You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

BPH (BENIGN PROSTATE HIPERPLASIA)

Telah disetujui laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada klien

Tn. S , dengan diagnosa medis BPH (Benign Prostate Hiperplasia)

yang dirawat di Rumah Sakit RSU Aminah Blitar , Ruang Darussalam

NAMA : Eva Kartika Putri

NIM : 18Ns11007

Hari : Senin

Tanggal : 3 Oktober 2022

Mengetahui,

Pembimbing Klinik, Pembimbing Institusi,

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH (BENIGN PROSTATE HIPERPLASIA)

A. Konsep Dasar BPH (Benign Prostate Hiperplasia)


1. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang terjadi sebagai hasil
dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana elin, 2011). Menurut
Brunner (2013) kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan
menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih yang tidak tuntas dan retensi urine
yang memicu stasis urine dapat menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi
saluran kemih. Dimana penyebab gangguan tersebut tidak dipahami dengan baik,
tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. BPH sering terjadi pada pria
berusia lebih dari 40 tahun.
BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala
uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017).

2. Kasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan menjadi empat, yaitu:
1) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis, masih terasa kira-kira 60-150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau
dysuria dan menjadi nocturia.
3) Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan, urine menetes secara
periodic ontinen.
3. Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:
a. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di
dalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek klinis dengan pemberian 5α-reduktase
inhibitor yang menghambat perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron,
dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume prostat 20-30%.
b. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan
hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian terprogram sel-sel prostat (apoptosis). Sehingga meskipun
rangsangan terbentuknya selsel baru akibat rangsangan testosterone menurun,
tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
massa prostat menjadi lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
d. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan jumlah
sel prostat seimbang dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat meningkat
sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
e. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit. Kehidupan sel ini sangat
bergantung pada keberadaan hormone androgen sehingga jika hormone ini
kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan menyebabkan
apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada
sel stroma maupun sel epitel.
f. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS)
menunjukkan bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih
cepat dibandingkan dengan tanpa inflamasi.

4. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dan
kuat sehingga mengakibatkan:
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli- buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh, dengan tanda dan gejala antara lain:
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia).
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing (Mansjoer, 2000).

5. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan
menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari
buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi
yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :
hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli -
buli. Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000).
Puncakdari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa
urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan
kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H, 1999).
Pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktusurinarius. Pada tahap
awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis
yangmengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor
mengatasidengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi
lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalammukosa buli-buli akan terlihat
sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat daridalam vesika dengan
sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi
dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsisaluran kemih atas (Mansjoer Arif , 2000).
6. Pathway

Perubahan usia (usia lanjut)

Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron

Kadar Testoteron menurun testosteron Kadar Estrogen meningkat

CEMAS
Proligerasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat

DEFISIT
PENGETAHUAN
Obstruksi saluran kemih
BPH Pembedahan
INTOLERANSI
AKTIFITAS
Kompensasi otot destruksor Dekompensasi otot destruksor

Terputusnya kontinuitas
Spasme otot jaringan
Penebalan RETENSI URINE
destruksor dinding urinaria

NYERI AKUT
Otot Kontraksi otot
suprapubik

Kesulitan Dipasang Adanya media RESIKO INFEKSI


Kuman
NYERI AKUT berkemih kateter masuk
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien BPH adalah
antara lain:
a. Sedimen urin
Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi slauran kemih.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
c. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urine.
d. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
e. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
f. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat prostat ke dalam rectum

8. Komplikasi
Menurut Harmilah (2020), komplikasi pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine). Pasien
memerlukan kateter yang dimasukkan ke kandung kemih untuk menampung
urine. Beberapa pria dengan pembesaran prostat membutuhkan pembedahan
untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk mengososngkan kandung
kemih dapat meningkatkan resiko infeksi saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk sepenuhnya
mengosongkan kandung kemih. Batu kandung kemih daoat menyebabkan infeksi,
iritasi kandung kemih, adanya darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya
dapat meregang dan melemah seiring waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih
tidak lagi berkontraksi dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine langsung dapat
merusak ginjal atau memungkinkan infeksi kandung kemih mencapai ginjal.

9. Penatalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab,
keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH
antara lain:
a. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obatobatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan
tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan
gejala-gejala berkurang
2) Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil
c. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu:
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
6) Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang dilakukan antara lain
sebagai berikut:
a) Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas mikro-
gelombang transuretra (Transurethral Microwave Heat Treatment
/TUMT), kompres panas ke jaringan prostat, ablasi jarum transuretra
(Transurethral Needle Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang
ditempatkan di dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk
pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki resiko bedah yang
buruk).
b) Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP (Transurethral
Resection of The Prostate) yang merupakan standar terapi bedah, insisi
prostat transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of The Prostate),
elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan prostatektomi terbuka.
d. Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang mengalami gangguan
perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan
selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih. Pemasangan
kateter menyebabkan urine mengalir secara continue pada pasien yang tidak
mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi pada
saluran kemih.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan yang dilakukan perawata untuk
memberikan asuhan keperawatan secara professional (Siregar, 2021). Proses
keperawatan meliputi antara lain:
1. Pengkajian
Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama
dalam proses keperawatanyang mencakup pengumpulan data yang sistematis,
verifikasi data, pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan dokumentasi
data dan dilakukan oleh perawat yang professional di bidang kesehatan. Menurut
Diyono (2019), pengkajian keperawatan meliputi antara lain:
1) Riwayat Keperawatan
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang berat pada pasien.
Secara umum gejala yang dikeluhkan pasien hanyalah sulit buang air kecil dan
beberapa waktu kemudian dapat berkurang dan baik lagi.
2) Keluhan utama
Adanya retensi urin atau gejala komplikasi dengan diidentifikasi dengan cermat
perawat dapat menanyakan kepada pasien dan keluarga tentang keluhan yang
dirasakan seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual muntah, dan
sebagainya.
3) Persepsi dan manajemen kesehatan
Kaji dan identifikasi pola penanganan penyakit yang dilakukan pasien dan
keluarga. Termasuk dalam hal apa yang dilakukan jika keluhan muncul.
4) Pola eliminasi
Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia, hesistensi, frekuensi, urgensi,
anuria, hematuria.
5) Pola aktivitas dan latihan
Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan masalah BAK, misalnya
kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke kamar mandi, dan sebagainya.
6) Pola tidur
Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu istirahat tidur .
7) Pola peran
Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan berkemih.
8) Pemeriksaan fisik
Identifikasi retensi urin, lakukan palpasi suprapubic. Periksa ada tidaknya
komplikasi seperti udem, hipertensi dan sebagainya.
9) Pemeriksaan diagnostic
Amati hasil USG, BNO, IVP dan hasil laboratorium. Perhatikan adanya kesan
pembesaran prostat, hidroureter, hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin,
leukosit, anemia dan sebagainya.
10) Program terapi
Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter, monitoring laboratorium
dan sebagainya.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan actual atau
potensial yang membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar,
2021). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah:
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peningkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan

3. Intervensi keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Ansietas Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas :
keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
jam, maka tingkat ansietas 1. Identifikasi saat tingkat
menurun , dengan kriteria ansietas berubah (mis.
hasil : Kondisi, waktu, stressor)
1. Verbalisasi 2. Identifikasi kemampuan
kebingungan menurun menambil keputusan
2. Verbalisasi khawatir 3. Monitor tanda-tanda ansietas
akibat kondisi yang (verbal dan nonverbal)
dihadapi Terapeutik :
3. Perilaku gelisah 4. Ciptakan suasana terapeutik
4. Perilaku tegang yang menumbuhkan
5. Konsentrasi membaik kepercayaan
6. Pola tidur membaik 5. Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan
6. Pahami situasi yang membuat
ansietas
7. Dengarkan dengan penuh
perhatian
8. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
9. Tempatkan barang pribadi
yang memberikan
kenyamanan
10. Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
11. Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang
Edukasi :
12. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami
13. Informasikan secara actual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
14. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama dengan pasien
15. Anjurkan melakukan kegiatan
yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
16. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
17. Latih kegiatan pengalih untuk
mengurangi ketegangan
18. Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
19. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi :
20. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
Retensi urin Setelah dilakukan tindakan Perawatan retensi urin
keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
jam, eliminasi urin membaik, 1. Identifikasi penyebab retensi
dengan kriteria hasil : urine (mis. peningkatan
1. Sensasi berkemih tekanan uretra, kerusakan
meningkat arkus refleks, disfungsi
2. Desakan berkemih neurologis, efek agen
(urgensi) menurun farmakologis)
3. Distensi kandung kemih 2. Monitor efek farmakologis
menurun (mis. atropine, beliadonna,
4. Volume residu urin psikotik, anthistamin, opiate,
menurun calcium channel blocker)
5. Eneuresis menurun 3. Monitor intake dan output
6. Dysuria menurun cairan
7. Frekuensi BAK membaik 4. Monitor tingkat distensi
8. Karakteristik urin kandung kemih dengan
membaik palpasi atau perkusi
Terapeutik :
5. Sediakan privasi untuk
berkemih
6. Berikan rangsangan berkemih
(mis. mengalirkan air keran,
membilas toilet, kompres
dingin pada abdomen)
7. Lakukan manuver Crede, jika
perlu
8. Pasang kateter urin, jika perlu
9. Fasilitasi berkemih dengan
interval yang teratur
Edukasi
10. Jelaskan penyebab retensi
urine
11. Anjurkan pasien atau keluarga
mencatat output urine
12. Ajarkan cara melakukan
rangsangan berkemih
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri :
keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
jam, tingkat nyeri menurun, 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas,
1. Kemampuan intensitas nyeri
menuntaskan aktivitas 2. Identifikasi skala nyeri
meningkat 3. Identifikasi respon nyeri
2. Keluhan nyeri menurun nonverbal
3. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang
4. Sikap protektif menurun memperberat dan memperingan
5. Gelisah menurun nyeri
6. Kesulitan tidur menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan
7. Berfokus pada diri keyakinan tentang nyeri
sendiri menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
10. Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
11. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
14. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
17. Anjurkan menggunakana analgetik
secara tepat
18. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
19. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi
keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
jam, tingkat infeksi menurun, 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
dengan kriteria hasil : lokal dan sistematik
1. Demam menurun Terapeutik:
2. Bengkak menurun 2. Batasi jumlah pengunjung
3. Nyeri menurun 3. Berikan perawatan kulit pada area
4. Kultur urin membaik edema
nafsu makan membaik 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik aseptik pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi:
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
8. Ajarkan etika batuk
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka dan luka operasi
10. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi:
12. Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
Resiko Setelah dilakukan tindakan Pencegahan perdarahan
perdarahan keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
jam, tingkat perdarahan 1. Monitor tanda dan gejala
menurun, dengan kriteria perdarahan
hasil : 2. Monitor nilai hematokrit/
1. Hematuria menurun hemoglobin sebelum dan setelah
2. Perdarahan pasca kehilangan darah
operasi menurun 3. Monitor tanda-tanda vital
3. Hemoglobin membaik ortostatik
4. Tekanan darah 4. Monitor koagulasi (mis.
membaik suhu tubuh prothrombin time (PT), partial
membaik thromboplastin time (PTT),
fibrinogen, degradasi fibrin dan
atau platelet)
Terapeutik :
5. Pertahankan bed rest selama
perdarahan
6. Batasi tindakan invasif, jika perlu
7. Gunakan kasur pencegahan
dekubitus
8. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi :
9. Jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
10. Menggunakan kaus kaki saat
ambulasi
11. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan untuk menghindari
konstipasi
12. Anjurkan menghindari aspirin atau
antikoagulan
13. Anjurkan meningkatkan asupan
makanan dan vitamin K
14. Anjurkan segera melapor jika
terjadi perdarahan
Kolaborasi :
15. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan, jika perlu
16. Kolaborasi pemberian produk
darah, jika perlu
17. Kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu

4. Implementasi Keperawatan
Merupakan tindakan-tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi keluhan pasien
berdasarkan intervensi-intervensi yang telah dibuat.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnose yang diambil
berdasarkan kriteria hasil pada tujuan keperawatan.

You might also like