You are on page 1of 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) tahun 2020 mengemukakan bahwa saat

ini sekitar 235 juta jumlah pasien asma. Lebih dari 80% kematian akibat asma

terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Asma menjadi

penyebab utama kematian di dunia dengan sekitar 235 juta orang. Pada tahun

2015 sekitar 338.000 kematian dilaporkan yang sebagian besar terjadi pada orang

dewasa. Data prevalensi berdasarkan umur sebesar 7,4% pada dewasa dan 8,6%

pada anak-anak.

Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus

meningkat setiap tahunnya (Initiative, 2020), spektrum asma mengenai semua

umur, gejala dapat sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan kematian.

Global Asthma Network (GAN) yang merupakan organisasi asma di dunia,

memprediksikan pada tahun 2025 akan terjadi kenaikan populasi asma sebanyak

400 juta dan terdapat 250 ribu kematian akibat asma. Indonesia menempati

urutan ke 19 di dunia untuk penyebab kematian akibat asma serta menempati 1

dari 12 penyebab kematian utama dari penyakit tidak menular.

Masalah yang sering dialami pada pasien asma adalah sesak napas. Sesak

napas ini terjadi karena obstruksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh

menebalnya dinding saluran napas yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema

1
2

yang dipicu oleh pengeluaran zat histamine, tersumbatnya saluran napas oleh

sekresi berlebihan mukus kental, hiperresponsitivitas saluran napas yang ditandai

oleh konstriksi hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding

saluran napas (Sherwood, 2017).

Obstruksi bertambah berat saat melakukan ekspirasi karena fisiologis

pernapasan menyempit pada fase tersebut. Diameter bronkiolus lebih banyak

berkurang pada saat ekspirasi daripada selama inspirasi karena terjadi

peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa sehingga menekan

bagian luar bronkiolus dan menutupnya saluran napas cenderung sangat

meningkat karena tekanan positif dalam dada selama eskpirasi. Hal ini

menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi tidak dapat diekspirasikan

sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang. Penyempitan

pada saluran napas ini akan mengakibatkan kesulitan dalam ekspirasi (Guyton

and Hall 2016).

Salah satu intervensi yang dilakukan pada pasien asma untuk

memaksimalkan ventilasi paru adalah latihan pernapasan diafragma yang

dilakukan dengan inspirasi maksimal melalui hidung dan mengurangi kerja otot

pernapasan, sehingga meningkatkan perfusi dan perbaikan kinerja alveoli untuk

mengefektifkan difusi oksigen yang akan meningkatkan kadar O2 dalam paru dan

meningkatkan saturasi oksigen (Mayuni et al, 2015). Selain itu intervensi yang

dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan pola nafas adalah

dengan pengaturan posisi pada klien asma (Black & Hawks, 2014).
3

Diaphragmatic breathing exercise merupakan latihan pernafasan yang

merelaksasikan otot-otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam. Pasien

berkonsentrasi pada upaya mengembangkan diafragma selama melakukan

inspirasi terkontrol. Diaphragmatic breathing exercise akan membuat seseorang

bernafas lebih efektif dengan menggunakan otot diafragma dan pada pasien asma

dapat mencegah terjebaknya udara dalam paru karena adanya obstruksi jalan

nafas (Potter& Perry, 2015).

Latihan pernafasan diaphragmatic breathing exercise merupakan salah satu

teknik latihan pernafasan yang menitik beratkan penggunaan otot diafragma saat

melakukan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi). Pernafasan diafragma bertujuan

membantu menggunakan diafragma dengan benar selama pernafasan. dan

bermanfaat untuk menguatkan diafragma dan menurunkan kerja pernafasan.

kemampuan ventilasi juga meningkat setelah melakukan latihan pernafasan

diafragma hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan nilai APE (Arus Puncak

Ekspirasi) kanan terdorong ke atas. Latihan pernafasan diafragma dilakukan

dengan menghembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan (dengan bibir

dimonyongkan seperti meniup lilin) (Pangestuti, dkk, 2015).

Latihan pernafasan diafragma selain dapat meningkatkan fungsi respirasi

juga dapat memelihara keseimbangan kadar (IgE) Imunoglobulin E pada bronkus

serta menurunkan respon yang berlebihan dari jalan napas Penatalaksanaan

keperawatan pada pasien COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)


4

bertujuan untuk meningkatkan bersihan jalan napas, meningkatkan koping serta

menangani komplikasi (Kartikasari, dkk, 2019).

Diaphragm breathing exercise dapat direkomendasikan sebagai intervensi

keperawatan dan dijadikan sebagai masukan (stimulus) dalam proses adaptasi

menurunkan persepsi dyspnea. Diaphragm breathing exercise ini salah satu

teknik bernapas, yang bertujuan untuk mengurangi dyspnea dengan proses

regulator meningkatkan ekskursi diafragma dan dapat meningkatkan kekuatan

otot diafragma yang merupakan otot utama pernapasan (Morrow et al., 2018).

Diaphragm breathing exercise dapat menstimulasi saraf trigeminal yang dapat

menurunkan persepsi dyspnea (Luh et al. 2017).

Berdasarkan evidence based practice penelitian yang dilakukan oleh

Yamaguti et al., (2015) diaphragm breathing exercise dapat meningkatkan

pergerakan abdomen saat pernapasan alami, sehingga dapat meningkatkan

kapasitas fungsional. diaphragm breathing exercise dapat meningkatkan

kekuatan otot diafragma yang merupakan otot utama pernapasan dan berperan

sebagai tepi bawah thorak. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah,

meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru (Black &

Hawks 2014).

Penelitian lain oleh Wong et al., (2016) tentang pengaruh Electric Fan

terhadap dyspnea di Chinese pada klien Kanker stadium akhir menunjukkan

bahwa udara dingin dari kipas dapat mengurangi dyspnea dan dapat digunakan
5

sebagai pengobatan non farmakologis. Diaphragm breathing exercise dapat

menurunkan persepsi dyspnea dan meningkatkan PEFR pada klien asma.

Berdasarkan data di Provinsi Bengkulu tahun 2020 berjumlah 908 orang dan

pada tahun 2021 penderita asma bronkial berjumlah 1.063 orang. Data di

Provinsi Bengkulu tahun 2021 diperoleh 3 Wilayah Kerja Puskesmas yang

menduduki posisi penderita asma bronkial tertinggi yaitu Puskesmas Basuki

Rahmad berjumlah 70 orang, pada Puskesmas Sukamerindu berjumlah 67 orang

dan Puskesmas Ratu agung 67 orang.

Data yang didapatkan dari Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu,

kassus kejadian Asma pada tahun 2019 sebanyak 146 orang, tahun 2020

sebanyak 53 orang dan tahun 2021 sebanyak 70 orang. Pada studi pendahuluan

dilakukan wawancara pada tanggal 24 Februari 2022 yang dilakukan kepada 3

orang pasien baik yang berkunjung ke Puskesmas Basuki Rahmad Kota

Bengkulu, yang terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan dengan rentang umur 35-

45 tahun. Ketika wawancara pasien rata-rata mengatakan serangan asma sering

datang pada malam hari, serangan datang pada saat cuaca dingin atau sedang

hujan. Pada hampir seluruh responden mengatakan upaya yang dilakukan pasien

saat serangan asma muncul adalah dengan minum obat. Pasien juga mengatakan

belum pernah melakukan senam asma selama ini.

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Pengaruh Diaphragmatic Terhadap Kekambuhan Dyspnea

Pada Penderita Asma Di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu”.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan

masalah yaitu masih banyaknya pasien asma yang mengalami kekambuhan

dyspnea pada penderita asma di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah ada pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap

kekambuhan dyspnea pada penderita asma di Puskesmas Basuki Rahmad Kota

Bengkulu?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui pengaruh diaphragmatic

breathing exercise terhadap kekambuhan dyspnea pada penderita asma di

Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui nilai rata-rata kekambuhan dyspnea pada penderita asma

sebelum diaphragmatic breathing exercise di Puskesmas Basuki Rahmad

Kota Bengkulu.

b. Mengetahui nilai rata-rata kekambuhan dyspnea pada penderita asma

setelah diaphragmatic breathing exercise di Puskesmas Basuki Rahmad

Kota Bengkulu.
7

c. Mengetahui pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap

kekambuhan dyspnea pada penderita asma di Puskesmas Basuki Rahmad

Kota Bengkulu.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah keabsahan ilmu keperawatan

terutama pengembangan latihan pernapasan diafragma yang dijadikan dasar

dalam mengembangkan intervensi keperawatan khususnya keperawatan

medical bedah dalam memberikan latihan pernapasan pada pasien asma dalam

menurunkan sensasi dyspnea, RR dan meningkatkan nilai PEFR. Diharapkan

dapat mengembangkan asuhan keperawatan pada pasien asma yang efektif,

sederhana dan murah.

2. Manfaat Praktis

Bagi Rumah Sakit Memotivasi peran aktif perawat, khususnya di poli

penyakit dalam untuk melaksanakan tindakan mandiri keperawatan yaitu

mengajarkan kpasien asma diaphragm breathing exercise supaya dapat

dilakukan oleh klien sebagai penatalaksanaan non farmakologis saat

perawatan di rumah. Bagi pasien Diaphragm breathing exercise yang

dikombinasikan dengan cold stimulation over the face pada klien PPOK

merupakan latihan dan perawatan yang efektif, sederhana dan murah yang

diharapkan dapat menurunkan sesak dan meningkatkan arus puncak respirasi


8

sehingga aktivitas sehari-hari klien terkontrol dan kualitas hidup klien menjadi

lebih baik

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran peneliti adapun penelitian serupa pernah diteliti

oleh :

1. Santoso. 2018. Pengaruh Diaphragm Breathing exercise Kombinasi Cold

Stimulation Over The Face Terhadap Persepsi Dyspnea, Respiratory Rate Dan

Peak Ekspiratory Flow Rate Pada Klien Ppok Di Poli Paru Rsud Jombang.

Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga Surabaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian adalah quasi

experimental pre-test and posttest with control group design. Populasi dalam

penelitian ini adalah klien PPOK yang menjalani rawat jalan di RSUD

Jombang. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada

nilai persepsi dyspnea, RR dan PEFR sebelum dilakukan intervensi

diaphragm breathing exercise kombinasi cold stimulation over the face pada

responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan p > 0,05. Hasil

uji statistik persepsi dyspnea pada kelompok perlakuan menggunakan

wilcoxon signed ranks test menunjukkan p=0,000 artinya terdapat perbedaan

signifikan persepsi dyspnea sebelum dan sesudah intervensi. Hasil uji statistik

RR dan PEFR pada kelompok perlakuan menggunakan paired t test

menunjukkan p=0,000 artinya terdapat perbedaan signifikan antara sebelum

dan sesudah intervensi. Perbaikan perseps dyspnea, RR dan PEFR terhadap


9

responden merupakan output yang adaptif sebagai hasil suatu proses masukan

(stimulus) dari intervensi diaphragm breathing exercise dikombinasikan cold

stimulation over the face sehingga terjadi suatu proses regulator berupa

meningkatkan kekuatan otot diafragma yang merupakan otot utama

pernapasan dan stimulasi saraf simpatis pada medula adrenal yang

merangsang kelenjar endokrin untuk mengeluarkan epinefrin dan

norepinefrin. Norepinefrin akan berikatan dengan reseptor α dan ß2. Selama

berjalanannya aktivitas simpatis, epinefrin yang berikatan dengan ß2 di

jantung dan otot rangka memperkuat mekanisme vasodilator lokal di

jaringanjaringan paru, sehingga akan terjadi bronkodilatasi selanjutnya udara

yang keluar masuk akan lebih lancar dan nilai aliran puncak ekspirasi (APE)

akan meningkat dan RR membaik hingga persepsi dyspnea menurun.

2. Pangestuti. 2014. Pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap fungsi

pernapasan (RR dan APE) pada lansia di upt pslu kabupaten jember. Program

studi ilmu keperawatan universitas jember. Hasil dari penelitian ini

menunjukan adanya perbedaan pada hasil pengukuran nilai RR dan APE

lansia sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi diaphragmatic breathing

exercise, dengan masing-masing p value adalah (0,000) < α (0,05). Dapat

disimpulkan bahwa Ha gagal ditolak yang berarti terdapat pengaruh

diaphragmatic breathing exercise terhadap fungsi pernapasan (RR dan APE)

pada lansia di UPT PSLU Kabupaten Jember. Saran dalam penelitian ini

adalah dengan adanya pengaruh tersebut, maka diaphragmatic breathing


10

exercise dapat dilakukan sebagai intervensi untuk memperlambat penurunan

fungsi pernapasan pada lansia dan memperbaiki fungsi pernapasan pada

lansia.

3. Yulia, dkk. 2019. Pengaruh Nafas Dalam dan Posisi Terhadap Saturasi

Oksigen dan Frekuensi Nafas Pada Pasien Asma. Desain yang digunakan

dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan pretest-

posttest with control group. Analisis yang digunakakan uji mann whitney.

Hasil penelitian ada pengaruh intervensi nafas dalam dan posisi terhadap nilai

SpO2 pasien asma (P Value = 0,001) dan ada pengaruh intervensi nafas dalam

dan posisi terhadap nilai RR pasien asma (P Value = 0,001). Peningkatan

kualitas hidup pasien asma dapat diwujudkan dengan penatalaksanaan asma

yang tepat. Penatalaksanaan yang tepat diantaranya membuat fungsi paru

mendekati nilai normal, mencegah kekambuhan penyakit hingga mencegah

kematian.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diaphragmatic Breathing Exercise

1. Pengertian

Diaphragmatic breathing adalah salah satu tehnik yang baik untuk

pernapasan dan relaksasi terhadap paru karena dapat menyebabkan

pertukaran oksigen dan karbondioksida yang sesuai (Seo et al. 2015).

Diaphragmatic breathing exercise merupakan bagian dari tindakan

mandiri keperawatan pada klien asma. Latihan pernapasan diafragma ini

salah satu teknik bernapas, yang bertujuan untuk mengurangi dypsnea

dengan meningkatkan ekskursi diafragma dan secara simultan mengurangi

penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk kerja

pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada yang abnormal (Morrow et

al., 2018).

Diafragma adalah otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi

bawah thorak. Diafragma berbentuk kubah pada waktu relaksasi, dengan

otot utama melekat pada prosesus xifoideus sternum dan rusuk bagian

bawah. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah, meningkatkan ruang

toraks dan secara aktif mengembangkan paru. Inervasi diafragma (nervus

fernikus) berasal dari medulla spinalis setinggi vertebra servikalis ketiga

(Black & Hawks 2014).

11
12

2. Tujuan

Tujuan utama Diaphragmatic breathing adalah memperbaiki gerakan

abdomen dengan mengurangi aktivitas otot pernapasan (Yamaguti et al.

2015). Klien dengan COPD sering memiliki pengurangan mobilitas

diafragma dan kontribusinya yang relatif terhadap gerakan thoraco

abdominal, meningkatkan aktivitas otot respirasi dinding dada sebagai

mekanisme kompensasi. Pengurangan mobilitas diafragma dan aktivitas

otot dinding respirator yang lebih tinggi ini, berhubungan dengan

peningkatan dyspnea dan intoleransi latihan.

3. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari diaphragm breathing exercise, antara lain :

a. Klien PPOK dengan kondisi stabil, kesadaran compos mentis

b. Klien dengan PPOK kriteria GOLD II (nilai 50% ≤ FEV1< 80%) dan

GOLD III (nilai 30% ≤ FEV1< 50%)

c. Klien PPOK dengan dyspnea

Kontraindikasi dari diaphragm breathing exercise, antara lain;

a. Klien PPOK dengan eksaserbasi

b. Mengalami gangguan saraf, terutama saraf trigeminal

c. Alergi dingin

d. Klien yang mengalami penyakit lain, seperti gangguan

kardiopulmonal, muskolo skeletal dan gangguan mental


13

4. Prosedur diaphragm breathing exercise

Prosedur diaphragm breathing exercise (Lee et al. 2017), adalah

sebagai berikut :

a. Responden mengambil posisi setengah duduk dan posisi tangan kiri

di atas otot rectus abdominalis (tulang kosta anterior),

b. Kemudian responden menghirup udara melalui hidung dengan

perlahan dan dalam dengan hanya membengkakkan perutnya namun

posisi bahu tetap terjaga/ rileks dan tidak terangkat ke atas.

c. Responden menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup, udara

dihirup melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya bengkak.

Setelah itu hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian responden

menghembuskan udara dengan bibir yang mengerucut atau dengan

bibir setengah membuka, sampai perutnya menjadi cekung dengan

durasi 6 detik. Satu pernapasan terdiri dari 3 detik inhalasi, 3 detik

suspensi, dan 6 detik ekhalasi pernapasan.

Tehnik diaphragm breathing exercise diketahui bahwa paling efektif

bila diimplementasikan selama 4 sampai 12 minggu, 2 sampai 5 kali per

minggu, dengan setiap sesi berlangsung tidak lebih dari 20 sampai 30

menit. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, durasi waktu waktu yang

dipilih adalah 30 menit 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu (Seo et al.

2015).
14

B. Kekambuhan Dyspnea Pada Penderita Asma

1. Pengertian

Kekambuhan adalah kembalinya suatu penyakit setelah tampaknya

mereda (Dorland, 2016). Kekambuhan merupakan keadaan klien dengan

asma dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan

mengakibatkan klien anak dengan asma harus dirawat kembali atau

pengobatan lagi (Andri, 2018).

Pasien dengan asma untuk mencegah kekambuhan harus menjalani

pemeriksaan seperti mengidentifikasi subtansi, faktor-faktor penyebab, atau

yang mencetuskan terjadinya serangan kekambuhan asma. Penyebab yang

mungkin dapat saja bantal, kasur pakaian jenis tertentu, hewaan peliharaan,

sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari. Jika serangan berkaitan

dengan musim, maka serbuk sari dapat menjadi dugaan kuat. Upaya yang

harus dibuat untuk menghindari dari agen penyebab kekambuhan penyakit

asma bronkiale adalah dengan menghindari faktor pencetus seminimal

mungkin (Brunner & Suddarth, 2017).

2. Penyebab terjadinya kekambuhan asma

Asma merupakan suatu bentuk peradangan kronis yang terjadi pada

saluran pernapasan. Biasanya asma memiliki gejala-gejala yang bervariasi

pada setiap anak, yang dipicu oleh banyak faktor. Asma biasanya membuat

penderitaannya menjadi sesak napas dan sulit untuk bernapas karena

terjadinya peradangan pada saluran pernapasan tersebut.


15

Ana (2015) faktor penyebab asma paling utama, antara lain adalah

sebagai berikut :

a. Faktor Genetik

Salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab dari

kambuhnya asma, atau terjangkitnya seseorang dengan penyakit asma

adalah faktor genetik atau faktor bawaan. Faktor genetik atau bawaan

ini diturunkan oleh generasi sebelumnya, seperti orang tua, nenek

kakek, ataupun buyut. Seorang anak yang mendapatkan bakat asma

karena keturunan atau faktor genetik ini biasanya mengalami

gejalagejala asma yang mirip dengan orang tua atau kakek neneknya

dahulu. Asma yang diperoleh karena faktor genetik atau bawaan ini

lebih sulit untuk dihilangkan, hanya dapat dikurangi saja gejala-

gejalanya secara bertahap. Faktor genetik ini, selain berasal dari faktor

keturunan, memiliki beberapa faktor lain, yaitu jenis kelamin dan ras.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lain yang mempengaruhi kambuhnya penyakit ini adalah faktor

yang berasal dari lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar memiliki

banyak jenis polutan dan hal-hal yang sanggup membuat saluran

pernafasan. Debu yang berada di dalam lingkungan rumah memiliki

peran yang penting dalam meningkatkan resiko asma, debu yang

terhirup dapat menjadi sesak nafas.


16

c. Faktor kondisi medis

Faktor kondisi medis dapat berupa efek dari penggunaan obat-obat

tertentu, ataupun kondisi pasien yang mengalami suatu penyakit yang

dapat mempengaruhi kondisi saluran pernafasan.

d. Stres

Stres adalah terbukti dapat berpengaruh secara negatif dengan kondisi

kesehatan seseorang. Orang-orang dengan stres yang tinggi bahkan

merasa depresi akan mengalami beberapa gangguan kesehatan yang

antara lain adalah asma.

e. Olahraga yang berlebihan

Olahraga memang sangat baik bagi kesehatan tubuh, namun olahraga

yang berlebihan sangat tidak disarankan, terutama bagi anak yang

memiliki bakat sebagai penderita asma. Olahraga berlebihan akan

sangat mengganggu kemampuan pernafasan, sehingga gejala asma dan

sesak nafas akan timbul dan sangat mengganggu aktivitas sehari-har

3. Faktor yang mempengaruhi kekambuhan asma

Secara umum kekambuhan asma dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor resiko antara lain:

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang, seperti anjing, kucing dan lain-lain)

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)

c. Alergen makan ( susu, udang, telur, kepiting dan ikan laut)


17

d. Bahan yang mengiritasi (parfum)

e. Ekspresi emosi berlebih, stress atau gangguan emosi dapat menjadi

pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan

asma yang sudah ada

f. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, asap rokok berhubungan

dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan

sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat

diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada

usia dini

g. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin

sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin

merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-

kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim

kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)

4. Pencegahan kekambuhan

Ada beberapa pencegahan untuk penyakit asma diantaranya (Masriadi,

2016) :

a. Menjaga kesehatan

Beberapa usaha untuk menjaga kesehatan antara lain makan makanan

yang bergizi baik, minum banyak air putih, istirahat yang cukup,

rekreasi dan olahraga yang sesuai.


18

b. Menjaga kebersihan lingungan

Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari,

saluran pembuanagan air harus lancar, kamar tidur harus diperhatikan

kebersihannya terutama dari debu.

c. Menghindari faktor pemicu asma

Sebaiknya penderita asma menghindari debu, berbagai alergen seperti

kucing, anjing, dan tikus, menghindari tempat yang terlalu sesak atau

ramai, kelelahan yang berlebihan, asap rokok, dan udara kotor lainnya.

d. Menggunakan obat – obatan anti asma

Pada penderita asma yang ringan boleh memakai bronkodilator, baik

bentuk tablet, kapsul, maupun sirup.Tetapi jika gejala asma ingin cepat

hilang, aerosol lebih baik. Sedangkan pada penderita asma kronis bila

keadaannya sudah terkendali dapat dicoba obat – obatan anti asma.

Tujuannya untuk mencegah terjadinya serangan asma dan diharapkan

agar penggunaan obat – obat bronkodilator dan steroid sistemik dapat

dikurangi atau bahkan dihentikan.

5. Cara mengukur kekambuhan asma

Instrument yang digunakan untuk mengukur kekambuhan asma adalah

Copd Assessment Test (CAT), dengan petunjuk pengisian adalah sebabagai

berikut:
19

0 : Tidak pernah batuk 3 : Kadang-kadang batuk

1 : Hampir tidak pernah 4 : Batuk

2 : Jarang batuk 5 : Selalu batuk

Tabel 3
Copd Assessment Test (CAT)
Saya tidak pernah 0 1 2 3 4 5 Saya selalu batuk
batuk
Tidak ada dahak 0 1 2 3 4 5 Dada saya penuh
(riak) sama sekali dengan dahak
(riak)
Tidak ada rasa berat 0 1 2 3 4 5 Dada saya terasa
(tertekan) di dada berat (tertekan)
sekali
Ketika saya jalan 0 1 2 3 4 5 Ketika saya jalan
mendaki/ naik mendaki/ naik
tangga, saya tidak tangga, saya
sesak sangat sesak
Aktivitas sehari-hari 0 1 2 3 4 5 Aktivitas sehari-
saya di rumah tidak hari saya di
terbatas rumah sangat
terbatas
Saya tidak khawatir 0 1 2 3 4 5 Saya sangat
keluar rumah khawatir keluar
meskipun saya rumah karena
menderita penyakit kondisi paru saya
paru
Saya dapat tidur 0 1 2 3 4 5 Saya tidak dapat
dengan nyenyak tidur nyenyak
karena kondisi
paru saya
Saya sangat 0 1 2 3 4 5 Saya tidak punya
bertenaga tenaga sama
sekali
20

C. Asma

1. Pengertian

Penyakit Asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa

Yunani yang berarti “sukar bernapas”. Penyakit asma merupakan proses

inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan

elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan

menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi,

edem, hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di

saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa

mengi, sesak napas, dada terasa berat, batukbatuk terutama pada malam

hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi,

yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun

dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2020).

Asma adalah penyakit pada saluran bronkial yang biasanya muncul

dengan “mengi” atau suara bersiul bernada tinggi yang terdengar saat

bernafas, terutama pada saat bernafas. Namun, mengi tidak selalu terjadi,

dan asma juga bisa melibatkan sesak napas atau batuk, terutama pada anak-

anak. Asma paling umum berkembang pada anak usia dini, dan lebih dari

tiga perempat anak-anak yang mengalami gejala asma sebelum usia 7 tahun

tidak lagi memiliki gejala asma pada usia 16 tahun. Namun, asma dapat

berkembang pada setiap tahap dalam kehidupan, termasuk saat dewasa

(Global Ashtma Network, 2019).


21

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan nafas dan

dikarakteristikkan dengan hiperresponsivitas, produksi mukus, dan edema

mukosa. Inflamasi ini berkembang menjadi episode gejala asma yang

berkurang yang meliputi batuk, sesak dada, mengi, dan dispnea. Penderita

asma mungkin mengalami periode gejala secara bergantian dan

berlangsung dalam hitungan menit, jam, sampai hari (Brunner & Suddarth,

2017).

2. Etiologi

Asma merupakan penyakit saluran pernafasan kronik. Saat udara bebas

keluar masuk, sewaktu serangan asma terjadi, pernafasan menjadi sulit

karena terjadi pembengkakan pada saluran pernafasan. Di waktu yang

sama, selaput saluran pernafasan akan mengalami peradangan dimana dua

unsur inilah yang menyebabkan terjadi rasa sesak nafas. Serangan asma

pada setiap orang juga berbeda. Ada yang mengalami sedikit rasa sesak

pada dada dan mengalaminya pada waktu yang singkat, dan ada pula yang

mengalami rasa sesak nafas yang parah setiap hari dalam jangka waktu

yang lama. Terkadang, beberapa alveoli (kantong udara yang ada di paru -

paru) bisa pecah, sehingga, menyebabkan udara bisa terkumpul di dalam

rongga pleura atau disekitar rongga dada. Hal ini akan memperburuk sesak

nafas yang dirasakan oleh penderita asma (Masriadi, 2016).

Setiawan (2018), menyatakan atopi merupakan faktor terbesar yang

paling berpengaruh terhadap perkembangan asma. Riwayat penyakit alergi


22

pribadi maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema sering

dihubungkan dengan kejadian asma alergi. Selain itu, alergen pada manusia

juga dapat dicetuskan dari debu rumah (tungau) yang paling sering

menyebabkan eksasebasi asma. Tungautungau tersebut secara biologis

dapat merusak struktur saluran napas melalui aktivitas proteolitik, yang

kemudian menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel.

Apabila fungsi epitel telah dihancurkan, maka alergen dan partikel lai dapat

dengan mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina

propia. Aktivitas protease dari tungau-tungau yang terdapat pada debu

rumah tersebut dapat masuk ke daerah epitel dan melakukan penetrasi lebih

dalam di saluran pernapasan.

Faktor lingkungan baik yang berhubungan dengan imunologi maupun

non imunologi juga merupakan faktor pencetus dari asma termasuk

perokok aktif ataupun pasif. Sekitar 25%-30% dari pengidap asma adalah

seorang perokok. Dari data ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa merokok

maupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan

penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada

penderita asma juga akan berdampak terhadap kerusakan dan penurunan

fungsi paru (Setiawan, 2018).

3. Faktor resiko

Berikut ini adalah beberapa faktor risiko yang paling sering dimiliki

oleh penderita asma (Masriadi, 2016) :


23

a. Riwayat keluarga

Apabila salah satu anggota keluarganya menderita penyakit asma,

maka seseorang cenderung memilikinya juga.

b. Jenis kelamin dan usia

Asma paling sering terjadi pada masa kanak – kanak, anak laki – laki

cenderung lebih sering mengalami asma daripada anak perempuan.

Namun pada usia dewasa, baik laki – laki maupun perempuan

memiliki risiko asma yang sama besarnya.

c. Alergi

Tingkat sensitivitas terhadap alergen, semisal debu, polusi udara, bulu

hewan, jamur, atau zat beracun sering kali bisa menjadi acuan

mengenai potensi terserang asma.

d. Merokok

Asap rokok menimbulkan iritasi terhadap saluran pernafasan, bahkan

seorang perokok aktif mempunyai risiko lebih besar untuk penyakit

asma.

e. Infeksi saluran pernafasan

Kondisi saluran pernafasan yang bermasalah sejak balita dan kanak –

kanan akan menyebabkan suara bengkak. Beberapa anak yang

mengalami infeksi saluran pernafasan pada akhirnya akan merambah

menjadi asma kronis.


24

4. Patofisiologi

Yudhawati dan Krisdanti (2017) keterbatasan aliran udara pada asma

bersifat recurrent dan disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran

napas, meliputi:

a. Bronkokonstriksi

Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya gejala

klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang diikuti oleh

gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot

polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi secara cepat, menyebabkan

penyempitan saluran napas sebagai respons terhadap paparan berbagai

stimulus termasuk alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang

diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgEdependent release of

mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien,

dan prostaglandin yang secara langsung mengakibatkan kontraksi otot

polos saluran napas.

b. Edema Jalan Napas

Saat penyakit asma menjadi lebih persisten dengan inflamasi yang

lebih progresif, akan diikuti oleh munculnya faktor lain yang lebih

membatasi aliran udara. Faktor - faktor tersebut meliputi edema,

inflamasi, hipersekresi mukus dan pembentukan mucous plug, serta

perubahan struktural termasuk hipertrofi dan hiperplasia otot polos

saluran napas.
25

c. Airway Hyperresponsiveness

Mekanisme yang dapat memengaruhi airway hyperresponsiveness

bersifat multiple, diantaranya termasuk inflamasi, dysfunctional

neuroregulation, dan perubahan struktur, dimana inflamasi merupakan

faktor utama dalam menentukan tingkat airway hyperresponsiveness.

Pengobatan yang ditujukan pada inflamasi dapat mengurangi airway

hyperresponsiveness serta memperbaiki tingkat kontrol asma.

d. Airway Remodeling

Keterbatasan aliran udara dapat bersifat partially reversible pada

beberapa penderita asma. Perubahan struktur permanen dapat terjadi di

saluran napas, terkait hilangnya fungsi paru secara progresif yang tidak

dapat dicegah sepenuhnya dengan terapi yang ada. Airway remodeling

melibatkan aktivasi banyak sel yang menyebabkan perubahan

permanen dalam jalan napas. Hal ini akan meningkatkan obstruksi

aliran udara, airway hyperresponsiveness dan dapat membuat pasien

menjadi kurang responsif terhadap terapi yang diberikan. Biopsi

bronkial dari pasien asma dapat menunjukkan gambaran infiltrasi

eosinofil, sel mast serta sel T yang teraktivasi. Karakteristik perubahan

struktural mencakup penebalan membran sub-basal, fibrosis subepitel,

hiperplasia dan hipertrofi otot polos saluran napas, proliferasi dan

dilatasi pembuluh darah, serta hiperplasia dan hipersekresi kelenjar

mukus. Hal ini menunjukkan bahwa epithelium saluran napas


26

mengalami perlukaan secara kronis serta tidak terjadi proses perbaikan

yang baik, terutama pada pasien yang menderita asma berat.

5. Penegakan diagnosis

Tabel 1
Kriteria Diagnosis Asma (Wahyuningtyas, 2016)

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak Biasanya >1 gejala respiratori, gejala
napas, dada tertekan, berfluktuasi intensitasnya seiring waktu,
produksi sputum gejala memberat pada malam hari atau dini
hari, gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara respirasi
Gambaran obstruksi FEV1 rendah (<80% nilai prediksi);
saluran napas FEV1/FVC
≤90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
(paska bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20% atau PEFR >15%
27

6. Klasifikasi

Tabel. 2
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
(Setiawan, 2018)

Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru


Malam
1. Intermiten Bulanan: ≤2x/ bulan APE ≥80%:
Gejala <1x/minggu, VEP1 ≥80%
tanpa gejala diluar nilai prediksi,
serangan, serangan APE
singkat ≥80% nilai
terbaik,
variabilitas
APE
<20%

2. Persiste Mingguan: >2x/ bulan APE ≥80%:


n
Ringan Gejala >1x/minggu, VEP1 ≥80%
tetapi < 1x/hari, serangan nilai prediksi,
dapat mengganggu APE
aktivitas dan tidur, ≥80% nilai
membutuhkan terbaik,
bronkodilator setiap hari variabilitas
APE 20-30%

3. Persisten Harian: >1x/ minggu APE 60-80%:


Sedang Gejala setiap hari, serangan VEP1 60-80%

mengganggu aktivitas dan nilai prediksi,


tidur, membutuhkan APE 60-80%
bronkodilator setiap hari nilai terbaik,
variabilitas APE
>30%

4. Persisten Berat Kontinyu: sering APE ≤60%:


28

Gejala terus menerus, VEP1 ≤60%


sering kambuh, aktivitas nilai prediksi,
terbatas APE
≤60% nilai
terbaik,
variabilitas
APE
>30%

7. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma diantaranya

(Utomo, 2015) :

a. Pneumonia

Adalah peradangan pada jaringan yang ada pada salah satu atau kedua

paru – paru yang biasanya disebabkan oleh infeksi.

b. Atelektasis

Adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru – paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus).

c. Gagal nafas

Terjadi bila pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru –

paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan terjadi

pembentukan karbondioksida dalam sel – sel tubuh.

d. Bronkhitis

Adalah kondisi dimana lapisan bagian dalam dari saluran pernafasan di

paru–paru yang kecil (bronkiolus) mengalami bengkak. Selain


29

bengkak juga terjadi peningkatan lendir (dahak). Akibatnya penderita

merasa perlu batuk berulang – ulang dalam upaya mengeluarkan lendir

yang berlebihan.

e. Fraktur iga

Adalah patah tulang yang terjadi akibat penderita terlalu sering

bernafas secara berlebihan pada obstruksi jalan nafas maupun

gangguan ventilasi oksigen.

D. Pengaruh Diaphragmatic breathing exercise Terhadap Kekambuhan

Dyspnea Pada Penderita Asma

Diaphragm breathing exercise dapat meningkatkan pergerakan abdomen

saat pernapasan alami, sehingga dapat meningkatkan kapasitas fungsional

(Yamaguti et al., 2015). Diaphragm breathing exercise dapat meningkatkan

kekuatan otot diafragma yang merupakan otot utama pernapasan dan berperan

sebagai tepi bawah thorak. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah,

meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru (Black &

Hawks 2014). Apabila kerja otot diafragma dapat maksimal maka klien dapat

mengambil napas lebih dalam dan lebih efektif sehingga dapat

mempertahankan ekspansi paru (Luh et al. 2017). Ekspansi paru yang maksimal

dapat meningkatkan ekspirasi paru, diharapkan meningkatkan nilai PEFR.

Luh et al. (2017) menyarankan kombinasi pernapasan diafragma dan hand

held fan lebih efektif dan bermanfaat bagi pasien jika dibandingkan dengan

latihan pernapasan diafragma saja. Kedua intervensi tersebut dapat


30

dikombinasikan, karena memiliki tujuan yang sama yaitu menurunkan persepsi

dyspnea maupun memaksimalkan ekspirasi paru. Penelitian Wong et al., (2016)

tentang pengaruh Electric Fan terhadap dyspnea di Chinese pada klien Kanker

stadium akhir menunjukkan bahwa udara dingin dari kipas dapat mengurangi

dyspnea dan dapat digunakan sebagai pengobatan non farmakologis.

rangsangan dingin ini kemudian diteruskan mengikuti jalur saraf trigeminal ke

batang otak dan thalamus untuk melanjutkan ke somatosensory cortex.

somatosensory cortex merupakan salah satu bagian dalam korteks yang

merasakan sensasi dyspnea. Stimulasi ini mengubah umpan balik dari re-aferen

impuls ke korteks somatosensori dan memodifikasi persepsi dyspnea (Luh et al.

2017).

Satu teori lain adalah aliran udara dingin dapat mempengaruhi reseptor

suhu dingin di wajah khususnya saraf trigeminal, yang berjalan di bawah kulit

di hidung dan mulut. Saraf trigeminal ini juga dapat mengaktifkan otot-otot,

salah satunya otot perut anterior digastrics (Booth et al. 2016). Otot perut

anterior digastrics berhubungan dengan otot diafragma, yang merupakan otot

utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah thorak. Kontraksi diafragma

menarik otot kebawah, meningkatkan ruang toraks dan secara aktif

mengembangkan paru (Black & Hawks 2014).

Aktivitas ringan yang dilakukan secara rutin dalam durasi yang lama, lebih

dari 15 menit akan dapat menstimulasi saraf simpatis pada medula adrenal yang

merangsang kelenjar endokrin untuk mengeluarkan epinefrin dan nonepinefrin.


31

Nonepinefrin akan berikatan dengan reseptor α dan ß2. Selama berjalanannya

aktivitas simpatis, epinefrin yang berikatan dengan ß2 di jantung dan otot

rangka memperkuat mekanisme vasodilator lokal di jaringanjaringan paru,

sehingga akan terjadi bronkodilatasi sehingga udara yang keluar masuk akan

lebih lancar dan nilai aliran puncak ekspirasi (APE) akan meningkat (Novarin

et al. 2015).

Hasil penelitian Oktaviani dan Sutrisna (2021), hasil penelitian ini

diketahui bahwa frekuensi serangan asma sebelum dilakukan intervensi latihan

pernafasan diafragma dengan rata-rata (5.20), standar deviasi (1.190) dan

median (5.00) (lihat tabel 1). Dari tabel 2 dapat dilihat hasil penelitian setelah

dilakukan intervensi latihan pernafasan diafragma diketahui rata-rata (2.52),

standar deviasi (1.229) dan median (2.00).

Harsismanto, dkk (2020), hasil analisis univariat diperoleh Frekuensi

pernapasan sebelum dan setelah melakukan terapi tiup super bubbles ratarata

dalam kategori sedang (26,91) dan setelah intervensi dalam kategori sedang

(25,30). Rata-rata frekuensi pernapasan sebelum dan setelah dilakukan meniup

balingbaling bambu sedang (26,69) dan ringan (24,81). Hasil analisis bivariat

menunjukkan ada pengaruh tiup super bubbles terhadap frekuensi pernafasan

pada anak dengan p value= 0,000 dan ada pengaruh meniup baling-baling

bambu terhadap frekuensi pernafasan pada anak penderita asma dengan nilai p

value= 0,007.
32

E. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Dhyapragmatic Breathing Kekambuhan Dyspnea


Exercise Pada Penderita Asma

Bagan 1.
Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh diaphragmatic

breathing exercise terhadap kekambuhan dyspnea pada penderita asma di

Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.


33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian

pra-eksperiment dengan pendekatan pre test-post test one group design dengan

cara memberikan perlakuan pada semua responden. Pada kelompok perlakuan

akan diberikan intervensi diaphragmatic breathing exercise. Dalam rancangan

ini perlakuan akan dilakukan (X), kemudian dilakukan pengukuran (observasi)

atau pre dan post test (O2) (Notoatmodjo, 2018).

B. Kerangka Penelitian

A1 B A2

Keterangan :

A1 = Kekambuhan dyspnea pada penderita asma sebelum diberikannya

diaphragmatic breathing exercise (pretest)

B = Perlakuan yaitu diaphragmatic breathing exercise.

A2 = Kekambuhan dyspnea pada penderita asma sesudah diberikannya

diaphragmatic breathing exercise (posttest).

Bagan 2
Kerangka Penelitian

33
34

C. Definisi Operasional

Merupakan definisi langkah-langkah pembatasan atau cara kita mengambil data.

Tabel.4
Definisi Operasional
Variable Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Variabel
Independen
Diaphragmatic Merupakan Wawancara SOP Terlaksanan -
breathing pemberian terapi Diaphrag ya program
exercise pernafasan dengan matic pendamping
meminta responden breathing an terapi
untuk mengambil exercise diaphragm
posisi setengah breathing
duduk dan posisi exercise
tangan kiri di atas
otot rectus
abdominalis (tulang
kosta anterior)
kemudian tangan
kanan memegang
kipas portable
menghadap wajah
sambil menghirup
udara melalui hidung
dan mengeluarkan
udara melalui mulut.
Dependen :
Kekambuhan Keadaan fisik klien Observasi Kuesioner Skor Interval
Dyspnea Pada asma yang Assesment 0-40
Penderita merasakan COPD
Asma ketidaknyamanan Test (CAT)
dan kesulitan dalam
bernafas seperti nafas
tersengal-sengal dan
sesak.

D. Tempat dan Waktu Penelitian


35

Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu

bulan April sampai dengan Mei 2022.

E. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2018). Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang

ada di wilayah penelitian, maka penelitianya merupakan penelitian populasi.

Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah pasien asma di Puskesmas

Basuki Rahmad Kota Bengkulu. Jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu

berjumlah 70 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang

hampir sama dengan populasi dan dapat mewakili populasi (Nursalam,

2016). Sugiyono (2015) menyatakan bahwa jumlah sampel pada penelitian

eksperimen sederhana berkisar antara 10-20 orang. Pengambilan sampel

pada penelitian ini dilakukan dengan metode nonprobability sampling

melalui consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan

subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian

sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah klien yang diperlukan

terpenuhi (Nursalam, 2016). Besar sampel minimal yang digunakan dalam

penelitian ini didapatkan melalui rumus besar sampel yaitu sebagai berikut :

n1 = n2 = 2SD2 (Zα + Zβ)²


36

(X1-X2) ²

Keterangan :

n1 & n2 = besar sampel kelompok kontrol & kelompok perlakuan

Zα = deviat pada alfa = 0,05 (biasanya 95% = 1,96)

Zβ = deviat pada beta sebesar (10%), yaitu 1,28

S = Simpangan baku gabungan pada penelitian sebelumnya

x1-x2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan didapatkan hasil

simpangan gabungan sebesar 0,4 dan selisih minimal rerata yang dianggap

bermakna adalah 0,4 maka besar sampel yang dibutuhkan adalah :

n1 = n2 = 2 (0,4)2 (1,96 + 1,28)²


(0,4) ²

Untuk menghindari adanya sampel yang drop out, maka dilakukan

koreksi sebesar 10% (Sastroasmoro & Ismael, 2014) maka besar sampel

yang dibutuhkan adalah :

n= 21 = 23
1-f
Keterangan :

n = perkiraan besar sampel yang dihitung

f = perkiraan proporsi yang drop out

Besar sampel yang diperlukan sebanyak 23 orang.


37

F. Metode Pengambilan Data, Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengambilan Data

a) Data Primer

Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian ini adalah data primer,

dimana data yang didapatkan langsung dari subyek penelitian. Pelaksanaan

diaphragmatic breathing exercise dengan cara meminta responden untuk

mengambil posisi setengah duduk dan posisi tangan kiri di atas otot rectus

abdominalis (tulang kosta anterior) kemudian tangan kanan memegang

kipas portable menghadap wajah, kemudian responden menghirup udara

melalui hidung dengan perlahan dan dalam dengan hanya membengkakkan

perutnya namun posisi bahu tetap terjaga/ rileks/ tidak terangkat ke atas,

kemudian tahan, dan mengeluarkan udara melalui mulut sedikit membuka

dengan cara perbandingan waktu inhalasi, suspense dan ekhalasi adalah 3

detik: 3 detik: 6 detik yang dilakukan dengan durasi waktu 25 menit 3 kali

dalam seminggu selama 4 minggu. Pembukaan: - Salam - Tujuan - Kontrak

waktu Isi: - Pelaksanaan terapi pernafasan Penutup: - Diskusi dan evaluasi.

Penelitian ini menggunakan kuesioner Assesment COPD Test (CAT)

dalam mengukur persepsi dyspnea. Kuesioner CAT berisikan 8 pertanyaan

dengan skor antara 0-5 sehingga nilai total 0 sampai 40, 8 pertanyaan

berupa; (1) adanya keluhan batuk, (2) adanya dahak/ tidak, (3) rasa tertekan

di dada, (4) rasa sesak saat mendaki/ naik tangga, (5) keterbatasan aktivitas
38

sehari-hari, (6) kekhawatiran keluar rumah, (7) kualitas tidur, dan (8)

bertenaga/ tidak.

b) Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari catatan pelaporan atau

register di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu mengenai jumlah

data yang akan diteliti, yaitu jumlah pasien asma.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan menggunakan program komputer melalui

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing (Pemeriksaan)

Dalam persiapan ini peneliti memeriksa kembali kelengkapan data

yang diperoleh kemudian untuk memudahkan pengecekan kelengkapan

data yang diperlukan untuk mencapai tujuan peenelitian dilakukan

pengelompokkan dan penyusunan data. Data di kelompokkan berdasarkan

pertimbangan peneliti sendiri dengan maksud untuk memudahkan

pengolahan data.

b. Coding (Pengkodean)

Coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi

data/bilangan dengan memberikan kode-kode setiap variabel dengan

maksud untuk mempermudah pengolahan data.


39

c. Processing (Memproses)

Setelah semua isi format pengumpulan data diperiksa dan melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya dan memproses agar dapat di

anlisis dengan cara memasukkan data format pengumpulan data ke

komputer.

d. Tabulating

Untuk lebih mudah dalam pembacaan data dan menganalisa data

yang telah di ambil dimasukkan dalam bentuk variabel penelitian.

e. Entry

Data yang telah di kelompokkan kemudian di masukkan dan diolah

dengan menggunakan komputer.

f. Cleaning

Memeriksa kembali data yang ada diprogram komputer dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan

dalam entry data.

3. Analisis Data

Data disajikan dalam mendistribusikan melalui analisis univariat dan

analisis bivariat.

a. Analisis Univariat

Analisa univariat merupakan analisa yang digunakan untuk

menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang akan diteliti.


40

Dalam penelitian ini analisa univariat digunakan untuk menjelaskan atau

mendiskripsikan angka atau nilai karakteristik responden.

b. Analisis Bivariat

Analisa ini merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2018). Dalam

penelitian ini, analisa bivariat digunakan untuk menganalisa pengaruh

diaphragmatic breathing exercise terhadap kekambuhan dyspnea pada

penderita asma di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu antara

sebelum dan sesudah diberikan diaphragmatic breathing exercise.

Sehingga dalam analisis ini dapat digunakan uji statistik uji t-test yaitu uji

beda dua mean dependen. Uji dua mean dependen digunakan untuk

menguji perbedaan mean antara dua kelompok data yang dependen.

Hasil analisa diambil kesimpulan :

1) Bila value ≤, Ho ditolak, berarti ada pengaruh diaphragmatic

breathing exercise terhadap kekambuhan dyspnea pada penderita

asma di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.

2) Bila value ≥, Ho gagal ditolak, berarti tidak pengaruh

diaphragmatic breathing exercise terhadap kekambuhan dyspnea

pada penderita asma di Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu.


41

DAFTAR PUSTAKA

Ana. 2015. 6 faktor penyebab asma paling sering ditemukan.


https://www.google.com/search?sxsrf=APq-
WBsd33TamWQlLbjctE9t4DSSUX3O1w:1648074662117&q=Ana.+(2015).
+6+faktor+penyebab+asma+paling&spell=1&sa=X&ved=2ahUKEwjxv7HGpN3
2AhUCjdgFHYa0AjwQBSgAegQIARA4&biw=683&bih=624&dpr=1

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria.

Brunner & Suddarth. 2017. Keperawatan Medikal – Bedah, Edisi 12. Jakarta – EGC.

Booth, S., Galbraith, S., Ryan, R., Parker, R. A., & Johnson, M. 2016. The
importance of the feasibility study : Lessons from a study of the hand-held fan
used to relieve dyspnea in people who are breathless at rest. Palliative Medicine,
30(5), 504–509. https://doi.org/10.1177/0269216315607180
Dorland N. 2016. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi ke 28. Mahode AA, editor.
Jakarta: EGC

Global Asthma Network. 2019. The Global Asthma Report. Retrieved From
www.globalastthmareport.org//global_asthma_report.

GINA. 2020. Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2018update).
http://ginasthma.org.

Guyton and Hall. 2016. Textbook of Medical Physiology. 13th ed. Philadelphia (PA):
Elsevier, Inc.

Kartikasari, D., Jenie, I. M., & Primanda, Y. 2019. Latihan Pernapasan Diafragma
Meningkatkan Arus Puncak Ekspirasi (Ape) Dan Menurunkan Frekuensi
Kekambuhan Pasien Asma. Jurnal Keperawatan Indonesia, 22(1), 53–64.
https://doi.org/10.7454/jki.v22i1.691

Lee, H.-Y., Cheon, S.-H., & Yong, M.-S. 2017. Effect of diaphragm breathing
exercise applied on the basis of overload principle. The Journal of Physical
Therapy Science, 29, 1054–1056.

Luh et al. 2017. Effect of diaphragm breathing exercise applied on the basis of
overload principle. The Journal of Physical Therapy Science, 29, 1054–1056.
42

Masriadi. 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Trans Info Media

Mayuni, A. et al. 2015. Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise Terhadap


Kapasitas Vital Paru pada Pasien Asma di Wilayah Kerja Puskesmas III
Denpasar Utara. Volume 3, Nomor 3, Edisi September-Desember 2015. Hal: 32.

Morrow, B., Brink, J., Grace, S., Pritchard, L., & Smith, A. L. 2018. The effect of
positioning and diaphragmatic breathing exercises on respiratory muscle activity
in people with chronic obstructive pulmonary disease. South African Journal of
Physiotherapy, 1–6. Retrieved from http://www.sajp.co.za

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Novarin, C. 2015. Pengaruh Progressive Muscle Relaxation Terhadap Arus Puncak


Ekspirasi pada Pasien Asma Bronkial di Poli B Rumah Sakit Paru Jember.
Skripsi. Jember : Program Studi Ilmu Keperawatan Jember

Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.


Edisi.4. Jakarta : Salemba Medika. 

Pangestuti, dkk. 2015. Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi


Pernapasan (RR dan APE) pada Lansia di UPT PSLU Kabupaten Jember.
Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Jember.

Potter, & Perry, A. G. 2015. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC

Santoso. 2018. Pengaruh Diaphragm Breathing exercise Kombinasi Cold Stimulation


Over The Face Terhadap Persepsi Dyspnea, Respiratory Rate Dan Peak
Ekspiratory Flow Rate Pada Klien Ppok Di Poli Paru Rsud Jombang.

Sastroasmoro, Sudigdo & Ismael, Sofyan. 2014. Dasar–Dasar Metodologi.


Penelitian Klinis Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

Seo, K., Park, S. H., & Park, K. 2015. Effects of diaphragm respiration exercise on
pulmonary function of male smokers in their twenties. Journal Physical Therapy
Science, 27(No. 7), 2313–2315.

Setiawan. 2018. Asma Bronkial (Skripsi). Denpasar: FK Universitas Undayana

Sherwood, LZ. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC,
595-677.
43

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta. 

Utomo, Adi Kurniawan. 2015. Pengalaman Pasien Dengan Serangan Asma di IGD
RSUD Karanganyar.

Wong, S. L., Leong, S. M., Chan, C. M., Kan, S. P., Wai, H., Cheng, B., & Uk, M.
2016. The Effect of Using an Electric Fan on Dyspnea in Chinese Patients With
Terminal Cancer: A Randomized Controlled Trial. American Journal of Hospice
& Palliative Medicine, 1–5. https://doi.org/10.1177/1049909115615127

World Health Organization (WHO). 2017. Asthma. Diakses dari


http://www.who.int/news-room/facts-in-pictures/detail/asthma

Yamaguti, W. P., Claudino, R. C., Neto, A. P., Chammas, M. C., Gomes, A. C.,
Salge, J. M., … Ap, N. 2012. Diaphragmatic Breathing Training Program
Improves Abdominal Motion During Natural Breathing in Patients With Chronic
Obstructive Pulmonary Disease : A Randomized Controlled Trial. Archives of
Physical Medicine and Rehabilitation, 93(4), 571–577.
https://doi.org/10.1016/j.apmr.2011.11.026

Yudhawati dan Krisdanti. 2017. Imunopatogenesis Asma. Jurnal Respirasi.


file:///C:/Users/User/Downloads/12535-43925-1-SM.pdf.

Yulia, dkk. 2019. Pengaruh Nafas Dalam dan Posisi Terhadap Saturasi Oksigen dan
Frekuensi Nafas Pada Pasien Asma.
44

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth. Saudara Responden


Di-
Tempat

Sehubungan dengan penyelesaian tugas akhir di Program Studi Keperawatan

STIKES Bhakti Husada Bengkulu, maka saya :

Nama : Fona Intan Indah Ayu

NIM :  2182614004

Sebagai Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kendari Program Studi DIII

Keperawatan, Akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Diaphragmatic

Breathing Exercise Terhadap Kekambuhan Dyspnea Pada Penderita Asma Di

Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu”.

Sehubungan dengan hal itu, saya mohon kesediaan saudara untuk berkenaan

menjadi subyek penelitian. Identitas dan informasi yang berkaitan dengan saudara

dirahasiakan oleh peneliti. Atas partispasi dan dukunganya disampaikan terima kasih.

Bengkulu, Maret 2022

Peneliti

(Fona Intan Indah Ayu)


45

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Alamat :

Menyatakan bersedia untuk menjadi responden pada penelitian yang akan

dilakukan oleh Fona Intan Indah Ayu Mahasiswa Program Studi Keperawatan

STIKES Bhakti Husada Bengkulu yang berjudul “Pengaruh Diaphragmatic

Breathing Exercise Terhadap Kekambuhan Dyspnea Pada Penderita Asma Di

Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu” dan saya akan mengikuti proses

penelitian serta menjawab kuesioner sejujur-jujurnya.

Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa saya bersedia untuk menjadi

responden pada penelitian ini dengan suka rela dan tanpa paksaan dari pihak

manapun.

Bengkulu, Maret 2022


Responden

(_______________)
46

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR


DIAPHRAGM BREATHING EXERCISE

Definisi : Suatu penatalaksanaan non farmakologi dalam mengurangi sesak napas

dengan melakukan latihan nafas diafragma dan memberikan stimulasi dingin

pada wajah menggunakan kipas

Tujuan : Mengurangi dyspnea

No Tahap Pelaksanaan
I Tahap Pra Interaksi
1. Cek catatan perawatan dan catatan medic klien
a) Nama
b) Nomor Register
c) Umur dalam tahun
d) Tinggi badan tanpa alas kaki dalam inci atau cm
e) Berat badan dalam pon atau kg
f) Suku bangsa
2. Persiapan alat, penderita dan lingkungan
a) Persiapan alat
(1) kipas genggam portabel
(2) alat tulis
(3) jam
b) Persiapan penderita
Syarat sebelum melakukan pemeriksaan antara lain:
(1) Kondisi klien harus tenang, kesadaran composmentis
(2) Tidak boleh berpakaian ketat
(3) Posisikan senyaman mungkin
c) Ruang dan fasilitas
(1) Ruangan yang digunakan harus mempunyai sistem ventilasi
yang baik
(2) Suhu udara ditempat pemeriksaan tidak boleh < 17oC atau >
40oC

II Tahap Orientasi
1. Berikan salam dan panggil klien dengan namanya
2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan, cara kerja alat, menegaskan bahwa
pemeriksaan ini tidak menyakitkan
47

III Tahap Kerja


1. Klien mengambil posisi setengah duduk dan posisi tangan kiri di atas
otot rectus abdominalis (tulang kosta anterior), dan tangan kanan
memegang kipas wajah portable dengan jarak 10-15 cm dari wajah.
2. Kemudian klien menghirup udara melalui hidung dengan perlahan dan
dalam dengan hanya membengkakkan perutnya namun posisi bahu
tetap terjaga/ rileks dan tidak terangkat ke atas.
3. klien menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup, udara dihirup
melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya bengkak. Setelah itu
hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian klien menghembuskan
udara dengan bibir yang mengerucut atau dengan bibir setengah
membuka, sampai perutnya menjadi cekung dengan durasi 6 detik.
Satu pernapasan terdiri dari 3 detik inhalasi, 3 detik suspensi, dan 6
detik ekhalasi pernafasan.
IV Tahap Terminasi

1. Menanyakan pada klien apa yang dirasakan setelah dilakukan


tindakan
2. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan klien
3. Melakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan memberikan salam pamitan
5. Merapikan alat dan lingkungan
V Dokumentasi

Mencatat tindakan yang telah dilakukan.

Sumber : Santoso, 2018.


48

KUESIONER
COPD ASSESSMENT TEST (CAT)

Petunjuk pengisian:
Bacalah baik-baik setiap pernyataan di bawah ini. Pilih salah satu dan berilah tanda
centang (√) pada kolom di bawah ini sesuai dengan kondisi Bapak/ Ibu saat ini!

Keterangan :
3 : Tidak pernah batuk 3 : Kadang-kadang batuk
4 : Hampir tidak pernah 4 : Batuk
5 : Jarang batuk 5 : Selalu batuk

Saya tidak pernah 0 1 2 3 4 5 Saya selalu batuk


batuk
Tidak ada dahak 0 1 2 3 4 5 Dada saya penuh
(riak) sama sekali dengan dahak
(riak)
Tidak ada rasa berat 0 1 2 3 4 5 Dada saya terasa
(tertekan) di dada berat (tertekan)
sekali
Ketika saya jalan 0 1 2 3 4 5 Ketika saya jalan
mendaki/ naik mendaki/ naik
tangga, saya tidak tangga, saya
sesak sangat sesak
Aktivitas sehari-hari 0 1 2 3 4 5 Aktivitas sehari-
saya di rumah tidak hari saya di
terbatas rumah sangat
terbatas
Saya tidak khawatir 0 1 2 3 4 5 Saya sangat
keluar rumah khawatir keluar
meskipun saya rumah karena
menderita penyakit kondisi paru saya
paru
Saya dapat tidur 0 1 2 3 4 5 Saya tidak dapat
dengan nyenyak tidur nyenyak
karena kondisi
paru saya
Saya sangat 0 1 2 3 4 5 Saya tidak punya
bertenaga tenaga sama
sekali

You might also like