You are on page 1of 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ATINIA UTERI

A. Pengertian Atonia Uteri

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR,
Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)

Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam


berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga
didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir
(Sarwono, 2006).

Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat


adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta
selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan
ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan
menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah
manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.

B. Penyebab Atonia Uteri


Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain:
1. Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a. kehamilan ganda
b. poli hidramnion
c. makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
2. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-
otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
3. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari
uterus segera setelah plasenta lahir.
4. Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum
adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium
sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6. Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan,
ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot
uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7. Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang
potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan
menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
8. Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing
menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
10. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk
berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan
magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11. Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus
berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
12. Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere
diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
Beberapa faktor Predisposisi yang lainnya yang terkait dengan
perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya
adalah:
1. Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan,
diantaranya :
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada pre eklamsi /
eklamsia.
Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
Menurut Roestman (1998), faktor predisposisi terjadinya Atonia Uteri
adalah :
1. Umur : umur yang terlalu muda atau tua
2. Paritas : sering dijumpai pada multipara dan grademultipara
3. Obstetri operatif dan narkosa
4. Uterus terlalu diregang dan besar, pada gemeli, hidramnion, atau janin besar
5. Kelainan pada uterus seperti mioma uteri
6. Faktor sosio ekonomi yaitu mal nutrisi

C. Tanda dan Gejala Atonia Uteri


Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah
tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal
ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah.
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal
4. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual dan lain-lain.
D. Pencegahan Pada Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko


perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu


onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi
tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah
bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20
unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus
IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin
ternyata lebih efektif dibanding oksitosin. Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir
ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.
E. Penatalaksanaan Atonia Uteri
1. Penanganan Umum
a. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas
tindakan gawat darurat.
b. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
c. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok
tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu
tersebut dapat memburuk dengan cepat. 
d. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian
cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.
e. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik.
f. Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah
yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif.
berikan 10 unit oksitosin IM.
g. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
h. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina,
dan perineum.
i. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadar Hemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah
asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
2. Penanganan Khusus
a. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
b. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi uterus
yang menghentikan perdarahan.
c. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
d. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan
uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami
laserasi dan jahit atau rujuk segera.
e. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput
ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah
kosong.
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai
kebutuhan. Jika perdarahan terus berlangsung:
a. Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap, Jika terdapat tanda-tanda sisa
plasenta (tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran
dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut. Lakukan uji
pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7
menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah
menunjukkan adanya koagulopati. Jika perdarahan terus berlangsung dan
semua tindakan di atas telah dilakukan, lakukan: Kompresi bimanual internal
atau Kompresi aorta abdominalis dan Lakukan kompresi bimanual internal
(KBI) selama 5 menit.
b. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus tidak
berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2
mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum
ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500
ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau ibu
dengan seksama selama kala empat.
c. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:

a. Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika. 


b. Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah
ligasi.

3. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal
yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring
tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
4. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang
akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya
plasenta (max 15 detik).
a. Jika uterus berkontraksi
Evaluasi : jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit
atau rujuk segera.
b. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
1) Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lobang
serviks.
2) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
3) Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat. Jika uterus tidak
berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2
mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum
ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml
pertama secepat mungkin; Ulangi KBI.
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat.
Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.
5. Retensio Plasenta
a. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. Jika
pemeriksa dapat merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta
tersebut.

b. Pastikan kantung kemih kosong. Jika diperlukan, lakukan kateterisasi kantung


kemih.
c. Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 IU secara I.M. jika belum
dilakukan pada penanganan aktif kala.
d. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan
uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali.
e. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk melakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
f. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana
g. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika.
6. Inversio Uterus
a. Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan/darah
pengganti dan pemberian obat.
b. Beberapa memberikan tokolitik untuk melemaskan uterus yang berbalik
sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas
masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke
dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta
sudah terlepas atau tidak.
c. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uteronika lewat infus atau i.m.
tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal.
d. Pemberian antiobiotika dan tranfusi darah sesuai dengan keperluannya.
e. Intervensi bedah dilakukan bila jepitan serviks yg keras menyebabkan
manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk
reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis.
7. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke
dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri.
Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri
menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina
untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih
kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan
tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi
sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika
broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam,
sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing
diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak
memungkinkan dilakukan operasi.
8. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka
keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang
berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim.
Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang
absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial
vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum
latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina
dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting
untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika
langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah
rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral
pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi
ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah
rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih
terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a. Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel
dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial
kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan
eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan
benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan
femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
b. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh
Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk
mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
c. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika
terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada
persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
9. Uterotonika
Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi
kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis
maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika
diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi,
dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan
pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian
secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi
perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit
kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat
hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif
untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan
angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan pemakaian
Uterotonika untuk menghindari perdarahan masif yang terjadi.
10. Kompresi Uterus Bimanual.
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan
dengan tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik :
a. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak
diperlukan,
b. Eksplorasi dengan tangan kiri 
c. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.Tangan kanan (luar) menekan
dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang
atas. 
d. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar,ia tidak hanya
menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga
menyempitkan lumennya.

Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu


10-15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering
menghentikan perdarahan secara sempurna.Bila uterus refrakter oksitosin, dan
perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi tetap
merupakan tindakan terakhir.
DAFTAR PUSTAKA

Rukiyah, ali yeyeh dan Lia yulianti. 2010. Asuhan kebidanan IV ( Patologi kebidanan ),
Jakarta Timur : CV.Trans Info Media

Prawirohardjo, sarwono. 2009. Buku ilmu kebidanan, Jakarta  : PT BINA PUSTAKA

Manuaba. 2007. Pengantar kuliah obstetric , Jakarta : EGC

Depkes RI. 2007. Asuhan Persalinan Normal ,Jakarta : JNPK-KR/POGI dan JHPIEGO
Corporation

Rohani dkk. 2011. Asuhan Kebidanan pada masa Persalinan , Jakarta : Salemba Medika

Prawirohardjo, sarwono. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal


dan Neonatal, Jakarta  : PT BINA PUSTAKA
SYOK HIPOVOLEMIK

A. Pengertian
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang
menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah
tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan.
Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa cedera. syok hipovolemik merupakan
suatu keadaan dimana volume cairan tidak adekuat didalam pembuluh darah.
akibatnya perfusi jaringan.
Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah ≥15%, sehingga
menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan dan
penumpukan sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya volume intravaskular dapat
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena
oligemia, hemoragi, atau kebakaran.
Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan
penurunan volume intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen
intraselular dan ekstraseluler. Cairan intra seluler menempati hamper 2/3 dari air
tubuh total sedangkan cairan tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu
kompartemen intravascular dan intersisial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira
3-4x dari cairan intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan volume
intavaskuler 15% sampai 25%.
Tahap Syok Hipovolemik
1 Tahap I :
a. terjadi bika kehilangan darah 0-10% (kira-kira 500ml)
b. Terjadi kompensasi dimana biasanya Cardiak output dan tekanan darah masih
dapat Dipertahankan
2. Tahap II:
a. terjadi apabila kehilanagan darah 15-20%
b. tekanan darah turun, PO2 turun, takikardi, takipneu, diaforetik, gelisah, pucat.
3. Tahap III
a. bila terjadi kehilengan darah lebih dari 25%
b. terjadi penurunan : tekanan darah, Cardiak output,PO2, perfusi jaringan secara
cepat
c. terjadi iskemik pada organ
d. terjadi ekstravasasi cairan
Klasifikasi
1.      Kehilangan cairan
Akibat diare, muntah-muntah atau luka bakar, bisa berakibat dehidrasi. Derajat
dehidrasi:
Tanda klinis Ringan Sedang Berat
Defisit 3-5% 6-8% >10%
Hemodinamik Takikardi, nadi Takikardi, nadi sangat Takikardi, nadi
lemah lemah, volume kolaps, tak teraba, akral
hipotensi ortostatik dingin, sianosis
Jaringan Lidah kering, Lidah keriput, turgor Atonia, turgor
turgor turun kurang buruk
Urine pekat Jumlah turun oliguria
SSP mengantuk apatis coma

2.     Perdarahan
Syok yang diakibatkan oleh perdarahan dapat dibagai dalam beberapa kelas:
Variabel Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Sistolik (mmHg) >110 >100 >90 <90
Nadi (x/mnt) <100 >100 >120 >140
Napas (x/mnt) 16 16-20 21-26 >26
Mental Anxious Agitated Confused Lethargic
Kehilangan darah <750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml
<15% 15-30% 30-40% >40%
B. Etiologi
1. Absolut
a. kehilangan darah dan seluruh komponennya
1) trauma
2) pembedahan
3) perdarahan gastrointestinal
b. kehilangan plasma
1) luka bakar
2) lesi luas
c. kehilangan cairantubuh lain
1) muntah hebat
2) diare berat
3) diuresis massive
2. Relatif
a. kehilangan integritas pembuluh darah
1) Ruptur limpa
2) Fraktur tulang panjang Atau pelvis
3) Pankreatitis hemoragi
4) Hemothorax / hemoperitoneum
5) Diseksi arteri
b. peningkatan permeabilitas
1) membran kapiler
2) sepsis
3) anaphylaxis
4) luka bakar
c. penurunan tekanan osmotik koloid
1) pengeluaran sodium hebat
2) hypopituitarism
3) cirrhosis
4) obstruksi intestinal
C. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin. Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat
dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga
melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur
pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang
selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.
Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan
darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh
baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di
paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot
polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle

D. Tanda Dan Gejala


Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respon kompensasi.
Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan
jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup
besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. (Toni
Ashadi, 2006).
Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan
hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam
beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah menurut Toni Ashadi, 2006 adalah:
1. Kilit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler
selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2.  Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon
homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke
homeostasis penting untuk hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke
mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3.  Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70 mmHg.
4.  Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sel Darahh Puti : Ht mungkinmeningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi. Leukopenia ( penurunan SDP ) terjadi sebelumnya, dikuti
oleh pengulangan leukositosis ( 15.000 – 30.000 ) dengan peningkatan pita
( berpiondah ke kiri ) yang mempublikasikan produksi SDP tak matur dalam
jumlah besar.
2. Elektrolit serum ; berbagai ketidak seimbangan mungkin terjadi dan
menyebabkan asidosis, perpindahan cairan, dan perubahan fungsi ginjal.
3. Pemeriksaan pembekuan : Trombosit terjadi penurunan ( trombositopenia )
dapat terjadi karena agregasi trombosit. PT/PTT mungkin memanjang
mengindentifikasikan koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia hati /
sirkulasi toksin / status syok.
4. Laktat serum meningkat dalam asidosis metabolic,disfungsi hati, syok.
5. Glukosa serum terjadi hiperglikemia yang terjadi menunjukan glukoneogenesis
dan glikogenolisis di dalam hati sebagai respon dari perubahan selulaer dalam
metabolisme.
6. BUN/Kr terjadi peningkatan kadar disasosiasikan dengan dehidrasi ,
ketidakseimbangan / gagalan hati.
7. GDA terjadi alkalosis respiratori dan hipoksemia dapat terjadi sebelumnya
dalam tahap lanjut hioksemia, asidosis respiratorik dan asidosis metabolic terjadi
karena kegagalan mekanismekompensasi.
8. Urinalisis adanya SDP / bakteri penyebab infeksi. Seringkali muncul protein dan
SDM.
9. Sinar X film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindentifikasikan
udara bebas didalam abdomen dapat menunjukan infeksi karena perforasi
abdomen / organ pelvis.
10. EKG dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T dan disritmia
yang menyerupai infark miokard.
F. PENGKAJIAN
1. Aktifitas
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda :
 Tekanan darah normal/ sedikit dibawah normal ( selama hasil curah jantung
tetap meningkat ).
 Denyut perifer kuat, cepat ( perifer hiperdinamik ): lemah/lembut/mudah
hilang, takikardi ekstrem ( syok ).
 Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi
miokard, efek dari asidosis/ketidak seimbangan elektrolit.
 Kulit hangat, kering, bercahaya ( vasodilatasi ), pucat,lembab,burik
( vasokontriksi ).
3. Eliminasi
Gejala : Diare
4. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, Mual, Muntah.
Tanda : Penurunan haluaran, konsentrasi urine, perkembangan ke
arah
oliguri,anuria.
5. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Kejang abdominal,lakalisasi rasa sakit/ketidak nyamanan
urtikaria,pruritus.
6. Pernapasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan,penggunaan
kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral.
Suhu : umumnya meningkat ( 37,9 ° C atau lebih ) tetapi
mungkin normal pada lansia atau mengganggu pasien, kadang
subnormal..
Menggigil.
Luka yang sulit / lama sembuh, drainase purulen,lokalisasi
eritema.
Ruam eritema macular.

G. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam mekanisme
pengaturan.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung
Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Defisit Volume Cairan NOC: NIC :


 Fluid balance Fluid management
 Hydration  Timbang popok/pembalut jika
 Nutritional Status : Food and diperlukan
Fluid Intake  Pertahankan catatan intake dan output
Kriteria Hasil : yang akurat
 Mempertahankan urine  Monitor status hidrasi ( kelembaban
output sesuai dengan usia dan membran mukosa, nadi adekuat,
BB, BJ urine normal, HT tekanan darah ortostatik ), jika
normal diperlukan
 Tekanan darah, nadi, suhu  Monitor hasil lAb yang sesuai dengan
tubuh dalam batas normal retensi cairan (BUN , Hmt ,
 Tidak ada tanda tanda osmolalitas urin )
dehidrasi, Elastisitas turgor  Monitor vital sign
kulit baik, membran mukosa  Monitor masukan makanan / cairan
lembab, tidak ada rasa haus dan hitung intake kalori harian
yang berlebihan
 Kolaborasi pemberian cairan IV
 Monitor status nutrisi
 Berikan cairan
 Berikan diuretik sesuai interuksi
 Berikan cairan IV pada suhu ruangan
 Dorong masukan oral
 Berikan penggantian nesogatrik sesuai
output
 Dorong keluarga untuk membantu
pasien makan
 Tawarkan snack ( jus buah, buah segar
)
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul meburuk
 Atur kemungkinan tranfusi
 Persiapan untuk tranfusi

2 Penurunan kardiak output NOC: Cardiac care: akut


Setelah dilakukan intervensi - Evaluasi adanya nyeri dada
keperawatan pada klien selama - Auskultasi suara jantung
5x24 jam - Evaluasi adanya krackels
- Klien dapat memiliki pompa - Monitor status neurology
jantung efektif, - Monitor intake/output, urine output
- status sirkulasi, perfusi jaringan - Ciptakan lingkungan yang kondusif
& status tanda vital yang untuk istirahat
normal.
Kriteria Hasil: Cirkulatory care;
- menunjukkan kardiak output - evaluasi nadi dan edema perifer
adekuat yang ditunjukkan dg - monitor kulit dan ekstrimitas
TD, nadi, ritme normal, nadi - monitor tanda-tanda vital
perifer kuat, melakukan - pindah posisi klien setiap 2 jam jika
aktivitas tanpa dipsnea dan nyeri diperlukan
- bebas dari efek samping obat - ajarkan ROM selama bedrest
yang digunakan - monitor pemenuhan cairan
Daftar Pustaka

Asuhan keperawatan pada pasien shock hypovolemik, dilihat 18 Mei 2017.darurat/


_asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_shock_hypovolemik.pdf
Carpenito, 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta.
Doenges Marilynn E, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit
Buku Kedikteran EGC, Jakarta.
Johnson & Mass,2004, Nursing Outcomes Classifications, Second edition, By
Mosby-Year book.inc, Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Rab, tabrani. 2000. Pengatasan Shock. Jakarta. EGC.
Syok Hipovolemik. http://forum.blogbeken.com/kedokteran/syok-hipovolemik/. 18
Mei 2017

You might also like