You are on page 1of 183

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330899810

TEKNIK LABORATORIUM BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER EDISI 2018

Book · June 2018

CITATIONS READS

0 1,586

5 authors, including:

F. Ferdinal Siufui Hendrawan


Tarumanagara University Tarumanagara University
363 PUBLICATIONS   91 CITATIONS    12 PUBLICATIONS   6 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

David Limanan Eny Yulianti


Tarumanagara University Tarumanagara University
198 PUBLICATIONS   15 CITATIONS    150 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Biochemistry View project

Oxidative Medicine & Cellular Longevity View project

All content following this page was uploaded by David Limanan on 06 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TEKNIK LABORATORIUM
BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER

Tim Penyusun:
Frans Ferdinal
Siufui Hendrawan
David Limanan
Eni Yulianti
Helmi

BAGIAN BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA, 2018
KATA PENGANTAR

Sykur Alhamdulillah, Buku Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium


Biokimia dan Biologi Molekuler ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Buku Penuntun Praktikum ini dibuat sebagai pedoman bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran dalam melakukan kegiatan praktikum Biokimia dan
Biologi Molekuler. Buku Penuntun Praktikum ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan praktikum
dengan lebih baik, terarah, dan terencana. Pada setiap topik telah ditetapkan
tujuan pelaksanaan praktikum dan semua kegiatan yang harus dilakukan oleh
mahasiswa serta teori singkat untuk memperdalam pemahaman mahasiswa
mengenai materi yang dibahas. Pada bagian akhir, buku dilengkapi dengan
teori singkat Hipoksia, Stres Oksidatif dan Teknik-Teknik Laboratorium
Biokimia dan Biologi Molekuler
Penyusun menyakini bahwa dalam pembuatan Buku Penuntun
Praktikum ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan Buku
Penuntun Praktikum ini dimasa yang akan datang.
Akhir kata, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Jakarta, Juni 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................. i
Kata Pengantar......................................................,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,.. ii
Daftar Isi........................................................................................... iii
Ready Reference............................................................................... 1
Peraturan Tata Tertib Laboratorium................................................. 3
Praktikum Kalorimetri/Spektrofotometri.......................................... 5
Enzim I : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim............. 17
Enzim II : Penetapan Km (Tetapan Michaelis) Fosfatase Hati sapi. 31
Enzim III : Aktivitas Spesifik GPT dan GOT................................... 38
Enzim IV : Assay Enzim.................................................................. 46
- GOT..................................................................................... 46
- GPT...................................................................................... 50
- γGT....................................................................................... 54
- Alkali Fosfatase.................................................................... 60
- CK-MB................................................................................. 67
Praktikum Metabolisme.................................................................... 72
Isolasi dan Pemisahan Protein.......................................................... 84
DNA Fingerprint............................................................................... 120
Praktikum Sifat – Sifat Membran..................................................... 129
Praktikum Hemoglobin..................................................................... 136
Hipoksia, Oksidatif Stres dan Antioksidan....................................... 149
Teknik Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler................... 163
Daftar Pustaka.................................................................................. 178

iii
1
2
PERATURAN TATA TERTIB
LABORATORIUM BIOKIMIA DAN BIOMOLEKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA

TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Setiap mahasiswa diwajibkan mengikuti praktikum


2. Mahasiswa diwajibkan hadir di ruang praktikum pada waktu yang
telah ditetapkan. Terlambat lebih dari 15 menit tidak diperkenankan
untuk mengikuti praktikum untuk hari itu dan dianggap absen.
Kesempatan tidak diberikan untuk mengulang praktikum yang telah
berlangsung.
3. Selama bekerja di ruang praktikum diharuskan memakai jas
praktikum (lab jas). Mahasiswa diharuskan menyediakan buku
laporan, kain lap / serbet, sabun, tissue gulung.
4. Sebelum masuk ruangan praktikum, setiap mahasiswa harus sudah
mempelajari hal – hal yang bersangkutan dengan praktikum hari itu
dan sudah membuat persiapan yang diperlukan di dalam buku
laporan. Setiap percobaan harus dilakukan steliti dan sebaik
mungkin, sesuai dengan petunjuk kerja dan hasilnya dilaporkan
secara tertulis dalam buku laporan, laporan sesuai dengan hasil yang
diperoleh sendiri.
5. Hasil praktikum harus ditunjukan kepada instruktur / dosen setelah
selesai praktikum hari itu.

3
6. Selama di ruang praktikum dilarang:
a. Bersenda gurau dan mengganggu teman – teman.
b. Mengerjakan hal lain yang tidak berhubungan dengan praktikum
hari itu.
c. Meninggalkan ruang praktikum tanpa izin instruktur / dosen,
makan, minum dan merokok.
d. Membuang segala bentuk sampah ke dalam bak cuci. Untuk
keperluan ini disediakan bak sampah.
e. Meletakan tas dan buku – buku yang tidak diperlukan ditempat
kerja.
7. Mahasiswa bertanggung jawab terhadap kebersihan dan kerapian
tempat kerja.
8. Mahasiswa agar berhemat dalam penggunaan zat – zat kimia. Berhati
– hati dalam penggunaan peralatan praktikum.
9. Setiap mahasiswa bertanggung jawab terhadap peralatan gelas dan
lainnya yang dipercayakan pemakaiannya selama praktikum.
Peralatan yang pecah atau rusak harus dilaporkan kepada instruktur /
dosen. Penggantian alat ditanggung mahasiswa bersangkutan dengan
batas waktu satu minggu.
10. Mahasiswa yang berhalangan mengikuti praktikum harus segera ke
bagian biokimia dan biomolekuler dengan memberikan bukti ketiak
hadirannya secara tertulis, selambat – lambatnya tiga hari setelah
praktikum yang tidak diikuti.

4
PRAKTIKUM
KOLORIMETRI / SPEKTROFOTOMETRI

Bila seberkas sinar putih melewati suatu larutan berwarna, maka


pada beberapa panjang gelombang (λ) tertentu dari spectrum warna, akan
terjadi penyerapan cahaya. Contohnya, bila suatu larutan berwarna
MERAH, maka ia akan menyerap cahaya pada daerah panjang
gelombang warna KUNING – BIRU. Sebaliknya cahaya pada daerah
panjang gelombang warna MERAH akan diteruskan sehingga dengan
mata tampak MERAH. Dengan perkataan lain, warna suatu larutan
disebabkan oleh warna spectrum cahaya yang tidak ditahan / diserapnya,
tetapi yang diteruskannya.
cahaya Sinar / cahaya
diserap yang diteruskan
Sinar / cahaya datang (“transmitted light”)
(“incidence light)
MERAH MERAH
KUNING
BIRU

Dalam keadaan sehari – hari, sebenarnya diketahui bahwa jumlah


zat yang terlarut dapat ditaksir dengan mata dari kepekatan / intensitas
warna. Misalnya, dua sendok sirup merah bila dilarutkan dalam segelas
air, warna tampak lebih pekat dari pada satu sendok sirup dalam gelas
dengan volume yang sama.

9
Pada teknik kolorimetri, intensitas / kepekatan warna tersebut
diukur dengan bahan yang peka terhadap impuls cahaya yaitu fotosel.
Fotosel akan menyebabkan perubahan potensial bila diber iimpuls
cahaya Besarnya impuls cahaya tergantung pada konsentrasi zat dalam
larutan yang menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian jelas terdapat
hubungan antara konsentrasi zat dengan respon fotoelektriktersebut.
Pada teknik fotometri elektrik, digunakan filter cahaya untuk memilih
kelompok cahaya yang diserap. Untuk larutan yang tidak berwarna,
dapat dibuat menjadi berwarna dengan mereaksikannya dengan pereaksi
lain.
Pada teknik spektrofometri, cahaya darisumber cahaya diuraikan
dengan menggunakan prisma sehingga diperoleh cahaya monokromatis
yang diserap oleh zat yang akan diperiksa tersebut. Cahaya
monokromatis merupakan cahaya satu warna, yang mempunyai satu
panjang gelombang.
Hubungan antara konsentrasi dengan cahaya yang diserap,
dinyatakan dalam hukum Beer – Lambert.
Hukum Beer – Lambert:
Bila cahaya monokromatis melalui suatu larutan berwarna,
jumlah cahaya yang diserap menrun secara eksponensial,
sebanding dengan:
a) Panjan lintasan / kolom cahaya yang melalui larutan
b) Kadar zat terlarut dalam larutan yang menyerap cahaya

6
Secara matematis, hukum Beer – Lambert dirumuskan sebagai:
A=k.c.l
A: Serapan, densitas optik, yaitu jumlah cahaya yang diserap.
k : Koefisien ekstingsi, yaitu serapan suatu senyawa dengan kadar 1 M,
pada λ tertentu dengan diameter kuvet / panjang larutan yang dilalui
cahaya = 1 cm.
c : Kadar sample yang diperiksa
l : Diameter kuvet/panjang gelombang larutan yang dilalui cahaya=1 cm
karena k dan l merupakan bilangan tetap, maka berarti A sebanding
dengan c.
Pada setiap penetapan secara kolorimetri selalu:
1. Diperlukan larutan blanko
Larutan blanko mengandung semua pereaksi kecuali bahan yang
diperiksa. Blanko dimaksudkan untuk menghilangkan interfensi yang
dapat disebabkan oleh zat lain yang terdapat dalam larutan yang
menyerap cahaya pada panjang gelombang yang sama. Untuk itu zat
yang diperiksa diganti dengan akuades dengan volume yang sama.
2. Digunakan larutan standar sebagai pembanding terhadap larutan uji.
3. Penetapan dalam duplo
Pemeriksaan larutan uji dan standar dilakukan dengan minimal
ulangan dua kali (duplo), dengan maksud untuk memperkecil
kealahan (ketelitian).

7
Pada praktikum ini digunakan alat Spectronic – 20
Petunjuk penggunaan Spectronic – 20
1. Putar tombol (1) (tombol yang sebelah kiri) ke kanan. Biarkan 15
menit untuk memanaskan alat. Atur tombol sampai menunjuk angka 0
pada penunjuk %T.
2. Putar tombol (2) (tombol yang ada disebelah atas alat) unuk memilih
panjang gelombang, sesuai panjang gelombang yang diinginkan.
3. Masukan kuvet yang berisi paling sedikit 3 mL akuades ke dalam
tempat sempel (sebelum memasukan kuvet, pastikan bahwa kuvet
dalam keadaan kering dengan melapnya dengan kertas tisu). Tutup
penutup tempat sampel.
4. Putar tombol (3) (tombol yang disbelah kanan) hingga %T menunjuk
angka 100 atau A menunjukan angka 0.
5. Angkat kuvet yang berisi akuades dari tempat sampel (6). Ganti isi
kuvet dengan larutan blanko, baca serapannya.
6. Ganti larutan blanko dengan larutan standar atau larutan uji.Baca
serapannya.
Catatan:
*Setiap memasukan kuvet ke dalam tempat sampel, bagian luar
kuvetharus dilap sampai bersih dan kering dengan kertas tisu.
*Jangan sampai ada cairan yang tumpah pada alat.
*Untuk setiap penetapan pada panjang gelombang yang berbeda, pada
setiap λ alat harus ditera dengan akuades (A harus menunjukan angka 0
atau 100%T).

8
5
2
6

1
3

Gambar 1. Spektrofotometer Spectronic – 20

9
TUJUAN PRAKTIKUM
1. Menentukan serapan maksimum suatu larutan pada panjang
gelombang tertentu
2. Membuktikan hukum Beer – Lambert
3. Menentukan kadar zat dalam larutan

MACAM PERCOBAAN
1. Penentuan Panjang Gelombang Dengan Serapan Maksimum
Dasar :
Setiap zat menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu
Pereaksi dan alat :
1. Spektrofotometer Spectronic – 20
2. Larutan kobalt – nitrat 10 mM
Pelaksanaan:
1. Masukan ke dalam kuvet 4 mL larutan kobalt-nitrat 10 mM
2. Baca serapan larutan tersebut pada panjang gelombang 460 – 560nm.
Untuk setiap panjang gelombang, tiap kali alat harus distandarisasi /
ditera degan akuades (A harus menunjukan = 0 atau T = 100%).
3. Buatlah kurva hubungan serapan dan panjang gelombang.
Pada panjang gelombang berapa, kobalt – nitrat menunjukan serapan
maksimum?

10
Hasil:
λ(nm) Serapan larutan kobalt – nitrat 10mM
460
470
480
490
500
510
520
530
540
550
560

Kurva hubungan panjang gelombang (λ) dengan serapan (A) kobalt nitrat

11
Kesimpulan:

Jawab Pertanyaan:

2. Hubungan Serapan Dengan Kadar Zat Dalam Larutan (Hukum


Beer – Lambert)
Dasar :
Jumlah cahaya yang diserap oleh suatu zat pada gelombang
tertentu sebanding dengan kadar tersebut dalam larutan.
Alat dan Pereaksi:
1. Spectronic – 20
2. Larutan kobalt – nitrat 5 mM ; 10 mM ; 15 mM ; 20 mM ; 30 mM
Pelaksanaan:
1. Siapkan serangkaian tabung reaksi berisi masing – masing 4 ml
larutan kobalt – nitrat 5 mM ; 10 mM ; 15 mM ; 20 mM ; 30 mM

12
2. Baca serapan tiap – tiap tabung pada panjang gelombang maksimum
yang saudara peroleh pada percobaan (1).
3. Buat grafik hubungan serapan dengan kadar larutan kobalt – nitrat.
Hasil:
Kadar larutan kobalt - nitrat Serapan pada λ (A.......)
5 mM
10 mM
15 mM
20 mM
30 mM

Grafik hubungan kadar – serapan:

Kesimpulan:

13
2. Penentuan Kadar Suatu Zat Dalam Larutan
Dasar :
Kadar suatu zat dalam larutan dapat diketahui dengan
membandingkannya dengan kadar standar
Bahan dan alat:
1. Spectronic – 20
2. Larutan kobalt – nitrat ( yang akan ditentukan)
Pelaksanaan:
1. Baca serapan larutan kobalt – nitrat (U1, U2, U3) pada λ maksimum
2. Hitung kadar larutan U1, U2, dan U3 berdasarkan kuva standar yang
saudara buat pada percobaan (2)
Hasil:
Larutan Kadar (mM)
U1
U2
U3

Kesimpulan:

14
L-α-Amino acids present in proteins

15
Asam Amino 21 : Selenocysteine ( Sec [U] )

Asam Amino 22 : Pyrrolysine ( Pyl [O] )

16
ENZIM I :
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ENZIM

Pendahuluan :
Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai
katalisator untuk berbagai reaksi kimia dalam sistem biologik. Hampir
tiap reaksi kimia dalam sistem biologis dikatalisis oleh enzim. Sintesis
enzim terjadi di dalam sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi
dari sel tanpa merusak fungsinya.
Kepentingan medis enzim. Enzim terdistribusi di tempat –
tempat tertentu di dalam sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan
fungsinya. Sebagai contoh, enzim – enzim yang berperan dalam sintesis
dan reparasi DNA terletak dalam inti sel. Enzim yang mengkatalisasi
berbagai reaksi yang menghasilkan energi secara aerob terletak didalam
mitokondria. Enzim yang berhubungan dengan biosintesis protein berada
bersama ribosom. Dengan demikian reaksi kimia dalam sel berjalan
sangat terarah dan efisien.

Gambar 2. Kompartemenlisasi enzim (Lippincotts).

17
Ada penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim
tertentu, misalnya pada defisiensi enzim glukosa 6 – fosfat
dehidrogenase (G6PDH/G6PD). Sel darah merah (SDM) penderita
G6PD ini sangat rentan terhadap pembebanan oksidatif, misalnya pada
pemakaian obat analgetik tertentu dan obat anti-malaria. Pada pemakaian
obat – obat tersebut dapat terjadi hemolisis intravaskuler.
Analisis enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk
diagnosis berbagai penyakit. Dasar penggunaan enzim sebagai
penunjang diagnosis ialah bahwa :
1. Pada hakikatnya, sebagian besar enzim terdapat dan bekerja dalam
sel.
2. Bahwa enzim tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh jaringan
tertentu.
Karena itu enzim intrasel seharusnya tidak ditemukan dalam
serum dan bila ditemukan, berarti sel yang membuatnya mengalami
disintegrasi. Bila enzim yang diukur dalam serum terutama dibuat oleh
jaringan atau organ tertentu, maka peningkatan aktivitas dalam serum
menunjukan adanya kerusakan pada jaringan atau organ tersebut.
Penggolongan enzim. Hal yang sangat penting bagi enzim ialah
kerjanya yang sangat spesifik. Suatu enzim dapat mengkatalisis satu atau
beberapa reaksi saja. Meskipun jumlah enzim ada ribuan yang bersumber
dari makhluk hidup, reaksi – reaksi yang dikatalisis oleh enzim – enzim
ini ternyata dapat digolongkan ke dalam 6 macam reaksi saja.
Berdasarkan itu, para ahli telah menggolongkan enzim ke dalam 6
golongan, sesuai dengan jenis reaksi yang dikatalisis, yaitu:
1. Oksidoreduktase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi – reaksi
oksidasi reduksi.

18
2. Transferase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi pemindahan
berbagai gugus seperti amina, karboksil, karbonil, metil, asil, glikosil
atau fosforil.
3. Hidrolase. Kelompok enzim ini mengkatalisis pemutusan ikatan
kovalen sambil mengikat air.
4. Liase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi pemecahan ikatan
kovalen tanpa mengikat air.
5. Isomerase. Kelompok enzim ini mengkatalisis reaksi isomerisasi.
6. Ligase (sintetase). Kelompok enzim ini mengkatalisis pembentukan
ikatan kovalen.

Gambar 3. Kelas enzim (color atlas of Biochemistry)

19
Kespesifikan enzim dibedakan dalam : kespesifikan optik dan
gugus. Kespesifikan optik tampak pada enzim – enzim yang bekerja
terhadap karbohidrat. Umumnya enzim – enzim ini hanya bekerja
terhadap karbohidrat isomer D dan bukan L. Sebaliknya enzim – enzim
yang bekerja terhadap asam amino dan protein hanya bekerja pada asam
amino L dan bukan pada isomer D. Kespesifikan gugus menunjukkan
bahwa enzim hanya dapat bekerja terhadap gugus yang tertentu.
Enzim alkohol dehidrogenase tidak dapat mengkatalisis reaksi
dehidrogenasi pada senyawa yang bukan alkohol.

Gambar 4. Spesifisitas enzim. Meski atom 1 dan 4 identik. Sekali atom 2 dan 3
terikat pada situs komplementernya pada enzim, hanya atom 1 yang dapat
terikat pada enzim tersebut. (Harper).
Faktor – faktor yang mempengaruhi kerja enzim. Seperti
molekul protein lainnya sifat biologis enzim sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor fisiko – kimia. Enzim bekerja pada kondisi tertentu yang
relatif ketat. Faktor – faktor yang mempengaruhi kerja enzim antara lain
suhu, pH, oksidasi oleh udara atau senyawa lain, penyinaran ultraviolet,
sinar X, α, β, dan γ. Di samping itu,kecepatan reaksi enzimatik
dipengaruhi pula oleh konsentrasi enzim maupun substratnya.

20
Pengaruh suhu :

0o suhu optimum 70oC suhu


Gambar 5.Pengaruh suhu pada kecepatan reaksi enzimatik

Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim
tidak dapat bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai
bekerja sebagian dan mencapai suhu maksimum pada suhu tertentu. Bila
suhu ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan berkurang karena
mangalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya
pada suhu optimum (Gambar 5). Enzim dalam tubuh manusia
mempunyai suhu optimum sekitar 37oC. Sebagian besar enzim menjadi
tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60oC karena terjadi denaturasi.
Pengaruh pH :

0 pH optimum 14 pH

Gambar 6.Pengaruh pH pada kecepatan reaksi enzimatik

21
Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan
pengukuran aktivitas enzim pada beberapa macam pH yang berlainan,
sebagian besar enzim di dalam tubuh akan menunjukan aktivitas
maksimum antara pH 5,0 sampai 9,0. Kecepatan reaksi enzimatik
mencapai puncaknya pada pH optimum (Gambar 6). Ada enzim yang
mempunyai pH optimum yang sangat rendah, seperti pepsin, yang
mempunyai pH optimum 2. Pada yang jauh di luar pH optimum, enzim
akan terdenaturasi. Selain itu dapa keadaan ini baik enzim maupun
substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang mengakibatkan
enzim tidak dapat berikatan dengan substrat.
Pengaruh konsentrasi enzim :
Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi
enzimatik. Dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v)
berbanding lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi
enzim reaksi makin cepat (gambar7).

0 [E]

Gambar 7. Pengaruh konsentrasi enzim [E] terhadap kecepatan


reaksi enzimatik (v)

22
Pengaruh konsentrasi substrat:
Pada suatu reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar,
sedangkan kondisi lainnya tetap, maka kecepatan reaksi (v) akan
meningkat sampai suatu batas kecepatan maksimum (V). Pada titik
maksimum ini enzim telah jenuh dengan substrat.
Dalam suatu reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat
membentuk kompleks enzim-substrat [ES], kemudian kompleks ini akan
terurai menjadi [E] dan produk [P]. Makin banyak kompleks [ES]
terbentuk, makin cepat reaksi berlangsung sampai batas kejenuhan [ES].
Pada konsentrasi substrat [S] melampaui batas kejenuhan kecepatan
reaksi akan konstan. Dalam keadaan itu seluruh enzim sudah berada
dalam bentuk kompleks E-S. Penambahan jumlah substrat tidak
menambah jumlah kompleks E-S(Gambar 8).

23
C
V

v 1 B
/2V

A [S]

Gambar 8. Pengaruh konsentrasi substrat [S] terhadap


kecepatan reaksi enzimatik (v)

Keterangan : Pada titik A dan B belum semua enzim bereaksi


dengan substrat (belum jenuh). Sehingga pada A dan B
penambahan substrat akan menyebabkan kecepatan reaksi
bertambah. Pada titik C semua enzim telah bereaksi dengan
substrat (jenuh), sehingga penambahan substrat tidak akan
menambah kecepatan reaksi, sebab tidak ada lagi enzim yang
bebas.

Tujuan praktikum
1. Membuktikan pengaruh suhu terhadap aktivitas enzimatik.
2. Membuktikan pengaruh pH terhadap aktivitas enzimatik.
3. Membuktikan pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzimatik.

24
Percobaan Enzim I:

1. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim


Tujuan:
Membuktikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu
sebanding dengan kenaikan suhu. Reaksi enzimatik mempunyai suhu
optimum.
Dasar :
Suhu yang sangat rendah akan menyebabkan terhentinya kerja enzim
secara revesibel, karena dalam keadaan tersebut tidak terjadi benturan
antara partikel E (enzim) dan S (substrat). Akibatnya kompleks E-S yang
sangat penting dalam reaksi enzimatik tidak terbentuk, sehingga P
(produk) juga tidak terbentuk. Bila suhu dinaikkan sedikit demi sedikit,
benturan E dan S untuk membentuk kompleks E-S akan makin gencar,
sehingga P yang terbentuk semakin banyak. Keadaan ini terjadi sampai
pada suhu tertentu, yaitu suhu optimum.
Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimum menyebabkan enzim
terdenaturasi. Akibatnya meskipun benturan E dengan S lebih genjar
lagi, kompleks ES tidak terbentuk karena enzim terdenaturasi. Akibatnya
pembentukan P berkurang. Denaturasi enzim dapat terjadi ireversibel
terutama bila suhu lingkungan jauh melampaui suhu optimum.

Bahan dan pereaksi:


1. Liur, sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 mL liur dalam gelas
kimia atau tabung reaksi yang bersih dan kering.
2. Larutan pati 0,4 mg/mL.
3. Larutan iodium.

25
Cara kerja :
1. Encerkan liur 100X dengan air suling.
2. Siapkan 6 pasang tabung reaksi yang bersih.
a. Pasangan pertama ditempatkan dalam bejana berisi es (0oC).
b. Pasangan kedua ditempatkan dalam bejana berisi air, yang
suhunya dipertahankan tetap pada 25oC.
c. Pasangan ketiga ditempatkan di rak tabung, pada suhu ruangan.
d. Pasangan keempat ditempatkan dalam penangas air yang suhunya
dipertahankan tetap pada 37oC.
e. Pasangan kelima ditempatkan dalam penangas air yang suhunya
dipertahankan tetap pada 60oC.
f. Pasangan keenam ditempatkan dalam penangas air mendidih
(100oC).
Tiap pasangan tabung diberi tanda B untuk blanko dan U untuk uji.
Keram pasangan tabung pada setiap suhu selama paling sedikit 5
menit.
3. Pipetkan ke dalam tiap – tiap tabung
Larutan Tabung B Tabung U
Larutan pati 1 mL 1 mL
Keram pasangan tabung dari tiap suhu paling sedikit 5 menit
Liur (diencerkan 100X) - 200 µL
Campur baik – baik, keram tepat 1 menit
Larutan iodium (untuk suhu 60oC 1 mL 1 mL
dan 100oC penambahan dilakukan
di luar penangas)
Air suling 8 mL 8 mL

26
Segera baca serapan (A) pada panjang gelombang 680 nm. Hitung
selisih serapan (ΔA) antara tabung B (A pada t = 0 menit) dengan
tabung U dari tiap suhu.
4. Buatlah tabel berikut ini:
Suhu AB AU ΔA/menit (v)
0oC
25oC
Suhu ruangan
37oC
60oC
100oC
5. Buatlah kurva yang menggambarkan hubungan kecepatan reaksi
enzimatik (v = ΔA/menit) dengan suhu.

2. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim


Tujuan :
Membuktikan behwa keasaman (pH) mempengaruhi kecepatan reaksi
enzimatik.
Dasar :
Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu dan menunjukkan kerja
maksimum pada pH optimum. Di luar pH optimum aktivitas enzim dapat
terganggu.
Bahan dan pereaksi :
1. Liur sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 mL air liur dalam gelas
kimia atau tabung reaksi yang bersih dan kering.

27
2. Larutan pati 0,4 mg/mL dilarutkan dalam berbagai pH (1, 3, 5, 7, 9,
dan 11).
3. Larutan iodium.
Cara kerja :
1. Encerkan liur 100X dengan air suling.
2. Siapkan 6 pasang tabung reaksi yang bersih. Tiap pasangan tabung
diberi tanda B untuk blanko dan U untuk uji.
3. Pipetkan ke dalam tiap – tiap tabung.
Larutan Tabung B Tabung U
Larutan pati dalam berbagai pH 1 mL 1 mL

Keram pada suhu 37oC paling sedikit 5 menit


Liur ( encerkan 100X) - 200 µL
Campurkan baik – baik, keram tepat 1menit
Larutan iodium 1 mL 1 mL
Air suling 8 mL 8 mL
4. Segera baca serapan (A) pada 680 nm. Hitung ΔA antara tabung B
( A pada t = 0 menit) dengan tabung U.
5. Buatlah tabel berikut ini:
pH AB AU ΔA/menit (v)
1
3
5
7
9
11

28
6. Buatlah kurva yang menggambarkan hubungan kecepatan reaksi
enzimatik (v = ΔA/menit) dengan pH.

3. Pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzim


Tujuan:
Membuktikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus
dengan konsentrasi enzim.
Dasar:
Pada konsentrasi substrat tertentu, penambahan enzim dengan
konsentrasi bertingkat akan meningkatkan pembentukan kompleks enzim
– substrat, sehingga jumlah produk yang terbentuk akan meningkat.
Bahan dan pereaksi:
1. Liur, sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 mL liur dalam gelas
kimia atau tabung reaksi yang bersih dan kering.
2. Larutan pati 0,4 mg/dL.
3. Larutan iodium.
Cara kerja:
1. Encerkan liur 100X, 200X, 300X, 400X, dan 500X dengan air suling.
2. Siapkan 5 pasang tabung reaksi yang bersih dan kering. Tiap
pasangan tabung diberi tanda B untuk blanko dan U untuk uji.
3. Pipetkan ke dalam tiap – tiap tabung:
Larutan Tabung B Tabung U
Larutan pati 1 mL 1 mL
Keram pada suhu 37oC paling sedikit 5 menit
Liur (diencerkan - 200 µL
100X–500X)

29
Campurkan baik – baik, keram tepat 1menit
Larutan iodium 1 mL 1 mL
Air suling 8 mL 8 mL
4. Segera baca serapan (A) pada panjang gelombang 680 nm. Hitung
selisih serapan antara tabung B (A pada t = 0 menit) dengan tabung
U dari tiap pengeceran enzim.
5. Buatlah tabel sebagai berikut:
Pengenceran Enzim AB AU ΔA/menit (v)
500X
400X
300X
200x
100X
6. Buatlah kurva yang menggambarkan hubungan kecepatan reaksi
enzimatik (v = ΔA/menit) dengan konsentrasi atau pengenceran
enzim.

30
ENZIM II:
PENETAPAN Km (TETAPAN MICHAELIS)
FOSFATASE HATI SAPI

Pendahuluan :
Penyelidikan tentang mekanisme kerja enzim dapat didekati dari
beberapa arah, antara lain dari struktur tiga dimensi ataupun kecepatan
reaksi enzim. Suatu penyelidikan tentang kecepatan reaksi dan
perubahan kecepatan reaksi yang terjadi karena perubahan parameter
secara eksperimental disebut penyelidikan kinetik enzim.
Telah diketahui, bahwa konsentrasi substrat mempengaruhi
kecepatan reaksi enzimatik (katalitik). Hubungan antara konsentrasi
substrat dengan kecepatan reaksi enzimatik dapat dinyatakan secara
kuantitatif. Kurva yang menggambarkan hubungan ini mempunyai
bentuk umum hiperbolik. Bentuk kurva hiperbolik itu dapat
diekspresikan secara aljabar dan disebut sebagai persamaan Michaelis –
Menten, dengan [S] = konsentrasi substrat, V0 = kecepatan reaksi
enzimatik pada t = 0, Vmax = kecepatan reaksi enzimatik maksimum dan
Km = tetapan Michaelis – Menten. Persamaan Michaelis – Menten
tersebut adalah sebagai berikut:
Vmax
V0 =
Km + [S]

31
Gambar 9. Michaelis-Menten. (Lehninger)

Persamaan ini dapat pula diubah secara aljabar ke dalam bentuk


yang lebih operasional untuk menghubungkan data yang diperoleh pada
percobaan, yaitu dengan dibalik sehingga diperoleh persamaan
1 Km 1 1
= +
V0 Vmax S Vmax

Persamaan ini disebut Persamaan Lineweaver – Burk. Persamaan


ini berbentuk garis lurus dengan slope (kemiringan garis) : a =
Km/Vmax dan intercept (titik potong) pada axsis = - 1/Km, titik potong
pada sumbu tegak (ordinat) : b = 1/Vmax dan garis yang diperoleh
disebut Lineweaver – burk Plot.

32
(a) (b)
Gambar 10. (a) Kurva Michaelis – Menten. (b) Garis Lineweaver – Burk
(Marks)

Pada gambar 10 tampak grafik dari kedua persamaan tersebut. Secara


aljabar, hanya diperlukan 3 titik untuk membuat garis lurus, sedangkan
untuk membuat garis lengkung seperti hiperbola diperlukan lebih banyak
titik. Secara operasional, hal ini akan sangat mempermudah penentuan
kedua nilai bilangan tetap tersebut, karena dengan menggunakan
persamaan Lineweaver – Burk pengukuran kecepatan reaksi cukup
dilakukan dalam 3 atau 4 konsentrasi substrat saja. Selain itu, dengan
menggunakan persamaan tersebut nilai Km dan Vmax dapat langsung
dilihat atau dihitung. Sebaliknya, untuk membuat hiperbola yang tepat,
sesuai dengan persamaan, diperlukan jumlah titik yang lebih banyak.
Nilai maksimum (Vmax) sukar ditetapkan, sedangkan nilai Km harus
dihitung secara grafis dari kurva.

33
Tujuan :
Menetapkan nilai Km enzim fosfatase alkali dan enzim fosfatase asam
yang berasal dari hati sapi dan memperlihatkan bahwa kedua enzim ini
mengkatalisis reaksi yang sama dengan substrat dan produk yang sama,
tetapi mempunyai pH optimum yang berbeda.
Dasar :
Dalam percobaan berikut ini, kedua macam fosfatase memecah substrat
fosfat organik yang sama, yaitu para-nitrofenil fosfat (p-NPP) menjadi
fosfat anorganik dan paranitrofenol (p-NP) yang berwarna kuning dalam
suasana basa. Densitas optik p-NP yang terbentuk dibaca pada λ = 410
nm.

Fosfatase
p-nitrofenilfosfat p-nitrofenol + fosfat organik
(kuning λ = 410 nm)

Oleh karena 1 mol p-NPP diubah menjadi 1 mol p-NP yang berwarna,
pengukuran densitas optik p-NP menggambarkan jumlah p-NPP yang
diolah.
Dalam percobaan ini, kecepatan reaksi pada saat enzim baru saja
berikatan dengan substrat membentuk kompleks ES dan belum
membentuk produk (kecepatan reaksi pada saat t = 0) dianggap sama
dengan kecepatan reaksi pada tabung blanko (B). Dengan sendirinya
densitas optik pada saat itu (DO0) ialah DO pada tabung B.

34
Bahan dan alat :
1. Hati sapi
2. Larutan NaCl 0,9%
3. Larutan dapar karbonat bikarbonat pH 9,6
4. Larutan dapar sitrat pH 4,8
5. Larutan substrat p-nitrofenilfosfat (p-NPP) 60 mmol
6. Larutan NaOH 0,1M
7. Alat : blender, sentrifus, penangas air dan spektrofotometer
Persiapan :
1. Larutan enzim fosfatase hati encerkan 10X
Siapkan potongan hati sapi 100 gram. Tambahkan larutan NaCl 0,9%
sebanyak 100 mL. Kemudian lumatkan campuran itu dengan
blender/pelumat. Ambil suspensi tersebut dan sentrifugasi selama 10
menit pada kecepatan 3000 rpm atau pada kecepatan maksimum alat
yang tersedia. Ambillah cairan bagian atas (supernatan) untuk
percobaan.
2. Larutan dapar karbonat – bikarbonat pH 9,6
1,59g Na2CO3 dan 2.93 g NaHCO3 dilarutkan dalam air sampai 1 L.
3. Larutan dapar sitrat pH 4,8
Larutkan 7,35 g trinatrium sitrat dihidrat dalam 400 mL air suling
bebas CO2, sesuaikan pH sampai 4,8 dengan penambahan HCl 1
mol/L dan encerkan dengan air sampai 500 mL.
4. Larutan NaOH 0,1 M
Larutkan 4 g NaOH dalam akuades dan encerkan hingga 1 L.
5. Larutan p-NPP dalam dapar dengan konsentrasi 0,25 0,5 0,75 dan100
mmol.

35
Cara kerja :
Sediakan tabung reaksi yang bersih dan kering. Lakukan prosedur pada
tabel berikut:
Tabung Kontrol Uji (duplo)
Larutan dapar substrat pH 4,8 atau 1mL 1mL
Larutan dapar substrat pH 9,6
Enzim pada waktu t = 0 - 50µL
Campur dan inkubasi selama 15 menit pada suhu 45oC
Larutan NaOH 0,1 M 4mL 4mL
Enzim 50µL -
Volume total 5,05 mL 5,05mL
Baca densitas optik dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
410 nm

Hasil :
Tuliskan hasil pengukuran densitas optik, kecepatan reaksi, kebalikan
konsentrasi substrat (1/S) dan kebalikan kecepatan reaksi (1/v) pada
tabel berikut:
No.Tabung S DA v 1/S 1/v
1 0.25 mM
2 0.5 mM
3 0.75 mM
4 1.00 mM

36
1. Gambarlah kurva yang menyatakan hubungan antara perubahan
konsentrasi S dengan kecepatan reaksi v, dengan menggunakan S
sebagai sumbu x dan v sebagai sumbu y.
2. Gambarlah kurva Lineweaver – Burk, berdasarkn data di atas dengan
membuat persamaan garis regresi liniernya.
1 =a1 +b
V S
a= Km b= 1
Vmax Vmax
3. Dari persamaa garis regresi linier yang diperoleh hitunglah,
A. Nilai Km dan Vmax untuk fosfatase asam
B. Nilai Km dan Vmax untuk fosfatase alkali.

Pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud dengan Km? Apa artinya secara kinetik dan
berdasarkan kinetik tersebut, bagaimana menafsirkan hubungannya
dengan afinitas enzim terhadap substrat?
2. Enzim manakah yang mempunyai afinitas lebih besar terhadaap p-
NPP, fosfatase asam atau fosfatase alkali? Jelaskan!
3. Apakah yang dimaksud dengan isoenzim? Apakah kedua enzim ini
isoenzim satu sama lain?
Jawaban:

37
ENZIM III :
AKTIVITAS SPESIFIK
GLUTAMAT-PIRUVAT TRANSAMINASE (GPT) DAN
GLUTAMAT-OKSALOASETAT TRANSAMINASE (GOT)
PADA HATI DAN JANTUNG SAPI

Tujuan :
Percobaan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan dan memahami
konsep aktivitas spesifik, yaitu aktivitas suatu enzim per kadar protein
total dari sumber enzim tersebut. Seperti yang akan diperlihatkan dalam
percobaan ini, nilai aktivitas spesifik suatu enzim yang sama yang
berasal dari dua sumber yang berbeda tidak harus sama, nilai tersebut
dapat sangat berbeda. Enzim yang dipelajari pada percobaan ini ialah
glutamat-piruvat transaminase (GTP) dan glutamat-oksaloasetat
transaminase (GOT). Sebagai sumber dari kedua enzim ini digunakan
hati dan jantung sapi.
Dasar:
GPT dan GOT terdapat di kedua jaringan tersebut dengan aktivitas
spesifik yang berbeda. Kedua enzim ini berperan dalam metabolisme
asam amino dan mengkatalisis reaksi yang sama, yaitu reaksi
pemindahan gugus –NH2 dari suatu asam amino ke suatu alfa-keto,
sehingga terbentuk asam alfa-keto yang baru dan asam amino baru,
transaminase
menurut reaksi :

asam amino1 + asam alfa-keto2 asam alfa-keto1 + asam amino2

38
Reaksi dapat diikuti dan diukur dengan berbagai cara. Dalam percobaan
ini akan digunakan cara Reitman dan Frankel (1957) yang mengukur
aktivitas enzimatik dengan mereaksikan asam alfa-keto1 yang terbentuk
dengan 2,4-dinitrofenilhidrazin, sehingga terbentuk hidrazon. Hidrazon
yang terbentuk ini diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 505 nm.

Bahan dan alat :


1. Hati sapi.
2. Otot jantung sapi.
3. Larutan NaCl 0,9%.
4. Larutan dapar fosfat 0,1M pH 7,4.
5. Larutan standar piruvat 2 mmol/L, harus dibuat baru.
6. Larutan dapar substrat yang mengandung 2 mM asam alfa-
ketoglutarat dan 100 mM L-aspartat pH 7,4 harus dibuat baru.
7. Larutan dapar substrat yang mengandung 2 mM asam alfa-
ketoglutarat dan 100 mM L-alanin pH 7,4 harus dibuat baru.
8. Larutan berwarna: larutan 1,5 mM 2,4-dinitrofenilhidrazin.
9. Larutan NaOH 0,4 N
10. Pereaksi biuret (weichselbaum).
11. Larutan standar albumin sapi 0,14 g/ 5 mL.
12. Pelumat jaringan (blender).
13. Alat pemusing/sentrifus.
14. Penangas air 37oC.
15. Spektrofotometer.

39
Persiapan larutan enzim GPT dan GOT hati dan jantung
Timbang jaringan hati dan jantung masing – masing 100 g. Tambahkan
ke dalam setiap jaringan 100 mL NaCl 0,9%. Lumatkan setiap jaringan
dengan blender sampai larutan homogen. Kemudian kedua suspensi
homogen itu disentrifus pada kecepatan 2000 rpm atau pada kecepatan
maksimum alat yang tersedia. Ambil supernatan untuk percobaan:
1. Pengukuran aktivitas enzim GPT dan GOT
2. Pengukuran kadar protein total.

Pelaksanaan:
1. Pengukuran aktivitas enzim GOT
Pipetkan ke dalam tabung reaksi.
Tabung Blanko Uji
Dapar substrat (GOT) 0,5 mL 0,5 mL
Letakkan dalam penangas 37 oC selama 5 menit
Bahan uji (hati dan - 0,2 mL
jantung)
Keram pada suhu 37 oC tepat 30 menit
Pereaksi warna 0,5 mL 0,5 mL
Bahan uji 0,2 mL -
Campur dan diamkan pada suhu ruangan selama tepat 20 menit
Larutan NaOH 0,4 N 5,0 mL 5,0 mL
Campur, setelah 5 – 30 menit
Baca serapan pada panjang gelombang 500 -560 nm

40
2. Pembuatan kurva standar GOT
Pipetkan ke dalam tabung reaksi
Tabung 1 2 3 4 5 6

Aktivitas GOT (unit/L) 0 9 21 36 60 95

Larutan standar piruvat 0 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25


(mL)

Larutan dapar substrat 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75


GOT (mL)

Campur dengan baik

Pereaksi warna (mL) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Campur dan diamkan selama 20 menit

Larutan NaOH 10 10 10 10 10 10

Campur, setelah 5 – 20 menit


Baca serapan pada panjang gelombang 500 – 560 nm

Kurva standar dibuat dengan menggunakan aktivitas enzim GOT


sebagai sumbu x dan serapan (A) sebagai sumbu y.

41
3. Pengukuran aktivitas enzimGPT
Pipetkan ke dalam tabung reaksi.
Tabung Blanko Uji

Dapar substrat (GPT) 0,5 mL 0,5 mL

Letakan dalam penangas 37 oC selama 5 menit

Bahan uji (hati dan jantung) - 0,1 mL

Keram pada suhu 37 oC tepat 30 menit

Pereaksi warna 0,5 mL 0,5 mL

Bahan uji 0,1 mL -

Campur dan diamkan pada suhu ruangan selama tepat 20 menit

Larutan NaOH 0,4 N 5,0 mL 5,0 mL

Campur, setelah 5 – 30 menit


Baca serapan pada panjang gelombang 500 -560 nm

42
4. Pembuatan kurva standar GPT
Pipetkan ke dalam tabung reaksi
Tabung 1 2 3 4 5 6

Aktivitas GPT (unit/L) 0 14 32 51 69 92

Larutan standar piruvat 0 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50


(mL)

Larutan dapar substrat GPT 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50
(mL)

Campur dengan baik

Pereaksi warna (mL) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Campur dan diamkan selama 20 menit

Larutan NaOH 10 10 10 10 10 10

Campur, setelah 5 – 20 menit


Baca serapan pada panjang gelombang 500 – 560 nm

Kurva standar dibuat dengan menggunakan aktivitas enzim GPT sebagai


sumbu x dan serapan (A) sebagai sumbu y.

43
5. Penetapan kadar protein (weischelbaum)
Pipetkan ke dalam tabung reaksi.
Tabung Uji (hati dan Standar Blanko
jantung)
Bahan uji 0,1 mL - -
Larutan standar - 0,1 mL -
Air suling - - 0,1 mL
Larutan NaCl 4,9 mL 4,9 mL 4,9 mL
0.9%
Pereaksi biuret 5 mL 5 mL 5mL
Diamkan pada suhu kamar selama 30 menit
Kemudian baca serapannya pada panjang gelombang 555 nm

Perhitungan:

AU – AB
Kadar protein = x 28 g/L bahan uji
AS – AB
(hati/jantung)

Pertanyaan:
1. Apakah aktivitas spesifik kedua enzim transaminase ini sama dalam
jantung dan dalam hati?
2. Di antara kedua enzim ini, mana yang cocok dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis kerusakan otot jantung dan mana
pula yang tepat untuk menilai kerusakan sel – sel hati? Berikan
alasannya.

44
3. Jelaskan dasar penggunaan pengukuran aktivitas enzim non
fungsional yang (seharusnya) tidak terdapat dalam darahuntuk
menegakkan diagnosis suatu peyakit.
Jawaban:

45
ENZIM IV :
ASSAY ENZIM
GOT (ASAT)
(Colorimetric Test)
(Reitman and Frankel)

Principle
Glutamate oxaloacetate transaminase (GOT) catalyzes the following
reaction:
GOT
Asapartate + 2-oxoglutrate Glutamate + Oxaloacetate
The oxaloacatate formed reacts with 2,4-dinitrophenylhydrazine in
alkaline solution. The product of the reaction is determined
photometrically at 500 to 560 nm1.
Sample material
Serum (free of hemolysis) or plasma.
If stored at 40C, the loss of serum activity in 4 days will be less than
10%2.

Reagents
1. buffer-substrate solution (100 mmol/l phosphate buffer, pH 7.4; 100
mmol/l L-aspartate; 2 mmol/l 2-oxoglutarate)
Dissolve the contents of bottle 1 in 30 ml double-distilled water.
This solution is stable for 1 week at 40C, or fot at least 3 months if
mixed thoroughly with a few drops of chloroform.
2. Colorreagent (1.5 mmol/l 2,4-dinitrophenylhydrazine)
The contents of bottle 2 are ready-for-use.

46
3. Sodium hyfroxide solution (0.4 mol/l sodium hydroxide)
Dissolve the contents of bottle 3 in 1000 ml distilled water in a
container made of gless or polyethylene.
The solution is stable at +150 to + 250C.
4. Standard solution (2 mmol/l sodium pyruvate)
All the reagents are stable up to the expiry date satated when sealed
and stored at +150 to + 200C.

Procedure
A blank should be prepared for each sample.
Pipette into test tubes:
Sample Blank
Buffer-substrate 0.5 ml 0.5 ml
solution 1
Place in a water bath for 5 minutes at 370C
Serum (fresh, free of 0.2 ml -
hemolysis)
Mix, incubate at 370C for exactly 30 minutes
Color reagent 2 0.5 ml 0.5 ml
Serum - 0.2 ml
Mix, allow to stand at +150 to + 250C for exactly 20 minutes
0.4 mol/l sodium 5.0 ml 5.0 ml
hydroxide solution 3
Mix, after 5-30 minutes measure the absorbance of the sample
against that of the blank.
Wavelengeth: 500-560 nm or green filte Light path: 1 cm

47
Dilution llimit: If the value obtained is more than 86 U/l, dilute 0.2 ml
serum with 0.8 ml physiological saline, repeat the determination using
0.2 ml of the diluted solution and multiply the result by 5.

Calculation
Use the absorbance values of the samples to read off the enzyme activity
(U/l) from the calibration curve.

Calibration curve
Prepare a dilution series by mixing the quantities of standard solution 4
and buffer-substrate solution 1 shown below:
Test tube no. Standard Buffer-substrate UV method U/l
solution 4 Ml solution 1 ml
1 0.00 1.00 0
2 0.05 0.95 9
3 0.10 0.90 21
4 0.15 0.85 36
5 0.20 0.80 60
6 0.25 0.75 95
Mix, add 1.0 ml color reagent 2 to each test tube, mix and leave to stand
for 20 minutes at + 150 to + 250C. add 10.0 ml 0.4 mol/l sodium
hydroxide solution 3 to each test tube and mix. After 5-20 minutes
measure the absorbance of each of the solutions in test tubes 2-6 againts
that of the solution in test tube 1 at 500-560 nm (or a green filter as
above).

48
Plot the absorbance values determined on the ordinate (y) against the U/l
values from the above table on the abscissa (x). Use these points to draw
a calibration curve.

Normal range
Up to 19 U/l

Other units
1 U/l = Karmen units/ml x 0.48
1 Karmen unit/ml = U/l x 2.1

Notes
1. The temperature and incubation period are critical, the instructions
must be followed exactly. An error of 10C in the temperature will
produce an error of about 7% in the final result.
2. For more precise and reliable methods, optimized kinetic procedures
operating at a wavelength of 340 or 336 nm should be used. Fully
optimized test kits are available from Merck.

References
1. S. Reitman and S. Frankel, Amer. J. Clin. Path. 28, 56 (1957)
2. H.U. Bergmeyer, Clin. Chem. 18, 1305 (1972)
3. A. Karmen, J. Clin. Invest. 34, 131 (1955)
4. J. H. Wilkinson, Diagnostic Enzumology, p. 115, Edward Arnold
(Publishers) Ltd, London, 1962

49
GPT (ALAT)
(Colorimetric Test)
(Reitman and Frankel)

Principle
Glutamate pyruvate transaminase (GPT) catalyzes the following
reaction:
GPT
Alanine + 2-Oxoglutarate Glutamate + Pyruvate
The pyruvate formed reacts with 2,4-dinitrophenylhydrazine in alkaline
solution. The product of the reaction is determined photometrically at
500 to 560 nm1.

Sample material
Serum (free of hemolysis) or plasma. If stored at 40c, the loss of serum
activity in 4 days will be less than 10%0.

Reagents
1. Buffer-substrate solution: (100 mmol/l phosphate buffer, pH 7.4; 100
mmol/l DL-alanine; 2 mmol/l 2-oxoglutarate
Dissolve the contents of bottle 1 in 30 ml double-distilled water.
This solution is stable for 1 week at 40C, or for at least 3 months if
mixed thoroughly with a few drops of chlorofotm.
2. color reagent: (1.5 mmol/l 2,4-dinitrophenylhydrazine)
The contents of bottle 2 are ready for use.
3. Sodium hudroxide solution: (0.4 mol/l sodium hydroxide)
Dissolve the contents of bottle 3 in 1000 ml distilled water in a
container made of glass or polyethylene.

50
The solution is stable at +150 to + 250c.
4. Standard solution: (2 mmol/l sodium pyruvate)
All the reagents are stable up to the expiry date stated when sealed
and stored at + 150 to + 250c.

Procedure
Ablank should be prepared for each sample.
Pipette into test tubes:
Sample Blank
Buffer-substrate 0.5 ml 0.5 ml
solution 1
Place in a water bath for 5 minutes at 370C
Serum (fresh, free of 0.1 ml -
hemolysis)
Mix, incubate at 370C for exactly 30 minutes
Color reagent 2 0.5 ml 0.5 ml
Serum - 0.1 ml
Mix, allow to stand at +150 to + 250C for exactly 20 minutes
0.4 mol/l sodium 5.0 ml 5.0 ml
hydroxide solution 3
Mix, after 5-30 minutes measure the absorbance of the sample
against that of the blank.
Wavelength: 500-560 nm or green filter Light path: 1 cm

51
Dilution limit: If the absorbance value obtained is more than 90 U/l,
dilute 0.2 ml serum with 0.8 ml physiological saline. Repeat the
determination using 0.2 ml of the diluted solution and multiply the result
by 5.

Calculation
Use the absorbance of the samples to read off the enzyme activity (U/i)
from the calibration curve.

Normal range
Up to 17 U/l

Calibration curve
Prepare a dilution series by mixing the quantities of standard solution 4
and buffer-substrate solution 1 shown below:
Test tube no. Standard Buffer-substrate UV method U/l
solution 4 Ml solution 1 ml
1 0.00 1.00 0
2 0.10 0.90 14
3 0.20 0.80 32
4 0.30 0.70 51
5 0.40 0.60 69
6 0.50 0.50 92
Mix, add 1.0 ml color reagent 2 to each test tube, mix and leave to stand
for 20 minutes at+150 to +250C. add 10.0 ml 0.4 mol/l sodium hydroxide
solution to each test tube and mix. After 5-20 minutes measure the

52
absorbance of each of the solutions in test tubes 2-6 againts that of the
solution in test tube 1 at 500-560 nm (or a green filter as above).
Plot the absorbance values determined on the ordinate (y) against the U/l
values from the above table on the abscissa (x). Use these points to draw
a calibration curve.

Other units
1 U/l = Karmen units/ml x 0.48
1 Karmen unit/ml = U/l x 2.1

Notes
1. The temperature and incubation period are critical, the instructions
must be followed exactly. An error of 10C in the temperature will
produce an error of about 7% in the final result.
2. For more precise and reliable methods, optimized kinetic procedures
operating at a wavelength of 340 or 336 nm should be used. Fully
optimized test kits are available from Merck.

References
1. S. Reitman and S. Frankel, Amer. J. Clin. Path. 28, 56 (1957)
2. H.U. Bergmeyer, Clin. Chem. 18, 1305 (1972)
3. A. Karmen, J. Clin. Invest. 34, 131 (1955)
4. J. H. Wilkinson, Diagnostic Enzumology, p. 115, Edward Arnold
(Publishers) Ltd, London, 1962

53
γ-GT – new
(Kinetic Test)

Principle
γ-GT catalyzes the transfer of the amide-like bound γ–glutamyl residue
to an acceptor peptide. In the present test, 5-amino-2-nitrobenzoate
(which absorbs at Hg 405) is split off from the substrate L-γ-glutamyl-3-
caroxy-4-nitroanilide1; the -γ-glutamyl residue is transferred to
glycylglycine. The change in absorbance per unit time is proportional to
the rate of substrate cleavage and thus to the enzyme activity.

Sample material
Serum, EDTA-plasma
γ-GT is stable for at least one week in serum between –200 and +20 0C.

Reagents
1. Buffer solution ( 1 bottle)
2. Substrate (30 bottles)
All reagents are stable up to the expiry date stated when sealed and
strored at + 20 to + 80C.
Concentrations in the test (including sample):100 mmol/l tris buffer,
pH 8.25; 100 mmol/l glycylglycine; 4 mmol/l L-γ-glutamyl-3-carboxy-4-
nitroanilide.

Preparation
Warm the reagents and cuvettes to a constant temperature of 250, 300 or
370C.

54
Procedure
Pipette into test tubes of one bottle 2 (see note 1):
Buffer solution 1 (250, 300 or 2.00 ml
370c) 0.20 ml
Serum
Mix well and after about 1 minute measure the increase in absorbance
every minute for 3, 4 or 5 minutes at 250, 300 or 370c.
Wavelengeth: Hg 405 Light path: 1cm

Dilution limit: If the absorbance differences per minute ( A/min) at the


beginning of the measurement are greater than 0.200, the determination
should be repeated with serum diluted 1:5 with physiological saline and
result multiplied by 6.

Calculation
Substitute the mean value for the absorbance difference per minute (
A/min) into the following equation:
Measurement at Hg 405: Enzyme activity = A/min . 1158 U/l

55
Table fot determining the enzyme activity at Hg 405
A/min A/min
U/l U/l
0.001 0.055
1 64
2 60
2 70
3 65
4 75
4 70
5 81
5 75
6 87
6 80
7 93
7 85
8 98
8 90
9 104
9 95
10 110
0.10 0.100
12 116
11 105
13 122
12 110

56
14 127
13 115
15 133
14 120
16 139
15 125
17 145
16 130
19 151
17 135
20 156
18 140
21 162
19 145
22 168
0.020 0.150
23 174
22 155
26 180
24 160
28 185
26 165
30 191
28 170
32 197
30 175

57
35 203
32 180
37 208
34 185
39 214
36 190
42 220
38 195
44 226
0.040 0.200
46 232
42
49
44
51
46
53
48
56
50
58

Normal range 2 (see note 2)


250C 30 0C 37 0C
Men: 6-28 U/l 7.9-37 U/l 10.5-49.0 U/l
Women: 4-18 U/l 5.2-24 U/I 7.0-31.5 U/l

58
Quality control
TM
For checking precision and accuracy – Autonorm , Seronorm® and
Pathonorm TM H + L*.
® = Registered trademark of Nyegaard/Oslo, Norway
TM
= Trademark

Notes
1. The buffer-substrate solution is stable for 2 days at + 150 to + 250c or
for 5 days at + 20 to + 80c.
2. The values for the normal range at 300 and 370c have been calculated
using experimentally determined conversion factors.

References
1. G. Szasz and M., Z. Klin. Chem. U. Klin. Biochem. 12, 228 (1974)
2. G. Szasz, in: Methoden der enzymatischen Analyse I (H. U.
Bergmeyer, Editor) 3rd ed., p. 757, Verlag Chemie, Weinheim/
Bergstraβe (1974)

59
ALKALINE PHOSPHATASE
(Optimized Kinetic Test)

Principle
Phosphatases catalyze the hydrolysis of phosphate esters. Alkaline and
acid phosphatases are differentiated by the pH ranges at which they
axhibit their optimal activity.
In the phosphatase determination according to BESSEY, LOWRY and
BROCK2, p-nitrophenyl phosphate is used as a substrate and is
dissociated by the enzyme into p-nitrophenolate and phosphate.
According to the new method of RICK et al3. The serum to be tested is
allowed to react with the substrate in the cuvette and the absorbance is
measured for a few minutes at 405 nm. The change in absorbance per
unit time is proportional to the rate of substrate dissociation and thus to
the enzyme activity.
This test is distinguished by its simplicity, its high specificity and its
good reproducibility attributable to its extensive stability towards the
action of atmospheric carbon dioxide.

Sample material
Serum, plasma + heparin
The enzyme activity is best measured a few hours afer withdrawal of the
blood sample4.
Less than 10% loss of activity in serum within 2-3 days at + 40C and
room temperature, and within one month at -250C4,5.

60
Reagents
1. substrate tablets (15 tablets) 2.Buffer solution (15 bottles)
Bottle 2. Contains the buffer which is ready for use.
When sealed, the buffer solution is stable for at least 1 year at +150 to
+250c. the substrate tablets 1. Are stable up to the expiry date stated on
the package when stored at +20 to +80c.
The enzyme activity decreases rapidly if even traces of detergent remain
in the glassware after rinsing.
Concentrations in the test: 10 mmol/l p-nitrophenyl phosphate; 0.5
mmol/l MgCl2; 1.0 mol/l diethanolamine HCl buffer pH 9.8.

Preparation
Warm the buffer solution 2. To 250, 300 or 370c.

Procedure
Add one substrate tablet to the contents of bottle 2. Leave to stand
for 5 minutes at 250, 300 or 370c. finally, dissolve the substrate
completely by shaking briefly then immediately pipette in (see note
1):
Serum 0.02 ml
Mix well, pour immediately into the cuvette. After about 1 minute
measure the absorbance at 250, 300 or 370c and repeat the
measurement exactly every minute for 3 minutes.
Wavelengeth: 405 nm Light path: 1cm

61
Dilution limit: If the absorbance differences per minute ( A/min) at the
beginning of the measurement are greater than 0.2, the determination
should be repeated with serum diluted 1:5 with physiological saline and
result multiplied by 6.

Calculation
Calculate the mean value for the absorbance differences per minute
( A/min) and substitute into the following formula:
Enzyme activity = A/min . 5460 U/l

Table for calculating the enzyme activity


A/min A/min A/min
U/l U/l U/l
0.010 0.080 0.150
55 437 819
12 82 152
66 448 830
14 84 154
76 459 841
16 86 156
87 470 852
18 88 158
98 480 863

0.020 0.090 0.160


109 491 874

62
22 92 162
120 502 885
24 94 164
131 513 895
26 96 166
142 524 906
28 98 168
153 535 917

0.030 0.100 0.170


164 546 928
32 102 172
175 557 939
34 104 174
186 568 950
36 106 176
197 579 961
38 108 178
208 590 972

0.040 0.110 0.180


219 601 983
42 112 182
230 612 994
44 114 184
240 622 1005

63
46 116 186
251 633 1016
48 118 188
262 644 1026

0.050 0.120 0.190


273 655 1037
52 122 192
284 666 1048
54 124 194
295 677 1059
56 126 196
306 688 1070
58 128 198
317 699 1081

0.060 0.130 0.200


328 710 1092
62 132
339 721
64 134
350 732
66 136
360 743
68 138
371 753

64
0.070 0.140
382 764
72 142
393 775
74 144
404 786
76 146
415 797
78 148
426 808

Normal range (see note 2)


250c 30 0c 37 0c
Men: 50-190 U/l6 0-223 U/l 80-360 U/l
Women: 40-190 U/l 48-223 U/I 65-306 U/l
Children up to 15 years: up to 400 U/l 480 U/l 645 U/l
Adolescents up to 17 years: up to 300 U/l 360 U/l 483 U/l
During the growth phase maxima appear in the AP activity, several
groups of workers have given different values for these maxima, e.g.:

Activity (U/l)
Age 250c 30 0c 37 0c
3-4 months: 730 (x + 2 s) 880 (x + 2 s) 1180 (x + 2 s)
13-15 years: 702 (x + 2 s) 845 (x + 2 s) 1132 (x + 2 s)

65
Quality control
TM
For checking precision and accuracy – Autonorm , Seronorm® and
Pathonorm TM H + L*.
® = Registered trademark of Nyegaard/Oslo, Norway
TM
= Trademark
Notes
1. The buffer-substrate solution is stable for 3 days whwn stored at at
+20 to + 80C and for 1 day whwn stored at + 150 to + 250C.
2. The values for the normal range at 300 and 370c have been calculated
using experimentally determined conversion factors.

References
1. Deutsche Gesellschaft fϋr Klinische Chemie, Z. Klin. Chem. u. Klin.
Biochem. 8, 658 (1970); 9, 464 (1971); 10, 182 (1972)
2. O. A. Bessey, O. H. Lowry and M. J. Brock, J. Biol. Chem. 164, 321
(1946)
3. T. U. Hausamen, R. Helger, W. Rick and W. Groβ, Clin. Chim. Acta
15, 241 (1967)
4. H.U. Bergmeyer, Clin. Chem. 18, 1305 (1972)
5. A. Englhardt and A. Nötges, Ärztl. Lab. 16, 42 (1970)
6. H. Schlebusch, W. Rick, H. Lang and M. Knedel, Dtsch. med. Wschr.
99, 765 (1974)
7. W. Rick, “Klinische Chemie und Mikroskopie”, 5th ed., Springer
Verlag, Berlin 1977
8. W. Kϋbler, lecture given at the conference “Methodische Fortschritte
im Laboratorium”, Dϋsseldorf 1973

66
CK-MB
NAC-Activated (UV Test)

Principle
The reagents for determining the activity of creatine kinase* include
inhibiting CK-M antibodies. These antibodies. These antibodies
completely inhibit the activity of CK-B subunit1,2. Only the activity of
the CK-B subunit is measured in this test.

Sample material
Serum, heparin- or EDTA-plasma
Less than 10% activity loss in serum within 1 day at + 40c or within 1
hour at room temperature.

Reagents
1. buffer solution (1 x 85 ml)
2. enzyme/coenzyme/antibodies (30 bottles, each for 2.5 ml of reagent
solution)
All reagents are stable up to the expiry date stated when stored at + 20 to
+ 80c.
Concentrations in the test : 100 mmol/l imidazole acetate buffer, pH
6.7; 30 mmol/l phosphocreatine; 20 mmol/l glucose; 20 mmol/l N-
acetylcysteine; 10 mmol/l magnesium acetate; 2 mmol/l EDTA; 2
mmol/l NADP; 5 mmol/l AMP; 10 µmol/l adenosine-5‟-pentaphospho-
5‟-adenosine; 1.5 kU/l glucose-6-phosphate dehydrogenase; 2.5
kU/l hexokinase; 1000 U/l CK-MM (human) inhibiting antibodies (goat).

67
Solutions
(2)Reagent solution:
Dissolve the contents of one bottle 2. In 2.5 ml buffer from bottle 1.
Stable for 7 days when stored at + 20 to + 80c, or for 12 hours when
stored at + 150 to + 250c.

Procedure
Warm the reagent solution and cuvettes to 250, 300 or 370c.

Into 2.5 ml of reagent solution (2) pipette:


Sample 0.10 ml
Mix and incubate for 10 minutes at 250, 300 or 370c. Measure the
absorbance at 250, 300 or 370c every minute for 3 minutes.
Wavelengeth: Hg 334, Hg 365** or 340 nm Light path: 1cm
Dilution limit: If the antibodies present in the test completely inhibit
sera with activities of up to 1000 U/l CK-MM. sera with total CK
activities of more than 1000 U/l must be prediluted with sodium chloride
solution (154 mmol/l 9 g/l ) to give activities of less than 1000 U/l.

Calculation
CK-B subunit activity
Calculate the mean value for the absorbance differences per minute
( A/min) and substitute into the following formula:
Measurement at Hg 334 : Enzyme activity = A/min . 4207 U/l
Measurement at 340 nm : Enzyme activity = A/min . 4127 U/l
Measurement at Hg 365 : Enzyme activity = A/min . 7429 U/l

68
CK-MB activity
The CK-MB activity in the sample can be derived from the CK-B
subunit activity by multiplying by a factor of 2.

Substitute the mean value for the change in absorbance per minute (
A/min) into the relevant formula:
Measurement at Hg 334 : Enzyme activity = A/min . 8414 U/l
Measurement at 340 nm : Enzyme activity = A/min . 8254 U/l
Measurement at Hg 365 : Enzyme activity = A/min . 14857 U/l

Evaluation table for A/5 min


A/5 min Hg 334 U/l Hg 365 A/5 min Hg 334 U/l Hg 365
340 nm 340 nm
o.oo1 1.7 1.7 3.0 o.o58 98 96 172
o.oo2 3.4 3.3 5.9 o.o60 101 99 178
o.oo3 5 5.0 8.9 o.o62 104 102 184
o.oo4 6.7 6.6 12 o.o64 108 106 190
o.oo5 8.4 8.3 15 o.o66 111 109 196
o.oo6 10 9.9 18 o.o68 114 112 202
o.oo7 12 12 21 o.o70 118 116 208
o.oo8 13 13 24 o.o72 121 119 214
o.oo9 15 15 27 o.o74 125 122 220
o.o10 17 17 30 o.o76 128 125 226
o.o11 19 18 33 o.o78 131 129 232
o.o12 20 20 36 o.o80 135 132 238
o.o13 22 21 39 o.o82 138 135 244
o.o14 24 23 42 o.o84 141 139 250

69
o.o15 25 25 45 o.o86 145 142 256
o.o16 27 26 48 o.o88 148 145 261
o.o17 29 28 51 o.o90 151 149 267
o.o18 30 30 53 o.o92 155 152 273
o.o19 32 31 56 o.o94 158 155 279
o.o20 34 33 59 o.o96 162 158 285
o.o21 35 35 62 o.o98 165 162 291
o.o22 37 36 65 o.100 168 165 297
o.o23 39 38 68 o.105 177 173 312
o.o24 40 40 71 o.110 185 182 327
o.o25 42 41 74 o.115 194 190 342
o.o26 44 43 77 o.120 202 198 357
o.o27 45 45 80 o.125 210 206 371
o.o28 47 46 83 o.130 219 215 386
o.o29 49 48 86 o.135 227 223 401
o.o30 50 50 89 o.140 236 231 416
o.o32 54 53 95 o.145 244 239 431
o.o34 57 56 101 o.150 252 248 446
o.o36 61 59 107 o.160 269 264 475
o.o38 64 63 113 o.170 286 281 505
o.o40 67 66 119 o.180 303 297 535
o.o42 71 69 125 o.190 320 314 565
o.o44 74 73 131 o.200 337 330 594
o.o46 77 76 137 o.210 353 347 624
o.o48 81 79 143 o.220 370 363 654
o.o50 84 83 149 o.230 387 380 683
o.o52 88 86 155 o.240 404 396 713
o.o54 91 89 160 o.250 421 413 743
o.o56 94 92 166

70
Normal range
In the serum of healthy individuals CK-MB activity is less than 10
U/l (250C), 16 U/l (300C) or 25 U/l (370C).

Quality control
Seronorm ®Ck-MB or Qualitrol ®CK-MB*.
® = Registered trademark of Nygaard/Oslo, Norway

Evaluation
High probability of myocardial damage:
Total CK activity > 160 U/l (250c) or > 420 U/l (370c)
CK-MB activity > 10 U/l (250c)or > 25 U/l (370c)
CK-MB > 6% of the total CK activity
High probability of skeletal muscle damage:
CK-MB < 6% of the total CK activity
If more than 48-60 hours haveeplased after a myocardial infarction the
CK-MB percentage may be less than 6%.

Refences
1. U. Wϋrzburg, N. Hennrich, H. Lang, W. Prellwitz, D. Neumeier and
M, Knedel, Klin. Wschr. 54, 357 (1976)
2. W. Prellwitz, S. Kapp, D. Neumeier, M. Knedel, H. Lang And D.
Heuwinkel, Klin. Wschr. 56, 559 (1978)

71
PRAKTIKUM
METABOLISME
Metabolisme adalah suatu proses yang terjadi di dalam suatu
organisme / sel hidup. Dalam proses tersebut, organisme mengambil
senyawa imia dari luar, mengolahnya untuk mendapatkan energi dan
proses sintesis dan kemudian mengekspresikan produk akhir hasil reaksi
yang terjadi di dalam organisme tersebut.
Senyawa – senyawa seperti karbohidrat, lipid dan protein dapat
digunakan sebagai sumber energi untuk metabolisme sel. Senyawa ini di
dalam sel akan mengalami perubahan melalui berbagi reaksi enzimatik
atau jalur metabolisme. Jalur metabolisme dapat dibagi menjadi 3
bagian. Jalur metabolisme yang mengkatalisis pemecahan suatu senyawa
disebut jalur katabolik. Sedangkan jalur proses sintesis suatu senyawa
dalam sel disebut jalur anabolik. Jalur yang digunakan untuk proses
pemecahan dan proses sintesis disebut jalur amfibolik.

Gambar 11. Metabolisme: katabolik dan anabolik

72
Sebagian besar jalur metabolisme dan reaksi – reaksi yang terjadi
di dalam jalur metabolisme baik pada organisme sederhana bakteri,
maupun organisme tingkat tinggi mamalia hampir sama.
Glikolisis merupakan jalur utama dalam metabolisme karbohidrat
untuk menghasilkan energi. Jalur glikolisis ini merupakan jalur yang
penting. Pertama karena tidak hanya berperan pada metabolisme
karbohidrat saja, tetapi bersama – sama dengan siklus asam sitrat dapat
berperan sebagai jalur amfibolik. Selain itu, jalur ini juga berfungsi
setiap saat dan tersebar dalam seluruh makhluk hidup, mulai dari bakteri
hingga manusia.
Pada eksperimen metabolisme ini akan dilakukan pengamatan
terhadap proses glikolisis yang terjadi di dalam sel ragi dan yang terjadi
di dalam sel darah merah. Pada manusia dan hewan, hasil akhir proses
glikolisis anaerob adalah asam laktat, sedangkan pada sel ragi, hasil
akhirnya adalah etanol dan CO2. Selain itu akan dilakukan juga
pengamatan pengaruh puasa 48 jam terhadap kadar glikogen hati pada
tikus. Pada keadaan puasa, kadar glikogen hati akan berkurang, karena
pecah untuk mempertahankan kadar glukosa darah.

Gambar 12. Nasib glukosa dalam jalur metabolisme

73
Gambar 13. Glikolisis

74
TUJUAN PRAKTIKUM:
1. Mengamati proses glikolisis yang terjadi di dalam sel ragi dan sel
darah manusia.
2. Mengamati pengaruh puasa 48 jam terhadap kadar glikogen hati.
1. Glikolisis Dalam Sel Ragi
Tujuan :
1. Mempelajari / mengamati proses glikolisis di dalam sel ragi dengan
mengukur kadar glukosa yang tersisa, tinggi kadar etanol dan tinggi
kolom CO2 yang dihasilkan.
2. Mempelajari / mengamati pengaruh inhibitor seperti fluorida dan
arsenat terhadap proses glikolisis.
Dasar:
Glukosa oleh enzim – enzim glikolisis di dalam sel ragi akan
diubah menjadi etanol dan CO2.

Glucose

Pada pemberian inhibitor, lebih sedikit jadi etanol dan CO2


Bahan dan alat:
1. Tabung peragian
2. Suspensi ragi
3. Larutan glukosa 2%
4. Inhibitor proses glikolisis:
a. Larutan flurida
b. Larutan arsenat

75
Pelaksanaan:
1. Sediakan 4 tabug peragian yang bersih dan kering
Tabung 1 digunakan sebagai kontrol positif
Tabung 2 sebagai kontrol negatif
Tabung 3 dan 4 digunakan untuk melihat pengaruh inhibitor
2. Pipetkan ke dalam masing – masing tabung
Tabung 1 2 3 4
Suspensi ragi 21mL - 20mL 20mL
Suspensi ragi yang telah - 21mL - -
dididihkan
Larutan fluorida - - 1mL -
Larutan arsenit - - - 1mL
Larupan glukosa 2% 3mL 3mL 3mL 3mL

3. Campur isi tabung dengan membalik – balikkannya 3 – 4 kali


sehingga lengan tertutup terisis dengan suspensi ragi. Biarkan 15
menit dalam suhu kamar.
4. Setelah tepat 15 menit lakukan pengukuran pada masing – masing
tabung tersebut
a. Tinggi kolom CO2 yang terbentuk pada lengan tertutup
b. Kadar glukosa
c. Kadar etanol

76
Hasil:
Tabung 1 2 3 4
Kontrol + Kontrol - + fluorida + arsenat

Tinggi kolom CO2 yang


terbentuk (cm)
Kadar glukosa
Kadar etanol

Kesimpulan:

2. Penetapan Kadar Glukosa


CaraFolin – Wu
Dasar :
Glukosa yang terdapat dalam larutan dipanaskan dalam larutan
tembaga alkalis. Glukosa akan mereduksi ion kupri menjadi senyawa
kupro yang tidak larut. Pada penambahan pereaksi asam fosfomolibdat
senyawa kupro akan larut dan mereduksi As fosfomolibdat yang
berwarna biru tua. Intensitas warna biru menyatakan banyaknya tembaga
yang direduksi dan dengan menyatakan jumlah glukosa yang ada.

77
Penetapan kadar glukosa cara Folin – Wu terlebih dahulu
dilakukan deproteinisasi bahan yang akan diperiksa dengan cara Folin –
Wu.

Pembuatan filtrat bebas protein dengan cara Folin – Wu


Dasar:
Protein akan mengendap pada penambahan asam tungstat
Bahan dan pereaksi:
1. Bahan yang akan diperiksa
2. Akuades
3. Larutan natrium tungstat 10%
4. Larutan asam sulfat (H2SO4) 2/3 N
Pelaksanaan:
1. Pipetkan 7 mL akuades ke dalam Labu Erlenmeyer 125 mL yang
kering.
2. Tambahkan 1 mL bahan yang akan diperiksa, goyang labu dengan
perlahan.
3. Tambahkan 1 mL larutan Na – tungstat 10%, campur dengan
menggoyang labu.
4. Tambahkan 1 mL H2SO4 2/3 N secara tetes demi tetes sambil terus
menggoyang labu.
5. Diamkan 10 menit.
6. Saringmelalui kertas saring yang kering dan filtrat yang keluar
ditampung.

78
Pengukuran kadar glukosa
Bahan dan pereaksi:
1. Filtrat bebas protein
2. Larutan tembaga alkalis menggandung natrium karbonat, tembaga
sulfat dan asam tartat
3. Pereaksi asam fosfomolibdat menandung asam molibdat dan natrium
tungstat
4. Larutan standar glukosa mengandung 0,1 mg/mL
Pelaksanaan:
Pengukuran kadar glukosa ini dilakukan dengan menggunakan tabung
Folin – Wu
Pipetkan ke dalam tabung:
Larutan (mL) 1 2 3 4 5 6
Blanko Standar Uji 1 Uji2 Uji 3 Uji 4
Filtrat bebas protein - - 2,0 2,0 2,0 2,0
Standar glukosa - 2,0 - - - -
Akuades 2,0 - - - - -
Perekasi tembaga 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
Campur dengan baik dengan menggoyang –
goyangkan tabung. Letakan dalam penangas air
mendidih selama tepat 8 menit. Kemudian dinginkan
dalam es selama 3 menit.
Asam fosfomolibdat 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
Campur dengan baik. Diamkan 3 menit
untuk melarutkan Cu2O. Kemudian
encerkan sampai 25 mL dengan akuades.
Baca serapan (A) tiap tabung pada
spektrofotometer pada panjang
gelombang 420 nm.

79
Perhitungan:

AU - AB 100
x 0,2 x mg/100 mL
Kadar glukosa =
AS - AB 0,2

Hasil:
Tabung Kontrol + Kontrol – + Flurida + Arsenat
Uji 1 Uji 2 Uji 3 Uji 4
Kadar glukosa
(g/dL)

Kesimpulan:

3. Penetapan Kadar Etanol


Dasar:
Dikromat dalam suasana asam mengoksidasi etanol menjadi
asetat.
Cr2O7 + 10 H+ + CH3CH2OH 2Cr3+ + CH3COOH + 6H2O
(jingga)
Berkurangnya warna dikromat, sebanding dengan jumlah etanol
yang terdapat di dalam larutan.

80
Pereaksi:
1. Larutan dikromat asam
2. Larutan Na2CO3 20%
3. Larutan standar etanol 0,5 g/dL
Alat:
1. Piring Conway dengan penutupnya
2. Spektrofotometer
Cara kerja:
1. Sediakan 5 piring Conway dengan tutupnya
Piring 1, 2, 3, 4 digunakan untuk kontrol +, kontrol –, pengaruh
fluorida dan pengaruh arsenat.
Piring 5 digunakan untuk standar.
2. Isi bagian tengah piring Conway dengan 3 mL larutan dikromat
asam.
3. Pipetkan bersebelahan pada bagian (lingkaran) luar piring Conway
0,5 mL larutan yang diperiksa atau 0,5 mL larutan standar
1 mL larutan Na2CO3

Standar Uji

Dikromat asam

0,5 mL standar 1 mL Na2CO3 20%


0,5 mL larutan yang
1 mL Na2CO3 20%
diperiksa

81
4. Tutup piring Conway dengan penutupnya yang telah diberi vaselin.
5. Keram pada 90oC, selama 20 menit.
6. Ambil larutan dikromat, yang terdapat dibagian piring, masukkan ke
dalamtabung 25 mL. Bilaslah tempat tadi 2x degan akuades dan
masukkan hasil bilasan ke dalam tabung, encerkan sampai 25 mL.
7. Sebagai blanko, masukkan 3 mL dikromat asam dan encerkan
dengan air sampai 25 mL.
8. Bacalah serapan pada λ 450 nm.
Perhitugan:

AB – AU 0,5 100 100


Kadar etanol = x 0,5 x x x g/dL
AS – AU 100 0,5 0,5

Hasil:
Blanko Standar Kontrol Kontrol + +
+ – Fluorida Arsenat
Serapan
Kadar
etanol
g/100mL

Kesimpulan:

82
Pertanyaan:
1. Apakah semua KH, selain glukosa, dapat diuraikan oleh enzim yang
terdapat dalam ragi?
Jawaban:

83
ISOLASI DAN PEMISAHAN PROTEIN

Pendahuluan
Protein adalah molekul organik yang terbanyak di dalam sel.
Lebih dari 50% berat kering sel terdiri atas protein. Selain itu, protein
adalah biomolekul yang sesungguhnya, karena senyawa ini yang
menjalankan berbagai fungsi dasar kehidupan, antara lain protein
berkontraksi melakukan gerak, menjalankan berbagai proses
metabolisme dalam bentuk enzim. Protein dapat pula berperan membawa
informasi dari luar ke dalam sel dan di dalam bagian – bagian sel sendiri.
Protein juga mengendalikan dapat tidaknya, serta waktu yang tepat untuk
pengungkapan informasi yang terkandung dalam DNA, yang diperlukan
untuk sintesis protein itu sendiri. Jadi secara tidak langsung protein
mengatur alat perekam informasi untuk protein, sehingga dengan
demikian operasinya dibawah kendali protein.
Secara kimia, protein adalah heteropolimer dari asam – asam
amino, yang berikatan satu sama lain dengan ikatan peptida. Ada suatu
universalisme di dalam molekul protein. Protein apapun dan berasal
dari makhluk apapun juga ternyata hanya tersusun dari 22 macam
asam amino saja. Perbedaan protein yang satu dengan yang lain
disebabkan oleh jumlah dan kedudukan asam – asam amino tersebutdi
dalam tiap – tiap molekul. Kedua puluh dua asam – amino itu
mempunyai ciri umum sebagai berikut. Pertama, semuanya
mempunyai konfigurasi L. Kedua, sama – sama mempunyai 1 gugus
COOH dan 1 gugus NH2 yang terikat ke atom Cα. Perbedaan
individual dari asam – asam amino ini disebabkan oleh perbedaan rantai

84
samping. Yang menyebabkan perbedaan kimia antara asam – asam
amino tersebut, pada gilirannya akan menyebabkan perbedaan sifat
kimia dan biologis dari molekul proten yang disusunnya. Rantai samping
R ini tidak ikut membentuk ikatan peptida. Muatan suatu protein dalam
suatu larutan ditentukan oleh gugus NH2 bebas di suatu ujung dan gugus
COOH bebas di ujung yang lain serta jumlah rantaiyang bermuatan.
Molekul protein, melalui ikatan hidrogen, berinteraksi dengan
molekul air membentuk mantel air. Karena molekulnyabesar, di dalam
air protein membentuk larutan koloid. Adanya sejumlah elektrolit
dengan konsentrasi encer sangat meningkatkan kelarutan suatu protein
(salting in). Sifat ini, yaitu kelarutan dalam bentuk larutan koloidyang
dipermudah oleh mantel air dan elektrolit encer, dimanfaatkan untuk
pemisahan protein. Selain itu, sifat lain, yaitu ukuran molekul yang
berbeda sebagai akibat dari jumlah asam amino yang menyusun dan
muatan yang tidak sama antara protein yang satu dengan yang lain
karena perbedaan jenis asam amino yang menyusunnya, menjadi dasar
dari pemisahan protein yang akan dilakukan pada praktikum berikut ini.
Tujuan praktikum:
1. Mengenal reaksi umum berdasarkan adanya beberapa ikatan
peptida pada suatu protein dan mampu menggunakannya untuk
melacak proteindalam suatu bahan.
2. Melakukan pemisahan suatu protein dari kelompok protein lain
secara reversibel dengan menggunakan larutan garam divalen
konsentrasi tinggi (salting out) dan menerangkan mekanisme
pemisahan tersebut.

85
3. Melakukan pemisahan protein secara reversibel, dengan
menggunakan bahan higroskopis dan menerangkan mekanisme
pemisahan tersebut.
4. Melakukan pemisahan protein secara denaturasi ireversibel
dengan menggunakan pereaksi alkaloid, menerangkan
mekanisme kerjanya dan mampu menggunakan untuk melacak
protein.
5. Memperlihatkan kemampuan logam berat dalam mengendapkan
dan mendenaturasi protein dan menjelaskanmasalah yang
ditimbulkan oleh logam berat sebagai pencemar lingkungan.
6. Mengetahui cara pemisahan suatu protein dari protein lain
ataupun senyawa lain, berdasarkan perbedaan berat molekul,
dengan menggunakan cara kromatografi gel penyaring molekul
sederhana.

PERCOBAAN PROTEIN
1. Uji biuret
Tujuan:
Memperlihatkan, bahwa protein mempunyai ikatan peptida yang
bereaksi positif dengan uji biuret. Reaksi ini tidak terjadi pada
makroolekul lain.
Dasar:
Ikatan – ikatan peptida yang menyusun protein dan polipeptida,
dalam larutan bersusana alkali akan berwarna lmbayung bila direaksikan
dengan Cu++.

86
Bahan dan pereaksi:
1. Larutan albumin atau putih telur
2. Air liur
3. Larutan pati 1%
4. NaOH 10%
5. Larutan CuSO4 0,1%
Cara kerja:
Siapkan 4 tabung reaksi yang bersih. Pipetkan ke dalam tabung
reaksi, seperti tabel berikut ini :
Tabel 1.Prosedur Reaksi Biuret
Tabung 1 2 3 4
Larutan albumin (putih telur) 2 mL - - -
Air liur - 2mL - -
Larutan pati - - 2mL -
Air suling - - - 2mL
NaOH 10% 2mL 2mL 2mL 2mL
Larutan CuSO4* 1 tetes 1 tetes 1 tetes 1 tetes
Warna lembayung
*Bila belum terbentuk warna lembayung, CuSO4 dapat ditambahkan
lagi, sampai 10 tetes.
Kesimpulan:

87
Pertanyaan:
1. Apakah uji ini akan positif untuk asam amino?
2. Asam amino apa saja yang menyusun protein?
3. Bagaimana pengelompokan asam amino?
4. Apa yang dimaksud dengan asam amino esensial? Asam amino apa
saja yang esensial?
5. Gambarkan ikatan peptida!
Jawaban:

2. Pengendapan protein dengan larutan garam konsentrasi tinggi


(salting out)
Tujuan:
Memperlihatkan, bahwa sebagai makromolekul yang larut
dalambentuk larutan koloid, protein dapat dipisahkan satu dari yang lain,
menggunakan larutan garam divalen konsentrasi tinggi.
Dasar:
Untuk larut dalam air, suatu molekul harus dapat berinteraksi
dengan molekul air dengan cara membentuk ikatan hidrogen sehingga
molekul tersebut tersebar rata di antara molekul – molekul air. Adanya
muatan listrik pada molekul terlarut sangat membantu kelarutan,

88
karena muatan yang sama saling menjauhi, sehingga agregasi
molekul tidak terjadi.
Protein merupakan makromolekul karena memiliki BM (berat
molekul) besar. Pada umumnya, protein mudah larut dalam air karena
protein mempunyai kedua sifat berikut. Gugus – CO – dan – NH – yang
ada pada ikatan peptida dapat berinteraksi dengan molekul air melalui
ikatan hidrogen, sedangkan berbagai rantai samping, yang diantaranya
ada yang hidrofilik, bahkan juga bermuatan, sangat mudah berinteraksi
dengan molekul air. Selain itu, muatan listrik yang sama dalam 2 partikel
molekul protein yang sama, akan bertolakan, sehingga membantu
meningkatkan kelarutan protein (salting in).
Setiap keadaan yang menyebabkan ditariknya air yang
mengelilingi molekul protein, sangat mengurangi kelarutan protein,
sehingga protein mengendap. Larutan garam berkonsentrasi tinggi
bersifat demikian. Selain itu, kelarutan garam berkonsentrasi tinggi akan
menetralkan muatan listrik, sehingga kelarutan akan makin berkurang.

89
Gambar 14. Prinsip salting out

Gambar 15. Pengendapan protein dengan larutan garam

90
Oleh karena pengendapan cara ini hanya bersifat menarik air di
sekeliling protein, sedangkan molekulprotein sendiri tidak mengalami
perubahan kimia, maka perubahan tersebut bersifat reversibel.
Kelarutan dan fungsi protein pada umumnya akan pulih kembali bila
dikembalikan ke keadaan semula.
Larutan garam divalen lebih efisien dalam mengendapkan
protein, karena di dalam air garam tersebut akan berdisosiasi menjadi 3
ion, yang masing – masing berinteraksi sempurna dengan air. Sebagai
contoh, globulin dapat diendapkan oleh (NH4)2SO4 setengah jenuh,
sedangkan NaCL baru dapat mengendapkan protein tersebut bila berada
dalam larutan jenuh. Albumin, yang baru akan mengendap oleh
(NH4)2SO4 jenuh, tidak dapat diendapkan oleh NaCl jenuh, kecuali
dengan penambahan asam mineral dalam jumlah yang sangat kecil. Pada
gambar 1 di bawah ini diperlihatkan mekanisme terjadinya pengendapan
protein oleh garam berkonsentrasi tinggi.

H O H

O
H H H
H
O
R – O O – O
R
H H
F + (NH4)2SO4
N C N C C

O
NH3 R+

91
Protein terlarut

NH3+ COO –
COO – NH3+
NH3+ COO –
COO – NH

Protein beragregasi/mengendap

Gambar 16. Pengendapan protein dengan cara salting out


Bahan dan pereaksi:
1. Serum sapi
2. Larutan ammonium sulfat (NH4)2SO4 jenuh
3. Larutan NaOH 10%
4. Larutan CuSO4 0,1%
Cara kerja dan hasil:
Siapkan 3 tabung reaksi yang bersih dan kering. Lakukan
prosedur seperti yang tertera dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2. percobaan salting out
Tabung 1
Serum sapi 2 mL
Amonium sulfat jenuh : tetes demi 2 mL
tetes
Endapan : ada / tidak ada
Pisahkan endapan dengan menyaring
Lakukan uji biuret terhadap:
 Filtrat
 Endapan

92
Kesimpulan:

Pertanyaan:
1. Pada penambahan satu volume amonium sulfat jenuh ke dalam satu
volume serum terjadi
2. pengendapan protein. Apakah nama protein tersebut?
3. Apa nama protein serum yang tidak dapat diendapkan pada
penambahan ammonium sulfat jenuh tersebut?
4. Apa fungsi protein tersebut dalam darah dan dimana disintesis?
5. Pada keadaan apa sajaa terjadi defisiensi protein tersebut dan apa
gejala utamanya?
Jawaban:

3. Pemisahan protein dengan etanol absolut

93
Tujuan:
Memperlihatkan bahwa sebagaimakromolekul yang larut, protein
dapat dipisahkan dengan mengendapkannya dengan penambahan etanol
absolut.
Dasar:
Etanol asolut bersifat sangat kuat menarik air (higroskopis).
Penambahan etanol absolut pada suatu larutan protein, akan
menyebabkan molekul air yang berinteraksi dengan molekul protein
melalui ikatan hidrogen ditarik oleh etanol. Akibatnya molekul –
molekul protein beragregasi satu sama lain sehingga mengendap (gambar
1). Bila agregat partikel protein tersebut dibiarkan bersentuhan dengan
etanol untuk waktu yang lama endapan yangterbentuk tidak dapat
dilarutkan lagi sehingga denaturasi yang terjadi ireversibel.
Dengan menggunakan etanol berbagai konsentrasi dan suhu yang
rendah, Chon pada tahun empat puluhan telah berhasil memisahkan
protein serum dalam 5 fraksi, dan fraksi V yang diperoleh sebagian besar
terdiri atas albumin.
Bahan dan pereaksi:
1. Serum
2. Larutan albumin telur
3. Etanol absolut
4. Larutan NaOH encer
5. Larutan CuSO4

94
Cara kerja dan hasil:
Siapkan 2 tabung reaksi yang bersih dan kering. Lakukan prosedur yang
tertera pada tabel berikut
Tabel 3.percobaan pengendapan protein dengan etanol absolut
Tabung 1 2
Serum 2 mL -
Larutan albumin telur - 2 mL
Etanol absolut 2 mL 2 mL
Endapan: ada / tidak ada
Pisahkan endapan dengan menyaring
Uji biuret terhadap:
 Filtrat
 Endapan
Kesimpulan:

Pertanyaan:
1. Sebutkan secara garis besar protein utama fraksi Chon I sampai V
2. Apakah fungsi tiap – tiap protein tersebut?

95
Jawaban:

4. Pengendapan protein secara denaturasi ireversibel


A. Pengendapan dengan pereaksi alkaloid
Tujuan:
Memisahkan protein dari larutan dengan cara mengendapkannya
dengan senyawa yang bereaksi dengan protein tersebut.
Dasar:
“Pereaksi alkaloid” adalah asam – asam organik yang dapat
bereaksi dan mengendapkan alkaloid serta protein. Mekanisme
pengendapan ini disebabkan adanya nitrogen trivalen pada alkaloid dan
protein. Asam trikloroasetat (TCA = tricloracetic acid) sering dipakai
untuk deproteinisasi (penyingkiran protein) dari suatu bahan. Asam
sulfosalisilat sering dipakai untuk melacak ada tidaknya protein dalam
urin patologis.

96
Bahan dan perekasi:
1. Serum
2. Asam triklor asetat (TCA : trichlor acetic acid) 10%
Cara kerja dan hasil:
Siapkan sebuah tabung reaksi yang bersih dan kering. Lakukan prosedur
yang tertera pada tabel 4.a
Tabel 4.a Pengendapan protein dengan menggunakan pereaksi alkaloid
Tabung 1
Serum 2 mL
TCA 10% 2 mL
Endapan : ada / tidak ada

Kesimpulan:

Pertanyaan:
1. Tuliskan rumus TCA dan asam sulfosalisilat
2. Apakah urin normal mengandung protein?
3. Pada keluhan apa saja terjadi proteinuria (protein terlacak dalam
urin)?mengapa?

97
Jawaban:

B. Pengendapan protein dengan logam berat


Tujuan :
Memperlihatkan, bahwa logam berat mengendapkan protein
secara denaturasi ireversibel.
Dasar:
Logam berat akan mendenaturasikandan mengendapkan protein.
Peristiwa itu terjadi, bila berbagai gugus di permukaan molekul protein
bermuatan negatif, sehingga membentuk garam dengan kation logam
berat. Jumlah protein yang diendapkan sebanding dengan jumlah logam
berat yang ditambahkan. Makin banyak logam berat yang ditambahkan,
makin banyak protein yang mengendap, selama dalam larutan masih
terdapat protein.
Protein tertentu memerlukan penambahan beberapa tetes alkali
supaya protein tersebut bermuatan negatif. Selain itu, kelebihan logam
berat dapat pula melarutkan kembali kompleks logam berat – protein,
walaupun protein tersebut tetap dalam keadaan denaturasi.

98
Bahan dan pereaksi:
1. Albumin
2. Susu
3. Larutan HgCl2 1 %
4. Larutan Pb asetat
Cara kerja dan hasil :
Siapkan 4 tabung reaksi. Lakukan prosedur yang tertera dalam tabel 4.b
Tabel 4.b Pengendapan protein dengan logam berat

Tabung 1 2 3 4
Albumin 2 mL 2 mL - -
Susu - - 2 mL 2 mL
Larutan HgCl2 Tetes-tetes - Tetes-tetes -
Pb – asetat - Tetes-tetes - Tetes-
tetes
Endapa:ada / tidak ada

Kesimpulan:

99
Pertanyaan:
1. Apakah tiap kali penambahan logam berat diikuti oleh penambahan
endapan protein ? mengapa?
2. Berapa tetes setiap logam diperlukan untuk mengendapkan protein di
kedua bahan tersebut?
3. Sebutkan logam – logam berat yang menjadi pencemar utama
lingkungan, sumber pencemaran dan jelaskan mengapa logam
tersebut berbahaya. Sebutkan nama suatu penyakit terkenal yang
diambil dari suatu nama teluk di jepang, yang disebabkan oleh
keracunan logam berat. Logam berat apakah yang menjadi penyebab
dan jelaskan bagaimana logam tersebut meracuni manusia?
4. Apakah yang perlu dilakukan, bila terjadi keracunan logam berat
yang akut? Sebutkan pula apakah yang perlu dilakukan bila terjadi
pemaparan kronis. Berilah contoh nyata pemaparan kronis.
Jawaban:

100
5. Pemisahan protein berdasarkan berat molekul
Molekul protein merupakan molekul dengan tingkat kompleksitas
atau kerumitan yang tinggi. Selain berbeda satu sama lain karena
perbedaan muatan listriknya, protein mungkin pula berbeda karena berat
molekul atau ukuran molekulnya. Ini berarti, perbedaan tersebut
disebabkan oleh jumlah asam amino yang menyusun protein.
Berdasarkan perbedaan berat atau ukuran molekul ini, protein
dapat dipisahkan satu sama lain dengan 2 cara. Pertama ialah dengan
teknik elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sebagai medium
pemisah. Dengan cara ini, mula – mula protein didenaturasi dengan
pemanasan dalam larutan dapar yang menggandung sodium dodesil
sulfat (SDS). Denaturasi dalam SDS panas ini akan memberikan muatan
ngatif pada seluruh protein dalam larutan, karena terjadi interaksi
hidrofobik antara molekul protein dengan molekul SDS. Interaksi ini
sebanding dengan ukuran molekul protein. Jadi, semakin besar ukuran
molekul suatu protein, makin banyak muatan negatif hasil interaksi
protein dengan SDS. Selanjutnya bila diberi medan listrik, kompleks
protein terdenaturasi – SDS di dalam gel poliakrilamid akan berjalan ke
satu arah, yaitu kutub positif(anoda). Jarak yang ditempuh ditentukan
oleh ukuran molekul dalam menembus pori – pori gel. Makin kecil
molekul tersebut, makin jauh jarak yang ditempuh. Dengan demikian
terjadilah pemisahan protein berdasarkan berat molekul. Pada umumnya,
teknik pemisahan protein dengan elektroforesis ini digunakan umtuk
tujuan analisis.
Selain itu, protein juga dapat dipisahkan satu sama lain dengan
cara kedua, yaitu berdasarkan gaya berat. Pada cara ini larutan yang
mengandung campuran protein dibiarkan mengalir melewati suatu

101
penyaring molekuler. Penyaring ini bekerja dengan cara yang
berlawanan dengan penyaring biasa. Bila penyaring biasa melewatkan
partikel yang lebih kecil dari ukuran pori – pori penyaringnya dan
menahan partikel yang lebih besar, maka penyaring molekuler
meloloskan molekul ukuran besar dan secara relatif menahan atau
mmperlambat keluarnya partikel yang lebih kecil dari pori – pori
anyaman gel penyaring. Biasanya penyaring yang digunakan adalah gel
dekstran atau poliakrilamid yang tersusun dari butiran – butiran
mikroskopis, yang dituangkan ke dalam suatu kolom kaca.
Karena gel pemisah ini merupakan suatu fasa tidak bergerak
(stasioner), yang dilewati oleh suatu fasa bergerak cair, yaitu larutan
protein yang akan dipisahkan, maka teknik ini dinamai juga teknik
kromatografi gel penyaring molekul. Teknik ini dapat digunakan untuk
tujuan analisis maupun untuk tujuan preparatif.

A. Pemisahan protein dengan elektroforesis gel poliakrilamid – SDS


Gel poliakrilamid
Elektroforesis gel merupakan tipe elektroforesis yang paling sering
dilakukan di laboratorium. Gel poliakrilamid dibentuk oleh polimerisasi
akrilamid (CH2=CH-CO-NH2) dan biskarilamid (N,N‟-metilen
bisakrilamid) (CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-CO-CH=CH2). Reaksi
pembentukan polimer ini diawali oleh suatu sistem yang menghasilkan
radikal bebas. Umumnya, polimerisasi diawali dengan menambahkan
amonium persulfat (APS), sebagai inisiator, dan tetrametiletilendiamin
(TEMED), sebagai akselerator. Pada sistem ini TEMED mempercepat
pemecahan molekul APS menjadi sulfat radikal bebas, yang selanjutnya
akan mengawali reaksi polimerisasi akrilamid dan bisakrilamid. Tanpa

102
adanya bisakrilamid akan terbentuk rantai polimerisasi akrilamid yang
panjang, yang menghasilkan larutan kental namun bukan berupa gel.
Dengan penambahan bisakrilamid, pada rantai akrilamid tersebut akan
terbentuk ikatan lintas silang (cross–link) pada interval tertentu sehingga
terbentuk suatu jaringan dengan besar pori tertentu.
Konsentrasi akrilamid menentukan ukuran pori – pori gel yang terbentuk
sehingga ukuran pori dapat diatur dengan mengatur konsentrasi
akrilamid. Makin rendah konsentrasi akrilamid yang digunakan, makin
besar ukuran pori – pori gel (tabel 5a), namun gel menjadi lunak dan
mudah patah.
Tabel 5a. Hubungan antara konsentrasi skrilamid dengan pori – pori

%poliakrilamid Ukuran pori (nm)


3 4,4
5 3,6
10 2,6
20 1,8
30 1,3

Sistem dapar diskontinu


Sistem dapar yang umumnya digunakan pada elektroforesis protein
dengan gel poliakrilamid – SDS adalah sistem dapar diskontinu. Sistem
ini menggunakan ion dapar yang berbeda dalam gel dan larutan dapar
elektroda.keunggulan sistem ini adalah pemisahan protein berlangsung
lebih baik dan lebih tajam. Gel yang digunakan pada sistem ini terdiri
dari gel penumpuk (stacking gel) yang berpori besar dan gel pemisah
(separating / running gel) yang berpori kecil. Gel penumpuk berada
diatas gel pemisah dan sampel diletakkan di atas gel penumpuk. Molekul

103
sampel yang melewati gel penumpuk dengan cepat akan “tertumpuk”
dalam suatu zona yang sangat sempit (stacks). Sampel yang tertumpuk
itu bergerak sepanjang gel penumpuk yang berpori besar dan kemudian
masuk ke gel pemisah berpori kecil sebagai suatu pita yang tipis. Setelah
memasuki gel pemisah, molekul sampel terpisah berdasarkan muatan
dan ukuran.
Pemisahan protein dengan elektroforesis gel poliakrilamid terjadi
berdasarkan perbedaan muatan dan ukuran molekul. Untuk memisahkan
protein berdasarkan berat molekul dapat dilakukan dengan
menambahkan suatu detergen ionik dan menambahkan tahap denaturasi.
Pada proses persiapan sampel ditambahkan suatu detergen ionik seperti
sodium dodesil sulfat (SDS). SDS akan menghilangkan perbedaan
muatan dan perbedaan konformasi di antara protein – protein tersebut,
dengan cara memberi muatan negatif. Agar seluruh rantai polipeptida
terpapar pada detergen dilakukan pemanasan pada suhu 100oC selama 2
menit sampai 5 menit, dengan cara ini sebagian besar polipeptida akan
diselubungi oleh SDS dengan ratio tertentu (1,4 g per gram protein).
Kompleks SDS-polipeptida berbentuk seperti batang dan bermuatan
negatif, dan muatan ini tidak dipengaruhi oleh pH pada kisaran pH 7 –
10. dengan demikian, migrasi polipeptida dalam gel poliakrilamid adalah
berdasarkan berat molekulnya. Kecepatan migrasi protein selama
elektroforesis akan berbanding terbalik dengan berat molekulnya. Makin
besar molekul, makin lambat migrasinya.

104
Persiapan sampel
Sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dalam suatu dapar yang
mengandung Tris-HCl, SDS, gliserol atau sukrosa dan tracking dye: biru
bromfenol (BPB). Gliserol atau sukrosa berfungsi meningkatkan
kepekatan sampel. Tracking dye berfungsi mewarnai sampel agar
pengisian sampel pada sumur dan migrasi sampel saat elektroforesis
dapat dipantau. Setelah dilarutkan dalam dapar sampel, protein
didenaturasi dengan pemanasaan pada suhu 95 sampai 100oC selama 2
sampai 5 menit.

Peralatan
Peralatan elektroforesis terdiri dari tempat dapar anoda dan katoda.
Elektroda umumnya terbuat dari kawat platinum. Elektroforesis gel
poliakrilamid umumnya dilakukan secara vertikal. Gel dibentuk di antara
2 lempeng kaca yang dipisahkan oleh spacer plastik. Spacer plastik juga
berfungsi untuk menutup kedua sisi dan bagian bawah lempeng kaca
pada saat pembuatan gel serta membentuk ketebalan gel.
Sumur sample dibentuk pada bagian atas gel dengan menggunakan
plastik berbentuk sisir yang disisispkan diantara sisi atas lempeng kaca
selama proses polimerisasi. Setelah polimerisasi selesai, spacer bawah
dan plastik pembentuk sumur diangkat dengan hati-hati. Kemudian
lempeng kaca tersebut diletakkan di antara tempat dapar katoda dan
anoda (Gambar4).

105
Gambar 17. Elektroforesis gel poliakrilamid – SDS

Deteksi
Deteksi protein dalam gel dilakukan dengan mewarnai protein tersebut
dengan zat warna atau logam (perak, tembaga). Zat pewarna yang
umumnya digunakan untuk deteksi protein dalam gel poliakrilamid
adalah Coomassie Brilliant Blue R-250. Biasanya 0,1 – 1 mg protein per
pita dapat dideteksi dengan zat warna ini. Larutan pewarna mengandung
0,1% Coomassie Brilliant Blue yang dilarutkan dalam metanol, asam
asetat dan air dengan perbandingan tertentu. Gel direndam dalam larutan
pewarna, yang juga dapat memfiksasi protein dalam gel. Setelah
pewarnaan selesai, warna latar belakang gel harus dihilangkan agar pita
protein jelas terlihat. Oleh karena itu, gel direndam dalam larutan
pencuci yang mengandung methanol, asam asetat dan air. Sistem
pewarna perak 100 kali lebih sensitif daripada pewarna biru Coomassie.

106
Penentuan berat molekul
Berat molekul ditentukan dengan membandingkan mobilitas protein
sampel dengan mobilitas protein petanda yang telah diketahui berat
molekulnya.
Pemisahan Protein Berdasarkan Perbedaan Berat Molekul Dengan
Elektroforesis Gel Poliakrilamid-SDS
Tujuan :
Untuk mempelajari teknik pemisahan protein berdasarkan
perbedaan berat molekul dengan menggunakan elektroforesis gel
poliakrilamid SDS.
Dasar :
Gel poliakrilamid merupakan hasil polimerisasi akrilamid dan
bisakrilamid yang diawali oleh pembentukan radikal bebas dari amonium
persulfat. Sebagai akselerator reaksi pembentukan radikal bebas
digunakan tetrametiletilendiamin (TEMED).
Alat dan Bahan :
1. Sampel protein 8. Parafin
2. Pipet volumetrik 9. Klem
3. Pipet tetes 10. Penangas air
4. Pipet Eppendorf + tipis 11. Sentrifuge mikro
5. Tabung mikro 1,5 ml 12. Vorteks
6. Sarung tangan 13. Power supply
7. Erlenmeyer

107
Bahan :
1. Sampel protein
2. Gel poliakrilamid-SDS 10% :
- Akrilamid dan bisakrilamid 30/0,8
- 1,5 M Tris-HCl pH 8,6
- 0,5 M Tris-HCl pH 6,8
- SDS 10%
- Amonium persulfat 10%
- TEMED
- Akuabides
3. Dapar sampel :
- 50 mM Tris-HCl pH 6,8
- 10% (v/v) gliserol
- 1% (b/v) SDS
- 0,01% (b/v) biru bromfenol
4. Dapar elektroda (10X)
- 250 mM Tris-HCl pH 6,8
- 1,8 M glisin
- 1% SDS
5. Larutan Pewarna :
- 0,15% Coomassie Brilliant Blue R-250
- 250 ml metanol
- 50 ml asam asetat
- akuades ad 500 ml
6. Larutan pencuci :
- 50 ml metanol
- 75 ml asam asetat

108
- akuades ad 1000 ml
7. Isobutanol
8. Petanda berat molekul protein broad range (Biorad). Terdiri dari:
200 kD

116,25 kD
66,2 kD

45 kD

31 kD
21,5 kD

14,4 kD
6,5 kD

9. -Merkaptoetanol
10. Agar noble 2%
Cara Kerja :
1. Bersihkan dan susun lempeng kaca serta spacer
Celah antara lempeng dengan spacer ditutup dengan agar noble 2%
secukupnya.
2. Pembuatan gel poliakrilamid-SDS 10%
Gel Pemisah Gel Penumpuk
Akrilamid/bisakrilamid 30/0,8 5,0 ml 3,05 ml
1.5 M Tris-HCl pH 8.6 3,4 ml -
0.5 M Tris-HCl pH 6.8 - 2.0 ml
Aquabides 5,1 4,65 ml
SDS 10% 148 l 85 l
Amonium persulfat 10% 100 l 75 l
TEMED 10 l 7,5 l

109
3. Tuang campuran gel pemisah ke dalam ruang antara lempeng kaca.
Sisakan kira-kira 2,5 cm dari tepi atas lempeng kaca untuk gel
penumpuk. Teteskan Isobutanol untuk menyingkirkan udara pada
bagian atas gel dan agar batas antar gel dapat terbentuk dengan
baik. Biarkan gel pemisah berpolimerisasi,
4. Setelah gel pemisah berpolimerisasi, tuangkan campuran gel
penumpuk diatasnya. Sisipkan plastik pembentuk sumur sampel.
Biarkan hingga gel penumpuk berpolimerisasi
5. Setelah gel penumpuk berpolimerisasi, angkat plastik pembentuk
sumur. Lepaskan klem dan spacer bagian bawah.
6. Letakkan dan klem lempeng kaca + gel secara vertikal pada alat
elektroforesis. Isi tempat dapar dengan dapar elektroda. Singkirkan
gelembung udara pada bagian bawah gel.
7. Larutkan sampel dalam dapar sampel dan protein petanda dalam
dapar sampel + -merkapto-etanol (perbandingan -merkaptoetanol:
dapar sampel = 1 : 19 ). Kemudian tabung-tabung protein di-
vorteks, lalu disentrifusi 1 – 3 detik. Setelah itu, panaskan larutan
sampel protein pada suhu 95 – 1000 C selama 2 – 5 menit.
8. Beri nomor pada sumur, kemudian masukkan sampel dan protein
petanda ke dalam Sumur . Catat nomor sumur dan isinya.
9. Hubungkan alat elektroforesis dengan power supply. Jalankan
elektroforesis.
10. Setelah elektroforesis selesai, buka klem. Angkat spacer pada kedua
sisi lempeng kaca, kemudian pisahkan lempeng kaca dari gel.
Potong gel pada batas antara gel penumpuk dan gel pemisah. Tandai
salah satu ujung gel.

110
11. Angkat gel dan rendam dalam larutan pewarna selama 30 – 60
menit. Kemudian gel dipindahkan ke dalam larutan pencuci. Jika
perlu, ganti larutan pencuci beberapa kali hingga warna latar
belakang memudar dan pita-pita protein jelas terlihat.
12. Bandingkan mobilitas protein-protein sampel dengan protein
petanda untuk menentukan berat molekulnya.
Cara :
Buat kurva standar protein petanda pada kertas grafik semilog,
dengan sumbu x adalah mobilitas relatif (Rf) protein petanda dan
sumbu y adalah berat molekul protein petanda.
Mobilitas protein relatif ditentukan dengan mengukur jarak (cm)
pita-pita protein dari batas atas gel pemisah dibagi dengan jarak
(cm) tracking dye.

Jarak (cm) pita-pita protein dari batas atas gel pemisah


Rf = -------------------------------------------------------------------
Jarak (cm) tracking dye dari batas atas gel pemisah
Untuk menentukan berat molekul protein sampel, ukur jarak pita-
pita protein sampel dari batas atas gel pemisah. Kemudian dengan
menggunakan kurva standar protein petanda, berat molekul
protein-protein sampel ditentukan.

111
HASIL :
Kurva standar protein petanda :

Pita no. Jarak (cm) Rf Berat molekul (BM)

Berat molekul protein sampel


Sampel Jarak (cm) Rf Perkiraan BM

112
Kesimpulan

B. Pemisahan Protein Dengan Kromatografi Gel Penyaring


Kromatografi
Kromatografi merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk
memisahkan / mengisolasi molekul – molekul biologi seperti protein.
Istilah ini diciptakan Tswett (1906) dari bahasa Yunani chroma yang
berarti warna. Ia memisahkan klorofil dari pigmen – pigmen lain dalam
tanaman dengan mengginakan tabung (kolom) yang diisi padat dengan
kalsium karbonat sebagai adsorben. Ekstrak tanaman dimasukkan ke
dalam kolom dan bila dialirkan pelarut organik yang sesuai, pigmen –
pigmen dalam ekstrak bergerak turun dari kolom dengan kecepatan yang
berbeda – beda dan masing – masing terpisah membentuk cincin atau

113
pita berwarna. Kemudian ternyata bahwa cara ini dapat juga digunakan
untuk memisahkan molekul yang tidak berwarna.
Pada pemisahan molekul dengan teknik kromatografi, molekul –
molekul yang akan dipisahkan terdistribusi antara dua fasa zat, yaitu fasa
stasioner yang tidak bergerak dan fasa mobil yang bergerak. Fasa
stasioner dapat berupa zat padat atau cairan, sedangkan fasa mobil
mungkin suatu cairan atau gas. Fasa mobil disebut juga eluen dan proses
pergerakan suatu molekul sepanjang fasa stasioner yang disebabkan oleh
eluen disebut elusi. Hasil pemisahan dengan teknik kromatografi disebut
kromatogram.

Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan teknik pemisahan molekul – molekul
dari campurannya dengan melewatkan larutan yang mengandung
molekul – molekul yang akan dipisahkan tersebut melalui kolom yang
berisi matriks padat sebagai fasa stasioner. Sifat matriks dapat dibuat
sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pemisahan selektif molekul –
molekul tersebut. Sifat ini antara lain: kelarutan, ukuran atau muatan
molekul.
Pada kromatografi kolom yang klasik, umumnya digunakan tabung gelas
berdiameter 1 cm atau lebih, dengan panjang sekitar 10 – 30 cm.
Adsorben yang berupa partikel – partilek mikroskopis dipadatkan pada
kolom membentuk fasa stasioner. Laju aliran eluen diatur dengan keran
(pengatur aliran), biasanya sekiltar 1 mL/menit.
Sampel, yang berupa larutan yang mengandung campuran molekul –
molekul, dituang ke dalam kolom dan molekul – molekul dipisahkan
dengan mengalirkan eluen yang sesuai. Elusi berlangsung sampai

114
molekul – molekul keluar satu persatu dari kolom. Fraksi – fraksi yang
terdiri dari beberapa mililiter eluen yang keluar dari kolom ditampung
dalam tabung – tabung secara manual atau menggunakan kolektor
otomatis. Deteksi fraksi yang mengandung molekul – molekul itu
dilakukan dengan cara membandingkan volume retensi (VR) dengan
waktu retensi (tR) molekul – molekul tersebut dengan standar yang telah
diketahui. Volume retensi adalah volume eluen yang diperlukan untuk
mengelusi suatu molekul pada kadar maksimumnya, sedangkan waktu
retensi menyatakan waktu yang diperlukan untuk mengelusi molekul
pada kadar maksimumnya. Selanjutnya penetapan kuantitatif molekul –
molekul dapat dilakukan dengan cara titrasi, spektrofotometri atau
metoda analisis lain.

Kromatografi Gel Penyaring


Pada teknik ini, protein/molekul lain dipisahkan dari campurannya
berdasarkan perbedaan berat atau ukuran molekul.cara ini disebut juga
molecular sieve chromatography atau size exclusion chromatography
karena butiran sintetis dengan diameter dan ukuran pori – pori tertentu
yang dipadatkan pada kolom bekerja sebagai penyaring molekuler.
Bila larutan yang mengandung campuran protein dilewatkan pada kolom
molekul yang lebih kecil dapat masuk ke pori – pori sehingga relatif
tertahan dan lebih lambat keluar dari kolom, sedangkan molekul yang
lebih besar dari pori – pori terus lewat di sela butiran penyaring sehingga
lebih cepat keluar dari kolom. Penyaring molekuler yang biasa
digunakan adalah gel dekstran atau poliakrilamid yang tersusun dari
butiran mikroskop.

115
Gambar 18a.Mekanisme kerja kolom kromatografi gel penyaring
18b.Kurva hasil kromatografi
Pemisahan Molekul Berdasarkan Perbedaan Berat Molekul Dengan
Kolom Kromatografi Gel Penyaring.

Tujuan :
Memisahkan molekul hemoglobin dari molekul vitamin B12, dengan
menggunakan butiran – butiran mikroskopis dekstran (suatu bentuk
polimer dari glukosa) sebagai penyaring molekuler.
Dasar :
Dalam percobaan ini, digunakan butiran – butiran mikroskopis
dekstran, suatu bentuk polimer dari glukosa, dengan ukuran tertentu

116
yang seragam, sebagai fasa stasioner atau matriks pemisah. Dekstran
yang menyusun butiran mikroskopis tersebut teranyam sedemikian rupa,
sehingga mempunyai mata anyaman dengan ukuran tertentu pula.
Partikel yang larut dalam fasa mobil dan dengan ukuran yang lebih kecil
dari mata anyaman tersebut akan terperangkap lagi dalam butiran lain,
demikian seterusnya. Sebaliknya, molekul dengan ukuran lebih besar
dari mata anyaman tidak terperangkap dan mengalir dalam cairan di
antara partikel – partikel tersebut. Akibatnya, molekul dengan ukuran
lebih besar dari mata anyaman tersebut menempuh jalan yang lebih
pendek dan keluar lebih dahulu dari kolom pemisah.
Alat dan bahan :
Perangkat siap pakai, terdiri atas:
1. Larutan yang akan dipisahkan, yang mengandung hemoglobin dan
vitamin B12
2. Kolom berisi gel penyaring molekul
3. Dapar kolom
4. Tutup ujung kolom
5. Pipet tetes
6. Tabung kolorimeter untuk menampung
Cara kerja:
1. Siapkan 16 tabung penampung. Tandai tabung 1 sampai 16 dengan
angka 1 – 16. Tabung . Tabung ke-16 tandai dengan “sisa”.
2. Buka penutup atas dan penutup ujung kolom pemisah. Tampung
dapar kolom dalam tabung ke 16 (“sisa”) sampai hamper seluruh
dapar keluar.
Tutup kembali ujung kolom pemisah.

117
3. Dengan hati-hati, tempatkan kolom tersebut ke tabung no 1.
4. Dengan pipet yang tersedia, teteskan 2-3 tetes campuran Hb dan
Vitamin B12 tepat di atas permukaan gel dengan hati-hati sekali
supaya tidak mengganggu gel.
5. Segera setelah campuran Hb dan vitamin B12 masuk ke dalam gel,
tambahkan dapar kolom secukupnya ke permukaan gel dalam
kolom.
Penutup ujung kolom dibuka hanya pada saat pemisahan dilakukan.
6. Tampung fraksi 5 tetes dalam tiap tabung penampung. Permukaan
gel tidak boleh kering maka sambil menampung fraksi dapar kolom
terus ditambahkan sedikit demi sedikit ke permukaan gel.
7. Setelah pemisahan selesai, tutup kembali ujung kolom pemisah.
8. Catat waktu dan intensitas dari tiap tabung. Ukur serapan fraksi-
fraksi pada panjang gelombang 540 nm. Kemudian gambarkan
kurva serapan fraksi dengan sumbu x adalah nomor tabung dan
sumbu y adalah serapan pada panjang gelombang 540 nm.
Hasil :
Tabung 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Warna
Intensitas(++)
Serapan 540 nm

Tabung 11 12 13 14 15
Warna
Intensitas(++)
Serapan540 nm

118
Kesimpulan :

Pertanyaan :
1. Apakah fungsi vitamin B12 ?
2. Apakah yang menyebabkan vitamin B12 dan Hb berwarna merah ?
3. Bandingkan rumus kimia vitamin B12 dengan gugus prostetik Hb ?
4. Berapakah berat molekul (BM) Vitamin B12 dengan BM Hb ?
5. Apakah logam yang terdapat dalam vitamin B12 dan dalam Hb ?

119
DNA fingerprint

DNA fingerprinting, also termed DNA profile analysis is based on the


use of the "Southern" hybridization technique to analyze polymorphic
regions of human DNA. The experimental steps used in a forensics
laboratory for DNA profile analysis are as follows:

1. DNA extraction
DNA can be extracted from almost any human tissue. Sources of DNA
found at a crime scene might include blood, semen, tissue from a
deceased victim, cells in a hair follicle, and even saliva. DNA extracted
from items of evidence is compared to DNA extracted from reference
samples from known individuals, normally from blood.

2. Digestion of DNA with a restriction endonuclease


Extracted DNA is treated with a restriction endonuclease, which is an
enzyme that will cut double stranded DNA whenever a specific DNA
sequence occurs. The enzyme most commonly used for forensic DNA
analysis is HaeIII, which cuts DNA at the sequence 5'-GGCC-3'.

3. Agarose gel electrophoresis


Following DNA digestion, the resulting DNA fragments are separated by
size via electrophoresis in agarose gels. During electrophoresis, DNAs
which are negatively charged migrate toward the positive electrode. As
DNA fragments move, their migration rate is slowed by the matrix of the
agarose gel. Smaller DNA fragments move more rapidly through the
pores of the gel matrix than larger DNA fragments. The result is a

120
continuous separation of the DNA fragments according to size, with the
smallest DNA fragments moving the greatest distance away from the
origin.

4. Preparation of a "Southern blot"


Following electrophoresis, the separated DNAs are denatured while still
in the agarose gel by soaking the gel in a basic solution. Following
neutralization of the basic solution, the single strand DNA molecules are
transferred to the surface of a nylon membrane by blotting. This
denaturation/blotting procedure is known as a "Southern blot" after the
inventor, Edwin Southern. Just as the blotting of wet ink on a dry paper
transfers a replica of the image to the paper, the blotting of DNA to a
nylon membrane preserves the spatial arrangement of the DNA
fragments that existed after electrophoresis.

5. Hybridization with radioactive probe


A single locus probe is a DNA or RNA sequence that is able to hybridize
(i.e. form a DNA-DNA or DNA-RNA duplex) with DNA from a specific
restriction fragment on the Southern blot. Duplex formation depends on
complementary base pairing between the DNA on the Southern blot and
the probe sequence. Single locus probes are usually tagged with a
radioactive label for easy detection, and are chosen to detect one
polymorphic genetic locus on a single human chromosome. The
Southern blot from step 4 is incubated in a solution containing a
radioactive, single locus probe under conditions of temperature and salt
concentration that favor hybridization. After hybridization, the unbound

121
probe is washed away, so that the only radioactivity remaining bound to
the nylon membrane is associated with the DNA of the targeted locus.

6. Detection of RFLPs via autoradiography


The locations of radioactive probe hybridization on the Southern blot are
detected by autoradiography. In this technique, the washed nylon
membrane is placed next to a sheet of X-ray film in a light tight
container. The X-ray film records the locations of radioactive decay.
After exposure and development of the X-ray film, the resulting record
of the Southern hybridization is termed an "autoradiograph," or
"autorad" for short.

7. Re-probe southern blot with additional probes


In a typical forensics DNA analysis, DNA polymorphisms on several
different chromosomes are characterized. After an autorad has been
developed for the first single locus probe, the radioactivity on the
Southern blot can be washed away with a high temperature solution,
leaving the DNA in place. The Southern blot can be hybridized with a
second radioactive single locus probe, and by repetition of steps 5-7, a
series of different single locus probes. The set of autorads from a
Southern blot is known as a "DNA profile."

122
Gambar 19. Southern Blot Technique

DNA Forensics Problem Set


The purpose of this problem set is to present an introduction to the use of
the Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) method to
characterize human DNA samples as applied in paternity analysis and
sex crimes investigations.

Problem 1: Determining Paternity Results from a single locus probe


DNA fingerprint analysis for a man and woman and their four children
are shown in the autoradiograph to the right. Which child is least likely
to be the biological offspring of this couple?

123
A. Child 1
B. Child 2
C. Child 3
D. Child 4
E. NONE of the children

Problem 2: Father's Profile Results from a single locus probe DNA


fingerprint analysis for a man and his four different children are shown
in the figure. Which lane contains the DNA of the father?

124
A. Lane 1
B. Lane 2
C. Lane 3
D. Lane 4
E. Lane 5

Problem 3: Rape investigation. The key portion of the autoradiograph


from a single locus probe analysis of various DNA samples in a rape
investigation is shown in this figure.

Samples of DNA were loaded into the following lanes:


1. known blood sample of victim
2. known blood sample from defendant
3. DNA size markers
4. female fraction from vaginal swab of victim
5. male fraction from vaginal swab of victim.

125
If you are the DNA analyst, you should conclude that:
A. The suspect is guilty.
B. The suspect might be guilty, but more probes should be used.
C. The vaginal swab is from the wrong victim.
D. The suspect is excluded as a source of DNA in the evidence.
E. NONE of these.

Problem 4: Rape with Two Suspects. The key portion of the


autoradiograph from a single locus probe analysis of various DNA
samples in a rape investigation is shown in the figure.

The DNA samples are as follows:


(1) known blood sample of victim
(2) known blood sample from Suspect A
(3) known blood sample from Suspect B

126
(4) DNA size markers
(5) female fraction from sexual assault evidence
(6) male fraction from sexual assault evidence.

If you are the DNA analyst, you should conclude that:


A. Both Suspects A and B are excluded as the source of the evidence.
B. Suspect A is excluded as the source of the evidence, but Suspect B
cannot be excluded.
C. Suspect B is excluded as the source of the evidence, but Suspect A
cannot be excluded.
D. Neither Suspect A or B can be excluded as a source of the evidence.
E. Suspect B cannot be excluded as a source of the evidence. The results
with Suspect A are inconclusive.

Problem 5: Reconstructing a missing mother's profile


Forensic scientists from time to time must reconstruct the DNA profile
for a missing person from analysis of DNA profiles of close relatives. In
this case, a mother of four children is missing. All children have the
same biological father. Results from a single locus probe DNA
fingerprint analysis for the four children and their father are shown in the
figure. Unfortunately, the forensic scientist forgot to label the lane with
the father's DNA.

127
Nevertheless, you are able to deduce that the alleles of the missing
mother are:
A. B and C
B. A and B
C. A and C
D. B and D
E. A and D

128
SIFAT- SIFAT MEMBRAN

Pendahuluan:
Semua membran biologis mempunyai suatu struktur yang sama yaitu
dibentuk dari molekul – molekul lipid dan protein yang satu dengan
lainnya saling dihubungkan dengan ikatan – ikatan nonkovalen. Molekul
– molekul lipid tersusun dalam dwilapis lipid (lipid bilayer) dan
merupakan struktur dasar membran. Lipid ini berperan sebagai pembatas
yang bersifat impermeabel relatif terhadap aliran molekul – molekul
yang larut dalam air. Molekul – molekul protein seolah – olah larut
dalam lapisan dwilapis lipid dan berperan sebagai perantara dari
berbagai fungsi membran, antara lain untuk fasilitas transport. Sebagai
protein membran berfungsi sebagai enzim – enzim yang mengkatalisis
reaksi – reaksi yang berhubungan dengan peran membran dalam sel
hidup. Sebagian lainnya dari protein mmembran tersebut merupakan
protein struktural yang menyusun rangka sel tersebut, atau sebagai
reseptor untuk menerima dan meneruskan sinyal – sinyal kimia dari dan
ke dalam lingkungan sel.

Gambar 20. Membran sel darah merah.

129
Berbagai percobaan berikut memperlihatkan hal – hal yang
mempengaruhi membran sel darah merah dan suatu model mengenai
proses difusi larutan koloid melalui suatu membran.
Tujuan :
1. Memperlihatkan pengaruh larutan hiper/hipotonik terhadap membran
sel darah merah.
2. Memperlihatkan pengaruh pelarut organik terhadap fragilitas
membran sel darah merah.
3. Memperlihatkan bahwa suatu larutan koloid tidak dapat berdifusi
melalui membran dialisis.

Percobaan membran:
1. Hemolisis sel darah merah
Tujuan :
Memperlihatkan pengaruh larutan hiper/hipotonik terhadap membran sel
darah merah.
Dasar :
Dalam larutan hipotonik sel darah merah akan menggembang karena
cairan dari luar sel akan masuk ke dalam sel darah merah. Bila
pembengkakan SDM melalui batas fragilitas SDM, sel itu akan pecah
atau terjadi hemolisis. Hemoglobin akan larut dalam cairan hipotonik
sehingga larutan akan berwarna merah jernih. Di dalam larutan
hipertonik terhadap tekanan osmotik plasma darah maka cairan dari
SDM akan keluar dari sel sehingga SDM akan mengkerut (crenated).
Bahan dan pereaksi:
1. Darah segar
2. Larutan NaCl 2%

130
Cara kerja :
1. Ke dalam 10 tabung reaksi isikan campuran berikut:
Tabung Air suling (mL) NaCl 2% (mL) % NaCl
1 10,0 0,0
2 9,0 1,0
3 8,0 2,0
4 7,5 2,5
5 7,0 3,0
6 6,5 3,5
7 6,0 4,0
8 5,5 4,5
9 5,0 5,0
10 4,5 5,5
2. Campur dengan baik
3. Tambahkan 2 tetes suspensi darah ke dalam setiaptabung dan kocok
dengan membalik – balikkan tabung perlahan. Diamkan selama 1
jam.
4. Perhatikan dan catatlah derajat hemolisis pada tiap tabung.

Hasil:
Tabung % NaCl Hemolisis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

131
Kesimpulan :

Pertanyaan :
1. Dari percobaan di atas berapakah resistensi osmotik minimum sel
darah merah?
Jawaban:

2. Pengaruh pelarut organik terhadap membran sel darah merah


Tujuan :
Memperlihatkan bahwa membran sel darah merah dapat mengalami lisis
dalam pelarut organik tertentu.
Dasar :
Membran SDM menggandung lipid. Pelarut organik tertentu yang
bersifat melarutkan lemak akan menyebabkan lipid membran larut
sehingga terjadi hemolisis.

132
Bahan dan pereaksi:
1. Darah segar 5. Aseton
2. Larutan NaCl 0,9% 6. Toluen
3. Kloroform 7. Alkohol
4. Eter
Pelaksanaan:
1. Ke dalam 6 tabung reaksi masukkan masing – masing 10 mL larutan
NaCl 0,9%
2. Tabung pertama digunakan sebagai kontrol dan pada ke-5 tabung
lainnya tambahkan setiap 2 tetes kloroform, eter, aseton, toluen dan
alkohol secara berurutan.
3. Tambahkan ke dalam tiap tabung 2 tetes suspensi darah, biarkan
selama setengah jam. Perhatikan warna yang terbentuk dan
bandingkan dengan kontrol.
Hasil :
Pelarut Hemolisis
NaCl 0,9% (kontrol)
Kloroform
Eter
Aseton
Toluen
Alkohol
Kesimpulan:

133
3. Tidak mendifusinya koloid melalui membran tertentu
Tujuan:
Memperlihatkan bahwa koloid tidak dapat berdifusi melalui membran
koloidon yang berfungsi sebagai membran dialisa.
Dasar :
Membran koloidon tidak daapat dilalui oleh larutan koloid yang
mempunyai fasa dispersi antara 1 nm sampai 200 nm. Larutan koloid
berbeda dengan lautan biasa karena tidak dapat menembus membran
semipermeabel. Dengan menggunakan kantong dialisa ini larutan koloid
dapat dipisahkan dari larutan biasa.
Bahan danpereaksi :
1. Kantung koloidon untuk dialisis.
2. Larutan koloid ferihidroksida (dalam 200 mL air mendidih
tambahkan 1 mL feriklorida 33%)
3. Pereaksi kalium ferosianida 0,02 n (2,11 gram kalium ferosianida
dalam air diencerkan saampai 1L)
4. Larutan tembaga sulfat 5%
5. Larutan feriklorida 10%
Cara kerja:
1. Buat 3 kantung dialisa dengan ukuran panjang 15 cm, salah satu
ujungnya diikat supaya cairan dapat keluar.
2. Ke dalam tiap – tiap kantong masukkan berturut – turut 7 mL larutan
koloid ferihidroksida, larutan tembaga sulfat 5% dan larutan
feriklorida 10%.
3. Cuci permukaan luar kantung dan masing – masing dimasukkan ke
dalam 3 gelas kimia 400 mL yang berisi air suing.

134
Perhatikan agar permukaan cairan di dalam dan di luar kantung sama
tingginya.
4. Diamkan selama 1 jam.
5. Periksalah cairan di luar ketiga kantung terhadap Fe dan Cu dengan
menggunakan larutan kalium ferosianida beberapa mL. Adanya ion
Fe ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru, dan ion Cu dengan
warna merah muda.
Hasil :
Warna cairan di Warna cairan di Warna cairan di
luar kantung 1 luar kantung 2 luar kantung 3
Ion Fe
Ion Cu
Kesimpulan:

Pertanyaan :
1. Apakah yang dimaksud dengan membran semipermeabel?
2. Bagaimanakah perbedaan suatu larutan biasa dan suatu larutan koloid
mengenai daya difusinya melalui membran semipermeabel?
Jawaban:

135
HEMOGLOBIN
Pendahuluan :
Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam sel darah merah
(SDM) dan berfungsi anatara lain untuk :
1. Mengikat dan membawa oksigen dari paru – paru ke seluruh jaringan
tubuh.
2. Mengikat dan membawa CO2 dari seluruh jaringan tubuh ke paru –
paru.
3. Memberi warna merah pada darah.
4. Mempetahankan keseimbangan asam – basa dari tubuh.
Hemoglobin merupakan tetramer kompak yang setiap monomernya
terikat pada gugus prostetik hem dan keseluruhannya mempunyai berat
molekul 64.650 Dalton. Darah mengandung 78 sampai 11,2 mMol
hemoglobin monomer/L (12,6 sampai 18,4 g/dL), tergantung pada jenis
kelamin dan umur individu.

Gambar 21. Hemoglobin.

136
Hemoglobin dapat mengikat 4 atom oksigen per tetramer (satu pada tiap
subunit hem), atom oksigen terika pada atom Fe2+, yang terdapat pada
hem, pada ikatan koordinasi ke 5. Hemoglobin yang terikat pada oksigen
disebut hemoglobin teroksigenasi atau oksihemoglobin (HbO2),
sedangkan hemoglobin yang sudah melepas oksigen disebut
deoksihemoglobin (Hb).

Gambar 22. Oksi dan deoksi Hb.

Hemoglobin juga dapat mengikat suatu gas hasil pembakaran yang tidak
sempurna yaitu karbonmoboksida (CO) dan disebut karbon monoksida
hemoglobin (HbCO). Ikatan Hb dengan CO ini 200 kali lebih kuat
daripada ikatan Hb dengan oksigen, dan akibatnya Hb tidak dapat lagi
mengikat, membawa dan mendistribusikan oksigen ke jaringan. Dalam
keadaan lain, muatan atom Fe yang terdapat pada pusat hem dapat
berubah menjadi Fe3+. Hal ini dapat terjadi karena oksidasi oleh senyawa
– senyawa pengoksidasi. Hemoglobinnya disebut hemoglobin teroksidasi
atatu methemoglobin (MetHb) atat Hb(Fe3+). Dalam bentuk ini Hb tidak
dapat mengikat oksigen atau kehilangan fungsinya yang amat penting.
Beberapa derivat dari hemoglobin, misalnya oksiHb, Hb dan HbCO

137
dapat dibedakan dengan melakukan pengenceran, dan pada pengenceran
ini oksiHb terlihat warna merah kekuning – kuningan. Hb berwarna
merah coklat, dan HbCO berwarna merah terang (carminetint). Untuk
lebih jelas lagi setiap derivat Hb dapat pula dibedakan dengan
menggunakan spektrofotometer, yaitu suatu teknik berdasarkan
perbedaan serapan warna – warna tertentu dari spektrum cahaya putih.
Bila suatu larutan berisi suatu zat warna diletakkan antara alat tersebut
dan sumber cahaya, maka akan menyerap cahaya pada panjang
gelombang tertentu. Dengan menentukan spektrum serapan dan serapan
maksimal larutan itu, maka dapat ditentukan derivat Hb apa yang sedang
diperiksa itu.

Tujuan praktikum :
1. Memperlihatkan bahwa hemoglobin dapat mengikat dan melepaskan
oksigen.
2. Memperlihatkan bahwa ikatan Hb dengan karbonmonoksida jauh
lebih kuat dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen.
3. Memperlihatkan bahwa besi dalam molekul Hb bila dioksidasi akan
menjadi MetHb dan tidak dapat mengikat oksigen lagi.
4. Demonstrasi spektrum derivat – derivat hemoglobin.
5. Penetapan kadar Hb kuantitatif (cara sianmethemoglobin).

138
PERCOBAAN HEMOGLOBIN
1. Uji oksihemoglobin dan deoksihemoglobin
Tujuan :
Membuktikan hemoglobin dapat mengikat oksigen membentuk
oksihemoglobin (HbO2) dan dapat terurai kembali menjadi O2 dan
deoksihemoglobin.
Dasar :
Dalam keadaan tereduksi Fe dalam molekul Hb dapat mengikat dan
melepasakan oksigen tergantung pada tekanan O2 dan CO2.

Hb (Fe2+) + O2 Hb(Fe2+)O2
Deoksi Hb Oksi Hb
Untuk mereduksi oksi Hb menjadi deoksi Hb digunakan larutan
pereduksi Stokes.
Bahan dan pereaksi :
1. Darah segar
2. Pereaksi Stokes
3. Larutan NH4OH

Cara kerja :
A. OksiHB
1. Ke dalam sebuah tabung reaksi encerkan 2 mL darah segar
dengan 6 mL air suling. Campur dengan baik dan perhatikan
warna merah terang dari oksihemoglobin yang terbentuk.
2. Bagi dua isi tabung tersebut sehingga masing – masing tabung
berisi 4 mL. Gunakan tabung satu sebagai kontrol.

139
B. Pembentukan deoksiHb
1. Isi tabung ketiga dengan 2 mL pereaksi Stokes dan tambahkan
NH4OH secukupnya untuk melarutkan endapan yang segera
terbentuk. Campuran ini merupakan larutan pereduksi yang kuat.
2. Masukkan beberapa tetes larutan Stokes ke dalam tabung dua.
Terlihat perubahan warna karena terbentuknya deoksiHb.
Bandingkan dengan tabung satu.
C. Pembentukan kembali oksiHb dari deoksiHb
1. Kocok kuat – kuat tabung yang berisi deoksiHb, maka akan
terjadi kembali oksigenasi dari udara. Perhatikan dan catat warna
HbO2 yang kembali terbentuk.
2. Oksigenasi dan deoksigenasi kembali ini dapat dilakukan
berulang – ulang.
Hasil :
Hasil Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3
OksiHb DeoksiHb Reoksigenasi deoksi
Hb

Kesimpulan :

140
Pertanyaan :
1. Peristiwa faal apakah yang ditiru dari percobaan ini?

Jawaban:

2. Uji terhadap karbonmonoksida hemoglobin (HbCO)


Tujuan :
Membuktikan bahwa Hb dapat mengikat CO yang ikatannya lebih kuat
dari pada Hb dengan O2.
Dasar :
Gas CO yang berasal dari proses – proses pembakaran yang tidak
sempurna dapat mengikat Hb membentuk HbCO. Ikatan ini sangat kuat
(lebih kurang 200 kali lebih kuat daripada ikatan Hb dengan oksigen).
HbCO berwarna merah terang.
HbO2 + CO HbCO + O2
HbCO + Stokes tidak bereaksi
(tetap berwarna merah terang)
Bahan dan pereaksi :
1. Darah segar
2. Sumber gas CO
3. Pereaksi Stokes
4. NH4OH

141
Pelaksanaan :
1. Encerkan 2 mL darah segar dengan 8 mL air suling. Bagi 2 darah
encer itu (masing – masing 5 mL) dalam dua tabung reaksi.
2. Pada tabung 1 alirkan gas CO (dalam lemari asam). Oksihemoglobin
akan berubah menjadi karbonmonoksihemoglobin. Bandingkan
warna kedua tabung tadi.
3. Pindahkan masing – masing 1 mL dari tabung 1 (yang berisi HbCO)
ke dalam tabung 3 dan 4, dan masing – masing 1 mL dari tabung 2
(yang berisi HbO2) ke dalam tabung 5 dan 6.
4. Tambahkan pereaksi Stokes (yang dibuat dari percobaan 1B1) pada
tabung ke-3 dan tabung ke-5. Jelaskan hasil yang didapat!
5. Encerkan isi tabung ke-4 dan ke-6 dengan 4 mL air suling.
Bandingkan warna kedua cairan itu. OksiHb berwarna kekuning –
kuningan, sedangkan HbCO bersemu kemerahan (carmine tint).
Hasil :
Tabung oksiHb KarbonmonoksiHb
Warna sebelum penambahan
pereaksi Stokes
Warna setelah penambahan
pereaksi Stokes

Kesimpulan:

142
Pertanyaan :
1. Gejala – gejala apakah yang jelas terlihat pada seseorang yang
keracunan CO?
Jawaban :

3. Uji untuk methemoglobin


Tujuan :
Memperlihatkan bila besi dalam molekul hemoglobin dioksidasi menjadi
Fe3+, maka terbentuk metHb yang tidak lagi bisa mengikat oksigen
Dasar :
Hb(Fe2+) + K3Fe(CN)6 Hb(Fe3+) +
K4Fe(CN)6
Hb oksidator MetHb
MetHb ini tidak dapat lagi mengikat oksigen.
Bahan dan pereaksi :
1. Darah segar
2. Pereaksi K3Fe(CN)6
3. Pereaksi Stokes

143
Cara kerja :
1. Encerkan 1 mL darah dengan 4 mL air suling dalam tabung reaksi.
2. Ke dalam tabung itu tambahkan beberapa tetes K3Fe(CN)6 33%.
Perhatikan dan catat perubahan warna yang terjadi. Kemudian
tambahkan pereaksi Stokes ke dalam tabung itu dan kocok kuat –
kuat. Perubahan apakah yang terlihat?
3. Encerkan 3 mL darah segar dengan 3 mL air suling dan panaskan
sebentar, lalu tambahkan 6 mL K3Fe(CN)6. Campur dengan
membalik – balikkannya. Perhatikan gelembung – gelembung
oksigen yang terbentuk.
Hasil :
Tabung Warna tabung 1 Tabung Warna tabung 2
+ K3Fe(CN)6 + K3Fe(CN)6
Pengocokan kuat Gelembung
+ Stokes udara
Pengocokan kuat

Kesimpulan :

Pertanyaan :
1. Percobaan ini terdiri dari dua bagian, apakah perbedaan dari kedua
percobaan itu?

144
Jawaban :

4. Demonstrasi spektrum hemoglobin


Tujuan dan dasar :
Derivat – derivat Hb masing – masing dapat dibedakan dengan
menggunakan alat spektrofotometer, yaitu suatu teknik yang berdasarkan
perbedaan serapan warna – warna tertentu dari spektrum cahaya putih.
Bila suatu larutan berisi suatu zat warna diletakkan di antara alat tersebut
dan sumber cahaya, akan menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu.
Bahan dan alat :
1. Derivat – derivat Hb yang sudah diencerkan.
2. Alat spektrofotometer.
Cara kerja :
Untuk percobaan ini akan diperlihatkan spektrum serapan Hb dan
beberapa derivatnya. Jelas tidaknya pita – pita serapan tergantung juga
dari pegenceran zat yang diperiksa.
Untuk pemeriksaan spektrofotometer ini darah perlu diencerkan (±100
kali). Untuk oksiHb terdapat 2 serapan maksimal yaitu 578 nm dan yang
lain 542 nm dan yang ketiga pada 415 nm (pita ini hampir tidak terlihat
karena sudah mendekati sinar ultra ungu). Untuk deoksiHb pita
serapannya lebih lebar dan terletak pada 559 nm. karbonmonoksidaHb
pita spektrumnya terdapat pada 570 nm dan 542 nm. Met Hb netral
mempunyai serapan pada 634 nm.

145
Gambar 23. Spektrum serapan derivate Hb. (Henry)

Hasil :
Derivat Hb Jumlah serapan maksimal dan
lokasi
OksiHb
DeoksiHb
COHb
MetHb

146
5. Penetapan kadar Hb dengan metoda sianmethemoglobin
Tujuan :
Menetapkan kadar Hb dalam darah secara kuantitatif dengan metoda
sianmethemoglobin.
Dasar :
Pada metoda ini semua bentuk hemoglobin diubah menjadi pigmen yang
lebih stabil, yaitu sianmethemoglobin setelah penambahan suatu pereaksi
tunggal yang mengandung kalium sianida dan kalium ferisianida.
Ferisianida akan mengoksidasi Hb menjadi metHb yang kemudian
direaksikan dengan ion sianida membentuk sianmetHb.
Bahan dan alat :
1. Darah yang akan diperiksa.
2. Pipet sahli 0,2 mL.
3. Pipet volumetrik 5 mL.
4. Pereaksi Drabkin (1,0 gram NaHCO3, 52 mg KCN –beracun–, dan
198 mg K3Fe(CN)6 dalam 1 L air suling. Simpan dalam botol coklat).
5. Spektrofotometer.
6. Standar Hb.
Cara kerja :
1. Pipetkan dengan pipet volumetrik 5 mL pereaksi Drabkin ke dalam
sebuah tabung reaksi.
2. Tambahkan 0,02 mL darah yang akan diperiksa pada tabung yang
berisi pereaksi Drabkin, bilas pipet tersebut 3 kali dengan pereaksi
Drabkin dalam tabung tersebut.
3. Diamkan selama 10 menit.

147
4. Pindahkan campuran tersebut ke dalam kuvet spektrofotometer dan
tetukan serapannya dalam 540 nm. Sebagai blanko digunakan
pereaksi Drabkin.
5. Tentukan kadar Hb dalam g% dari standar Hb yang disediakan
dengan rumus sebagai
R berikut:
U
Kadar Hb = x konsentrasi standar (g%) =..................g%
RS
Interpretasi :
Batas – batas nilai normal dengan metoda ini untuk laki – laki berkisar
antara 13,5 - 18 g/dL darah dan untuk wanita berkisar antara 11,5 – 16,5
g/dL darah.
Hasil :
Tabung Blanko Standar Uji
Pereaksi Drabkin (mL) 5,02 - 5
Darah segar (mL) - - 0,02
Standar Hb (mL) - 5,02 -
Diamkan 10 menit
Bacalah serapan pada
panjang gelombang 549 nm
Hasil perhitungan : kadar (g%)

Kesimpulan :

148
HIPOKSIA, OKSIDATIF STRES DAN ANTIOKSIDAN

Oksigen merupakan unsur yang esensial bagi semua organisme


ekariota untuk menjalankan reaksi fosforilasi oksidatif dalam rantai
pernafasan dari mitokondria yang akan menghasilkan energi. Untuk itu,
pasokan oksigen yang konstan ke semua organ, sangat penting
dipertahankan dan pada mamalia hal tersebut dilakukan oleh sistem
kardiovaskuler. Pasokan oksigen ke jaringan diatur oleh fungsi pembulu
darah, sedangkan kebutuhan ditentukan oleh jumlah sel dalam jaringan.
Walaupun udara atmosfir yang masuk ke paru mengandung
sekitar 21% O2, akan tetapi kadar oksigen dalam jaringan lebih rendah,
berkisar antara 0,5 - 12%, tergantung pada vaskularisasi dan konsumsi
oksigennya. Sebagai contoh kadar O2 di dalam, alveoli 14%, darah arteri
12%, vena 5-6%, miokard <10%, hati, jaringan ikat dan sumsum tulang
2 - 8%90. Besarnya perbedaaan kadar oksigen pada berbagai sel, jaringan
dan organ, menyebabkan kesulitan dalam mendefinisikan keadaan
hipoksia. Definisi praktis yang mendekati kondisi fisiologik dan untuk
tujuan klinik, hipoksia adalah suatu keadaan bilamana pasokan oksigen
tidak mencukupi kebutuhan sel, jaringan atau organ, sehingga
mengganggu fungsi biologik. Hipoksia dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti (1) rendahnya tekanan parsial O2 dalam darah arteri
(hipoksia hipoksemik); (2) berkurangnya kapasitas hemoglobin dalam
mengangkut O2 akibat anemia (hipoksia anemik); (3) berkurangnya
perfusi jaringan, baik umum maupun lokal (hipoksia iskemik); (4)
berkurangnya kemampuan jaringan menggunakan O2 karena keracunan
sel atau jaringan (hipoksia histotoksik atau sitotoksik) dan (5)

149
gangguan difusi oksigen karena adanya aliran darah yang berlawanan
dalam pembuluh kapiler (hipoksia difusi).
Hipoksia merupakan keadaan cekaman (stres) lingkungan yang
berat, yang mengancam kelangsungan hidup sel. Diketahui kondisi
hipoksia dapat terjadi selama perkembangan embrio, fisiologik dan
berbagai patosiologik. Dengan demikian penginderaan oksigen (oxygen
sensing), menjadi suatu yang sangat penting dalam usaha
mempertahankan homeostasis oksigen, baik pada tingkat sistemik
maupun pada tingkat sel dan molekuler. Apapun penyebab hipoksia,
organisme aerob mengembangkan berbagai mekanisme untuk
penginderaan oksigen dan memberikan respons terhadap hipoksia.
Mamalia, termasuk manusia, memberikan respons yang dapat dibedakan
dalam 2 tingkat, yaitu respons pada tingkat sistemik atau keseluruhan
organisme, yang bersifat akut atau reflek dan respons pada tingkat sel
dan molekuler, yang sifatnya kronik-adaptasi.
Pada tingkat sistemik, penginderaan hipoksia dilakukan oleh
kemoreseptor pusat maupun perifer. Kemoreseptor pusat pada sistem
saraf pusat melibatkan talamus, hipotalamus, pons, dan medula.
Pengaktifan daerah yang sensitif-O2 pada pusat saraf ini akan
meningkatkan aktivitas simpatis dan pernafasan.
Sedangkan kemoreseptor perifer meliputi beberapa jaringan
spesifik antara lain, aortic bodies dan carotid bodies (CB), kemoreseptor
jalan nafas neuroepithelial bodies (NEBs), serta sel otot polos pada arteri
pulmonal (pulmonary artery smooth muscle cells, PASMC).
Respons akut pada dasarnya merupakan perubahan yang bersifat
eksitabilitas, kontraksi dan sekresi. Perubahan tersebut mencakup
peningkatan frekuensi pernafasan, denyut dan curah jantung,

150
vasokontriksi pulmonal serta dilatasi pembuluh darah sistemik, yang
tujuannya untuk mempertahankan pasokan oksigen ke organ vital,
seperti jantung dan otak. Mekanisme kompensasi ini berdasarkan
penginderaan oksigen oleh sel glomus atau sel tipe I yang terdapat
dalam kemoreseptor perifer. Hipoksia menyebabkan inhibisi pada
beberapa tipe kanal-K+ yang sensitif terhadap oksigen seperti kanal-Kv
(voltage-gated; kanal-Kca (calcium activated) dan kanal-TASK (twik-
related acid sensitive K+) yang berperan sebagai efektor utama dalam
menerima sinyal hipoksia. Inhibisi tersebut mencetuskan reaksi kaskade
berupa depolarisasi membran, terbukanya kanal-Ca2+, influks dan
mobilisasi ion-kalsium dari retikulum sarkolema, peningkatan ion-
kalsium intrasel dan sekresi serta pembebasan dopamin dari sel glomus.
Selanjutnya dopamin mengaktifkan saraf sensori aferen yang akan
meneruskan informasi ke SSP di batang otak. Akhirnya dari SSP, serabut
eferen simpatis menginduksi respons dari sistem kardiorespiratorik
terhadap hipoksia akut.
Respons pada tingkat sel dan molekuler merupakan reaksi
terhadap hipoksia kronik yang bersifat adaptasi, yang terjadi setelah
hipoksia berlangsung beberapa menit atau beberapa jam. Sekali jaringan
atau sel terpapar pada hipoksia, maka sel tersebut terancam mati, baik
sebagai akibat langsung dari hipoksia yang menyebabkan kerusakan
struktur sel, maupun sebagai akibat gangguan metabolisme enerji
(deplesi ATP). Untuk menjamin kelangsungan hidupnya sel bereaksi
lebih lanjut dengan mengatur ekspresi berbagai gen. Melalui regulasi
ekspresi gen sel beradaptasi, antara lain mengubah metabolisme aerob
menjadi bersifat anaerob, meningkatkan produksi protein angiogenetik

151
dan transporter glukosa, sehingga kekurangan O2 dapat ditanggulangi.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut sel membutuhkan protein HIF-1.
Walaupun sudah lama menjadi subjek penelitian, molekul yang
berperan sebagai sensor oksigen dan bagaimana interaksi sensor oksigen
dengan kanal K+, tetap belum jelas. Teori yang diajukan sebagai
mekanisme sensor oksigen adalah sebagai akibat dari perubahan kadar
ROS, yang mungkin berasal dari mitokondria (kompleks III), NADH-
oksidase (redox couples) dan NADPH-oksidase pada membran sel.

Gambar 24. Mekanisme redoks untuk penginderaan oksigen


Keterangan: ROS yang berasal dari mitokondria, NADPH, NADH dan
redox couples, melalui kontrol redoks menyebabkan reaksi kaskade:
inhibisi aktivitas kanal-K, depolarisasi membran sel, influks kalsium
melalui LTCC (L-type calcium channel). Sinyal yang sama juga
menyebabkan kalsium keluar dari retikulun sarkoplasma, sehingga
menyebabkan kalsium intrasel meningkat. Rho kinase meningkatkan
respon dari aktin-miosin terhadap konsentrasi kalsium.

152
Pengaruh Hipoksia terhadap Jantung
Jantung mamalia merupakan organ aerobik obligat. Pada keadaan
istirahat jantung mengkonsumsi 8 - 15 ml O2/menit/100 g jaringan dan
dapat meningkat sampai lebih dari 70 ml O2/menit/100 g jaringan
miokardium selama latihan berat. Angka ini jauh lebih tinggi di banding
konsumsi otak yang hanya sekitar 3 ml O2/menit/100 g jaringan. Pada
keadaan hipoksia otot jantung mamalia tidak dapat menghasilkan energi
yang cukup untuk mempertahankan fungsi dan viabilitas jantung. Oleh
karena itu konsumsi dan tersedianya O2 harus sesuai untuk menjamin
fungsi kardia yang normal. Hipoksia pada otot jantung terjadi akibat
ketidakcocokan antara massa otot jantung dan tuntutan oksigen otot
jantung. Bila berlangsung lama, hipoksia dapat menyebabkan disfungsi
ventrikel dengan kompensasi hipertrofi dan peregangan dinding
ventrikel. Hipertrofi dapat bersifat adaptif, atau maladaptif menuju gagal
jantung. Di samping itu hipoksia akan menyebabkan gangguan
metabolisme energi (deplesi ATP), sehinga beban jantung makin
meningkat. Sesuai hukum Laplace semakin besar ventrikel semakin
banyak konsumsi oksigen per gram jaringan. Dengan demikian tanpa
memandang etiologi, gagal jantung dengan hipertrofi akan membutuhkan
lebih banyak oksigen di bandingkan dengan jantung normal.
Peran O2 dalam jantung sangat kompleks, lebih dari perannya
dalam metabolisme energi. Hipoksia berpotensi mempengaruhi ekspresi
sekitar 1% gen dalam genom. Pada jantung, O2 merupakan penentu
utama dalam ekspresi gen miokardia. Bila kadar O2 turun pada waktu
hipoksia, pola ekspresi gen dalam jantung mengalami perubahan.
Ekspresi gen disesuaikan dengan ketersediaan O2 melalui beberapa
mekanisme termasuk pengaturan transkripsi gen oleh HIF-1α. Selain itu

153
hipoksia juga berperan dalam meningkatkan pembentukan ROS (reactive
oxygen species), yang dapat menginduksi berbagai kerusakan bahkan
kematian sel jantung.
Studi in vivo pada hewan menunjukkan peningkatan ROS,
khususnya superoksida, pada jantung yang mengalami hipertrofi. Banyak
bukti yang memperlihatkan bahwa ROS berperan dalam berbagai jalur
transduksi sinyal terjadinya hipertrofi otot jantung. Sejalan dengan
progresivitas gagal jantung, stres oksidatif meningkat dan cadangan
antioksidan akan menurun. Mekanisme ROS dalam menyebabkan
berbagai gangguan pada struktur dan fungsi otot jantung dapat dilihat
melalui kerja Angiotensin II (Ang II) (Gambar 25).

154
Gambar 25. Mekanisme ROS mempengaruhi struktur dan fungsi otot
jantung
Keterangan: Ang II terikat pada GPCR, selanjutnya terjadi reaksi
kaskade yang melibatkan pembentukan superoksid (O2.- ) oleh NADPH
oksidase-2 (NOX2). Superoksid diubah oleh SOD menjadi H2O2 dan
„OH (hidroksi radikal), yang memperantarai aktivasi MAPK melalui
tirosin kinase. Aktivasi MAPK dapat menyebabkan hipertrofi jantung
atau apoptosis. ROS yang dihasilkan, melalui pengaruh pada ASK-1 juga
dapat menyebabkan hipertrofi, apoptosis atau fosforilasi troponin-T,
yang menyebabkan berkurangnya sensibilitas miofilament dan
menurunkan daya kontraksi jantung. Produksi NO oleh iNOS dan eNOS
dapat berinteraksi dengan superoksid, untuk membentuk peroksinitrit
(ONOO•–). Peroksinitrit dapat menyebabkan peroksidasi lipid, yang
dapat mengganggu fungsi ion-channel ataupun pompa-ion. Katalase dan
glutation peroksidase (GPx) terlihat sebagai jalur enzimatik untuk
menghasilkan air dan oksigen dari H2O2.

155
(a)

(b)

Gambar 26. (a) Sungkup-hipoksia ukuran kecil - kapasitas 3 tikus.


(b) Sungkup-hipoksia ukuran besar - kapasitas 6 tikus
(Prof. Hui-jin Chen, Shanghai Institute for Pediatric Research,
Shanghai)

156
Oksidasi Biologi
Proses oksidasi berperan dalam metabolisme semua makhluk dan
mempunyai berbagai tujuan, terutama dalam reaksi-reaksi untuk
menghasilkan energi. Misalnya pada proses oksidasi glukosa menjadi
CO2, H2O dan energi. Proses oksidasi dapat berlangsung secara
enzimatik maupun non-enzimatik. Proses enzimatik berlangsung
bertahap dengan melibatkan sejumlah enzim. Sedangkan proses non-
enzimatik berlangsung secara spontan dan memerlukan logam-logam
transisi seperti Fe dan Cu, dan dapat membentuk radikal bebas seperti
reactive oxygen species (ROS). ROS yang terbentuk ini dapat bereaksi
dengan makromolekul di dalam tubuh seperti protein, lipid dan asam
nukleat. Reaksi radikal bebas dengan protein akan menghasilkan
senyawa karbonil, dengan lipid dan asam nukleat dapat membentuk
dimer timin yang menyebabkan mutasi. Proses kerusakan oleh radikal
bebas ini diduga berperan dalam proses inflamasi, penuaan dan
karsinogenesis.
Untuk mengatasi kerusakan radikal bebas, tubuh dilengkapi
dengan sistem penangkal (antioksidan) yang bersifat enzimatik dan
nonenzimatik. Antioksidan yang bersifat enzimatik contohnya adalah
superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase.
Sedangkan antioksidan nonenzimatik contohnya adalah vitamin C,
vitamin E, glutation, β-karoten, flavonoid dan lain – lain.
Malondialdehid (MDA)
Radikal hidroksil memiliki kemampuan membentuk peroksida
lipid pada plasma membran atau pada organel yang memiliki asam
lemak tidak jenuh dalam jumlah yang besar. Dengan berikatan dengan
hidrogen pada rantai hidrokarbon asam lemak, akan membentuk carbon-

157
centered radica. Bila ada molekul oksigen maka dan membentuk radikal
peroxy (-C-O-O*), yang dapat berikatan dengan hidrogen dari asam
lemak lain. Pembentukan radikal bebas lipid dan peroksida lipid ini
dianggap suatu ciri penting dalam kerusakan sel yang disebabkan oleh
spesies oksigen reaktif. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa asam
lemak utama yang mengalami peroksidasi lemak di dalam membran sel
adalah asam lemak tidak jenuh, yang kemudian akan terjadi degradasi
lemak, dan terbentuklah produk seperti malondialdehid (MDA). MDA
adalah senyawa organik dengan rumus CH2(CHO)2. MDA muncul di
dalam darah dan urin, kemudian digunakan sebagai indikator adanya
kerusakan akibat radikal bebas.
Sebagai biomarker kerusakan membran sel, maka MDA diukur
menggunakan pereaksi asam tiobarbiturat (TBA) seperti yang
dikembangkan oleh Wilbur pada tahun 1994. Metode ini kemudian
dimodifikasi oleh Wills pada tahun 1996, sehingga metode ini dikenal
dengan uji TBARs (thiobarbituric acid reactive substances), merupakan
salah satu uji yang paling lama dan paling sering digunakan untuk
mengukur proses peroksidasi lipid asam lemak tak jenuh. Uji TBARs
dapat menilai stres oksidatif berdasarkan reaksi asam tiobarbiturat
dengan malondialdehid (MDA).
Glutation (GSH)
Glutation (GSH) merupakan antioksidan non enzimatik yang
terdiri dari suatu tripeptida (L-glutamin, L-sistein, dan glisin). Glutation
terutama disintesis di dalam sel hati. Sintesis glutation berlangsung
dalam dua tahap. Tahap pertama mengkatalisis kondensasi glutamat dan
sistein membentuk ikatan peptida antara glutamat dan sistein oleh enzim
γ-glutamilsistein sintase. Tahap kedua, GSH sintase menggabungkan γ-

158
glutamilsistein dengan glisin untuk menghasilkan GSH. Pada tahap ini
terbentuk ikatan peptida antara sistein dan glisin. Setiap tahap
memerlukan ATP yang digunakan untuk mengaktifkan karboksil.
Glutation dapat berada dalam dua bentuk yaitu, bentuk tereduksi
(GSH) dan yang teroksidasi (GSSG). GSSG dapat dikembalikan menjadi
GSH oleh enzim glutation reduktase dengan koenzim NADPH yang
berasal dari jalur HMP shunt. GSH dapat mendetoksifikasi hidrogen
peroksida dan peroksida organik lainnya melalui reaksi sebagai berikut:
GSH + H2O2 GSSG + 2H2O
+
GSSG + NADPH + H 2GSH + NAD+

1. Penentuan Konsentrasi MDA


Tujuan
Menetapkan kadaar peroksida lipid dalam darah dan hati tikus.
Prinsip Dasar
Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) dapat mengalami proses
peroksidasi menjadi peroksida lipid yang kemudian mengalami
dekomposisi menjadi malondialdehid (MDA). MDA bila direaksikan
dengan asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid, TBA) akan membentuk
senyawa berwarna merah muda yang menyerap cahaya pada panjang
gelombang 532 nm. Jumlah MDA yang terbentuk dapat menggambarkan
proses peroksidasi lipid.
Alat dan Bahan
1. Hemolisat darah
2. asam trikloroasetat (TCA) 10%
3. Larutan TBA 0,67%,

159
Prosedur Kerja
Bahan Uji Blanko
Hemolisat darah/homogenat hati 0,25mL -
akuades - 0,25mL
Larutan TCA 10% dingin 0,50mL 0,50mL
Kocok, pusing, ambil supernatan
Larutan TBA 0,67% 0,75mL 0,75mL
Masukan penangas mendidih, 10 menit. Dinginkan
Baca serapan pada panjang gelombang 532nm
Hasil : A532
Kadar MDA
Perhitungan :
Kadar MDA = A / ε
(ε = 153.000 M-1 cm-1)
Hasil dan Pembahasan

PENENTUAN KONSENTRASI GSH

160
2. Penentuan Konsentrasi GSH
Tujuan
Menentukan konsentrasi antioksidan GSH dalam darah dan hati
tikus.
Prinsip Dasar
Senyawa dengan gugus –SH direaksikan dengan senyawa asam
ditiobisnitrobenzoat (DTNB), suatu senyawa yang mengandung ikatan -
S-S-. Senyawa dengan gugus -SH akan mereduksi DTNB sehingga
pecah menjadi tionitrobenzen, yang dalam suasana alkali akan berwama
kuning dan menyerap cahaya secara maksimum pada panjang gelombang
412 nm.
Alat dan Bahan
1. Hemolisat darah
2. Larutan standar larutan glutation 2 mg/mL (baru) dalam dapar fosfat
pH 8
3. Larutan asam trikloroasetat (TCA) 5%
4. larutan DNTB 0.00396 gr/ml (dibuat baru) dalam dapar fosfat 0.1M
pH 7.

161
Prosedur Kerja
Konsentrasi
BL St.1 St.2 St.3 St.4 St.5
Standar Uji
0 1 2 4 5 10
(ug/mL)
Standar
0 1 2 4 5 10 -
GSH (uL)
Plasma - - - - - - 50
TCA 5%
200 200 200 200 200 200 200
(uL)
Vortex,
sentrifugasi
5000 rpm
10 menit.
supernatan
diambil dan
dipindahkan
ke tabung
lain
Dapar fosfat
1800 1799 1798 1796 1795 1790 1750
pH 8.0 (uL)
Campur sampai homogen
DNTB (uL) 25 25 25 25 25 25 25
Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam pada ruang gelap,
serapan dibaca pada panjang gelombang λ 412 nm

162
TEKNIK LABORATORIUM
BIOKIMIA DAN BIOLOGI MOLEKULER

163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
Daftar pustaka:
1. Basic iochemical Methods; Alexander,R.R. dan Griffiths,M.,2nd
ed.,Wiley Liss, Inc.,1993
2. Suplemen Penuntn Praktikum Biokimia, Bagian Biokimia FKUI
3. Devlin MT, Textbook Biochemistry with clinical correlation, 3rd ed.
Torronto: John Wiley & Sons inc, 1993.
4. http://www.biology.arizona.edu/human_bio/human_bio.html
5. Lehninger AL. Principles of biochemistry, New York: Wotrh, 1982.
6. Lodish Harve et all, Molecular Cell Biology, 2nd ed. New York:
American Scientific Book,
1996.
7. Mark DB, Mark AD, Smith CM. Basic medical biochemistry a clinical
approach.
Baltiore: Williams & Wilkins, 1996.
8. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harper‟s Review
of biochemistry 24th ed.Singapore: Lange Maruzen, 1996.

178

View publication stats

You might also like