You are on page 1of 13

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diujung masa pemeritahan Ali binAbi Thalib, umat islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik yaitu Syiah, Muawiyah, dan Khawarij.
Keadaan ini tentunya tidak menguntukan bagi Ali, akibatnya posisi Ali
semakin lemah, sementara posisi Muawiyah semakin kuat. Dan pada tahun
40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij. Setelah
Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukan sebagai khalifah dijabat oleh
anaknya yaitu Hasan. Namun penduduk kufah tidak mendukungnya,
seperti sikap mereka terhadap ayahnya, maka Hasan semakin lemah,
sementara Muawiyah semakin kuat. Maka Hasan mengadakan perjanjian
damai dengan Muawiyah dengan menanggalkan jabatan Khilafah untuk
Muawiyah pada tahun 41 H (661 M), agar tidak terjadi pertumpahan darah
yang sia-sia.
Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat islam dalam satu
kepemimpinan politik, yakni dibawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi
Sufyan. Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai tahun al-jama’ah
(tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat islam telah menyepakati
secara aklamasi mempunyai hanya satu orang Khalifah. Disisi lain
peyerahan tersebut menjadikan Muawiyah sebagai penguasa absolut dalam
islam. Dengan demikian, maka berakhirlah apa yang disebut masa
Khulafaur Rasyidin yang bersifat demokratis, dan dimulailah kekuasaan
Bani Umayyah dalam sejarah politik islam yang bersifat keturunan.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah berdirinya Bani Umayyah?
2. Siapa sajakah Khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3. Bagaimana masa kemajuan Bani Umayyah?
4. Bagaimana masa kemunduran Bani Umayyah?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui proses berdirinya Bani Umayyah
2. Untuk mengetahui Khalifah Bani Umayyah
3. Untuk mengetahui masa-masa kejayaan Bani Umayyah
4. Untuk mengetahui proses pengunduran dan kehancuran Bani Umayyah

2
BAB 2
PEMBAHASAN
A. BERDIRINYA DINASTI BANI UMAYYAH
Kajian tentang sejarah peradaban Islam memang tidak terlepas dari
keberadaan Dinasti Umayyah yang berkuasa selama lebih kurang 90 tahun
(41-132 H/661-750 M). Dinasti ini didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu
Sufyan yang berasal dari keturunan Bani Umayyah dari suku Quraisy.
Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah bin Abd al-Syam, kakek Abu
Sufyan.
Sebagaimana tercatat oleh sejarah, lahirnya Dinasti Umayyah
dimulai dari peristiwa tafkhim setelah pecahnya perang Shiffin di
Daumatul Jandal. Dikisahkan bahwa Hasan yang menggantikan ayahnya,
Ali bin Abi Thalib, mengadakan perjanjian damai dengan Mu’awiyah agar
gejolak dan pemberontakan yang terjadi tidak sampai menghancurkan
keutuhan umat Islam.
Dalam upaya perdamaian, khalifah Hasan bin Ali mengirimkan
surat melalui Amr bin Salman al-Arabi yang berisi pesan perdamaian, ia
bersedia menyerhkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan beberapa
ketentuan sebagaimana berikut :
 Mu’awiyah menyerahkan harta Baitul Mal kepadanya untuk melunasi
utang-utangnya kepada pihak lain.
 Mu’awiyah tak lagi melakukan cacian dari hinaan terhadap khalifah
Ali bin Abi Thalib beserta kelurganya.
 Mu’awiyah menyerahkan pajak bumi dari peserta dan daerah Bijinad
kepada Hasan setiap tahun.
 Setelah Mu’awiyah berkuasa, maka masalah kepemimpinan
(kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakuakn
pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
 Mu’awiyah tidak boleh menarik sesuatu pun dari penduduk Madinah,
Hijaz, dan Irak. Sebab, hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin
Abi Thalib sebelumya.

3
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus
seorang sahabat yang bernama Abdullah bin al-Harits bin Nauval untuk
menyampaikan isi tuntutannya kepada Mu’awiyah. Sementara Mu’awiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syartnya yang diajukan
oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya, seperti Abdullah bin
Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Akhirnya, pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 H/661 M,
terjadikesepakatan damai antara Hasan dan Mu’awiyah, yang kemudian
kenal dengan Aam Jama’ah, karena kaum muslimin sepakat untuk
memilih satu pemimpin saja, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Mu’awiyah ini
menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah
kepemimpinan khalifah pertama, Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian, maka secara resmi berdirilah dinasti baru, yaitu
Dinasti Bani Umayyah (661-750 M), dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Mu’awiyah mengubah gaya kepemimpnan lama dengan
cara mengadopsi gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi, berupa
peralihan kekuasaan kepada putranya secara turun-temurun.
B. KHALIFAH-KHALIFAH DINASTI BANI UMAYYAH
Dinasti Umayyah terus berkembang dan menjadi pusat
pemerintahan hingga sekitar 90 tahun. Khalifah yang naik adalah
keturunan dari Muawiyah bin Abu Sufyan. Menurut catatan para ahli
sejarah, khalifah terbesar adalah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin
Abdul Aziz. Dinasti ini, mencapai puncak kejayaanya pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Berikut urutan khalifah Bani Umayyah :
 Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41-60 H/661-680 M)
 Yazid bin Mu’awiyah (60-64 H/680-683 M)
 Mu’awiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
 Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
 Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/686-705 M)

4
 Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
 Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
 Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
 Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724 M)
 Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
 Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
 Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
 Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
 Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
C. KEMAJUAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
Dinasti Umayyah berasal dari nama Umayyah ibn Syams salah
satu pemimpin kabilah Quraisy yang dikenali sebagai Bani Umayyah.
Umayyah merupakan anak saudara sepupu Hasyim ibn Abd Manaf yaitu
nenek moyang Rasulullah SAW. Bani Hasyim dan Umayyah sering
bersaing merebut kekuasaan di kota Makkah di zaman jahiliyah akan
tetapi Bani Hasyim lebih berpengaruh karena mendapat kekuasaan yang
diturunkan Qusay, kemudian kepada Abd Manaf dan seterusnya kepada
Hasyim. Kedudukan Bani Umayyah sangat mantap di Syam. Hal ini di
karenakan, Umayyah pernah kalah dalam pertarungan dengan Bani
Hasyim telah melarikan diri dan menetap disana selama 10 tahun. Pada
zaman khalifah Usman bin Affan, Yazid bin Abi Sufyan menjadi
Gubernur di Syam kemudian diikuti oleh adiknya, Muawiyyah ibn Abi
Sufyan menjadi Gubernur selama 20 tahun.

Bani Umayyah juga berpengaruh di Makkah karena merupakan


golongan bangsawan yang dihormati oleh masyarakat. Di zaman
Jahiliyyah, Abd Syam, Umayyah, Harb dan seterusnya Abi Sufyan diberi
kepercayaan memimpin pasukan tentara di Makkah secara turun temurun.
Selain itu, mereka juga terkenal dalam bidang perdagangan. Bani
Umayyah mempunyai pengaruh yang sangat besar sebelum Islam dan juga
selepas Islam. Mereka adalah di antara golongan yang terakhir memeluk
agama Islam.

Muawiyah ibn Abu Sufyan merupakan pengaggas dinasti bani


Umayyah. Bapaknya Abu Sufyan ibn Harb merupakan salah seorang
pemimpin Quraisy yang terkemuka di kota Makkah terutama sebelum
beliau memeluk Islam. Abu Sufyan juga ketua kaum musyrikin Makkah
yang menjadi puncak berlakunya perang Badar dan menjadi ketua kaum

5
Quraisy Makkah dalam perang Uhud. Sebelum Muawiyyah mengambil
alih jawatan Khalifah dari Hassan Ibn Ali, telah berlaku konflik antara
Muawiyyah dan Sayyidina Ali sehingga berlakunya Perang Siffin di
tebing sungai Furat pada 13 Safar 37 H. Konflik ini adalah rentetan dari
peristiwa pembunuhan Usman dan Sayyidina Ali gagal menyelesaikan
masalah tersebut sesuai dengan kehendak Muawiyyah. Sayyidina Ali juga
mempunyai alasan tertentu yang menyebabkan ia tidak dapat bertindak
terhadap pembunuhan tersebut.
Peperangan Siffin ini telah membawa kepada berlakunya Majlis
Tahkim. Majlis Tahkim ini berlaku atas kebijaksanaan politik Amr ibn al-
As yang mengangkat mushaf al-Quran ketika tentara Muawiyyah hampir
kalah. Terdapat juga golongan yang tidak setuju dengan perdamaian
tersebut dan mengiginkan peperangan diteruskan. Namun, disebabkan
yang mendukung lebih banyak, Sayyidina Ali mengambil keputusan untuk
menerima Majlis Tahkim. Golongan yang tidak setuju ialah Al-Asytar bin
Malik dan pengikutnya, Al-Ash’as bin Qais dan pengikutnya serta seluruh
orangYaman. Al-Asytar dan pengikut-pengikutnya yang tidak setuju
dengan Sayyidina Ali telah keluar dari situasi tersebut menuju ke Harura’
dan digelar Khawarij. Jumlah mereka adalah sekitar 12,000 orang.
Persidangan Tahki dimenangi oleh Muawiyah atas kebijaksanaan Amr bin
al-As. Tetapi Khalifah Ali terus menjadi khalifah tanpa dibaiat oleh
penduduk Syam sehingga baginda wafat pada tahun 40H / 660M karena
dibunuh oleh Abdul Rahman bin Muljam, salah seorang pengikut
Khawarij. Muawiyyah menjadi khalifah dan membentuk dinasti Umayyah
dengan sistem turun temurun.
Kendatipun pemerintahan Bani Umayyah tidak menganut sistem
demokrasi bukan berati tidak mengalami perkembangan dan kemajuan
dimasa pemerintahannya. Hal ini meliputi berbagai aspek baik sistem
pemerintahan, administrasi, ilmu pengetahuan, sastra ekonomi, seni dan
budaya.

1. Perkembangan Sastra
Beberapa cabang seni budaya/sastra meningkat pada masa Bani
Umayyah terutama seni bahasa, seni suara, seni rupa dan seni bangunan
(arsitektur). Sementara seni tari tidak dimasukkan dalam kategori seni
budaya, sekalipun tari-tarian berkembang luas khususnya dalam istana-
istana dan gedung-gedung orang kaya.
Bani umayyah berusaha untuk mempertahankan kemurnian bangsa
Arab, mereka berusaha untuk meninggikan derajat bangsa Arab sebagai
bangsa penguasa di antara bangsa lain yang dikuasai. Karena
kefanatikannya kepada bangsa Arab, khalifah Abdul Malik Ibn Marwan
mewajibkan bahasa Arab menjadi bahasa resmi Negara sehingga semua
perintah dan peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa
Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu qowaid
dari ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi
bahasa resmi Negara sampai sekarang pada banyak Negara: Irak, Siria,

6
Mesir, Libanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi
Arabia, Yaman, Emirat Arab dan sekitarnya.[3]
Para penguasa Bani Umayyah semuanya menggunakan tenaga-
tenaga penyair, muawiyah mempunyai seorang penyair yang bernama Al-
Akhthal. Penyair yang bernama Jarir jatuh ke tangan keluarga Zubair. Ia
pernah dihadapkan kepada Al-Hajjaj, dan kedatangannya diterima dengan
hormat. Al-Hajjaj ingin menarik simpati Jarir dengan bersikap baik-baik
kepadanya, karena itu Jarir lalu memuji Al-Hajjaj dengan berbagai
kasidah.[4]
Di bidang seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah berhasil
mendirikan beberapa bangunan mewah diantaranya; Mesjid Baitul Maqdis
di Yerussalem yang terkenal dengan kubah batunya (Qubbah al-Sakhara)
yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik pada tahun 691 M dan istana
Qusayr Amrah yang terbuat dari kapur berwarna bening kemerah-
merahan.[5]
Di samping syair (puisi), seni suara juga tumbuh subur di Hijaz.
Pada masa itu hijaz mengirimkan banyak biduan dan biduanita ke istana
para khalifah dan yang pertama ialah Mu’awiyah. Ia merasa asyik
mendengarkan hikmah sya’ir yang didendangkan dengan irama menarik.
Di antara banyak biduanita yang terkenal pada zaman kekuasaan
Bani umayyah ialah seorang wanita yang bernama Salamah Al-Qis. Ia
belajar seni suara kepada Ma’bad, Ibnu Aisyah dan Jamilah. Ada lagi
seorang pria terkenal mahir menyanyi, yaitu Thuwais Al-Mughanniy. Ia
juga pandai menabuh rebana. Penguasa Madinah yang bernama Aban bin
‘Utsman senang bergaul dengannya dan suka mendengarkan lagu-lagu
yang dibawakannya.[6]

2. Ilmu Pengetahuan
Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu
pengetahuan. Kalau masa Nabi dari khulau ar-rasyidin perhatian terpusat
pada memahami Alquran dan hadis Nabi untuk memperdalam pengajaran
akidah, akhlah, ibadah, muamalah dari kisah-kisah Alquran, maka
perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-
ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam.
Daerah kekuasaanya, selain yang diwariskan oleh khulafau
ar’rasyidin, telah pula menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran,
Khurosan, terus ke timur sampai ke benteng tiongkok. Dalam daerah
kekuasaannya ada kota-kota pusat kebudayaan. Yunani Iskandariyah,
Antiokia, Harran, Yunde Sahpur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-
ilmuwan itu setelah masuk Islam tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan
Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang
mendapat jabatan tinggi di istana khalifah. Ada yang menjadi dokter
pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka sedikit
banyak mempengaruhi perkembangan Khalid ibn Yazid, cucu Muawiyah,
tertarik pada ilmu kimia dari ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah
harta untuk menyuruh para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk

7
menerjemahkan buku-buku Kimia dari kedokteran ke dalam bahasa Arab
dan itu menjadi terjemahan pertama dalam sejarah. Al Walid ibn Abdul
Malik memberikan perhatian kepada bimaristan, yaitu rumah sakit sebagai
tempat berobat dari perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat studi
kedokteran.
Khalifah Umar Ibn Abbas Azis menyuruh ulama secara resmi
untuk membukukan hadis-hadis Nabi. Khalifah ini juga bersahabat dengan
Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariyah yang kemudian menjadi
dokter pribadinya.[7]
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi
menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua
bagian:
2. Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu Alquran, al-hadist, al-Fiqh, al-
ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
3. Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh
kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu
eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
4. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada
di      zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-
ilmu lughah, syair,  khitabah dan amsaal.

Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim


membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-
Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap
tafsir Alquran. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut
adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan Alquran dengan riwayat dan
isnaad. Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat
Alquran dicari dalam al-Hadis. Karena terdapat banyak hadis yang bukan
hadis, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-hadis,
yang akhirnya menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya. Maka
kitab tentang ilmu hadis mulai banyak dikarang oleh orang-orang Muslim.
Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-
Zuhry, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-
Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi.

3. Kemajuan bidang Ekonomi


Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang
luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu
memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri
taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia
Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari
negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus
memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir,
Suriah dan Irak.

8
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan diadakan pergantian
mata uang. Ia mengeluarkan mata uang logam Arab. Sebelumnya, pada
masa Nabi Muhammad saw., dan khalifah Abu Bakar, mata uang Romawi
dan Persia khususnya pada masa khalifah Umar bin al-Khattab telah
banyak yang rusak.
Pembaharuan mata uang yang dilakukan adalah jenis mata uang
baru yang bisa dibilang sebagai mata uang resmi pemerintahan Islam.
Mata uang tersebut terbuat dari emas, perak dan perunggu yang dalam
bahasa Romawi disebut dengan Dinar (uang emas), Dirham (uang perak)
dan Fals atau Fuls (uang perunggu).[10]
Gubernur Irak yang pada waktu itu dijabat oleh Hajjaj bin Yusuf
ternyata banyak melakukan perbaikan dan pembangunan di Irak ketika ia
menjadi gubernur di wilayah itu. Ia berhasil memakmurkan negeri itu
setelah diporak-porandakan oleh peperangan yang berlangsung selama
kurang lebih 20 tahun. Ia memperbaiki irigasi dengan mengalirkan air
Sungai Tigris dan Eufrat jauh ke pelosok negeri, sehingga kesuburan tanah
pertanian terjamin. Ia melarang keras perpindahan orang desa ke kota.
Kehidupan ekonomi pun dibangun dengan memperbaiki system keuangan,
alat timbangan, takaran dan ukuran. Ia juga menyempurnakan tulisan
mushaf Al’quran dengan membubuhkan tanda titik pada huruf tertentu.
[11]
Masa pemerintahan al-Walid I menampakkan puncak kejayaan
dinasti Umayyah. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas sampai ke
spanyol di barat dan Sind (India) di Timur. Kesejahteraan rakyat mendapat
perhatian besar. Ia mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan
hidup dan menyediakan guru untuk mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia
menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang buta diberi penuntun
dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan bangunan
khusus untuk orang kusta agar mereka dapat dirawat sesuai dengan
persyaratan kesehatan. Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama
jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu digali sumur untuk menyediakan
air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur tersebut
ia mengangkat pegawai. Peninggalan al-Walid yang masih dapat
disaksikan sampai kini adalah Masjid Agung Damaskus.
Sektor industri tak luput dari perhatian Umayyah dengan
peningkatan produksi handycraft. Industri ini menjadi tulang punggung
ekonomi setelah pertanian.[12]
Abdul Malik bin Marwan mengembangkan lembaga ata’ atau
pembagian harta rampasan perang secara perlahan-lahan kepada bangsa
Syiria. Ketika Yazid I terancam keresahan di Iraq dan pemberontakan Ibnu
Zubair di Hijaz, dia merasa berkewajiban untuk menyerahkan garnizum
Cyprus kepada Syiria yang praktis merupakan satu-satunya kelompok
pasukan yang mendapat pembayaran gaji, demikian pula pasukan yang
memblokade Ibnu Zubair di Mekkah dibayar 100 dinar.[13]
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M), ia terkenal dengan
kesederhaan, keadilan dan kebijaksanaannya. Sebelum menjadi khalifah,

9
hidupnya diliputi oleh kemewahan dan kemegahan. Sebagai seorang
bangsawan, ia memiliki kekayaan yang melimpah dan gaya hidup
gemerlap. Setelah menjadi khalifah, gaya hidupnya berubah. Ia memilih
hidup sangat sederhana, ia menjual pakaian dan perhiasannya yang bagus
dan mahal, lalu memasukkkan hasilnya ke dalam perbendaharaan Negara
(baitul mal).
Selanjutnya ia melakukan pembersihan di kalangan keluarga Bani
Umayyah. Tanah-tanah atau harta orang lain yang pernah diberikan
kepada orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitulmal. Kebijakannya
di bidang fiskal mendorong orang non-muslim untuk memeluk agama
Islam.[14]
Umar bin Abdul Aziz pernah menghimpunkan sekumpulan ahli
fikih dan ulama kemudian beliau berkata kepada mereka: “Aku
menghimpunkan kamu semua untuk bertanya pendapat tentang perkara
yang berkaitan dengan barangan yang diambil secara zalim yang masih
berada bersama-sama dengan keluarga aku?” Lalu mereka menjawab:
“Wahai Amirul Mukminin! perkara tersebut berlaku bukan pada masa
pemerintahan kamu dan dosa kezaliman tersebut ditanggung oleh orang
yang mencerobohnya.” Walau bagaimanapun Umar tidak puas hati dengan
jawapan tersebut sebaliknya beliau menerima pendapat daripada kumpulan
yang lain termasuk anak beliau sendiri Abdul Malik yang berkata kepada
beliau: “Aku berpendapat bahawa ia hendaklah dikembalikan kepada
pemilik asalnya selagi kamu mengetahuinya. Sekiranya kamu tidak
mengembalikannya, kamu akan menanggung dosa bersama-sama dengan
orang yang mengambilnya secara zalim.” Umar berpuas hati mendengar
pendapat tersebut lalu beliau mengembalikan semula barangan yang
diambil secara zalim kepada pemilik asalnya.[15]
Khalifah Umar bin Abdul Azis juga memperingan pajak yang
diwajibkan kepada Kaum Nasrani di Cyprus dan Eilah (dekat laut merah).
Ia memperlakukan kaum mawali Muslimin (bekas-bekas budak yang telah
memeluk Islam) dengan perlakuan seperti yang diberikan kepada kaum
Muslimin Arab. Mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak yang
dahulu ditetapkan oleh khalifah Umar ibnul Khattab. Ia juga mengizinkan
kaum muslimin memiliki tanah-tanah lahan di negeri-negeri yang
termasuk di dalam wilayah kekuasaan Islam.[16]
Selama masa pemerintahannya, Umar melakukan berbagai
perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan
lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan
tempat penginapan bagi para musafir, perbanyakan masjid dan lain-lain.
Orang sakit mendapat bantuan dari pemerintah. Dinas pos juga diperbaiki
agar tidak hanya melayani pengiriman surat resmi para gubernur dan
pegawai khalifah atau sebaliknya, tetapi juga melayani pengiriman surat
rakyat.[17]
Kesejahteraan masyarakat digambarkan oleh Umar bin Usaid
dalam ungkapannya; Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal
hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam

10
jumlah besar dan dia berkata “salurkan harta ini sesuai dengan
kehendakmu”, ternyata tidak ada yang berhak menerima harta itu.
Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia berkecukupan”.
[18]
Upaya untuk meningkatkan perekonomian itu, diantaranya
dilakukan dengan membangun sarana jalan dan bendungan guna
menunjang kelancaran transportasi dan meningkatkan penghasilan
masyarakat. Pembangunan perkebunan kapas dan pabrik tenun
kesungguhan bagi kemajuan ekonomi masyarakat.[19]

4. Kemajuan bidang Administrasi


Guna memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi
kenegaraan yang semakin kompleks. Administrasi pemerintahan pada
masa Bani Umayyah meliputi; jabatan khalifah (kepala negara) yang
memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan jabatan-jabatan dan jalannya
pemerintahan, wizarah (kementerian) yang bertugas membantu atau
mewakili khalifah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, kitabah
(kesekretariatan), dan hijabah (pengawalan pribadi). Selain mengangkat
majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu
oleh beberapa orang “al-Kuttab (secretaries) untuk membantu pelaksanaan
tugas, yang meliputi:
1. Katib ar-Rasail; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
2. Katib al-Kharraj; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran Negara.
3. Katib al-Jundi; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal
yang bekaitan dengan ketentaraan.
4. Katib as-Syurtah; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5. Katib al-Qudat; sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib
hokum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.

Perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan


umum dilaksanakan oleh khalifah Abdul Malik dan gubernurnya. Di
bidang administrasi pemerintahan ia memerintahkan penggunaan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor pemerintah. Sebelum
itu bahasa Yunani di di gunakan di Suriah, bahasa Persia dan bahasa
Qibti di Mesir. Abdul Azis bin Marwan, saudara Abdul Malik yang
menjadi gubernur di Mesir, berjasa dalam pembangunan Mesir pada
masanya. Ia membuat pengukur air Sungai Nil, membangun jembatan
dan memperluas Masjid Jami Amr bin As.
Hisyam bin Abdul Malik (106-126 H/724-743M) dikenal
sebagai khalifah yang cermat dan teliti. Ia memperbaiki administrasi
keuangan Negara sehingga pemasukan dan pengeluaran berjalan
dengan teratur tanpa terjadi penggelapan atas uang baitulmal. Karena
sangat teliti di bidang keuangan, ia dianggap sebagai khalifah yang

11
pelit. Uang Negara tidak bias dikeluarkan kecuali untuk hal yang sangat
perlu sekali.[22]
D. MASA KEMUDURAN DINASTI UMAYYAH
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak
berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak
mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang
menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah
diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan
anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-
gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah
tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat
kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk
mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang
terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi
(penggabungan) kekuatan kembali.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya
Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan tersebar luas.
Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah
pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan
kaum Mawali.. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan
oposisi lainnya, yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair. 
Abdullah ibn Zubair membina gerakan oposisinya di Makkah setelah dia
menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan
dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh.
Untuk memperoleh dukungan Ia menyanjung-nyanjung Husein dan
menjelek-jelekkan bani Umayyah. [15] Gerakan Abdullah ibn Zubair baru
dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abd al-Malik.
Hubungan pemerintah dengan gerakan oposisi membaik pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Sepeninggal
Beliau, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd
al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat
yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada
zamannya berubah menjadi kacau. 
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah
berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman
Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman
yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini,
mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan
dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah

12
seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan
oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya. [16]
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani
Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal
ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M,
Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu
Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani
Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah selama kurang
lebih 90 tahun ternyata tidak mampu menahan kehancurannya akibat
kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak
luar. Adapun faktor-faktor yang membawa kehancuran Bani Umayyah
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
 Ketidakcakapan para penguasa serta kejahatan perilaku mereka
merupakan faktor utama hancurnya kekuasaan dinasti ini.
 Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang
baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
 Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok Mudariyah (Arab Utara) yang
menempati Irak dan kelompok Himyariah (Arab Selatan) yang berdiam
di wilayah Suriah.
 Egoisme para pejabat pemerintahan dan terjadinya pembelotan militer.
 Perlakuan yang tidak Adil terhadap non-Arab (Mawali).
 Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab.
 Propaganda dan gerakan Syi’ah.
 Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian
luas wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus
administrasi dengan baik, tambah lagi dengan sedikitnya jumlah
penguasa yang berwibawa untuk dapat menguasai sepenuhnya wilayah
yang luas itu.
 Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat
dilepaskan dari konflik-konflik politik.
 Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-
anak Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala
mereka mewarisi kekuasaan.
 Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada
khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya,
sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat.
 Propaganda dan gerakan Abbasiah. Propaganda kelompok Abbasiyah
secara gencar menyerang segi-segi negatif dan kelemahan-kelemahan
sepanjang pemerintahan dinasti Umayyah.

13

You might also like