You are on page 1of 81

PENGANTAR ETIKA KRISTEN

Dr. Jan Boersema

Cetakan 2. Delima 2020

1 Pengantar Etika Kristen.


Daftar isi

2 Daftar isi
3 1. Moral dan etika
Prakata
Definisi
7 2. Etika umum dan etika Kristen
13 3. Wayne Grudem, Christian ethics.
18 4. Sekularisasi
Charles Taylor, A Secular age
Herman Paul, Shopping pada masa Adven
22 5. Utilisme atau deontologi? Atau etika kebajikan? Atau etika
nilai? Kewajiban yang bertabrakan?
30 6. Kitab Suci sebagai sumber etika.
Christopher Wright, segitiga etika.
34 7. Kasih sebagai inti hukum.
Adiafora. Siapa sesamaku? Mengasihi musuh.
Peraturan emas. Mengasihi diri.
Etika situasi.
38 8. Kesepuluh hukum (hukum 1-4)
44 9. Kesepuluh hukum (hukum 5)
Taat kepada pemerintah
Berperang
49 10. Kesepuluh hukum (hukum 6)
Etika medis
54 11. Kesepuluh hukum (hukum 7)
Nikah adat. Nikah gereja.
Penceraian.
Homoseksualitas. Pelecehan seksual
63 12. Kesepuluh hukum (hukum 8-10)
Etika lingkungan. ‘Stewardship’.
Budaya.
70 13. Kebebasan Kristiani dan hukum
Kebebasan
Fungsi hukum yang bertiga. Lex naturalis.
Etika jemaat. Kasuistik.
Perfeksionisme. Kompromis
Suara hati
76 Kata akhir
78 Kepustakaan

2 Pengantar Etika Kristen.


1. Moral (moril) dan etika.

A. Prakata

Dalam setiap budaya dan agama manusia membahas ‘moral’ dan ‘etika’. Kata-kata itu
menunjukkan kelakuan yang baik. Kedua kata sering ditukar, namun lebih baik kalau kedua
istilah tersebut dibedakan, yaitu bahwa ‘moral’ merupakan deskripsi kelakuan itu dan etika
merupakan ilmu atau pertimbangan-pertimbangan tentang moral.
Ditemukan pula kata-kata sifat yang sesuai kedua kata benda tersebut, yaitu ‘moril’ dan ‘etis’.

Filsafat Barat dan juga teologia Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan Romawi, dan
disitu dikembangkan pertimbangan-pertimbangan etis yang berperan sampai sekarang. Kedua
kata tersebut berasal dari dunia Yunani/Romawi: moral datang dari kata bah. Latin ‘mos’,
dan etika dari kata bah. Yunani ‘ethos’. Dalam kedua bahasa klasik itu kata-kata ini
mempunyai arti yang sama, yakni ‘kebiasaan’ ‘perilakuan’, ‘adat’.

Sebuah kamus Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) membedakan etika dan moral sbb:
etika : ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral); moral : (ajaran tt) baik buruk
perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Sebuah istilah lain adalah kesusilaan, yang terdiri dari katakata Sanskerta ‘sila’, norma
kehidupan, dan ‘su’: baik. Dewasa ini kesusilaan sering dipakai dengan arti sopan santun,
tetapi pada akarnya artinya sama dengan etika (Brownlee).

Buku-buku agama Kristen tidak selalu memisahkan ajaran dan etika. Dalam karangan Yoh.
Calvin ‘Institutio’ (ajaran tentang agama Kristen), etika tercakup. Begitu dalam Karl Barth
‘Kirchliche Dogmatik’. Terdapat juga banyak buku etika kristen yang tidak bercampur
dengan pembahasan ajaran, tetapi pemisahan itu dibuat dengan dasar praktis saja, bukan
karena alasan prinsipiil.

Diktat ini bersandar dengan khusus pada karangan-karangan J. Douma, yang berjudul
Christelijke ethiek (Etika Kristen), dari tahun-tahun terakhir abad yang ke-XX. Di Indonesia
terkenal karangan-karangan Joh. Verkuyl, Etika Kristen. Dan walaupun terdapat pembedaan
waktu yang cukup terasa antara tahun-tahun Joh. Verkuyl (tahun 50-an dan 60-an abad
XX), dan tahun-tahun J.Douma (tahun 90-an abad XX, tahun 10-an abad XXI), dasar dan
alur pikiran Verkuyl dan Douma tidak berbeda.
J.Verkuyl, Etika Kristen, bagian umum, merupakan buku yang lengkap, dan yang tetap layak
dipakai. Mengapa demikian? Kami akan menyebut hanya satu hal:
Dalam pembicaraan tentang titik pangkal etika kristen, dibahas pentingnya antropologi bagi
etika. Tetapi itu dikaitkan dengan pemberitaan Alkitab tentang manusia, termasuk asal,
hakekat, dan perkembangan dosa, dan di sana juga dibahas dosa turunan dan masalah
kehendak yang bebas. “Sekarang kemungkinan manusia untuk tidak berbuat dosa (posse non
peccare) menjadi, sebagaimana dikatakan Augustinus, non posse non peccare, yaitu tidak
mungkin tidak berbuat dosa. Manusia yang sudah dalam keadaan berdosa tetap dapat
berprestasi: membangun kehidupan keluarganya, menyelenggarakan pemerintahan negara,
memajukan kebudayaan, memulai dengan percobaan-percobaan keagamaan, mendirikan

3 Pengantar Etika Kristen.


rumah ibadah dan istana dsb. Tetapi ada satu hal yang tak dapat dilakukannya dengan
kekuatannya sendiri, yaitu atas kemauan sendiri mengasihi Allah dan sesama manusia” 1.
Memang manusia tidak kehilangan semua kebebasan. Kebebasan untuk melakukan kejahatan
kini tetap ada, tetapi kebebasan untuk berbuat baik sudah lenyap. Kecuali jikalau ia dilahirkan
kembali oleh Roh Kudus.
Manusia telah menjadi seorang ‘roi dépossedé’ (raja yang diturunkan dari takhta), sesuai
perkataan Blaise Pascal: manusia penuh kebesaran dan penuh sengsara. Hidup baru, yang
hendak dibangun Allah di dalam diri kita dengan Roh-Nya adalah ‘restitutio imaginis Dei’:
pemugaran gambar Allah. Pembaharuan itulah dilukiskan Verkuyl sesuai keyakinan
Reformed, bukan secara kharismatik. Sebab Verkuyl menerangkan bahwa dalam diri manusia
tetap terdapat ‘manusia lama’ dan ‘manusia baru’, dan pandangan itu berbeda dengan
pandangan kharismatik bahwa seorang yang telah bertobat dan lahir kembali karena Roh tidak
berbuat dosa lagi 2.

Kami menggunakan juga Malcolm Brownlee, ‘Pengambilan keputusan etis, dan faktor-faktor
di dalamnya’, dari tahun 1981. Brownlee berkata bahwa buku Verkuyl sangat berguna, dan
bukunya sendiri bukan pengganti dari karangan Verkuyl. Verkuyl menerangkan dengan
khusus kesepuluh hukum sedangkan Brownlee lebih mengarahkan perhatiannya kepada
Alkitab sebagai keseluruhan dan menganggap bahwa perintah-perintah yang terdapat di
dalamnya tidak langsung berlaku sebagai perintah bagi kita.

Pada tahun 2018 ahli dogmatik Wayne Grudem mengeluarkan sebuah pedoman etika Kristen
yang lengkap, yaitu ‘Christian Ethics. An introduction to Biblical Moral Reasoning’. Grudem
membahas kesepuluh hukum satu per satu dan sangat terurai, sebagai kerangka bagi etika
kristen. Alasannya untuk mengikuti kesepuluh hukum adalah praktis, tidak prinsipiil. Sebab ia
tidak menganggap kesepuluh hukum sebagai hukum dasar untuk jemaat Perjanjian Baru.
Seorang teolog Injili lainnya, Patrick Nullens, menuliskan bersama dengan Ronald T.
Michener, ‘The Matrix of Christian Ethics. Integrating Philosophy and Moral Theology in a
postmodern context’ 2010. Buku ini bercorak filsafat. Mereka juga tidak bertolak daripada
kesepuluh hukum sebagai hukum dasar.
Grudem adalah seorang evangelical in Amerika Serikat, Nullens dan Michener bekerja di
Belgia.
Teolog-teolog dan filsof-filsof lainnya yang berbahasa Inggeris dan yang berpengaruh di
seluruh dunia adalah Alisdair Mc Intyre, Charles Taylor, Oliver O’Donovan, Stanley
Hauerwas, dan tak lupa juga karangan-karangan Tim Keller, yang buku-bukunya sering
mempunyai makna etis.

Terdapat juga buku pedoman etis dari sudut pandang khusus: Christopher J. Wright: ‘Old
Testament Ethics for the people of God’, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: ‘Hidup
Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama’, BPK 2007. Bagian umum buku ini tentang
‘segitiga etika’ akan kami nanti bahas dengan judul: Allah, tanah dan bangsa.
Buku terkenal yang lain adalah Glen H. Stassen & David P. Gushee, ‘Kingdom ethics’, yang
akan kami sebut dalam pelajaran tentang mengikuti Yesus Kristus (fasal 2). Terjemahan :

1 Joh. Verkuyl, Etika Kristen. I, Bagian umum, cet. 7, Jakarta 1982, 61,62.
2 Verkuyl, o.c., 179.

4 Pengantar Etika Kristen.


Etika Kerajaan, Momentum, 2010. Mereka membedakan empat lapis atau tingkat dalam
Alkitab, yaitu petunjuk khusus (particulars), petunjuk (rules), prinsip (principle), keyakinan
dasar (basic convictions). Nullens/Michener mengikuti pola pikir itu walaupun mereka
melihat sebagai kelemahannya bahwa ke-empat lapis itu sulit dibedakan. Sebagai contoh
untuk yang pertama: nasihat nabi Natan kepada raja Daud melalui ceritera (2 Sam. 12);
sebagai contoh untuk yang kedua: kesepuluh hukum; sebagai contoh untuk yang ketiga Mat.
22: 37-39, Mat. 7:12. Sebagai contoh untuk ke-empat: Mat. 5:9: Seorang Kristen selalu harus
mencerminkan karakter Allah yang mulia. Pokok terakhir itu terlihat juga dalam buku
Grudem dan buku Nullens/Michener, yaitu bahwa kita harus bertolak dari karakter moril
Tuhan Allah. Dalam pembahasan buku Grudem saya akan mempertimbangkan cara kerja itu
(fasal 3).

Henk ten Napel, ’Jalan yang lebih utama lagi. Etika Perjanjian Baru’,1997 menguraikan
semua bagian Perjanjian Baru yang bermakna etis.
Buku etika Dietrich Bonhoeffer, yang dikarangnya selama Perang dunia II, dan sebagian
bahkan dari dalam penjara, telah membentuk juga banyak orang Kristen di negeri-negeri
Barat.

Pengganti Douma sebagai mahaguru di STT Kampen adalah A. L. Th. De Bruijne, yang
dalam 2006 menerbitkan disertasinya tentang Oliver O’Donovan, yang berjudul: ‘Levend in
Leviathan’ (Hidup di dalam Leviathan). Leviathan adalah nama Ibrani untuk ular naga, yang
dalam Abad Pertengahan sering dilukiskan sebagai lambang neraka, dan kadang-kadang juga
sebagai pemerintah yang jahat, sesuai Wahyu 13. Berhubung dengan itu perlu dicantumkan
filsof Inggeris Thomas Hobbes, yang dalam abad ke 17 mengarang ‘Leviathan’, tentang kuasa
pemerintah dari sudut pandang humanistis.
Berbeda dengan Douma, dan mirip dengan Nullens/Michener, De Bruijne tidak bertolak dari
kesepuluh hukum tetapi dari Khotbah di Bukit, dengan menekankan mengikuti Kristus dan
hidup sebagai warga Kerajaan Allah.

B. Definisi moril dan etika

Etika menganalisis dan menimbang hal-hal moril. Kami menggunakan kata ‘moril’ sebagai
kata sifat, dan ‘moral’ sebagai kata benda. Tetapi, apakah yang menentukan arti moril?
Sesudah berusaha memberikan beberapa jawaban, akhirnya Douma berkesimpulan bahwa
tidak mungkin kita memberi definisi moril yang pendek saja, tentang satu ciri khas saja, yang
berlaku bagi semua kenyataan moril. Definisi yang diusahakannya adalah sebuah perumusan
yang menyebut banyak aspek.
Dalam definisi yang disarankan Douma terdapat 7 aspek yang menggarisi dan menentukan
arti ‘moril’3:

Definisi ‘moril’:
(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan
motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue)
(7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

3 J. Douma, Christelijke Ethiek, I, Grondslagen, Kampen 1999, 23.

5 Pengantar Etika Kristen.


Seperti dikatakan, ‘moril’ sebagai kata sifat, dikaitkan dengan kata benda ‘kelakuan’, dan kata
itu (kelakuan) menjadi kata dasar dalam definisi etika (ilmu tentang moral), sekalipun kita
akan membicarakan pula motivasi yang mendorong, dan kebajikan-kebajikan yang
dibutuhkan dan yang menjaminkan kontinuitas dalam kelakuan.

Definisi ‘etika’:
Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan
sebagai kelakuan yang
(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan
motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue),
(7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

Nullens/Michener menganggap bahwa definisi Douma dibatasi kepada kelakuan, dan mereka
sendiri menyarankan suatu definisi yang berkisar pada pertimbangan metodologis tentang
nilai-nilai, norma-norma, kebajikan-kebajikan dan tujuan-tujuan dalam kehidupan Kristen4 .
Menurut saya semua aspek yang disebut Nullens/Michener ditemukan juga dalam definisi
Douma.

Perbedaan etika dengan dogmatika bagus diterangkan Verkuyl sbb : Dogmatik bertolak dari
keyakinan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh. 4 :19), sedangkan etika berfokus
pada perintah bahwa manusia harus mengasihi Allah (dan sesamanya) (Mat. 22 :37-40).
Keterkaitannya dengan tepat dilukiskan oleh Tim Keller dalam bukunya tentang keadilan
yang murah hati. Jika seorang manusia sungguh-sungguh merasakan kasih karunia Allah
terhadap dia, orang berdosa, maka ia akan mengejar keadilan. Keller berhasil menghindar dari
dogmatisme, yang hanya mengutamakan ajaran murni dan keselamatan jiwa, maupun dari
‘Social Gospel’ yang menekankan pergerakan di bidang sosial dan tidak mengkhotbahkan
Kristus yang mati untuk menebus dosa. Keller malah mengkaitkan ajaran yang murni dengan
kelakuan baik orang Kristen. Bukan saja Allah yang adil dalam menebus dosa karena jasa
Kristus, tetapi seharusnya manusia yang diselamatkan juga adil terhadap sesamanya. Keller
mengutip seorang filsof, A. Leff, yang membuktikan bahwa baik rasio maupun kasih mesra
tidak berhasil untuk menjadikan kita manusia yang baik. Mujizat itu dikerjakan oleh Allah
saja, dalam Yesus Kristus, dengan Roh-Nya.
Kalau kita mau menolong sesama kita, kata Keller, pertolongan itu harus diberikan pada tiga
tingkat: 1. Sumbangan (kepada orang yang melarat), 2. Pendidikan (kepada orang yang sudah
ditolong itu), 3. Pengembangan masyarakat (agar lebih aman, lebih stabil, lebih makmur).
Jadi: terdapat lingkungan-lingkungan tertentu dan semuanya membutuhkan keadilan5.
Mengenai lingkungan-lingkungan tertentu itu, Keller mengikuti A. Kuyper (lih. penjelasan
berikutnya).

Brownlee menekankan bahwa ciri khas sebuah keputusan etis adalah bahwa keputusan itu
tidak bisa dielakkan dan harus diambil6. Pertimbangan-pertimbangan harus menuju tindakan.

4 Patrick Nullens & Ronald T. Michener, The Matrix of Christian Ethics, 2010, 12.
5 Tim Keller, Generous justice. How God’s grace makes us just’ , New York 2010, passim.
6 Malcolm Brownlee, Pengambilan keputusan etis, Jakarta 1981, 23.

6 Pengantar Etika Kristen.


Dalam hal itu harus kita beresiko bahwa mungkin keputusan kita salah, tetapi jika kita tidak
mengambilnya kita lebih salah lagi. Kalau pengambilan disertai dengan doa dan penyerahan
diri kepada Tuhan, kita tidak usah kuatir. Tuhan akan menolong. Dan kalau kita ternyata
salah, Tuhan akan mengampuni. Kita seperti seorang yang mengemudi kendaraan pada waktu
malam. Sinar lampu hanya bercahaya sampai beberapa puluhan meter ke depan, bukan
seluruh jarak disinari. Bukan seluruh jalan, hanya sampai tikungan berikut. Tetapi sementara
kita maju, kita diterangi terus-menerus.
Seorang filsof bernama Herman Dooyeweerd (abad yang ke-20, dalam gereja Reformed di Belanda)
memelopori mazhab filsafat kristen yang dikenal sebagai ‘Filsafat tentang lingkungan hukum’. Ia
meneruskan pandangan yang dikembangkan oleh Abraham Kuyper bahwa terdapat beberapa
lingkungan hidup yang tidak boleh dicampurbaurkan (mis. rumah tangga, gereja, negara, universitas).
Dooyeweerd membedakan 15 aspek kehidupan (dari bawah ke atas): 1. menyangkut jumlah (aritmetis);
2. menyangkut ruang; 3. menyangkut pergerakan (kinematis); 4. menyangkut alam (fysis); 5.
menyangkut kehidupan (biotis); 6. menyangkut jiwa (psichis); 7. menyangkut akal budi (logis); 8.
menyangkut sejarah (historis); 9. menyangkut bahasa (linguistis); 10. sosial; 11. ekonomis; 12.
menyangkut keindahan (estetis); 13. juridis; 14. etis; dan 15. pistis (menyangkut iman).
Selalu ditekankannya bahwa masing-masing lingkungan mempunyai hukumnya sendiri, sebagaimana
diatur oleh Allah Pencipta. Mis. lingkungan yang bercorak moril, seperti perkawinan dan keluarga,
pembinaan dan pemeliharaan anak, tidak boleh dikekang oleh negara, sebab lingkungan negara
ditentukan oleh aspek hukum (juridis.) Masing-masing lingkungan juga mempunyai tujuan sendiri, mis
juridis: pembalasan. Dan tujuan lingkungan etis adalah kasih7.

Dietrich Bonhoeffer berbicara tentang 4 mandat yang diberikan Allah kepada manusia :
gereja, keluarga/pendidikan, pekerjaan/budaya, pemerintah8. Perhatikan bahwa Bonhoeffer
tidak berbicara tentang negara. Ia telah melihat betapa besar bahayanya kalau satu negara atau
satu bangsa dijunjung tinggi, bahkan diperilahi. Sebab hal itu terjadi dalam negara yang
dipimpin oleh rezim Nazi di Jerman pada waktu itu, dan Bonhoeffer melawan rezim itu.

2. Etika umum dan Etika Kristen.

A. Etika umum

Etika menganalisis dan menimbang hal-hal moril. Tetapi, apakah yang menentukan arti
moril? Terdapat beberapa jawaban, sesuai pembahasan dalam buku Douma.

1. ‘Universalizability’ : perilakuan yang berlaku bagi setiap orang. Ahli filsafat Kant
memesan: Berlaku demikian sehingga apa yang kauhendaki bagi dirimu sendiri dapat
menjadi prinsip yang berlaku pula bagi setiap orang. Berarti: jangan memilih untuk
dirimu sebuah gaya hidup yang tidak mungkin akan menjadi gaya hidup semua orang.
Band. perkataan Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 7:12.
Namun, unsur universalizability tidak dapat menjadi penentu mutlak untuk ‘moril’.
Sebab terdapat banyak hal yang umum berlaku, namun tidak termasuk bidang moril.
Mis. dalam teknik pelukisan biasanya warna-warna kelam ditaruh sebelum warna-
warna cerah.

7 Douma, o.c., 20.


8 Dietrich Bonhoeffer, Aanzetten voor een ethiek, Zoetermeer 2012, passim.

7 Pengantar Etika Kristen.


2. ‘Prescriptivity’: preskript adalah persyaratan. Memang, ‘ought to’ (wajib untuk)
adalah sebuah ciri untuk kelakuan moril, tetapi bukan ciri yang satu-satunya. Apakah
hanya persyaratan, yang harus diperhatikan, dan apakah keadaan kongkrit tidak perlu
dipertimbangkan? Mungkin kita memesan dengan sangat serius bahwa manusia tidak
boleh mencuri, padahal kita sendiri mencuri karena keadaan yang kritis. Apakah kita
berlaku ‘amoril’, kalau begitu? Atau dalam keadaan darurat dapat
dipertanggungjawabkan?
3. ‘Overriding’: melampaui/melebihi. Menurut definisi ini perbuatan-perbuatan moril
melebihi perbuatan lain. Contoh: Seorang ingin sekali menyelesaikan sebuah
pekerjaan, tetapi pada saat itu isterinya jatuh sakit dan membutuhkan pertolongan:
maka kewajiban yang terakhir melampaui yang pertama. Kewajiban itu adalah
‘overriding’ dan keputusan untuk menolong isterinya adalah keputusan yang moril.
Cuma, pandangan-pandangan terhadap hal-hal yang dianggap penting tidak selalu
sama. Seorang kapitalis (kapital=modal) beranggapan bahwa tujuan utama
perusahaannya adalah laba. Seorang environmentalist (environment=lingkungan)
beranggapan bahwa pertama-tama lingkungan alamiah yang harus dilestarikan.
Seorang Kristen akan mengatakan bahwa Allah patut ditaati, lebih daripada manusia
(Kis. 5 :29). Di sini kami melihat pentingnya ‘filsafat tentang lingkungan hidup’, yang
diterangkan dalam fasal 1.
4. Ciri : ‘takut hukuman’ dan ‘rasa malu’.
Menurut pandangan ini mereka yang melanggar peraturan-peraturan yang bersifat
moril dengan sendirinya takut dihukum, merasa bersalah, bahkan merasa malu. Akan
tetapi : bisa juga kita merasa malu apabila diolokkan, karena kita kaku dalam
pergaulan sosial. Dan itulah bukan hal yang moril.
5. Ciri khas moril tergantung dari beratnya perkara.
Sebagai contoh : apakah dapat disimpulkan bahwa sebuah kelakuan moril berfokus
kepada kebaikan orang lain ? Memang, jika kita membandingkan hal-hal moril dengan
perkara lainnya, jelas perkara-perkara yang bersifat moril selalu penting adanya.
Tetapi, juga perkara-perkara juridis bahkan perkara-perkara estetis (menyangkut
keindahan, kesenian) terarah kepada kebaikan orang lain.
6. Kasih sebagai ciri khas.
Bahkan solusi ini tidak memadai. Sebab dapat dipersoalkan apakah aspek ‘kasih’ saja
yang menentukan kelakuan etis, dan apakah ‘keadilan’ tidak juga termasuk (walaupun
nanti satu paragraf seluruhnya dikhususkan kepada ‘kasih’ karena penting sekali).
Etika meneliti pula hal-hal seperti perang, hukuman mati, hak-azasi manusia,
persoalan-persoalan medis, yang nampaknya tidak dicoraki oleh kasih.

Jadi, semua jawaban yang disebut di atas tidak memadai untuk menentukan arti ‘moril’.
Ternyata terdapat beberapa unsur yang sama-sama penting. Kita telah menemukannya dalam
definisi tentang etika yang sudah disebut dalam bab 1. Di bawah ini definisi diperinci.

Definisi ‘etika’:
Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan
sebagai kelakuan yang
(1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan
motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue),

8 Pengantar Etika Kristen.


(7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi.

1. Kelakuan manusiawi.
Jika berbicara tentang binatang, dan mengatakan ‘anjing yang setia’, atau ‘semut yang rajin’,
kita menggunakan sebuah metafor (perbandingan). Binatang-binatang bergerak berdasarkan
naluri, bukan karena moral tinggi. Memang, binatang dapat dilatih, sehingga mirip dengan
manusia dalam pergerakannya, tapi itu bukan kelakuan moril.
Dalam kelakuannya manusia harus berlaku moril terhadap binatang, tetapi binatang tidak
dapat berlaku moril atau amoril terhadap manusia. Walaupun mungkin kelihatan lebih setia
daripada manusia.
Jika berbicara tentang malaekat, mereka sekarang tidak mengenal ketertarikan oleh dosa
seperti manusia, jadi bagi mereka (sekarang) tidak ada perjuangan moril, sekalipun pada
mulanya memang ada. Dan sebagian dari malaekat memang jatuh dalam pencobaan.
Jika berbicara tentang Allah sendiri: bagi Allah tidak ada hukum atau norma yang di atas-
Nya. Allah menciptakannya dan tidak dapat dikatakan bahwa Allah mempunyai tindakan yang
etis atau kurang-etis. Allah semata-mata ilahi dalam perbuatan-Nya dan tidak boleh diukur
oleh manusia.
Dalam pembahasan buku Wayne Grudem pokok ini akan dinilai, sebab Grudem melihat moral
Allah sebagai dasar etika. Dan sering juga ia berbicara tentang ‘karakter’ Allah.

2. Kelakuan yang bernorma.


Bukan setiap kelakuan manusia bernorma. Terkadang juga kita bertindak instinktif atau
dengan terpaksa. Itulah kelakuan yang bersikap ‘must’, (bah. Inggeris: harus, dalam arti non-
etis) seperti menguap, bermimpi, makan dan minum jika merasa lapar atau haus. Moral
berkaitan dengan ‘ought’, (bah. Inggeris, harus, dalam arti ‘etis’), kelakuan yang harus
dipertanggungjawabkan.
Tanpa pilihan, tanpa kebebasan, tidak ada moral. Tetapi, dari dahulu dibedakan antara
determinisme, yang mengatakan bahwa seluruh kelakuan manusia telah ditentukan, dan di sisi
lain indeterminisme yang mengatakan bahwa semuanya masih terbuka dan bebas. Kedua
aliran itu, bila diterapkan mutlak, tidak dapat disesuaikan dengan moral.
Setiap manusia ditentukan oleh sikon dan sejarah, tetapi setiap orang mengembangkan pula
pola kelakuan sendiri. Jadi, keterikatan dan kebebasan saling memperlengkapi.
Ahli filsafat Kant berkesimpulan bahwa seharusnya kita harus menerima tiga postulat (=
tuntutan logis), yaitu kebebasan, ketidakfanaan jiwa dan keberadaan Allah. Ketiga ini dengan
sendirinya mengiringi moral. Siapa yang mengakui manusia sebagai makhluk yang bermoral,
harus menerima juga ketiga postulat itu.

3. Kelakuan yang dipandang dari aspek ‘baik-buruk’.


Dalam pemandangan moril bukan aspek ‘benar-salah’ yang menentukan. Sebuah soal ujian,
yang diisi salah, tidak berkaitan dengan moral.
Begitu juga bukan aspek ‘trampil-tidak trampil’. Seorang tukang yang tidak trampil, sehingga
hasil kerjanya tidak kuat, bukan seorang yang amoril.
‘Indah-jelek’ juga tidak, bahkan ‘legal-ilegal’ tidak. Sebuah tindakan yang menurut
keputusan hakim illegal, tidak dengan sendirinya buruk dalam arti moril. Jadi, aspek baik-
buruk melebihi aspek legal-ilegal : yang terakhir cocok untuk lingkungan juridis, tetapi dalam

9 Pengantar Etika Kristen.


lingkungan moril, yang (menurut filsafat Dooyeweerd) lebih tinggi itu, kita memperhatikan
baik-buruk.

4. Kelakuan yang bermotivasi.


Hal yang bersifat legal berbeda dengan yang bersifat moril. Legal mungkin disertai
kemunafikan, atau mementingkan diri. Sedangkan moril selalu disertai ketulusan, kehendak
yang baik. Band. orang Farisi yang memberi zedekah, berdoa dan berpuasa, tetapi khususnya
agar mereka dilihat orang. Pentinglah motif yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu.

5. Kelakuan yang disertai emosi.


Bukan saja kehendak yang turut menentukan, tetapi juga perasaan. Dalam hal ini harus kita
mengeritik Kant yang tidak menghiraukan emosi. Perlu kita turut merasakan kesakitan dan
penderitaan orang yang kita tolong. Menghilangkan emosi tidak baik. Etika yang bertujuan
untuk memutuskan sesuatu mutlak obyektif dan tidak mau menunjuk rasa hati, tidak sesuai
dengan kehidupan manusia, di mana hubungan yang emosional sangat vital.

6. Kelakuan didasarkan atas kebajikan ( virtue).


Kebajikan menunjukkan sesuatu yang kontinu: mis. ketulusan terus menerus, keadilan terus
menerus. Kebajikan adalah sebagian dari akhlak manusia. Menurut Aristoteles kita harus
melatih diri dalam kebajikan, supaya kita menjadi manusia yang betul. Aristoteles
menekankan: pentinglah bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang kita menjadi.
Terdapat sebuah aliran etika yang dapat disebut etika kebajikan (mis. Plato, Aristoteles). Kami
lebih cenderung untuk mengganggap kebajikan sebagai salah sata faktor, bukan yang satu-
satunya.

7. Kelakuan yang ditujukan kepada nilai tertinggi.


Kelakuan yang moril bertujuan kepada nilai-nilai tertentu. Misalnya nilai-nilai seperti
kesehatan, keindahan, kemerdekaan, demokrasi, kesejahteraan, pengabdian kepada
Tuhan.

Aliran-aliran etika
Pada umumnya diakui bahwa ada beberapa sistem etika. J. de Graaf membedakan:
a. Etika deskriptif (yang menguraikan, tanpa langsung menilai), a.l. etika kebajikan,
seperti diajar Aristoteles: pentinglah manusia menjadi sebagai apa, dan bukan apa
yang dilakukan manusia; dan juga etika nilai, seperti terlihat dalam buku Nullens/
Michener)
b. Etika normatif (yang mengarahkan dan mengendalikan), biasanya dibedakan normatif
secara teleologis : pentinglah tujuan yang mau dicapai, dan normatif secara
deontologis: pentinglah hukum yang merupakan titik tolak.
c. Etika khusus : mis. kasuistik, etika situasi, etika medis.
d. Meta-etika: filsafat tentang etika dan tentang pertimbangan-pertimbangan etis9.

Biasanya dalam etika yang matang unsur-unsur dari semua sistem dapat ditemukan, tetapi
tidak secara mutlak. Begitu juga dalam etika yang diajar Douma dan yang kami sarankan
dalam diktat ini. Etika itu dapat disebut etika tanggungjawab, di mana manusia mendengar

10 Pengantar Etika Kristen.


9 J. de Graaf, Elementair begrip van de ethiek, cet.4, Utrecht 1986, 2

11 Pengantar Etika Kristen.


akan perintah-perintah yang disampaikan dan sekaligus memperhatikan situasi yang ada dan
akibat-akibat yang akan terjadi.
Nullens/Michener menulis tentang matrix(acuan) etika kristen, di mana mereka menyediakan
sebuah pendekatan integratif yang meminjam dari model-model etika yang terkenal, yaitu
etika tujuan (consequential ethics), etika normatif (principle ethics), etika kebajikan (virtue
ethics) dan etika nilai (value ethics).
Menurut kami sendiri etika selalu terkait dengan keyakinan dan pandangan pribadi, begitu
juga Douma dan H. de Vos10. Akan tetapi terdapat pula ahli (mis. J. de Graaf) yang berkata
bahwa etika justru mencari azas-azas yang dianut semua manusia, mis. ‘Penyataan tentang
hak azasi manusia’11.

B. Etika Kristen

Sampai kira-kira 1960 di dunia Barat dilihat dengan jelas bahwa moral orang Kristen adalah
moral khusus. Dari dahulu orang Kristen dikenal sebagai orang yang berbeda daripada yang
lain, mis. dalam hal kasih. Orang Kristen setia kepada isteri, tidak mengutuki mereka yang
menganiaya mereka, orang Kristen membantu orang yang sakit, menguburkan orang yang
tidak mempunyai keluarga.
Sayang sekali sekarang banyak orang teolog menganut pandangan Kant, bahwa moral adalah
otonom. Sekarang banyak orang mengatakan bahwa Etika Kristen tidak mempunyai sesuatu
yang khas. Atau mereka berpendirian bahwa orang Kristen boleh saja mempunyai moral
Kristen dalam hal-hal yang luarbiasa : seperti mis. yang disebut dalam 1 Kor. 10 :24 (jangan
mencari keuntunganmu sendiri saja) dan Mat. 5 :41,44 (kasihilah musuhmu). Solusi ini mirip
dengan pembedaan gereja Katolik Roma antara kodrati dan adikodrati. Keadilan, kesetiaan
adalah sama untuk semua orang, tetapi iman dan kasih, mencari penebusan dan mengikut
Kristus adalah bagian orang-orang Kristen saja, menurut pandangan ini.

Terdapat suatu pembedaan yang agak mengherankan, jika dikaitkan dengan rumusan
Alkitabiah tentang jalan yang lebar dan jalan yang sempit. Pembedaan itu adalah antara
moral yang sempit dan moral yang lebar. Dalam perumpamaan tentang kedua jalan itu jelas
bahwa kita harus mengikuti jalan yang sempit (Mat. 7:13,14). Jadi, sempit lebih baik daripada
lebar. Tetapi berbeda dengan itu ‘moral yang lebar’ lebih baik daripada moral yang sempit.
Dimaksudkan bahwa moral yang sempit adalah moral yang umum, yang mengandung
peraturan-peraturan, seberapa yang perlu untuk hidup bersama dalam masyarakat dan bekerja
sama. Moral yang lebar adalah moral dari golongan tertentu, yang mengandung banyak
keyakinan untuk dipraktekkan dalam golongan sendiri. Selain daripada moral Kristen terdapat
pula moral islam atau moral humanis. Moral seperti itu tak perlu disetujui oleh seluruh
masyarakat. Sekarang ini dalam dunia pluriform moral-moral sekelompok boleh saja
berkembang, asal tidak berlawanan dengan moral umum.
Pandangan tersebut membahayakan gereja, sebab kalau begitu moral Kristen tidak perlu lagi
diusahakan menjadi moral umum sebab kita sudah puas dengan moral kelompok.

10 H. de Vos, Inleiding tot de ethiek, Nijkerk 1966.


11 De Graaf, o.c.,4.

12 Pengantar Etika Kristen.


Dengan demikian moral Kristen dikesampingkan. Ataupun mereka yang menganut moral
umum berpendirian bahwa orang Kristen boleh mempunyai moral Kristen dalam hal-hal yang
tertentu.
Tetap kami berpandangan bahwa moral Kristen mempunyai pretensi universal. Tidak ada
pemisahan antara yang adikodrati dan kodrati. Allah adalah Pencipta dan Pemelihara dunia
ini, jadi hukum-hukum-Nya berlaku bagi setiap orang, dan kepada Yesus Kristus diberikan
segala kuasa baik di bumi maupun di surga.
Syukurlah, bahwa sering terdapat kemiripan antara kelakuan orang Kristen dan orang lain.
Kenyataan itu tidak mengherankan, jika kita merenungkan bahwa hukum Allah adalah
‘pakaian yang cocok’ untuk seluruh ciptaan (ucapan K. Schilder), sebab seluruh dunia ini
adalah hasil kerja tangan Tuhan. Akhir-akhir ini pandangan seperti itu juga disampaikan oleh
O. O’ Donovan12.
Sayangnya moral Kristen kadang-kadang juga membuahkan hal-hal yang jelek: perbudakan,
perang saudara, apartheid, penjajahan. Tetapi dalam membahas moral Kristen dan etika
Kristen kita berurusan dengan hal yang normatif, bukan saja deskriptif.

Terakhir dua saran tentang pergaulan dengan mereka yang non-Kristen.


1. Jangan memperlebar jurang pemisah dengan mereka yang bukan-Kristen, dan selalu
mengusahakan kesepakatan di mana mungkin.
2. Jangan malu menggunakan alasan-alasan Kristiani, karena itulah sumber di mana
sebenarnya setiap orang harus menimba untuk dirinya dan orang lain.

Definisi Etika Kristen: Pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, dari sudut


pandang yang disediakan dalam Kitab Suci.

Catatan:

Etika Kristen tidak dengan khusus membahas pokok agamiah atau liturgis, tetapi
membatasi diri pada pokok-pokok moril.

Dalam perumusan di atas dikatakan ‘Kitab Suci’ oleh karena Alkitab adalah kesatuan,
band. Yoh. 10:35; 17:12, 1 Tim. 5:18.

Nama ‘Etika Kristen’ lebih tepat daripada ‘Moral Alkitabiah’. Nas-nas Alkitab seperti
mengenai poligami, perbudakan dan perang suci dapat disalahgunakan jika langsung
diterapkan tanpa memikirkan sejarah penyataan Allah.

Nama ‘Etika Teologis’ tidak memuaskan, sebab jika dibanding dengan mis. ‘Etika
Medis’, yang membahas pokok menyangkun bantuan medis, apakah etika teologis
membahas pokok-pokok menyangkut teologi? Jelas tidak.

Etika Kristen untuk memikirkan bagaimana mengikut Kristus

Untuk merenungkan arti mengikut Kristus bukan saja kita membahas beberapa nas yang
menyebutnya hurufiah, mis Mat. 8:22, 9:9, 19:21. Lebih penting lagi kata Paulus dalam 1 Kor.
11:1, dan secara khusus seluruh pola hidup Kristus sendiri dan pemikiran-Nya. Band Fil.2:7.

12 Oliver ’O Donovan, Resurrection and the moral order, cet. 2, Leicester 1994.

13 Pengantar Etika Kristen.


Mengikut Yesus bukan menjiplak-Nya atau mengimitasi-Nya. Yang dimaksudkan adalah
melayani dan mentaati, band. 1 Raja-Raja 18:21: Mengikut allah lain sama dengan mengabdi
kepadanya. Begitu dengan mengikut Allah: Ul. 13:4.
Kitab-kitab Perjanjian Baru lebih jelas lagi: bukan saja mentaati, bukan juga mengimitasi
jalan hidup Tuhan Yesus, tetapi mewujudkan pola hidup-Nya.
‘Akolouthein’, kata Tuhan Yesus, ‘mimeisthai’, kata Paulus. Tidak perlu keduanya dipisahkan
atau dibedakan.
Dahulu sangat terkenal buku Thomas a Kempis, ‘De imitatione Christi’ (tentang mengikut
Kristus). Thomas berbicara tentang ‘mengikut Kristus’ (sequi) tetapi langsung
menggantikannya dengan ‘menjadi serupa dengan Kristus’ (imitare). Bukunya adalah
pedoman untuk spiritualitas Kristen, dengan tekanan atas doa, renungan, latihan rohani.

Mengikut Yesus berarti:


1. mengindahkan panggilan dari Bapak, dalam setiap pelaksanaan tugas, sama seperti Yesus
selalu melakukan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 4:34). Karena itu Kristus berdoa terus.
Bonhoeffer pernah berkata bahwa Luther, karena panggilan dari Allah, harus meninggalkan
biara untuk berjuang di dunia, dan sebelum Luther melakukan itu, menurut Bonhoeffer,
dunia tidak pernah diserang sedemikian: mengikut Kristus harus diwujudnyatakan di tengah
dunia.
2. Kristus berusaha demi sesama-Nya. Kristus mencuci kaki saudara-saudara-Nya. Karena
kasih untuk sesama-Nya ia meninggal dunia. Lalu kasih itulah merupakan tujuan dari
mengikut Kristus : 2 Kor. 5 :14, 1 Kor. 13:4.
3. Mengikut Kristus berarti pula: menyangkal diri, rela menerima penderitaan dalam
mengikut Yesus: Mat. 16:24. Bahkan Paulus pernah berkata: ia memperlengapi
penderitaan Kristus (Kol. 1:24): mutatis mutandis penderitaan Kristus kena juga orang
Kristen.
Bukan setiap orang harus meninggalkan keluarga dan pekerjaan seperti murid-murid pertama,
atau harus meninggalkan biara (Luther), tetapi untuk setiap orang berlaku: Manusia lama
harus mati, dan hal itu berarti penderitaan. Kata Bonhoeffer bahwa mengampuni sesamanya
dapat terasa pula sebagai penderitaan, namun perjuangan itu sangat perlu, berdasarkan Gal.
6:2 (saling memikul beban, beban dalam arti: dosa, band. ay. 1). Pada akhir
hidupnya Bonhoeffer telah membuktikan itu dengan sungguh-sungguh, ketika ia
dihukum mati (digantung) oleh rezim Nazi dan mati syahid.

H. Stassen dan David P. Gushee mengarang ‘Kingdom Ethics. Following Jesus in


contemporary context’. Mereka bertolak dari Khotbah di Bukit, dan ucapan-ucapan
berbahagia dilihat sebagai virtues, kebajikan-kebajikan, untuk orang Kristen. Mereka
menunjukkan bahwa virtues tersebut ditemukan pula dalam surat-surat Paulus. Dalam Mat. 5
tercantum: kerendahan hati, keadilan, kemurahan hati, kesucian hati, pembuatan damai,
ketabahan dalam penganiayaan.

3. Wayne Grudem, Christian ethics, 2018

Pada tahun 2018 Wayne Grudem menerbitkan Christian Ethics, An Introduction to Biblical
Moral Reasoning.
Untuk menggunakan buku pedoman yang berharga ini saya rasa perlu menyadari dua aspek
14 Pengantar Etika Kristen.
teologi Grudem yang signifikan.

15 Pengantar Etika Kristen.


Pertama: Pandangan Grudem terhadap inerrancy Alkitab, yang adalah seperti sering
ditemukan dalam kalangan Injili di Amerika, yaitu bahwa dalam naskah asli, yaitu Ibrani dan
Yunani, tidak ada kesalahan sama sekali. Kalau ditemukan hal-hal yang kelihatannya tidak
benar, perlu kita menafsirkan dengan teliti dan tekun dan akhirnya masalah-masalah tersebut
dapat diterangkan. Dalam pandangan Reformed yang saya anut tekanan diberikan kepada
infallacy (infallibilitas Alkitab), artinya bahwa Allah tidak mengelirukan kita dan Alkitab
dapat dipercayai. Tetapi kita tidak perlu seakan-akan mengdewakan Alkitab, seperti kaum
Islam terhadap Al-Qoran. Iman kita tidak terikat pada satu buku, tetapi pada Allah yang
hidup, dan pada Firman yang menjadi manusia.
Dalam pandangan kami ini pengilhaman Alkitab sama sekali tidak disangkal, tetapi dipandang
secara organis, yaitu Roh Kudus menggunakan penulis-penulis Alkitab sebagaimana mereka
ada: manusia dengan akhlak dan karunia sendiri, yang kadang-kadang menulis sendiri,
kadang-kadang mendiktekan kepada orang lain, dan yang menggunakan juga tradisi lisan dari
angkatan yang sebelum mereka. Karena itu dapat terjadi bahwa tidak semua hal yang ditulis
dalam Alkitab dapat dipahami, bahkan mungkin dianggap keliru, karena dalam tradisi lisan
perkataan-perkataan dapat bergeser, dan mereka yang berceritera memanfaatkan cara
berceritera yang sesuai budaya setempat dan sewaktu.
Pandangan inerrancy tersebut dapat menghentikan pertimbangan lebih lanjut dan mengarah
kepada kesimpulan yang kelihatan sederhana, melainkan agak dangkal juga. Misalnya:
Atas dasar janji-janji Allah, Grudem yakin bahwa kita tidak pernah akan berada dalam situasi
di mana kita harus memilih antara penyelewengan besar dan penyelewengan kecil. Apakah
kesimpulan ini tidak terlalu mudah? Apakah presiden A.S., untuk mengakhiri Perang Dunia
kedua, tidak bergumul tentang penggunaan senjata nukleir? Pertimbangannya: kalau tidak,
maka perang akan berlanjut lebih lama dengan banyak korban untuk merebut semua pulau
yang diduduki Jepang.
Contoh lain: Menurut Grudem secara moril dapat dipertanggungjawabkan untuk
menggunakan kekerasan, bahkan senjata, untuk membela diri. Apakah ini tidak dangkal juga?
Kalau bukan pemerintah saja yang menggunakan senjata, tetapi warga juga, betapa mudah
terjadi pembantaian oleh seorang yang tidak dapat menahan diri dan melampiaskan
amarahnya atau frustrasinya dengan senjata. Contohnya di A.S. banyak sekali.
Contoh ketiga: Aborsi amoril, dalam setiap kondisi, dan pada setiap saat sesudah konsepsi,
kata Grudem, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Apakah tidak perlu dibedakan antara
konsepsi dan nidasi? Nidasi/implantasi merupakan peristiwa masuknya atau tertanamnya hasil
konsepsi ke dalam endometrium. Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan
tempatnya menempelnya ovum yang telah dibuahi. Diperlukan waktu sekitar 4-5 hari setelah
pembuahan.
Contoh ke-empat: Alkohol diperbolehkan dalam jumlah kecil, narkoba tidak, dalam jumlah
terkecil pun tidak. Atas dasar apa pembedaan tersebut? Mungkin karena Alkitab menyebut
anggur, bahkan kadang-kadang positif, dan narkoba secara langsung tidak disebut. Larangan
narkoba kami dukung, tetapi tidak atas dasar itu.
Contoh ke-lima: Bahan bakar fosil boleh digunakan terus, sebagai pemberian Allah kepada
manusia, dan tidak akan berakibat bahaya-bahaya seperti global warming, kata Grudem.
Bagaimana kalau hampir seluruh ilmuwan menunjukkan hubungan antara global warming dan
penggunaan bahan bakar fosil?

16 Pengantar Etika Kristen.


Pandangan teologis yang kedua: Grudem menulis tentang moralitas Allah, dan dari situ ia
menarik kesimpulan-kesimpulan tentang moral orang Kristen dan etika Kristen. Kalau kita
mengingat betapa sulit menurut Douma definisi moral, makanya kita heran bahwa seorang
teolog lain menulis tentang moralitas Allah. Kata itu tidak ditemukan pula dalam Alkitab
terkait dengan Allah. Suatu ungkapan yang mendekatinya adalah kekudusan Allah, yang
dalam seluruh Alkitab memengaruhi juga kekudusan anak-anak Allah. Band. Im. 19 dan 1 Pt
2: “Kuduslah kamu sebab Akulah kudus”. Namun kata kudus, kalau digunakan untuk Allah,
menunjukkan ketinggian-Nya dan ke-ilahianNya, bukan karakter-Nya.
Kekuatiran kami adalah bahwa kita akan memandang Allah secara manusiawi, walaupun
maksud Grudem justru sebaliknya.
Mengapa tidak bertolak dari sifat-sifat Allah, sebagaimana digambarkan dalam dogmatika
Kristen, dan yang saling melengkapi tetapi tidak memberikan suatu gambaran mutlak tentang
Allah? Sebab Allah jauh melampaui kita.
Terlalu manusiawi kalau dikatakan Grudem bahwa Allah menyetujui dan menerima makhluk-
makhluk yang sesuai akhlak moral Allah sendiri.
Kata Grudem: Tidak mungkin Allah membuat standar-standar etis yang berbeda dengan
standar yang telah dibuat-Nya. Standar-standar Allah berlaku bagi semua bangsa di setiap
budaya dan setiap waktu. Apakah dalam hal ini kita tidak membatasi Allah?
Maksud saya adalah apakah kita benar-benar melihat dengan baik standar yang dibuat Allah?
Mungkin standar-Nya lebih agung daripada apa yang kita pahami. Di mana keadilan Allah
dalam sejarah Ayub? Pasti ada, tetapi tidak semudah dilihat oleh Ayub dan teman-teman-nya
maupun oleh kita.

Pokok kedua ini, yaitu pembicaraan tentang karakter Allah, dalam pengamatan saya
berhubungan dengan yang pertama. Kita yakin bahwa Allah mahatahu, dan mahaberhikmat,
dan tidak pernah melupakan sesuatu atau meragukan sesuatu. Berbeda sekali dengan kita,
bahkan dalam hal-hal etis pun. Sering kita bergumul untuk mendapatkan jawaban yang tepat,
dan sesudahnya kadang-kadang kita tetap bimbang. Kelihatannya pada Grudem bukan
demikian. Oleh karena ia sangat yakin tentang kejelasan Alkitab, bahkan inerrancynya (pokok
pertama), ia mengesankan bahwa jawaban-jawaban dalam masalah-masalah etis kita dapat
tahu dengan pasti, seakan-akan kita adalah Allah. Seakan-akan apa yang disebutnya moralitas
Allah langsung menentukan moralitas kita.

Pertanyaan inti menurut Grudem: Bagaimana orang Kristen dapat mengetahui tentang bagian-
bagian Alkitab yang kalau dilihat dari segi budaya relatif adanya, dan yang mana mutlak
berlaku bagi setiap orang percaya di setiap budaya dan setiap waktu.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Grudem mengesampingkan kitab-kitab Perjanjian
Lama, dan cenderung menerima Perjanjian Baru secara mutlak. Ia mengeritik seorang
bernama W.J. Webb yang menganggap bahwa baik PL maupun PB merupakan tahap yang
menuju ke etika ultim. Webb mengembangkan sebuah filter dengan 18 kriteria untuk
menentukan apa yang masih berlaku dan apa yang relatif. Dengan benar Grudem menolak
suatu cara kerja yang begitu rumit, namun ia sendiri membaca PB secara biblisistis. Menurut
dia dalam PB hanya beberapa bagian saja yang sulit, tetapi bagian-bagian itu sudah dikenal
oleh kebanyakan teolog Injili sebagai relatif dari segi budaya: ciuman suci, pembasuhan kaki,
kepala yang bertuding, rambut pendek seorang lelaki, jangan berhiasan, meneladah tangan
dalam doa. Bagian Perjanjian Baru lainnya mudah dipahami dan langsung dapat diterapkan

17 Pengantar Etika Kristen.


Definisi Etika menurut Grudem: Etika Kristen adalah setiap penelitian yang menjawab
pertanyaan: apakah yang diajar seluruh Alkitab kepada kita tentang kelakuan, sikap dan
akhlak pridabi yang disetujui Allah, dan apa yang tidak.
Grudem menolak etika teologis yang bertolak dari satu atau dua pokok ajaran, seperti etika
O’Donovan mengenai kebangkitan Kristus, atau etika situasi (Fletcher) yang bertolak dari
kasih.
Kesepuluh Firman menolong untuk memberikan struktur, dan saya setuju. Tetapi
menurut saya Dekalog tidak saja menolong secara praktis untuk menyusun, tetapi
merupakan pula Firman Allah yang langsung berlaku bagi kita.
Menurut Grudem Etika Kristen menggabungkan etika deontologis, teleologis dan etika virtue.
Dalam hal ini saya sependapat, dan sama dengan Grudem saya menolak etika yang disebutnya
relativistis, seperti antinomianisme.

Dengan benar juga Grudem menolak Gusher &Stassen, Kingdom Ethics, yang didasarkan atas
prinsip-prinsip biblika dan bukan atas peraturan-peraturan spesifik. Mereka takut legalisme,
Grudem tidak, dan sekalipun saya menolak legalisme, saya bersama Grudem menganggap
bahwa terdapat peraturan-peraturan Alkitab yang jelas.
Saya tidak dapat menerima kalau dikatakan Grudem bahwa sebagai implikasi dari suffisientia
(kecukupan) Alkitab semuanya yang dikatakan Allah tentang pokok-pokok spesifik dan
jawaban-jawaban soal-soal etis dapat ditemukan dalam Alkitab. Apakah tidak ada
pertimbangan dari luar Alkitab, mis. tentang pokok-pokok medis?
Begitu juga: menurut Grudem kita tidak boleh menyebut dosa suatu hal yang tidak
ditunjukkkan Alkitab sebagai dosa (eksplisit atau implisit). Bagaimana tentang
penyelewengan yang belum ditemukan pada masa Alkitab, mis. terkait dengan lingkungan?
Dan juga katanya: Tuhan tidak menuntut sesuatu bahwa tidak diperintahkan Alkitab (eksplisit
atau implisit). Apakah Alkitab tidak diberikan pada konteks tertentu? Apakah kita tidak boleh
menyebut dosa penyalahgunaan alam seperti yang belum ditemukan dalam Alkitab?

Dalam semua hal tersebut kesimpulan-kesimpulan Grudem tidak berimbang, dan di bawah ini
saya akan menuliskan tentang pokok-pokok lain yang diangkat Grudem

Sebagai tujuan etika Grudem mengemukakan dengan bagus:


Hidup demi pujian Allah, melalui akhlak yang memuji Allah, hasil-hasil (buah-buah) yang
menggembirakan Allah, kelakuan yang memuliakan Allah, yaitu hidup dalam relasi dengan
Kristus.
Menarik adalah cara Grudem menguraikan bahaya legalisme: yaitu legalisme untuk
dibenarkan (Gal. 2:16), legalisme oleh menambahkan perintah sendiri kepada perintah-
perintah Allah (Gal. 4:15), legalisme dalam sikap kesombongan, kekerasan, penekanan.
Grudem pernah menulis juga “Pleasing God by our obedience. A neglected New Testament
teaching.”
Grudem menyebut berkat-berkat Allah atas ketaatan kepada-Nya, tetapi bertanya juga : berapa
lama lagi sebelum berkat yang telah hilang dapat dipulihkan (dbk 1 Kor.11:30). Pertimbangan
seperti itu saya tidak mengerti. Menurut saya tidak ada waktu tertentu yang disebut Alkitab
tentang itu.

18 Pengantar Etika Kristen.


Tentang dosa besar dan kecil Grudem menasihati dengan benar supaya kita berhati-hati dalam
kesimpulan, sebab pembicaraan dalam Alkitab itu tergantung daripada tujuan. Ia membedakan
sbb:
1 Kalau berbicara tentang posisi legal di hadapan Allah, tidak ada perbedaan antara besar dan
kecil. 2. Kalau berbicara tentang akibat dosa, memang ada perbedaan. 3.Tuhan Yesus sendiri
pernah berbicara tentang ‘salah satu perintah yang terkecil’ Mat. 5:19. 4 Dan perlu dibedakan
juga tentang pelaku dosa: Kata Tuhan Yesus: kepada siapa yang diberi banyak, akan dituntut
banyak.
Analisis seperti di atas bagi saya berharga dan sangat menolong.

Penting juga kalau Grudem membahas akibat-akibat dari dosa sengaja, ‘willful sin’, yang
merugikan. Ia membedakan bahwa pembenaran tidak diganggu (Rom. 8:1), dan pengangkatan
menjadi anak Allah (adopsi) tidak juga (1 Joh. 3:2), namun tetap ada banyak kerugian,
khususnya sebagai peringatan: hubungan dengan Allah terputus, terasa ketidaksenangan dari
Allah Bapak, manusia mundur dalam pengudusan, ia kurang berbuah dalam pelayanan dan
kehidupan Kristen, ia kehilangan upah-upah surgawi tertentu.

Bagaimana kita dapat tahu kehendak Allah? Grudem mengajak untuk memperhatikan
kelakuan, sikap pribadi terhadap kelakuan, motivasi, hasil. Biasanya semuanya ini
bercampuran.
Untuk mengenal kehendak Allah kita membutuhkan sebagai sumber-sumber informasi dan
bimbingan: 1. Alkitab. 2. Penelitian terhadap situasi. 3. Bagaimana posisi dirimu dalam kasus
tersebut. 4. Nasihat-nasihat orang lain. 5 Perhatikan keadaan yang mungkin berubah di bawah
pimpinan Allah (mis. Paulus di Troas).
Dan sebagai subyek-subyek yang mencari kehendak Allah (biasanya bercampuran): hati
nurani, hati, roh, dan pimpinan Roh Kudus. Bagi saya kurang jelas mengapa membedakan
hati dan roh. Penting juga bahwa untuk menggunakan semuanya ini kita membutuhkan
‘skill’ (ketrampilan) dari hikmat.

Seperti dikatakan di atas, Grudem beranggapan bahwa orang Kristen tidak pernah akan harus
memilih dosa yang lebih kecil, untuk menghindar yang lebih besar. Grudem pernah menulis
khusus tentang itu, dan menolak graded absolutism dari Norman Geisler. Menurut Geisler:
1. Kasih kepada Allah melebihi kasih kepada sesama. 2. Mentaati Allah lebih dari mentaati
pemerintah. 3 Kasih karunia melebihi mencari kebenaran. Dan menurut Geisler tidak perlu
juga memohon pengampunan atas pelanggaran dalam dosa kecil.
Grudem menggunakan argumentasi yang lemah dengan mengatakan bahwa Alkitab tidak
pernah mengatakan bahwa kita harus menaati setiap perintah pemerintah, sebab Rom. 13: 1
berkata: ‘Be subject’ (takluk), yaitu tentang sikap, bukan tentang perintah-perintah khusus.
Kalau memperhatikan keseluruhan Alkitab kita selalu melihat bahwa Allah menyetujui
mereka yang taat kepada-Nya. Namun, menurut saya, kadang-kadang ini justru terjadi melalui
dosa yang lebih kecil itu.
Contoh: menurut Grudem Rachab dipuji, dan dustanya tidak diamati, sebab ia berdusta ketika
ia masih pelacur Kanaan. Tafsiran itu tidak dapat saya dukung. Sekalipun ia masih kafir,
dosanya tetap terhitung, cuma dalam hal ini diampuni karena tujuan Rachab adalah
menyelamatkan pengintai Israel.

19 Pengantar Etika Kristen.


Kalau menyembunyikan pengungsi dalam perang, kata Grudem, maka selalu terdapat lebih
banyak opsi, bukan saja berdusta, mis. berdiam diri, atau mengundang: lihat saja, atau
menawarkan minuman. Menurut saya kadang-kadang tidak ada jalan lain daripada menipu,
untuk menghindar kecurigaan.

Grudem menulis bahwa dalam Alkitab tidak ditemukan contoh-contoh jelas dari konflik
moril. Menurut saya memang tidak ada, justru karena Alkitab tidak melihatnya sebagai
konflik moril.
Menurut Grudem ‘impossible moral conflict’ akan membawa ke makin banyak dosa.
Lebih baik, menurut Grudem: “Christians will neve face an impossible moral conflict”.
Kenyataan, menurut saya, bukan demikian.

Kalau saya tidak salah, Grudem bermaksud, bahwa kita harus setia kepada seluruh isi Alkitab,
dan bahwa di situlah ditemukan ruang untuk bergerak. Saya mendukung itu.
Tetapi, singkatnya, Grudem mengikuti Rakestraw, yang akan kita bahas kemudian (fasal 5)
tentang ‘Non conflicting biblical commands’.

Tentang perjanjian Allah Grudem menganut pandangan kebanyakan orang Injili: Perjanjian
Musa, yang dimulai dengan ke-10 firman, berhenti ketika Kristus mati, dan sekarang orang
Kristen berada di bahwa P.B. .Tetapi, P.L. tetap berfungsi sebagai sumber hikmat etika.
Grudem melihat beberapa perjanjian yang berbeda: Nuh, Abraham, Musa, yang masing-
masing memiliki sejumlah statements dari Allah.
Pandangan Reformed adalah bahwa perjanjian Allah dengan manusia pada dasarnya satu saja,
walaupun masa yang berbeda-beda.

Saya mendukung Grudem, kalau ia menolak aliran teonomi, yang mengatakan bahwa hukum
moril dan sipil dari P.L. tetap berlaku, kecuali seremoniil. Jadi, hukum-hukum pidana juga.
Pandangan teonomi itu berbahaya. Apalagi, menurut Grudem, mereka yang ikut teonomi tetap
juga berselisih pendapat, seorang dengan yang lain.
Menurut Grudem Kej. 1- Kel. 19 mendahului Musa dan karena itu mengandung prinsip-
prinsip etis yang umum berlaku. Bdk Kej. 2:24, yang dikutip dalam Mat. 19:1-6. Sedangkan
Kej. 9:6 digunakan Grudem sebagai dasar untuk hukuman mati.
Dengan benar Grudem mengatakan bahwa ke-10 hukum tidak terikat oleh waktu dan tempat.
tetapi alasannya ialah bahwa semua diaffirmasikan dalam P.B., kecuali hukum 4.

4. Sekularisasi

A. Charles Taylor, A secular age. 2007.

Taylor adalah seorang filsof dari Kanada, yang sangat berpengaruh pada awal abab XXI. Ia
beranggota gereja Katolik Rum, tetapi ia tidak yakin bahwa ada Allah yang transenden dan
yang nyata. Dalam bukunya A secular age (Era duniawi, tetapi juga : waktu yang duniawi) ia
melukiskan sejarah sebagai hasil pemikiran manusia (filsafat).
Sekularisasi bagi Taylor bukan pemisahan gereja/negara, atau agama/ruangan umum (public
domain), tetapi satu langkah di mana iman (agama) dilihat sebagai salah satu pilihan di
samping pilihan lain. Dengan ketentuan itu maka mis. Amerika Serikat dapat dicoraki sekuler

20 Pengantar Etika Kristen.


(sekalipun agama sangat umum : civil religon) tetapi, menurut kami, Indonesia tidak dapat
disebut sekulir. Sebab : Republik Indonesia terkenal sebagai beragama, bahkan untuk orang
Indonesia ‘tidak beragama’ bukanlah opsi.

Apa yang dilakukan dunia Barat ? Dalam hal itu Taylor menggunakan pengertian
‘kepenuhan’. Katanya : Kami telah bergerak daripada dunia di mana sebuah ‘kepenuhan’
tanpa masalah dapat ditempatkan di luar atau di atas kehidupan manusiawi, kepada sebuah era
yang penuh konflik di mana ‘kepenuhan’ ditempatkan di dalam kehidupan manusiawi. Jadi,
tidak ada ‘atasan’ lagi.
Namun, ia menolak untuk mengatakan bahwa dunia modern tidak beragama, sebab agama,
atau religi, sulit didefinisikan. Ada sebagian yang transenden, dan sebagian yang imanen, dan
menurut Taylor ‘imanensi’ adalah penemuan barat yang terbesar.
Sekularitas dalam bentuk baru timbul bersamaan waktu dengan munculnya masyarakat yang
telah meraih humanisme yang mutlak independen, dan itulah untuk kali pertama dalam
sejarah. Sekularitas nr 1 adalah penemuan ruangan umum (public domain) yang sekuler,
dalam arti tidak dikuasai gereja. Sekularitas nr 2 adalah kemunduran iman . Sekularitas nr 3
adalah situasi iman yang baru, yaitu mengakhiri penerimaan transendensi secara spontan.
Dari mana semuanya itu ? Sebabnya adalah bahwa di Barat (Atlantik Utara) terjadi sesuatu
yang unik : sebuah alternatif untuk ‘kepenuhan’. Ingatlah bahwa ‘kepenuhan’ itu tidak
dengan sendirinya menunjuk kepada Allah, bisa juga kepada humanisme yang eksklusif.
Dalam dunia seperti dahulu seorang individu tidak bisa melawan Allah : dalam dunia
yang beragama itu setiap ‘aku’ keropos adanya, ia berada dalam sebuah medan penuh
kekuatan- kekuatan rohani. Dalam dunia modern ‘aku’ berdiri tersendiri, tertutup,
individual.
Dalam dunia dahulu ada kebersamaan yang tidak boleh diputuskan : seorang yang melawan
komunitas kena sanksi. Sekarang boleh saja.
Akhirnya muncul sekularitas nr 4 : ‘secular age’ : waktu atau era yang sekuler : waktu biasa,
yang bertentangan dengan ‘waktu yang lebih tinggi’, atau kekekalan. Dalam kekekalan
semuanya stabil, bahkan dalam agama Kristen sesuatu yang sebesar korban Kristus di
Golgota mendapat tempat dalam keseluruhan, dan dalam rencana Allah. Sama seperti Plato
dan Aristoteles juga mengenal kekekalan, atau waktu yang sempurna, yang tidak akan
goyang.
Tetapi ‘secular age’ cenderung kepada ketidaksempurnaan.
Bagi Plato dan Aristoteles terjadi waktu yang mulia yang melebihi waktu biasa. Di agama
Kristen (Augustinus) waktu mulia adalah waktu yang diperpadatkan menjadi kekekalan :
‘Nunc’ (bah. Latin : kini) dari Allah meliputi semua waktu : ‘nunc stans’ (kekinian yang
tinggal tetap).
Dalam agama suku terdapat juga waktu mulia, yaitu ketika adat ditentukan oleh nenek
moyang: era yang mulia.
Dalam ‘secular age’ semua itu tidak perlu.
Sekarang manusia telah beralih dari kosmos ke universum : kosmos terbatas adanya,
hierarkis, sedangkan universum tidak terbatas , tidak hierarikis, penuh dengan secular age.

Di Eropah dalam abad yang ke-XVII timbullah orang-orang elit yang suka mengendalikan
dan mengatur. Mereka tidak lagi mengikuti pandangan Plato dan Aristoteles tentang ‘bentuk
dan isi’, bahwa semuanya sudah tercakup dalam alam, tetapi mereka ingin membentuk alam.
Mis. hukum naturae dari Hugo Grotius sangat rasional, hampir geometris : ‘etsi Deus non
21 Pengantar Etika Kristen.
daretur’ : seakan-akan tidak ada Allah. Kemudian Locke dengan teori tentang ‘anima sebagai
tabula rasa’ (jiwa yang mulai sebagai tulisan yang masih kosong): jika kita memasuki
lingkungan hidup yang baik, akhirnya hasilnya bagus. Segala sesuatu dapat dikonstruksi, asal
logis. Descartes : realita semata-mata mekanis adanya, dan dapat dikendalikan oleh kehendak.
Baru kemudian Hegel (abad XVIII) kembali kepada teleologi seperti Aristoteles, yaitu bahwa
semuanya bertujuan dan tercakup dalam suatu proses.
Orang seperti Descartes, sama dengan aliran Reformasi (menurut Taylor), menolak yang
sakral, dan ikut menciptakan identitas yang baru : ego yang tertutup : seorang yang tidak lagi
takut terhadap demon dll.
Teori tentang ordo moril seperti disebut di atas dengan sendirinya mengubahkan pandangan
sosial, khususnya dalam tiga pokok : ‘ekonomi’, ‘ruangan umum’, ‘pemerintahan
demokratis’.
Adam Smith : ekonomi adalah realita yang obyektif : mencari untung. Perdagangan dan
ekonomi merupakan jalan ke sikon yang teratur, ditambah dengan pandangan Reformasi
bahwa setiap pekerjaan suci adanya dan bisa berkontribusi kepada masyarakat. Begitu
berlangsung perkembangan masyarakat di Inggeris dan Belanda.
Kemudian munculnya ‘ruangan umum’ : public domain dengan civil society : negara tidak
lagi segala sesuatu. Ekonomi mempunyai dinamika tersendiri. Pertumbuhan Amerika Serikat
adalah juga berdasarkan pandangan Locke (bahwa pemerintah terbentuk berdasarkan kontrak
sosial) dan pandangan Grotius.

Dalam perkembangan kepada humanisme yang eksklusif maka menurut Taylor deisme sangat
berperan. Deisme tidak menyangkal bahwa ada Allah, tetapi menurutnya Ia tidak bergerak
atau bertindak. Tidak ada pemeliharaan khusus, walaupun Taylor menyebutkan sebuah
deisme providentia. Melalui langkah deisme maka humanisme yang eksklusif menjadi opsi
yang riil untuk banyak orang. Sebab deisme providentia berarti bahwa rencana Allah terbatas
pada kenyataan ini bahwa manusia sendiri harus mewujudkan ordo dalam kehidupannya.
Spinoza adalah pelopor dalam kritik terhadap Allah yang berpribadi, Allah yang memberi
anugerah, membenarkan, menanggung dosa : agama kristen ortodoks melihat manusia sebagai
orang yang harus diselamatkan, dan dengan itu merampas kehormatannya. Karena itu agama
ditolak dan terakhir tinggallah sebuah ‘agama’ (pegangan) yang bukan agama : ateisme.

Sebagai keuntungan identitas yang tertutup, Taylor melihat : kesadaran tentang kuasa sendiri,
kesadaran tentang keamanan sendiri. Namun sekaligus keadaan itu labil, sebab setiap orang
bebas adanya, dan bergaul bebas, sehingga terjadi pluralitas, mis dalam perkawinan dan
agama.

Sekarang kita melihat diri kita tidak lagi sebagai pribadi yang muncul dari kosmos yang
tertutup yang usianya 6000 tahun melainkan sebagai makhluk yang muncul dari jurang waktu
yang gelap.
Mengapa dalam abad ke-19 manusia kehilangan iman ? Karena materialisme (termasuk
Darwinisme). Sebab epistemologi materialisme lebih masuk akal daripada epistemologi
agama Kristen. Dalam pandangan tentang pembentukan materi berdasarkan hukum-hukum
dan aturan-aturan yang umum, tidak lagi dibutuhkan Allah berpribadi, yang
menciptakan. Materialisme dianggap sama dengan kedewasaan.

22 Pengantar Etika Kristen.


Tutur Taylor : Tidak pernah ilmu semata-mata yang menggugurkan iman tetapi selalu paket
materialisme seutuhnya.
Inti pertanyaan ialah: apa yang berubah sejak tahun 1500 ? Sebab pada waktu itu ‘tidak
beriman’ dianggap tidak mungkin. Mengapa dalam tahun 2000 terdapat banyak orang ateis
yang katanya berbahagia saja?
Jawabnya bahwa dunia dibebaskan dari dewa-dewa dan dari yang sakral, sedangkan ‘waktu
yang tinggi’ dikesampingkan, jadi pada dasarnya semua ciptaan yang dianggap lebih tinggi
daripada yang lain bisa ditolak. Reformasi ikut membentuk itu, menurut Taylor.

Taylor sendiri, yang mau berbicara sebagai orang beriman, berkata bahwa kemunduran agama
tidak dapat disangkal, tetapi ada juga penampakan-penampakan yang baru dari yang sakral
atau spiritual, dalam hubungan antara individu dan masyarakat, juga terhadap Allah. Sekarang
kita memasuki era mobilisasi, maksudnya bahwa manusia mudah dapat diarahkan kepada
sesuatu yang baru. Taylor menyebut bermacam-macam bentuk spiritualitas : ‘new
age’ (keterbukaan terhadap agama-agama Hindu-Buddha), ‘positive thinking’ (kombinasi
agama dan psikologi), Taize (pusat meditasi Protestan di Perancis).
Tetapi, mengapa Amerika Serikat pada umumnya tetap beragama : 1. Banyak orang imigran :
agama mengikat sebuah komunitas suku. 2. Amerika tidak hierarkis. Sedangkan di Eropah
orang elit sering bercorak ateis dan menggiring orang lain. 3. Amerika dari awal sejarahnya
menekan etika otentisitas (kesungguhan): setiap orang mempunyai harga diri, dan bisa maju.
Tetapi, ‘beragama’ di Amerika seringkali juga dangkal, bahkan disertai munafikan. Terdapat
juga kebebasan dalam hal-hal yang tidak boleh disetujui, mis. revolusi seksual, revolusi etika
kesehatan.

Kesimpulan saya : memasuki ‘secular age’ mungkin lebih berbahaya daripada


berkeuntungan. Dengan kata lain : hidup sebagai masyarakat /negara yang menjunjung tinggi
‘agama’ seperti di Indonesia, itulah mempunyai nilai tambah.

B. Herman Paul, Shoppen in advent (Shopping pada masa adven). Teori sekularisasi
yang singkat. 2020.

Paul meneruskan pandangan Taylor, bahwa sekularisasi adalah satu opsi, yang dipilih, bukan
suatu kuasa yang memenangkan kita, seperti angin badai. Bukan tren, tapi opsi, dan
kelihatannya manusia hendak memilih opsi tersebut. Dan ia menambahkan bahwa bagi
manusia modern terdapat begitu banyak opsi, sehingga hampir tidak ada waktu untuk memilih
agama. Begitu banyak pilihan yang dapat dinikmati, untuk apa berfokus pada agama? Bukan
bahwa manusia modern pada umumnya bermusuhan dengan agama, tetapi kenyataannya ialah
bahwa tidak ada waktu untuk itu. Untuk apa ke gereja pada hari Minggu, kalau ada begitu
banyak pertandingan olah raga yang menarik juga, mulai dari Grand prix sampai sepak bola?
Gereja tidak dikalahkan oleh keyakinan lain tetapi oleh tur-tur pada hari Minggu dan meubel-
meubel yang baru.
Pandangan yang lama bahwa sekularisasi adalah suatu tren, suatu pergerakan yang tidak dapat
dihentikan, hampir sama dengan salah satu gejala alam, disebabkan oleh filsafat Pencerahan
yang bermuaru di Darwinisme, yaitu evolusionisme. Jadi sekularisasi dilihat sebagai tahap
yang perlu dalam perkembangan manusia, dan dengan tepat Paul menolak itu

23 Pengantar Etika Kristen.


Sama seperti Taylor, Paul juga bertolak dari Augustinus. Akhirnya ia berkesimpulan bahwa
sekulum itu adalah waktu antara kedatangan Kristus yang pertama dan yang kedua. Masa
kerajaan Allah, tetapi jangan lupa bahwa seorang Kristen beranggota juga dalam kerajaan
duniawi. Menurut saya wawasan Paul lebih bersifat Kristiani daripada wawasan Taylor.
Namun ia tidak mendukung orang Kristen yang tajam sekali melawan sekularisasi sebagai
musuh besar. Kenyataannya ialah bahwa kita hidup dalam sekulum seperti dicoraki tadi. Ia
memberi judul ‘Shopping pada masa adven’, untuk menyatakan bahwa kita menantikan
kedatangan (adventus) Kristus yang kedua. Dan ia menggunakan istilah shopping daripada
istilah memilih, oleh karena manusia modern begitu tertarik oleh shopping mall. Ia ingin
membeli, bukan saja yang perlu, tetapi juga yang indah, yang keren. Ia ingin memiliki apa
yang dianggap hebat, yang sesuai gaya terbaru. Berbelanja seperti itu merupakan ciri penting
bagi manusia modern, yang tidak semata-mata berfokus untuk mendapatkan keperluan utama
(sembako).
Terdapat satu kemiripan dengan Augustinus lagi, yang begitu menekankan keinginan
manusia, bahkan menekan kedua keinginan yang sama-sama kuat dalam diri manusia.
Keinginan bahkan kehendak yang satu yang membawa manusia kepada konsumerisme,
sedangkan yang lain membawanya kepada Allah, dan itulah yang merupakan tujuan hidup
manusia, kata Augustinus.
Paul menyebut konsumerisme sebagai religi yang baru. Manusia terikat pada keinginan-
keinginan untuk selalu membelikan sesuatu yang baru, dan yang membuat dia sebagai
seorang individu yang dapat menonjolkan diri dengan ciri-ciri khasnya yang baru dibeli, mis.
kendaraan, jam tangan, sepatu, hp dan laptop.

5. Utilisme atau deontologi? Atau etika kebajikan ? Atau etika nilai?

Sekarang kita membicarakan dua aliran dalam etika yang merupakan kedua ujung yang di
antaranya terdapat banyak tipe etika, sedangkan pendekatan etis yang menurut kami benar,
etika tanggungjawab, ditemukan di tengah kedua ini. Di ujung satu, utilisme menanyakan
keuntungan/guna (utilis=lat. : berguna), di ujung lain deontologi menanyakan keharusan/
kewajiban (deon, Yun., berarti : kewajiban). Saya menambahkan hasilnya nanti dengan unsur
etika kebajikan dan etika nilai. Dalam pertimbangan yang utilistis ditanyakan apakah efek dan
guna dari kelakuan tertentu, dan kemudian atas dasar itu beberapa kesimpulan yang ditarik.
Deontologi menanyakan prinsip-prinsip, terlepas daripada efeknya : apakah kita setia pada
prinsip atau tidak?
Akan menjadi nyata bahwa Etika Kristen tidak sama dengan satu dari kedua ini, tetapi tidak
terlepas juga dari unsur-unsur yang didalamnya. Dari keduanya dapat diambil sesuatu yang
baik dan harus ditolak juga sesuatu yang buruk. Bandingkan definisi etika yang dipersiapkan
dalam bab 2, di dalamnya tertera a.l. norma dan tujuan.
Brownlee membedakan tiga jalan yang disebutnya ‘etika akibat’ (±utilisme), ‘etika kewajiban’
(deontologi) dan ‘etika tanggungjawab’. Nama utilisme tidak muncul dalam karangan
Brownlee, ia menyebutnya etika teleologis (teleos,Yun. =tujuan).
Dalam etika tanggungjawab kita berusaha untuk memberi jawaban kepada Tuhan dalam
kelakuan kita, dengan membuat apa yang (menurut kita) diminta Allah daripada kita. Tetapi
tak dapat disangkal bahwa si jahat juga berperan dan dapat mengacaukan pikiran kita.

24 Pengantar Etika Kristen.


Untuk bertindak dengan bertanggungjawab haruslah kita memikirkan baik efeknya maupun
perintah Tuhan. Brownlee memberikan banyak contoh Alkitabiah tentang ketiga cara itu dan
membuktikan dengan itu bahwa cara berpikir yang satu tidak bisa terlepas daripada yang lain.

Utilisme bertolak dari konsekwensi suatu kelakuan dan bertujuan kepada kesenangan terbesar
atau manfaat terbesar untuk orang terbanyak : ‘the greatest happiness of the greatest
number’. Pelopor-pelopornya adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill (abad ke-18, 19).
Istilahnya dalam bahasa Inggeris adalah utilitarianism.
Menurut Bentham manusia ditempatkan oleh alam di bawah kuasa dua tuan: penderitaan
(kesakitan) dan kesenangan. Menurut Bentham sendiri ‘happiness’ lebih cocok daripada
‘utility’, maka aliran ini termasuk aliran eudaimonisme (eudaimonia, Yun, berarti: kesukaan).
Augustinus pernah berkata bahwa eudaimonia yang benar adalah fruitio Dei: menikmati
Allah. Mungkin utilisme dapat dikatakan eudaimonisme yang sosial, sebab yang dicari adalah
keseluruhan kesenangan, untuk masyarakat, bukan untuk oknum tersendiri.
Utilisme membutuhkan pertimbangan: kesakitan dan kesenangan, celaka dan untung,
semuanya harus ditimbang. Bentham menyebut 7 buah alat pengukur (calculus hedonistis)
antara lain intensitas, lamanya, keterjaminan dan kemurnian dari kesenangan. Karena itu
menurut Bentham mis. minum mabuk, jika diukur etis, sangat jelek.
Dalam hal itu Mill menilai bahwa sebuah makhluk yang terbatas kapasitasnya (mis. seekor
kambing) lebih mudah menjadi fully satisfied (sangat puas), daripada seorang manusia.

Kami mengikuti Douma yang berkata bahwa mempertimbangkan manfaat sebuah kelakuan
memang amat penting, tetapi berbeda dengan utilisme.
Sebab utilisme berarti bahwa ‘utilis’ selalu menjadi kepentingan yang satu-satunya.
Utilisme perlu dikeritik dan tidak dapat dipertahankan. Sebab:
1. Apa kesenangan yang terbesar: siapa yang mengukurnya? Terkandung
sebuah maksimilisasi, dan belum dipikirkan distribusi yang adil.
2. Apa kesenangan yang terbesar? Seorang yang ketagihan narkoba mungkin merasa
puas (satisfied) tetapi tidak senang (happy). Siapa yang mengukur kesenangan, mis.
makan/minum dibanding dengan mendengar musik atau seks?
Kesenangan bukan sesuatu yang empiris, tapi evaluatif: band. Khotbah di Bukit:
mereka yang sekarang dianiaya akhirnya akan dikenyangkan dengan kesenangan.
3. Bagaimana kita mengukur the greatest number? Apakah generasi-generasi yang akan
datang harus diperhitungkan juga? Apakah hanyalah manusia, yang harus ditinjau,
bukan binatang atau lingkungan?
Mungkin kita beranggapan bahwa dengan sendirinya manusia mencari juga
kesenangan orang lain, sehingga terjadi kesenangan sosial, tetapi ternyata manusia
seringkali sangat egoistis.
Apalagi: mempertimbangkan baik-buruk harus dilihat secara historis: apa yang terbaik
untuk hari ini mungkin besok ternyata sangat buruk: orangtua si Hitler pasti amat
senang waktu ia lahir, tetapi kemudian para penduduk dunia menderita karena ia
menjadi diktator.

Dalam utilisme ‘good’ adalah yang menghasilkan kesenangan, dan ‘right’ adalah apa yang
menghasilkan yang ‘good’. Jadi, bertolaklah dari jumlah kesenangan dan dari yang ‘good’,
untuk mendapatkan yang ‘right’.

25 Pengantar Etika Kristen.


Deontologi
Dalam deontologi ‘good’ adalah apa yang menghasilkan yang ‘right’. Jadi, bertolaklah dari
‘right’ untuk mendapatkan yang ‘good’. Deontologi adalah aliran etika yang berdasarkan
prinsip norma, dan tidak berdasarkan efek sebuah kelakuan.

Kant adalah seorang deontolog. Bonhoeffer sering menyebutnya sebagai contoh yang tidak
boleh diikuti, sebab Kant berbangga bahwa ia selalu akan membicarakan kebenaran, juga mis.
jikalau dengan itu ia menyerahkan seorang pengungsi kepada rezim kejam yang mencarinya.
Deontologi berbentuk banyak. Dapat berdasarkan penyataan Allah, atau seperti gereja Katolik
Roma berdasarkan hukum naturalis. Sedangkan dalam deontologi Kant intensi manusia
adalah intinya, kemauannya. Prinsip Kant adalah: berlaku demikian bahwa peraturan yang
engkau kehendaki selalu dapat menjadi prinsip hukum-hukum umum. Cuma, Kant
menyampaikan saja etika yang formil. Bukan materiil. Ketika ia harus menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang kasus konkrit (menyembunyikan pengungsi, dan tidak melaporkannya) ia
kalah. Bonhoeffer selalu mengatakan bahwa etika tidak boleh dilepaskan daripada keadaan
konkrit, dan bahwa keadaan konkrit itu adalah dunia yang diciptakan Kristus bagi manusia
dan didalamnya Kristus menuntut jawaban yang bertanggungjawab dan penuh kasih.

Apakah Etika Kristen bercorak deontologistis? Memang itu sering dianggap demikian, tetapi
tidak benar juga!
Terdapat satu bentuk deontologi yang kami sebut dengan khusus: Divin Command Theory
(DCT). Orang Reformed mungkin dipandang sebagai penganut dari DCT itu, sebab orang
Reformed menganggap benar seluruh isi Firman Tuhan. Orang Injili seperti Wayne Grudem,
mirip dengan aliran tersebut. Namun, DCT adalah ekstrim.
Justru Firman Tuhan mengajar kepada kita untuk memperhatikan konteks dan berlaku baik
dalam konteks itu. Ingat akan Rahab yang menyembunyikan orang-orang Israel. Dan ingat
akan Tuhan Yesus sendiri yang menyembuhkan orang sakit pada hari sabat.
Mereka yang mengeritik DCT mengolok: seandainya Allah menyuruh kebengisan, dusta,
percabulan, apakah kita harus ikut saja? Tetapi orang Kristen akan menjawab bahwa Tuhan
adalah baik dan tidak akan meminta yang buruk.
Etika Kristen tidak seharusnya seperti DCT, yaitu menilai tanpa nuansa apapun. Grudem
cenderung ke DCT, walaupun ia tidak menyebutnya. Dan Grudem justru bertolak dari
moralitas Allah dalam mempertimbangkan arti perintah-perintah Allah sehingga tidak
mungkin ia akan menerima kritik bahwa kita mau tidak mau harus mengikut perintah Allah
sekalipun perintah itu bengis.

Terkait dengan deontologi sering diceriterakan dilema Eutrypho (dari sebuah dialog filsof
Socrates): Apakah sesuatu adalah baik, karena para dewa menghendakinya, atau para dewa
menghendaki sesuatu karena itu baik adanya?
Menurut ceritera, Eutrypho melaporkan ayahnya kepada kehakiman, karena ia membunuh
seorang tetangga. Hanya saja, ayahnya membunuh orang itu dengan terpaksa, sebab ia
melakukan kekerasan (pembunuhan) terhadap orang lain. Eutrypho takut murka dewa jika ia
tidak melaporkan, sedangkan Socrates tidak menyetujui bahwa Eutrypho harus melaporkan
ayahnya. Sebab bagi ayah Eutrypho tidak ada jalan lain daripada membunuh orang jahat itu.

26 Pengantar Etika Kristen.


Namun Eutrypho berkata bahwa kelakuan ayahnya pada dasarnya jahat, sehingga ia harus
memberitahukan itu.

Dilema itu mungkin dirasakan mereka yang menyembah kepada dewa-dewi Yunani. Tetapi
dilema Eutrypho tidak kena Allah kita. Siapa yang menerima Allah sebagai yang berkuasa
dalam pokok-pokok etis, akan menerima-Nya dalam kasih-Nya dan menyangkal bahwa Allah
adalah seorang despot yang bengis.

Dalam Clark-Rakestraw ‘Readings in Christian Ethics’, vol. 1, 50-61, Janine Marie Idziah
mencari dan menemukan ‘good positive reasons’ untuk Divine Command Theory. Teori ini
berkata bahwa sesuatu adalah benar atau salah, oleh karena Allah berfirman demikian. Idziah
mengerti bahwa manusia dapat keliru dalam mengutip Firman Allah tetapi ia menyesal bahwa
beberapa argumen untuk membela DCT sudah dilupakan. Ia mengingat akan penulis-penulis
dari Abad Pertengahan yang menjelaskan: tidak ada penyebab di belakang penyebab pertama.
Berarti: kehendak Allah adalah penyebab pertama, yang layak untuk diterima. Dan terdapat
pula argumen berdasarkan kedudukan Allah yang unik: tidak mungkin terdapat sesuatu yang
terlepas dan yang independen daripada Allah. Karena itu Allah patut ditaati.
Dalam buku yang sama (118-124) Robert V. Rakestraw sendiri mengedepankan satu aliran
deontologis yang dikenal di Amerika, yaitu ‘Non-conflicting absolutism’ (N.C.A.). Perintah-
perintah Allah yang absolute (mutlak) itu pada dasarnya tidak bisa bertentangan satu dengan
yang lain. Seorang yang mengikuti perintah-perintah itu tidak bisa dipertanggungjawabkan
atas akibat-akibat yang buruk. Allah yang mengatur bagi mereka yang mengikut kehendak-
Nya.
Wayne Grudem termasuk aliran NCA ini (hal. 201,202).
Berbeda dengan itu, Helmuth Thielicke menguraikan ‘ideal absolutism’, yaitu perintah-
perintah yang kelihatan absolut (mutlak) tetapi itulah ideal saja, yaitu cita-cita yang tidak bisa
dicapai lagi, sebab kita menerima perintah-perintah itu sepertinya belum ada dosa, padahal
dosa sudah merajalela. (125-130: ‘The borderline situation of extreme conflict’). Maksud
Thielicke adalah bahwa manusia tidak jarang berada dalam keadaan yang tidak ‘normal’ dan
sangat sulit untuk menentukan sikap. Kalau ditanya manakah kelakuan salah, yang masih
dapat dipertahankan di hadapan Allah, harus dijawab bahwa tidak ada. Tetapi kita harus
bertanya juga manakah kelakuan salah, yang berdasarkan kasih, dan ternyata, banyak
kesalahan yang tidak bisa dihindari dapat diampuni.
Lain lagi pandangan Norman L. Geisler ‘Graded absolutism’, yaitu bahwa terdapat urutan
tingkat antara perintah-perintah Allah (131-137). Misalnya: Mengasihi Allah lebih daripada
mengasihi manusia (Mt. 22; Luc. 14:26); Mentaati Allah lebih daripada pemerintah (Dan. 3,
Kis. 4,5; Kel.1); Kasih melebihi keadilan (Ibr. 11, tentang Rahab).

Kalau membedakan ketiga bentuk ‘absolutism’ itu, maka kami lebih cenderung untuk
mengikuti yang kedua bersama dengan yang ketiga, daripada yang pertama (N.C.A.). Menurut
kami sering ditemukan yang disebut: kewajiban yang bertabrakan (collision officiorum),
sedangkan N.C.A. menyangkal itu.

Terdapat pula sebuah utilisme Kristen, sebagaimana diuraikan oleh C. Stephen Layman,
dengan judul “The Kingdom of God”, dalam Clark, Rakestraw: “Readings in Christian
Ethics”, Vol. 1, 32-40. Utilisme yang dimaksud tidak boleh diartikan aku-istis, tetapi seperti
dikatakan Layman: “An act is right and only if it promotes the Kingdom of God”. Kerajaan
Allah dalam pandangan Layman berarti: Terbentuknya relasi Allah-manusia, manusia-
manusia, manusia-ciptaan, semuanya itu selaras. Selanjutnya bahwa setiap pribadi bernilai
oleh partisipasinya dalam kelompok. Kemudian bahwa penggenapannya akan diraih dalam
dunia baru. Penting juga kesadaran tentang panggilan (vocatio) dan tentang tugas sebagai
bendahara (stewardship).
Namun, menurut kami, terlalu sederhana pandangan ini bahwa semuanya baik, jikalau
berfokus pada Kerajaan Allah. Sebab dengan mudah terjadi perdebatan antara orang Kristen
yang satu dan orang Kristen yang lain, sedangkan keduanya mau bekerja demi Kerajaan Allah

27 Pengantar Etika Kristen.


tetapi ternyata melalui jalan yang berbeda. Dalam kasus seperti itu utilisme tidak cukup: kita
membutuhkan juga norma untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.

Kebajikan (virtue).

Di atas kami bersama dengan Brownlee telah memilih etika tanggungjawab, sebagai jalan
tengah antara etika akibat dan etika kewajiban. Etika kebajikan tidak sama dengan etika
tanggungjawab, tetapi dalam pandangan kami dapat dilihat sebagai bagian daripadanya.

Bukan saja kelakuan manusia yang harus diteliti, tetapi juga sifatnya. Kelakuan etis
membutuhkan kontinuitas, dan kebajikan manusia dapat menjaminkannya itu. Alasdair Mc
Intyre adalah seorang filsof yang bukunya berjudul After virtue13 sangat berpengaruh.
Sebelumnya, selama beberapa abad, topik virtue hampir tidak dibahas. Baru pada akhir abad
XX virtue, kebajikan, ditemukan kembali.
McIntyre adalah penganut aliran komunitarisme, jadi ia menekan ‘community’, bukan
‘individuality’: setiap orang dibentuk oleh komunitas, masyarakat, baik yang di sekelilingya
maupun yang sebelumnya. Sebab kita lahir dalam sebuah komunitas dan menjadi besar di
dalamnya dan hidup di dalamnya. Menarik sekali, bahwa seorang filsof hendak menolak
individualisme dan liberalisme yang begitu merusakkan masyarakat Barat. Kebajikan-
kebajikan manusia dibentuk didalam masyarakat itu, katanya. Tetapi kami bertanya: dari
manakah norma-norma untuk perkembangan manusia? Bukan dengan sendirinya ia akan
mengembangkan kebajikan-kebajikan.
Kata Macintyre : Virtue adalah hasil dari praktek-praktek sosial, yaitu ketetapan-ketetapan
bersama yang ditujukan kepada hal-hal yang baik. Tugas-tugas kita sebagai orangtua, dosen,
pemimpin dll, semuanya mengandung praktek-praktek tertentu.
Hidup manusia adalah sesuatu yang naratif: seorang tidak mulai dari nol, tetapi cerita
hidupnya bersumber pada berbagai-bagai tradisi. Di dalam ceritera itu kebajikan dan karakter
seorang manusia dibentuk.

Teolog Stanley Hauerwas mempromosikan gereja sebagai lingkungan di mana kita tumbuh
dan di mana kebajikan-kebajikan kita berkembang. Manusia harus memposisikan dirinya
dalam narasi (ceritera) dari Yesus Kristus dan gereja14. Tetapi di sini juga patut ditanya
apakah norma-norma tidak perlu ? Menurut pandangan Reformed tetap perlu. Apalagi, gereja
beranekaragam : ada yang ortodoks, ada yang liberal, ada yang kharismatik. Tentu perbedaan
itu mempengaruhi juga perkembangan anggotanya. Apakah semuanya itu sama saja ?
Menurut kami tidak.
Hauerwas menentang etika modern yang ahistoris: bukan kita yang membentuk moralitas
kita, tetapi moralitas membentuk kita. Dan hidup Yesus Kristus adalah sumber kebebasan
kita: sejauh mana kita mengamini ceritera tentang Yesus yang dikabarkan di gereja maka
kebebasan kita dibentuk. Jadi menjadi Kristen bukan mentaati perintah-perintah tetapi
mengambil tempat dalam sejarah Yesus dan kerajaan-Nya.
MacIntyre dan Hauerwas ingin tahu dari mana timbulnya moral. Datangnya dari kehendak
individual, atau dari persekutuan yang bersejarah dan di dalamnya kita juga telah berada?

13 Alasdair Mc Intyre, After virtue, cet. 2, London 1985.


14 Stanley Hauerwas, The peacable Kingdom, London 1984.

28 Pengantar Etika Kristen.


Mereka memilih yang terakhir, tetapi mereka terlalu optimistis dan idealistis tentang manusia.
Sebab manusia tidak baik adanya, dan masyarakat bahkan gereja sangat pluriform.
Hauerwas sendiri berada dalam tradisi pasifisme, dari orang Baptis. Sayang sekali bahwa bagi
Hauerwas Alkitab tidak bisa menjadi ‘iudex controversiarum’, hakim dalam pertentangan-
pertentangan. Menurutnya Alkitab dapat ditafsir dengan bermacam-macam cara.

Etika kebajiikan, dari manakah itu? Plato dan Aristoteles, filsof-filsof Yunani, telah
memeloporinya.
Plato menyebut sebagai ke-empat kebajikan utama: hikmat, keberanian, penguasaan diri, dan
keadilan (sofia, andreia, sofrosune dan dikaiosune).
Sesuai dengan itu dalam psikhologinya Plato membedakan dalam jiwa manusia tiga bagian:
akal budi (nous), semangat (thumos), dan keinginan atau hawa nafsu (epithumia), yang harus
dikendalikan oleh penguasaan diri. Hal itulah juga sesuai ajaran Plato tentang negara: ada
para pemimpin, yang memikirkan, ada para pegawai dan serdadu yang mengatur dan
melindungi negara, ada para petani dan buruh, yang bekerja untuk memenuhi keingingan dan
hawa nafsu dalam makan dan minum. Dalam bahasa Jerman: ‘Lehrstand’, ‘Wehrstand’ dan
‘Nährstand’.
Keadilan adalah kebaikan yang mengkoordinir yang lain.

Menurut Aristoteles, manusia mempunyai tujuan dalam dirinya, yakni eudaimonia


(kesenangan, happiness). Demi eudaimonia maka ‘hidup dengan baik’ dan ‘berlaku dengan
baik’ adalah sama. Aristoteles hanya saja memikirkan hidup di dunia ini: di sinilah manusia
harus mencapai tujuannya, di sini ia harus menjadi manusia yang baik.
Manusia harus melatih diri dalam kecakapan moril. Hendaklah ia memiliki kebaikan, arete,
virtus, demikian rupa hingga kebaikan itu menjadi ‘habitus’ (milik pribadinya, sifatnya).
Menurut Aristoteles ‘virtue’ adalah selalu di tengah (he mesotes), antara dua ujung, dua kutub.
Jika berolah raga terlalu kurang, itu tidak baik, jika terlalu fanatik, tidak baik juga. Jika makan
sedikit sekali, tidak baik, jika makan terlalu banyak, tidak juga.
Aristoteles membedakan kebajikan yang dianoetis: intellektual, yakni hikmat (sofia),
pengertian (sunesis) dan kebijaksaan (fronesis) dan kebajikan-kebajikan etis.
Kebajikan-kebajikan dianoetis adalah yang terpenting: eudaimonia yang tertinggi adalah
theoria: pantauan rohani, khususnya bagi orang filsof. Sebab, untuk para dewa juga theooria
adalah kegiatan utama: sebab mereka tidak mempunyai kegiatan-kegiatan seperti manusia.
Manusia harus menjadi autark, bebas, swasembada , dan itu baru akan dicapainya jika ia
terlepas daripada orang lain dapat menyerahkan diri kepada theooria.
Kebajikan-kebajikan etis memungkinkan kita untuk bergaul dengan orang lain. Menurut
Aristoteles kebaikan etis berjumlah lebih daripada sepuluh.
Kata etika sebenarnya datang dari ‘etike tekhne’: teknik atau kecakapan untuk berlaku baik,
jadi sangat praktis.
Baik Plato maupun Aristoteles bermaksud untuk mendidik manusia agar ia menjadi manusia
yang baik dalam polis (kota/negara) Atena. Jadi, jauh sebelum McIntyre dan Hauerwas
mereka pun menekan komunitas sebagai tempat untuk mengembangkan kebajikan-kebajikan.

Augustinus membedakan hikmat (prudentia), iustitia (keadilan), temperantia (penguasaan


diri), fortitudo (keberanian). Dan semuanya itu adalah aspek-aspek dari kasih.

29 Pengantar Etika Kristen.


Tomas Aquinas (Abad Pertengahan, tokoh gereja KR) menguraikan ajaran tentang kebajikan
yang sangat terperinci. Tetapi ia tidak berfokus kepada komunitas melainkan kepada individu.
Ia menambahi keempat kebajikan klasik dengan ketiga kebajikan Kristen: iman, harapan dan
kasih. Roh Kudus mencurahkan kebaikan-kebaikan Kristen itu, berarti manusia tidak
membutuhkan sesamanya, atau komunitas, untuk mengembangkannya. Ia mendapatnya
langsung daripada Roh Kudus. Selain daripada virtutes yang dicurahkan (infusae) terdapat
juga virtutes yang diperoleh (acquisitae). Semua manusia dapat memperolehnya jika mereka
menuruti hukum kodrati. Jadi, juga dalam penilaian terhadap kebajikan, ajaran KR
membedakan antara gratia (kasih karunia, adikodrati) dan natura (kodrati).
Tujuan utama menurut Tomas adalah beatitudo (‘happiness’), yakni sama dengan
eudaimonia untuk Aristoteles. Tetapi Aristoteles mencarinya di bumi dan Tomas di surga.
Teoria Dei (memandang Allah) baru tercapai jika iman, harapan dan kasih dicurahkan oleh
Roh Kudus. Juga bagi Tomas virtue berada di tengah. Dan itu tidak benar, menurut kami :
bagaimana mungkin seorang manusia harus menjaga diri agar iman dan harapan dan kasih
tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, tetapi justru di antara itu ? Kita harus mengasihi
Allah dengan segenap hati, begitu sesama manusia!

Bagi para Reformator ajaran tentang kebajikan tidak perlu mendapat tekanan. Tentu mereka
juga ingin supaya kita mempunyai kebajikan-kebajikan, dan supaya manusia maju dalam hal
itu. Bagi mereka pentingnya kebajikan sama sekali tidak merupakan bahan diskusi, sebab
Alkitab juga sering membicarakan bagaimana seharusnya sifat dan sikap seorang yang
percaya kepada Allah. Tetapi manusia akan dibenarkan oleh iman kepada Yesus Kristus dan
itulah fokus Reformasi.
Pada zaman sesudah era Reformasi ternyata tidak ada perkembangan ajaran etika mengenai
kebajikan. Tekanan lebih pada kesepuluh hukum.

Menurut kami kewajiban dan kebajikan harus berjalan sama dalam satu etika. Virtue, atau
kebaikan, menurut difinisi Douma, adalah kemampuan untuk berlaku moril dengan baik,
berdasarkan pengertian yang diperoleh oleh pembawaan dan pembinaan, pada saat yang
tepat dan dengan cara yang tepat15.
Untuk menghindari diskusi tentang habitus, yaitu pembawaan yang diwarisi, Douma
berbicara tentang ‘kemampuan’. Kebaikan bukan sesuatu yang dicurahkan (Tomas Aquinas).
Kebajikan-kebajikan bersumber pada kedewasaan rohani, yang diperoleh oleh pelatihan.

Menyangkut relasi antara kebajikan dan norma dapat disimpulkan bahwa kebajikan-kebajikan
menolong untuk menerapkan norma-norma yang konkrit.

Kewajiban yang bertabrakan


Sering ditemukan situasi yang disebut ‘kewajiban yang bertabrakan’ (collisio officiorum),
band. dilema Eutryphos (lih. di atas). Contoh: haruskah dokter mengatakan kebenaran kepada
orang yang sakit berat? Haruskah seorang anak menjawab sesuai kebenaran jika guru dengan
kasar bertanya apakah ayahnya tadi malam pulang ke rumah dengan mabuk seperti biasa?
Contoh terakhir itu dari Bonhoeffer. Untuk bereaksi dalam keadaan-keadaan yang sulit itu
tentu dibutuhkah hikmat. Dibutuhkan kebajikan! Di sini terlihat bahwa etika kebajikan bisa

15 Douma, o.c., 244.

30 Pengantar Etika Kristen.


mendukung pilihan yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa etika kebajikan merupakan
bagian dari etika tanggungjawawb.
Jika saya mengerti solusi Douma dengan baik ia berkata bahwa sebenarnya tidak ada
penabrakan, sebab tidak mungkin Allah memaksa kita memilih dari dua kemungkinan yang
sama-sama ditawarkan oleh Allah dan yang sama-sama sesuai kehendak-Nya. Seorang yang
berhikmat dan yang bertindak dalam kasih tentu akan tahu apa yang harus dilakukannya.
Tetapi menurut kami pandangannya bahwa pada dasarnya tidak ada collisio, penabrakan,
tidak memuaskan, dan tetap harus dikatakan bahwa ada kewajiban yang bertabrakan. Lebih
baik mengaku kepada Tuhan bahwa kita terpaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai
perumusan hukum Taurat, karena ada kewajiban lain yang harus kita lakukan juga (misalnya
dalam keadaan perang menipu tentara musuh yang sedang mencari guerilyawan, band. Yos.
2, band. Yak. 2:25, band. juga Kel.1:15 dst). Hati nurani kita tidak akan terbeban kalau
begitu.
Bagi Wayne Grudem juga tidak ada collisio officiorum. Pandangan itu telah dibahas dalam
bab 3.

Etika nilai.
Dalam merumuskan matrix etika Kristen, Nullens/Michener selain daripada norma, tujuan,
kebajikan, meliputkan juga nilai16. Mereka tidak memilih sebuah etika nilai, tetapi nilai
sebagai bagian daripada etika kristen yang bertanggungjawab. Walaupun mereka tidak
memilih istilah etika tanggungjawab, namun dalam matrix mereka terdapat semua unsur yang
juga ditemukan dalam pandangan seperti dari Douma dan Brownlee.

Berbicara tentang nilai berbeda dengan berbicara tentang norma. Jadi, etika nilai tidak sama
dengan deontologi (etika norma). Nilai lebih tinggi artinya, tetapi juga lebih sulit
didefinisikan. Sebuah norma dapat disebut dengan terang: jangan membunuh, jangan
berzinah. Sebuah nilai membutuhkan lebih banyak kata. Sebuah norma, atau perintah,
menyuruh untuk melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukannya. Sedangkan sebuah nilai
adalah sesuatu yang kita sayang-sayangi, mis. kebenaran, atau ketulusan, atau kesukaan kerja.
Nullens/Michener melukiskan dengan satu contoh ke-empat jurusan etika. Contoh adalah
sogok. Salah seorang yang lama menganggur, baru mendapat pekerjaan dalam marketing. Ia
ingin sekali bekerja dengan hasil, khususnya demi keluarganya. Kemudian ia menemukan
bahwa rekan kerja, bahkan atasan, menggunakan sogok untuk mencapai angka penjualan
yang tinggi. Ia sendiri sudah berkomitmen untuk tidak ikut, tetapi haruskah ia melaporkan
cara kerja temannya? Dan bagaimana kalau nanti ia ditegur sebab angka penjualannya sendiri
terlalu sedikit?
Dari segi deontologi, jelas tidak boleh ikut, bahkan harus berbicara. Tapi dari segi utilisme ia
cenderung untuk berdiam diri, sebab ia beresiko untuk kehilangan kerja nanti. Dari segi
kebajikan ia membutuhkan keberanian dan kejujuran. Dan dari segi etika nilai ia juga sangat
tertolong: memiliki pekerjaan adalah nilai yang tinggi baginya, tetapi pekerjaan yang kotor
tidak bernilai sama sekali. Dan pergaulan dengan rekan kerja yang tidak jujur tidak memiliki
unsur saling membangun dan berteman baik.

Etika nilai tidak dengan sendirinya bersifat Kristen, namun dalam banyak hal seiring dengan
itu. Etika tersebut dikembangkan oleh Max Scheler, seorang penganut personalisme. Seorang

16 Nullens & Michener, o.c. 131.


31 Pengantar Etika
dapat bereksistensi jika ia sebagai pribadi memiliki nilai-nilai sendiri. Tokoh lain adalah
Emmanuel Levinas, yang menerangkan bahwa pada saat kita bertemu dengan seorang lain,
maka kita sendiri, sebagai pribadi, harus bereaksi dan menunjukkan apakah yang bernilai bagi
kita terhadap sesama kita itu.
Banyak hal tersebut adalah sesuai ciri khas Kerajaan Allah seperti diajar oleh Tuhan Yesus
dan rasul-rasul-Nya.
Terdapat juga personalisme yang berlawanan dengan Kerajaan Allah, yaitu jikalau nilai-nilai
yang dianut tokoh tertentu tidak sesuai Alkitab, mis. akuisme atau rasisme.

6. Kitab Suci sebagai sumber Etika.

Kitab Suci (Alkitab) adalah sumber utama untuk Etika Kristen. Banyak orang
menyangkalnya, juga banyak teolog, atas dasar bahwa waktu dan tempat terlalu berbeda.
Tetapi kami yakin bahwa Roh Kudus yang telah mengilhamkan Kitab Suci untuk
menjadi Firman Tuhan bagi segala zaman, sanggup untuk membuat Alkitab menjadi
sumber bagi setiap orang yang hendak menimba daripadanya.
Dalam Kitab Perjanjian Baru sering ditemukan orang-orang suci yang mendasarkan
pandangan mereka atas kitab Perjanjian Lama, mis. Ul 32:35 dalam Roma 12:19.
2 Kor.8:15, 9:9 mengutip Kel. 16:18 dan Mazm 112:9 tentang hal memberi.
1 Kor. 10 menyebut sejarah Israel di padang gurun sebagai pengajaran bagi kita.
‘Sebab ada tertulis’ merupakan alasan kuat. Luk. 10:26, Mat. 22:29, Yoh. 10:35.
Begitu juga pandangan dalam sejarah gereja. Augustinus, Tomas dari Aquino, Luter dan
Calvin bersumber pada otoritas Alkitab.
Kedudukan Alkitab berubah total ketika para penafsir, berdasarkan ilmu yang disebut
penelitian historis-kritis, tidak menerima lagi kesatuan Alkitab dan menganggap Alkitab
sebagai kesaksian-kesaksian manusiawi yang bertentangan satu dengan yang lain. Sejak itu
selalu diterbitkan buku-buku tentang mis. etika Yesus yang eskatologis, etika jemaat-jemaat
pertama, etika Paulus yang kristologis dll. Judul-judul seperti itu menurut kami tidak tepat
sebab mengesankan bahwa terdapat bermacam-macam etika dalam Alkitab.

Dalam abad XX, di bawah pengaruh filsafat eksistensialisme, disangkal bahwa terdapat
kebenaran-kebenaran yang tetap berlaku. Katanya: tidak mungkin untuk menempatkan buku
Alkitab dalam sebuah aku-anda relasi, dalam hal ini relasi Allah dan manusia. Teologi K.
Barth dicoraki oleh filsafat tersebut. Dan menurut filsafat tersebut, setiap kebenaran akan
terwujud dalam sebuah relasi.
Terdapat teolog-teolog yang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sebagai
sumber untuk etika, tetapi menerima saja beberapa model dari Alkitab, yang menurut mereka
memiliki wibawa dari Allah. Pertanyaan kami ialah mengapa beberapa model saja diterima
sebagai berwibawa dan Alkitab sendiri tidak. Dan juga: model-model apa yang layak diterima
dan apa tidak? Contoh: Exodus motif, sebagai dasar untuk teologi Pembebasan, atau motif
Khotbah di bukit. Atau motif kasih.

Berbeda sekali dengan pola tadi adalah ‘biblisisme’, yaitu bahwa nas-nas Alkitab diterima
terlepas daripada konteks. Perbedaan waktu dan tempat tidak dihiraukan. Mis. kutuk atas
Ham (Kej. 9:29) menjadi dasar untuk mempertahankan perbudakan orang negro, atau Yoh.

32 Pengantar Etika
9:4a sebagai dasar untuk bekerja seminimal 9 jam sehari, atau enam hari seminggu (Kel.
20:9).
Alkitab adalah Firman Tuhan yang oleh pekerjaan Roh Kudus merupakan pedang yang
bermata dua (Ibr. 4 :12). Tetapi selalu harus kita memeriksa diri apakah kita menggunakan
Alkitab dengan murni dan tidak biblisistis. Mereka yang tidak menerima Alkitab sebagai
Firman Tuhan seringkali mengatakan bahwa orang Kristen yang menerima Alkitab sebagai
sumber Etika adalah orang yang biblisistis. Namun, tuduhan itu tidak tepat bila pembaca
Alkitab yang menerima wibawa Alkitab memperhatikan juga konteks setiap nas.

Telah disebut aliran yang disebut etika naratif (S. Hauerwas): para pembaca yang hidup
sekarang tidak terlepas daripada sejarah yang diceriterakan dalam kitab Suci: “we learn to
locate our story in Gods story”.
Etika naratif menurut penganutnya menganggap perlu untuk membiasakan diri dengan waktu
lampau. Dan memang tidak mungkin membahas Kesepuluh Hukum terlepas daripada
pendahuluan tentang pembebasan dari Mesir, atau Khotbah di bukit terlepas daripada berita
tentang kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus Kristus. Tetapi Douma menanyakan apakah
hal-hal naratif (yang bersifat ceritera) semudah itu bisa dikaitkan dengan ketaatan, dan apakah
tidak lebih baik kita menerima sebagai perintah Tuhan apa yang disampaikan sebagai
perintah Tuhan.

Menurut Douma dapat dibedakan antara empat penggunaan Alkitab17:


1. Apabila digunakan secara langsung, Alkitab adalah seperti pemandu. Dalam keadaan
konkrit terdapat petunjuk Alkitab yang konkrit.
2. Alkitab adalah tetap seperti penjaga, yang tidak menunjuk jalan yang benar tetapi
memberikan aba-aba untuk tidak ikut jalan yang salah. Dalam keadaan konkrit Alkitab
memberikan peringatan untuk tidak melakukan sesuatu yang salah itu.
3. Alkitab digunakan juga sebagai penunjuk arah, yang dalam lalu lintas menunjuk tujuan
kepada pengemudi-pengemudi. Sebab Alkitab memberikan faktor-faktor yang tetap, dan
yang direktif bagi kita.
4. Di samping itu Alkitab memberikan banyak contoh, mis. dari Yesus Kristus sendiri:
contoh-contoh seperti itu sering tidak mengajar kelakuan konkrit melainkan etos Kristen
secara umum.

Menyangkut Alkitab sebagai penjaga dapat ditambahkan umpamanya bahwa perkembangan-


perkembangan historis seperti pembubaran perbudakan, penghentian poligami, penjajahan,
memang tidak langsung diperintah dalam Alkitab tetapi benar-benar adalah sesuai ajaran
Alkitab dan juga sesuai perkembangan sejarah.
Menyangkut Alkitab sebagai penunjuk arah: terdapat masalah-masalah etis yang jawabannya
tidak ada dalam Alkitab, oleh karena pada waktu itu masalah-masalah tersebut belum bisa
ada: mis. bayi tabung, penyelidikan DNA. Tetapi karena Tuhan menetapkan faktor-faktor
yang tetap berlaku maka Alkitab berguna dalam permasalahan itu juga, misalnya melalui
unsur-unsur seperti ‘jangan membunuh’, ‘manusia adalah gambar Allah’ dll.

Tentang pokok yang sama: Walter C. Kaiser jr ‘How can Christians derive principles from the
specific commands of the law’, dalam Clark, Rakestraw, ‘Readings in Christian ethics’, vol. 1,

17 Douma, o.c., 98.

33 Pengantar Etika
192-201. Cara yang paling lazim untuk mendapatkan relevansi dari perintah-perintah khusus,
yang berasal dari waktu dan budaya yang berbeda, adalah mencari ‘middle axioms’, yaitu
prinsip-prinsip umum yang mendasari yang khusus. Kaiser membedakan 4 tingkat: 1.
Mengasihi Allah; 2. Mengasihi sesama; 3. Ke-10 hukum; 4. Kasus-kasus yang berhubungan
dengan ke-10 hukum.
Kita akan maju daripada yang khusus kepada yang umum untuk menjadikannya prinsip kita,
dengan memperhatikan 1. Apakah naskah menyebut alasan teologis atau moril yang khusus, 2.
Apakah terdapat kutipan dari nas Alkitab lain atau hubungan dengan nas lain, 3. Apakah ada
nas yang sejajar yang memberi keterangan, 4. Apakah terdapat penerapan yang legal.

Dalam buku yang sama, 202-206, Gordon D. Fee dan Douglas Stuart ´Distinguishing
culturally relative from normative teaching´. Artikel itu terarah kepada kitab Perjanjian Baru.
1. Membedakan inti berita daripada pinggirnya.
2. Membedakan hal-hal yang dianggap moril oleh Perjanjian Baru sendiri.
3. Memperhatikan hal-hal yang tetap sama dalam Perjanjian Baru sendiri.
4. Membedakan prinsip dan penerapan dalam Perjanjian Baru sendiri.
5. Memperhatikan apakah menurut penulis Alkitab sendiri hanya satu keterangan dapat
diberikan atau lebih.
6. Berhati-hati terhadap perbedaan budaya yang terlalu besar.
7. Menerapkan kasih kristiani.
Grudem juga menanyakan apa yang tetap berlaku dan apa yang relatif dalam Alkitab, bdk
fasal 3.

Christopher J.H. Wright: Segitiga etika


Wright adalah seorang Inggeris yang pernah mengajar di Indiah. Ia ahli etika dan ahli
Perjanjian Lama. Dalam karyanya yang terkenal: ‘Old Testament ethics for the people of
God’ ia meletakkan sebuah dasar yang kuat dengan mengintrodusir pengertian ‘the ethical
triangle’ (segitiga etika)18. Ia menekankan bahwa etika Israel dibangun atas ‘worldview Israel’
(pandangan umum orang Israel). Dalam pandangan itu orang Israel berfokus kepada Tuhan,
Allah Israel (sudut teologis), bangsa Israel, sebagai bangsa yang dipilih dan yang mempunyai
hubungan unik dengan Allah (sudut sosial) dan tanah Israel, yang menurut keyakinan orang
Israel adalah tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka (sudut ekonomis). Ketiga sudut
tersebut membentuk sebuah segitiga, yaitu segitiga etika.
Wright menekankan bahwa dalam seluruh P.L. etika bersifat teologis: pokok-pokok etis
terkait dengan Tuhan Allah: sifat Allah, kehendak Allah, tindakan-tindakan Allah, tujuan
Allah. Ditekankan juga bahwa Allah dikenal dari sejarah, dari tindakan-Nya, bukan saja dari
perkataan-Nya. Ditekankan pula bahwa dalam sejarah itu Allah selalu berprakarsa: Allah
mencari manusia, Allah memilih Abraham dan bangsa Israel, Allah mendirikan perjanjian.
Dalam hal itu inti kitab-kitab Perjanjian Baru sama, band. Yoh. 15:12, 1 Yoh.4:19, Roma
12:1. Dan karena itu etika Kristen sekarang seharusnya bertolak dari pembebasan manusia
oleh Allah berdasarkan anugerah-Nya itu.
Wright dengan sangat tepat memilih nas-nas Alkitab untuk menjelaskan keseluruhan
maksudnya: mis. Kej. 50:20 sebagai pernyataan yang sangat indah tentang kemahakuasaan
Allah dan kebebasan manusia (Yusuf dan saudara-saudaranya) atau Kej. 18:19, yang
menerangkan keterjalinan peran Israel yang etis dan yang misioner: Abraham dipilih Allah
agar ia membimbing rumahtangganya dan keturunannya berjalan di jalan Tuhan, dengan
melakukan keadilan dan kebenaran. Supaya Allah akan menghasilkan untuk Abraham apa
yang telah dijanjikan-Nya, yaitu bahwa dalam Abraham seluruh dunia akan beroleh berkat.
Sedangkan konteks perkataan itu adalah hukuman Allah terhadap Sodom.

18 Christopher J.H. Wright, Old Testament Ethics for the people of God, 2004, 17.

34 Pengantar Etika
Diselidiki ciri khas kehidupan sosial Israel dibanding dengan bangsa-bangsa sekelilingnya.
Tentulah perbedaan yang paling nampak adalah teologis. Dan berhubung dengan itu Israel
tidak mengikuti pola sosial bangsa-bangsa Kanaan, yang bersifat feodal, di mana raja
memiliki seluruh penduduk dan seluruh tanah, karena raja juga dilihat sebagai anak dewa. Di
Israel seluruh tanah dimiliki oleh keluarga-keluarga, setiap orang Israel adalah bebas,
pemerintahan dilakukan oleh penatua-penatua kota. Ketika bangsa Israel mengingini seorang
raja, Samuel memberi peringatan keras. Hanya pada masa Daud dan Salomon kerajaan
bermakmur, tetapi kemerosotan telah dimulai pada zaman Salomon. Cerita Ahab dan Nabot
menjelaskan bahwa kejahatan religius dan ekonomis berjalan sama: penyembahan berhala
oleh Ahab akhirnya menyebabkan ia mencuri tanah Nabot, dan Nabot dituduh Ahab dengan
palsu sebagai pemfitnah Allah sehingga Nabot dihukumkan mati.
Wright berkata bahwa Israel adalah paradigma (contoh, pengajaran) Allah: bukan saja Firman
Allah kepada Israel tetapi seluruh keberadaan Israel sebagai bangsa Allah yang dipimpin
Allah, dalam semua aspek kehidupan. Menjadi paradigma tidak berarti bahwa hukum-hukum
Perjanjian Lama langsung dapat diterapkan. Israel sebagai paradigma berarti bahwa
keseluruhan sejarahnya menjadi paradigma, dan dalam hal itu perlu direnungkan pula bahwa
Israel adalah jalan Tuhan kepada dunia ini untuk mendatangkan Juruselamat dunia.
Tentang pelajaran yang dapat diperoleh dari budaya Israel sesuai Perjanjian Lama, lihat juga
Yonki Karman, Bunga rampai teologi Perjanjian Lama.

Penggenapan hukum dalam Kristus:


Menggenapi, pleroo, (Mat. 5: 17) berarti melengkapi, bukan saja mengesyahkan: arti hukum
bagi kita berbeda dengan artinya bagi Israel, menurut Douma. Memang bagi kita hukum
Musa tidak lagi menjadi pemandu: persembahan-persembahan tidak dituntut lagi, dan juga
hukum-hukum perdata berbeda: dalam hukum Musa ditemukan 20 pelanggaran yang
menuntut hukuman mati pada waktu itu, tetapi bukan pada waktu kita.
Dalam kasus hukum yang ke-4 penggenapan berarti bahwa sabat israelitica ditemukan
kembali dalam perayaan hari minggu. Hukum yang ke-4 itu tidak termasuk peraturan-
peraturan seremoniil atau peraturan kenegaraan, tetapi termasuk undang-undang dasar yang
diperintahkan Allah sendiri di gunung Sinai.
Menurut Calvin hukum-hukum negara yang berbeda dengan hukum Musa kadang-kadang
bahkan lebih cocok bagi mereka daripada hukum Musa. Oleh sebab itu menurut Calvin tidak
dapat dikatakan bahwa negara non-Kristen telah meniadakan hukum Musa, karena
sebenarnya hukum Musa tidak pernah diberikan kepada bangsa itu sebagai undang-undang
negara.
Tomas Aquinas membedakan antara hukum moril, seremoniil, dan sipil, begitu juga sebuah
kompendium ajaran Reformed di Belanda dari abad yang ke-16, yang berjudul Synopsis
purioris theologiae.

Berbeda sekali adalah pandangan orang-orang tertentu di Amerika Serikat, a.l. R.J.
Rushdoony, yang disebut Christian Reconstruction. Aliran ini termasuk teonomi, yang sudah
dibahas lebih dahulu. Mereka mau menghidupkan seluruh hukum Musa dengan pengertian
bahwa penyembahan berhala, mengutuki orang, homoseksualitas, pemberontakan terhadap
orangtua, perlu dihukum mati. Menurut Rushdoony pandangan Calvin bahwa bangsa-bangsa
boleh mengembangkan hukumnya sendiri, sesuai sikon, adalah pandangan bidah.

35 Pengantar Etika
Pandangan Christian Reconstruction itu berkaitan dengan postmilennialisme: masyarakat kini
akan hancur dan sesudah itu manusia akan hidup bila ia berbalik ke hukum-hukum Alkitab.
Hanya hukum-hukum seremoniil merupakan pengecualian baginya.

Untuk bersumber pada Alkitab dengan cara yang bertanggungjawab kita membutuhkan
pertolongan Roh Kudus.
Dibanding dengan Israel, gereja PB sudah akalbalig. Dipimpin oleh Roh Kudus ia dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Apakah Roh Kudus memberikan pula pengetahuan tambahan, di samping pengetahuan dari
Alkitab? Pertanyaan itu tidak langsung dapat dijawab.Tetapi seorang yang berkata bahwa ia
memiliki pengetahuan yang datang langsung daripada Roh Kudus, harus memberikan
legitimasinya melalui Firman Tuhan. Seorang yang tampil sebagai seorang yang dipimpin
oleh Roh Kudus, harus dinilai dengan analogia fidei (kesamaan iman, isi iman) (Roma 12 :3,
1 Kor. 14 :29).
Calvin telah berkata : kita membutuhkan consonans dari dua suara : Firman dan Roh.

7. Kasih sebagai inti Hukum.

Dalam bab-bab sebelumya telah kami katakan bahwa kami memilih sebuah etika yang dapat
dicirikan sebagai etika tanggungjawab, bersama dengan J. Douma dan M. Brownlee. Dietrich
Bonhoeffer mengutamakan dua unsur dalam kelakuan etis: tanggungjawab dan kasih. Pada
dasarnya Douma memilih yang sama, dan Brownlee maupun kami sendiri juga.
Kasih mencakup segala perintah, sebagai ‘ikatan kesempurnaan’ (Kol. 3:14).
Banyak kebajikan (virtue) telah dibahas, terkait dengan etika kebajikan, namun untuk
kebajikan ‘kasih’ kami persembahkan satu fasal tersendiri.
Semua kebajikan yang didefinisikan untuk melukiskan etika kebajikan dengan khusus terarah
kepada manusia, tetapi ketika kita membahas kasih, makanya kita harus memperhatikan dulu
Allah.
Alkitab menyebut kasih Allah dalam berbagai-bagai bentuk. Kasih Allah kepada dunia
(Yoh.3:16), kasih Allah kepada bangsa-bangsa (Ul. 33:3), kepada manusia (Titus 3:4) dan
khususnya kepada bangsa-Nya sendiri (Ul. 4:37, Yoh. 17:3, Ef.2:4) yaitu bangsa Israel dulu
dan kemudian semua orang yang berada dalam Kristus.
Tersebut juga kasih Kristus, 2 Kor. 5:14, 1 Joh. 3:16, dan kasih Roh Kudus, dan juga
kasih antara Bapak, Anak dan Roh.
Manusia dipanggil untuk mengasihi Allah, dan juga sesama manusia. Dalam kasih yang
terakhir itu dapat dibedakan kasih antara suami dan isteri, orangtua dan anak, antara sahabat,
antara kekasih, antara orang seiman, tetapi juga terhadap orang asing.
Perlu dicatat juga kasih manusia kepada dirinya sendiri.
Bahkan kita dapat juga mengasihi hal-hal seperti hikmat, perintah Allah dll.
Sayangnya kasih dapat diarahkan pula kepada hal-hal yang tidak baik, mis. dunia.

Untuk membedakan beberapa bentuk kasih, sebaiknya diperhatikan kata-kata Yunani seperti
‘eroos’ dan ‘agape’, yang diterangkan dengan baik oleh C.S. Lewis: ‘need-love’ dan ‘gift-
love’. Keduanya pada dasarnya baik, tetapi mempunyai ciri khas yang berbeda. Di samping
itu bahasa Yunani mengenal juga kata ‘storge’ (kasih yang nyata dalam mengasuh,
memelihara) dan ‘filia’ (dengan banyak arti: terkenal ‘filadelfia’: kasih persaudaraan)

36 Pengantar Etika
Sekalipun pembedaan eroos-agape itu penting adanya, namun bukan semuanya dapat dicakup
didalamnya itu. Sebab kasih dapat berhubungan juga dengan unsur mengagumi, mis. terhadap
perintah-perintah Allah atau Bait Suci.
H. van Oyen memperhatikan tiga bentuk kasih: ‘eroos’, ‘agape’ dan ‘filia’. Douma mengikut
pembahagian itu dan menerangkan: ‘eroos’ adalah ketertarikan kepada oknum yang lain,
termasuk kasih seksuil. ‘Agape’ adalah kasih yang tidak menerima melainkan memberikan.
Kadang-kadang dengan menyangkal diri. ‘Filia’ adalah kasih terhadap struktur-struktur hidup,
sebagaimana ditentukan oleh Allah19.
Katabenda ‘eroos’ dan ‘filia’ tidak ditemukan dalam PB, hanya ‘agape’. Sedangkan katakerja
yang ada hanya ‘filein’ dan ‘agapein’.

Kasih kepada Allah tidak terbatas pada saat-saat tertentu, di mana iman kita memuncak dalam
hubungan mistik dengan Allah. Dan dalam kasih kepada Allah tentu juga tidak ada tempat
bagi seksualitas, seperti pada ritual-ritual orang Kanaan (ilah seperti Baal dan Astarte).

Adiafora
Kasih kepada Allah total adanya. Tinggal pertanyaan apakah ada adiafora (hal-hal yang
netral, tidak penting). Secara praktis memang ada, namun istilah itu tidak tepat.
Jelas bahwa Alkitab dalam sekian banyak kasus tidak memberikan peraturan langsung. Tetapi
tidak benar bahwa terdapat zone netral di mana manusia dapat menentukan semau-maunya
saja. Untuk setiap keputusan ada situasi tertentu, akibat tertentu, mungkin juga emosi tertentu.
Mungkin tidak ada perintah tertentu, namun setiap keputusan harus diambil secara
bertanggungjawab.
Pilihan orang Kristen yang satu dengan yang lain dapat berbeda, padahal dua-dua
bertanggungjawab. Dalam Fil. 1:9 tidak dibicarakan tentang adiafora, tetapi justru dikatakan
bahwa kita harus menentukan sikap kita tentang ‘diaferonta’ (hal-hal yang harus dibedakan),
yaitu memilih yang penting dan mengambil keputusan baik tentang itu.

Siapa sesamaku?
Tidak sulit bagi seorang untuk menjawab siapa sesamanya (ho plesios). Band. Luk 10 dan
Mat. 22. Dalam situasi konkrit akan menjadi nyata siapa yang telah menjadi sesama bagi kita:
setiap orang dapat menjadinya, tetapi bukan setiap orang adalah sesama kita. Dalam kasih
kepada sesama terdapat juga urutan. Sebab terdapat orang yang lebih dekat dengan kita
daripada yang lain.
Tidak tepat jika kasih terhadap sesama selalu merupakan ‘gift love’ dan tidak pernah ‘need-
love’. Dalam sebuah relasi, dalam hubungan cinta, baik eeroos maupun agape perlu.
Tuntutan untuk mengasihi tidak selalu berat adanya. Sebab apakah dalam kasih kepada anak
sendiri, dan antara suami-isteri tidak banyak juga yang kita terima? Akan timbul masalah, jika
eroos dan agape diceraikan dan hanya kasih kepada seorang dilihat sebagai tuntutan dari
Allah dan kasih daripada seorang tidak.
Kasih kepada Allah dan sesama telah dituntut dalam PL juga, yaitu Im. 19:18, dibanding
dengan Ul. 6:5. Tetapi unsur yang baru dalam PB adalah bahwa Yesus menunjuk kepada diri-
Nya: ‘Sama seperti Aku mengasihi kamu’ (Yoh. 13:34). Jadi, ‘filadelphia’ (kasih
persaudaraan) adalah bentuk khusus daripada kasih kepada sesama.

19 H. van Oyen, Evangelische Ethik, Basel 1952, 115.

37 Pengantar Etika
Kata ‘seperti dirimu sendiri’ menunjukkan intensitas kasih. Kasih kepada diri sendiri tidak
boleh menjadi ‘mementingkan diri’, ‘filautos’, band 2 Tim. 3:2.

‘Mengasihi musuhmu’ Mat. 5 :47.


Salah satu alasan untuk mengasihi musuh, adalah bahwa Allah sendiri mahamurah (Rom.
12 :1). Yoh. 3 :16 adalah dasar kasih kepada musuh. PL juga melarang untuk bersifat
benci: Im 19:17, Amsal 24:17, 29.
Kata Yesus bahwa menurut tradisi para musuh harus dibenci, Mat. 5 :43, bukan berarti bahwa
menurut hukum kita harus membencinya, tetapi menurut penafsir-penafsir. Tetapi Yesus
Kristus mengajarkan yang lebih mendalam, yaitu lebih radikal, sebab Kristus sendiri mati
untuk orang berdosa.
Atas dasar perintah untuk mengasihi sesama janganlah disimpulkan bahwa setiap argumentasi
berdasarkan lex talionis (hukum pembalasan) harus ditolak. Bila Yesus menolak itu, Mat.
5 :38, itulah karena Ia berbicara kepada pengikut-pengikut-Nya secara perseorangan. Sebab
memang, seorang diri tidak boleh membalas dendam, sebab Allah yang mempunyai
pembalasan. Tetapi Allah menginstruksikan kepada pemerintah-pemerintah untuk
menjalankan hukum, bahkan untuk menghukumkan (Roma 12, 13).
Mengasihi musuhnya adalah perintah untuk semua orang Kristen, tidak seperti ajaran KR
bahwa hanya saja perfecti (orang sempurna) bisa memenuhi consilia (anjuran-anjuran) itu.

‘Peraturan emas’
Terkenal sebuah nas yang dinamakan ‘peraturan emas’ (Mat. 7: 12): ‘segala sesuatu yang
kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.
Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi’.
Secara singkat: menunjukkan kepada sesamamu kasih yang diharapkan olehmu.
Peraturan seperti itu telah ditemukan pada Thales dari Milete, 600 seb M., dan pada
Konfucius, 500 seb. M. Seringkali rumusan tersebut ditemukan dalam bentuk yang negatif:
‘yang engkau tidak kehendaki dll’. Akan tetapi perbedaan antara perumusan yang positif dan
yang negatif tidak terlalu besar.
Konteks bagi penggunaan secara Kristen adalah hukum dan para nabi.
Kant mengeritik peraturan itu tapi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan imperatif yang
kategoris sebagaimana dikalimatkan Kant sendiri: Berbuat demikian supaya apa yang engkau
terima sebagai prinsip, dapat menjadi juga prinsip bagi semua orang.
Terdapat pula tafsiran yang utilistis dari nas tersebut: ‘do ut des’ : ‘berikan supaya engkau
akan berikan’.

Mengasihi diri
Menurut Augustinus, Bernard de Clairveau, Thomas Aquinas, maka kita wajar mengasihi
diri, sedangkan menurut Calvin dan Barth dll tidak boleh. Tetapi semua teolog tersebut yakin
bahwa memang terdapat bentuk kasih diri yang jelek.
Augustinus membela kasih diri sebagai kekuatan yang mendorong manusia memandang ke
atas sampai kasih itu memuncak dalam kasih kepada Allah.
Bagus juga Tomas : seorang yang mengasihi Allah akan mengasihi juga kepunyaan Allah,
yaitu diri sendiri.
Tetapi berhubungan dengan ini Augustinus maupun Tomas mengajar juga sesuatu yang aneh,
yaitu : kita harus mengasihi sesama karena hal yang baik didalamnya, yaitu kita mengasihi

38 Pengantar Etika
natura manusia pada umumnya. Jadi kita mengasihi musuh karena ia tetap manusia. Tetapi
dengan demikian kita membuat manusia konkrit menjadi abstrahan. Dan pada akhirnya kita
tidak mengasihi orang tertentu, sedangkan justru itulah yang dikehendaki Allah.
Jangan menempatkan kasih diri di atas kasih kepada sesama, sebab terdapat hanya dua
perintah dalam Mat. 22. Kristus tidak berkata: dan mengasihi dirimu. Kasih diri adalah sebuah
kenyataan yang menjadi pengukur dan dorongan untuk kasih yang lain.

Kasih dan keadilan. Etika situasi


Terdapat sebuah perkataan Augustinus yang tidak boleh menjadi patokan absolut: ‘dilige et
quod vis, fac’. ‘Kasihilah, dan apa saja yang engkau mau, perbuatlah itu’. Augustinus mau
menekankan kemerdekaan kristiani, bahwa seorang Kristen tidak terikat kepada banyak
peraturan seperti dahulu dipraktekkan oleh orang Farisi.
Hanya saja, kalimat itu telah menjadi patokan mutlak dalam aliran etika yang dinamakan:
‘etika situasi’, yaitu di mana tindakan moril semata-mata ditentukan oleh keadaan aktual.
Begitu J. Fletcher dalam ‘Situation Ethics’ (1966). Hanya perintah kasih yang
dipertahankannya, sebagai perintah intrinsik. Semua perintah lain tergantung dari keadaan,
katanya.
Tidak mungkin kita dapat menilai semua keadaan melalui hanya satu axioma saja, yaitu kasih.
Sebab keadaan masyarakat cukup rumit.
Sangat melelahkan juga jika dalam setiap situasi kita harus memikirkan apa yang baik, tanpa
boleh menggunakan peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan, dan hanya berfokus pada
kasih. Terakhir: dalam Alkitab perintah kasih tidak terlepas dari perintah lain: kasih bukan
pengganti hukum, tetapi penggenapan hukum, band juga Yoh. 15:10.
Ikatan antara kasih dan keadilan kuat sekali, khususnya jika kita memandang kepada salib
Kristus. Di sana Allah menunjukkan kasih-Nya dan juga keadilan-Nya.

Dalam Clark, Rakestraw, ‘Readings in Christian Ethics’, vol. 1, 148-156, etik situasi dikeritik
oleh J. I. Packer. Bagi Fletcher and J.A.T. Robinson perintah-perintah bersifat contoh saja, dan
tidak berkuasa. Etika situasi yang dianut mereka selalu menghitung dan mengkalkulasi.
Mereka bertolak dari keadaan dan pribadi seseorang, bukan dari prinsip. Kewajiban-kewajiban
tidak bisa bertabrakan menurut mereka sebab kasih selalu mendahului perintah lain. Packer
menyetujui bahwa setiap situasi bercorak unik, tetapi menolak bahwa kasih selalu yang terbaik
adanya. Apalagi: tanpa perintah-perintah kita juga tidak tahu bagaimana kita harus
mewujudkan kasih. Seorang teolog lain, Gustafson, pernah berkata bahwa dalam pandangan
Fletcher tidak mungkin manusia mempunyai hari nurani yang tidak baik.
1 Joh.5:2 berkata: kita mengasihi anak-anak Tuhan jikalau kita mengasihi Allah dan
melakukan perintah-perintah- Nya.
Sebelum itu, dalam satu makalah lain, Packer menunjukkan kepentingan wibawa dan kuasa:
‘The reconstitution of authority’ (92-100). Katanya bahwa bagi orang Kristen wibawa dan
kuasa datang dari Firman Allah. Kadang-kadang dimaksudkan kuasa yang legal, kadang-
kadang yang moril. Bagi Tuhan Allah sendiri keduanya sama, tetapi untuk manusia tidak
selalu. Manusia harus mengerti bahwa wibawa dan kuasa mempunyai satu tujuan yang mulia,
yaitu bahwa manusia mencapai sasarannya, bersama dengan Allah. Kasih memperkuatkan
kuasa.
Sebaiknya otoritas dipulihkan kembali, kata Packer, juga dalam negara-negara Kristen, sebab
di mana-mana otoritas sudah lenyap. Karena apa? Oleh karena gereja Kristen tidak selalu
menyebarkan iman yang murni. Apalagi: sangat sulit untuk meyakinkan orang-orang Kristen
yang murtad dengan otoritas saja. Kuasa dan wibawa dapat dipulihkan jikalau gereja
mengabarkan ajaran yang lengkap dan murni, jikalau gereja tidak sombong tetapi mengakui
kekurangannya, jikalau gereja dan kehidupan kristiani diakui sebagai sesuatu yang

39 Pengantar Etika
supranatural (yang datang dari atas), dan jikalau gereja percaya akan kedatangan Tuhan Yesus
untuk memperbaharui segala sesuatu.

8. Kesepuluh hukum (1-4)

Dalam Alkitab kesepuluh hukum dicantumkan dua kali, Kel. 20 dan Ul. 5. Tuhan Allah
sendiri mengumumkan hukum-Nya dari atas gunung Sinai. Kesepuluh hukum ini, dalam bah.
Yunani: Dekalog, adalah hukum dasar yang telah diumumkan sebelum Tuhan memberikan
perintah-perintah lain melalui Musa.
Kel. 20 menceriterakan pengumuman Dekalog, sedangkan Ul. 5 merupakan sebagian dari
khotbah Musa yang diucapkan pada saat bangsa Israel mau masuk Kanaan. Musa
mengingatkan sejarah yang sudah terjadi. Dalam ceritera itu diulanginya Dekalog, dengan
beberapa perbedaan, dibanding dengan Kel. 20. Sebab Musa bermaksud untuk memberi
petunjuk-petunjuk kepada bangsa yang telah tiba di ambang pintu Kanaan, dan keadaannya
berubah sejak mereka berangkat dari gunung Sinai. Perbedaan yang paling nampak adalah
alasan yang disebut untuk hukum yang ke-4 tentang sabat. Di Kel. 20 alasannya adalah
penciptaan Allah, yang beristirahat pada hari yang ke-7. Sedangkan dalam UL. 5 alasannya
adalah bahwa hamba-hamba harus beristirahat juga, sebab seluruh bangsa pernah dihambakan
dalam Mesir namun dibebaskan oleh Tuhan Allah
Tuhan Allah sendiri menuliskan Dekalog atas dua loh batu (Kel. 31:18), yang disimpan dalam
tabut perjanjian (Ul. 10).
Dekalog sering dikutip, baik dalam kitab-kitab P.L. maupun P.B. Lih. Yer. 7:9; Hos. 4:2, Mat.
19:18, Roma 13:9, 1 Tim. 1:9, Ef. 6:2, Yak. 2..

Grudem membahas hukum 1-4 bersama dengan 9 sebagai kesatuan, yang berjudul:
‘Protecting Gods honour’. Hukum yang 9 dilihat sebagai kelanjutan dari hukum yang ke-3,
tentang kemurnian dalam pembicaraan. Bagi Grudem dasar untuk tidak berdusta adalah
karakter Allah. Siapa yang berdusta menghina Allah. Saya tidak melihat dasar untuk
menyimpang daripada urutan Dekalog sendiri, dan menurut saya hukum yang ke-9 berfokus
pada melindungi sesama dengan tidak bersumpah dusta. Fokus dalam wawasan Grudem
bukan sesama manusia, tetapi karakter Allah. Saya menganggap juga, seperti dikatakan dalam
fasal 3, bahwa dalam hal ini pandangan Grudem terhadap Allah terlalu manusiawi. Nubuat
Yesaya fasal 40:12-31 menunjukkan satu jalan yang lain.

Hukum yang pertama


Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku

Perlu diamati hubungan antara kata-kata pendahuluan dan hukum yang pertama. Allah
memperkenalkan diri sebagai Tuhan, Allah mereka, yang telah melepaskan mereka dari Mesir.
Nama Tuhan adalah indonesianisasi dari kata Yahwe, ‘Aku adalah Aku’ (Kel. 3:14).
Pengertian nama itu bukan bahwa Tuhan berdiam diri dan tidak bergerak, melainkan bahwa
Tuhan tetap sama dan tetap setia untuk mengingat akan perjanjian-Nya (band. Kel. 3:16).
Justru karena Tuhan tetap setia makanya Ia membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. Dan
Tuhan, Pelepas itu, menuntut supaya mereka tidak akan menyembah kepada allah lain.

40 Pengantar Etika
Tentu rumusan ini tidak berarti bahwa terdapat allah lain. Tetapi Tuhan tahu apa yang
kadang- kadang muncul dalam benak anak-anak-Nya dan Tuhan mau mencegah
penyembahan berhala itu. Dan sekalipun allah lain tidak ada, memang roh-roh jahat ada dan
mereka suka menyeret anak-anak Tuhan kepada perbudakan baru, untuk menunduk kepada
allah yang dibuat manusia dengan harapan bahwa mereka bisa menolong. Band. 1 Kor.
10:19,20.

Indah jika diperhatikan bahwa Tuhan berkata: Aku telah membawa ‘engkau’, bukan ‘kamu’.
Bangsa Israel dipanggil secara perseorangan. Dalam perjanjian Allah setiap orang
bertanggungjawab penuh.
‘Di hadapan-Ku’: Tuhan Allah tentu menyaksikannya jika kita menyembah kepada berhala.
Pelanggaran itu tidak bisa disembunyikan. Apalagi, dosa penyembahan berhala itu sering
diumpamakan dengan dosa zinah (Yer. 2; Yeh. 16; Hos. 2) maka dapat dikatakan bahwa
penyembahan berhala adalah seperti berzinah di depan mata suami atau isteri yang syah.

Ilmu sihir dan tenungan adalah pelanggaran hukum ke-1. Sebab dengan itu kita menarik
kepercayaan kepada berhala yang diundang oleh tukang sihir itu.
Jemaat Tuhan harus berhati-hati sekali terhadap pedukunan juga. Bukan jika diartikan sebagai
obat tradisional semata-mata, tetapi jika ditemukan unsur percaya terhadap dukun yang
mempunyai kuasa gaib, atau yang mengundang kekuatan dari roh-roh.

Grudem menulis bahwa sejak 1971 Amerika Serikat mundur, secara moril, sebab Mahkama
Agung mereinterpretasikan kebebasan agama, dengan menentukan bahwa tindakan-tindakan
pemerintah tidak boleh memajukan atau melemahkan salah satu agama. Kelihatan sekali
bahwa Grudem sangat berfokus pada keadaan di Amerika Serikat. Beliau tidak menyebut
agama islam, terkait dengan hukum 1, namun agama hindu disebutnya dengan mengatakan
bahwa politeisme adalah pelanggaran hukum 1. Menurut saya beragama islam juga.
Mengherankan bahwa dalam materi hukum 1 Grudem lebih suka membahas perbedaan agama
Protestan dan Katolik, sebab penyembahan Maria merupakan pelanggaran hukum yang 1.
Menurut saya itu dapat dibenarkan, namun pembahasan agama Islam tepat juga (270).
Tentang kebebasan agama: menurut saya interpretasi yang memberi hak yang sama kepada
setiap agama adalah interpretasi yang benar, walaupun bukan saja Grudem tetapi juga
sebagian dari aliran Reformed cenderung untuk membela agama sendiri dengan kuasa
pemerintah (bdk Pengakuan Iman Gereja Belanda fasal 36), apalagi dahulu Katolik Roma.

Hukum yang kedua


Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun…

Hukum 1 dan hukum 2 berhubungan erat. Hukum 1 melarang untuk menyembah kepada allah
lain, sedangkan hukum 2 melarang untuk menyembah kepada Allah dengan cara yang salah.
Gereja KR tidak membedakan kedua hukum ini dan menerimanya sebagai satu saja. Supaya
tetap mencapai angka 10 mereka membagi hukum yang ke-10 menjadi dua. Sebab menurut
gereja KR tidak dilarang untuk membuat patung daripada orang santo atau bahkan daripada
Tuhan Yesus, konon untuk mempermudah ibadah. Tetapi hal itu bisa berakibat penyembahan
di hadapan patung itu. Oleh karena hukum yang ke-2 tidak dianggap sebagai hukum tersendiri
maka gereja KR merasa bahwa pembuatan patung bisa diperbolehkan.

41 Pengantar Etika
Untuk bangsa-bangsa di Timur-Tengah pada waktu kuno maka patung adalah tempat
kediaman ilah, karena itu patung sendiri juga sering dinamakan allah. Ingatlah akan dosa
dengan anak lembu emas. Kel. 32. ‘Buatlah untuk kami allah yang akan berjalan di depan
kami (ay. 1)’. Dan kemudian: ‘Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar
dari tanah Mesir (ay.4)’. Jadi, mereka mau menyembah kepada Allah dalam rupa patung itu.
Sama seperti bangsa-bangsa keliling, mereka menghendaki allah yang dapat diangkut mereka,
dilihat mereka, diraba mereka. Tetapi dengan itu Allah dilecehkan dan dihina.

Pada dasarnya hukum yang ke-2 perlu diartikan sebagai hukum yang melarang setiap cara
penyembahan kepada Allah yang melawan kehendak-Nya, dan yang adalah sesuai kehendak
manusia. Dan juga segala bentuk kompromis, di mana manusia tidak menaruh percaya kepada
Firman Tuhan saja tetapi mencampurkan agama benar dengan agama semu.

Allah sendiri tidak dapat dan tidak boleh digambarkan. Menyangkut makhluk: boleh
digambarkan, asal bukan untuk disembah. Jadi, pandangan gereja Kristen berbeda dengan
pandangan orang Islam, seperti terlihat pula dari kesenian masing-masing.

Tentang Tuhan Yesus, dan gambar-gambar-Nya seperti di Ceritera-ceritera Alkitab, dapat


dikatakan bahwa gambar itu tidak salah sebetulnya, sebab Tuhan Yesus adalah Allah yang
telah menjadi manusia. Tuhan Yesus, sebagai manusia, dapat dilukiskan, sekalipun jelas
bahwa kita tidak tahu bagaimana roman muka-Nya.

Tajam sekali ucapan berkat dan kutuk yang mengakhiri hukum yang ke- 2 ini, tentang dosa
yang dibalas kepada keturunan yang ke-3 dan ke-4 daripada mereka yang membenci Tuhan
dan kasih setia yang turun atas generasi yang ke-1000. Ancaman itu tidak berarti bahwa cucu
dan cici dikutuk karena orang tua, dan itu juga berlawanan dengan ayat-ayat lain, mis. Yeh.
18. Tetapi ancaman ini merupakan peringatan kepada orang yang hidup, supaya mereka tidak
akan menyimpang sedikit pun, sebab jika mereka menyimpang, bisa saja keturunannya akan
ikut, sampai cucu dan cici. Orang tua sendiri nanti dapat menyaksikan betapa hebat akibat
daripada dosa mereka.

Grudem mendukung juga keterangan bahwa generasi 2 dan 3 tidak akan turut dihukum kalau
bertobat. Begitu ia setuju juga kalau kita memiliki salah satu pandangan terhadap Kristus
(patung mental) bahkan juga kalau kita melukiskan Yesus, sebagai Dia adalah manusia juga.
Tetapi patung atau lukisan terhadap Allah Bapak langsung mengganggu pandangan terhadap
Allah Tritunggal. Lukisan seperti yang terkenal dari Michelangelo yang memperlihatkan
Allah sebagai manusia yang mengulurkan tangan dalam penciptaan manusia tidak
diperbolehkan, menurut Grudem. Pikir saya: kalau sama sekali tidak ada unsur penyembahan
didalam itu, apakah tetap tidak boleh?
Benarlah nasihat Grudem untuk tidak juga membuat patung yang mental daripada Allah.
Kalau tentang Kristus, sebagai Pengantara, diperbolehkan, lih. di atas. Di sini Grudem
membayangkan bagaimana manusia berupaya untuk turut merasakan apa yang dialami Yesus
sebagai manusia, yaitu kelaparan, permusuhan, pemukulan.

Hukum yang ketiga


Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan.

42 Pengantar Etika
Hukum yang ke- 2 telah melarang penyembahan yang salah, kemudian hukum yang ke-3
menunjuk jalan yang benar. Sekalipun hukum yang ke-3 juga berbentuk larangan, namun isi
hukum itu menyatakan bagaimana Tuhan Allah hendak dipuji dan disembah: dengan memuji
nama-Nya dan bersembayang kepada-Nya.
Tuhan tidak jauh, dan tidak perlu didekatkan melalui sebuah patung buatan manusia, yang
adalah pemalsuan saja. Sebab Tuhan sudah dekat untuk setiap orang yang memanggil
namaNya (Yes. 55:6). Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya dengan sebuah nama yang
sangat indah: Yahwe (di-indonesiakan dengan TUHAN) dan Tuhan mau dipanggil dengan
nama itu dan akan mendengarkan mereka yang berseru kepada-Nya..

Keliru sekali orang Yahudi yang begitu takut untuk melanggar hukum yang ke-3 ini sehingga
mereka sama sekali tidak mengucapkan nama Yahwe, tetapi setiap kali membacakan Adonai,
di mana tertulis Yahwe. Naskah yang tertulis tidak diganggu, tetapi dalam pembacaannya
terjadi penggantian nama. Dan hanya nama Allah yang satu itu, Yahweh, yang begitu
disegani. Adonai berarti ‘tuan’, sedangkan Yahwe sebenarnya: ‘Aku adalah Aku’ (band
keterangan hukum yang ke-1). Karena kebiasaan orang Yahudi inilah maka dalam
Septuaginta (terjemahan Kitab PL dalam bahasa Yunani), nama Yahwe diterjemahkan dengan
Kurios (tuan), begitu juga dalam terjemahan lainnya: Lord (Ingg), Seigneur (Per.), Dominus
(Lat), Tuhan (Ind.). Biasanya dengan huruf besar, untuk membedakannya dari kata Tuhan
yang adalah sapaan untuk Tuhan Yesus (dan sebenarnya juga terjemahan dari kurios). Sebab
dalam bahasa Yunani seorang besar dipanggil kurios: tuan.

Kadang-kadang juga orang Yahudi menggantikan nama Yahweh oleh ‘Syem’, yang berarti
‘Nama itu’, band. Im. 24:10-16.

Jika semuanya dipertimbangkan, harus dikatakan bahwa keliru sekali untuk tidak
menggunakan nama Yahwe yang indah itu. Nama itu diberitahukan oleh Allah sendiri, untuk
mengingatkan bangsa Israel akan perjanjian Tuhan. Cuma, pemanfaatan nama itu dengan
salah, itulah berbahaya. Contohnya pemanfaat arus listrik: sangat berguna, tetapi sangat
berbahaya jika salah dipakai.

Nama Tuhan yang sangat berarti itu boleh disebut juga dalam sumpah: Tuhan mengizinkan
kita untuk menyebut namaNya sebagai saksi, supaya perkara hukum yang berat dapat
diselesaikan. Begitu juga dalam pelantikan jabatan (pemerintah, dokter, notaris, ABRI). Tetapi
bersumpah dalam hal-hal sepele saja tidak boleh, dan tidak boleh juga untuk menghindar dari
kecurigaan. Nama Tuhan adalah agung, jangan mengucapkannya dengan sembarangan.
Dalam Khotbah di Bukit Tuhan Yesus berpesan untuk sama sekali tidak bersumpah: tetapi
latarbelakang ucapan itu adalah kritik Tuhan terhadap kemunafikan orang Yahudi yang
mengucapkan sumpah yang hanya setengah saja (mis. pada surga, atau pada Bait Suci), yakni
untuk bisa menyembunyikan tipu daya mereka sendiri. Karena itu Tuhan Yesus melarang
sama sekali untuk bersumpah, dengan mengatakan bahwa ‘ya’ tinggal tetap ‘ya’ dan ‘tidak’
tinggal tetap ‘tidak’.

Dalam arti lebih luas harus kita sadari pula bahwa setiap pemakaian nama Tuhan dan juga
nama Kristus bahkan Kristen, menuntut supaya kita menghormati nama yang suci itu dalam

43 Pengantar Etika
kelakuan kita. Jika ada parpol Kristen, atau majalah Kristen, atau sekolah Kristen, hendaklah
nama Tuhan terus dimuliakan di sana, dan tidak dicemarkan, apalagi dalam gereja Kristen.

Grudem dalam keterangan hukum yang 3 membahas ‘purity of speech’, dan


menggabungkannya dengan hukum yang ke-9 (lih. di atas).
Nama adalah reputasi, kemuliaan, dan benar itu. Pada dasarnya, katanya, hukum ini meliputi
seluruh hidup sebab manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah. Mengganggu
seorang manusia sekaligus merupakan penghinaan terhadap Allah, begitu pencurian (Amsal
30:9). Dan sebagai orang Kristen kita harus hidup dengan penuh bertanggungjawab, sebab
nama Allah terlibat.
Grudem mendukung kalau seorang Kristen bersumpah, dan menerangkan Khotbah di Bukit
dengan bagus. Ia tidak memilih aliran Anabaptis dalam hal ini, walaupun ia sendiri seorang
baptis.
Tentang bernazar, menurut saya, Grudem memberikan keterangan yang agak biblisistis.
Bernazar itu adalah alkitabiah, katanya. Akan tetapi sebuah nazar untuk melakukan yang tidak
baik tidak perlu ditepati, katanya. Saya beranggapan bahwa sebaiknya kita menjauhi dari
bernazar. Tetapi kalau sudah bernazar, kita terikat juga, sama dengan sebuah janji. Apalagi,
Grudem sendiri begitu menekan untuk tidak berdusta, bahkan menolak dusta darurat. Kenapa
nazar boleh ditiadakan? Ia melihat satu contoh tentang peniadaan nazar dalam Bil. 30, dan itu
tidak dapat disangkal, tetapi menurut saya tidak boleh digunakan sebagai patokan umum
untuk meniadakan janji. Begitu Grudem berkata bahwa orang tua berhak untuk meniadakan
nazar-nazar bodoh dari anak-anak mereka. Menurut saya jangan hal seperti itu dilakukan atas
dasar wibawa orang tua, dan atau Bil. 30, tetapi atas dasar hikmat dan tanggungjawab di mana
terpaksa kita memilih yang terbaik dari dua opsi yang sama-sama berat dan sulit (289).

Hukum yang ke-empat


Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat.

Dalam pemahaman hukum Allah dapat dibedakan antara dua cara penggunaan: yakni
‘nomisme’ dan ‘antinomianisme’. Dan khususnya dalam penetrapan hukum yang ke-4 itu
aliran-aliran tersebut sangat nampak.
Nomisme (nomos= hukum) berpegang pada penerapan hukum dengan cara hurufiah. Paling
jelas itu dalam aliran adventisme, yang tetap merayakan hari yang ke-7, jadi hari sabtu. Tetapi
nomistislah juga penafsiran hukum yang ke-4 yang memproklamir sebuah daftar tentang hal-
hal yang diperbolehkan pada sabat dan hal-hal yang tidak, seperti kita tahu dari orang-orang
Farisi.
Orang antinomianis beranggapan bahwa hukum tidak penting bagi kehidupan seorang
Kristen. Begitu juga hukum yang ke-4. Mereka berani mengatakan bahwa seorang Kristen
telah merdeka dari hukum Taurat (Gal. 4,5).
Maksud Paulus di sana adalah bahwa kita bebas dari hukuman yang dituntut oleh hukum
kepada orang berdosa. Kita merdeka dari hukuman itu oleh sebab Kristus telah menanggung
hukuman itu.
Hemat kami gereja-gereja Kristen di Indonesia cenderung antinomianistis dalam hal
merayakan hari minggu: berbelanja, bepergian, dianggap biasa.

Apakah inti hukum yang ke-4?

44 Pengantar Etika
1. Menurut Kej. 2:2,3, Kel. 20:8-11; Kel. 31:161,7, Ibr 4, Tuhan Allah telah menetapkan
sabat pada awal dunia. Allah Pencipta sendiri berhenti bekerja pada hari yang ke- 7, dan
menentukan bahwa seterusnya sehari pada setiap minggu akan disendirikan untuk menjadi
hari perhentian.
2. Hari yang kudus itu dimaksudkan pula menjadi hari ibadah, untuk memuji Tuhan.
Sesudah manusia jatuh hari ke-7 sebagai hari perhentian tetap berlaku, juga sebagai hari
ibadah di mana Tuhan dipuji, bukan saja karena penciptaan tetapi karena penebusan
pula. Unsur itu nyata dalam Ul. 5 di mana pelepasan dari Mesir disebut sebagai alasan
untuk merayakan hari sabat.
Bahwa sabat sudah dikenal sejak penciptaan, jadi sebelum hukum Taurat diberikan, menurut
kami jelas dari Kel. 16, ceritera mengenai ‘mana’. Sebab dikatakan bahwa pada hari ke-7
mana tidak akan turun, sebab manusia harus bebas dari pekerjaan pada hari itu.
Di bumi baru bangsa Tuhan akan akan menikmati perhentian sempurna dam bersukacita
untuk selama-lamanya (Ibr. 4:8,9).

3. Gereja PB sejak zaman rasuli merayakan hari yang pertama, tidak lagi hari yang ke-7,
sebab pada hari pertama Tuhan Yesus bangkit dari antara orang mati dan setiap kali jemaat
Tuhan, pada hari pertama minggu itu, boleh memperoleh perhentian dan bisa beribadah, dan
diingatnya bahwa keselamatan diperoleh oleh Yesus Kristus. Inti dari sabat tinggal tetap:
perhentian dan ibadah, tetapi diwujudnyatakan pada hari pertama untuk memuji Yesus
Kristus sebagai Juruselamat yang bangkit.
Kebiasaan gereja purba untuk berkumpul pada hari pertama terlihat dari Kis. 20:7, 1 Kor.
16:2, Wahyu 1:10. Jemaat pertama belum diperbolehkan untuk beristirahat sepanjang hari,
dan mereka beribadah pada waktu pagi subuh atau malam. Kebudayaan Yunani- Romawi
belum memungkinkan untuk berhenti bekerja. Baru kaisar Konstantinus Agung yang masuk
Kristen membuat hari minggu menjadi hari raya (tahun 323). Syukurlah, keputusannya
mempengaruhi begitu banyak kebudayaan di dunia ini sampai sekarang.
‘Ingatlah’ berarti dalam bahasa Ibrani: mengingat untuk dilakukan.
‘Kuduskanlah ‘ berarti: menganggap khusus, spesial; untuk diperlakukan sebagai hari khusus,
yakni untuk Tuhan.

Keterangan Grudem tentang hari sabat panjang lebar. Ia mengaku bahwa ia sendiri lama
adalah orang sabatis, tetapi sekarang tidak lagi. Tetapi argumentasinya tidak jelas bagi saya.
Menurutnya tidak ada perintah dalam Kej. 1,2 bahwa Adam dan Hawa harus beristirahat pada
hari ke -7. Menurut saya ada. Menurutnya hukum sabat terkait dengan banyak seremoni
Yahudi. Memang, itu tidak dapat disangkal, tetapi intinya tetap dari awal penciptaan, sebelum
terjadi pelebaran dalam agama Yahudi. Menurutnya hukum 4 termasuk hukum Musa yang
sudah berlalu. Katanya bahwa sesuai Ibr 3,4 orang Kristen memasuki perjanjian baru dan
mengambil bagian dari perhentian yang sudah diberikan sejak penciptaan dan yang tidak
dimasuki oleh orang Yahudi. Menurut saya keliru kalau kesepuluh hukum dianggap sebagai
bagian hukum Musa yang tidak berlaku lagi.
Grudem menggunakan ke-10 hukum dalam arti tertentu, yaitu sebagai prinsip pengaturan
bukunya. Katanya, 9 dari 10 hukum diteguhkan kembali dalam NT sehingga memiliki nilai
moril bagi orang Kristen di seluruh dunia, tetapi hukum yang ke-4 tidak. Menurut Grudem
sabat berlaku bagi orang Yahudi sampai Kristus datang. Sabat menjanjikan perhentian
badani, Yesus memberikan perhentian rohani (Mat. 11, Ibr 4). Bahkan Grudem menjelaskan
bahwa

45 Pengantar Etika
PB secara eksplisit menolak sabat untuk sekarang, Rom. 14, Gal. 4. Menurut saya yang
dimaksudkan di sana adalah seremoni-seremoni Yahudi sekitar sabat, tetapi bukan sabat
sebagai hari perhentian sendiri. Dan juga PB menolak cara orang Yahudi merayakan sabat,
dengan sangat tekad, yang tidak berarti bahwa seluruh hari khusus itu sudah ditiadakan.
Grudem sependapat dengan Calvin: sekalipun sabat ditiadakan, kita tetap memiliki
kesempatan untuk beribadah pada hari-hari tertentu dan berhenti bekerja, bagi karyawan juga.
Memang pandangan Calvin demikian, namun menurut saya lebih baik kalau sabat tetap
dilihat sebagai peraturan yang ditetapkan Allah dari awal penciptaan, asal cara merayakannya
tidak seperti cara orang Yahudi. Jangan lupa: kalau dikatakan dalam hukum 4 bahwa seluruh
pekerjaan harus dikerjakan pada hari lain, itu tidak berarti bahwa kita mengikuti tambahan-
tambahan orang Yahudi mis. tentang jumlah langkah tertentu yang boleh dilalui dll.
Grudem meneruskan pandangen terhadap hikmat untuk beribadah pada hari tertentu, dan
berkata bahwa setiap hari pada dasarnya boleh, tetapi hari minggu sangat baik, seperti telah
dianjurkan oleh Justinus Martyr.
Grudem berkata bahwa Allah berkenan pada pekerjaan kita, tetapi berkenan juga pada
istirahat dan liburan kita. Dari peraturan mengenai tahun sabat ia berkesimpulan bahwa
mengatur libur penting juga.
Katanya bahwa tidak perlu namun berhikmat untuk mendukung hukum-hukum sipil tentang
tutup usaha pada hari Minggu. Walaupun demikian, ia sendiri suka shopping dan makan di
restoran pada hari Minggu, seperti sering terjadi di Indonesia, dan yang sangat jarang di
Belanda, bahkan dulu dilarang keras dalam gereja.

9. Kesepuluh hukum (hukum 5)

Hukum yang kelima


Hormatilah ayahmu dan ibumu.

Keluarga dan rumah tangga adalah lingkungan hidup yang utama: di sana kita lahir, dididik,
dan bila dewasa kita boleh membentuk rumah tangga sendiri. Seorang yang tidak pernah
belajar untuk dengar-dengaran kepada orang tua, mudah saja akan membandel dan tidak akan
mendengar kepada guru, pemerintah, majelis gereja dll.
Pentingnya hukum 5 ini ditekan dalam Ef. 6.
‘supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan…’: kehidupan manusia akan merosot
dan tidak berkembang jika dalam rumah tangga tidak ada damai dan orang tua tidak dihargai.
Jelas sekali bahwa perumusan hukum ini menunjukkan tanah Kanaan, yang diduduki oleh
bangsa Israel. Tetapi sama jelas juga bahwa kita sekarang akan diberkati di tempat kita tinggal
jika taat, band Ef. 6:3: ‘supaya kamu berbahagia dan panjang umur di bumi’.

Seperti pelanggaran terhadap hukum yang 3,4 dikenakan hukuman mati, tetapi begitu juga
pelanggaran terhadap hukum ini. Band. Kel. 21:15a, Im. 20:9, Kel. 21:17, Ul. 27:16, Amsal
19:26, 20:20. Tidak demikian bahwa hukuman yang sama berat harus dijatuhkan sekarang
juga, tetapi kenyataan itu di Israel dahulu menunjukkan betapa besar pelanggaran seperti itu
dalam mata Tuhan.
Perintah ini seharusnya diterapkan kepada semua orang yang berwibawa atas kita, ajaran Kat.
Heid. Penerapan itu masuk akal jika diperhatikan bahwa mereka yang berwibawa di kota-

46 Pengantar Etika
kota Israel adalah orang tua . Pemerintah kota terdiri dari kepala-kepala keluarga besar atau
klen.

Sebaliknya, hukum 5 ini menunjukkan juga betapa bernilai anak-anak dalam mata Tuhan.
Mereka harus disayangi dan dipelihara dengan sebaik mungkin. Anggota-anggota jemaat
Kristen patut menyadari bahwa anak mereka sebenarnya harus dipandang sebagai anak
Tuhan, malahan itu lebih penting daripada memandang mereka sebagai anak keluarga atau
anak suku (band. Ayub 5:4, Amsal 14:26 tentang harga diri anak, dan juga Ef. 6).

Anak-anak yang sudah dewasa harus menolong orang tua yang tidak mampu lagi. Itulah juga
termasuk menghormati ayah dan ibu. Tanggungjawab itu di dunia Timur lebih dipeduli
daripada di Barat.

Taat kepada pemerintah

Topik etika ini sangat hangat, khususnya di Republik Indonesia yang multi-kultural dan multi-
agama. Sering timbul pertanyaan tentang hak Kristen untuk membela diri kalau terjadi
kekerasan, apalagi apakah umat Kristen boleh menolak ketaatan kepada pemerintah jikalau
terjadi keputusan-keputusan pemerintah yang berlawanan dengan kehendak Allah.
Dalam hal itu Roma 13 selalu dikutip sebab merupakan bagian Alkitab yang berbicara tentang
ketaatan kepada pemerintah, yang dijuluki sebagai hamba Allah. Sedangkan dari sejarah
diketahui bahwa kaisar yang berkuasa pada waktu itu adalah Nero yang bahkan kemudian
menindas orang Kristen dengan sangat kejam.
Norman Geisler dalam Etika Kristen membahas masalah bolehkah atau tidak melawan
pemerintah. Ia membedakan tiga aliran dan memilih yang di tengah, begitu juga dengan
pokok bolehkah berperang dan dengan pokok apakah hukuman mati diperbolehkan. Tetapi
untuk setiap pilihan ia mempunyai dasar-dasar Alkitabiah, jadi ia tidak memilih jalan tengah
karena itu lebih aman saja. Menyangkut masalah ketaatan ia berpendapat bahwa manusia
harus taat, kecuali kalau pemerintah melawan Allah. Dan juga bahwa pemberontakan tidak
boleh terjadi atas dasar apa saja, tetapi hanya jikalau pemerintah yang lebih rendah memimpin
rakyat dalam perang terhadap pemerintah yang lebih tinggi.
Menyangkut Roma 13 perlu disadari bahwa bab itu tidak membahas pokok pemerintah,
melainkan merupakan lanjutan dari pokok kasih, yang diteruskan juga dalam bab 13 bagian 2.
Yang disebut bukan kaisar atau gubernur, tetapi ‘exousia’, berarti yang berwenang, dan yang
dimaksudkan dengan itu bukan lembaga pemerintah saja tetapi setiap orang yang dalam
keadaan konkrit mempunyai kuasa atas orang lain, mulai dari orangtua sampai dengan
pemerintah, termasuk guru, majikan dan majelis gereja.
Dalam Alkitab tidak ada alasan untuk mengdewakan pemerintah. Bagaimana mungkin
seorang yang disebut hamba Tuhan akan disetarakan dengan Tuhan? Karena itu juga sangat
riil bahwa kuasa pemerintah tidak dianggap mutlak. Sekaligus sangat penting bahwa
pemerintah dihormati, bukan saja karena (perintah) Tuhan, tetapi juga karena hatinurani
(Roma 13). Tuhan Allah telah membentuk manusia sedemikian rupa hingga ia berfungsi
dalam kebersamaan dengan orang lain, menurut struktur-struktur tertentu, dan tidak sebebas-
bebasnya. Anarkisme bukan saja dilarang Tuhan tetapi juga sangat bodoh.
Kalau dalam negara terjadi penindasan terhadap golongan-golongan tertentu atau bahkan
terhadap rakyat seluruhnya maka, seperti dikatakan di atas sesuai pandangan Geisler,

47 Pengantar Etika
pemerintah rendah yang ada boleh berprakarsa untuk melawan pemerintah. Begitu juga
pandangan Grudem, dan semuanya itu sudah diajar oleh reformator J. Calvin.

Stassen dan Gushee, dalam ‘Kingdom ethics’ membahas topic ‘politics’ berdasarkan Mat.
5:13-16, tentang garam dunia dan terang dunia.

Wright, dalam Old Testament Ethics for the people of God, mengutip fasal-fasal seperti Yer.
29, dan Daniel 2,4 untuk membuktikan bahwa pemerintah yang ada, sekalipun tidak percaya
kepada Allah, harus dihargai dan ditaati, bahkan didoakan (240-242). Begitu juga makna
sejarah Yusuf di Mesir. Unsur-unsur yang sama ditemukan dalam Perjanjian Baru, dalam
Roma 13 dan 1 Tim. 2. Mengenai pemerintah di Israel, Wright mengajar bahwa kita harus
memperhatikan seluruh pengajaran P.L. dalam hal ini, dan bukan beberapa nas khusus.
Apalagi, di Israel secara berturut-turut terdapat beberapa sistem yang berbeda-beda, mulai
dari zaman patriarkh sampai dengan kerajaan bahkan exil. Sedangkan sistem yang paling baik
adalah sistem sesudah Israel masuk ke Kanaan dan sebelum raja Saul dipilih (247).

Berperang
Tentang hak berperang selalu disebut 5 kriteria: perang defensif saja, tidak boleh melebihi
serangan, dengan menghargai kemanusiaan, oleh pemerintah (atau pemerintah tingkat
rendah), dengan melindungi lingkungan.
Berdasarkan alasan yang ke-3 dan ke-5 sebuah perang nuklir sebenarnya dapat ditolak dan
dilarang, namun tak dapat disangkal bahwa tidak ada pemisahan total antara perang nuklir dan
perang lain. Perang dengan senjata biologis atau kimia bisa juga sangat kejam. Apalagi:
sebagian dari senjata nuklir dipersiapkan dengan tujuan untuk menakutkan musuh, bukan
untuk menggunakan senjata itu. Keseimbangan antara senjata di kedua pihak dikejar pada
masa ‘perang dingin’ antara barat dan timur, dengan melalui percakapan-percakapan antara
Amerika Serikat dan Uni Sovyet, yang disebut SALT dll.
Amat jelas bahwa etika politik dan etika sosial terkait. Hampir setiap perang disebabkan oleh
alasan-alasan ekonomis atau sosial: bangsa-bangsa berperang untuk mendapat makanan dari
bangsa tetangga yang kaya; pemberontakan-pemberontakan timbul karena sebagian bangsa
menderita dan kekurangan. Dalam dunia modern sangat penting bahwa pemerintah-
pemerintah berusaha agar tidak terjadi kemiskinan di daerah tertentu atau negara tertentu.
Bukan saja dari segi kemanusiaan tetapi juga dari segi keamanan. Eropah barangkali akan
menjadi Eropah serikat demi menghindar kemiskinan di beberapa negara di Eropah Selatan
dan Eropah Timur yang bisa membahayakan negara-negara lain.

Grudem
Grudem memberi judul sebagai berikut kepada pembahasan hukum 5: Lindungilah wibawa
manusia (‘Protecting human authority’). Ia membedakan wibawa orang tua, wibawa dalam
nikah antara laki-laki dan perempuan, wibawa pemerintah, wibawa dalam perusahaan,
wibawa dalam gereja, wibawa dalam persekolahan.
Di sini pun kelihatan bahwa Grudem membaca Alkitab agak biblisistis. Mis. kalau orangtua
pukul anak-anak, itu tidak salah, katanya, sebab tertulis juga dalam Alkitab dan kita tidak
boleh menjadi lebih bijaksana daripada Allah. Seakan-akan Grudem sama sekali tidak
menghiraukan perkembangan-perkembangan yang tidak langsung dari Alkitab, namun dapat

48 Pengantar Etika
dikatakan baik, mis. tentang hak bagi anak-anak, dan larangan-larangan untuk menggunakan
kekerasan terhadap anak-anak.
Mengenai posisi laki-laki dan perempuan Grudem membedakan antara ‘egalitarian’ dan
complementarian’. Grudem setuju bahwa dalam mengamati posisi tersebut kita harus bertolak
dari kesamaan sebagai gambar Allah. Namun: menurut egalitarian (juga disebut: evangelical
feminists) kepemimpinan Adam adalah akibat dari dosa, sedangkan posisi Adam menurut
komplementarian adalah dari sebelum dosa. Saya sependapat dengan Grudem dalam hal itu.
Seperti ia katakan: laki-laki (Adam) mewakili umat manusia (Rom. 4). Laki-laki memberi
nama kepada perempuan. Laki-laki diciptakan lebih dahulu dan Hawa diciptakan sebagai
penolong baginya, bukan sebaliknya. Sesudah dosa, Adam dipanggil lebih dahulu dan diberi
tanggungjawab.
Kej. 3:16 diterjemahkan Grudem sbb: ‘Your desire shall be contrary to your husband (402),
but he shall rule over you’. Di situ letaknya asal mula banyak konflik, menurut Grudem. Kata
itu dalam Kidung Agung 7:10: ‘desire for’, sedangkan dalam Kej. 3:16 dan 4:7 (dosa sebagai
musuh di ambang pintu) ‘desire contrary to’. Keberatan saya: dalam kamus kata BH
‘el’ (kepada) tidak ditemukan dalam arti ‘contrary to’.
Tidak mungkin Kej. 3:16 membahas hasrat seksual, kata Grudem, sebab hasrat itu dalam
Alkitab positif adanya. Menurut saya: walaupun positif, sekaligus hasrat seksual dapat
menjadi sangat buruk. Di sini pun Grudem menafsir terlalu sederhana.
Rasa sakit selalu muncul: pada mengolah tanah, dalam melahirkan anak dan dalam relasi:
sebab laki-laki, ‘because of his greater strength will rule over you’ (Grudem, 405). Saya
sependapat.

Mengherankan pandangan Grudem bahwa ‘the equality, differences and unity between man
and women reflect the equality, difference and unity in Trinity’ (407, 413.) Saya tidak setuju.
Apalagi Grudem berargumentasi bahwa peran yang berbeda didalam Ketritunggalan tidak
pernah dibalikkan, jadi tidak boleh juga antara laki-laki dan perempuan. Kesimpulan itu
terlalu cepat. Apalagi, tidak boleh kita menarik kesimpulan dari keadaan Allah kepada
keadaan manusia
Grudem melawan ‘mutual submission’, seperti dalam Ef. 5:21. Ia menolaknya berdasarkan
Ef. 5:22. Menurut saya justru sebaliknya: perbedaan tugas seperti jelas dari 5:22 dst
ditentukan oleh 5:21: mutual submission.
Begitu egalitarian mengatakan bahwa ‘kefale’ adalah sumber. Menurut Grudem tidak, sebab
bukan demikian dalam Ef. 5. Menurut saya keterangan sebagai ‘sumber’ dapat dibenarkan,
sebab laki-laki diciptakan lebih dahulu.

Grudem tentang pemerintahan politik


Menurut Grudem Kej. 9:5,6 adalah petunjuk pertama tentang pemerintah, sebab kalau ada hak
untuk membalas kejahatan, maka harus ada juga lembaga yang berhak. Tetapi Grudem tidak
menyangkal juga bahwa sudah ada wibawa dalam taman Firdaus, dilihat dari segi karunia
umum, dan saya mendukung. Dan mengenai nas Kej. 9, kesimpulannya adalah bahwa itu
dituju kepada Nuh sekeluarga, jadi bukan saja untuk Israel tetapi seluruh dunia. Begitu
menurutnya Amsal, Mazmur dan Pengkhotbah menyiarkan hikmat umum.
Apakah pemerintah jahat boleh dibalikkan, seperti terlihat pada Independence of America,
dan juga Kemerdekaan Indonesia? Grudem berpendapa bahwa itu boleh, kalau seperti tertera
di atas pemerintah rendah membela rakyat terhadap tiran.

49 Pengantar Etika
Mengenai Amerika, George III dari Inggeris bertindak sebagai tiran. Para penandatangan
Declaration of Independence tidak bertindak secara pribadi tetapi sebagai wakil A.S, bersatu
dalam Kongres, dengan memanggil kepada Hakim Tertinggi di dunia.
Allah mengangkat para pemimpin, tetapi melalui tindakan manusia. Dan sesuai dengan
pengaturan, pemerintah boleh dirubah, sebagaimana sering terjadi di demokrasi.
Pemerintah-pemerintah harus membela kebebasan-kebebasan manusiawi. Seperti kebebasan
dasar dalam Konstitusi Amerika: kebebasan agama, kebebasan bicara, kebebasan press,
kebebasan rapat, kebebasan petisi kepada pemerintah (441).
Kemudian ditambah melalui amendemen yang dianggap penting di A.S.: kebebasan memiliki
senjata, kebebasan pembelaan diri terhadap pencurian, kekebasan membela diri di pengadilan,
dan terakhir (1862) kebebasan dari perhambaan.
Sebagai seorang Amerika tulen Grudem juga mengajar bahwa setiap penambahan peraturan
secara jahat adalah pengurangan kebebasan secara jahat. Bahkan juga setiap penambahan
pajak adalah pengurangan kebebasan. Katanya, kalau mis. pemerintah melarang penggunaan
kantong plastik saya diharuskan memakai kantong kertas dan saya harus lebih sering ke
tempat sampah dan kebebasan saya dikurangi.

Bersama ‘founding father’ John Adams, Grudem menekankan juga bahwa Konstitusi dibuat
untuk rakyat yang moril dan adil. Sebab: pemerintah dapat mengubah hukum, mis. tentang
aborsi, tetapi yang dibutuhkan untuk mengusir dosa adalah perubahan batin.
Pemerintah harus memberi contoh yang baik: George Washington, Abr. Lincoln adalah contoh
yang baik, contoh buruk: Bill Clinton. Trump tidak disebutnya.
Pemisahan gereja dan negara dianggapnya perlu: gereja tidak mengukur pemerintah, dan juga
sebaliknya tidak. Pemerintah tidak boleh memaksa juga untuk menganut salah satu agama,
seperti dilakukan dalam negara negara islam.
Perlu juga pemisahan antara kuasa legislatif (kongres), kuasa eksekutif (presiden dan
pemerintah) dan kuasa judisial (trias politika).
Grudem menekankan bahwa tentara tidak boleh digunakan di dalamnegeri. Dan bahwa para
pemimpin sendiri juga berada di bawah hukum.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik, walaupun tidak sempurna. Pemerintah
seharusnya dipilih, sebab setiap warga sebagai manusia adalah gambar Allah.
Grudem mengutip Natan Sharansky, seorang yang berasal dari Rusia, yang menulis tentang
‘square test’: dapatkah seorang berjalan di tengah alun-alun yang luas sambil mengeluarkan
pandangannya dengan terbuka, tanpa diganggu atau ditahan: itulah kebebasan.
Bahkan dikatakan Grudem bahwa patriotisme boleh ada, asal tidak terlalu. Kis. 17:26 berarti
juga bahwa tanah air tidak boleh didewakan.
Yang menimbulkan pertanyaan saya adalah bahwa Grudem dalam pembicaraan tentang
wibawa sosial, tentang majikan dan karyawan, sama sekali tidak menyebut hak mogok.

Yoh. Calvin menekankan adanya dua pemerintah, yang masing-masing ditetapkan oleh Allah:
pemerintah kota (di Jenewa, jadi pemerintah negara) dan pemerintah rohani, jadi di gereja. Pada
prinsipnya kedua itu harus tunduk kepada Firman Tuhan. Tetapi keduanya itu terpisah.
Bertanggungjawab untuk yang pertama adalah badan walikota, untuk yang kedua majelis gereja.
Sekalipun Calvin sering memberikan nasihat kepada walikota, ia tidak terlibat didalamnya. Menurutnya
keduanya harus dipisahkan. Terbukti ketika Calvin menasihati pemimpin-pemimpin kota yang
berkanjang dalam dosa, bahkan menolak memberikan sakramen kepadanya. Calvin dan temannya Farel
diusir dari kota Jenewa, karena tidak disukai lagi oleh pemerintah kota. Syukurlah bahwa beberapa

50 Pengantar Etika
tahun kemudian Calvin dengan hormat diminta untuk pulang dari tempat pengungsiannya di Strasbourg,
karena Jenewa membutuhkan hikmatnya.
Calvin menyebut pemerintah duniawi suatu pemberian Allah, untuk mengekang kejahatan-kejahatan
manusia. Tetapi pemerintah kota lain, dan majelis gereja lain. Kenyataan itu sesuai dengan
kenyataan Alkitab.
Sekalipun kerajaan di Israel pada waktu Perjanjian Lama dapat disebut ‘teokrasi’, jadi pemerintahan
Allah, di mana Allah sendiri adalah raja atas bangsa-Nya dan raja manusiawi ditetapkan saja sebagai
alat dalam tangan Tuhan, namun dalam teokrasi itulah jabatan raja harus dibedakan daripada jabatan
imam. Ketika raja Uzia dalam kesombongannya masuk Bait Allah untuk membakar ukupan, imam
Azarya menasihatinya. Dan ketika seterusnya imam itu dimarahi oleh raja, raja sendiri pada saat itu
memang kena tulah kusta (2 Taw. 26). Band. Ul. 17, yang biasanya disebut ‘hukum raja’. Seorang raja
yang sekaligus berjabatan imam dengan mudah akan menyalahgunakan wibawanya. Dikenal saja raja-
imam Melkisedek, (Kej. 14) dari zaman Abraham, jadi sebelum hukum Taurat diberikan Tuhan kepada
bangsa Israel. Dan hanya Yesus Kristuslah, yang akan menjabat seperti Melkisedek itu (Ibr. 7) sebab
Dialah tanpa dosa.
Karena itulah dianjurkan bahwa pendeta-pendeta tidak mengambil kedudukan dalam dewan perwakilan
rakyat atau tugas pemerintah yang lain. Alangkah baiknya mereka mengabdikan diri kepada
pemberitaan dan penggembalaan. Anggota jemaatnya juga harus meyakini bahwa gembalanya menjaga
kerohanian jemaat dalam segala kebebasan rohani dan tidak terikat kepada salah satu aliran politik.
Lebih baiklah orang Kristen lainnya melakukan kewajiban politik itu.

10. Kesepuluh hukum (hukum 6).


Hukum yang ke-enam
Jangan membunuh.

Hukum ini mengatur perlindungan terhadap kehidupan seseorang dan penghargaan terhadap
kedudukannya di tengah masyarakat. Sebab ‘hidup’ bukan saja bahwa jantung berdenyut.
Pada dasarnya ‘hidup’ adalah: berada dalam persekutuan dengan Allah maupun sesamanya.
Sebab untuk itu manusia diciptakan Allah. Begitu kata ‘mati’ menunjukkan keberadaan di luar
persekutuan dengan Tuhan (Ef. 2:1).

Tuhan Allah berhak atas kehidupan setiap orang, baik mereka yang mengenal Tuhan maupun
yang tidak mengenal-Nya. Semua manusia berasal dari manusia yang diciptakan sebagai
gambar Allah dan setiap manusia juga diciptakan untuk hidup sebagai gambar Allah. Karena
itu ia tidak boleh dibunuh oleh sesamanya, sebab dengan itu Penciptanya dihina (Kej. 9:6,
Yak. 3:9).

Kata ratsach, membunuh, yang ditemukan dalam naskah Kel. 20, tidaklah menunjukkan
setiap kegiatan mematikan seseorang. Membunuh dalam perang tidak termasuk, begitu juga
hukuman mati tidak. Ratsach berarti membunuh dengan melawan hukum dan keadilan.

Grudem membela hukuman mati. Menurutnya ratsach tidak dianggap sebagai melaksanakan
hukuman tersebut. Kej. 9:6 mengizinkan. Menurut Grudem hukuman mati dalam PL tidak
pernah dalam kasus penyelewengan materiil. Dan Grudem berpendapat juga bahwa hukuman-
hukuman di Israel adil adanya, lagipula kalau dibanding dengan negeri-negeri sekitarnya.
Katanya juga, bahwa daftar kasus yang layak hukuman mati dalam PL tidak bisa disalin
begitu saja.
Menurut Grudem dalam negara-negara A.S. yang berpegang pada hukuman mati, tidak ada
kehakiman yang memandang muka, atau golongan, atau ras, dan tidak juga kesalahan yang
tidak bisa diluruskan. Menurut info yang saya dapat hal-hal seperti itu terjadi.

51 Pengantar Etika
Dengan jelas sekali Grudem menolak diskriminasi ras. Perkawinan antar-ras diperbolehkan,
lihat Musa sendiri. Kutuk atas Ham, khususnya Kanaan, digenapi pada saaat perebutan
Kanaan, dan tidak boleh diterapkan pada orang Negro di abad kemudian.
Pandangannya juga bahwa jika sebuah negara tidak mengizinkan orang dari ras tertentu untuk
berimigrasi, negara itu merugikan dirinya sendiri.

Ia menulis juga dengan bagus tentang tantangan bagi orang yang lansia, termasuk dia sendiri.

Dalam perang yang adil, menurut Grudem, seorang Kristen boleh berpartisipasi, dalam perang
yang tidak adil tidak boleh, bahkan mungkin ia harus melarikan diri dari negara.
Grudem menolak wanita dalam tentara, sebab pada P.L. tidak boleh. Apakah di sini juga tidak
terlihat biblisisme?
Pasifisme ditolak Grudem. Hukum internasional menurut dia ‘wishful thinking’. Dan negara-
negara yang menekankan hukum internasional, biasanya bersifat anti-Amerika, katanya.
Demilitarisasi internasional menurutnya tidak mungkin. Apalagi, katanya sekitar 30 negara
berpayung di bawah senjata nukleir A.S.
Dengan terbuka Grudem menyatakan diri sebagai anti Obama dan pro Reagan. Ia berdiam diri
tentang Trump.

Etika medis
Di bawah ini penulis membahas beberapa pokok etika medis, yang terkait dengan hukum
tentang perlindungan hidup. Tentang sumpah jabatan, di mana seorang medis mengikat diri
untuk melindungi hidup seseorang, siapapun juga dia. Tentang rahasia jabatan. Tentang
abortus provocatus (pengguguran sengaja) dan tentang teknik DNA: sampai jauh mana
seorang manusia berhak untuk mengatur DNA seseorang, sebab dengan itu ia bisa
memengaruhi kepribadian seseorang.
Definisi J. Douma tentang Etika medis adalah: pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan
moril di dalam bidang kesehatan, yang tertuju kepada menyembuhkan, meringankan
penderitaan dan merawati manusia yang sakit atau cacat, maupun menghindari dan
meniadakan penyakit-penyakit20.
Etika medis Kristen adalah pertimbangan tsb dari sudut pandang yang disediakan dalam Kitab
Suci.

1. Sumpah jabatan

Terkenal antara orang medis sumpah Hippokrates, yang disempurnakan oleh deklarasi Jenewa
(1948) dan juga menjadi sumpah jabatan dokter Indonesia.
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang
selayaknya;
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai
dengan martabat pekerjaan saya;

20 J. Douma, Medische ethiek, Kampen 1997, 15.

52 Pengantar Etika
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena
keilmuan saya sebagai dokter;
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan;
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh
supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial;
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri
saya.”
Dalam sumpah asli dikatakan juga bahwa seorang dokter yang karena jabatan mempunyai kontak
intensif dengan pasien tidak boleh mencari kenikmatan seksuil. Dan dengan terbuka juga
dikatakan bahwa seorang dokter tidak akan melakukan abortus.
Sumpah yang berlaku di Barat sekarang pada umumnya tidak terkait dengan agama, dan membuka
jalan untuk mengindahkan otonomi manusia, sebagai salah satu ciri sekularisasi. Intinya adalah
bahwa calon dokter bersumpah ia akan melakukan ilmu medisnya menurut peraturan-peraturan
hukum yang ada sesuai kemampuan yang ada padanya dan tidak akan membuka rahasia jabatan,
kecuali jikalau dituntut oleh hukum.

Sumpah jabatan yang lunak, seperti sekarang digunakan di negara-negara Barat, membuka jalan
untuk aborsi dan etanasi, sedangkan yang klasik melarang itu.

2. Informasi kepada pasien. Rahasia jabatan.

Pada umumnya diakui kewajiban ‘informed consent’, yang berarti bahwa kepada seorang pasien
harus diberitahu penelitian mana dan operasi mana mau dilakukan dokter, dan juga dengan
risiko apa. Sekaligus pasien bebas memilih dokter mana yang akan menolongnya.
Bagaimana dengan pasien yang tidak bisa diinformasikan, karena masih kecil, atau sudah pikun,
bahkan mungkin dalam koma (tidak sadar)? Dalam hal itu sebaiknya ada seorang yang
mewakilinya, yang harus memikirkan keputusan mana akan diambil oleh pasien sendiri,
seandainya ia masih bisa (substitute judgment standard). Selain daripada itu ada juga patokan
otonomi yang sungguh-sungguh (pure autonomy standard) yaitu apakah pasien telah ditinggalkan
bukti-bukti pada waktu ia masih sehat (mis. dokumen)? Dan terakhir patokan kepentingan yang
terbaik (the best interest standard), yaitu memilih bantuan medis yang paling menguntungkan
pasien itu.
Rahasia jabatan melindungi kepentingan pasien (individual) dan juga kepentingan sosial.
Masyarakat pun beruntung jikalau tahu bahwa pasti dokter-dokter akan memelihara rahasia. Orang
penjahat pun patut dilindungi oleh rahasia jabatan seorang dokter. Ada pengecualian-pengecualian
di mana hukum menuntut untuk membuka rahasia, tetapi tidak dapat diberikan sebuah daftar
tentang itu. Kebutuhan itu sangat ditentukan oleh keadaan. Pada umumnya dokter dan pastor/
pendeta dan pengacara dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk bersaksi.
Contoh: jikalau ayah seorang bayi tidak dikenal, maka dokter harus melaporkan kelahiran anak.
Dalam kasus kematian seorang, dokter wajib menyatakan alasan kematian, kalau alamiah. Jikalau
ia yakin tentang terjadinya kejahatan ia dapat menghindar dari pelaporan. Menurut hukum seorang
dokter harus melaporkan penyakit yang menular kepada dinas kesehatan. Seorang dokter harus
memberikan informasi juga kepada hakim dalam kasus seorang yang harus opname dalam rumah
sakit jiwa. Dan mungkin secara moril seorang dokter harus membuka rahasia, mis. jikalau seorang
sopir bis yang sakit ayan dan tidak mau berhenti menyopir. Atau dalam kasus penyiksaan terhadap
seorang anak.
Perlu diingat bahwa dalam masa komputerisasi ini rahasia jabatan mudah diganggu karena begitu
banyak data telah dikumpul secara digital.

53 Pengantar Etika
Bagaimana tentang menyatakan kebenaran kepada pasien dalam kasus penyakit berat? Dahulu
pada umumnya pia fraus (penipuan saleh) diakui, sebagai konsekwensi dari prinsip Hippokrates
untuk tidak mengakibatkan luka dan penderitaan. Tetapi sekarang pada umumnya itu tidak
diperbolehkan, apalagi antara orang Kristen. Seorang sepatutnya dapat mempersiapkan diri atas
kematian. Tetapi tidak perlu semuanya diberitahukan langsung, apalagi pada saat yang tidak
cocok.
Kadang-kadang juga terdapat orang yang sebelumnya sudah berkata kepada dokter bahwa mereka
tidak ingin diberitahu. Kepada mereka dokter tidak perlu juga mengatakan bahwa mereka sakit
berat.

3. Penelitian sel dan gen.

Untuk diikutsertakan dalam program screening genetis, selalu harus atas dasar sukarela. Screening
tidak boleh atas dasar keputusan pemerintah atau keputusan asuransi. Pengecekan kesehatan
sebenarnya harus dibatasi pada kesehatan pada saat itu. Namun, tidak dapat dihindari bahwa
seorang yang mau masuk dalam asuransi jiwa dengan nilai yang sangat tinggi, akan dituntut
dahulu untuk dites mengenai mis. AIDS/HIV.

Diagnosis terhadap gen secara prekonsepsional kadang-kadang dapat dibenarkan. Di pulau Siprus
terdapat penyakit thalassemi (penyakit darah). Gereja Ortodoks melarang abortus sesudah
diagnosis prenatal dan Gereja menentukan bahwa setiap orang sebelum nikah harus menyerahkan
sertifikat bahwa ia sudah dites.
Diagnosis gen secara prenatal tidak dapat dilarang mutlak dalam etika Kristen. Biasanya dilarang
atas dasar bahwa screening seperti itu kemudian akan disusul oleh aborsi atau menghancurkan
embrio. Tetapi, boleh misalnya jikalau diagnosis terjadi pada waktunya, yaitu selama anak itu
belum lahir, yang membuka jalan untuk menyembuhkan anak itu kalau baru lahir. Jadi, kadang-
kadang foetus dilihat sebagai pasien.

Terapi gen: melalui teknik DNA rekombinan dapat dilakukan bahwa gen rusak dapat
dinonakfitfkan dan gen sehat ditranplantasikan.
Terapi seperti itu akan lebih intensif lagi jikalau sel-sel kelamin dapat diterapi, sehingga generasi
berikut sehat juga. Tetapi itu terlalu beresiko. Jikalau terjadi kesalahan maka generasi berikut
dirusakkan juga. Dan juga terapi gen seperti itu tidak terlepas daripada eksperimen dengan embrio.
Tetapi memperbaiki sel benih atau sel telur yang rusak boleh, sebab belum ada individu baru.
Melalui ivf (pembuahan dalam laboratorium) sel-sel itu bisa dibuahkan.

Di bawah ini satu kutipan medis tentang terapi sel induk21.

“ Riset stem cell (sel induk) menjanjikan terapi yang sangat mengagumkan. Bahkan, banyak orang
optimistis riset ini akan merombak total cara pengobatan yang ada sekarang
Akan tetapi, riset stem cell, khususnya sel induk dari embrio, masih berhadapan dengan
permasalahan etis yang sangat besar.
Salah satu tujuan dibuat sel induk adalah untuk keperluan riset agar para ahli makin mengenali
proses perkembangan awal kehidupan manusia yang tidak dapat diamati di rahim. Sel induk juga
digunakan untuk riset, percobaan obat-obat baru untuk mengetahui kemujarabannya beserta efek
sampingnya, dan terapi gen.
Menurut Dr CB Kusmaryanto SCJ dalam bukunya berjudul Sel Abadi dengan Seribu Janji Terapi,
sel induk merupakan sel yang tidak atau belum terspesialisasi, sel awal mula, dalam berkembang
biak melalui pembelahan sel dalam waktu lama. Sebab, sel ini dalam tahap awal perkembangan
embrio manusia menjadi sel awal mula yang menumbuhkan semua organ tubuh manusia.

Sel induk memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel matang, misalnya
sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, dan sel pankreas. Sel induk juga mampu meregenerasi
dirinya sendiri. Menurut The Official National Institute of Health Resource for Stem Cell
Research, sel induk ini ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh.

21 hpstroke.wordpress.com/2007/09/10/terapi-sel-induk

54 Pengantar Etika
Berdasarkan sumbernya, sel induk dibagi menjadi zigot, yaitu tahap sesaat setelah sperma bertemu
sel telur. Adapun sel stem embrionik yang adalah sel yang diambil dari inner cell mass, suatu
kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst yang berusia lima hari dan terdiri atas seratus sel.
Sel ini dapat berkembang biak dalam media kultur optimal menjadi berbagai sel, seperti sel
jantung, sel kulit, dan saraf.

Sumber lain adalah sel stem dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ tubuh, terutama
di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan.
Tubuh kita mengalami perusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan
kematian jaringan dan sel akan dibersihkan. Sel stem dewasa dapat diambil dari fetus, sumsum
tulang, dan darah tali pusat. Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya ia mudah didapat dari
klinik fertilitas, bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam
tubuh, berumur panjang karena dapat berpoliferasi beratus kali lipat pada kultur, reaksi penolakan
juga rendah. Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan kanker jika terkontaminasi, berpotensi
menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial.

Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari penolakan
imun, sudah terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara etika tidak ada
masalah. Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada
jaringan matur, masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan tidak bersifat multipoten
sehingga diferensiasinya tidak seluas sel induk dari embrio.

Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika dan dilarang di
beberapa negara, seperti di Amerika Serikat dan Perancis. Pemerintah Federal Amerika Serikat
melarang pendanaan penelitian yang menggunakan sel induk berasal dari embrio, tetapi tidak
melarang penelitian itu sendiri. Hal ini menyebabkan penelitian dilakukan pihak swasta tanpa
pengawasan yang baik.

Namun, di beberapa negara, seperti Singapura, Korea, dan India, penggunaan sel stem embrionik
manusia untuk kedokteran regeneratif diperbolehkan. Kanada membolehkan penggunaan embrio
sisa bayi tabung untuk penelitian sel induk. Swedia mendukung kegiatan pengklonan embrio
untuk tujuan pengobatan. Di Inggris, pihak swasta diperbolehkan membuat sel induk dari embrio.

Ketua kelompok Kerja Stem Cell Komisi Bioetika Nasional M.K.Tajudin menyatakan:

“Dalam proses pemanenan sel induk dari embrio terjadi kerusakan pada embrio yang
menyebabkannya mati. Pandangan bahwa embrio mempunyai status moral sama dengan manusia
menyebabkan hal ini sulit diterima. Karena itu, pembuatan embrio untuk tujuan penelitian
merupakan hal yang tidak dapat diterima banyak pihak.

Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio harus diperlakukan
sebagai manusia atau sesuatu yang berpotensi sebagai manusia, atau sebagai jaringan hidup. "Di
sini perlu kejelasan antara apa yang dimaksud dengan hidup dan kehidupan. Ditinjau dari sudut
biologi, tidak jelas apakah embrio yang hidup dapat dianggap sebagai kehidupan.”

Pandangan yang moderat menganggap suatu embrio berhak mendapat penghormatan sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Semakin tua usia embrio, kian tinggi tingkat penghormatan
yang diberikan.

Pandangan liberal menganggap embrio pada stadium blastosis hanya sebagai gumpalan sel dan
belum merupakan manusia sehingga dapat dipakai untuk penelitian. Namun, pandangan
konservatif menganggap blastosis sebagai makhluk hidup”.

Aborsi

55 Pengantar Etika
Tentang aborsi Grudem jelas: sejak pembuahan ia menganggap cikal bakal sebagai hidup
manusiawi. Saya cenderung mengatakan sejak inidasi. Sebab sebelum inidasi sering cikal
bakal yang dibuahkan keluar (gugur) secara spontan dan tanpa diketahui. Tidak masuk akal
kalau setiap buah harus dilihat sebagai pribadi sendiri. Berbeda dengan buah yang sudah
terinidasi di rahim, 8 hari sesudah pembuahan.
Aborsi sesudah pemerkosaan tidak diperbolehkan oleh Grudem. Berbeda dengan St. Tong
yang tidak melarangnya. Saya cenderung mengikut Grudem walaupun saya tidak sependapat
dengan pandangannya bahwa jarang terjadi seorang wanita hamil sesudah kekerasan. Dari
mana ia mengetahui itu?

Eutanasi tidak boleh, kata Grudem. Bdk. 2 Sam 1: seorang yang berpretensi bahwa ia
membunuh Saul atas permohonan dia sendiri, dibunuh oleh Daud. Menurut saya nas itu
terlalu rumit untuk berkesimpulan demikian. Tetapi saya mendukung pandangan Grudem
bahwa eutanasi tidak deperbolehkan.
Grudem melihat juga bahwa terdapat pembedaan antara membunuh dan membiarkan mati,
dengan tidak menggunakan alat i.c.u. atau menghentikan itu. Namun, memberi makan dan
minum adalah kewajiban sebab tidak sama dengan hidup artifisial. Kecuali kalau memberi
makan minum jelas melawan kehendak pasien.

Menahan diri dari alkohol secara total menurut Grudem tidak alkitabiah.
Tetapi ia menolak narkoba, antara lain atas dasar nas-nas Alkitab yang melarang penenunan:
sebab itu sering disertai dengan obat bius.

11. Kesepuluh hukum (hukum 7)


Hukum yang ketujuh
Jangan berzinah.

Pernikahan adalah hubungan antar-manusia yang paling erat. Suami-isteri dipersatukan


Tuhan untuk sama-sama memuliakan Tuhan, untuk saling mengasihi dan menolong, untuk
mendidik dan mengasuh anak-anak jika diberikan Tuhan kepada mereka.
Pernikahan merupakan hubungan yang tak boleh diputuskan, begitu ajaran Tuhan Yesus
sendiri dalam Mat. 19:1-12, di mana Tuhan mengutip Kej. 2.
Pernikahan adalah sebuah hubungan yang bersifat perjanjian (Mal. 2:14). Perjanjian itulah
sebetulnya diwujudnyatakan dalam hubungan perjanjian lainnya, yaitu perjanjian Allah
dengan bangsa-Nya. Karena itu sangat penting bahwa pemuda- pemudi Kristen berpacaran
dan nikah dengan sesama Kristen. Sebab menurut Mal. 2 :15 Allah menghendaki pula supaya
akan dilahirkan keturunan ilahi, yaitu anak-anak perjanjian.

Keluarga berencana
Pertimbangan-pertimbangan tentang KB harus berdasarkan kehendak Allah yang dinyatakan
dalam Firman, tentang ‘keturunan ilahi yang dikehendaki Allah itu’. Allah telah
menciptakan manusia, terutama untuk hormat Allah, bukan untuk kesenangan pribadi dan
untuk hidup enak-enak. Tetapi bukan setiap pemakaian KB harus dianggap terlarang bagi
orang Kristen, sebab orangtua harus memikirkan pula bagaimana mereka bisa mengasuh
anak mereka.
Kesehatan ibu juga tidak selalu mengizinkan ia mendapat banyak anak. Apalagi, di tempat-
56 Pengantar Etika
tempat tertentu, khususnya di daerah yang sudah padat penduduknya, harapan bagi generasi
muda tidak terlalu besar. Juga hal itu perlu dipertimbangkan. Apalagi, bila dalam keadaan
gawat, mis. perang.
Akan tetapi, jangan kita bertitik-tolak dari perhitungan tentang jumlah penduduk bumi
setotalnya. Para ahli dan orang politik sering menganjurkan untuk tidak lebih dari dua orang
anak, supaya jumlah penduduk dunia tetap stabil, tetapi perhitungan seperti itu di luar
kemampuan kita sebenarnya. Daerah-daerah yang dahulu rajin mempromosikan KB sekarang
diserang oleh ancaman ketuaan masyarakat. Dan perhitungan itu tidak sesuai Firman Tuhan
juga yang telah menerangkan kepada kita bahwa dunia ini akan berkesudahan, pada saat yang
dikehendaki Tuhan. Jadi, hendaklah kita bertindak bertanggungjawab, tetapi menyadari pula
bahwa tanggungjawab kita terbatas, berarti indahlah jika kita, sejauh kita dapat memandang ,
membentuk sebuah keluarga Kristen dan memperbesarkan anak-anak demi hormat Tuhan,
tetapi tidak wajarlah jika kita membatasi jumlah anak menjadi hanya satu atau dua tanpa
alasan yang kuat.
Bagi beberapa ahli di negara Barat aborsi termasuk KB. Tetapi itu penipuan besar. Aborsi
bukanlah KB melainkan pembunuhan dan dilarang Tuhan.

Penerapan hukum yang ke-7 sangat luas, juga kepada semua hal-hal yang tidak senonoh dan
yang dapat menarik manusia kepada hawa nafsu yang tidak baik. Dalam dunia modern terlalu
banyak hal buruk yang sangat menarik, pikirkan saja betapa besar bahayanya dari klip-klip
video dan film-film, apalagi situs-situs porno di internet. Rupanya manusia pinter untuk
menggunakan perkembangan teknologi bukan saja untuk hal-hal yang baik tetapi juga untuk
kemesuman.
Kami tidak bermaksud untuk mendukung gaya berpakaian perempuan moslim, tetapi tidak
juga kelakuan dan mode seperti di banyak film Barat. Alkitab melukiskan dengan indah
kecantikan perempuan dan keperkasaan lelaki, band. Kidung Agung, dan tidak ada salahnya
jikalau pakaian dan penampilan memperlihatkan keindahan tubuh. Alkitab juga tidak
merahasiakan hal-hal yang berhubungan dengan seks. Tetapi kemesuman tidak diingini
Tuhan.

Nikah adat
Apakah terdapat petunjuk Alkitab tentang pengurusan nikah seperti sering terjadi di Indonesia
dengan mas kawin dan/atau belis (Indonesia- Timur)? Jelas bahwa adat itu tidak langsung
dilarang dalam Alkitab, tetapi tidak dipromosikan juga. Kita menemuinya dalam sejarah
peminangan Ribka (Kej. 24), juga dalam sejarah Yakub (Kej. 31). Di situ jelas bahwa mohar,
yaitu harga kawin yang dikenal dari Alkitab, adalah sebuah pemberian dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, dengan maksud bahwa orangtuanya akan menyimpannya guna dia,
seandainya ia kemudian hari menjadi janda, ataupun diceraikan suaminya. Sebab kedua puteri
Laban, Lea dan Rahel, berbicara tentang harta mereka yang telah dihabiskan oleh ayah
mereka dan tidak disimpan guna mereka22.
Tetapi hal penuntutan belis, yang dikenal di sebagian Indonesia, tidak ditemukan dalam
Alkitab, dan juga perkawinan anak tidak boleh dianggap sebagai kesempatan untuk
memperkaya diri. Hendaklah kemakmuran keluarga baru yang diutamakan.

22 Jan Boersema, Perjumpaan Injil dan Budaya dalam Kawin-Mawin, Jakarta 2015, 138.

57 Pengantar Etika
Nas pertama dalam Alkitab tentang nikah adalah Kej. 2: 24, yang secara singkat sudah
menganjurkan nikah monogam dan melarang poligami. Sebab dikatakan bahwa keduanya itu
akan menjadi satu daging. Tidak ada pembicaraan tentang kemungkinan mengambil isteri
kedua. Memang poligami dikenal dulu dalam dunia Tengah, di keluarga Abraham pun, begitu
pada banyak orang percaya pada waktu itu. Tetapi orang yang pertama yang dilukiskan
sebagai orang poligam adalah Lamekh, keturunan Kain, dan dialah seorang yang sangat
sombong dan bengis terhadap orang lain. Isteri-isterinya harus membuktikan kehebatannya.
Poligami dengan sendirinya menyatakan kurang penghargaan terhadap perempuan. Itulah
termasuk akibat dosa, seperti telah diberitahukan Allah sesudah manusia jatuh kedalam dosa
tentang penderitaan seorang wanita. Penindasan itulah bukan satu hal yang dikehendaki Allah,
tetapi termasuk kutuk yang melanda perempuan sesudah manusia jatuh kedalam dosa.
Dalam masa PB kini poligami harus dihindari, sebab menurut Gal 3:28 tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, berarti hak wanita tidak boleh ditindas. Jelas juga dari
persyaratan 1 Tim. 3 bahwa Tuhan mau supaya penilik jemaat menunjukkan contoh yang baik
dan beristeri satu saja.
Ef. 5 menunjuk betapa indahnya hubungan nikah yang monogamis, sebab hubungan itu
mengumpamakan hubungan Kristus dengan jemaat.

Nikah gereja
Peneguhan nikah dalam gereja sebaiknya mempunyai unsur- unsur sbb:
1. Kedua mempelai saling menerima sebagai suami-isteri dan berjanji untuk hidup setia dan
sesuai Firman Tuhan, dan janji itu disaksikan oleh jemaat dan diucapkan di hadapan Tuhan;
2. Kedua mempelai mendengar atas dasar Firman Tuhan bahwa nikah mereka syah
adanya dalam mata Tuhan.
3. Kedua mempelai didoakan dan diberkati.
Nikah gereja itu harus dibedakan dari pengesyahan nikah oleh pemerintah, BS, pencatatan
sipil. Pemerintah dapat dan harus melindungi nikah, seperti dulu adat melindunginya. Gereja
tidak dapat melindunginya sebab tidak mempunyai kuasa duniawi.
Sesuai dengan sifatnya maka pernikahan adalah sebuah ikatan yang harus dikenal dan
dihargai oleh setiap orang. Nikah bukan satu hal pribadi melainkan umum. Oleh karena itu
tidak baik jika sebelum nikah orang sudah hidup serumah. Alasan lain adalah bahwa kita
seharusnya berjanji, di depan Tuhan maupun keluarga dan jemaat, bahwa kita akan setia
dalam pernikahan. Sesudah janji itu kedua mempelai dinyatakan sudah nikah dengan resmi.
Tanpa perjanjian itulah maka pada dasarnya seks bebas diperbolehkan dan keindahan dan
keunikan kasih mesra dalam nikah direndahkan dalam pandangan masyarakat.

Penceraian.
Dalam Mat. 19 Tuhan Yesus menentang orang-orang Yahudi yang mencari akal untuk
menceraikan isteri. Sampai sekarang manusia sering mencari alasan-alasan, bila kasih
terhadap partner sudah menghilang. Perceraian diperbolehkan jika salah seorang dari
pasangan itu telah merusakkan hubungan karena berselingkuh dengan orang lain, sekalipun
bahkan dalam kasus itu perceraian bukan tuntutan.
Dalam 1 Kor. 7 Paulus membahas masalah seseorang yang telah ditinggalkan oleh suami atau
isteri justru karena dia tidak mau mengikutinya untuk masuk Kristen. Orang itu tidak dapat
diharuskan untuk tetap berusaha memulihkan hubungan dengannya. Bukan bahwa seorang
yang masuk Kristen boleh menceraikan isterinya yang tidak ikut, tetapi boleh bilamana suami

58 Pengantar Etika
atau isteri yang tidak percaya itu bertindak dan tidak mau meneruskan pernikahan karena
partnernya masuk Kristen.
Tidak berarti juga bahwa dalam kasus-kasus lainnya di mana seorang ditinggalkan partnernya
dengan sendirinya ia berhak pula untuk tidak meneruskan hubungan nikah. Kasus yang
dibicarakan di sini adalah kasus antara dua orang suami-isteri pada saat seorang masuk
Kristen. Dalam kasus-kasus berat lain, di mana seorang ditipu atau ditinggalkan partnernya
dan perdamaian tidak mungkin akan terjadi lagi, barangkali dapat disetujui bahwa partner
yang setia itu boleh mencerai, bukan berdasarkan 1 Kor. 7 tetapi berdasarkan kenyataan
bahwa pernikahannya sudah rusak total dan seiring dengan kasus 1 Kor. 7.

Seringkali terjadi perdebatan pula tentang kasus apakah orang yang sudah cerai boleh nikah
lagi, dan kadang-kadang itu dilarang berdasarkan Mat. 19: setiap orang yang mengawini
seorang yang ditinggalkan partner mengakibatkan perceraiannya. Tetapi nas itu tidak
bertujuan menurut kami untuk menyiksa orang yang terpaksa cerai, sekalipun tidak bersalah,
yaitu untuk memaksanya tetap tinggal sendirian. Nas itu bertujuan untuk tidak menghalangi
jalan perdamaian dengan partner yang resmi oleh nikah kedua dengan orang lain.

Di bawah ini kami memberikan pertimbangan lebih lanjut tentang pokok-pokok tersebut.
Nabi Maleakhi mengatakan, bahwa Allah membenci penceraian (2:16). Tak dapat disangkal
bahwa nas itu berlaku dalam konteks tertentu, yang akan diterangkan di bawah ini. Tetapi,
sekaligus harus dikatakan bahwa Allah membenci penceraian dalam setiap keadaan. Sebab,
Allah sendiri menetapkan perkawinan sebagai ikatan tetap pada awal sejarah dunia, dalam
taman Firdaus (Kej. 2). Karena itu, Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:6).
Pengaturan itu adalah patokan yang pertama dan utama mengenai perceraian. Apakah perlu
ada peraturan tambahan, mis.: boleh bercerai, jikalau pacar telah berzinah? Ataukah:
bolehkah bercerai, jikalau ditinggalkan oleh pacar dengan alasan yang tidak syah? Alangkah
baiknya peraturan-peraturan seperti itu tidak disetarakan dengan peraturan bahwa perceraian
tidak boleh.
Apalagi, dari dahulu dibedakan antara perceraian karena zinah dan karena alasan lain.
Tentang alasan zinah dikatakan: inilah ‘causa divortii faciendi’ : alasan untuk bercerai: untuk
melakukan perceraian. Sedangkan dalam kasus seorang yang ditinggalkan pacarnya dan mau
bercerai, dapat dikatakan saja bahwa terdapat ‘causa divortii patiendi’: alasan untuk bercerai
dalam arti untuk berserah.
Terdahulu tentang konteks Maleakhi, agar jelas bahwa setiap nas Alkitabiah tentang
perceraian bersifat konkrit. Mereka yang dipersalahkan adalah orang Yahudi yang
menceraikan isteri mereka sendiri, perempuan Yahudi yang telah diambil sebagai isteri sejak
mereka muda, dan isteri yang syah itu diganti oleh seorang perempuan Kanaan, yang disebut
anak allah lain. Tindakan itu disertai kekerasan juga.
Begitu Ulangan 24 tentang surat perceraian adalah pengaturan khusus juga: yang dibicarakan
adalah kasus bahwa seorang telah menceraikan isterinya dengan sebuah surat perceraian, dan
kemudian seorang lain telah menikahinya, tetapi menceraikannya juga. Dalam hal itu suami
yang pertama tidak boleh menerimanya kembali. Jadi, yang diatur bukan surat perceraian,
apalagi perceraian. Ternyata, perceraian bersama surat perceraian sudah ada. Dan Tuhan
Yesus menjawab orang Yahudi yang mengatakan bahwa Musa memerintahkan surat

59 Pengantar Etika
perceraian sbb bahwa Musa hanya mengizinkan perceraian karena ketegaran hati, tetapi dari
awal bukan demikian (Mat. 19:8).
Tak dapat disangkal bahwa Tuhan Yesus sendiri menambahkan: kecuali dalam hal zinah
(Mat. 5:32; 19:9). Dengan zinah itu seorang telah merusakkan perkawinan itu dan bukan
pacar yang ditipu adalah yang merusakkan ikatan nikah tetapi yang berzinah dan menipu.
Nas dari 1 Kor. 7 sering dikutip sebagai alasan yang kedua untuk bercerai, yaitu seorang yang
ditinggalkan pacarnya. Hanya saja, yang dikatakan di sana adalah izin yang diberikan Firman
Tuhan kepada seorang yang masuk Kristen dan kemudian mengalami bahwa pacarnya tidak
mengikutinya. Bukan dia sendiri yang boleh menceraikannya tetapi kalau yang lain pergi
maka ia sendiri bisa menyerah kepada keadaan itu sebab ia juga tidak bisa memaksa orang
untuk masuk Kristen. Nas itu melukiskan keadaan konkrit dalam saat seorang dari suami isteri
bertobat dan masuk Kristen dan yang lain tidak mau.
Terdapat pandangan gereja KR bahwa sebuah pernikahan pada dasarnya tetap berlaku, juga
sesudah perceraian, dan berakibat dalam larangan untuk kawin ulang, dalam setiap hal, baik
untuk yang bersalah dalam perceraian, maupun untuk yang tidak bersalah. Latarbelakang
pandangan itu adalah keyakinan gereja KR bahwa nikah adalah sebuah sakramen. Pendirian
seperti itu dalam Alkitab tidak ditemukan. Bagaimana dengan pandangan Paulus bahwa
seorang yang meninggalkan isterinya atau suaminya kemudian daripada itu harus tinggal
sendiri (1 Kor.7:11)?Tujuan Paulus ialah bahwa mereka harus berdamai, kalau tidak harus
tinggal sendiri. Dengan maksud untuk tetap membuka kemungkinan untuk berdamai. Tetapi
bukan untuk mengatakan bahwa nikah yang sudah putus sebenarnya masih ada. Begitu Tuhan
Yesus sendiri berbicara juga dalam konteks konkrit: Setiap orang yang kawin seorang yang
diceraikan melakukan perzinahan: sebab ia menutup kemungkinan bahwa mereka akan
berdamai lagi (Mat. 5:32). Begitu setiap orang yang mengusir isterinya juga.
Sebaiknya kita bertolak dari hanya satu peraturan saja, yaitu jangan bercerai, dan jangan
menambahkan peraturan-peraturan yang mengharuskan perceraian. Dapat dipertimbangkan
untuk menyebut alasan zinah juga causa patiendi, dan bukan causa faciendi. Sebab tidak
seharusnya ada perceraian sesudah zinah. Akan tetapi, sebaiknya kita juga tidak membatasi
causa patiendi kepada dua saja, zinah dan ‘perpisahan’ sesuai 1 Kor. 7. Menurut gereja
dahulu terdapat lebih banyak alasan, mis. seorang suami yang begitu lama di perjalanan atau
di perang, tanpa berita apa-apa. Maka akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa suaminya
sudah mati dan ia bisa kawin ulang. Atau dalam kasus di mana sesudah hari nikah langsung
ditemukan bahwa pacar itu sakit adanya mis. tidak bisa melakukan seks dengan cara yang
sehat. Kalau hal seperti itu sengaja disembunyikan maka dapat dianggap sebagai satu
perzinahan juga dan alasan untuk bercerai. Dan mungkin ada alasan lain lagi. Pokoknya,
semua itu dianggap sebagai causa patiendi.
Mengenai zinah dan perpisahan lainnya: jelas bahwa dia yang berhak untuk minta diceraikan
adalah oknum yang tidak bersalah, dan dia juga punya hal untuk kawin ulang, sedangkan
yang bersalah tidak berhak untuk menceraikan atau untuk kawin ulang.

Satu karangan eksegetis tentang perceraian adalah Ruth Schäfer, Freshia Aprilyn Ross,
Bercerai. Boleh atau tidak. Buku ini merupakan studi tafsiran yang latarbelakangnya adalah
kritik-alkitab. Naskah alkitab tidak diakui sebagai asli, mis. perkataan-perkataan Tuhan
Yesus, tetapi sebagai teologi dan pandangan jemaat. Juga dibedakan antara sumber-sumber
tertentu, mis. Q. Latarbelakang pastoral adalah keluhan bahwa sering terjadi kekerasan
terhadap isteri, yang sayangnya tidak diperbolehkan gereja untuk bercerai. Sedangkan suami
kadang-kadang dimanja gereja. Mungkin kesimpulan itu benar, akan tetapi ia mempengaruhi
seluruh buku tersebut dan menjadikannya agak berat-sebelah.

60 Pengantar Etika
Homoseksualitas
Kami bertolak dari karangan Verkuyl dalam jilidnya tentang etika seksuil23. Penulis
mendukung bahwa Verkuyl membedakan antara homoerotis (atau homofili) dan
homoseksual. Tentang yang pertama harus dikatakan bahwa itulah pembawaan yang
seringkali tidak bisa dirubah. Kata yang kedua menunjukkan pula kontak badani dengan
orang yang sejenis kelamin dan hubungan seksual itu dilarang Firman Tuhan.
Verkuyl sama sekali tidak mau mempromosikan homoseksualitas, malahan justru tidak.
Tetapi ia berkata tentang beberapa nas Alkitab yang melarangnya bahwa nas-nas itu
membicarakan persetubuhan homoseksual berkaitan dengan ibadah berhala: Im. 18:22, 20:19,
Roma 1:26,27, 1 Kor. 6:9,10, 1 Tim. 3:9,10. Menurut kami nas-nas ini tidak terbatas pada
homoseksualitas dalam bentuk prostitusi sakral, tetapi pada setiap pergaulan homoseksual.
Kami sependapat dengan Verkuyl bahwa Kej. 18 membahas kejahatan orang Sodom, dan
tidak dapat dikatakan homoseksuil semata-mata. Mereka tidak enggan menggagahi juga
perempuan.
Maksud Verkuyl adalah bagus: katanya kita tidak mengenal cinta kasih jika kita mencela dan
menghakimi orang homoseksual karena pembawaan tersebut. Semoga orang-orang itu
merasakan bahwa jemaat Kristen adalah tempat yang aman di mana mereka juga dilindungi
oleh kasih persaudaraan dan ditolong untuk tidak jatuh dalam dosa kelakuan homoseksual.

Dalam David K. Clark, Robert V. Rakestraw, Readings in Christian Ethics, II, Issues and
Applications terdapat beberapa artikel yang arah dan tujuannya berbeda.
James B. Nelson, Homosexuality: an issue for the church: karangan ini bersifat liberal dan
menyetujui praktek homoseks.
David F. Wright: Homosexuality: The relevance of the Bible: penulis menguraikan bahwa
Alkitab dengan jelas melarang praktek homoseks.
Stanton L. Jones, The loving opposition: praktek harus dilarang, sedangkan pribadi
bersangkutan layak dikasihi dan tidak dimusuhi. Penulis menggambarkann juga bahwa relasi
homoseksual yang monogam jarang sekali. Secara tidak langsung itu membuktikan bahwa
praktek homoseks bertentangan dengan kehendak Allah.
Pelecehan seksual.
Topik ini sangat sensitif dan menurut sayu juga kurang dipeduli dalam gereja-gereja di
Indonesia. Yang dimaksudkan adalah inses, bukan dalam arti kawin sumbang sebagai
pelecahan peraturan-peraturan adat atau mengenai perkawinan yang dipersyaratkan adat.
Tetapi inses dalam arti kekerasan dalam rumah tangga di mana seorang ayah atau kakak atau
paman memaksa anak atau adik untuk melakukan seks. Hal jahat seperti itulah bisa terjadi
juga di gereja, kalau pendeta atau pater menggunakan wibawa yang ada padanya untuk
menggagahi seorang gadis (atau mungkin juga anak laki-laki). Di sekolah-sekolah kelakuan
seperti itu sama jahat.
Alasan utama untuk sangat menentang dosa yang jijik ini adalah bahwa anak-anak yang
sedang berkembang sangat membutuhkan kenyamanan dan rasa harga diri. Mereka harus
dididik dan dibina, dan tidak boleh dianggap sebagai milik yang bisa menjadi obyek
kesenangan. Dalam pada itu praktek dalam kehidupan suku kadang-kadang kurang sehat, dan
hak anak-anak kurang dijaminkan. Sedangkan dalam gereja atau sekolah mereka sebagai anak
atau remaja tepergantung dari posisi guru atau pater, mis untuk mendapat nilai baik. Begitu

23 J. Verkuyl, Etika Kristen, Bagian khusus. IIa, Etika Seksuil, Jakarta.

61 Pengantar Etika
dalam kantor atau perusahaan dari majikan untuk mendapat gaji. Dengan pelecahan dan
pemerkosaan hak anak-anak sangat ditindas dan Allah mereka dimarahi.
Dosa pelecahan seksual dalam keluarga terjadi di kalangan Kristen juga, dan seringkali anak-
anak itu diancam untuk menyerah dengan alasan bahwa mereka harus menaati orang tua.
Kadang-kadang majelis gereja, jikalau diberitahu, cenderung untuk mendukung generasi tua
dan menegaskan saja bahwa anak-anak harus tunduk. Kadang-kadang isteri tahu dan tidak
mengambil tindakan sebab tidak mau berkelahi dengan suami. Anak-anak yang diperlakukan
demikian jiwanya sangat terganggu dan bukan sedikit kali mereka sendiri kemudian tidak
dapat berfungsi dengan baik bahkan mereka sendiri cenderung melakukan kekerasan juga.
Tentang topik ini diterbitkan BPK buku Carolyn Holderread Heggen, Pelecahan seksual
dalam keluarga Kristen dan Gereja. Diberikan banyak informasi yang penting dan yang
membuat kita kaget. Namun, karangan ini bersifat feminis juga, misalnya menganggap bahasa
Alkitab antropoid: kelaki-lakian. Dan cenderung juga untuk memuji selibat dan agak bersifat
anti-laki-laki.

Ringkasan dari J. Verkuyl, Etika Kristen, jilid Seksuil.

Laki-laki dan perempuan adalah setara dan sekaligus berbeda. Verkuyl menceriterakan kesan bagus
yang diperolehnya ketika melihat patung dari Mesir di museum di London: laki-laki berdiri, dan
memandang ke depan, ia mempunyai tujuan dan memimpin. Sedangkan perempuan duduk sambil
menunduk, dan memperhatikan hal-hal yang dekat di sekelilingnya. Mereka saling memperlengkapi.
Tidak benar sama sekali adalah pandangan yang didengar sejak awal abad yang ke XX bahwa
perbedaan itu ditentukan semata-mata oleh lingkungan dan pendidikan, jadi fenotipis saja. Bukan
demikian, Allah Pencipta telah mengatur perbedaan genetis, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa
perbedaan itu sangat merosot karena dosa: kadang-kadang laki-laki suka menyiksa, kadang-kadang juga
perempuan suka disiksa (Kej. 3). Tetapi yang seharusnya dan yang diingini Allah adalah bahwa laki-
laki menghargai perempuan, termasuk keperawanannya.
Pada masa puber perbedaan antara kedua jenis kelamin makin terasa, apalagi pada masa adolesensi
(keremajaan). Dan pada masa itu juga putera-putera dan puteri-puteri mengalami suatu perkembangan
yang sangat penting. Verkuyl menyebut adanya sebuah hubungan-kutub antara kedua kelamin itu.
Tidak didukungnya kebiasaan Katolik Roma maupun Islam untuk mendirikan sekolak-sekolah terpisah.
Harus tercipta sikap ksatria dan sifat ringan-tangan pada anak-anak lelaki terhadap perempuan, dan
cewek harus belajar untuk bersikap biasa terhadap anak laki-laki.
Seketika timbul perasaan-perasaan seksuil pada puber, itu sering disertai kebingungan. Orang muda
harus mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Kecenderungan seksuil harus bertumbuh bersama-sama
dengan seluruh cita-cita kita, sekaligus dengan disiplin rohani. Orang muda harus mengerti bahwa
seharusnya ada juga banyak hubungan yang tidak erotis, yang semata-mata persahabatan., dan bahwa
normallah jika juga bisa memandang perempuan tanpa nafsu berahi (Mat 5:28), sekalipun sering terasa
penyelewengan.
Dalam persahabatan itu harus laki-laki tahu tentang batin perempuan, dan jangan ia melihatnya sebagai
obyek kenikmatan saja.
Dalam bercumbi-cumbian adalah bahaya kesusilaan. Mudah bisa terjadi bahwa seorang nona yang mau
berkelakar saja kemudian terkejut sebab asmara laki-laki lebih cepat berkobar daripada disangkanya
atau dirasakannya sendiri.

Dalam berpacaran seharusya mencari kepribadian temanmu, mengecek apakah anda merasa aman
dalam kontak dengannya dan kedekatannya. Memperhatikan faktor-faktor seperti 1 merasa tertarik, 2.
saling mengerti, 3. pendidikan dan hobi tidak berlawanan, 4. iman.
Jika tidak ada rasa kasih, janganlah berpacaran. Seharusnya orang berkata tentang temannya: Inilah dia
(Kej. 2). Jika tidak ada kecenderungan erotis, jangan juga meneruskan hubungan.
Bertanya dalam hati: maukah saya bahwa dia menjadi ibu/ayah dari anak-anakku?
Harus ada eros, tentu harus ada agape juga (1 Kor. 13:4,5).
Dan harus ada iman : 2 Kor. 6:14.

Bertunangan, seperti dahulu biasa di Barat, mempunyai suatu keuntungan besar: masa itu adalah masa
persiapan, masa ujian. Juga latihan dalam menyangkal diri. Mengenal tubuh temanmu indahlah, tetapi

62 Pengantar Etika
jangan mengenal secara total, dalam arti persetubuhan, ataupun seperti dikatakan dalam Im 18 jangan
menyingkap aurat temanmu.

Tuntutan dalam pernikahan adalah: kasih, setia, hormat, kewajaran (tidak boleh ada kelainan
seksuil), kesuci-murnian (perjuangan batin melawan keburukan seksuil, seperti sadisme (suka
menyiksa) atau masochisme (suka disiksa).
Dosa-dosa dalam nikah adalah kelaliman, kegeraman, suka berbantah (Amsal 21:3), nafsu berlezat
(Amsal 30:15,16), ketegangan-ketegangan individualistis, pertentangan-pertentang an antara kehidupan
pernikahan dan kehidupan jabatan.

Perhubungan kelamin: K.R. mengajar bahwa tujuannya tidak lebih daripada pembiakan. Bahkan
Augustinus berkata bahwa nikah bertujuan saja untuk mengendalikan hawa nafsu.
Tetapi pandangan Alkitabiah, seperti tertera misalnya dalam Kidung Agung, adalah lebih luas: 1.
penyataan kasih badani, 2. pembiakan.

Dalam pembahasan tentang pembentukan keluarga Verkuyl tidak berkeberatan terhadap


pengaturan jumlah anak, sekalipun ia tidak mengikuti program KB bahwa 2 anak sudah cukup
(program itulah mungkin belum diluncurkan pada waktu itu).
Verkuyl menolak istibra total (menahan diri dari pergaulan seks secara total) dan mendukung istibra
berkala (dengan memperhatikan hari-hari kesuburan perempuan, yaitu di tengah antara dua masa haid).
Tentang koitus interruptus (persetubuhan yang sengaja diputuskan) katanya bahwa itu tidak adil dan
tidak baik terhadap perempuan. Keguguran yang sengaja (aborsi) dilarang olehnya. Jika inseminasi
buatan (semen yang dimasukkan dalam rahim secara buatan), boleh asal homolog dan tidak heterolog:
dengan benih dari suami sendiri dan bukan daripada orang lain.

Tentang masturbasi (rancap) ia mengatakan bahwa bukan itulah yang dimaksudkan dalam Kej. 38
(onani). Sebenarnya yang dilakukan Onan adalah koitus interruptus. Ia dimarahi Tuhan bukan karena
masturbasi tetapi karena ia tidak mau menurunkan seorang anak bagi saudaranya yang telah meninggal.
Verkuyl melawan mereka yang menakutkan teman dengan mengatakan bahwa masturbasi akan
menyebabkan bermacam-macam kesakitan. Katanya bahwa kadang-kadang ketegangan tubuh terlalu
kuat, sehingga mani (semen) harus keluar, mis sementara bermimpi. Apa yang dikuatirkan dan ditolak
juga adalah rancap yang menjadi kebiasaan, sehingga orang ketagihan. Itulah menyebabkan introversi
en egoisme. Kalau seorang membiasakan diri untuk terlalu merangsangkan zone erogennya, ia tidak
belajar mengendalikan diri, dan itu akan menjadi masalah baginya bilamana sudah kawin.

Di bawah ini saya meneruskan dengan menyebut pandangan Grudem mengenai nikah. Ia
memberikan judul: ‘Protecting marriage’.
Dengan benar Grudem menekankan bahwa pernikahan merubah posisi, status, seseorang, baik
di hadapan Allah maupun di hadapan manusia24.
Persetubuhan bukan unsur satu-satunya yang mewujudkan nikah, Ke. 22:16,17, Ul 22:28,29,
Yoj. 4:18. Walaupun demikian, persetubuhan merupakan salah satu unsur azasi (Mat. 19:3-
6). Karena itu, dalam negeri-negeri tertentu maka ‘non konsumasi’ merupakan alasan untuk
bercerai, menurut saya dalam gereja KR juga demikian. Saya juga dapat mendukung alasan
itu, kalau ternyata terjadi penderitaan karena ketidakmungkinan untuk seks itu, atau kalau
terjadi pembohongan.

Ketentuan Allah mengenai nikah adalah ditujukan kepada semua orang pada setiap waktu,
kata Grudem25.
Ia menambahkan, bahwa jika sebuah masyarakat, sesuai Freud, menginzinkan seks bebas,
maka dalam waktu tiga generasi masyarakat itu sangat dilemahkan.

24 Wayne Grudem, Christian Ethics, 2018, 701.

25 Grudem, o.c., 714.


61 Pengantar Etika
Dengan benar Grudem tekankan bahwa ‘porneia’ merupakan istilah yang lebih luas daripada
‘moicheia’. Yang terakhir berarti tidur dengan isteri/suami orang, sedangkan porneia mis.
meliputi juga seks sebelum nikah.

Mengenai masturbasi Grudem tidak berpandangan fanatik. Ia juga melihat bahwa nas: ‘jika
tangan membujuk engkau berdosa, penggallah’ (Mat. 5:30), tidak boleh digunakan
sedemikian. Menurut Grudem Alkitab tidak melarangnya dengan eksplisit, dan ia
menganggap berbahaya untuk menambahkan pengaturan pada Kitab Suci. Namun ia yakin
bahwa suami-isteri tidak boleh puas dengan masturbasi, tetapi hendaklah tidur bersama
(1Kor.7:5).

Sangat pastoral adalah bagian karangan Grudem tentang hidup sebagai ‘single’: baik untuk
jemaat, baik untuk dirimu sendiri: engkau menyadari bahwa pentinglah menjadi anak Allah
secara rohani. Hanya saja, seorang yang sepanjang hidup mengingini seorang partner,
sebaiknya mencari nikah. Khususnya laki-laki, kata Grudem, sebab mereka sebagai kepala
harus bertindak.

Tentang KB juga Grudem bijaksana. Misalnya ia dapat menyetujui juga jika mereka yang
baru nikah, demi studi mereka, memilih untuk masa pertama tidak mendapat anak, ataupun
pada masa kemudian, karena tugas.
Grudem menolak juga bahwa semua KB harus secara ‘alamiah’, sebab kita sering mengoreksi
alam dengan obat. Tetapi ia melarang KB yang membunuh embrio, termasuk ‘morning after
pill’, atau device yang menghindari inidasi. Akan tetapi spiral untuk mencegah pembuahan
boleh, dan juga pil. Pertanyaan saya adalah apakah pertimbangan itu tidak dangkal. Sebab,
seperti dikatakan dalam bab sebelumnya, bahwa tanpa diketahui sering terjadi pembuahan
yang pertumbuhan berhenti sebelum inidasi secara spontan.

Mengenai rumah tangga yang mandul, untuk menanggulanginya Grudem menggunakan tiga
prinsip: obat-obat pada umumnya baik; anak yang belum lahir harus dianggap sebagai
pribadi, sejak pembuahan; anak harus lahir pada laki-laki dan perempuan yang sudah kawin.
Karena itu, inseminasi buatan oleh suami, dianggapnya baik26.
Begitu juga ivf tanpa membasmi embrio. Ia berharap juga bahwa para ahli medis lama
kelamaan akan lebih berhasil untuk membuahkan hanya satu atau dua. Jika lebih dari satu:
dianjurkan membekukan embrio itu demi pengandungan kemudian. Membekukan demi
adopsi kemudian (anonim), boleh juga. Kalau tidak, kata Grudem, membiarkan embrio itu
berkembang dalam laboratorium sampai kemudian, 6-8 haru, ia akan ‘discard’ (menggeser).
Pertanyaan saya: apa perbedaan dengan membunuh?

Tentang adopsi sebuah embrio, menurut Grudem itu hampir sama dengan pemeliharaan
yatim piatu.
Inseminasi buatan oleh donor dianggapnya tidak baik (mirip dengan zinah).
Grudem menganggap tidak baik kalau seorang ibu mengandung melalui ivf untuk melahirkan
anak pasangan lain. Tindakan ini sering menimbulkan masalah psikhis, baik pada ibu
maupun pada anak.

26 Grudem, o.c.,764.
62 Pengantar Etika
Terkait dengan ivf: Grudem menanyakan tentang jiwa: pada saat kapan Allah meletakkan jiwa
di embrio? Pandangan itu terlalu manusiawi, menurut saya, apalagi bertolak dari kreasionisme
jiwa.

12. Kesepuluh hukum (hukum 8-10)

Hukum yang kedelapan


Jangan mencuri.

Juga dalam hukum 8 kita bertemu dengan Allah sebagai Allah perjanjian, sebab milik yang
dipercayakan Tuhan kepada manusia bertujuan agar manusia menggunakannya untuk
melakukan tugas sebagai anggota perjanjian. Manusia adalah bendahara Allah, atas
kepunyaan Allah yang diberikan kepadanya untuk mengurusnya. Jika kita mencuri, maka kita
tidah mengindahkan hak Allah yang telah membagi-bagikan kepada manusia sesuai dengan
kehendak-Nya. Band. Mazm 24, Mazm 50, Kis. 17:24,25. Juga Luk. 16:1-9, Luk. 19: 1-27.

Pencurian yang sangat dibenci Allah adalah penculikan orang, yang harus dihukum dengan
hukuman mati (Kel. 21:16; Ul. 24:7). Sungguh, satu peringatan berat untuk mereka yang
memperdagangkan manusia: sekalipun perbudakan telah dilarang dengan resmi di hampir
seluruh dunia, selalu terdapat banyak orang yang ditipu dengan janji palsu bahwa di negeri
orang kaya mereka akan mendapat pekerjaan bagus, padahal mereka dipaksa untuk menjadi
pelacur atau penyalur narkoba.

Atas dasar nas-nas PL pernah dilarang untuk meminjamkan uang dengan menuntut bunga
(mis. Kel. 22:24), atau menabung di bank. Tetapi itu tidak dapat dipersalahkan dan orang
seperti Calvin juga dapat membenarkannya melawan orang Anabaptis. Sebab, jika uang
dipinjamkan dengan bunga yang wajar, maka uang itu bisa berputar dan menolong orang.
Tetapi yang dilarang ialah makan riba, laba yang berkelebihan, seperti biasanya dahulu
bilamana meminjamkan. Sebab tujuan itu bukan untuk menolong melainkan merugikan.
Bila kita bermodal dan hendak saja hidup dari bunga uang itu, atau dari hewan yang kita
miliki, itulah kurang baik, sebab dengan itu kita bukan bendahara yang setia. Kita tetap harus
aktif dan bekerja, dan uang yang dimiliki harus digunakan juga untuk menolong orang lain,
terutama kawan-kawan seiman (Gal. 6:10).

Sistem ekonomi yang berlaku di negara-negara Barat sering dicoraki sebagai kapitalisme atau
liberalisme. Kapital berarti modal. Dalam sistem itu ditekankan perdagangan bebas dan cita-
cita untuk berusaha sedapat mungkin. Terdapat pula sistem-sistem yang dinamakan sosialistis,
dan sistem itu mengenal peran pemerintah untuk membagi-bagikan kekayaan melalui
perpajakan sehingga orang miskin dapat ditolong dan orang lemah lainnya, mis. orang sakit.
Pemerintah dapat mengusakan pula asuransi kesehatan dan pensiunan dengan itu. Sistem
sosialistis itu tidak dapat dibenarkan jika tanggungjawab pribadi dihilangkan dan diambil alih
oleh pemerintah. Dorongan untuk berusaha akan menghilang jika milik pribadi tidak
diperbolehkan dan segala sesuatu dimiliki bersama melalui pemerintah. Sistem itu terkenal
sebagai sistem komunistis dan telah gagal. Tetapi sistem sosial adalah baik jika

63 Pengantar Etika
tanggungjawab pribadi tidak diganggu dan perpajakan yang diatur pemerintah mungkin tinggi
tetapi adil.

Baguslah peraturan mengenai tahun sabat dan tahun yobel, Im 25, yang menjelaskan bahwa
sebenarnya Tuhan yang memiliki tanah Israel dan membagikannya antara orang Israel. Wright
menjelaskan ‘the jubilee’ panjang lebar. Ia menyebut keterangan bahwa tahun Jobel adalah
tahun ke-50, sesudah tahun ke-49 sebagai tahun sabat. Mungkin juga ´the jubilee´ tidak
dirayakan sepanjang satu tahun tetapi satu hari saja, yaitu hari pembebasan hamba hamba.
Menurut saya itu tidak perlu demikian. Dosa-dosa yang dapat dipersingkatkan sebagai KKN
telah dilarang dalam banyak nas Alkitab, mis. Kel. 23:6-8, Mazmur 15, kitab-kitab nabi.

Stassen dan Gushee, dalam ‘Kingdom Ethics, membahas topik lingkungan, yaitu
pemeliharaan ciptaan, berdasarkan Mat. 6:19-33, tentang harta di surga dan pemeliharaan
Allah terhadap burung-burung dan bunga-bunga.
Terkait dengan ucapan mengenai harta di surga kita dinasihati untuk tidak menjadi rakus dan
merusakkan lingkungan karena mencari keuntungan untuk diri sendiri dalam jangka waktu
pendek.

Etika lingkungan: stewardship

Para teolog Reformasi pada umumnya mengutamakan peran manusia sebagai bendahara Allah
di atas bumi (stewardship). Begitu R. Borrong, dan di Belanda juga J. Douma.
Dalam agama primitif lingkungan sering tidak diraba, sebab dianggap ilahi. Dalam hal itu
kemajuan agama Kristen dan dengan khusus Kristen Protestan mendorong penelitian alam
dan juga penggarapan alam. Terkenal pandangan Max Weber yang menunjukkan Kalvinisme
sebagai penggerak kapitalisme. A. Yewangoe pernah menilai positif pandangan Weber itu
sebab, konon, membuktikan bahwa agama Kristen membangun masyarakat dan lingkungan27.
Namun, sebenarnya, tujuan karangan Weber tidak sebagus itu, sebab ia berkata bahwa ajaran
Kalvinisme memang mendorong manusia untuk berkembang tetapi itu disebabkan oleh
ketakutan akan Allah. Menurut ajaran predestinasi Calvin, manusia takut bahwa ia akan
dihukum Allah karena tidak bekerja sekuat mungkin. Jadi, perkembangan terjadi atas dasa
takut dan gentar.
Mengenai pandangan itu, pertama harus dikatakan bahwa memang Calvin mendorong untuk
bekerja dengan rajin, tetapi bukan atas dasar takut melainkan untuk memuliakan Allah.
Sedangkan ajaran Kalvinisme justru bermaksud untuk mengajar kepada manusia bahwa
keselamatan datang dari Allah dan bukan dari manusia. Justru itu yang mendapat tekanan
dalam ajaran tentang predestinasi.
Terdapat satu kesalahan lain menyangkut ajaran predestinasi itu, yaitu perlu diinsafi bahwa
kemahakuasaan Allah kadang-kadang digunakan untuk membuat manusia malas dan
sembrono, dengan alasan bahwa kita tidak bisa bekerja dan membutuhkan Allah semata-mata.
Terdapat satu pandangan kedua mengenai tesis Weber itu: Lynn White pernah menerangkan
bahwa kemajuan telah mulai pada awal Abad Pertengahan, bukan pada era Reformasi, jadi
pada saat manusia menemui luku, penunjuk waktu (jam), kincir angin/air, dan tidak lagi
bekerja dengan satu ekor atau satu pasang sapi /kerbau tetapi dengan banyak, sampai 4

27 Andreas A. Yewangoe, Tidak ada ghetto, Jakarta 2009.

64 Pengantar Etika
pasang. Dengan demikian ia harus bekerja dengan lebih berdisiplin28. Satu catatan kecil
tentang pandangan itu: Dari Kitab Perjanjian Lama dapat diketahui tentang nabi Elisa bahwa
ia bersama hamba-hambanya pada saat pemanggilannya sedang meluku dengan 12 pasang
sapi (1 Raja-Raja 19:19-21).
Bukan saja agama Kalvinis tetapi setiap aliran Kristen yakin bahwa alam tidak patut
diperilahi dan dapat diteliti dan dikembangkan. Hal itu berarti juga bahwa kita keliru kalau
mengatakan bahwa agama Kristen mengajar bahwa kita harus kembali kepada alam dan harus
bermusuhan dengan pabrik dan industri dan kapitalisme. Seandainya demikian, kita menolak
setiap perkembangan yang diberikan Allah. Dan tanpa kemajuan tersebut maka umat manusia
sudah mati kelaparan.

Dalam pada itu harus dikatakan juga bahwa teologi DGD sebagaimana diterangkan a.l. oleh
Larry L. Rasmussen kembali kepada pengdewaan alam, seperti dahulu dalam agama suku.
Jadi, penting sekali untuk memposisikan manusia bukan sebagai budak kapitalisme tetapi juga
bukan sebagai budak alam. Manusia adalah bendahara dan boleh menggunakannya, juga demi
pertumbuhan umat manusia demi hormat nama Allah, Larry L. Rasmussen, Komunitas bumi
baru, Jakarta 2010.
Dalam Readings in Christian ethics, vol. 2, ditemukan Ronald H. Nash: Does capitalism pass
the moral test? Jawabnya positip, hanya saja setiap langkah harus diukur menurut hukum
moril dari Allah. J. Philip Wogamann membahas sosialisme , dengan judul Who should set
social principles? Jawabannya ialah bahwa ini tidak bisa dipercayakan kepada manusia. Lebih
baik ialah untuk mengikuti Firman Tuhan, yang berkata bahwa kepemilikan tidak salah: milik
tidak sama dengan pencurian, seperti pernah dikatakan Marx. Tentang kepemilikan dapat kita
baca juga Craig L. Blomberg, Tidak miskin, tidak kaya. Ia menunjukkan bahwa menurut kitab
Perjanjian Lama kekayaan dapat dilihat sebagai berkat Allah. Sekaligus ia membaca juga
peringatan-peringatan nabiah bahwa kekayaan bisa menjadi sebab dosa. Untuk P.B ia tidak
begitu melihat hubungan antara ketaatan kepada Tuhan dan kekayaan sebagai berkat. Namun
ia berpendirian bahwa sama seperti pada waktu P.L. seorang Kristen harus memberikan
persepuluhan dan ia akan diberkati Tuhan jikalau ia memberikan kepada Tuhan. Yakob
Tomatala, dalam bukunya Manusia sukses, menolak teologi berkat dari Perspektif Alkitab dan
ia berkata bahwa manusia sukses, jika ia telah belajar untuk taat kepada Tuhan dan hidup atas
dasar janji-janji Allah.
Dalam Readings in Christian ethics ditemukan juga E. Calvin Beisner, Managing the
resources of the earth, yang menulis bahwa sebenarnya bumi tidak mempunyai ‘resources’
hanya bahan baku, dan kemudian manusia membuatnya menjadi resources, atas dasar Kej.
1:28. R. J. Berry, Christianity and the Environment: escapist mysticism or responsible
stewardship, menolak filsafat Gaia (yang mengedewakan bumi, dan ditemukan dalam teologi
DGD, Larry Rasmussen a.l.) dan menekankan bahwa manusia seharusnya mengembangkan
bumi, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk Allah. Yang dibutuhkan bukan ‘dominion’, atau
‘citizenship’ tetapi stewardship (sifat bendahara).

Budaya
Budaya sering terpaut dengan lingkungan. Budaya telah mengatur bagaimana manusia harus
berada dan bekerja dalam lingkungannya, dan dalam peraturan budaya itu sering termasuk
hikmat dan pengalaman dari ribuan tahun untuk bekerja dengan berkat di atas tanah suku.
Budaya bisa berubah juga, karena kemajuan, dan juga karena masuknya agama lain. Semoga
dalam dunia modern ini tercipta sebuah budaya baru untuk melestarikan bumi dan
menghasilkan buah-buahnya, bukan sebanyak mungkin tetapi sesuai kebutuhan. Secara etis
dapat dikatakan bahwa keuntungan yang dilihat dan dikerjakan bukan saja keuntungan jangka

28 LynnWhite, The historical roots of our ecological crisis, dalam: Science magazine, 10 maret 1967.
Dilampirkan pada F.A. Schaeffer, Pollution and the death of man, London 1970, 70-85.

65 Pengantar Etika
waktu pendek tetapi juga jangka waktu panjang. Apa gunanya kita sekarang dapat memakan
lebih dari secukupnya sedangkan dengan cara itu hasil untuk cucu dan cici sangat diperkecil.
Jadi, penting nas-nas Alkitab tentang manusia sebagai bendahara, Kej 1, Kej 9, Mazmur 8.
Penting juga berita dari Kej 2 dan Rom 8 bahwa bumi akan menghasilkan semak duri, dan
bahwa seluruh ciptaan mengeluh dan berada dalam keadaan sakit bersalin. Kenyataan itu
mengajar bahwa manusia tidak boleh berharap bahwa ia sanggup untuk menciptakan sebuah
system yang awet, yang tahan lama dan tidak akan rusak. Sejarah selalu mengajar bahwa
penemuan-penemuan baru akhirnya dapat menjadi bahaya besar. Contohnya: asbes;
antibiotik; tenaga nuklir; pestiside. Manusia harus rela mengembangkan dan harus berani
mengembangkan, tetapi ia harus menyadari pula bahwa tidak ada yang sempurna. Hanya saja,
seringkali kita belum tahu bagaimana efeknya kemudian hari.
Jelas sekali juga penemuan-penemuan manusia didorong oleh ekonomi dan mempengaruhi
ekonomi. Relasi lingkungan dan ekonomi tak dapat disangkal. Kalau kita mau memajukan
perkembangan lingkungan hendaklah kita menghargai juga ekonomi: jika ada kemungkinan
untuk sama-sama dengan orang bermodal mencetak sebuah kemajuan yang bukan saja
menguntungkan lingkungan tetapi kemudian hari juga ekonomi, maka kita lebih kuat daripada
kalau selalu bertindak sebagai kelompok aktivis melawan pemerintah dan orang bermodal.
Penting sekali untuk mendorong pengawetan lingkungan di tempat tinggal dan tempat kerja
sendiri.
Satu hal yang patut disadari kalau berbicara tentang lingkungan yaitu perbedaan kota dan
desa. Rupanya banyak orang suka tinggal di kota dengan segala kemajuan, tetapi makan dan
minum datang dari desa, dan karena itu desa patut dihargai dan tidak boleh dibelakangi.
Sekaligus harus diakui bahwa bukan setiap orang dapat tinggal di kampong dengan halaman
luas. Melihat jumlah penduduk dunia seharusnya ada juga rumah bertingkat di kota, asal di
tengah itu terletak taman dan pepohonan. Sebab pohon adalah paru-paru kota dan
memberikan juga ketenangan kepada jiwa. Jadi penataan kota dan daerah amat penting, begitu
juga sebuah pemerintahan yang mampu melindungi dan membela tanah, air dan udara dan
semua makhluk yang hidup di atasnya.
Kurang disadari betapa kaya bumi ini, yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Lihat saja
semua jenis binatang dan tanaman/tumbuhan di mana dapat dikuatirkan bahwa sebagian besar
sudah punah. Dalam kehidupan suku sering terjadi pemborosan dan perusakan, ingat akan
pembakaran hutan. Tetapi budaya kuno sering mempunyai juga respek terhadap ciptaan yang
ada. Begitu kemajuan modern harus disertai respek terhadap alam.

Manusia sebagai bendahara Allah, menurut Yoh. Calvin, sesuai keterangan J.C. Graafland 29.

Calvin telah mendobrak pemikiran ekonomis di negara-negara Barat, khususnya karena Calvin
menyetujui untuk meminjamkan uang dengan membebankan bunga. Sebelumnya hal itu dianggap
dilarang, berdasarkan beberapa nas Alkitab, yang akan dibicarakan di bawah ini. Juga filsafat Yunani
melarangnya dan sampai sekarang terlarang juga di kalangan orang Islam. Luther pada mulanya tidak
menyetujuinya juga, tetapi sikap Luther dapat diterangkan karena beliau bergerak dalam masyarakat
pertanian, sedangkan Calvin dalam kota Jenewa.
Pada akhir hidupnya Luther tidak lagi berkeberatan.
Jenewa adalah negara tersendiri, sering berperang dengan kerajaan Savoie yang di bagian selatan.
Pangan dari Savoie sering ditahan, sehingga harga bahan makanan di Jenewa naik. Pada umumnya saat
itu di Eropah acapkali terjadi pergejolakan ekonomis karena harga-harga yang tinggi dan jumlah
pengangguran yang signifikan. Sekalipun kegiatan perdagangan makin tahun meningkat, karena

29 Joh. C. Graafland, Rentmeesterschap bij Calvijn, dalam: Radix 34 (4), 2008.

66 Pengantar Etika
banyaknya pelayaran ke negeri-negeri yang jauh. Di Eropah sendiri di mana-mana terjadi perang yang
menuntut anggaran tinggi.
Untuk kegiatan-kegiatan seperti pelayaran dan juga perang dibutuhkan modal, organisasi, infrastruktur,
dan semuanya mulai terbentuk. Banyak yang menanam modal dan memegang saham dalam usaha
perkapalan atau perindustrian.
Calvin sangat mengerti bahwa untuk perkembangan ekonomis dibutuhkan modal, dan menurutnya
meminjamkan dengan bunga tidak salah, dan sama dengan menyewakan sebidang tanah. Modal adalah
alat produksi, sama seperti tenaga manusia, dan seorang yang memperlengkapi orang lain dengan modal
itu patut menerima imbalan.
Nas-nas seperti Kel. 22:25, Im. 25:35-38, Ul. 23:19,20, sesuai pandangan Calvin berfokus kepada
bantuan kepada orang miskin, dan memang untuk itu tidak boleh dituntut bunga. Atau dengan kata lain:
Untuk kredit konsumptif bunga tidak diperbolehkan, tetapi untuk kredit investasi boleh. Juga Luk. 6:35
menurut Calvijn tidak melarang bunga, melainkan merupakan dorongan untuk menolong yang
berkekurangan berdasarkan kasih.
Daripada orang asing boleh dituntut bunga, menurut Ul. 23, dan menurut Calvin itulah wajar karena
orang asing menuntutnya juga jika mereka meminjamkan kepada orang Israel. Tetapi bunga yang
dibebankan harus adil, dan riba terlarang.
Calvijn memberikan persyaratan sbb:
1. Orang miskin yang ditolong jangan dibebankan dengan bunga
2. Meminjamkan bukan seluruh modal yang dimiliki, agar selalu ada kesempatan untuk menolong
orang miskin dan berbuat baik
3. Jangan memberlakukan persyaratan yang dianggap tidak adil jika dikenakan pada dirimu sendiri
(Luk. 6:31, Mat. 7:12)
4. Jangan menjadi bankir (seorang yang meminjamkan sebagai professi)
5. Dia yang meminjam harus memperoleh lebih banyak untung daripada bunga yang dibayarnya
6. Bilamana bermodal, jangan hidup berfoya-foya, tanpa bekerja, hanya mengharapkan uang.
Peringatan untuk tidak menjadi bankir berdasarkan kekuatiran Calvin bahwa dengan demikian manusia
akan kerakusan uang bahkan menjadi penyamun.
Milik pribadi dalam pandangan Calvin tidak dilarang, tetapi milik itu tidak boleh menjadi penyebab
untuk kehidupan duniawi; kita juga harus selalu tulus ikhlas, dan tetap berterima kasih kepada Tuhan.
Beberapa nas petunjuk: Amsal 19:17, 1 Kor. 7: 38.

Seandainya petunjuk-petunjuk Calvin yang diringkas di atas dikenal dan dipraktekkan maka
dunia Barat dalam 2008 tidak ditimpa oleh krisis kredit dan krisis moneter. Krisis itu telah
mulai di Amerika Serikat sekitar 2003. Awalnya adalah sekian pinjaman guna membeli rumah
yang diberikan bank-bank atas dorongan pemerintah, dengan sangat lunak. Sering harga
pinjaman jauh melebihi harga rumah, dengan harapan bahwa kemudian harga-harga rumah
akan naik, seperti biasa, dan pinjaman akan menjadi lebih sesuai. Ternyata, harga-harga
rumah tidak naik tetapi turun, bank-bank telah meminjamkan tanpa jaminan yang sesuai,
orang-orang yang menabung mulai mencurigai bank dan mengambil uangnya. Ketika
beberapa bank anjlok, seluruh ekonomi kacau balau, sebab dasar ekonomi adalah
kepercayaan. Bank-bank di Eropah pun mempunyai bagian-bagian dalam milik-milik bank
Amerika, dengan tidak mengetahui bahwa saham mereka di sana ‘kotor’, yaitu tidak
mempunyai jaminan.
Apalagi, kapitalisme di Eropah sering terjangkit oleh kerakusan yang sama seperti di AS.

Hukum yang kesembilan


Jangan mengucapkan saksi dusta.

Hukum ini membicarakan penggunaan lidah dan bahasa. Kuasa lidah sangat besar, band. Yak.
3. Hanya manusialah, yang dapat berbicara, makhluk-makhluk lain tidak, sekalipun mereka
juga mempunyai semacam komunikasi. Tetapi berbicara berarti: bisa mempertimbangkan dan
bisa memutuskan baru mengeluarkan kata. Manusia dapat berkommunikasi dengan Allah
juga, melalui doa dan memuliakan nama-Nya. Dengan kemampuan berbicara manusia dapat
bergaul dengan sesamanya dan bekerja sama dan mengorganisir sesuatu.

67 Pengantar Etika
Lidah dan bahasa juga sangat berarti dalam perjanjian Allah.

Akan tetapi, justru kemampuan manusia yang sangat indah itu digunakan iblis untuk
merusakkan pekerjaan Allah. Ia memutarbalikkan perkataan Tuhan kepada manusia dan ia
mengajak manusia untuk menipu juga. Diabolos adalah nama iblis, yang berarti pemutarbalik.
Dalam Yoh.9:44 iblis dinamakan pendusta dan bapak segala dusta. Dalam kitab Ayub bahkan
Tuhan sendiri dibujuk iblis untuk tidak percaya akan kemurnian Ayub. Tetapi si pendakwa itu
kalah ketika Tuhan Yesus mati untuk dosa di atas kayu salib (Wahyu 12:1-10).

Mula-mula tidak ada hakim khusus di Israel. Tua-tua, atau para penatua kota bertindak
sebagai pengadilan, dan duduk di pintu gerbang kota. Tidak ada juga jaksa khusus, tidak ada
pengacara khusus. Pihak yang beperkara masing-masing membawa saksinya. Karena itu,
seorang yang bersaksi dusta dapat sangat merugikan sesamanya, bahkan membahayakan
nyawanya. Hukuman bagi saksi dusta ialah bahwa ia harus ditindaki dengan hukuman
sebagaimana yang akan berlaku kepada orang yang terhadapnya ia bersaksi (Ul. 19:19).
Ceritera yang melukiskan peragaan saksi dusta adalah sejarah kebun anggur Nabot dan raja
Ahab (1 Raja-Raja 21).
Tentang dusta darurat kami sudah menulis terkait dengan pembicaraan buku Grudem, dan
di bawah ini saya simpulkan lagi beberapa catatan Grudem, dibanding dengan John Frame.
Grudem tidak menganggap bahwa setiap macam penipuan salah. Mis. berdiam diri, atau
tindakan yang non-verbal untuk menipu, atau ironi, atau huperbole (keterlaluan), atau
kekeliruan yang tidak sengaja, semuanya itu boleh saja. Tetapi mengenai berbicara dengan
dusta, katanya itu selalu salah, sebab Allah melarangnya dan bilamana berdusta, kita tidak lagi
bertindak sebagai gambar Allah. Allah tidak berdusta sebab Ia tidak dapat mendustai (Tit.
1:2).
Saya setuju dengan John Frame (dikutip oleh Grudem) yang berpendapat bahwa tidak ada
pembedaan antara menipu dengan perkataan dan/atau perbuatan. Saya juga menganggap
pandangan Grudem biblisistis, dan secara tafsiran dangkal. Walaupun Grudem berpendapat
bahwa Augustinus, Aquino dan Calvin mempunyai pandangan yang sama dengan dia., dan
mungkoin itu benar. Grudem bersama Poytress mengatakan bahwa tindakan tanpa perkataan
selalu menuntut interpretasi, sedangkan sebuah kata seharusnya benar atau salah.
Frame tidak seluruhnya dapat didukung, sebab ia menulis bahwa hukum ke-9 adalah
menyangkut sesama manusia (benar). Di luar konteks itu, mungkin kita dapat memastikan
sesuatu yang tidak benar. Menurut saya tidak demikian, sebab setiap manusia dapat menjadi
sesamamu. Walaupun demikian, menurut saya, dalam setiap kasus, entah di dalam
lingkungan sendiri maupun di luarnya, dapat terjadi bahwa kita harus memilih satu dari dua
kemungkinan yang sama-sama berat: jadi ‘conflicting absolutisme’ (collisio officiorum).
Grudem: Karakter Allah merupakan dasar untuk tidak berdusta. Dan: Tuhan Yesus tidak
pernah menganggap perlu untuk berdusta.
Tentang Rahab Grudem berpendapat bahwa ia menipu ketika masih kafir, dan bidan-bidan di
Mesir mungkin juga bukan perempuan-perempuan Israel. Saya menganggap pandangan itu
tidak benar, sebab mereka justru dipuji karena kesetiaan mereka terhadap orang Israel, yaitu
keduabelas pengintai Kanaan, dan terhadap anak-anak kecil di Israel.
Penipuan-penipuan seperti oleh Daud yang pura-pura gila di kota Gat, dapat dibenarkan
menurut Grudem. Karena tidak ada tutur kata Daud pada saat itu.

68 Pengantar Etika
Menurut Frame dalam keadaan tertentu seorang harus berdusta, sedangkan menurut Grudem,
sama seperti Augustinus tidak.

Untuk itu melihat: Bo Min Lee, Mendacium Officiosum. Penilaian ‘dusta darurat’, dengan
perhatian khusus kepada pandangan Augustinus.
Kesimpulannya: tentu dusta darurat adalah dusta. Tetapi tentu juga dusta yang merupakan
kewajiban. Contah-contah Alkitab cukup jelas.
Bo Min Lee memperlihatkan bahwa kadang-kadang orang yang menolak dosa darurat tidak
berlawanan dengan tipu perang. Justru tipu daya itu yang sangat dekat dengan dosa darurat
(ingat contoh menyembunyikan militer-militer musuh). Lee heran bahwa Augustinus yang
menolak dusta darurat tidak membahas tipu perang, padahal ia tidak bertentangan dengan
perang pada umumnya.

Grudem berpandangan juga bahwa kita harus bertindak untuk melawan fitnah. Sebab Yesus
juga melakukan itu, kecuali ketika ia diadili dan akhirnya dihukum untuk disalibkan. Pada
saat itu ia tidak melawan fitnah sebab ia mau mengikuti kehendak Allah untuk dihukum.
Tetapi Grudem tidak menuyebut 1 Petrus 2, bahwa kita harus menerima jika kita difitnah, dan
tidak selalu harus melawan.
Seperti Grudem tidak melihat nuanse. Yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar.
Saya sebut beberapa contoh yang menunjukkan biblisisme Grudem.
Mengintai diizinkan, sebab ada contoh kedua belas pengintai.
Menyembunyikan identitasnya boleh, sebab Yesus melakukan itu selama 30 tahun
pertama hidup-Nya. Band. juga Yusuf terhadap saudaranya.
Menggunakan nama orang lain boleh, berdusta tentang nama sendiri tidak. Mengherankan.
Menceriterakan sebagian dari perencanaan, untuk menipu, boleh. Seperti Samuel yang
berkata bahwa ia ke Betlehem untuk sembayang, padahal ia pergi juga untuk mengurapi Daud
dan menyembunyikan itu di hadapan raja Saul.

Hukum yang kesepuluh


Jangan mengingini sesuatu yang dipunyai sesamamu.

Hukum ini mencakup segala rancangan dan perencanaan. Hukum ini adalah yang paling
tajam dan memperdalam hukum 6-9. Kata bahasa Ibrani ‘chamad’ menuntukkan keinginan
dan perencanaan. Jadi, bukan saja bahwa kita mempunyai keinginan dan pikiran mis. tentang
isteri seseorang, tetapi merancangkan juga untuk berzinah dengannya.

Sebenarnya, keinginan-keinginan manusia, termasuk keinginan seksuil, merupakan bagian


daripada kemanusiaannya, dan tidak dapat dikatakan buruk dengan sendirinya. Augustinus, di
bawah pengaruh filsafat Yunani, menganggap bahwa keinginan seksuil dosa adanya, tetapi
itu tidak benar. Bahkan dalam kitab Kidung Agung kasih mesra dipuji serta keinginan antara
laki-laki dan perempuan.
Keinginan jahat adalah musuh besar untuk manusia, lih. 1 Kor. 10:6 dan 1Petrus 2:11, dan
khususnya Yak. 1:14. Nas terakhir mengatakan bahwa bukan Allah yang mengerjakan hal-hal
yang tidak baik untuk manusia, tetapi bahwa keinginan kita sendiri, jika dikawinkan dengan
daya tarik hal-hal jahat di luar kita, membuat keinginan itu dibuahi dan akhirnya
mengeluarkan dosa.

69 Pengantar Etika
13 Kebebasan Kristiani dan hukum

Kebebasan
Manusia mempunyai kehendak bebas, sehingga ia sendiri bertanggungjawab atas dosanya.
Tetapi bukan bebas dalam arti bahwa ia sendiri dapat luput dari perhambaan dosa.
Secara antropologis memang manusia mempunyai kehendak bebas, jadi bebas dari paksaan.
Tetapi secara religius tidak, sebab tidak mungkin ia sendiri dapat memilih mengikuti Tuhan.
Manusa bebas dalam arti religius jika ia dibebaskan oleh Kristus dan diperbaharui oleh Roh.

Bagi orang Kristen pengertian ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’ berbeda dengan pandangan
humanis.
Mulai dari aliran Stoa di Yunani kuno kebebasan dilihat sebagai bagian dari ataraxia:
kemampuan untuk tidak terpengaruh dan tidak tergerak. Dan sekaligus: mampu untuk
berkuasa atas nasib yang menentukan kehidupan. Bagi orang Yunani seorang merdeka
berbeda dengan seorang budak. Seorang budak harus menaati tuannya, dan seorang merdeka
memang bebas terhadap orang lain. Namun, seorang merdeka tetap taat kepada perintah-
perintah negara dan menyadari tanggungjawabnya.
Seorang Kristen tidak akan memilih antara determinisme atau indeterminisme, yakni antara
keterikatan dan kebebasan. Bagi seorang Kristen kebebasan tidak berarti boleh mengatur
dirinya sendiri, tetapi bahwa ia terikat kepada Tuhan Allah, dan justru itulah kemerdekaannya.
Dalam ajaran Katolik Roma bukan kemauan tetapi akal budi berjalan di depan, dan mereka
bertindak berdasarkan hukum naturalis.
Untuk Kant kehendak manusia penting, bersama dengan akal budi yang praktis, dan
mengikuti ordo moralis. Tetapi sesudah Kant ahli-ahli filsafat lainnya menganggap kehendak
sebagai hawa nafsu: Nietsche, Freud. Manusia dipimpin oleh keinginannya, kata mereka.
De Kruijf menyetujui Nietsche bahwa tidak ada subyek etis yang mempunyai kehendak yang
bebas, tetapi ia menambahkan: kecuali jikalau Allah bertindak dalam hidupnya.
Kruijf berkesimpulan: etika membutuhkan kebebasan. Pada mulanya kebebasan adalah bahwa
kehendak mengikuti akal budi yang mengenal ordo moralis yang diciptakan Allah. Tetapi
kehendak telah busuk karena dosa. Dengan melalui pembebasan oleh Allah, dalam rahmat-
Nya dan kasih-Nya, maka kehendak menyesuaikan diri dengan akal budi dan manusia akan
men-dengar-dengar-an. Khususnya jikalau ia dengar-dengar kepada Allah30.

Kalau kita membicarakan kebebasan Kristiani, harus kita membedakannya dari kebebasan
secara filsafat yang menunjukkan otonomi yang mutlak. Kebebasan adalah sebuah kata
Alkitabiah tentang pergaulan dengan Allah tanpa halangan, di dalam Kristus, sebagai jalan
kebenaran. ‘Bebas’ berarti: berada dalam lingkungan asal, bersama dengan Allah. Pada saat
manusia mau memperluas lingkungannya ia mirip seekor ikan yang melompat dari dalam air
dan mati di atas darat. Pembebasan adalah bahwa ikan dikembalikan kedalam air.
Kebebasan Alkitabiah itu tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan. Kita boleh bergaul
dengan Allah dan menikmati segala yang diberikan-Nya. Band. Gal. 3,4,5.

Kebebasan dan hukum : kita telah dibebaskan dari kutuk dan kuk hukum. Tetapi hukum
sendiri itulah baik, dan adil, dan benar. Hukum mosaica telah menjadi hukum Kristus,

30 G.C. de Kruyff, Christelijke ethiek, 1999, 77,78.

70 Pengantar Etika
sedangkan interpretasi orang Farisi yang mendangkalkannya ditolak oleh Kristus sendiri
dalam Khotbah di bukit..
Seorang yang mendalami hukum Kristus mendalami hukum kemerdekaan yang sempurna
(Yak. 1).
Pada waktu Perjanjian Lama orang beriman tidak merasakan hukum sebagai penyiksaan atau
beban, Mazm. 119, Mazm 92. Jadi, jangan memisahkan Hukum dan Injil, seperti sering
dilakukan oleh teolog-teolog Luteran. Kata Roma 10:4 tentang Kristus yang adalah telos
(tujuan, penggenapan) dari hukum Taurat bagi mereka yang percaya, harus diartikan sbb: bagi
orang beriman hukum bukan jalan keselamatan, sekalipun pada waktu Perjanjian Lama
memang sering ditafsir demikian, apalagi oleh orang Yahudi pada zaman rasuli. Tetapi orang
yang percaya dengan sungguh-sungguh tidak pernah melihat hukum seperti itu, bahkan pada
masa Perjanjian Lama pun tidak. Allah yang menyelamatkan.
Berbeda sekali dengan orang Luteran itu adalah pandangan Barth yang mengatakan bahwa
hukum adalah sebuah bentuk Injil. Pandangan itu tak dapat disetujui sebab menghilangkan
rasa bersalah.

Fungsi hukum yang bertujuan tiga.

Jemaat Kristen telah menerima hukum mosaica dari tangan Kristus dan sebagai hukum
Kristus, dan bagi jemaat itu fungsi hukum dapat dibagi tiga:
Usus legis primus: usus politicus atau civilis: bermanfaat bagi kehidupan politik.
Usus legis secundus: usus pedagogicus atau elenchticus, untuk menunjukkan dosa.
Usus legis tertius: usus didacticus atau normativus, untuk menjadi pedoman bagi pengucapan
syukur.
Usus primus mengekang kejahatan, tetapi tidak mengalahkannya. Melalui hukum itu Allah
mengatur bahwa kehidupan di bumi tetap mungkin. Hukum Allah adalah pakaian yang satu-
satunya yang cocok untuk dunia. Usus primus itu juga adalah alat dalam tangan Kristus, sebab
Dialah yang mempunyai kuasa baik di surga maupun di bumi.
Usus secundus sering dikaitkan dengan Gal.3: 24, dari situ juga kata pedagogicus. Cuma,
tidak terlalu tepat sebab menurut nas tersebut hukum adalah pedagogos sampai Kristus, jadi
sekarang tidak lagi. Dalam sejarah keselamatan fungsi tersebut telah berlalu.
Namun, hukum tetap berlaku sebagai cermin untuk mengenal dosa, sebab dalam diri kita
adalah perjuangan antara roh dan daging (Roma 7:13 dst). Tetapi Injil mendahului Hukum,
band. pendahuluan hukum Taurat.
Mengenai kata pedagogis: dulu seorang pedagogos tidak selalu disenangi: ia bukan saja
pendidik, tetapi juga penjaga.
Usus tertius berlaku dalam dan untuk pengudusan hidup. Dalam tangan Kristus hukum
berlaku sebagai pedoman.
Sering dikatakan bahwa untuk Calvin usus yang ke-3 itu telah menjadi nr 1. Verkuyl
menerangkan bahwa usus elechticus menjadi nr 1 untuk Calvin, baru normativus, baru
politicus. Menurut Douma para Reformator sebenarnya tidak berselisih pendapat, tetapi para
penganut Luter memang kurang menghargai usus normativus dan berfokus pada politicus dan
khusus elenchticus31.

31J. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab, 64-70.

71 Pengantar Etika
Lex naturalis (hukum alamiah)
Ordo creationis adalah struktur yang ditemukan dalam ciptaan-ciptaan, sedangkan lex
naturalis –kata orang- adalah hukum yang telah tertulis dalam hati setiap manusia, sekalipun
ia tidak menyadarinya.
Sesuai pandangan Reformed tidak mungkin untuk menyusun sebuah etika atas dasar lex
naturalis, seperti diusahakan gereja K.R.
Memang menurut Roma 2:14 bangsa-bangsa melakukan hukum Allah dari dirinya sendiri
(natura) . Benarlah juga, bahwa terdapat moral di dunia, di luar gereja pula. Tetapi hukum
yang dimaksudkan dalam Roma 2 :14 adalah hukum Musa, bukan semacam hukum dalam
hati manusia yang dimilikinya sesuai dengan sifatnya sebagai manusia. Kata Paulus ialah
bahwa bangsa-bangsa sekalipun tidak mengenal hukum Allah tetap melakukan ‘pekerjaan
hukum’. Bukan inti hukum Allah yang diraih oleh bangsa-bangsa itu, tetapi yang dilakukan
mereka adalah hasil dari pengaruh hukum.
Jangan kita berargumentasi bertolak pada sebuah hukum alamiah sepertinya diciptakan Allah
sebagai sesuatu yang bekerja sendiri. Lebih baik kita mendasarkan pikiran pada kelebihan
kuasa penyataan Allah.
Apalagi, tujuan Roma 1 adalah menggambarkan manusia sebagai oknum yang tidak bisa
berdalih, dan mendakwanya. Tujuannya bukan mengajarkan suatu teori tentang tata
tertib alam kejadian.
Keterangan yang menarik tentang ‘natural law’ diberikan oleh Oliver Barclay dalam Clark,
Rakestraw, ‘Readings in Christian Ethics’, Vol. 1, 41-49, dengan judul : ‘The nature of
christian morality’. Melawan pandangan seperti dari Hauerwas, bahwa etika Kristen bukan
untuk orang yang non-Kristen, Barclay menunjuk kepada ‘natural law’, tetapi berkata pula
bahwa dasar ini tidak kuat. Begitu juga argumen-argumen berdasarkan logika tidak kuat,
sebab pengetahuan kita tentang dunia-alam tidak sempurna dan tabiat manusia juga tidak
sempurna. Barclay sendiri memilih ‘creation ethics’ : kita harus bertolak dari Allah dan
ciptaan-Nya. Allah menganjurkan hal-hal yang baik untuk ciptaan-Nya. Menurut Alkitab kita
harus kembali ke permulaan (Mat. 19). Tata tertib alam kejadian adalah sebagian dari ciptaan
sendiri. Norma-norma Kristen merupakan persyaratan yang terbaik untuk dunia ; dari mulanya
kaidah Allah tetap berlaku. Apalagi, semua manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa
Allah, kata Barclay.

Terdapat ‘tata tertib alam kejadian’? Kata itu adalah terjemahan Verkuyl dari
‘Schöpfungsordnungen’, ordo creationis.
Khususnya Emil Brunner, Das Gebot und die Ordnungen, membahas etika tata tertib alam
kejadian. Brunner adalah seorang teman Karl Barth, tetapi dalam penghargaan terhadap tata
tertib tersebut mereka berbeda pendapat. Brunner, seperti Barth, memang mengatakan bahwa
manusia menerima perintah Allah hanya pada saat tertentu saja, bila Allah memanggilnya,
gaya eksistensialistis. Tetapi menurutnya harus dibedaken antara ‘Gebot’, perintah, dan
‘Ordnungen’, ketentuan-ketentuan. ‘Gebot’ merupakan panggilan Allah pada saat kita
bertemu Tuhan secara eksistensial, ‘Ordnung’, atau ‘Gesetz’, terdiri dari Alkitab, dan juga
hati nurani, maupun hukum-hukum alam, bahkan kebiasaan-kebiasaan sosial. Barth
mengeritik Brunner, dan menurut Douma dengan benar, sebab tidak mungkin realita-realita di
sekeliling kita bisa bersuara, seperti dikatakan Brunner.
Manusia selalu sibuk untuk membentuk struktur dalam lingkungan hidupnya, sesuai struktur
yang telah ditemukan secara alamiah, sosial dan bersejarah, tetapi ia merusakkannya juga.
Berbahaya jika ‘struktur’ menjadi sumber tersendiri bagi kita.

72 Pengantar Etika
Tentu struktur-struktur penting adanya, dan diletakkan Allah Pencipta dalam dunia ini.
Apalagi, manusia yang baru akan diperbaharui sesuai gambar Penciptanya (Kol. 3:10).
Struktur yang diletakkan Penciptanya dalam dunia ini harus dihargai. Tetapi manusia tidak
dapat tahu persis bagaimana adanya struktur dunia pada saat diciptakan Allah, yaitu sebelum
ada dosa, dan juga ‘schema’ (=struktur) dunia ini sedang berlalu (1 Kor. 7:31).
Struktur-struktur itu tidak boleh diabadikan. Namun, Douma membahas struktur sebagai salah
satu dari kelima relasi yang penting bagi manusia32.

Etika jemaat dan kasuistik


Terdapat dua sistem etika yang mudah salahdigunakan, yaitu yang disebut etika jemaat dan
kasuistik. Etika jemaat dapat diartikan bahwa tidak ada petunjuk dari luar, tetapi bahwa
jemaat sendiri menentukan apa yang perlu dan wajar dalam keadaan konkrit. Tentu
pandangan itu salah, sebab Firman Tuhan yang merupakan lampu bagi kaki kita. Tetapi benar
adalah bahwa kita dalam memikirkan tanggungjawab Kristen harus membagi hikmat dengan
jemaat dan belajar dari jemaat dan sebagai jemaat harus tumbuh bersama-sama.
Kasuistik adalah ilmu tentang kasus-kasus, yang mengajar bagaimana menerapkan peraturan
umum untuk kasus-kasus khusus. Seorang dapat menolong sesamanya dalam hal itu.
Kasuistik sering dibenci, ingat orang Farisi dengan 613 perintah dan larangan. Ingat juga
buku-buku pedoman pada pengakuan dosa dari gereja Katolik Roma dalam Abad
Pertengahan. Kasuistik dapat menjadi seperti terlukis dalam Yes. 28:10. Dan juga dapat
memberi kelonggaran untuk menyebut baik apa yang jahat, band. Mat. 23:23.
Barth menolak kasuistik, dengan mengatakan bahwa, kalau begitu, manusia mengambil
tempat di takhta Allah. Tetapi Bonhoeffer mengintroduksikan dalam seminari teologia yang
dipimpinnya ‘pengakuan dosa’, walaupun tidak sama seperti di gereja Katolik Roma. Ia mau
supaya seorang Kristen secara pastoral ikut memikirkan beban saudaranya dan akan
mengatakan apakah sesuatu baik atau tidak dan akan mendoakan saudaranya.
Menurut Douma tidak bisa kita menolak kasuistik semata-mata. Ternyata dalam praktek
sehari-hari setiap orang melakukannya. Kita tidak menolong orang yang menggumuli sebuah
masalah dengan mengatakan kepadanya : saudara memutuskan sendiri saja sesuai seleramu
apa yang baik. Jika kita berbelas kasihan maka kita akan memberi pandangan, dan sedikit-
dikitnya kita membutuhkan kasuistik. Dalam Alkitab terdapat kasuistik juga, sebab setelah
kesepuluh hukum diumumkan dalam Kel. 20 dan Ul .5 dinyatakan juga banyak peraturan
yang diawali dengan : jika terjadi yang ini atau yang itu (ki, im), dan itulah peraturan
kasuistis. Peraturan itu berbeda dengan peraturan apodiktis, seperti kesepuluh hukum, yang
diawali dengan : jangan (lo).
Pada ukuran tertentu kita membutuhkan etika jemaat dan kasuistik. Terlebih dalam ‘secular
age’.

Dalam sejarah KR (band. karangan Verkuyl) terbentuk sistem probalisme (dalam ordo Jesuit;
probabilis=mungkin): sampai jauh mana seorang berhak bertindak jika tidak ada hukum yang
jelas? Kemungkinan satu adalah untuk menolak apa saja yang mungkin salah : tutiorisme:
memilih jalan yang aman (tutior: lebih aman). Kemungkinan lain adalah laxisme: salah satu
pilihan sudah bisa disetujui jika hanya satu pengarang saja mendukungnya (laxus=lemah).
Verkuyl dengan jelas menolak probabilisme itu, bahkan cenderung menolak kasuistik pada
umumnya.

32 Bdk. Jan A. Boersema dkk, Berteologi abad XXI, Jakarta 2015, 438.

73 Pengantar Etika
Kasuistik yang baik tidak membahas sedetailnya tetapi menyebut tipe-tipe situasi yang agak
umum. Jangan kita terperangkap dalam kesalahan-kesalahan kasuistik yang buruk, dengan
mau mengatur semuanya.
Jika kita menggunakan etika jemaat, dan membentuk sebuah pola hidup didalam mengikut
Yesus, dan jika kita tidak mempertentangkan kebebasan sendiri dan hukum Allah, makanya
kita akan menggunakan kasuistik untuk memperoleh uluran tangan etis. Bersama-sama
dengan orang seiman harus kita mencapai kedewasaan rohani : Ef. 4 :12.

Perfeksionisme.
Seorang perfeksionis beranggapan bahwa kesempurnaan sudah bisa dicapai dalam kehidupan
ini, dan ia melupakan perjuangan seperti dalam Roma 7 :14. Mereka menafsir Roma 7 secara
lain : yaitu bahwa Paulus berbicara tentang hidupnya sebelum bertobat. Semboyan Reformasi
‘simul iustus dan peccator’ dilupakan.
Kehendak manusia memang tidak bebas lagi, dan harus dibebaskan, namun belum sampai
sempurna.

1 Joh 3:9 harus dikaitkan dengan 1 Joh. 1:10, dan 1 Joh. 2:1. Seandainya sudah sempurna,
mengapa doa ‘Bapak kami’ mengatakan ‘jangan membawa kami kedalam pencobaan? Perlu
disadari Fil. 3 :12.
Seorang perfeksionis menyangka bahwa seorang beriman bukan saja bebas dari utang dosa
tetapi juga dari kuasa dosa. Mis. John Wesley berpikir bahwa sesudah pembenaran oleh iman,
dosa manusia dapat dimenangkan secara riil, melalui tindakan Allah yang khusus, yaitu
‘second blessing’, Wesley ditentang oleh Ludwig von Zinzendorf, pelopor Pietisme dari
Jerman.
Zinzendorf benar, sebab ‘tamim’ (Ibr) dan ‘teleios’ (Yun) tidak menunjukkan kesempurnaan
etis tetapi hidup yang ditujukan kepada Allah dengan baik.
1 Joh 3:9 tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi harus dilihat dalam pertentangan
dengan orang gnostik yang mengatakan bahwa mereka yang mengenal Allah tidak melakukan
dosa lagi. Dosa itu tidak kena diri mereka, hanya tubuh saja. Karena itu Yohannes mau
menyatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar mengenal Allah, sebab kalau begitu
benih Allah ada didalamnya, dan juga Kristus presens (hadir) (4:4). ‘Tidak bisa berdosa’
bukan kenyataan, tetapi norma yang jelas dan masuk akal: tidak bisa seorang Kristen
melakukan yang demikian.

Sikap lain, bertentangan dengan perfeksionisme, adalah sikap orang yang senang-senang saja,
mudah puas, sembrono, lalai. Mereka tidak berjuang lagi, tidak mencita-citakan pengudusan
(Ibr. 12:14).
Perjanjian Baru tidak mengizinkan untuk menyangkal kesungguhan dosa, sekalipun dalam
iman dapat dikatakan bahwa kita telah mati bagi dosa dan hidup bagi Kristus..

Dosa yang terberat adalah dosa melawan Roh. Yakni menyangkal sama sekali penyataan
Roh Kudus dalam Kristus dan menyebutnya pekerjaan roh jahat (Mark. 3:30). Rupanya apa
yang dilakukan Paulus dengan melempari Stefanus masih dapat diampuni. Dosa melawan
Roh sungguh ada, tetapi hanya Tuhan tahu dan kita tidak dapat menilai. Band. Ibr. 6:4. 1
Yoh.5:16.

74 Pengantar Etika
Apakah pembedaan KR antara peccata mortalia (dosa menuju kematian) dan peccata venialia
(dosa yang dapat diampuni) dapat dipertahankan? Pembedaan itu sudah lama ada, sejak
bapak-bapak gereja, dan diperincikan oleh Skolastik, tetapi ditolak oleh Reformasi. Tentu
dapat dibedakan antara dosa yang berat dan yang kurang berat, band. Kristus dalam Mat. 7:3.
Tetapi coram Deo (di hadapan Allah) setiap dosa membuktikan kejahatan kita di luar Kristus.
Namun, coram hominibus (di depan manusia) pembedaan-pembedaan perlu.

Kompromis.
Kenyataan kompromis terdapat dalam Alkitab. Band. Ul. 24:1. Tetapi kompromis tidak boleh
disalahgunakan. Douma: Kompromis adalah akseptasi (penerimaan) sesuatu yang kurang
daripada yang semestinya dan harus diusahakan berdasarkan perintah Allah33.
Terkadang perceraian merupakan kompromis, begitulah perpecahan gereja. Setiap kali kita
berkompromis kita menderita, karena maksimum tidak bisa dicapai.
Dalam Kis. 5 :29 dinyatakan sebuah batas yang tidak boleh dilewati : kita harus mentaati
Allah lebih daripada manusia.

Manusia mempunyai suara hati.


Para reformator melihat suara hati sebagai penuduh. Memang para reformator tetap
menganggap adanya terang kodrati, tetapi itu ditindas dengan kelaliman (band. Rom.1,2).
Calvin menggambarkan conscientia sebagai ‘mengetahui bersama dengan Allah’. Menurut
Calvin suara hati berada di tengah Allah dan manusia.
Tetapi pada abad 19 dan 20 F. Nietsche dan S. Freud menjelekkan suara hati, sebab
adalah fenomena yang menyakiti manusia. Menurut Nietsche orang yang terbaik adalah
dia yang berani berlagak ego-istis: itulah kebebasan mutlak.
Sebab kalau tidak ego-istis, maka kita mengikat diri kepada orang lain. Dan suara hati tidak
boleh menghalangi manusia dalam kemauannya yang keras itu.

Menurut Douma suara hati adalah lembaga dalam diri manusia yang mengkonfrontirnya
dengan segala keputusannya, lalu menilai itu 34.

Juga orang yang bukan Kristen mempunyai sedikit pengenalan akan Allah bahkan suara hati:
Roma 2:14.
Bahasa Ibrani tidak mengenal kata untuk ‘suara hati’. Mungkin ‘leb’ ‘hati’ bisa dianggap
sebagainya. NT mengenal kata ‘suneidesis’.
Berhubungan dengan itu De Kruijf bersama Van Oyen menunjukkan bahwa dalam khotbah –
Nya Tuhan Yesus tidak pernah berkata tentang suara hati, dan juga tidak tentang kesusilaan
dan kebajikan. Sebab Tuhan Yesus tidak bertolak dari kesusilaan atau moral umum , tetapi
menekankan relasi pribadi antara Allah dan manusia. Tuhan Yesus menuntut kesetiaan kepada
firman-Nya sendiri: “Tetapi Aku berkata...”. Baru dalam surat-surat rasuli menjadi jelas
bahwa seorang yang bertemu dengan Tuhan Yesus akan dilepaskan dari ketakutan dan
ketegangan dan mendapat hati nurani yang baik dan murni (1 Tim.3:4, 1 Petrus 3:16)35.

33 Douma, o.c., 302. Bdk. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab.


34 Douma, o.c., 352.
35 De Kruyf, o.c., 46.

75 Pengantar Etika
G.C. de Kruijf, Christelijke Ethiek, mengatakan:
Etika klasik terarah kepada subyek moril, dan mengembangkan ajaran tentang kebajikan dan
hati nurani, atau berfokus kepada tujuan kehidupan moril, seperti kebahagiaan.
Tetapi etika modern terarah kepada kelakuan. Sebab mulai dari Kant para ilmuwan tidak
suka berfokus kepada teleologi (tujuan), sebab menurut Kant teleologi berakibat tindakan
yang sewenang-wenang.
Dan sejak Nietsche subyek moril dikekang, sebab subyek itu tidak ada, katanya. Kant tetap
menghargai hati nurani, Nietsche membuangnya.
Namun, konsentrasi pada kelakuan semata-mata tidak memuaskan, dan tentu tidak
menyenangkan untuk etika Kristen, yang bertujuan untuk hidup di hadapan Allah.
De Kruijf berteologi secara Augustinus dan secara Reformed: hidup yang baik membutuhkan
pengenalan akan yang baik dan juga kehendak akan yang baik. Berbeda dengan etika klasik
yang menyangka bahwa pengetahuan akan mengendalikan kemauan, dan juga berbeda dengan
etika Katolik-Roma ala Tomas dari Aquino, yang positif terhadap kehendak yang bebas.

Dalam pandangan Augustinus dan pandangan Reformed maka kehendak dan juga suara hati
harus diperbaharui oleh Roh Kudus, jadi kita teringat akan pandangan Verkuyl, yang sudah
disebut dalam fasal yang pertama.
Suara hati yang baik merasa diri bebas di depan Allah. Dan suara hati yang baik tidak bisa
dibentuk di luar anugerah Allah.

Akhir kata
Cetakan kedua buku ini dikerjakan pada masa korona, april 2020. Suatu bencana menimpa
seluruh bumi, malapetaka terbesar sesudah Perang Dunia II.
Bukan tidak mungkin tantangan itu membutuhkan keputusan-keputusan etis yang pada saat
kami tulis ini belum dapat dilihat. Sebab akibat-akibat COVID-19 akan terasa sesudah ini dan
belum bisa diramalkan.
Tentu akan terjadi banyak perubahan di bidang ekonomi dan bidang sosial, pada
skala nasional maupun global. ‘Worldview’, pandangan dunia, dapat berubah juga,
semoga membaik.
Dalam karangan ini kami telah memerhatikan sekularisasi. Apakah nanti pandangan itu akan
berkurang? Apakah nanti manusia akan merasakan tidak begitu perlu untuk bebas samata-
mata? Apakah akan berkurang keinginannya untuk dapat menentukan seluruh hidupnya,
termasuk agama? Sebab sebagai salah satu ciri sekularisasi kami sebut bahwa manusia dengan
segala kebebasan dapat memilih apakah ia mau beragama atau tidak. Sebelum abad 19
keinginan itu belum terasa, tetapi dalam abad 20 dan 21 kuat sekali.
Apakah melalui COVID-19 manusia akan lebih merasakan ketergantungannya, dan akan
mengalami bahwa ia dibatasi dalam kebebasannya?
Kebebasan Kristiani adalah bahwa seorang merasa diri terhubung dengan Kristus, dan merasa
terpanggil untuk mengambil keputusan-keputusan etis dengan pertolongan Roh-Nya yang
Kudus.
Seorang Kristen tidak perlu hidup berdasarkan kode-kode yang tetap, tanpa memikirkan apa-
apa. Sebab kalau begitu kehidupannya bersifat non-pribadi, mekanis. Tidak manusiawi.
Seorang Kristen tidak juga akan hidup atas rasio, sesuai aliran modernisme, seakan-akan
rasionya mahakuasa. Krisis korona membuat manusia gugup dan mengerti keterbatasannya.
Seorang Kristen tidak juga hidup sesuai aliran post-modernisme, dengan menekankan
otonomi ego-nya sendiri, perasaannya, kebebasannya, tanpa peraturan-peraturan yang
mengikatnya. Seakan-akan tidak ada kepastian yang tetap.

76 Pengantar Etika
Allah telah menyatakan segala sesuatu yang perlu kita tahu untuk hidup dengan bahagia.
Dengan khusus kasih-Nya dalam Diri Yesus Kristus, bersama segala kebenaran lainnya,
semua pekerjaan-Nya dan perbuatan-Nya, mulai dari penciptaan sampai bumi baru.
Seorang Kristen harus menerapkan penyataan Allah dan mengimplementasikannya, dengan
Alkitab yang terbuka dan ditolong oleh teman-teman seiman, gereja Kristus, dan dengan doa
untuk pimpinan Roh Kudus.

Doesburg, 30 april 2020,


Jan Boersema

77 Pengantar Etika
Kepustakaan

Blomberg, Craig L., Tidak miskin, tetapi juga tidak kaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011).
Bonhoeffer, Dietrich, Aanzetten voor een ethiek (Langkah-langkah awal sebuah etika),
Zoetermeer 2012.
Borrong, R.P., Etika bumi baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Brownlee, Malcolm, Pengambilan keputusan etis, dan faktor-faktor di dalamnya, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1981).
———- Tugas manusia dalam dunia milik Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004). Bruijne, A.L. Th. de, Levend in Leviathan, Kampen 2006.
Clark, David K., Robert V. Rakestraw (eds), Readings in Christian Ethics, Vol. 1: Theory
and Methods, ed.7, 2006; Vol. 2: Issues and applications, ed.9, 2005.
Douma, Jochem, Christelijke Ethiek I, Grondslagen, (‘Etika Kristen’, I, ‘Azas-azas’),
Kampen 1999.
———-, Christelijke Ethiek VI, Medische Ethiek, (‘Etika Kristen’, VI, ‘Etika Medis’)
Kampen 1997.
———- Kelakuan yang bertanggungjawab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
———- The Ten Commandments. Manual for the Christian life,
1996. Geisler, Norman L., Etika Kristen, 2015.
Graaf, J. de, Elementair begrip van de ethiek (Pengertian dasar tentang etika), Utrecht 1986.
Graafland, Joh. C., Rentmeesterschap bij Calvijn: Leefregels bij de kredietcrisis (Calvin
tentang menjadi bendahara: peraturan-peraturan hidup dalam krisis kredit). In: Radix, 34(4),
2008.
Grudem, Wayne, Christian Ethics, An introduction to Biblical Moral Reasoning, (Wheaton:
Crossway, 2018)
Holderread Heggen, Carolyn, Pelecehan seksual dalam keluarga Kristen dan gereja, Jakarta
2008.
Karman, Yonki, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012)
Keller, Tim, Generous justice. How God’s grace makes us just’, 2010.
Kruyf, G.C. de, Christelijke ethiek. Een inleiding met sleutelteksten, (Etika Kristen. Sebuah
pengantar dengan naskah-naskah kunci), 1999.
Napel, Henk ten, Jalan yang lebih utama lagi. Etika Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia 1997.
Nullens, Patrick, Ronald T. Michener, The Matrix of Christian Ethics, Intervarsity Press 2010.
Rasmussen, Larry L, Komunitas bumi baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2010).
Paul, Herman, Shoppen in advent. Een kleine theorie van secularisatie (Berbelanja pada masa
adven. Teori sekularisasi yang singkat, Utrecht 2020).
Schäfer, Ruth, Freshia Aprilyn Ross, Bercerai. Boleh atau tidak? (Jakarta: YKBK, 2012).
Stassen, Glen H, David P. Gushee, Kingdom Ethics. Following Jesus in Contemporary
context, 2003. Terjemahan : Etika Kerajaan, (Surabaya: Momentum, 2010).
Team penulis SEAGST, Studi Kasus pastoral I, Sumut, Jakarta 1985, Studi Kasus pastoral II,
Nusa Tenggara Timur, Jakarta 1990.

78 Pengantar Etika
Verkuyl, Joh. J., Etika Kristen: umum, sosial-ekonomi, etika seksuil, ras, bangsa, gereja,
negara, etika politika, etika dan kebudayaan, kapita selekta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1956 (dan tahun-tahun berikut).
Vos, H. de, Inleiding tot de ethiek (Pembimbing etika), Nijkerk 1960.
Wright, Christopher J.H., Old Testament Ethics for the people of God,
2004.
Terjemahan :Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, (Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2007.
Yewangoe, Andreas A., Tidak ada ghetto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).

79 Pengantar Etika

You might also like