berwirausaha.

4. Hubungan Kemampuan Guru Mengelola Kelas dengan Motivasi Belajar Siswa di SMK Citra
Nusantara Panongan Kabupaten Tangerang. (Idah Maulidah, skripsi,2017)

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan kemampuan guru mengelola kelas
dengan motivasi belajar siswa di SMK Citra Nusantara Panongan Kabupaten Tangerang. Populasi
target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK Citra Nusantara Panongan Kabupaten
Tangerang, sedangkan populasi terjangkau yaitu hanya siswa kelas XI yang berjumlah 420 siswa.
Karena populasi ini lebih dari 100 maka sampel penelitian diambil 15% dari populasi terjangkau
(63 siswa). Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode korelasi, sedangkan
teknik pengumpulan data utama menggunakan angket dan studi dokumen sebagai data
tambahan. Dari hasil perhitungan uji korelasi dengan menggunakan rumus product moment
diperoleh angka korelasi sebesar 0,650%. Dengan demikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kemampuan guru mengelola kelas dengan motivasi belajar
siswa. Artinya antara kemampuan guru mengelola kelas dengan motivasi belajar siswa
mempunyai hubungan yang cukup baik. Sebagian kecil motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh
pengelolaan kelas yang baik. Dapat diketahui juga dari status guru, sebagian kecil GTY (Guru
Tetap Yayasan) dan sebagian besar guru honorer. Kondisi seperti ini akan menyebabkan
kesulitan pihak sekolah untuk meminta guru tidak tetap berada di sekolah secara utuh sehingga
akan kesulitan melakukan bimbingan secara optimal kepada peserta didik, karena guru honorer
biasanya mengajar dibeberapa sekolah. Koefesien determinasi sebesar 42,25% menunjukkan
bahwa pengelolaan kelas memberikan kontribusi dengan variabel motivasi belajar siswa sebesar
42,25% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
disarankan kepada guru untuk lebih meningkatkan motivasi belajar siswa dan kepala sekolah
hendaknya secara intensif memberikan motivasi dan bimbingan kepada guru-guru untuk lebih
meningkatkan pengelolaan kelas, serta pengawasan terhadap pengelolaan kelas yang dilakukan
guru. Tanpa adanya pengawasan yang intens tidak menutup kemungkinan kinerja guru akan
menurun.

Menurut Winarno Hamiseno pengelolaan adalah substantifa dari mengelola. Sedangkan


mengelola adalah suatu tindakan yang dimulai dari penyusunan data, merencana,
mengorganisasikan, melaksanakan sampai dengan pengawasan dan penilaian.29Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan adalah penyelenggaraan atau pengurusan agar
sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan kelas menurut Oemar Hamalik
adalah suatu kelompok yang melakukan kegiatan belajar bersama, yang dapat pengajaran dari
guru.30 Suharsimi Arikunto juga berpendapat bahwa pengelolaan kelas suatu usaha yang
dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar atau yang membantu dengan
maksud agar dicapai kondisi optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar seperti yang
diharapkan.31 Syaiful Bahfri Djamarah berpendapat bahwa pengelolaan kelas adalah
keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan
mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi edukatif. Dengan kata lain,
kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi
terjadinya proses interaksi edukatif.Yang dimaksud dalam hal ini misalnya penghentian tingkah
laku anak yang menyeleweng perhatian kelas, perhatian ganjaran bagi ketepatan 28 Suharsimi
Arikunto, Pengelolaan Kelas dan Siswa Sebuah Pendekatan Evaluatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 7 29 Ibid., h. 8 30 Syiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Stratgei Belajar
Mengajar, ( Jakarta : PT Rieneka Cipta, 2013 ), Cet. 5, h. 175 31 Suharsimi Arikunto, op. cit, h. 67-
68 26 waktu penyelesaian kerja siswa, atau penetapan norma kelompok produktif.32
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat ditarik garis besar bahwa pengelolaan kelas
merupakan kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran dengan baik, hal ini dilakukan
guna untuk mencapai pembelajaran yang optimal. Berbeda dengan pendapat di atas, Sudirman
dkk. menyatakan bahwa pengelolaan kelas adalah upaya mendayagunakan potensi kelas.33
Tidak hanya Sudirman, Hadari Nawawi juga mengatakan bahawa kegiatan manajemen atau
pengelolaan kelas dapat diartikan sebagai kemampuan guru atau wali kelas dalam
mendayagunakan potensi kelas berupa pemberian kesempatan yang seluasnya-luasnya pada
setiap personal untuk melakukan kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga waktu dan dana
yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efesien untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan kurikulum dan perekembangan murid.34 Pendapat di atas menekankan
makna pengelolaan kelas sebagai suatu upaya mendayagunakan potensi kelas yang ada
seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi edukatif dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Dari pengertian pengelolaan kelas tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa
pengelolaan kelas adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seorang guru dengan
tujuan agar terjadi proses belajar mengajar dengan situasi dan kondisi yang efektif, kondusif,
dan menyenangkan bagi kedua belah pihak antara guru yang mengajar dan siswa sehingga
tercapai pembelajaran yang optimal. Mengelola kelas merupakan suatu keterampilan seorang
guru untuk menciptakan suasan pengajaran yang serasi tanpa adanya suatu gangguan. Seorang
guru harus berusaha mengembalikan kondisi tersebut jika terdapat hal-hal yang 32 Ibid, h. 173
33 Ibid, h. 177. 34 Ibid. 27 mengganggu konsentrasi siswa serta mengganggu kelancaran belajar.
Suatu kondisi belajar yang optimal akan dicapai apabila seorang guru mampu mengatur siswa
dengan suasana pelajaran yang serasi dan mengendalikan suasana belajar yang menyenangkan.

Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas, prinsip-prinsip


pengelolaan kelas dapat dipergunakan. Maka penting bagi guru untuk mengetahui dan
menguasai prinsip-prinsip pengelolaan kelas. Menurut Djamarah dan Moh Uzer Usman, prinsip
pengelolaan kelas itu mencakup hal-hal sebagai berikut : (1) hangat dan Antusias, (2) tantangan,
(3) bervariasi, (4) keluwesan, (5) penekanan pada hal yang positif positif, (6) penanaman disiplin
diri.

Berdasarkan konsep pegelolaan kelas maka yang dimaksud dengan kemampuan guru mengelola
kelas adalah suatu upaya maskimal dalam menata kelas yang dilakukan oleh seorang guru
dengan tujuan agar terjadi proses belajar mengajar dengan situasi dan kondisi yang efektif,
kondusif, dan menyenangkan sehingga tercapai pembelajaran yang optimal. Pengelolaan kelas
dapat diukur berdasarkan penciptaan kondisi belajar yang optimal, pemeliharaan kondisi belajar
yang optimal dan pengembaangan kondisi belajar yang optimal. Penciptaan kondisi belajar
optimal meliputi (1) Pengaturan tempat duduk yang sesuai dengan strategi yang digunakan, (2)
pengaturan penyimpanan barang-barang, (3) pengaturan ventilasi dan tata cahaya, sedangkan
pemeliharaan kondisi belajar yang optimal meliputi (1) Sikap tanggap, (2) memberi perhatian,
(3) pemusatan perhatian kelompok, (4) menegur, dan (5) memberi penguatan. Pengembangan
kondisi belajar yang optimal meliputi (1) Modifikasi tingkah laku, (2) pendekatan pemecahan
masalah kelompok, (3) menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.

Rendahnya kemampuan literasi siswa dalam Mapel Teknik Frais.

1. MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DENGAN STRATEGI MEMBACA KWL (KNOW, WHANT


TO KNOW AND LEARND) SISWA KELAS XI AKUTANSI A SMK NEGERI 1 SINGARAJA, Oleh : Ni
Nyoman Murtini1 jurnal Pendidikan dan Pembelajaran VOL. 03 No. 3 Edisi Khusus 2016

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca
peserta didik. Perolehan data awal yang rendah pada siswa kelas XI Akuntansi SMK Negeri 1
Singaraja pada semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017 membuat peneliti mengupayakan
membenahi proses yang kurang baik yang telah dilaksanakan. Perbaikan proses pembelajaran
dilakukan melalui penerapan strategi KWL (Know, Whant to Know and Learnd). Strategi ini
diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi. Setelah data dikumpulkan
melalui instrumen tes prestasi belajar, diperoleh peningkatan kemampuan membaca dengan
data awal yang rata-rata kelasnya yaitu mencapai 76,45 Dengan prosentase ketuntasan belajar
baru mencapai 45,16%, pada siklus I meningkat menjadi 79,19 rata-rata kelas dan 77,41% untuk
ketuntasan belajarnya. Sedangkan pada siklus II data tersebut telah meningkat menjadi 84,67
rata-rata kelasnya dan 96,77% ketuntasan belajarnya. Data pada Siklus II ini sudah menunjukkan
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang melebihi indikator yang dipersyaratkan. Oleh
karenanya peneliti berkesimpulan bahwa penerapan penerapan strategi KWL (Know, Whant to
Know and Learnd) dalam melaksanakan proses pembelajaran mampu meningkatkan
kemampuan membaca peserta didik.

Tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran biasanya dinyatakan dengan nilai. Hasil
belajar siswa kelas XI Akuntasi menunjukkan rendahnya tingkat penguasaan siswa terhadap
kemampuan membaca dengan rata-rata 76,45 Rata-rata ini jauh di bawah KKM mata pelajaran
Bahasa Indonesiadi SMK Negeri 1 Singaraja yaitu Hanya 14 orang dari 31 siswa di kelas XI
Akuntansi yang mencapai tingkat panguasaan materi sesuai harapan. Untuk meningkatkan
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, penulis berupaya melaksanakan perbaikan
pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas ini Teknik ini guru membimbing siswa untuk
dapat mengaktifkan pengetahuan latarnya (skematanya) dan meningkatkan kemenarikan topik
dalam teks terhadap siswa. Hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan menginterpretasi makna
yang terdapat dalam teks dan penyusunan rangkuman hasil membaca yang berisi kombinasi
antara isi bacaan dan skemata siswa. Kegiatan Pembelajaran dalam teknik KWL ini dibagi
menjadi tiga tahapan. Tierney (dalam Ririn, 2008:39-41) menjelaskan tiga tahapan besar
tersebut.Pertama, tahap K (What I Know “apa yang saya pelajari”). Siswa diajak bercurah
pendapat tentang tema, topik, judul, dan ilustrasi atau gambar-gambar yang terdapat dalam
teks. Dengan aktivitas itu skemata pembaca menjadi aktif kembali, sehingga pemahaman akan
lebih mudah dicapai oleh pembaca. Disamping itu guru juga mengaktifkan skemata siswa
tentang bahasa yang digunakan dalam teks. Kedua, tahap W (What I Want to learn “apa yang
ingin saya pelajari”). Guru mengidentifikasi berbagai hal yang bagi siswa merupakan hal yang
menarik, kurang dipahami, meragukan, atau menjadi silang pendapat. Guru menyusun
sejumlahpertanyaan yang merupakan tujuan dari kegiatan siswa membaca. Akan lebih praktis
apabila sejumlah pertanyaan tersebut disusun sebelum pembelajaran, karena apabila disusun
dalam pembelajaran akan menyita waktu yang lebih banyak. Apa bila ada tambahan
pertanyaan, guru tinggal menambahkannya. Ketiga, tahap L (What I Learned “apa yang telah
saya pelajari”). Siswa dipersilakan membaca teks yang telah ditentukan sambil berpedoman
pada sejumlah pertanyaan yang telah diterimanya. Siswa perlu dibimbing untuk dapat
mengidentifikasi informasi penting yang terkait dengan sejumlah pertanyaan yang ada, misalnya
dengan cara menggaris bawahi DAIWI WIDYA Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran VOL. 03 No. 3
Edisi Khusus 2016 4 bagian-bagian yang dianggap penting. Guru juga perlu memberikan bantuan
kepada siswa yang mengalami kesulitan terhadap kata atau istilah yang digunakan dalam teks.

You might also like