Professional Documents
Culture Documents
NIM : 18Ns11007
Hari : Senin
Mengetahui,
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH (BENIGN PROSTATE HIPERPLASIA)
2. Kasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan menjadi empat, yaitu:
1) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis, masih terasa kira-kira 60-150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau
dysuria dan menjadi nocturia.
3) Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan, urine menetes secara
periodic ontinen.
3. Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:
a. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di
dalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek klinis dengan pemberian 5α-reduktase
inhibitor yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron,
dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume prostat 20-30%.
b. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian terprogram sel-sel prostat (apoptosis). Sehingga meskipun
rangsangan terbentuknya selsel baru akibat rangsangan testosterone menurun,
tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
massa prostat menjadi lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
d. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan jumlah
sel prostat seimbang dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat meningkat
sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
e. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat
bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika hormone ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada
sel stroma maupun sel epitel.
f. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)
menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan tanpa inflamasi.
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dan
kuat sehingga mengakibatkan:
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli- buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh, dengan tanda dan gejala antara lain:
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia).
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing (Mansjoer, 2000).
5. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan
menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari
buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi
yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :
hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli -
buli. Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000).
Puncakdari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa
urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan
kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H, 1999).
Pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktusurinarius. Pada tahap
awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis
yangmengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor
mengatasidengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi
lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalammukosa buli-buli akan terlihat
sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat daridalam vesika dengan
sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsisaluran kemih atas (Mansjoer Arif , 2000).
6. Pathway
CEMAS
Proligerasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat
DEFISIT
PENGETAHUAN
Obstruksi saluran kemih
BPH Pembedahan
INTOLERANSI
AKTIFITAS
Kompensasi otot destruksor Dekompensasi otot destruksor
Terputusnya kontinuitas
Spasme otot jaringan
Penebalan RETENSI URINE
destruksor dinding urinaria
NYERI AKUT
Otot Kontraksi otot
suprapubik
8. Komplikasi
Menurut Harmilah (2020), komplikasi pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine). Pasien
memerlukan kateter yang dimasukkan ke kandung kemih untuk menampung
urine. Beberapa pria dengan pembesaran prostat membutuhkan pembedahan
untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk mengososngkan kandung
kemih dapat meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk sepenuhnya
mengosongkan kandung kemih. Batu kandung kemih daoat menyebabkan infeksi,
iritasi kandung kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya
dapat meregang dan melemah seiring waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih
tidak lagi berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine langsung dapat
merusak ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih mencapai ginjal.
9. Penatalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH
antara lain:
a. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obatobatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan
gejala-gejala berkurang
2) Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil
c. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu:
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
6) Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang dilakukan antara lain
sebagai berikut:
a) Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas mikro-
gelombang transuretra (Transurethral Microwave Heat Treatment
/TUMT), kompres panas ke jaringan prostat, ablasi jarum transuretra
(Transurethral Needle Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang
ditempatkan di dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk
pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki resiko bedah yang
buruk).
b) Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP (Transurethral
Resection of The Prostate) yang merupakan standar terapi bedah, insisi
prostat transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of The Prostate),
elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan prostatektomi terbuka.
d. Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang mengalami gangguan
perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan
selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih. Pemasangan
kateter menyebabkan urine mengalir secara continue pada pasien yang tidak
mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan actual atau
potensial yang membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar,
2021). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peningkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
3. Intervensi keperawatan
4. Implementasi Keperawatan
Merupakan tindakan-tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi keluhan pasien
berdasarkan intervensi-intervensi yang telah dibuat.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnose yang diambil
berdasarkan kriteria hasil pada tujuan keperawatan.