Professional Documents
Culture Documents
Laporan Akhir Hibah Unggulan Program Studi
Laporan Akhir Hibah Unggulan Program Studi
Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana dengan Surat Perjanjian Penugasan
Penelitian No : 563/UN.14.1.25/PNL/2015
JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
RINGKASAN ............................................................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
iii
5.1. Produk Fermentasi In vitro 4 Jam………………………………………17
5.2. Produk Fermentasi In Vitro 24 Jam…………………………………….18
5.3. Produk Fermentasi In Vitro 48 Jam…………………………………….20
6.1. Kesimpulan……………………………………………………………...21
6.2. Saran…………………………………………………………………….21
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
iv
RINGKASAN
Dalam rangka menunjang program swasembada daging sapi tahun 2014, sapi bali
(bos sondaicus) merupakan salah satu sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang
sangat layak dikembangkan sebagai sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengevalusi kualitas ransum yang diberikan
ternak ruminansia secara in vitro melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan (bahan kering dan bahan organik pakan). Ransum
disusun berdasarkan bahan kering dengan empat jenis ransum iso protein dan dengan
level energi berbeda. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah
perlakuan A: ransum dengan protein 9% dan energi 2000 kkal/kg, perlakuan B: ransum
dengan protein 9% dan energi 2150 kkal/kg, perlakuan C: ransum dengan protein 9% dan
energi 2300 kkal/kg, dan perlakuan D: ransum dengan protein 9% dan energi 2450
kkal/kg. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik
(KCBO) dan produk fermentasi rumen (VFA total, NH3 dan pH).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa KCBK, KCBO, pH, NNH3 dan VFA total
pada fermentasi 4 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan
(Tabel 5.1). Level energi berpengaruh terhadap KCBK, KCBO, pH, NNH3 dan VFA total
pada fermentasi 24 jam (Tabel 5.2). KCBK ransum pada fermentasi 24 jam berkisar
antara 38,54 – 42,87%, sedangkan KCBOnya berkisar antara 42,33 – 45,40%. pH dan
NNH3 pada perlakuan B adalah tertinggi dan terrendah dihasilkan oleh perlakuan D
masing-masing 6,98 dan 3,91 mMol dan 6,66 dan 2,3 mMol. VFA total pada perlakuan A
adalah terrendah 79,95 mMol, sedangkan tertinggi dihasilkan pada perlakuan B yaitu
sebesar 98,18 mMol. KCBK dan KCBO pada fermentasi 48 jam masing-masing berkisar
57,68 - 61,28% dan 62,17 – 66,27% (Tabel 5.3).
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan
organik, NNH3 dan VFA total tertinggi pada fermentasi 24 jam pada perlakuan B yaitu
42,87%; 45,40%; 3,91mMol dan 98,18 mMol. Produk fermentasi (pH, konsentrasi N-
NH3 dan konsentrasi VFA total) yang dapat menunjang aktifitas mikroba secara
maksimal adalah pada fermentasi 4 jam.
Kata Kunci: Kecernaan, produk ferementasi, sapi bali induk dan level energi
v
BAB I. PENDAHULUAN
1
ada acuan yang baku dan masih mengandalkan standar yang berasal dari Negara beriklim
dingin/temperate. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kualitas ransum yang akan
diberikan pada sapi bali induk melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan secara in vitro.
Kualitas ransum sebelum diberikan pada ternak perlu dilakukan evaluasi antara
lain melalui analisa laboratorium secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh level energi dalam ransum sapi bali induk terhadap kecernaan dan
produk fermentasi (VFA parsial, NH3 dan pH) rumen secara in vitro. Juga untuk
mengetahui level energi yang optimum dapat memperbaiki karakteristik kecernaan dan
produk fermentasi (VFA parsial, NH3 dan pH) rumen secara in vitro. Secara garis besar,
tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas ransum yang diberikan
ternak ruminansia secara in vitro melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan (bahan kering dan bahan organik pakan) pada
pengamatan 4 dan 48 jam.
1.3. Keutamaan/Urgensi Penelitian
Keberhasilan usaha pemeliharaan sapi bali lebih banyak ditentukan oleh pakan,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, 70%
produktivitas ternak terutama pertumbuhan dan produksinya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, sementara 30% dipengaruhi oleh faktor genetik. Di antara faktor lingkungan
tersebut, faktor pakan, kandungan nutrien, dan teknologi formulasi ransum berpengaruh
paling besar yakni 60% (Pusat Kajian sapi Bali, 2012). Pengaruh faktor nutrisi
cukup signifikan. Walaupun potensi genetik ternak tinggi, tanpa pemberian ransum yang
sesuai dengan kebutuhan, ternak tidak akan mampu mencapai potensi genetiknya yang
tinggi tersebut.
Diwyanto dan Praharani (2010) mengatakan sapi bali merupakan sapi pedaging
asli Indonesia dan diakui sebagai breed yang superior karena mempunyai fertilitas dan
konsepsion rate yang tinggi yaitu 85,9% dan persentase beranak 70-81% (Handiwirawan
dan Subandriyo, 2004), serta mampu beradaptasi pada lingkungan kurang bagus dan
efisien menggunakan pakan kualitas jelek. Dari hasil penelitian Arka (1984), diketahui
2
kelebihan yang dimiliki sapi bali adalah kandungan protein dagingnya cukup tinggi
(19,65-21,28%), kandungan lemak rendah (2,01-6,86%) dan tanpa marbling.
Berdasarkan keunggulan yang dimiliki inilah maka sapi bali paling digemari dan
merupakan pilihan bagi masyarakat peternak di seluruh Nusantara. Potensi
pengembangan sapi bali di Indonesia menunjukkan grafik pengembangan yang
sangat baik dan ada kecenderungan pada akhirnya dapat menjadi sumber utama daging
sapi di Indonesia (Thalib, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka urgensi/keutamaan penelitian ini sebagai
berikut:
1. Sapi bali mempunyai nilai strategis, oleh karena itu penting untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitasnya selain sebagai pemasok daging
nasional, juga akan berdampak pada peningkatan keuntungan peternak.
2. Mempercepat penyediaan sapi bibit untuk bakalan sapi potong dan bakalan
sapi induk.
3. Di Bali sendiri sedang dilaksanakan program Simantri (Sistem Pertanian
Terintegrasi) sejak tahun 2009 sampai sekarang. Kegiatan utamanya adalah
mengintegrasikan budidaya tanaman dan ternak khususnya bibit sapi bali
betina dalam upaya membantu meningkatkan pendapatan petani peternak.
Dengan berkembangnya program Simantri akan memerlukan lebih banyak
lagi sapi bibit yang berkualitas.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Sapi bali merupakan keturunan sapi liar yang disebut banteng (Bos
sondaicus) yang telah mengalami proses domestikasi selama ratusan tahun.
Sebagai akibat dari proses domestikasi yang cukup lama itu, ukuran tubuh sapi
bali menjadi lebih kecil dibandingkan dengan banteng (Siregar, 2008).
Selanjutnya dilaporkan, sapi bali dewasa dapat mencapai tinggi badan 130 cm
dengan bobot badan jantan dewasa berkisar 350-400 kg, sedangkan betina dewasa
berkisar 250-300 kg. Namun, dengan pakan yang lebih baik, sapi bali jantan pada
umur 6-8 tahun dapat mencapai bobot badan 450 kg.
4
pemberian berbagai macam hijauan seperti rumput gajah 15% + jerami padi 20%
+ gamal 25% + kaliandra 10% dan disertai konsentrat 30 % mampu menghasilkan
pertambahan berat badan 880 g/e/h.
5
kebuntingan dibandingkan dengan awal kebuntingan. Hal ini disebabkan karena
mobilisasi energi maternal yang tersimpan terjadi pada akhir kebuntingan. Fetus
dari calon induk yang mempunyai body score yang rendah atau tidak mencapai
kondisi body score yang baik ketika dikawinkan akan lebih mudah terkena
malnutrition dibandingkan dengan fetus yang berasal dari calon induk dengan
kondisi body score yang baik.
6
sepertiga akhir kebuntingan yang diperlukan oleh induk untuk pertumbuhan
fetusnya. Kebutuhan protein terbesar pada sepertiga akhir kebuntingan
karena pada waktu ini pertumbuhan fetus paling cepat (Anggorodi,1990).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Toeliehere (1981) bahwa pemberian pakan yang
kurang pada permulaan kebuntingan tetapi cukup pada trimester terakhir, maka
pedet yang dihasilkan akan berukuran normal.
Sapi bali yang sedang bunting diberi ransum mengandung seng asetat
dalam konsentrat menghasilkan berat lahir pedet 19,5 kg dibandingkan tanpa
pemberian seng asetat dimana berat lahir pedet 17,8 kg. Apabila ransum yang
diberikan pada sapi bali bunting tidak mengandung konsentrat, hanya terdiri dari
rumput gajah dan gamal saja, maka berat lahir pedet hanya 14,2 kg (Putra, 1999).
Penggunaan dedak padi sebagai pakan penguatpada sapi PO dara bunting
pertama sebanyak 2% berat badan berdasarkan kebutuhan bahan kering dengan
penambahan suplemen yang mengandung kalsium, fosfat dan vitamin
ADEK menghasilkan pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,77 kg/ekor/hari
dibandingkan hanya pemberian dedak padi saja tanpa suplemen dimana
pertambahan bobot hidup hariannya adalah 0,58 kg/ekor/hari (Anggraeny et al.,
2007).
7
meningkatkan kadar glukosa, laktosa susu dalam kisaran normal,serta
meningkatkan produksi susu, yaitu masing-masing 28,82 mg/100 ml; 5,28
mg/100 ml; dan11,513 kg 4% Fat Corrected Milk per ekor/hari .
8
(VFA=Volatile Fatty Acid). VFA terdiri dari asetat, propionat dan butirat akan
langsung diserap melalui dinding rumen dan dimetabolisasikan oleh ternak.
Hasil lain dari fermentasi karbohidrat adalah CH4 dan CO2 (Preston dan
Leng, 1987). VFA merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia
(Owen dan Bergen, 1983; Preston dan Leng, 1987), Menurut Orskov dan Ryle
(1990), sekitar 80% dari VFA yang terbentuk selama fermentasi akan diserap
melelui daerah permukaan dinding rumen yang diperluas dengan sejumlah papila.
Selanjutnya VFA dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi untuk transportasi
aktif dari elektrolit-elektrolit, energi hidup pokok, ”turn-over” jaringan dan
mengganti epitel rumen yang telah rusak. Sisanya akan diserap melalui omasum
dan abomasum (Preston dan Leng, 1987).
Fermentasi di dalam rumen merupakan serangkaian proses degradasi
karbohidrat, produksi VFA dan ATP secara bersamaan serta proses sintesis sel
protein mikroba dari prokursor nitrogen, terutama N-NH3 dan substrat lainnya
yang diperlukan antara lain kerangka karbon dan sulfur (Bergen, 1977). Produk
fermentasi di dalam rumen adalah VFA dan biomassa mikroba yang nantinya
akan dipergunakan oleh hewan inang. Hasil akhir fermentasi yang akan dapat
dipergunakan oleh hewan inang adalah VFA dan sel-sel bakteri. Ternak
ruminansia menggunakan VFA sebagai sumber energi, sementara sel-sel bakteri
merupakan sumber protein (asam amino) utama dan vitamin B kompleks
(Hungate, 1966).
Tandon et al. (2008) melaporkan, ruminansia memperoleh dua sumber
protein untuk kebutuhan hidupnya, yaitu dari bahan makanan dan dari
mikroorganisme rumen. Berdasarkan tingkat degradabilitasnya di dalam rumen,
maka protein pakan dibagi menjadi dua yaitu protein yang dapat didegradasi di
dalam rumen (Rumen Degradable Prtotein=RDP) dan protein yang tidak
terdegradasi di dalam rumen tetapi tersedia untuk dicerna dan diserap di dalam
usus (Rumen Undegradable Protein=RUP/by-pass protein). RDP di dalam rumen
akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme
proteolitik menjadi oligopeptida. Selanjutnya oligopeptida akan dihidrolisa
menjadi asam amino. Sebagian asam amino ini akan diserap melalui dinding
rumen dan sebagian lagi dideaminasi menjadi asam keto alfa yang menghasilkan
9
amonia, CH4 dan CO2 Di samping itu, perombakan protein juga menghasilkan
VFA (Baldwin dan Allison, 1983). Perombakan protein di dalam rumen terutama
dipengaruhi oleh aktivitas proteolitik mikroba rumen dan jenis protein yang
terkandung dalam pakan (Bach et al., 2005).
Amonia adalah sumber nitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis
protein mikroorganisme rumen. Menurut Baldwin dan Allison (1983), sekitar
80% mikroorganisme rumen lebih menyukai amonia dibanding dengan peptida
dan asam amino sebagai sumber nitrogen untuk membentuk protein tubuhnya.
Mikroorganisme rumen tersebut diduga tidak mempunyai mekanisme transport
untuk mengangkut asam amino. Jadi amonia yang terbentuk ini kemudian diubah
menjadi asam amino untuk sintesis protein tubuhnya.
2.4. Percobaan In Vitro
Pakan ruminansia umumnya terdiri atas hijauan sebagai sumber serat dan
suplemen berupa konsentrat maupun leguminosa. Indonesia mempunyai sumber
hijauan yang cukup sehingga tidak perlu mengimpornya dari luar negeri, bahkan
berpeluang mengekspor hijauan seperti pucuk tebu dan rumput-rumputan. Namun,
suplai hijauan tidak merata sepanjang tahun karena dipengaruhi oleh musim
(Tangendjaja, 2009).
Konsumsi pakan merupakan variabel terpenting yang menentukan
performan ternak, dan berhubungan dengan kecernaan. Kecernaan pakan sangat
dipengaruhi oleh karakteristik atau sifat pisik dan kimia daripada bahan penyusun
ransum.
Pencernaan adalah perubahan pisik dan kimia yang dialami bahan pakan
dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makanan
menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi
molekul kecil. Selain itu, pada alat pencernaan ruminansia, pakan juga mengalami
perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah. Di dalam alat pencernaan
ruminansia terdapat mikroorganisme yang merombak zat makanan secara
fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dari zat makanan
asalnya (Sutardi, 1980).
Uji kecernaan secara in vitro sudah dikembangkan sejak 1963 oleh Tilley
dan Terry, yang digunakan untuk mengevaluasi mutu nutrien bahan pakan
10
sebelum diberikan kepada ternak, untuk mendukung data analisis kimia dari
bahan pakan tersebut. Menurut Van der Meer dan Van Es (1987), kecernaan
bahan pakan berhubungan dengan komposisi kimianya dan serat kasar
mempunyai pengaruh terbesar terhadap kecernaan. Kecernaan bahan organik
merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan. Selanjutnya Van Soest
(1982) melaporkan bahwa kecernaan sering diukur melalui sistem in vitro yang
meniru proses pencernaan yang sebenarnya. Sistem in vitro cukup potensial dan
akurat sepanjang mikroorganisme dan enzim peka terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatandan tingkat pencernaan.
Peranan saliva ruminansia sebagai buffer sering dimanfaatkan untuk
menguji nilai gizi bahan pakan secara in vitro (Sutardi, 1980). Lebih jauh
dikatakan, dalam pengujian tersebut bahan pakan difermentasikan secara anaerob
dalam cairan rumen dan larutan buffer yang merupakan saliva buatan. Cairan
rumen tersebut mengandung mikroorganisme rumen sehingga bahan pakan yang
ditambahkan ke dalamnya dapat difermentasikan seperti dalam rumen yang
sebenarnya. Kondisi fermentasi diusahakan sedapat mungkin agar menyerupai
fermentasi dalam rumen. Larutan buffer bicarbonat dan fosfat berfungsi mencegah
perubahan pH. Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu dalam rumen yaitu
o
39 – 40 C. Kondisi anaerob diperoleh dengan mengalirkan gas CO2 ke dalam
larutan fermentasi sebelum tabung fermentasi ditutup. Gerakan rumen ditiru
dengan menempatkan sistem fermentasi dalam penangas air bergerak (shaker
bath).
Menurut Tisserand (1989), metode in vitro sering digunakan untuk
menentukan kecernaan pakan yang telah mengalami perlakuan. Keuntungan dari
pada metode ini selain cepat dan murah, membutuhkan sampel dalam jumlah yang
sedikit. Namun demikian, hasil yang diperoleh melalui metode in vitro, tidak
selalu sama baiknya dengan percobaan in vivo. Minson (1990) juga menyatakan
bahwa metode yang umum digunakan dalam mengukur kecernaan pakan ada tiga
yaitu : in vivo, in sacco, dan in vitro. Metode in vitro banyak digunakan dalam
mengukur kecernaan BK dan BO. Hal ini disebabkan karena metode ini memiliki
keakuratan yang baik dalam mengukur sampel dengan proporsi yang berbeda.
11
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
12
BAB IV. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
Fapet Unud serta di laboratorium Analitik Unud. Seluruh rangkaian percobaan
dari masa persiapan mengumpulkan bahan pakan sampai analisis sampel secara in
vitro di laboratorium dilaksanakan selama ± 8 bulan (Maret – Oktober 2015).
3.1. Persiapan
Bahan pakan seperti hijauan dan konsentrat yang digunakan sebagai
perlakuan di dapatkan dari wilayah Denpasar maupun kabupaten lain yang ada di
Bali. Hijauan pakan dan bahan lain yang digunakan sebagai ransum dikeringkan
di bawah sinar matahari terlebih dahulu kemudian dicari bahan keringnya (Dry
Matter/DM/BK). Ransum disusun berdasarkan bahan kering dengan empat jenis
ransum iso protein 9% dengan level energi berbeda yaitu 2000; 2150; 2300 dan
2450 kkal/kg. Adapun bahan yang digunakan sebagai penyusun konsentrat adalah
polar, bungkil sawit, kopra, kulit kacang, kulit kopi, onggok, bekatul, garam,
sedangkan hijauan yang digunakan adalah rumput raja.
1. Produk fermentasi rumen : pH, kadar NH3 dan VFA total cairan rumen
2. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum
Fermentasi rumen diamati pada dua waktu yang berbeda yaitu 4 jam fermentasi
dan 24 jam fermentasi.
13
3.4. Prosedur Penelitian
1. Pembuatan Inokulan
Pelarutan zat kimia untuk penentuan kecernaan in vitro adalah sebagai
berikut : larutan buffer terbuat dari 17,42 gram CH3COOH dan 4,10 gram
CH3COONa, 17,42 gram CH3COOH dilarutkan pada aquades sampai volume
1250 ml pada temperatur kamar, kemudian 4,10 gram CH3COONa dilarutkan
dengan aquades sampai volume 25 ml pada labu ukur kemudian dikocok sampai
homogen. Langkah selanjutnya mencampur larutan CH3COOH dan CH3COONa
sampai homogen.
Larutan pepsin dibuat dengan 2,5 gram pepsin dalam gelas erlenmeyer,
kemudian ditambahkan HCl 0,1 N sampai volume 1250 ml. Campuran pepsin dan
HCl 0,1 N tersebut selanjutnya diaduk dengan “magnetic stirrer”. Mulut labu
erlenmeyer ditutup dengan kertas alumunium foil. Setelah larutan pepsin
homogen maka larutan pepsin siap untuk digunakan. Larutan inokulan dibuat
dengan mengambil cairan rumen 2,5 L yang telah disaring dengan kain muslin
yang pada kondisi 39-40oC. Selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan buffer di
atas, aduk sampai rata, dipertahankan pada suhu 39-40oC dalam penangas air.
2. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik in vitro (KCBK dan KCBO)
Pengamatan fermentasi secara in vitro dilakukan dalam dua waktu
pengamatan yang berbeda yaitu 4 jam dan 24 jam. Metode yang digunakan adalah
menurut Minson & Mc Leod Method (1972) yang dimodifikasi. Cara kerja untuk
menentukan kecernaan in vitro yaitu: sampel ransum yang telah halus dimasukkan
ke dalam tabung in vitro sebanyak 0,2500 g dan ditambah 25 ml cairan rumen
buffer McDougall dengan kondisi 40oC, selanjutnya diinkubasikan dalam
shakerbath dengan suhu 40oC selama 4 jam dan 24 jam. Setiap jam digoyangkan
dan dikeluarkan anginnya. Setelah lama waktu inkubasi yang ditentukan,
selanjutnya dikeluarkan dan dipusingkan pada 3500 rpm selama 10 menit.
Substrat akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang
bening berada dibagian atas. Diambil supernatan untuk analisis N-NH3, VFA total
dan pH. Substrat yang tersisa digunakan untuk analisis kecernaan bahan kering
(BK) dan bahan organik (BO) pada tahap berikutnya. Residu hasil sentrifuse pada
kecepatan 3500 rpm selama 10 menit ditambahkan 25 ml larutan pepsin 1: 10.000
14
dengan konsentrasi 0,2% dalam HCl 0,1 N, kemudian diinkubasikan lagi selama
48 jam. Selanjutnya dilakukan hal yang sama seperti prosedur diatas sampai
pencucian. Setelah pencucian terakhir, dipindahkan secara kuantitatif residu ke
dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya. Diuapkan dalam forced
draught oven sampai kering ±12 jam dan dipindahkan ke oven bahan kering
selama 9 jam, didinginkan dalam desikator dan timbang. Kemudian dilanjutkan
pembakaran ke dalam tanur sampai sampai diperoleh bobot abu. Kecernaan bahan
kering dan bahan organik ransum dapat dihitung dengan rumus :
15
ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 15%. VFA akan terdesak oleh uap air panas
melewati tabung pendingin terkondensasi dan selanjutnya ditampung dalam
Erlenmeyer yang sebelumnya telah diisi NaOH 0,5 N sampai volumenya 100 –
300 ml. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolptalin untuk selanjutnya
dilakukan dititrasi dengan HCl 0,5 N. Titrasi diakhiri pada saat terjadinya titik
awal perubahan warna merah muda menjadi bening. Juga dilakukan titrasi blanko
terhadap 5 ml NaOH. Kadar VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
5. pH Cairan Rumen
Mengukur pH cairan rumen dilakukan setelah fermentasi secara in vitro
selesai dengan menggunakan alat pH meter. Sebelumnya pH meter sudah
distandarisasi pada pH tujuh. Alat pH meter dimasukkan ke dalam beaker glass
yang berisi cairan rumen setelah proses in vitro, dan angka yang muncul pada
layar monitor pH meter dicatat sebagai pH cairan rumen.
16
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan
Variabel
A B C D
a a a
pH 7,23 7,12 7,16 7,13a
NH3 (mMol) 4,28a 4,17a 3,73a 3,87a
VFA total (mMol) 91,88a 97,84a 93,56a 95,30a
KCBK (%) 30,42a 29,04a 26,66a 30,00a
KCBO (%) 33,28a 32,38a 30,45a 33,21a
Konsentrasi VFA total hasil fermentasi ransum in vitro 4 jam pada semua
perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Karbohidrat
pakan, di dalam rumen akan difermentasi oleh mikroba menjadi energi, yang
terdiri dari asetat, propionat dan butirat serta sebagian kecil asam valerat. VFA
merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia (Preston dan Leng,
1987), dan jumlahnya bervariasi yaitu 80 – 160 mMol tergantung dari jenis
ransum dan waktu setelah pemberian pakan (Sutardi, 1979). VFA total pada hasil
17
penelitian ini masih berada pada kisaran yang direkomendasikan oleh sutardi
(1979) yaitu 91,88 – 97,84 mMol (Tabel 5.1).
Perlakuan
Variabel
A B C D
pH 6,98a 6,73ab 6,81ab 6,66b
NH3 (mMol) 3,60a 3,91a 2,30b 2,72b
VFA total (mMol) 79,95c 98,18a 88,99b 96,36a
KCBK (%) 41,34ab 42,87a 38,54b 41,34ab
KCBO (%) 43,75a 45,40a 42,33a 44,71a
18
Dengan semakin lamanya waktu inkubasi maka mikroba rumen dapat mencerna
karbohidrat lebih banyak dan dari hasil fermentasi protein dan serat kasar ransum,
sehingga konsentrasi VFA meningkat yang mengakibatkan pH menurun. Church
(1988) menyatakan bahwa adanya fermentasi dalam rumen menyebabkan pH
cairan rumen menurun setelah 4 jam pemberian pakan. Kisaran pH pada hasil
penelitian ini (inkubasi 24 jam) adalah 6,66 – 6,98. Kisaran pH ini masih sesuai
dengan pH rumen yang baik untuk berlangsungnya proses ferementasi, yaitu 5,5 –
7,2 (Owen dan Goesth, 1988).
19
yang nyata diantara semua perlakuan. Bila dilihat rataan kecernaan pada inkubasi
48 jam level energi berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering (KCBK)
dan kecernaan bahan organik (KCBO) ransum (Tabel 5.3). KCBK tertinggi
dihasilkan pada perlakuan D yaitu 61,28%, kemudian pada perlakua A dan C
terjadi penurunan namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan D. Pada perlakuan
B KCBKnya 5,87% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan
D. Demikian juga pola kecernaan bahan organik (KCBO) ransum tertinggi pada
perlakuan D yaitu 62,27% (Tabel 5.3). KCBO perlakuan A dan C masing-masing
0,47% dan 2,41% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan D, namun secara
statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola
Tabel 5.3. Kecernaan In Vitro 48 Jam
Perlakuan
Variabel
A B C D
KCBK (%) 60,24ab 57,68b 59,85ab 61,28a
KCBO (%) 65,96a 62,17b 64,67ab 66,27a
kecernaan ransum meningkat dengan semakin lama inkubasi. Pada inkubasi 4 jam
KCBK dan KCBO berkisar 26,66 – 30,42% dan 30,45 – 33,28% (Tabel 5.1).
KCBK dan KCBO pada inkubasi 24 jam dan 48 jam masing-masing 38,54 –
42,87% dan 42,33 – 45,40% (Tabel 5.2) dan 57,68 - 61,28% dan 62,17 – 66,27%
(Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin lama waktu inkubasi
kecernaan ransum semakin meningkat, sedangkan produk fermentasi (pH, N-NH3
dan VFA total) menurun sejalan dengan lama waktu inkubasi. Menurunnya
produk fermentasi mungkin telah dimanfaatkan oleh mikroba untuk aktifitasnya,
untuk mendgedasi pakan.
20
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa:
1. Kecernaan dan produk fermentasi yang baik terlihat pada ransum 9%
protein dan 2150 kkal energi.
2. Produk fermentasi (pH, konsentrasi N-NH3 dan konsentrasi VFA total)
yang dapat menunjang aktifitas mikroba secara maksimal diperoleh
pada inkubasi 4 jam.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan perlu dilakukan
penelitian lanjutan tentang perbandingan protein dan energi yang lebih tinggi di
dalam ransum untuk menunjang produksi ternak ruminansia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana,
melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat serta Dekan Fakultas
Peternakan, atas dana yang diberikan dalam Hibah Unggulan Program Studi
(HUPS) Tahun Anggaran. 2015, sehingga penelitian dapat berjalan sebagaimana
mestinya
21
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta
22
Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming. Feeding Management for Small Holder
Dairy Farmers in the Humid Tropic. Landlink Press. Depart of
Primary Industries.
Muladno. 2012. Aplikasi Teknologi Perbibitan untuk Peningkatan Produksi
Bakalan dan Kualitas Daging Sapi Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional. Bali, 14
September 2012.
National Research Council (NRC). 2000. Nutrient Requirement of Beef Cattle.
7th Rev. Ed. National Academy Press Washington DC. USA.
Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed.
The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston
Book. Prentice Hall, Eglewood Cliffs, New Jersey.
Oyeleke, S. B. and T. A. Okusanmi. 2008. Isolation and characterization of
cellulose hydrolysing microorganism from the rumen of ruminants.
African Journal of Biotechnology Vol. 7 (10), pp. 1503-1504.
Partama, I. B. G., T. G. O. Susila, I. W. Suarna dan I. M. Suasta. 2003.
Peningkatan produktivitas sapi bali kereman melalui suplementasi
mineral dalam ransum berbentuk wafer yang berbasis jerami padi
amoniasi urea. Laporan penelitian proyek Pengkajian Teknologi
Partisipatif. BPTP-Bali.
Patty, Ch, W. 2007. Kecernaan hijauan turi (sesbania grandifkora) dengan
penembahan ampas tahu kukus yang diuji secara in vitro. Jurnal
Agroforestri Vol. II.No.1: 73 – 76.
Putra, S. 1999. “Peningkatan Performan Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu
Pakan dan Suplementasi Seng Asetat” (Disertasi) Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Prutar, S. 2006. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu
inkubasi terhadap degradasi bahan kering, dan produks fermentasi secara
in vitro. Jurnal Protein Vol. 13. No. 2:113-123.
Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems
With Available Resources in The Tropics and Sub-tropics. Penambul
Books Armidale.
Roche, J. R. 2000. Feeding the transition cow- The myths and the magic,
In: Proceedings of the Ruakura Farmers Conference, Hamilton, New
Zealand., pp. Pages 29-36.
Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya,
Depok. Cetakan XVII.
23
Steel, R.G.D, dan J.H Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B Sumantri. PT Gramedia
Pustaka Utama Jakarta,Jakarta.
Soetarno, T., 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Subiharta, U. Nuschati, B. Utomo, D. Pramono, S. Prawirodigdo, T. Prasetyo,
A.Musofie, Ernawati, J. Purmiyanto, dan Suharno, 2000. Laporan
HasilKegiatan Pengkajian Sistem Usaha Tani Pertanian Sapi Potong
diDaerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Ungaran.Semarang.
Sukarini, I. A. M. 2000. “Peningkatan Kinerja Laktasi Sapi Bali (Bibos banteng)
Beranak Pertama Melalui Perbaikan Mutu Pakan” (Disertasi) Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Suryani, N. N. dan N, P. Mariani. 1996. Penampilan Sapi Bali Jantan Muda yang
Diberi Pakan Berbagai Hijauan Dengan dan Tanpa Konsentrat. Laporan
Hasil Penelitian Kerja sama IAEUP dengan Fakultas
Peternakan.Denpasar-Bali.
Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang
Pengembangannya.Wartazoa 12 (3) : 100 – 107.
24
Tisserand, J. L. 1989. Biological In vitro and In sacco Methods. In: Evaluation of
Straws in Ruminant Feeding. Elsevier Apllied Science.
Van der Meer, J.M. and A.J.H. Van Es. 1987. Optimal degradation of
lignocellulosic feeds by ruminants and in vitro digestibility test. In:
Degradation of lignocellulosics in ruminants and in industrial processes.
Elsevier Applied Science.
Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Durham and Downey,
Inc. Portland.
25