You are on page 1of 30

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

KECERNAAN DAN PRODUK FERMENTASI RUMEN


(IN VITRO) RANSUM SAPI BALI INDUK DENGAN
LEVEL ENERGI BERBEDA

DR. IR NI PUTU MARIANI, M.SI /0027055802


DR. IR. NI NYOMAN SURYANI, M.SI /0004105803

Dibiayai dari Dana PNBP Universitas Udayana dengan Surat Perjanjian Penugasan
Penelitian No : 563/UN.14.1.25/PNL/2015

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
OKTOBER 2015
i
ii
DAFTAR ISI

JUDUL

LEMBAR PANGESAHAN ........................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

RINGKASAN ............................................................................................................. v

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2. Tujuan Khusus Penelitian ......................................................................... 2
1.3. Keutamaan/Urgensi Penelitian.................................................................. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4

2.1. Karakteristik Sapi Bali .............................................................................. 4


2.2. Nutrisi Untuk Sapi Bunting ................................................................... 5
2.3. Sistem Pencernaan Ternak ruminansia ..................................................... 8
2.4. Percobaan In Vitro .................................................................................. 10

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………...12

3.1. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 12

3.2. Manfaat Penelitian……………………................................................... 12

BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 13

3.1. Persiapan ................................................................................................. 13


3.2. Rancangan Percobaan…………………………………………………..13
3.3. Peubah yang Diamati .............................................................................. 13
3.4. Prosedur Penelitian ................................................................................. 14
3.5. Analisis Data ........................................................................................... 16

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 17

iii
5.1. Produk Fermentasi In vitro 4 Jam………………………………………17
5.2. Produk Fermentasi In Vitro 24 Jam…………………………………….18
5.3. Produk Fermentasi In Vitro 48 Jam…………………………………….20

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….21

6.1. Kesimpulan……………………………………………………………...21
6.2. Saran…………………………………………………………………….21

UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA

iv
RINGKASAN

Dalam rangka menunjang program swasembada daging sapi tahun 2014, sapi bali
(bos sondaicus) merupakan salah satu sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang
sangat layak dikembangkan sebagai sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengevalusi kualitas ransum yang diberikan
ternak ruminansia secara in vitro melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan (bahan kering dan bahan organik pakan). Ransum
disusun berdasarkan bahan kering dengan empat jenis ransum iso protein dan dengan
level energi berbeda. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah
perlakuan A: ransum dengan protein 9% dan energi 2000 kkal/kg, perlakuan B: ransum
dengan protein 9% dan energi 2150 kkal/kg, perlakuan C: ransum dengan protein 9% dan
energi 2300 kkal/kg, dan perlakuan D: ransum dengan protein 9% dan energi 2450
kkal/kg. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik
(KCBO) dan produk fermentasi rumen (VFA total, NH3 dan pH).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa KCBK, KCBO, pH, NNH3 dan VFA total
pada fermentasi 4 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan
(Tabel 5.1). Level energi berpengaruh terhadap KCBK, KCBO, pH, NNH3 dan VFA total
pada fermentasi 24 jam (Tabel 5.2). KCBK ransum pada fermentasi 24 jam berkisar
antara 38,54 – 42,87%, sedangkan KCBOnya berkisar antara 42,33 – 45,40%. pH dan
NNH3 pada perlakuan B adalah tertinggi dan terrendah dihasilkan oleh perlakuan D
masing-masing 6,98 dan 3,91 mMol dan 6,66 dan 2,3 mMol. VFA total pada perlakuan A
adalah terrendah 79,95 mMol, sedangkan tertinggi dihasilkan pada perlakuan B yaitu
sebesar 98,18 mMol. KCBK dan KCBO pada fermentasi 48 jam masing-masing berkisar
57,68 - 61,28% dan 62,17 – 66,27% (Tabel 5.3).
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering dan bahan
organik, NNH3 dan VFA total tertinggi pada fermentasi 24 jam pada perlakuan B yaitu
42,87%; 45,40%; 3,91mMol dan 98,18 mMol. Produk fermentasi (pH, konsentrasi N-
NH3 dan konsentrasi VFA total) yang dapat menunjang aktifitas mikroba secara
maksimal adalah pada fermentasi 4 jam.

Kata Kunci: Kecernaan, produk ferementasi, sapi bali induk dan level energi

v
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sapi bali merupakan komuditas unggulan Provinsi Bali, yang mempunyai


perkembangan sangat cepat dibandingkan dengan breed sapi potong lainnya yang ada di
Indonesia. Breed ini lebih diminati oleh petani kecil karena beberapa nilai
keuntungannya, yaitu: tingkat kesuburannya sangat tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik
dan efisien, dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi serta persentase karkasnya
tinggi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani peternak sapi didominasi oleh
peternak berskala kecil yang menghasilkan bakalan sapi, sapi jantan potong, dan
sapi betina produktif dengan kualitas yang sangat bervariasi. Hal ini disebabkan karena
pola pemeliharaannya masih secara tradisional dengan pemberian pakan seadanya,
produktivitas mayoritas sapi lokal di Indonesia sangat rendah (Muladno, 2012).
Performans pemeliharaan ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (70%) dan
genetik (30%). Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah kandungan
nutrisi ransum. Sapi bunting memerlukan lebih banyak asupan nutrien untuk
pertumbuhan foetus dan perkembangan kelenjar mamae untuk persiapan menyusui.
Mineral juga sangat penting peranannya dalam metabolisme tubuh walaupun dibutuhkan
dalam jumlah yang relatif kecil. Mineral tidak dapat disintetis oleh tubuh, sehingga harus
tersedia dalam makanan.
Pada saat pre-calving (60 hari sebelum melahirkan) pertumbuhan foetus sangat
cepat dan nutrisi yang dibutuhkan terutama protein dan energi meningkat 20% (Lunn,
2013). Pada saat ini merupakan saat kritis bagi induk sapi karena percepatan pertumbuhan
janin sangat cepat, nafsu makan induk berkurang karena dengan semakin membesarnya
janin maka akan mendesak rumen, perubahan system hormonal juga menekan nafsu
makan. Kegagalan memenuhi kecukupan nutrien bagi sapi bunting terutama energi,
mineral Ca, P, dan Mg maka kesehatan pedet yang dilahirkan tidak bisa dijamin, pedet
yang dilahirkan tidak mendapatkan susu dengan kualitas yang baik, mudah sakit dan
mati.
Sampai saat ini penelitian dan informasi tentang kebutuhan energi pada sapi
bunting 2 bulan sebelum melahirkan (pre-calving) masih sangat terbatas. Sehingga tidak

1
ada acuan yang baku dan masih mengandalkan standar yang berasal dari Negara beriklim
dingin/temperate. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kualitas ransum yang akan
diberikan pada sapi bali induk melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan secara in vitro.

1.2.Tujuan Khusus Penelitian

Kualitas ransum sebelum diberikan pada ternak perlu dilakukan evaluasi antara
lain melalui analisa laboratorium secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh level energi dalam ransum sapi bali induk terhadap kecernaan dan
produk fermentasi (VFA parsial, NH3 dan pH) rumen secara in vitro. Juga untuk
mengetahui level energi yang optimum dapat memperbaiki karakteristik kecernaan dan
produk fermentasi (VFA parsial, NH3 dan pH) rumen secara in vitro. Secara garis besar,
tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas ransum yang diberikan
ternak ruminansia secara in vitro melalui pengamatan kondisi lingkungan rumen, hasil
fermentasi rumen dan kecernaan pakan (bahan kering dan bahan organik pakan) pada
pengamatan 4 dan 48 jam.
1.3. Keutamaan/Urgensi Penelitian

Keberhasilan usaha pemeliharaan sapi bali lebih banyak ditentukan oleh pakan,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, 70%
produktivitas ternak terutama pertumbuhan dan produksinya dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, sementara 30% dipengaruhi oleh faktor genetik. Di antara faktor lingkungan
tersebut, faktor pakan, kandungan nutrien, dan teknologi formulasi ransum berpengaruh
paling besar yakni 60% (Pusat Kajian sapi Bali, 2012). Pengaruh faktor nutrisi
cukup signifikan. Walaupun potensi genetik ternak tinggi, tanpa pemberian ransum yang
sesuai dengan kebutuhan, ternak tidak akan mampu mencapai potensi genetiknya yang
tinggi tersebut.
Diwyanto dan Praharani (2010) mengatakan sapi bali merupakan sapi pedaging
asli Indonesia dan diakui sebagai breed yang superior karena mempunyai fertilitas dan
konsepsion rate yang tinggi yaitu 85,9% dan persentase beranak 70-81% (Handiwirawan
dan Subandriyo, 2004), serta mampu beradaptasi pada lingkungan kurang bagus dan
efisien menggunakan pakan kualitas jelek. Dari hasil penelitian Arka (1984), diketahui

2
kelebihan yang dimiliki sapi bali adalah kandungan protein dagingnya cukup tinggi
(19,65-21,28%), kandungan lemak rendah (2,01-6,86%) dan tanpa marbling.
Berdasarkan keunggulan yang dimiliki inilah maka sapi bali paling digemari dan
merupakan pilihan bagi masyarakat peternak di seluruh Nusantara. Potensi
pengembangan sapi bali di Indonesia menunjukkan grafik pengembangan yang
sangat baik dan ada kecenderungan pada akhirnya dapat menjadi sumber utama daging
sapi di Indonesia (Thalib, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, maka urgensi/keutamaan penelitian ini sebagai
berikut:
1. Sapi bali mempunyai nilai strategis, oleh karena itu penting untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitasnya selain sebagai pemasok daging
nasional, juga akan berdampak pada peningkatan keuntungan peternak.
2. Mempercepat penyediaan sapi bibit untuk bakalan sapi potong dan bakalan
sapi induk.
3. Di Bali sendiri sedang dilaksanakan program Simantri (Sistem Pertanian
Terintegrasi) sejak tahun 2009 sampai sekarang. Kegiatan utamanya adalah
mengintegrasikan budidaya tanaman dan ternak khususnya bibit sapi bali
betina dalam upaya membantu meningkatkan pendapatan petani peternak.
Dengan berkembangnya program Simantri akan memerlukan lebih banyak
lagi sapi bibit yang berkualitas.

3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali merupakan keturunan sapi liar yang disebut banteng (Bos
sondaicus) yang telah mengalami proses domestikasi selama ratusan tahun.
Sebagai akibat dari proses domestikasi yang cukup lama itu, ukuran tubuh sapi
bali menjadi lebih kecil dibandingkan dengan banteng (Siregar, 2008).
Selanjutnya dilaporkan, sapi bali dewasa dapat mencapai tinggi badan 130 cm
dengan bobot badan jantan dewasa berkisar 350-400 kg, sedangkan betina dewasa
berkisar 250-300 kg. Namun, dengan pakan yang lebih baik, sapi bali jantan pada
umur 6-8 tahun dapat mencapai bobot badan 450 kg.

Diwyanto dan Praharani (2010) menyatakan sapi bali merupakan sapi


pedaging asli Indonesia dan diakui sebagai breed yang superior karena
mempunyai fertilitas dan konsepsion rate yang tinggi yaitu 85,9% dan persentase
beranak 70-81% (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004), serta mampu beradaptasi
pada lingkungan kurang bagus dan efisien menggunakan pakan kualitas jelek.
Dari hasil penelitian Arka (1984), diketahui kelebihan yang dimiliki sapi bali
adalah kandungan protein dagingnya cukup tinggi (19,65-21,28%), kandungan
lemak rendah (2,01-6,86%) dan tanpa marbling.

Sebagai penghasil daging, sapi bali cukup menjanjikan terbukti dari


beberapa hasil penelitian. Menurut Talib (2002) berat lahir sapi bali berkisar 12-
18 kg dan berat dewasanya 280-329 kg. Rataan pertambahan bobot badan sapi
bali berumur 12-18 bulan, tanpa membedakan jantan dan betina, berkisar 0,22-
0,33 kg/e/h di dataran rendah dan di daerah berbukitan (Kadarsih, 2004). Kardaya
(2010) melaporkan pertambahan bobot badan sapi bali jantan umur satu tahun
berkisar antara 0,61 – 0,65 kg/e/h yang diberi ransum tanpa urea dan berbagai
jenis urea. Suryani dan Mariani (1996) mendapatkan pertambahan berat badan
sapi bali mencapai 760 g/hari/ekor apabila ransum disuplementasi dengan
konsentrat. Bahkan, bisa mencapai 900 g/hari dengan pemberian ransum
komplit berbentuk wafer berbasis jerami padi amoniasi urea yang disuplementasi
mineral S dan Zn (Partama et al., 2003). Penelitian Suryani (2012) dengan

4
pemberian berbagai macam hijauan seperti rumput gajah 15% + jerami padi 20%
+ gamal 25% + kaliandra 10% dan disertai konsentrat 30 % mampu menghasilkan
pertambahan berat badan 880 g/e/h.

2.2. Nutrisi Untuk Sapi Bunting


Edward LeViness (1993) menyatakan, sapi bunting umur 80-90 hari
sebelum melahirkan merupakan periode kritis karena: 1) harus mencukupi
kebutuhan nutrien bagi pertumbuhannnya dan juga perkembangan foetus dimana
pertambahan berat badannya mencapai tiga kali lipat, 2) mempertahankan kondisi
tubuh kuat untuk kelahiran yang menghasilkan pedet sehat. Induk yang lemah
akan melahirkan pedet yang lemah juga bahkan, kemayian pedet, 3) induk
menghasilkan susu dengan nutrisi yang cukup bagi pedet. Agar kebutuhan ini
tercapai, maka Moran (2005) menyarankan, sapi pada umur kebuntingan 7 bulan
diberikan peningkatan energi ransum sebesar 10 ME (MJ/kg). Pada umur
kebuntingan 8 dan 9 bulan peningkatan kebutuhan energi mencapai masing-
masing 15 dan 20 ME (MJ/kg).

Selama masa kebuntingan terjadi beberapa perubahan secara fisiologis


seperti: peningkatan kebutuhan nutrisi untuk perkembangan foetus dan
kelenjar ambing (Bell, 1995). Kebutuhan energi pada akhir kebuntingan
meningkat pesat karena uterus menggunakan hampir setengah dari pasokan
glukose yang tersedia. Oleh karena itu, kebutuhan energi sapi bunting fase
pre-calving 75% lebih tinggi dibandingkan sapi yang tidak bunting. Sejalan
dengan perkembangan janin dan kebutuhannya akan nutrien, maka aliran
darah menuju kelenjar ambing meningkat 200%, serapan glukosa dan asetat
oleh kelenjar ambing meningkat masing-masing 400% dan 180%.

Rook dan Thomas (1983) juga melaporkan, terjadi perubahan metabolisme


maternal selama fase kebuntingan. Lemak yang tersimpan dalam jaringan adipose
maternal meningkat selama dua per tiga awal periode kehamilan. Akan tetapi di
akhir masa kebuntingan terjadi peningkatan lipolisis pada jaringan adipose,
sebaliknya konsentrasi asam lemak bebas plasma meningkat. Secara umum,
kondisi malnutrisi pada induk bunting akan menghasilkan berat lahir pedet yang
rendah. Pengaruh ini akan lebih besar terjadi apabila malnutrisi terjadi di akhir

5
kebuntingan dibandingkan dengan awal kebuntingan. Hal ini disebabkan karena
mobilisasi energi maternal yang tersimpan terjadi pada akhir kebuntingan. Fetus
dari calon induk yang mempunyai body score yang rendah atau tidak mencapai
kondisi body score yang baik ketika dikawinkan akan lebih mudah terkena
malnutrition dibandingkan dengan fetus yang berasal dari calon induk dengan
kondisi body score yang baik.

Roche (2000) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering (BK) sapi


bunting berpengaruh besar terhadap produksi susu setelah melahirkan. Apabila
kebutuhan energi tidak tidak terpenuhi maka akan menurunkan lemak susu 15-
20%. Energi metabolis (ME) yang dibutuhkan sapi dengan berat badan 550
kg dua bulan menjelang melahirkan adalah 70 MJ/h. Kebutuhan ini meningkat
menjadi 100 MJ/h pada saat melahirkan. Banyak faktor berpengaruh terhadap
berat lahir dan kelangsungan dari pada pedet. Berkurangnya konsumsi nutrien
pada periode akhir kebuntingan (pre-calving) bias berakibat pada menurunnya
berat lahir bahkan kematian pedet. Pada ternak sapi perah yang sedang bunting,
tidak semua nutrien dari pakan dimanfaatkan untuk pertumbuhan induk saja,
melainkan juga digunakan untuk pertumbuhan fetus dalam uterusnya. Lebih dari
50 persen pertumbuhan fetus dialami selama beberapa minggu akhir kebuntingan.
Pada saat itu pertumbuhan fetus sangat cepat, yaitu 3 sampai 4 kali lebih cepat
dari pertumbuhan sebelumnya (Soetarno, 2003). Agar pedet yang dilahirkan sehat
dan kuat maka 2 sampai 3 minggu sebelum melahirkan dilakukan challenge
feeding program yaitu dengan meningkatkan kualitas pakan yang
diberikan.

Hasil penelitian Subiharta et al. (2000) menunjukkan bahwa dengan


teknologi flushing melalui pemberian pakan konsentrat pada induk sapi
bunting berumur 8 bulan sampai pedet berumur 2 bulan, bobot lahir dapat
ditingkatkan dari 28 menjadi 32 kg untuk pedet betina dan dari 30 menjadi 32kg
untuk pedet jantan. Penelitian yang dilakukan oleh Triyono (2007) pada sapi PFH
menunjukkan bahwa penggunaan protein pakan 14% dan 15,5% melahirkan pedet
dengan berat lebih tinggi dibandingkan pemberian protein 12,5% (32,33 dan
34,33 kg vs 27,67 kg) Hal ini diduga karena terpenuhinya kebutuhan protein pada

6
sepertiga akhir kebuntingan yang diperlukan oleh induk untuk pertumbuhan
fetusnya. Kebutuhan protein terbesar pada sepertiga akhir kebuntingan
karena pada waktu ini pertumbuhan fetus paling cepat (Anggorodi,1990).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Toeliehere (1981) bahwa pemberian pakan yang
kurang pada permulaan kebuntingan tetapi cukup pada trimester terakhir, maka
pedet yang dihasilkan akan berukuran normal.

Suplementasi mineral terbukti dapat meningkatkan performans sapi


bunting melalui peningkatan berat lahir pedet maupun produksi susu setelah
melahirkan. Sapi Bali beranak pertama yang diberi gamal sebagai sumber
protein dan daun waru sebagai daya defaunasi memproduksi susu 36,67% lebih
tinggi dibanding sapi Bali yang hanya diberi pakan tradisional saja (0,9 vs 1,26
kg/h). Apabila ransum ini ditambahkan dengan 25% DM konsentrat, maka
produksi susu meningkat 42, 75%. Peningkatan produksi susu sapi Bali bisa
ditingkatkan sampai 126% apabila dalam konsentrat disuplementasi dengan seng
asetat (Sukarini, 2000).

Sapi bali yang sedang bunting diberi ransum mengandung seng asetat
dalam konsentrat menghasilkan berat lahir pedet 19,5 kg dibandingkan tanpa
pemberian seng asetat dimana berat lahir pedet 17,8 kg. Apabila ransum yang
diberikan pada sapi bali bunting tidak mengandung konsentrat, hanya terdiri dari
rumput gajah dan gamal saja, maka berat lahir pedet hanya 14,2 kg (Putra, 1999).
Penggunaan dedak padi sebagai pakan penguatpada sapi PO dara bunting
pertama sebanyak 2% berat badan berdasarkan kebutuhan bahan kering dengan
penambahan suplemen yang mengandung kalsium, fosfat dan vitamin
ADEK menghasilkan pertambahan bobot hidup harian sebesar 0,77 kg/ekor/hari
dibandingkan hanya pemberian dedak padi saja tanpa suplemen dimana
pertambahan bobot hidup hariannya adalah 0,58 kg/ekor/hari (Anggraeny et al.,
2007).

Penelitian Adriani dan Mushawwir (2009) tentang pengaruh tingkat


suplementasi mineral makro pada ransum sapi perah terhadap kadar glukosa,
laktosa, dan produksi susu menyimpulkan bahwa suplementasi mineral makro
sampai dengan 50% lebih tinggi yang direkomendasikan NRC (2001)

7
meningkatkan kadar glukosa, laktosa susu dalam kisaran normal,serta
meningkatkan produksi susu, yaitu masing-masing 28,82 mg/100 ml; 5,28
mg/100 ml; dan11,513 kg 4% Fat Corrected Milk per ekor/hari .

2.3. Sistem Pencernaan Ternak ruminansia


Pada ternak ruminansia proses pencernaan terjadi secara mekanis di dalam
mulut, fermentatif oleh mikroorganisme rumen dan secara hidrolitis oleh enzim-
enzim pencernaan. Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian penting yaitu
retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku) dan
abomasum (perut sejati). Rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ
tunggal disebut dengan retikulorumen. Ukuran rumen dan retikulum sangat besar
mencapai 15-22% dari bobot tubuh ternak (Sutardi, 1981). Rumen dan retikulum
merupakan bagian yang sangat penting karena menyumbangkan angka kecernaan
bahan organik ransum 40-75% (Hvelplund dan Madsen, 1985).
Oyeleke dan Okusanmi (2008) menyatakan, ruminansia merupakan ternak
yang mencerna pakannya dalam dua tahap. Awalnya pakan yang dimakan akan
mengalami pencernaan sebagian di dalam rumen. Pakan yang tercampur dengan
saliva di dalam rumen dan retikulum akan dipisahkan menjadi lapisan padatan dan
cairan. Lapisan-lapisan padat menyatu menjadi bolus, kemudian dimuntahkan ke
dalam mulut untuk dikunyah kembali (ruminasi) sehingga memperkecil partikel
pakan. Selulose dan hemiselulose terutama dipecah oleh mikroba rumen (bakteri,
protozoa dan fungi) menjadi VFA: asam asetat, propionat dan butirat. Hampir
semua glukose dari hasil fermentasi selulose dan hemiselulose dipergunakan oleh
mikroba rumen.
Pada ransum ternak ruminansia, fraksi karbohidrat adalah dominan
berkisar 60-75% dari bahan kering ransum (Sutardi, 1980). Komponen
karbohidrat tersebut dapat berasal dari isi sel yang berupa gula dan pati maupun
dinding sel yang berupa selulosa dan hemiselulosa. Ternak ruminansia mampu
memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa karena sistem pencernaannya dilengkapi
retikulorumen dimana tempat berlangsungnya proses fermentasi oleh mikroba
rumen. Fermentasi karbohidrat di dalam rumen terjadi melalui 2 tahap. Tahap
pertama adalah pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana,
selanjutnya dari gula sederhana akan menghasilkan asam lemak atsiri

8
(VFA=Volatile Fatty Acid). VFA terdiri dari asetat, propionat dan butirat akan
langsung diserap melalui dinding rumen dan dimetabolisasikan oleh ternak.
Hasil lain dari fermentasi karbohidrat adalah CH4 dan CO2 (Preston dan
Leng, 1987). VFA merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia
(Owen dan Bergen, 1983; Preston dan Leng, 1987), Menurut Orskov dan Ryle
(1990), sekitar 80% dari VFA yang terbentuk selama fermentasi akan diserap
melelui daerah permukaan dinding rumen yang diperluas dengan sejumlah papila.
Selanjutnya VFA dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi untuk transportasi
aktif dari elektrolit-elektrolit, energi hidup pokok, ”turn-over” jaringan dan
mengganti epitel rumen yang telah rusak. Sisanya akan diserap melalui omasum
dan abomasum (Preston dan Leng, 1987).
Fermentasi di dalam rumen merupakan serangkaian proses degradasi
karbohidrat, produksi VFA dan ATP secara bersamaan serta proses sintesis sel
protein mikroba dari prokursor nitrogen, terutama N-NH3 dan substrat lainnya
yang diperlukan antara lain kerangka karbon dan sulfur (Bergen, 1977). Produk
fermentasi di dalam rumen adalah VFA dan biomassa mikroba yang nantinya
akan dipergunakan oleh hewan inang. Hasil akhir fermentasi yang akan dapat
dipergunakan oleh hewan inang adalah VFA dan sel-sel bakteri. Ternak
ruminansia menggunakan VFA sebagai sumber energi, sementara sel-sel bakteri
merupakan sumber protein (asam amino) utama dan vitamin B kompleks
(Hungate, 1966).
Tandon et al. (2008) melaporkan, ruminansia memperoleh dua sumber
protein untuk kebutuhan hidupnya, yaitu dari bahan makanan dan dari
mikroorganisme rumen. Berdasarkan tingkat degradabilitasnya di dalam rumen,
maka protein pakan dibagi menjadi dua yaitu protein yang dapat didegradasi di
dalam rumen (Rumen Degradable Prtotein=RDP) dan protein yang tidak
terdegradasi di dalam rumen tetapi tersedia untuk dicerna dan diserap di dalam
usus (Rumen Undegradable Protein=RUP/by-pass protein). RDP di dalam rumen
akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme
proteolitik menjadi oligopeptida. Selanjutnya oligopeptida akan dihidrolisa
menjadi asam amino. Sebagian asam amino ini akan diserap melalui dinding
rumen dan sebagian lagi dideaminasi menjadi asam keto alfa yang menghasilkan

9
amonia, CH4 dan CO2 Di samping itu, perombakan protein juga menghasilkan
VFA (Baldwin dan Allison, 1983). Perombakan protein di dalam rumen terutama
dipengaruhi oleh aktivitas proteolitik mikroba rumen dan jenis protein yang
terkandung dalam pakan (Bach et al., 2005).
Amonia adalah sumber nitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis
protein mikroorganisme rumen. Menurut Baldwin dan Allison (1983), sekitar
80% mikroorganisme rumen lebih menyukai amonia dibanding dengan peptida
dan asam amino sebagai sumber nitrogen untuk membentuk protein tubuhnya.
Mikroorganisme rumen tersebut diduga tidak mempunyai mekanisme transport
untuk mengangkut asam amino. Jadi amonia yang terbentuk ini kemudian diubah
menjadi asam amino untuk sintesis protein tubuhnya.
2.4. Percobaan In Vitro
Pakan ruminansia umumnya terdiri atas hijauan sebagai sumber serat dan
suplemen berupa konsentrat maupun leguminosa. Indonesia mempunyai sumber
hijauan yang cukup sehingga tidak perlu mengimpornya dari luar negeri, bahkan
berpeluang mengekspor hijauan seperti pucuk tebu dan rumput-rumputan. Namun,
suplai hijauan tidak merata sepanjang tahun karena dipengaruhi oleh musim
(Tangendjaja, 2009).
Konsumsi pakan merupakan variabel terpenting yang menentukan
performan ternak, dan berhubungan dengan kecernaan. Kecernaan pakan sangat
dipengaruhi oleh karakteristik atau sifat pisik dan kimia daripada bahan penyusun
ransum.
Pencernaan adalah perubahan pisik dan kimia yang dialami bahan pakan
dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makanan
menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi
molekul kecil. Selain itu, pada alat pencernaan ruminansia, pakan juga mengalami
perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah. Di dalam alat pencernaan
ruminansia terdapat mikroorganisme yang merombak zat makanan secara
fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dari zat makanan
asalnya (Sutardi, 1980).
Uji kecernaan secara in vitro sudah dikembangkan sejak 1963 oleh Tilley
dan Terry, yang digunakan untuk mengevaluasi mutu nutrien bahan pakan

10
sebelum diberikan kepada ternak, untuk mendukung data analisis kimia dari
bahan pakan tersebut. Menurut Van der Meer dan Van Es (1987), kecernaan
bahan pakan berhubungan dengan komposisi kimianya dan serat kasar
mempunyai pengaruh terbesar terhadap kecernaan. Kecernaan bahan organik
merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan. Selanjutnya Van Soest
(1982) melaporkan bahwa kecernaan sering diukur melalui sistem in vitro yang
meniru proses pencernaan yang sebenarnya. Sistem in vitro cukup potensial dan
akurat sepanjang mikroorganisme dan enzim peka terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatandan tingkat pencernaan.
Peranan saliva ruminansia sebagai buffer sering dimanfaatkan untuk
menguji nilai gizi bahan pakan secara in vitro (Sutardi, 1980). Lebih jauh
dikatakan, dalam pengujian tersebut bahan pakan difermentasikan secara anaerob
dalam cairan rumen dan larutan buffer yang merupakan saliva buatan. Cairan
rumen tersebut mengandung mikroorganisme rumen sehingga bahan pakan yang
ditambahkan ke dalamnya dapat difermentasikan seperti dalam rumen yang
sebenarnya. Kondisi fermentasi diusahakan sedapat mungkin agar menyerupai
fermentasi dalam rumen. Larutan buffer bicarbonat dan fosfat berfungsi mencegah
perubahan pH. Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu dalam rumen yaitu
o
39 – 40 C. Kondisi anaerob diperoleh dengan mengalirkan gas CO2 ke dalam
larutan fermentasi sebelum tabung fermentasi ditutup. Gerakan rumen ditiru
dengan menempatkan sistem fermentasi dalam penangas air bergerak (shaker
bath).
Menurut Tisserand (1989), metode in vitro sering digunakan untuk
menentukan kecernaan pakan yang telah mengalami perlakuan. Keuntungan dari
pada metode ini selain cepat dan murah, membutuhkan sampel dalam jumlah yang
sedikit. Namun demikian, hasil yang diperoleh melalui metode in vitro, tidak
selalu sama baiknya dengan percobaan in vivo. Minson (1990) juga menyatakan
bahwa metode yang umum digunakan dalam mengukur kecernaan pakan ada tiga
yaitu : in vivo, in sacco, dan in vitro. Metode in vitro banyak digunakan dalam
mengukur kecernaan BK dan BO. Hal ini disebabkan karena metode ini memiliki
keakuratan yang baik dalam mengukur sampel dengan proporsi yang berbeda.

11
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui pengaruh level energi dalam ransum sapi bali induk
terhadap kecernaan dan produk fermentasi (VFA total, NH3 dan pH)
rumen secara in vitro.
2. Untuk mengetahui level energi yang optimum dapat memperbaiki
karakteristik kecernaan dan produk fermentasi (VFA total, NH3 dan
pH) rumen secara in vitro.
3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi para
peneliti dan peternak di dalam menyusun ransum sapi bali induk agar nutriennya
terpenuhi. Manfaat lain dari penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah tentang
produk kecernaaan secara in vitro.

12
BAB IV. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
Fapet Unud serta di laboratorium Analitik Unud. Seluruh rangkaian percobaan
dari masa persiapan mengumpulkan bahan pakan sampai analisis sampel secara in
vitro di laboratorium dilaksanakan selama ± 8 bulan (Maret – Oktober 2015).
3.1. Persiapan
Bahan pakan seperti hijauan dan konsentrat yang digunakan sebagai
perlakuan di dapatkan dari wilayah Denpasar maupun kabupaten lain yang ada di
Bali. Hijauan pakan dan bahan lain yang digunakan sebagai ransum dikeringkan
di bawah sinar matahari terlebih dahulu kemudian dicari bahan keringnya (Dry
Matter/DM/BK). Ransum disusun berdasarkan bahan kering dengan empat jenis
ransum iso protein 9% dengan level energi berbeda yaitu 2000; 2150; 2300 dan
2450 kkal/kg. Adapun bahan yang digunakan sebagai penyusun konsentrat adalah
polar, bungkil sawit, kopra, kulit kacang, kulit kopi, onggok, bekatul, garam,
sedangkan hijauan yang digunakan adalah rumput raja.

3.2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan


acak lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dan tiga ulangan.
Keempat perlakuan merupakan empat macam ransum dengan iso protein dan
energi yang berbeda sebagai berikut:

- Perlakuan A: ransum dengan protein 9% dan energi 2000 kkal/kg


- Perlakuan B: ransum dengan protein 9% dan energi 2150 kkal/kg
- Perlakuan C: ransum dengan protein 9% dan energi 2300 kkal/kg
- Perlakuan D: ransum dengan protein 9% dan energi 2450 kkal/k

3.3. Peubah yang Diamati

1. Produk fermentasi rumen : pH, kadar NH3 dan VFA total cairan rumen
2. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum
Fermentasi rumen diamati pada dua waktu yang berbeda yaitu 4 jam fermentasi
dan 24 jam fermentasi.

13
3.4. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Inokulan
Pelarutan zat kimia untuk penentuan kecernaan in vitro adalah sebagai
berikut : larutan buffer terbuat dari 17,42 gram CH3COOH dan 4,10 gram
CH3COONa, 17,42 gram CH3COOH dilarutkan pada aquades sampai volume
1250 ml pada temperatur kamar, kemudian 4,10 gram CH3COONa dilarutkan
dengan aquades sampai volume 25 ml pada labu ukur kemudian dikocok sampai
homogen. Langkah selanjutnya mencampur larutan CH3COOH dan CH3COONa
sampai homogen.
Larutan pepsin dibuat dengan 2,5 gram pepsin dalam gelas erlenmeyer,
kemudian ditambahkan HCl 0,1 N sampai volume 1250 ml. Campuran pepsin dan
HCl 0,1 N tersebut selanjutnya diaduk dengan “magnetic stirrer”. Mulut labu
erlenmeyer ditutup dengan kertas alumunium foil. Setelah larutan pepsin
homogen maka larutan pepsin siap untuk digunakan. Larutan inokulan dibuat
dengan mengambil cairan rumen 2,5 L yang telah disaring dengan kain muslin
yang pada kondisi 39-40oC. Selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan buffer di
atas, aduk sampai rata, dipertahankan pada suhu 39-40oC dalam penangas air.
2. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik in vitro (KCBK dan KCBO)
Pengamatan fermentasi secara in vitro dilakukan dalam dua waktu
pengamatan yang berbeda yaitu 4 jam dan 24 jam. Metode yang digunakan adalah
menurut Minson & Mc Leod Method (1972) yang dimodifikasi. Cara kerja untuk
menentukan kecernaan in vitro yaitu: sampel ransum yang telah halus dimasukkan
ke dalam tabung in vitro sebanyak 0,2500 g dan ditambah 25 ml cairan rumen
buffer McDougall dengan kondisi 40oC, selanjutnya diinkubasikan dalam
shakerbath dengan suhu 40oC selama 4 jam dan 24 jam. Setiap jam digoyangkan
dan dikeluarkan anginnya. Setelah lama waktu inkubasi yang ditentukan,
selanjutnya dikeluarkan dan dipusingkan pada 3500 rpm selama 10 menit.
Substrat akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang
bening berada dibagian atas. Diambil supernatan untuk analisis N-NH3, VFA total
dan pH. Substrat yang tersisa digunakan untuk analisis kecernaan bahan kering
(BK) dan bahan organik (BO) pada tahap berikutnya. Residu hasil sentrifuse pada
kecepatan 3500 rpm selama 10 menit ditambahkan 25 ml larutan pepsin 1: 10.000

14
dengan konsentrasi 0,2% dalam HCl 0,1 N, kemudian diinkubasikan lagi selama
48 jam. Selanjutnya dilakukan hal yang sama seperti prosedur diatas sampai
pencucian. Setelah pencucian terakhir, dipindahkan secara kuantitatif residu ke
dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya. Diuapkan dalam forced
draught oven sampai kering ±12 jam dan dipindahkan ke oven bahan kering
selama 9 jam, didinginkan dalam desikator dan timbang. Kemudian dilanjutkan
pembakaran ke dalam tanur sampai sampai diperoleh bobot abu. Kecernaan bahan
kering dan bahan organik ransum dapat dihitung dengan rumus :

BK sampel (g) – [BK residu (g) – BK residu blangko (g)]


KCBK (%) = ----------------------------------------------------------------------- x 100%
BK sampel (g)

BO sampel (g)– [BO residu (g) – BO residu blangko(g)]


KCBO (%) = ------------------------------------------------------------------- x 100%
BO sampel (g)

3. Kadar Amonia (NH3)


Kadar N-NH3 dalam cairan rumen ditentukan dengan metode
Phenolhypochlorite melalui pembacaan spectrofotometer menurut Solarzano
(1969). Sebanyak 15 ml supernatan dimasukkan ke dalam botol yang sudah berisi
5 tetes asam sulfat pekat, kemudian diencerkan 100 kali. Supernatan yang telah
diencerkan ini diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam tabung spektro yang
sudah diisi larutan standar. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 0,2 ml larutan
phenol; 0,2 larutan natrium nitroprusside; dan 0,5 larutan pengoksidasi.
Pembacaan reaksi warna dilakukan 5 menit setelah penambahan larutan
pengoksidasi dengan spectrophotometer.

4. Kadar VFA total


Konsentrasi VFA total. Analisa kadar VFA total dilakukan dengan teknik
destilasi uap (General Laboratory Procedure, 1966). Sebanyak 5 ml supernatan
contoh cairan rumen dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan
dengan air mendidih dalam labu penyuling. Tabung segera ditutup rapat setelah

15
ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 15%. VFA akan terdesak oleh uap air panas
melewati tabung pendingin terkondensasi dan selanjutnya ditampung dalam
Erlenmeyer yang sebelumnya telah diisi NaOH 0,5 N sampai volumenya 100 –
300 ml. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolptalin untuk selanjutnya
dilakukan dititrasi dengan HCl 0,5 N. Titrasi diakhiri pada saat terjadinya titik
awal perubahan warna merah muda menjadi bening. Juga dilakukan titrasi blanko
terhadap 5 ml NaOH. Kadar VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

VFA total = (b- s ) x N HCl x 1000/5 mM


Keterangan:
b = volume HCl yang digunakan (ml)
s = volume titran contoh (ml)
N= normalitas larutan HCl

5. pH Cairan Rumen
Mengukur pH cairan rumen dilakukan setelah fermentasi secara in vitro
selesai dengan menggunakan alat pH meter. Sebelumnya pH meter sudah
distandarisasi pada pH tujuh. Alat pH meter dimasukkan ke dalam beaker glass
yang berisi cairan rumen setelah proses in vitro, dan angka yang muncul pada
layar monitor pH meter dicatat sebagai pH cairan rumen.

3.5. Analisis Data


Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam.
Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka analisis
dilanjutkan dengan Duncans pada taraf 5% menurut Steel dan Torrie (1993).

16
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produk Fermentasi In Vitro 4 Jam

Fermentasi ransum perlakuan secara in vitro selama inkubasi 4 jam


menunjukkan pH substrat bervariasi 7,12 – 7,23 (Tabel 5.1). Perbedaan
kandungan energi ransum menyebabkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). pH
rumen merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan populasi dan aktivitas mikroba rumen.

5.1 Produk Fermentasi In Vitro 4 Jam

Perlakuan
Variabel
A B C D
a a a
pH 7,23 7,12 7,16 7,13a
NH3 (mMol) 4,28a 4,17a 3,73a 3,87a
VFA total (mMol) 91,88a 97,84a 93,56a 95,30a
KCBK (%) 30,42a 29,04a 26,66a 30,00a
KCBO (%) 33,28a 32,38a 30,45a 33,21a

Konsentrasi N-NH3 substrat pada semua perlakuan menunjukkan


perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Perlakuan C kadar NH3nya paling rendah
yaitu 3,73 mMol, sedangkan kadar N-NH3 pada perlakuan A, B dan D lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan C. N-NH3 merupakan hasil akhir degradasi
protein yang masuk kedalam rumen oleh mikroba. Menurut Sutardi (1979) kisaran
N-NH3 yang ideal untuk pertumbuhan bakteri secara optimal adalah 4 - 12 mMol.

Konsentrasi VFA total hasil fermentasi ransum in vitro 4 jam pada semua
perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Karbohidrat
pakan, di dalam rumen akan difermentasi oleh mikroba menjadi energi, yang
terdiri dari asetat, propionat dan butirat serta sebagian kecil asam valerat. VFA
merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia (Preston dan Leng,
1987), dan jumlahnya bervariasi yaitu 80 – 160 mMol tergantung dari jenis
ransum dan waktu setelah pemberian pakan (Sutardi, 1979). VFA total pada hasil

17
penelitian ini masih berada pada kisaran yang direkomendasikan oleh sutardi
(1979) yaitu 91,88 – 97,84 mMol (Tabel 5.1).

Kecernaan bahan kering ransum (KCBK) dan Kecernaan bahan organik


ransum (KCBO) pada fermentasi in vitro 4 jam menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata (P>0,05) pada semua perlakuan. KCBK ransum tertinggi dihasilkan
pada perlakuan A sebesar 30,42% dan terendah pada perlakuan C yaitu 26,66%
(Tabel 5.1). Demikian pula terjadi pada pada KCBO ransum, tertinggi dihasilkan
pada perlakuan A sebesar 33,28% dan terendah pada perlakuan C yaitu sebesar
30,45% (Tabel 5.1). Menurut Putra (2006), kecernaan bahan kering dan bahan
organik dipengaruhi oleh faktor pakan dan jenis mikroba.

5.2 Produk Fermentasi In Vitro 24 Jam

Fermentasi in vitro yang dilakukan selama 24 jam menghasilkan produk


fermentsi dan kecernaan seperti yang disajikan pada Tabel 5.2. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya level energi dalam ransum
(perlakuan D) maka pH yang dihasilkan nyata semakin menurun yaitu 6,66
(Tabel 5.2), sedangkan perlakuan B, dan C pHnya tidak berbeda dibandingkan
dengan perlakuan A. Rataan hasil pengukuran derajad keasaman (pH) pada setiap
masa inkubasi pada setiap perlakuan terjadi penurunan pH dengan bertambahnya
lama inkubasi. Hal ini disebabkan pada masa inkubasi 4 jam karbohidrat ransum
yang terfermentasi oleh mikroba lebih sedikit menghasilkan asam lemak sehingga
pH tinggi.
5.2 Produk Fermentasi In Vitro 24 Jam

Perlakuan
Variabel
A B C D
pH 6,98a 6,73ab 6,81ab 6,66b
NH3 (mMol) 3,60a 3,91a 2,30b 2,72b
VFA total (mMol) 79,95c 98,18a 88,99b 96,36a
KCBK (%) 41,34ab 42,87a 38,54b 41,34ab
KCBO (%) 43,75a 45,40a 42,33a 44,71a

18
Dengan semakin lamanya waktu inkubasi maka mikroba rumen dapat mencerna
karbohidrat lebih banyak dan dari hasil fermentasi protein dan serat kasar ransum,
sehingga konsentrasi VFA meningkat yang mengakibatkan pH menurun. Church
(1988) menyatakan bahwa adanya fermentasi dalam rumen menyebabkan pH
cairan rumen menurun setelah 4 jam pemberian pakan. Kisaran pH pada hasil
penelitian ini (inkubasi 24 jam) adalah 6,66 – 6,98. Kisaran pH ini masih sesuai
dengan pH rumen yang baik untuk berlangsungnya proses ferementasi, yaitu 5,5 –
7,2 (Owen dan Goesth, 1988).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada inkubasi 24 jam konsentrasi N-


NH3 nyata menurun dengan semakin meningkatnya level energi ransum (Tabel
5.2). Menurunnya Konsentrasi N-NH3 pada perlakuan B, C dan D, kemungkinan
telah dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk sintesa protein tubuhnya. Kalau
dilihat dari hasil rataan pengukuran N-NH3 pada setiap masa inkubasi terlihat
bahwa pada inkubasi 4 jam, konsentrasi N-NH3 lebih tinggi dan terjadi penurunan
pada inkubasi 24 jam. Menurunnya konsentrasi N-NH3 kemungkinan telah
dimanfaatkan oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba.
Konsentrasi VFA total nyata meningkat dengan semakin meningkatnya
level energi dalan ransum (Tabel5.2). Konsentrasi tertinggi dihasilkan pada
perlakuan B yaitu sebesar 98,18 mMol, sedangkan pada perlakuan C dan D VFA
totalnya masing-masing 88,99 dan 96,36 mMol. Bila dilihat rataan VFA total pada
inkubasi 4 jam dan 24 jam konsentrasinya sudah mulai ada penurunan. Penurunan
ini mungkin telah dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pembentukan protein
mikroba. Menurut Patty (2007) bahwa produk fermentasi rumen (pH, N-NH3 dan
VFA total) yang dapat menunjang aktifitas mikroba maksimal pada lama inkubasi
4 jam.
Level energi ransum berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering
(KCBK) dan bahan organik (KCBO) ransum (Tabel 5.2). Persentase kecernaan
(KCBK) pada perlakuan B adalah 3,70% lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan A, namun berbeda tidak nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan
A. Pada perlakuan C KCBKnya 6,77% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan
dengan perlakuan A. Untuk kecercaan bahan organik (KCBO) juga tertinggi pada
perlakuan B dan terendah pada perlakuan C, namun tidak menunjukkan perbedaan

19
yang nyata diantara semua perlakuan. Bila dilihat rataan kecernaan pada inkubasi
48 jam level energi berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering (KCBK)
dan kecernaan bahan organik (KCBO) ransum (Tabel 5.3). KCBK tertinggi
dihasilkan pada perlakuan D yaitu 61,28%, kemudian pada perlakua A dan C
terjadi penurunan namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan D. Pada perlakuan
B KCBKnya 5,87% nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan
D. Demikian juga pola kecernaan bahan organik (KCBO) ransum tertinggi pada
perlakuan D yaitu 62,27% (Tabel 5.3). KCBO perlakuan A dan C masing-masing
0,47% dan 2,41% lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan D, namun secara
statistik berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola
Tabel 5.3. Kecernaan In Vitro 48 Jam

Perlakuan
Variabel
A B C D
KCBK (%) 60,24ab 57,68b 59,85ab 61,28a
KCBO (%) 65,96a 62,17b 64,67ab 66,27a

kecernaan ransum meningkat dengan semakin lama inkubasi. Pada inkubasi 4 jam
KCBK dan KCBO berkisar 26,66 – 30,42% dan 30,45 – 33,28% (Tabel 5.1).
KCBK dan KCBO pada inkubasi 24 jam dan 48 jam masing-masing 38,54 –
42,87% dan 42,33 – 45,40% (Tabel 5.2) dan 57,68 - 61,28% dan 62,17 – 66,27%
(Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin lama waktu inkubasi
kecernaan ransum semakin meningkat, sedangkan produk fermentasi (pH, N-NH3
dan VFA total) menurun sejalan dengan lama waktu inkubasi. Menurunnya
produk fermentasi mungkin telah dimanfaatkan oleh mikroba untuk aktifitasnya,
untuk mendgedasi pakan.

20
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa:
1. Kecernaan dan produk fermentasi yang baik terlihat pada ransum 9%
protein dan 2150 kkal energi.
2. Produk fermentasi (pH, konsentrasi N-NH3 dan konsentrasi VFA total)
yang dapat menunjang aktifitas mikroba secara maksimal diperoleh
pada inkubasi 4 jam.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan perlu dilakukan
penelitian lanjutan tentang perbandingan protein dan energi yang lebih tinggi di
dalam ransum untuk menunjang produksi ternak ruminansia.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana,
melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat serta Dekan Fakultas
Peternakan, atas dana yang diberikan dalam Hibah Unggulan Program Studi
(HUPS) Tahun Anggaran. 2015, sehingga penelitian dapat berjalan sebagaimana
mestinya

21
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta

Anggraeny, Y. N., U. Umiyasih, D. Pamungkas dan Mariyono. 2007. Strategi


Pemenuhan Gizi untuk Pembesaran Sapi Potong Calon Induk:
Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Pertanian Menggunakan Suplemen
Mineral-Mix. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Arka, I. B. 1984. “Pengaruh Penggemukan Terhadap Kualitas Daging dan
Karkas pada Sapi Bali” (Disertasi). Universitas Pajajaran, Bandung.

Bach, A., S. Calsamiglia, and M. D. Stern. 2005. Nitrogen metabolism in the


rumen. J. Dairy Sci. 88:(E.Suppl.):E9-E21. American Dairy Science
Association.
Baldwin, R. L. and M. J. Allison. 1983. Rumen metabolism. J. Anim. Sci. 57: 461-
477.
Bell, A. W. 1995. Regulation of organic nutrient metabolism during transition
from latepregnancy to early lactation. J. Anim Sci. 73:2804-2819.
Church, D.C., 1988. The ruminant animal. Digestive physiology and nutrition.
Prentice hall, Englewood cliffs, New Jersey.

Diwyanto, K. dan L. Praharani. 2010. Reproduction management and breeding


strategis to improve productivity and quality of cattle. Abstracts
International Seminar Conservation and Improvement of World
Indigenous Cattle. 3rd-4th September. Udayana University, Denpasar Bali-
Indonesia.
Edward LeViness. 1993. Range Cow Nutrition in Late Pregnancy.
Arizona Ranchers' Management GuideRussell Gum, George Ruyle, and
Richard Rice, Editors.Arizona Cooperative Extension
Handiwirawan, E. dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumber
daya genetik sapi bali. Wartazoa 14 (3): 107-115.
Kadarsih, S. 2004. Performans sapi bali berdasarkan ketinggian tempat di daerah
trasmigrasi Bengkulu: I. Performans Pertumbuhan. Jurnal Ilmu-ilmu
Pertanian Indonesia. 6(1): 50-56.
Lunn, D. 2013. Nutrient Requirements of Beef Cow. Shur-Gain, Nutreco Canada
Inc
Minson, D.J. and M. M. McLeod. 1972. The In Vitro Technic: its Modification
for Estimate Digestibility of Large Numbers of Tropical Pature Technique,
Australia.

22
Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming. Feeding Management for Small Holder
Dairy Farmers in the Humid Tropic. Landlink Press. Depart of
Primary Industries.
Muladno. 2012. Aplikasi Teknologi Perbibitan untuk Peningkatan Produksi
Bakalan dan Kualitas Daging Sapi Nasional. Prosiding Seminar Nasional
Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional. Bali, 14
September 2012.
National Research Council (NRC). 2000. Nutrient Requirement of Beef Cattle.
7th Rev. Ed. National Academy Press Washington DC. USA.
Owens, F.N. dan A.L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed.
The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A. Reston
Book. Prentice Hall, Eglewood Cliffs, New Jersey.
Oyeleke, S. B. and T. A. Okusanmi. 2008. Isolation and characterization of
cellulose hydrolysing microorganism from the rumen of ruminants.
African Journal of Biotechnology Vol. 7 (10), pp. 1503-1504.
Partama, I. B. G., T. G. O. Susila, I. W. Suarna dan I. M. Suasta. 2003.
Peningkatan produktivitas sapi bali kereman melalui suplementasi
mineral dalam ransum berbentuk wafer yang berbasis jerami padi
amoniasi urea. Laporan penelitian proyek Pengkajian Teknologi
Partisipatif. BPTP-Bali.
Patty, Ch, W. 2007. Kecernaan hijauan turi (sesbania grandifkora) dengan
penembahan ampas tahu kukus yang diuji secara in vitro. Jurnal
Agroforestri Vol. II.No.1: 73 – 76.
Putra, S. 1999. “Peningkatan Performan Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu
Pakan dan Suplementasi Seng Asetat” (Disertasi) Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Prutar, S. 2006. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu
inkubasi terhadap degradasi bahan kering, dan produks fermentasi secara
in vitro. Jurnal Protein Vol. 13. No. 2:113-123.
Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems
With Available Resources in The Tropics and Sub-tropics. Penambul
Books Armidale.
Roche, J. R. 2000. Feeding the transition cow- The myths and the magic,
In: Proceedings of the Ruakura Farmers Conference, Hamilton, New
Zealand., pp. Pages 29-36.
Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya,
Depok. Cetakan XVII.

23
Steel, R.G.D, dan J.H Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B Sumantri. PT Gramedia
Pustaka Utama Jakarta,Jakarta.

Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh


Mikroba Rumen dan Manfaatnya Bagi Peningkatan Produktivitas
Ternak. Proc. Seminar penelitian dan penunjang peternakan. LPP.
Bogor.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan


Ternak, Fakultas Peternakan, Institute Pertanian Bogor.

Soetarno, T., 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Subiharta, U. Nuschati, B. Utomo, D. Pramono, S. Prawirodigdo, T. Prasetyo,
A.Musofie, Ernawati, J. Purmiyanto, dan Suharno, 2000. Laporan
HasilKegiatan Pengkajian Sistem Usaha Tani Pertanian Sapi Potong
diDaerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Ungaran.Semarang.
Sukarini, I. A. M. 2000. “Peningkatan Kinerja Laktasi Sapi Bali (Bibos banteng)
Beranak Pertama Melalui Perbaikan Mutu Pakan” (Disertasi) Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Suryani, N. N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Baliyang


Diberi Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi.
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar.

Suryani, N. N. dan N, P. Mariani. 1996. Penampilan Sapi Bali Jantan Muda yang
Diberi Pakan Berbagai Hijauan Dengan dan Tanpa Konsentrat. Laporan
Hasil Penelitian Kerja sama IAEUP dengan Fakultas
Peternakan.Denpasar-Bali.
Talib, C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang
Pengembangannya.Wartazoa 12 (3) : 100 – 107.

Toeliehere, M. R., 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.

Triyono. 2007. Pengaruh Tingkat Protein Ransum pada Akhir Masa


Kebunting Pertama terhadap Performan dan Berat Lahir Pedet Sapi
Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH). Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tangendjaja, B. 2009. Teknologi Pakan dalam Menunjang Industri Peternakan di


Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (3): 192-207.

24
Tisserand, J. L. 1989. Biological In vitro and In sacco Methods. In: Evaluation of
Straws in Ruminant Feeding. Elsevier Apllied Science.
Van der Meer, J.M. and A.J.H. Van Es. 1987. Optimal degradation of
lignocellulosic feeds by ruminants and in vitro digestibility test. In:
Degradation of lignocellulosics in ruminants and in industrial processes.
Elsevier Applied Science.
Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Durham and Downey,
Inc. Portland.

25

You might also like