You are on page 1of 20

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Fiqih Muamalah Syukri Rosadi,M.E.Sy

Jual beli Salam, Istishna, Sharf dan Konsep Khiyar

Disusun oleh :
Intan Khoirotul Aini
Nim : 01298.211.17.2019

PROGRAM STUDI AKHWAL AS-SYAHSIAH

STAI TUANKU TAMBUSAI

PASIR PENGARAIAN

ROKAN HULU

RIAU

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan tugas
makalah ini yang merupakan salah satu tugas pada mata kuliah FIQIH
MUAMALAH yang di ampu oleh bapak dosen: Syukri Rosadi, M.E.Sy. Makalah
ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini, untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang berkonstribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya, maka oleh
karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari
rekan-rekan sekalian, sehingga makalah yang kami buat ini menjadi makalah yang
sempurna. semoga bermanfaat bagi para mahasiswa-mahasiswi, khususnya pada
saya dan semua yang membaca makalah ini, Dan mudah-mudahan juga dapat
menambah wawasan pembaca.

Pasir Pengaraian, Rabu 30 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………. 1

C. Tujuan Penulis …………………………………………………………... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad, Syarat dan Rukun jual beli ………………………….. 2

B. Jual beli Batil dan Fasid …………………………………………………4

C. Konsep dan Hikmah Khiyar jual beli ......………………………………..5

D. Macam-macam jual beli……………………..……………………….…12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………….… 15

B. Saran ………………………………………………………………….... 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Bentuk-bentuk akad jual beli yang dikemukakan para ulama dalam fiqih
muamalah begitu banyaknya, tetapi dari sekian banyaknya disini kami akan
menjelaskan 3 macam akad dalam jual beli atau bertaransaksi. Yang termasuk
dalam akad jual beli tersebut adalah as-salam, istishna, dan al sharf. Sebelum
membahas lebih jauh tentang akad as-salam, istishna, dan al sharf, kita harus
mengetahui masing-masing pengertian akad tersebut. Pada makalah ini kami akan
membahas tentang pengertian, dasar hukum, serta rukun dan syarat dari masing-
masing macam akad tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan as salam, dasar hukum beserta rukunnya?


2. Apa yang dimaksud dengan istishna, dasar hukum, beserta rukunnya?
3. Bagaimana perbedaan antara as salam dengan istishna?
4. Apa yang dimaksud dengan al sharf,dasar hukum beserta rukunnya?

C. Tujuan Penulis

1. Untuk mengetahui pengertian Akad


2. Untuk mengetahui Macam-macam jual beli
3. Untuk mengetahui Syarat dan Rukun jual beli
4. Untuk mengetahui Hikmah dan Manfaat khiyar jual beli

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad, Rukun dan Syarat jual beli

1. Pengertian Akad

Menurut bahasa, akad adalah Ar-rabbth (ikatan), sedangkan menurut istilah


akad memiliki dua makna yaitu makna khusus dan makna umum. Makna khusus
akad adalah ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggungjawab terhadap
objek akad (ma'qud 'alaih). Sedang makna umum akad adalah setiap perilaku yang
melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu
bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak. Hanafiyah lebih memilih makna
khusus, sedang Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah memilih makna
umum. Secara terminologi, Wahbah al Zuhaili mendefinisikan akad dengan :
"Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak
syariah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek
perikatan"

2. Hukum Akad
Ada tiga pendapat tentang hukum akad, yaitu:

 Pertama, menurut mazhab Dzahiriyah hukum akad pada asalnya adalah


TERLARANG, sampai ada dalil yang melandasi kebolehannya. Sehingga
akad yang boleh dilakukan adalah akad yang secara nash ada dalilnya, jika
tidak ada maka akad tersebut terlarang.

 Kedua, menurut Jumhur Fuqaha, hukum akad pada dasarnya adalah


BOLEH selama tidak melanggar kaidah-kaidah umum dalam muamalah.

 Ketiga, menurut mazhad Hanabilah, khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu


Qayyim, lebih longgar, selama tidak ada dalil syar'i yang melarang suatu

2
akad, maka dibolehkan, bahkan dibolehkan untuk mendesain akad-akad
baru.1

3. Rukun dan Syarat Akad

Menurut mayoritas ulama, rukun akad ada tiga:

1. Shighat
Shighat adalah ijab dan qabul (serah terima), baik diungkapkan
dengan ijab atau cukup dengan ijab saja yang menunjukan qabul dari pihak lain
(secara otomatis).
Syarat sighat :

 Pertama, Maksud Shighat itu harus jelas dan bisa dipahami. Artinya
ada keinginan niat dan maksud pelaku akad untuk bertransaksi.

 Kedua, Ada kesesuaian antara Ijab dan Qabul.

 Ketiga, Ijab dan Qabul dilakukan berturut-turut. Artinya dilakukan


dalam satu waktu dan salah satu pihak tidak menyatakan ketidaksetujuan
terhadap isi ijab.

 Keempat, Keinginan untuk melakukan akad saat itu, bukan pada


waktu mendatang.

2. Pelaku Akad ('Aqidan)


Pelaku akad yang dimaksud bisa satu orang atau lebih, bisa pribadi atau
badan hukum, baik sebagai pelaku langsung atau sebagai wakil dari pelaku akad.
Syarat pelaku akad :

 Pertama, Ahliyah (kompetensi) yaitu bisa melakukan kewajiban dan


mendapatkan hak sebagai pelaku akad. Terbagi dua, yaitu Ahliyah wujub,
pelaku akad berkompeten untuk menunaikan kewajiban dan mendapatkan

1
buku Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah, karya Dr. Oni
Sahroni dan Dr. M. Hasanuddin.

3
hak. Ahliyah 'ada yaitu berkompeten untuk melaksanakan akad sesuai
syariah.

 Kedua, Wilayah yaitu kewenangan untuk melakukan transaksi menurut


syar'i yaitu sudah mukallaf (aqil baligh, berakal sehat, dan dewasa/cakap
hukum).

3. Objek Akad (Ma'qud 'Alaihi)

Objek akad yatu harga atau barang yang menjadi objek transaksi. Syarat
objek akad :

 Pertama, Barang yang masyru' (legal)


 Kedua, Barang bisa diserahterimakan saat akad.
 Ketiga, Jelas diketahui oleh para pihak yang berakad.
 Keempat, Harus ada pada waktu akad.

B. Jual beli batil dan fasid

Akad batil adalah akad yang salah satu rukunnya tidak terpenuhi.Atau objek
akad tidak bisa diserah terima, seperti akad jual beli yang dilakukan orang gila
atau jual beli narkoba.
Akad fasid adalah akad yang secara asal disyariatkan, tetapi terdapat masalah
atas sifat akad tersebut. Seperti jual beli majhul (barang tidak dispesifikan secara
jelas) yang dapat mendatangkan perselisihan. Ambil contoh, menjual rumah tanpa
menentukan rumah mana yang hendak dijual dari rumah yang dimiliki. Menurut
mayoritas para ulama, kedua akad ini tidak diakui adanya pemindahan
kepemilikan.2

2
Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 81-
82.

4
C. Konsep dan Hikmah Khiyar dalam jual beli
a. Pengertian Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab. berarti pilihan Pembahasan al-
Khiyar dikemukakan oleh para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut
transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu
hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi
beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.

Secara terminologi, para ulama fiqh telah mendefenisikan al-khiyar, antara


lain menurut Sayyid Sabiq:3 “Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara,
melangsungkan atau membatalkan (jual beli)”.

M. Abdul Mujieb mendefenisikan: “khiyar ialah hak memilih atau menentukan


pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan
diteruskan atau dibatalkan”.4

Wahbah al -Zuhaily mendefenisikan al-khiyar dengan: “Hak pilih bagi salah satu
atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau
membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing
pihak yang melakukan tarnsaksi”.5

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan


transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,
sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-
baiknya. Dengan kata lain, diadakannya kata khiyar oleh syara‟ agar kedua belah
pihak dapat memikirkan lebih jauh kemaslahatan masing-masing dari akad jual
belinya, supaya tidak menyesal dikemudian hari, dan tidak merasa tertipu. Jadi,

3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid III, cet. Ke-4, hlm. 164.

4
M. Abdul Mujieb (et. al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet ke-1,
hlm. 162.

5
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, 2005), jilid
V, cet. Ke-8, hlm. 3516.

5
hak khiyar itu diterapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasaan
timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi
memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian
suatu transaksi, namun dari segi kepuasaan pihak yang melakukan
transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.6

b. Hukum Khiyar dalam Jual Beli

Hak khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah
akan meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi)
barang yang diperjual belikkan.

Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status khiyar dalam pandangan ulama


fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak
dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan
transaksi.7

Di abad modern yang serba canggih, dimana sistem jual beli semakin
mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan, hanya tidak
menggunakan kata-kata khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang
dijualnya, tetapi dengan ungkapan singkat dan menarik, misalnya: “Teliti sebelum
membeli”. Ini berarti bahwa pembeli berhak diberi khiyar (memilih) dengan hati-
hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia
merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.

6
Lihat Amir Syarifuddin, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Pranada Media, 2003), cet. Ke-1, hlm. 213.

7
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Taqwa, 2003),
jilid II, hlm.131. lihat pula Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujahid, jilid II, hlm. 157.

6
c. Macam-Macam Khiyar

Khiyar itu ada yang berssumber dari syara‟, seperti khiyar majlis,
aib, dan ru‟yah. Selain itu, ada juga khiyar yang bersumber dari kedua belah
pihak yang berakad, seperti khiyar syarat dan ta‟yin.8

Berikut ini dikemukakan pengertian masing-masing khiyar tersebut:

1. Khiyar majlis, yaitu hak dipilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di
ruangan took) dan belum berpisah badan. Atinya, transaksi baru dianggap
sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah
badan, atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk
menjual dan atau membeli. Khiyar sepertin ini hanya berkaku dalam
transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi, seperti jual beli dan sewa-menyewa.

Kadang-kadang terjadi, salah satu yang berakad tergesa-gesa dalam ijab


atau Kabul. Setelah itu, dampak adanya kepentingan yang menuntut dibatalkannya
pelaksaan akad. Karena itu, syariat mencarikan baginya untuk ia dapat
memperoleh hak yang mungkin hilang dengan ketergesa-gesaan tadi. Bukhari dan
Muslim meruwayatkan dari Hakim bin Hazam bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakuakn khiyar selama belum
berpisah. Jika keduanya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual
beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan
dimusnakanlah keberkahan jual beli mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak
antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara

8
Lihat Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Op, cit,), hlm. 130.

7
fisik. Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Dirumah yang kecil, dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah
besar, sejak berpindahnya salah seoarang dari tempoat duduk kira-kira dua tau
tiga langkah. Jika keduanya bangkit dan pergi bersama-sama maka
pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap kuat, bahwa yang
dimaksud berpisah disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.9

2. Khiyar „aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli
bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada
objek yang diperjual belikkan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya
ketika akad berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur ayam satu kg,
kemudian satu butir di antaranya telah busuk, atau ketika telur dipecahkan
telur menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya tidak diketahui baik oleh
penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini, menurut para
pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli.10 Jadi, dalam khiyar
aib itu apabila terdapat bukti cacat pada barang yang dibelinya, pembeli
dapat mengembalikan barang tersebut dengan meminta ganti barang yang
baik, atau kembali barang tau uang.11

Dasar hukum khiyar aib, diantaranya sabda Rasulullah saw: “Sesama


Muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya
kepada muslim lain, padahal barang itu terdapat „aib/ cacat”. (HR. Ibnu Majah
dan dari „Uqbah bin „Amir).

Khiyar aib ini menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak


diketahuinya cacat pada barang yang diperjual belikan dan dapat diwarisi oleh ahli
waris pemilik hak khiyar. Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak
khiyar, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang
merusak obyek jual beli itu dan mengurangin nilai nya menurut tradisi para

9
Lihat Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 164
10
Nasrun haroen, Op. cit., hlm. 136.
11
Lihat Nasrun Haroen, Op. cit., hlm. 136.

8
pedagang. Tetapi menurut ulama Malikiyah dan Syafi‟iyah seluruh cacat yang
menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan
daripadanya.12

3. Khiyar Ru‟yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan
berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang
belum ia lihat ketika akad berlangsung.13

Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah,


Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru‟yah disyari‟atkan dalam
Islam berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang menyatakan : “siapa yang membeli
sesuatu yang belum ia lihat maka ia berhak khiyar apabila melihat barang
itu”. (HR.Dar al-Quthni dari Abu Hurairah).

Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek yang
akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat
seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar Ru‟yah, menurut mereka, mulai berlaku
sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli.14

Akan tetapi, ulama Syafi‟iyah, dalam pendapat baru (al-mazhab al-


jadid), mengatakan jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu
disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, karena kad itu
mengandung unsure penipuan yang boleh membawa kepada perselisihan dan
hadis Rasulullah Saw menyatakan: “rasulullah saw melarang jual beli yang
mengandung penipuan”. (HR. Jama‟ah ahli hadis, kecuali Bukhari).15

4. Khiyar syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh
keduanya (pembeli dan penjual, atau salah seorang dari keduanya sewaktu
terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar

12
Ibid., hlm. 137.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 137-138.
15
Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 165.

9
dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syarat yang diminta paling
lama tiga hari.16

Contoh khiyar syarat, seseorang berkata: saya jual mobil ini dengan harga
seratu juta rupiah (Rp. 100.000.000,-) dengansyarat boleh memilih selama tiga
hari. Dalam kaitan ini Rasulullah saw bersabda: “Kamu boleh khiyar (memilih)
pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (HR. Baihaqi).

Hadis dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: “Setiap dua orang yang
melakukan jual beli, belum sah dinyatakan jual beli itu sebelum mereka berpisah,
kecuali jual beli khiyar”.

Artinya, jual beli dapat dilangsungkan dan dinyatakan sah bila mereka
berdua telah berpisah, kecuali bila disyaratkan oleh salah satu kedua belah pihak,
atau kedua-duanya adanya syarat dalam masa tertentu.

Dalam hadis lain, Rasulullah Saw baersabda: “Jika dua orang melakukan
jual beli maka keduannya boleh melakukan khiyar sebelum mereka berpisah dan
sebelumnya mereka bersama-sama. Atau salah seorang mereka khiyar maka
mereka berdua melakukan jual beli dengan cara itu. Dengan demikian, jual beli
menjadi wajib”. (HR. Tiga ahli hadis).

Jika masa waktu yang ditentukan telah berakhir dan akad tidak
difasakhkan maka jual beli wajib dilangsungkan. Khiyar batal dengan ucapan dan
tindakan sipembeli terhadap barang yang ia beli, dengan jalan mewakafkan,
menghibahkan, atau membayar harganya, karena yang demikian itu menunjukkan
kerelaannya.17

5. Khiyar ta‟yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang
yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contoh, pembelian keramik: ada
yang berkualitas super (KW1) dan sedang (KW2). Akan tetapi, pembeli

16
Sayyid Sabiq, Op. cit., hlm. 165.
17
Ibid.

10
tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan berkualitas
sedang. Untuk menetukan pilihan itu ia memerlukan pakar keramik dan
arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah yaitu boleh, dengan
alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas samgat banyak, yang
kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar
produk yang ia cari sesuai denagn keperluannya, maka khiyar
18
ta‟yin diperbolehkan. Akan tetapi, Jumhur ulama fiqh tidak menerima
keabsahan khiyar ta‟yin yang dikemukakan ulama Hanafiyah ini. Alasan
mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang
diperdagangkan (al-sil‟ah) harus jelas, baik kualitasnya, maupun
kualitasnya. Dalam persoalan khiyar ta‟yin, menurut mereka, kelihatan
bahwa identitas barang yang akan dibeli belum jelas. Oleh karena itu, ia
termasuk ke dalam jual beli al-ma‟dum (tidak jelas identitasnya) Yang
dilarang syara‟.19

Ulama Hanafiyah membolehkan khiyar ta‟yin mengemukakan tiga syarat


untuk sahnya khiyar ini, yaitu:

a. Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kulaitas dan sifatnya.

b. Barang itu berbeda sifat dan lainnya.

c. Tenggang waktu untuk khiyar ta‟yin itu harus ditentukan, yaitu menurut imam
Abu Hanifah tidak boleh leih dari tiga hari.20 Khiyar ta‟yin menurut ulama
Hanafiyah, hamya berlaku dalam transaksi yang bersifat pemindahan hak milik
yang berupa materi dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.

18
Nasrun Haroen, Op. cit., hlm. 132.
19
Lihat Wahbah al-Zuhaily, Op. cit., jilid V,hlm. 3523.
20
Ibid., hlm. 3523-3524.

11
Hikmah khiyar antara lain sebagai berikut:

1. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip


islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.

2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli,


sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar
disukainya.

3. Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan


mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.

4. Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli,
karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.

5. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama.
Adapun ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya akan berakibat dengan
penyesalan, dan penyesalan di salah satu pihak biasanya dapat mengarah kepada
kemarahan, kedengkian, dendam, dan akibat buruk lainnya.

D. Macam-macam jual beli

Dalam fikih islam dikenal berbagai macam jual beli. Dari sisi objek yang
diperjualbelikan jual beli dibagi tiga, yaitu:

a. Jual beli mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang

b. Jual beli sharf, yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang dengan
mata uang lain

c. Jual beli muqyyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang
dengan barang (barter), atau pertukaran antara barang dengan barang yang dinilai
dengan valuta asing (counter trade).

Dari sisi cara menetapkan harga jual beli dibagi 4, yaitu:

12
a. Jual beli musawamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika penjual tidak
memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatkannya

b. Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan modal jualnya
(harga perolehan barang).

Jual beli amanah ada tiga, yaitu:

1) Jual beli murabahah, yaitu jual beli ketika penjual menyebutkan harga
pembelian barang (termasuk biaya perolehan) dan keuntungan yang diinginkan

2) Jual beli muwadha‟ah (discount), yaitu jual beli dengan harga dibawah modal
dengan jumlah kerugian yang diketahui, untuk penjualan barang atau aktiva yang
nilai bukunya sudah sangat rendah

3) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan harga modal tanpa keuntungan dan
kerugian.

c. Jual beli dengan harga tangguh, bai‟ bitsaman ajil, yaitu jual beli dengan
penetapan harga yang akan dibayar kemudian. Harga tanguh ini boleh lebih tinggi
dari pada harga tunai dan bisa dicicil (concern pada cara penetapan harga, bukan
pada cara pembayaran)

d. Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari penjual dan
para pembeli berlomba menawar, lalu penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli.
Kebalikannya, disebut jual beli munaqadhah, yaitu jual beli dengan penawaran
pembeli untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan para penjual
berlomba menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan membeli dan
penjual yang menawarkan harga termurah.

13
Dari sisi cara pembayaran, jual beli dibagi empat, yaitu:

a. Jual beli tunai dengan penyerahan barang dan pembayaran langsung

b. Jual beli dengan pembayaran tertunda, bai‟ muajjal (deferred payment), yaitu
jual beli dengan penyerahan barang secara langsung (tunai), tetapi pembayaran
dilakukan kemudian dan bisa dicicil

c. Jual beli dengan pembayaran tertunda (deferred delivery), yang meliputi:

1) Bai‟ as salam, yaitu jual beli yang ketika pembeli membayar tunai dimuka atas
barang yang dipesan (biasanya produk pertanian) dengan spesifikasinya yang akan
diserahkan demudian

2) Bai‟ al istishna, yaitu jual beli dimana pembeli membayar tunai atau bertahap
atas barang yang dipesan (biasanya produk manufaktur) dengan spesifikasinya
yang harus diproduksi dan diserahkan kemudian

d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.21

21
Adiwarman Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah
Analisis Fikih & Ekonomi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 77-78

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
 Pengertian Akad Menurut bahasa, akad adalah Ar-rabbth (ikatan),

sedangkan menurut istilah akad memiliki dua makna yaitu makna khusus
dan makna umum. Makna khusus akad adalah ijab dan qabul yang
melahirkan hak dan tanggungjawab terhadap objek akad (ma'qud
'alaih). Sedang makna umum akad adalah setiap perilaku yang melahirkan
hak, atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu
bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak. Hanafiyah lebih memilih
makna khusus, sedang Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah memilih
makna umum.
 Jual beli batil dan fasid
Akad batil adalah akad yang salah satu rukunnya tidak terpenuhi.Atau
objek akad tidak bisa diserah terima, seperti akad jual beli yang dilakukan
orang gila atau jual beli narkoba.
Akad fasid adalah akad yang secara asal disyariatkan, tetapi terdapat
masalah atas sifat akad tersebut. Seperti jual beli majhul (barang tidak
dispesifikan secara jelas) yang dapat mendatangkan perselisihan.
 Pengertian Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Arab. berarti pilihan Pembahasan al-
Khiyar dikemukakan oleh para ulama fiqh dalam permasalahan yang
menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi,
sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi
(akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
 Macam-macam jual beli Dalam fikih islam dikenal berbagai macam jual
beli. Dari sisi objek yang diperjualbelikan jual beli dibagi tiga, yaitu:
a. Jual beli mutlaqah b. Jual beli sharf c. Jual beli muqyyadah

15
B. Saran

Demikian makalah yang saya susun, semoga apa yang kita rumuskan, kita
pelajari mendapatkan anugrah dan inayah dari Allah serta bermanfaat bagi kita
semua. Dengan semangat belajar yang tinggi pula insyaallah dapat menegakkan
tiang agama dan mendapatkan tempat yang mulia kelak di hari akhir amin ya
robbal alamin. Saya selaku pemakalah mohon maaf apabila banyak kesalahan
dalam penulisan makalah ini, juga minta saran dan masukan kepada bapak dosen
serta teman-teman untuk berbaikan makalah selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar
al-Taqwa, 2003)

Adiwarman Karim Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah


Ekonomi Syariah Analisis Fikih & Ekonomi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015

Amir Syarifuddin, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Pranada Media, 2003)

Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Jogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2008,

M. Abdul Mujieb (et. al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1994), cet ke-1,

Nasrun haroen, Op. cit.,

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid III

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr


al-Mu‟ashir, 2005), jilid V, cet. Ke-8

17

You might also like