You are on page 1of 4

Gugatan dalam Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan oleh

KPKNL
 Jum'at, 29 Maret 2019   |    7063 kali

       
Pengertian Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sedangkan lelang Hak Tanggungan
adalah lelang untuk melaksanakan Pasal 6 UUHT yaitu, “Apabila debitor cidera janji, pemegang
Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut.” Lelang Hak Tanggungan akan terlaksana jika ada permohonan dari
pemohon lelang dan berkas telah dinyatakan lengkap dan benar secara prosedural. Dalam
permohonan lelang terdapat syarat-syarat kelengkapan dokumen yang terdiri dari : fotokopi
Perjanjian Kredit, Sertifikat Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Sertifikat Hak
Milik dan berkas-berkas lainnya. Prosedur permohonan dalam pengajuan lelang Hak
Tanggungan kreditor menyampaikan surat permohonan penetapan jadwal lelang dengan
dilengkapi dokumen yang bersifat khusus diantaranya, fotokopi Perjanjian Kredit, fotokopi
Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, fotokopi sertifikat hak atas
tanah yang dibebani Hak Tanggungan, fotokopi Perincian Hutang debitor, fotokopi surat
peringatan, surat pernyataan dari kreditor selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung
jawab apabila terjadi gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana dan fotokopi Laporan penilaian
barang jaminan.
Klausula yang terdapat pada Akta Pemberian Hak Tanggungan menyatakan bahwa jika
debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang
piutang, kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama diberi dan menyatakan
menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitor
untuk :
a.    Menjual atau suruh menjual dihadapan umum secara lelang Objek Hak Tanggungan baik
seluruhnya maupun sebagian-sebagian;
b.    Mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c.    Menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;
d.    Menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;
e.    Mengambil dari uang hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang debitor
sesuai dengan Pasal 6 UUHT yang berbunyi, “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.”
Dalam pelaksanaan di lapangan sebelum mengajukan permohonan lelang ke KPKNL
(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) pihak Bank telah melakukan peringatan secara
patut kepada debitor yang mengalami kredit macet yang dibuktikan dengan surat peringatan
pertama, kedua dan ketiga. Surat peringatan tersebut harus sudah dilampirkan pada saat
pengajuan permohonan lelang. Setelah dilakukan pemanggilan dan ternyata tidak ada itikad baik
dari debitor untuk memenuhi kewajiban serta tidak ada alasan yang dapat dijadikan
pertimbangan (misalkan keadaan overmacht) maka debitor tersebut dinyatakan wanprestasi
(suatu kondisi dimana debitor berada dalam keadaan lalai). Atas dasar tersebut Bank mengajukan
permohonan lelang kepada KPKNL untuk ditetapkan pelaksanaan lelang.
Meskipun pelaksanaan lelang telah sesuai dengan prosedur sebagaimana yang diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 Tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Lelang jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang namun tidak menutup kemungkinan adanya gugatan yang diajukan
ke Pengadilan. Pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh KPKNL sering mendapat
gugatan dari pihak debitor maupun pihak lain yang merasa kepentingannya dirugikan. Gugatan
perdata yang dilakukan biasanya dalam bentuk perlawanan sebelum pelaksanaan lelang maupun
gugatan yang diajukan setelah pelaksanaan lelang. Pada tahun 2017 terdapat lima gugatan
perbuatan melawan hukum dan tahun 2018 terdapat satu gugatan yang diajukan oleh pihak
ketiga dan lima gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan ke Pengadilan Negeri
Samarinda dengan KPKNL Samarinda sebagai pihak yang ikut berperkara.
Mayoritas timbulnya gugatan disebabkan oleh ketidakpuasan debitor atas pelaksanaan
lelang Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh Bank yang bersangkutan kepada KPKNL
Samarinda. Pada dasarnya tidak semua gugatan yang diajukan ke KPKNL sebelum pelaksanaan
lelang dapat secara langsung membatalkan pelaksanaan lelang, hanya gugatan yang diajukan
pihak ketiga dan berkaitan dengan barang jaminan saja yang dapat menunda pelaksanaan lelang.
Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau
berdasarkan penetapan atau putusan dari lembaga peradilan yang disampaikan secara tertulis dan
harus sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat sebelum lelang dimulai.
Pada HIR dan Rbg dijelaskan bahwa perlawanan pihak ketiga terhadap sita conservatoir,
sita revindacatoir dan sita eksekusi, hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi hanya dapat
diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita
(Pasal 195 (6) HIR, Pasal 206 (6) RBg). Pihak ketiga yang dimaksud yang melakukan
perlawanan adalah pihak ketiga yang akan dieksekusi yang mengaku sebagai miliknya
(pemegang hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai, termasuk penanggungan hak tanggungan dan hak
sewa) dan penyewa yang obyeknya bukan tanah. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menjelaskan terkait gugatan
pelaksanaan lelang yaitu “Dalam hal terdapat gugatan sebelum pelaksanaan lelang terhadap
objek Hak Tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri
debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT tidak dapat
dilaksanakan.”
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah alasan diajukannya gugatan oleh debitor maupun
pihak ketiga. Bagi debitor apakah alasan tersebut berkaitan dengan adanya unsur perbuatan
melawan hukum antara kreditor dan debitor atau alasan yang sifatnya hanya untuk mengganggu
atau menunda dilaksanakannya lelang maupun eksekusi barang jaminan lelang. Sedangkan pada
perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga, alasan diajukannya perlawanan harus dapat
dibuktikan dan cukup beralasan misalkan pihak ketiga adalah orang yang menyewa rumah yang
akan dieksekusi selama lima tahun namun baru berjalan satu tahun yang digunakan untuk
menjalankan usaha.
Kemudian yang menjadi permasalahan selanjutnya apabila seorang tereksekusi lelang
masih menempati atau menguasai fisik atas barang lelang yang laku terjual. Secara aturan, hak
orang yang dijual barangnya pindah kepada pembeli segera setelah perjanjian jual beli ditutup.
Untuk menguatkan kedudukan pemenang lelang, Kantor Lelang memberi surat keterangan
kepada pembeli (Pasal 200 ayat 10 HIR, 218 ayat 1 Rbg). Dengan dasar-dasar tersebut, orang
yang masih menempati barang jaminan yang telah laku lelang harus meninggalkan barang
jaminan tersebut. Jika debitor masih bersikeras menguasai barang laku lelang tersebut, maka
pemenang lelang meminta penerbitan grosse lelang untuk pengosongan lelang yang akan
disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk bantuan pengosongan. Kemudian Ketua Pengadilan
Negeri setempat membuat surat perintah kepada juru sita supaya dengan bantuan Pengadilan
Negeri, jika perlu dengan bantuan polisi, barang tetap itu ditinggalkan atau dikosongkan olehnya
beserta keluarganya (Pasal 200 ayat 11 HIR, 218 ayat 2 Rbg).
Pelaksanaan eksekusi riil ini diawali dengan permohonan grosse yang disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh pemenang lelang selaku pemilik hak.
Berdasarkan permohonan tersebut Ketua Pengadilan Negeri menindaklanjutinya dengan
melakukan aanmaning. Dalam hal tereksekusi tersebut tidak mengosongkan barang lelang secara
sukarela maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan berupa perintah kepada Juru
Sita untuk mengeksekusi secara paksa dan bila perlu dengan bantuan polisi dengan disaksikan
oleh dua orang saksi. Atas pelaksanaan eksekusi tersebut Juru Sita wajib membuat berita acara
eksekusi yang ditandatangani oleh Juru Sita dan dua orang saksi.
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang dapat membatalkan pelaksanaan
lelang sebagai berikut:
a.    Permintaan Penjual, paling lambat surat permintaan pembatalan diterima sebelum pelaksanaan
lelang di mulai;
b.    Penetapan atau putusan dari lembaga peradilan;
c.    Adanya gugatan dari pihak ketiga terkait dengan barang jaminan, dengan ketentuan apabila ia
sebagai pemegang hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai, termasuk penanggungan hak tanggungan
dan hak sewa;
d.    Adanya gugatan pihak ketiga sebagai penyewa yang obyeknya bukan tanah (dibuktikan dengan
dokumen-dokumen pendukung yang memperkuat gugatan).
 
Daftar Pustaka
1. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2010, Yogyakarta;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang;
4. Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 Tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

 
Detami Pradiksa/Pelaksana di Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Samarinda

You might also like