You are on page 1of 15

KAJIAN KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DI WILAYAH PESISIR

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Produksi dan Ketahanan Pangan/Gizi)

Dosen Pengampu: DR. Ir. Yaktiworo Indriani, M.Si

Disusun Oleh:
Caecilia Cierra Arni 2128021001
I Gede Eka Widayana 2128021010
Lita Setiawati 2128021011

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara kepulauan. Sekitar 75% dari luas wilayah nasional
adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis panjang 81.000 km.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah
interaksi/peralihan antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik,
dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya (Nuryanti,
2019).
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang memiliki sektor perikanan yang
cukup dominan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Provinsi Lampung
memiliki wilayah pesisir yang luas dan potensi sumber daya perikanan laut. Kabupaten
Pesawaran memiliki jumlah rumah tangga perikanan laut tertinggi sebesar 1.871 rumah
tangga atau 25,14 persen dari keseluruhan rumah tangga perikanan laut di Provinsi Lampung,
akan tetapi produktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lain (Badan
Pusat Statistik 2016).
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap makhluk hidup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dan tenaga agar bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Tercukupinya asupan gizi yang terkandung dalam pangan dan diserap oleh tubuh dapat
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Keberagaman jenis dan keseimbangan
gizi sangat dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat, aktif, dan produktif sehingga dibutuhkan
diversifikasi konsumsi pangan untuk menciptakan sumber daya manusia yang lebih
berkualitas dan berdaya saing (Pangerang F, 2021).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Merujuk dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi 2015 – 2019 (Dewan Ketahanan
Pangan 2015), Committee on World Food Security dan Food and Agriculture Organization
(CFSFAO) menyatakan ada empat pilar ketahanan pangan yaitu ketersediaan (availability),
keterjangkauan (access), pemanfaatan (utilization), dan kestabilan (stability). Jika pangan
tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi tidak diiringi dengan akses individu
untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh (Delly, 2019).
Menurut Salim dan Darmawanty (2016), kondisi ketahanan pangan bagi rumah
tangga nelayan sulit dicapai apabila akses rumah tangga nelayan terhadap pangan dalam
kondisi yang rendah, khususnya dari sisi ekonomi seperti pendapatan, kesempatan kerja dan
harga pangan. Tidak hanya akses pangan yang lemah, rumah tangga nelayan juga sangat
mungkin mengalami ketidakpastian dalam mencapai kondisi kecukupan pangan, jaminan
pangan, serta keberlanjutan pangan.
Salah satu penyebab masalah kemiskinan pada nelayan yaitu pendapatan nelayan
yang tidak menentu (berfluktuasi) dikarenakan pekerjaannya bergantung pada kondisi iklim
(cuaca). Kondisi tersebut berpengaruh pada besarnya tingkat pendapatan nelayan. Rendahnya
tingkat pendapatan nelayan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan rumah tangga baik
kebutuhan pangan maupun kebutuhan non pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan rumah
tangga dapat dilihat berdasarkan ketersediaan pangan, daya beli, dan tingkat konsumsi rumah
tangga. Ketersediaan pangan rumah tangga nelayan di Desa Maja diperoleh sebagian besar
berasal dari pembelian. Pembelian pangan bergantung pada daya beli rumah tangga nelayan.
Jika nelayan berpendapatan rendah akan berpengaruh pada daya belinya yang juga rendah
sehingga rumah tangga nelayan akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dan memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan yang beragam dan bergizi bagi rumah tangga. Kurangnya
pemenuhan kebutuhan pangan dari berbagai kelompok pangan menjadi masalah pada
keadaan gizidan pangan pada rumah tangga yang ditunjukkan oleh nilai skor PPH yang
belum maksimal. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan tahun 2018, skor PPH rumah tangga
di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2017 sebesar 71,9 yang jauh di bawah skor ideal
yakni 100 (Ismah, 2020).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan dan gizi pada
masyarakat di daerah pesisir.

1.3 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah menambah wawasan dan memberikan
informasi mengenai kondisi ketahanan pangan dan gizi pada masyarakat di daerah pesisir.
BAB II

KAJIAN KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

2.1. Gambaran Umum Wilayah Pesisir


Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
pantai yang sebagian besar merupakan nelayan memiliki karakteristik yang berbeda
dengan masyarakat lainnya. Perbedaan ini dikarenakan keterkaitan erat dengan
karakteristik ekonomi wilayah, latar belakang budaya dan ketersediaan sarana dan
prasarana penunjang. Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki budaya yang
berorientasi selaras dengan alam sehingga teknologi memanfaatkan sumberdaya alam
adalah teknologi adaptif dengan kondisi pesisir. Masyarakat pesisir pada umumnya
adalah berprofesi sebagai nelayan, di mana nelayan didalam ensiklopedia Indonesia
digolongkan sebagai pekerja, yaitu orang yang secara aktif melakukan kegiatan
menangkap ikan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagai mata
pencahariannya (Eliska dkk, 2021).
Provinsi Lampung merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dan penghubung
dengan Pulau Jawa. Lampung memiliki kawasan pesisir laut yang luas, tersebar di 7
(tujuh) wilayah kabupaten/ kota. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang
memiliki potensi sumber daya pesisir yang tinggi, namun pemanfaatan belum optimal
(Arkham et al., 2018). Wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil di Provinsi Lampung
memiliki sumber daya sangat potensial, seperti: ikan, udang, molusca, terumbu karang,
lobster, kepiting dan ranjungan, bahan tambang dan mineral, wisata serta jasa
lingkungan. Kekayaan dan sumberdaya laut lain memiliki nilai ekonomi penting dan
strategis dalam perekonomian lokal, regional, nasional, dan internasional. Potensi
pesisir lainnya yang tersebar di beberapa kabupaten/kota antara lain mangrove, padang
lamun, dan rumput laut. Daerah pesisir Lampung seluas 440.010 hektar dengan garis
pantai sepanjang 950 km. Provinsi Lampung memiliki 132 pulau-pulau kecil dan
memiliki 2 (dua) teluk besar yaitu Teluk Semangka dan Teluk Lampung (Syafira,M,
2021).

Tabel 1. cakupan pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulai kecil di Provinsi Lampung
(Renstra Dinas Kelautan dan Perikanan 2019-2024)

No. Kabupaten/Kota Jumlah Pulau Jumlah Desa Panjang Pantai


Pesisir (km)
1. Lampung Selatan 41 26 247,76
2. Bandar lampung 2 26 27,01
3. Lampung Timur 5 17 108
4. Pesawaran 38 18 96
5. Lampung Tengah - 9 -
(Perairan sungai/muara)
6. Pesisir Barat 3 99 210
7. Tulang Bawang - 22 51,9
8. Tanggamus 43 46 210

Dilihat pada tabel di atas, Kabupaten Tanggamus memiliki pulau terbanyak yaitu 43
buah dengan 46 desa pesisir. Sedangkan Lampung Selatan memiliki garis panjang
pantai terpanjang yaitu 247,76 km.

2.2. Karakteristik rumah tangga


Provinsi Lampung memiliki garis pantai sepanjang ± 950km dan luas wilayah

perairan pesisir kurang lebih ±24.820km2. Dengan potensi kelautan dan perikanan
yang cukup besar, maka banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya pada
subsektor tersebut. Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga yang mata
pencaharian dan jenis kegiatan usahanya bergerak pada subsektor perikanan (Dinas
kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, 2019).
Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga yang mata pencaharian dan jenis
kegiatan usahanya bergerak pada subsektor perikanan. Rumah Tangga Perikanan
terbagai dalam beberapa jenis, yaitu RTPP Perikanan Budidaya, RTPP Pembudidaya,
RTPP Nelayan Perikanan Laut, RTPP Nelayan Perairan Umum. RTPP Pembudidaya
adalah RTPP dengan jumlah terbanyak, sedangkan RTPP Nelayan Perairan Umum
adalah RTPP dengan jumlah paling sedikit. Kondisi RTPP Perikanan Tangkap dan
Nelayan di Provinsi Lampung selama kurun waktu tahun 2009-2013 disajikan pada
tabel berikut:
Tabel 2. Rumah Tangga Perikanan/Perusahaan Perikanan (RTPP) Lampung Tahun 2014-2018
(Renstra Dinas Kelautan dan Perikanan 2019-2024)

RTP/P
Tahun Nelayan Perikanan (Orang)
Perairan Laut Perairan Umum
2014 7.771 5.677
2015 7.761 5.236
2016 7.443 10.434
2017 16.592 2.374

Salah satu kabupaten yang memiliki potensi perikanan laut cukup besar adalah
Kabupaten Lampung Selatan. Meskipun bukan daerah penghasil perikanan tangkap
terbesar, Kabupaten Lampung Selatan memberikan kontribusi yang besar dalam
peningkatan produksi perikanan tangkap di Provinsi Lampung (BPS Provinsi
Lampung 2017). Kecamatan Kalianda merupakan salah satu sentra produksi perikanan
di Kabupaten Lampung Selatan terutama di Desa Maja. Penduduk di Desa Maja
sebagian besar bekerja sebagai nelayan karena Desa Maja merupakan daerah pesisir
Teluk Lampung. Keluarga di Desa Maja yang termasuk ke dalam golongan
prasejahtera masih tinggi sebanyak 130 kepala keluarga (32%).

2.3. Pola / kebiasaan makan


Pola konsumsi adalah susunan jenis dan frekuensi makan yang merupakan tingkah
laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan
makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Pola konsumsi
masyarakat banyak ditentukan oleh budaya, kepercayaan dan lingkungan dimana
masyarakat itu berada. (Amiruddin et al, 2019).
Pola konsumsi sekelompok masyarakat memiliki perbedaan. Pola makan dibentuk
oleh kebiasaan seseorang dalam memilih makanan. Kebiasaan makan dapat
dipengaruhi oleh faktor alam, lingkungan, dan budaya. Pola konsumsi makanan yang
baik mengandung makanan pokok, lauk- pauk, dan sayur-sayuran serta dimakan dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan (Eliska et al., 2021). Pola konsumsi
masyarakat yang dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga masyarakat pesisir cenderung
mengkonsumsi hanya hasil laut yang menyebabkan ketidakseimbangan gizi (Hamidah,
2017).
Sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir memperoleh penghasilan dari sektor
perikanan. Penduduk pesisir banyak berprofesi nelayan karena letak geografis yang
memudahkan para penduduk mendapatkan pekerjaan. Hal ini mempengaruhi besarnya
tingkat pendapatan mereka yang terbilang relative rendah karena jumlah yang mereka
peroleh dari hasil laut yagg relative sedikit. Hal ini juga akan berdampak pula terhadap
pemenuhan kebutuhan pokok para nelayan terutama menyangkut pola konsumsi
masyarakat pesisir. (Amiruddin et al, 2019).
Pola konsumsi pangan rumah tangga pada nelayan dilihat dari jumlah jenis
pangan, frekuensi makan, dan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan
(PPH) adalah susunan jumlah pangan yang terdiri dari sembilan jenis golongan pangan
yang dikonsumsi oleh rumah tangga nelayan dengan pangan yang beragam dan
seimbang didasarkan pada kontribusi energi pangan yang memenuhi kebutuhan gizi.
Lauk pauk yang sering dikonsumsi oleh rumah tangga nelayan adalah tempe, ikan
asin, dan ikan segar (Ismah et al., 2020).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ismah dkk (2020) di Desa Maja
Kabupaten Kalianda dengan menghitung jumlah jenis pangan, frekuensi makan, dan
skor PPH didapatkan jumlah jenis pangan yang dihitung selama 1 x 24 jam selama dua
hari berturut-turut. Rumah tangga nelayan di Desa Maja mengonsumsi jumlah jenis
pangan dengan rata-rata yaitu 11 macam. Jenis pangan yang paling sering dikonsumsi
pada rumah tangga nelayan yaitu padipadian, hewani, dan kacang-kacangan.
Salah satu pengaruh pola konsumsi makanan masyarakat yaitu ketersediaan bahan
pangan di suatu daerah. Suatu daerah akan menggunakan hasil alamnya untuk
mencukupi semua kebutuhan masyarakatnya. Kebutuhan pangan masyarakat antara
satu daerah dengan daerah lain memiliki berbagai macam perbedaan,termasuk
masyarakat pesisir memiliki pola konsumsi yang berbeda. Oleh karena itu, pola
konsumsi
makanan yang mengandung antioksidan pada masyarakat juga bergantung pada faktor-
faktor yang mempengaruhi pola konsumsi (Hamidah, 2017). Khususnya pada
masyarakat pesisir, masyarakat di sini pada umumnya sering mengkonsumsi
makanan laut karena jenis makanan ini sangat mudah dijangkau apalagi bagi
masyarakat yang memang mata pencahariannya adalah seorang nelayan (Amiruddin et
al, 2019).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi nelayan di Desa Maja
Kabupaten Kalianda adalah usia ibu. Semakin tinggi usia ibu maka skor PPH akan
naik. Bertambahnya usia ibu berpengaruh pada pola konsumsi rumah tangga dengan
asumsi bahwa usia ibu berkaitan dengan pengalaman, tingkat pengetahuan, dan sikap
yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan pangan pada rumah tangga nelayan
sehingga usia ibu memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keputusan
dalam konsumsi pangan rumah tangga nelayan.

2.4. Kondisi/Masalah ketersediaan pangan


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk BTP (Bahan Tambahan Pangan), bahan baku pangan, dan
bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan di suatu wilayah dapat diukur
dari ketersediaan pangan, daya beli, dan tingkat konsumsi penduduk. Tingkat konsumsi
pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang
ditinjau dari aspek keadaan gizi. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi
yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein.
Nelayan sebagai masyarakat pesisir dominan memiliki tingkat kesejahteraan yang
rendah dikarenakan menghadapi masalah ekonomi, yaitu kemiskinan. Permasalahan lain
yaitu adanya persaingan antara nelayan yang semakin meningkat dalam usaha tangkap
ikan, dimana terjadi keterbatasan daerah penangkapan, dan sulit memperoleh bantuan
modal, sehinga menghambat oprasi penangkapan ikan. Hal ini menyebabkan
kemiskinan dan tekanan ekonomi di rumah tangga nelayan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan. Merujuk dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi
2015 – 2019 (Dewan Ketahanan Pangan 2015), Committee on World Food Security dan
Food and Agriculture Organization (CFSFAO) menyatakan ada empat pilar ketahanan
pangan yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (access), pemanfaatan
(utilization), dan kestabilan (stability). Jika pangan tersedia cukup di tingkat nasional
dan regional, tetapi tidak diiringi dengan akses individu untuk memenuhi kebutuhan
pangan tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
Kondisi ketahanan pangan bagi rumah tangga nelayan sulit dicapai apabila akses
rumah tangga nelayan terhadap pangan dalam kondisi yang rendah, khususnya dari sisi
ekonomi seperti pendapatan, kesempatan kerja dan harga pangan. Tidak hanya akses
pangan yang lemah, rumah tangga nelayan juga sangat mungkin mengalami
ketidakpastian dalam mencapai kondisi kecukupan pangan, jaminan pangan, serta
keberlanjutan pangan (Delly et al., 2019).
Ketersediaan pangan dicerminkan dari pangsa pengeluaran pangan rumah tangga
yang terdiri dari dua kategori, yaitu tinggi dan rendah. Pangsa pengeluaran tinggi
menggambarkan ketersediaan pangan yang yang belum cukup, sedangkan pangsa
pengeluaran rendah menggambarkan ketersediaan pangan yang cukup.
Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan masyarakat, pemerintah melalui
Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian sejak tahun 2002 mengembangkan
tujuh model pemberdayaan di kabupaten/kota di seluruh propinsi. Adapun model
pemberdayaan ketahanan pangan tersebut adalah: Lumbung pangan, sistem tunda jual,
pangan lokal, pemanfaatan pekarangan, daerah rawan pangan, participatory integrated
development in rainfed areas (PIDRA) dan special program for food security.
Kemandirian ini semakin penting di tengah kondisi dunia yang mengalami krisis
pangan,energi dan finansial yang ditandai: Harga pangan internasional mengalami
lonjakan drastis, meningkatnya kebutuhan pangan untuk energi alternatif, resesi
ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat terhadap
pangan; serbuan pangan asing (westernisasi diet) berpotensi besar penyebab gizi lebih
dan meningkatnya ketergantungan pada impor.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Pangerang F, 2021 tentang Pola Konsumsi
Pangan Rumah Tangga Masyarakat Pesisir Di Kabupaten Bulungan, Provinsi
Kalimantan Utara Selama Pandemi Covid-19 didapatkan hasil konsumsi energi rumah
tangga berada pada kategori defisit namun kelompok bahan pangan padi-padian/serealia
dan pangan hewani memberikan kontribusi energi tertinggi. Akan tetapi kelompok padi-
padian/serealia masih berada dibawah standar normatifnya sehingga masih diperlukan
peningkatan konsumsi energi kelompok pangan padi-padian serta penganekaragaman
konsumsi pangan terutama untuk konsumsi pangan non beras. Sementara konsumsi
energi dari kelompok pangan hewani secara umum desa Tanah Kuning dan Mangkupadi
memenuhi angka komsumsi energinya. Hal ini dikarenakan desa tersebut merupakan
daerah kawasan pesisir sehingga ketersediaan pangan hewani terutama ikan terpenuhi.
Kelompok pangan lainnya seperti umbi- umbian, kacang-kacangan, buah dan sayur,
minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula dan pangan lainnya menunjukkan
konsumsi energinya sangat jauh dari batas idealnya sehingga konsumsi energi dari
sumber pangan tersebut sangat kurang. Kurangnya konsumsi energi dari sumber pangan
tersebut dimungkinkan karena dipengaruhi oleh penurunan pendapatan rumah tangga
akibat pandemi sehingga daya beli masyarakat menurun. Pada situasi pandemi ini
menyebabkan banyak tenaga kerja berkurang bahkan kehilangan pendapatannya
sehingga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat terutama
mereka yang bekerja harian dan informal. Pendapatan merupakan faktor utama yang
menentukan perilaku rumah tangga dalam melakukan konsumsi pangan dan
diversifikasi pangan.
Masalah Gizi yang Timbul Akibat Pengaruh Dari Faktor Lingkungan di Sekitar
Tempat Tinggal Masyarakat di Wilayah Pesisir
- Faktor Lingkungan
Sitti & Patty (2015) dalam penelitiannya menjelaskan kondisi rumah dan
sekitarnya tidak bersih/tertata dengan baik, mereka rata-rata belum memiliki WC
sehingga masih buang air besar di kali atau numpang di tetangga yang memiliki WC,
juga kebersihan anak tidak diperhatikan. Karena pekerjaan mereka adalah melaut,
maka hampir setiap rumah memiliki peralatan melaut seperti jaring ikan dan lain-lain.
Alat melaut itu memiliki bau khas yang tentu mengganggu penciuman orang yang
berasal dari luar keluarga atau lingkungan mereka. Selain itu, pada beberapa rumah
keluarga nelayan terdapat penempatan kandang ayam dan tempat pembuangan
sampah yang terlalu dekat dengan rumah sehingga terlihat tidak bersih serta udaranya
menjadi tidak segar (Eliska dkk, 2021).
Winoto (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pola kemiskinan di
permukiman nelayan ditandai dengan lingkungan permukiman yang buruk (sanitasi,
sarana pembuangan sampah, polusi) dan tidak adanya jaminan atas hak pemilikan
tanah. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kebersihan dari makanan yang
dikonsumsi oleh mereka setiap harinya. Kemungkinan terinfeksi bakteri dan lain
sebagainya dari sampah maupun kotoran ternak, apalagi proses pembuatan makanan
tidak memperhatikan sisi higienitas tentunya berpengaruh pada kualitas makanan.
Selain itu, sumber air minum mereka sebagian besar dari isi ulang karena air di
daerah ini tidak bersih dan sebagian payau karena berdekatan dengan laut (Eliska
dkk, 2021).

- Faktor Geografis
Mayoritas tingkat pendidikan keluarga nelayan rendah, mereka rata-rata adalah
lulusan SD dan SMP bahkan banyak juga di antara mereka yang putus sekolah pada
tingkat SD dan SMP. Dengan kondisi pendidikan yang rendah, pemahaman mereka
tentang pola makan yang baik dan gizi seimbang juga sangat minim
Rata-rata keluarga nelayan adalah lulusan SD dan bagi mereka, pendidikan belum
menjadi prioritas. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan akan sangat
berpengaruh pada kualitas hidup dan status gizi anak, semakin bagus pendidikan
seseorang maka akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak
mereka. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Bambang W dan Merryana A
(2012:11) bahwa perbaikan gizi keluarga adalah pintu gerbang perbaikan gizi
masyarakat, dan pendidikan gizi keluarga merupakan kunci pembuka pintu gerbang
itu

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pola atau kebiasaan konsumsi makan di wilayah pesisir kurang beragam, karena
didominasi dari hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan. Lauk pauk yang sering
dikonsumsi oleh rumah tangga nelayan adalah tempe, ikan asin, dan ikan segar.
2. Masih diperlukan peningkatan konsumsi energi dan penganekaragaman konsumsi pangan
terutama untuk konsumsi pangan non beras seperti umbi- umbian, kacang-kacangan, buah
dan sayur, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula dan pangan lainnya yang masih
menunjukkan konsumsi energi yang sangat jauh dari batas idealnya sehingga konsumsi
energi dari sumber pangan tersebut sangat kurang.
3. Masalah ketersediaan pangan terdapat pada akses untuk memenuhi pangan. Tidak hanya
akses pangan yang lemah, rumah tangga nelayan juga sangat mungkin mengalami
ketidakpastian dalam mencapai kondisi kecukupan pangan, jaminan pangan, serta
keberlanjutan pangan.
3.2 Saran
Hasil pada tulisan paper ini sebaiknya dapat dijadikan acuan bagi pemerintah desa dalam
rangka menentukan kebijakan apa yang cocok bagi masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan masyarakat yang ada di pesisir pantai dan juga dapat melakukan
pengembangan secara lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin M, Nuddin A, Hengky HK. 2019. Pola Konsumsi Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Penyakit Asam Urat Pada Masyarakat Pesisir Teluk Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia dan
Kesehatan: 2(2).
BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Lampung. 2016. Provinsi Lampung dalam Angka Tahun
2017. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung
Delly, D. P., Prasmatiwi, F. E., & Prayitno, R. T. (2019). Tingkat Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Nelayan di Desa Sukajaya Lempasing Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran.
JIIA, 7(2), 141–148.
Eliska, Harahap, R. A., & Agustina, D. (2021). Gizi Masyarakat Pesisir: Vol. 1(1) (1st ed.).
Merdeka Kreasi Group.
Hamidah, I. (2017). Studi Tentang Pola Konsumsi Masyarkat Pesisir Indramayu. Mangifera Edu,
1(2), 46–51.
Ismah, K., Zakaria, A. W., & Indriani, Y. (2020). Pola Konsumsi dan Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Nelayan di Desa Maja Kecamatan Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. JIIA, 8(1),
145–152
Nuryanti DM, Ilsan M, Ismail S. 2019. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Nelayan (Studi Kasus Desa Belantang Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur). Journal
TABARO: 3(1).
Pangerang F, Adriansyah D. 2022. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Masyarakat Pesisir Di
Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara Selama Pandemi Covid-19: Studi Kasus Pada
Desa Tanah Kuning Dan Desa Mangkupadi. Journal of Tropical Agrifood:4(1).
Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2019-2024.

You might also like