Professional Documents
Culture Documents
Makalah Metodologi Rahmah
Makalah Metodologi Rahmah
KELOMPOK 8
DISUSUN OLEH :
KELAS : 1 C KOMUNIKASI
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dimana atas berkat dan
rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan tugas Makalah Bahasa Indonesia ini dengan
tepat waktu. Adapun topik yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai Pengertian
dan Ruang Lingkup Karya Ilmiah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Parluhutan Siregar, S.Ud.,M.Hum
. selaku dosen pengampu pada mata kuliah metodologi islam yang telah
membimbing penulis di dalam penyusunan makalah ini dan kepada semua pihak yang
telah berkontribusi untuk tersajinya makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun, demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
menambah wawasan bagi para pembaca. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Kelompok
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
2.1 pengertian hukum islam normatif....................................................................... 2
2.2 Objek hukum islam normatif.............................................................................. 2
2.3 teori,pemdekatan dan metode normative……………………………………… 6
2.3 desain penelitian islam normatif………………………………………………. 9
BAB III PENUTUP................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 8
3.2 Saran.................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Apa saja ruang lingkup karya ilmiah ?
1. Fikih
Dalam terminologi ushuliyyun (pakar ushul fikih), fikih didefinisikan sebagai ilmu
tentang hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci." Disebut ilmu karena merupakan garapan manusia dengan mempergunakan
metode-metode tertentu seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain.
Karena itu, hukum hukum akidah dan akhlak tidak termasuk fikih, karena fikih adalah
hukum hukum syara yang diambil dari proses istidlal atau istinbath dan nazhar (analisis)
dari sumber-sumber primernya berupa Al-quran, hadis dan ijma'. Sumber-sumber ini
bersifat tafshili (terperinci). Dalam perspektif sebetulnya tidak hanya sekadar ilmu
tentang hukum-hukum syar'iyyah yang diperoleh lewat proses istidlal, tetapi hukum-
2
hukum itu sendiri kerapkali disebut fikih. Dewasa ini, terminologi fikih tidak lagi
dimaksudkan sebagai seperangkat ilmu tentang hukum, melainkan hukum-hukum
fiqhiyyah itu sendiri disebut fikih.
Dengan ungkapan lain, fikih adalah produk hukum yang dihasilkan ulama berdasarkan
pemahaman mereka terhadap suatu nash. Atau dalam terminologi Manna' al-Qaththan,
Kompilasi hukum syara yang bersifat praktis yang diambil dari dalil yang terperinci.
Proses istidlal (pengambilan dan penggalian) hukum adalah wilayah ushul fikih. Jadi
ushul fikih adalah disiplin ilmu yang memproduksi fikih dari sumbernya dengan
seperangkat metodologi. Tegasnya, ushul fikih merupakan ilmu yang membahas tentang
bagaimana cara menemukan dan mengeluarkan hukum dari sumbernya. Itu berarti, usul
fikih termasuk objek kajian atau penelitian.
Adapun fikih disebut praktis karena fikih berisi pedoman bagi kaum muslimin dalam
melakukan segala aktivitas baik aspek ibadah maupun muamalah. Sementara Amir
Syarifuddin, menyederhanakan menjadi empat aspek, yaitu aspek munakahah
(pernikahan) mawarits/faráidh (warisan), murafa’at/qadha (pengadilan), dusturiyah
(kemasyarakatan dan kenegaraan), dan duwwaliyah (hubungan internasional)
Aspek ibadah dibahas dalam fikih ibadah. Yang di bahas adalah aspek Thaharah, yang
terdiri atas wudhu dan tayamum, janabah, serta haidh ; shalat, puasa, zakat, haji, dan
Umrah, serta udhhiyah (berkurban). Belakangan bagian fikih ibadah di rinci dalam
bidang tersendiri dengan nama fikih Thaharah, fikih shalat, fikih puasa, fikih zakat, dan
fikih haji.
Sedangkan yang di bahas dalam fikih mu’amalah adalah hal-hal yang berkenaan
dengan relasi sesama manusia. Seperti jual beli, utang piutang, sewa menyewa, dan riba.
Kini, aspek-aspek ini di ulas secara mandiri dalam disiplin ilmu tersendiri,yaitu
ekonomi islam. Sementara persoalan nikah yang sebelumnya bagian dari fikih
mu’amalah di bahas secara tersendiri, dengan nama fikih munakahah. Yang di bahas
dalam fikih munakahah adalah perkawinan dan hal yang terkait dengannya, seperti
Nafakah, perceraian, masa iddah, rujuk, khuluk, fasakh, ila, zhihar, li’an, dan keturunan,
termasuk di dalamnya aspek penyusunan dan pengasuhan anak. Hal-hal yang berkenaan
dengan anak tersebut di bahas dalam apa yang di sebut dalam apa yang di sebut fikih
3
anak. Berkenaan dengan wasiat dan warisan di bahas dalam fikih mawaris . Berkenaan
dengan wakaf dan hibah dikaji dalam fikih wakaf.
Hudud di ulas dalam fikih jinayah (pidana islam). Sementara hal-hal yang berkenaan
dengan hak-hak non-muslim, kemasyarakatan dan kenegaraan, dan duwwaliyah
(hubungan internasional)dibahas dalam fikih siyasah(fikih politik islam).
2. fatwa
Secara etimonologis, fatwa berarti, petuah, nasehat dan jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum. Dalam terminologi ushul fikih, fatwa dimaknai sebagai
pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang di
ajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Dengan
kata lain, fatwa adalah pendapat hukum yang tidak mengikat yang dikeluarkan untuk
menanggapi persoalan hukum.
Makna defenitif ini menunjukkan bahwa : pertama, fatwa adalah sebuah opini
hukum yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Proses pembentukan opini hukum tersebut
menggunakan metode ijtihad tertentu. Kedua, fatwa bersifat dinamis. Fatwa lahir untuk
menanggapi persoalan hukum. Tangggapan hukum tersebut bukan muncul secara tiba-
tiba dan atau atas kemauan mufti, melainkan atas permintaan atau pertanyaan yang di
ajukan.
Tegasnya, fatwa MUI tidak keluar dengan sendirinya, melainkan lahir karena
adanya pertanyaan yang di ajukan kepada MUI. Berdasarkan pertanyaan itu, MUI –
melalui Komisi Fatwa-nya memberikan jawaban. Jadi, jawaban yang berupa opini
hukum itu (fatwa) dikeluarkan MUI bukan atas dasar keinginan semata, melainkan atas
dasar permintaan dan petanyaaan.
4
Oleh sebagian peneliti, fatwa MUI tersebut dijadikan sebagai obyek penelitian,
seperti yang dilakukan M.Atho Mudzhar dalam bentuk disertai judul penelitian disertasi
M.Atho Mudzhar adalah fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Mungkin karena wibawa MUI dan
tingkat publisitas yang dimilikinya, seringkali fatwa-fatwa MUI menimbulkan
kontroversi dikalangan masyarakat, sehingga menmbulkan pertanyaan-pertanyaan.
5
anda maksud adalah misalnya pendapat Ulama Hukum yang ada dalam kitab-kitab
fikih. Tegasnya, Hukum Islam yang dimaksud daam judul di atas adalah fikih
6
Metode yang dapat diambil dari studi Al-Qur’an yaitu metode penafsiran Al-Qur’an.
Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, bermacam-macam metodologi tafsir dan
coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh paka-pakar Al-Qur’an.
Metode penafsiran Al-Qur’an tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu:
a. Tafsir Bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih
menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu
menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan
Kitabullah.
b. Tafsir Bil-Ra’yu
Tafsir bil-ra’yu ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya para mufasir hanya
berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada
ra’yu semata.Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa
penyimpangan terhadap Kitabullah.
Al-Farmawi membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam
metode, yaitu :
1) Metode Tahlily
Metode tahlily yaitu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-
Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai
dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan
ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub di dalam mushaf. Segala segi yang
dianggap perlu oleh seorang mufassir tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosa kata,
asbabun nuzul, munasabat, dan lain-lain.
2) Metode Ijmali
Metode ijmali yaitu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan
kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dengan metode ini
7
seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat
tersebut secara garis besar saja.
3) Metode Muqarin
Metode muqarin dilakukan dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu
dengan yang lainnya. Penafsiran ini dapat dilakukan sebagai berikut :
c) Mengadakan penafsiran
4) Metode Maudlu’iy
Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.
Adapun tafsir yang harus diikuti dan dipedomani ialah tafsir ma’tsur. Karena ia
adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga
diri dari tergelincir dari kesesatan dalam memahami Kitabullah.[5]
Takhrij Hadits adalah bentuk masdar dari fiil madhi yang secara bahasa berarti
mengeluarkan sesuatu dari tempat.
Sedangkan Takhrij menurut ahli hadits memliki tiga macam pengertian, yaitu :
1) Usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain,
yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut.
2) Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu
terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunannya.
8
3) Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh
penyusun atau pengarang suatu kitab.
Secara garis besar manakharij hadits (takhrijul hadits) dapat dibagi menjadi dua cara
dengan menggunakan kitab-kitab.
1) Manakharij hadits telah diketahui awal matannya, maka hadits tersebut dapat
dicari atau ditellusuri dalam kitab-kitab kamus hadits dengan dicarikan huruf awal yang
sesuai diurutkan abjad.
Dalam buku “Cara Praktis Mencari Hadits” dikemukakan bahwa metode takhrijul hadits
yang dijalankan dalam buku ini terbagi dua macam, yakni :
1) Takhrijul Hadits Bil-Lafz, yakni upaya pencarian hadits pada kitab-kitab hadits
dengan cara menelusuri matan hadits yang bersangkutan berdasarkan lafal atau lafal-
lafal dari hadits yang dicarinya itu.
Apabila hukum konvensional bersumber dari hukum alam, hukum adat maupun
dokrin, maka hukum Islam sebagai ajaran agama yang berlandaskan kepada wahyu
meletakkan sumber hukum primernya pada dua yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul.
9
Kedua sumber ini menjadi landasan utama bagi para peneliti hukum Islam bila hendak
melakukan kajian tentang hukum Islam.
Hukum Islam yang tercantum di dalam sumbernya yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul
tidak mungkin dipahami tanpa bantuan dari nalar manusia dalam hal ini para fukaha
(ahli hukum Islam). Pemikiran mereka tidak mungkin lepas dari sumber primernya,
yakni Al-Qur'an dan Sunnah tersebut.
Hal tersebut yang membedakan hukum islam dari hukum konvensional yang bersumber
dari doktrin atau pendapat ahli hukum yang menggali pendapat hukum mereka tanpa
harus menisbahkannya kepada sebuah kitab suci. Ahli hukum Islam (fukaha) wajib
berpikir dalam alur kerangka kedua sumber tersebut.
Kegiatan penelitian model ini juga telah dilakukan oleh para ulama terdahulu. Para
Imam mujtahid yang telah bekerja dengan tekun menyusun pendapat-pendapat mereka
tentang model hukum Islam yang menurut mereka memang benar-benar bersumber dari
Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Contoh penelitian ini dapat ditelusuri pada akhir abad
pertama hijrah karya dari ulama besar Imam Malik ibn Anas yang menulis kitab Al-
Muwatta' yang kemudian menjadi sumber rujukan utama dari dari mazhab Maliki.
10
Para fukaha sebutan untuk ahli hukum Islam melakukan penelitian ini sebagai landasan
terhadap pemikiran hukum yang mereka kemukakan hasil penelitian terhadap asas asas
hukum Islam ini terkristalisasi di dalam kitab-kitab ushul fiqh.
Bentuk kedua yang dihasilkan dengan penelitian asas-asas hukum Islam ini adalah
filsafat hukum Islam. Para ahli hukum Islam kontemporer ada yang mempersamakan
antara ushul fiqh dan filsafat hukum Islam. Pendapat ini mungkin ada benarnya tapi
paling tidak dari penelitian terhadap asas ini muncul kaidah-kaidah ushuliah yang
bersumber dari kaidah lughawiah, kaidah fiqhiyah yang dari sini muncul kemungkinan
untuk melakukan legal proses atau istinbath al-ahkam.
Apabila peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik asas-asas hukum,
maka hal itu juga dapat dilakukannya terhadap hukum positif tertulis maupun hokum
positif tidak tertulis. Asas-asas hukum tersebut merupakan kecenderungan-
kecenderungan yang memberika suatu penilaian susila terhadap hukum. Secara logis,
asas hukum tersebut harus ada pada pengambilan keputusan secara konkret.
Sejalan dengan penelitian asas hukum Islam diatas, penelitian ini merupakan lanjutan
dari penelitian mengenai asas hukum. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana
proses hukum yang terjadi yang mengantarkan seorang ahli hukum Islam di dalam
mencapai pendapat hukum (doktrin) dalam satu kasus. Penelitian ini juga mempunyai
wilayah cakupan yang cukup luas termasuk di dalamnya meneliti tentang pendapat
seorang ahli hukum, pendapat mazhab, fatwa ulama, dan keputusan pengadilan (qadha).
Setelah terjadi kristalisasi mazhab hukum, maka muncul model penelitian yang baru
yakni penelitian perbandingan mazhab hukum. Penelitian ini dimaksudkan untuk
melakukan perbandingan antara satu mazhab dengan mazhab yang lain atau bahkan ke
seluruh mazhab mengenai satu topik. Penelitian ini memerlukan penguasaan yang
mendalam terhadap beberapa pendapat mazhab. Para ulama terdahulu di dalam
melakukan perbandingan mazhab cenderung melakukan perbandingan mengenai
11
pendapat ahli hukum mengenai kasus hukum tertentu dengan pendapat ahli hukum lain
dan di dalam melakukan perbandingan tersebut berusaha untuk menonjolkan kelemahan
dan kekuatan masing-masing argumen hukum yang dikemukakan.
Para sarjana Islam terdahulu telah secara tekun melakukan kajian sejarah, atau yang
populer dalam istilah Arab adalah tarikh. Salah satu bidang kajian yang dilakukan yaitu
dengan melakukan penelitian bidang tasyri' (legal process).
Para penulis sejarah Islam yang menulis tentang sejarah hukum Islam cenderung
bersifat deskriptif, yakni hanya melakukan paparan sejarah tanpa melakukan critical
histories yang mendalam. Sesuai dengan perkembangan penelitian sejarah itu sendiri,
pendekatan yang dapat dilakukan dalam penelitian sejarah menjadikan peneliti ini
menjadi lebih complicated. Paling tidak penelitian sejarah ini mencakup lima w+h.
Who, what, when, where, why, dan how.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islam diartikan sebagai salah satu agama yang dibawa oleh Muhammad, yang
mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya.
normatif secara etimologi berasal dari bahasa Inggris Norm yang berarti norma, aturan,
ajaran, acuan, ketentuan masalah yang baik dan yang buruk, atau perilaku yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Sehingga dapat kami simpulkan bahwa, maksud
dan tujuan penyatuan kata islam dan normatif dapat diartikan sebagai normatifitas
dalam studi islam tentang wilayah kepercayaan, dogmatika, atau wilayah yang bersifat
sakral, dan diyakini kebenarannya baik dalam tataran akidah maupun akhlak.
2. Hukum Islam sebagai obyek Kajian variabel hukum Islam dalam kalimat "Metode
Penelitian Hukum Islam" menunjukkan bahwa hukum lslam merupakan obyek
penelitian. Dilihat dari ruang lingkup kajian, sebutan hukum Islam memiliki wilayah
penelitian yang luas. Ada empat objek yang dituliskan dalam makala ini yaitu, Fikih,
fatwa, Peraturan Perundangan di Negeri Islam, dan Keputusan-Keputusan Pengadilan
Agama.
3. Dalam aplikasinya, pendekatan nomatif tekstualis barangkali tidak menemui
kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam. normatif yang
bersifat Qoth’i. persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini
dihadapkan pada realita. Ada dua pedekatan yang dituliskan dalam makala ini yaitu,
Pendekatan Normatif Dalam Studi Islam dengan Studi Al-Qur’an dan Pendekatan
Normatif Dalam Studi Islam dengan Studi hadits.
4. Ada enam desain penelitian islam normatif, Penelitian Hukum Islam pada Ranah
Sumber, Penelitian Hukum Islam pada Ranah Doktrin (Pemikiran), Penelitian Asas-
Asas Hukum Islam, Penelitian Istinbath Ahkam, Penelitian Hukum Islam Perbandingan
dan Penelitian Sejarah Hukum Islam (Tarikh Tasyri’)
13
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
A.P.Kau, Sofyan, Metode Penelitian Hukum Islam Praktis untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis, Yogyakarta:Mitra Pustaka,2013.
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Ahmad, Muhammad dan M.Muzakkir, Ulumul Hadits, Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Arfa, Faisar Ananda, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Jakarta:Prenadamedia
Group, 2019.
Khalil , Manna, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor : Litera AntarNusa, 1996.
Nasution, Khoiruddin Pengantar Studi Islam, Jogjakarta : academia,2010.
Nata, H. Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta:Rajawali Pers, 2014.
15