You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Membahas tentang hukum syara’, maka tidak akan terlepas
dari al-hakim (pembuat hukum), mahkum fih (perbuatan yang
dibedakan), dan mahkum ‘alaih (pelaksana hukum).
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-
hari tidak dapat terlepas dari aturan dan norma-norma yang berlaku
menurut hukum syara’.
Hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan
dan kebolehan yang dinamakan “hukum taklifi” dan yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
persyaratan, sebab atau mani’ dinamakan “hukum wadh’iy”.

2. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa pengertian Hukum Wadh’iy?
2. Apa saja macam-macam Hukum Wadh’iy?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Wadh’iy.
2. Untuk mengetahui macam-macam Hukum Wadh’iy.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Wadh’iy

Hukum wadh’iy ialah firman Allah (titah) yang berbentuk ketentuan


yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau halangan dari suatu ketetapan
hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’iy sangat erat
kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk sebab sehingga
melahirkan suatu musabbab suatu hukum taklifi atau dalam bentuk hukum
syarat sehingga di mungkinkan berlakunya masyruth suatu hukum taklifi
ataupun dalam bentuk halangan (mani’). Hukum wadh’iy terkadang objek
berada dalam keadaan mukallaf kadang juga tidak.

B. Macam-Macam Hukum Wadh’iy

Para ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’iy itu ada lima
macam, yaitu:

1. Sebab

a. Pengertian Sebab

Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat


menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda
atas musababnya dan dan mengkaitkan keberadaan musabab,
dengan ketiadaannya. Hukum syara’ kadang-kadang diketahui
melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi
kewajiban mukallaf.

Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai


hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab

2
wajibnya shalat dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi
sebab wajibnya shalat maghrib. Apabila perzinaan tidak
dilakukan, maak hukuman dera tidak dikenakan. Apabila
matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur belum waajib.
Dan apabila matahari belum tergelincir, maka shalat maghrib
belum wajib.

b. Pembagian Sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu:
1) Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
2) Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.

2. Syarat

a. Pengertian Syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi
keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila
syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara’.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya sholat.
Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebih dahulu.
Akan tetapi apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus
melaksanakan sholat.
b. Pembagian Syarat
Ditinjau dari segi penetapannya sebagai hukum syara’, syarat
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1) Syarat Asy-Syar’iyyah
Syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan
efeknya yang timbul padanya yang ditentukan oleh syara’.
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan
efeknya yang timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf.

3
3. Mani’

a. Pengertian Mani’
Menurut bahasa mani’ berarti “penghalang”. Sedangkan
secara istilah ialah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i
keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab,
maksudnya batalnya sebab itu.
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan
kekerabatannya menyebabkan timbulnya kewarisan (waris-
mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan
bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai
dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini bisa
terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau
ayah tersebut.
b. Pembagian Mani’
Mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan hukum menjadi
dua macam:
1) Mani’ yang menghalangi adanya hukum
2) Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
c. Kaitan antara Sebab, Syarat dan Mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa
antara sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling
terkait. Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan
berakibat tidak adanya hukum disebabkan keberadaan mani’.
Misalnya: matahari telah tergelincir sebagai penyebab
disebabkannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib
berwudlu sebagai syarat sah shalat. Tetapi, jika wanita yang akan
shalat itu sedang haid yang menjadi penghalang (mani’) maka
hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadaan haid
tidak boleh melaksanakan shalat.

4. Ash-Shihah, Al-Bathl dan Al-Fasad

4
a. Pengertian Ash-Shihah, Al-Bathl dan Al-Fasad
1) Ash-Shihah
Ash-shihah secara bahasa adalah sah. Secara istilah
adalah sesuatu perbuatan apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya,
serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan itu
berhasil dicapai.
Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan
memenuhi rukun, syarat, dan sebab, serta orang yang
shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila
shalat dhuhur akan dilaksanakan, sebab wajibnya shalat
itu telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang
akan shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’
dalam mengerjakan shalat tersebut maka shalat yang
dikerjakan tersebut sah.
2) Al-Bathl
Al-bathl secara bahasa adalah al-buthlan yang berarti
rusak dan gugur hukumnya. Secara istilah tindakan
hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang
dikehendaki syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama
sekali (tidak tercapai).Misalnya suatu perbuatan tidak
memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu
perbuatan dilaksanakan ketika ada mani’. Perbuatan
seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl).
Misalnya: dalam persoalan ibadah yaitu orang yang
melaksanakan ibadah shalat harus memenuhi rukun dan
syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal.
3) Al-Fasad

5
Al-fasad secara bahasa berarti perubahan sesuatu dari
keadaan yang semestinya (sehat) atau dalam bahasa
Indonesia berarti rusak. Dalam pengetian terminologi
menurut jumhur ulama bahwa antara batal dan fasad
mengandung esensi yang sama, yang berakibat kepada
tidak sahnya perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan
tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak ada sebabnya,
atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka
perbuatan itu disebut fasad atau batal.
Misalnya: melakukan jula beli ketika panggilan shalat
jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at sama-
sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi, jual beli itu
dilaksanakan pada waktu yang sifatnya terlarang untuk
melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau
rusak.

5. ‘Azimah dan Rukhshah

‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah


kepada seluruh hambanya sejak semula. Maksudnya belum ada hukum
sebelum hukum itu disyariatkan oleh Allah.

Misalnya: jumlah shalat dhuhur adalah empat rakaat. Jumlah


rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, dimana tidak ada hukum lain
yang menetapkan jumlah rakaat shalat dhuhur. Hukum tentang shalat
dhuhur tersebut adalah empat rakaat disebut dengan ‘azimah.

Adapun yang dimaksud rukhshah ialah hukum-hukum yang


disyariatkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan tertentu.
Adapun contohnya yaitu:

a. Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan


syari’at yang umum diharamkan, karena darurat atau kebutuhan.
Contohnya, boleh memakan daging babi jika dalam keadaan

6
darurat, dimana tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak
dimakan maka jiwa seseorang akan terancam.
b. Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut aturan syari’at
yang umum diwajibkan, karena kesulitan melakukannya.
Contohnya, barangsiapa dalam keadaan sakit atau berpergian
pada bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk berbuka
puasa.

7
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa:
Hukum wadh’iy adalah hukum yang bertujuan menjadikan
sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau
penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari
hukum wadh’iy ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, ash-shihah, al-
buthlan dan al-fasad, ‘azimah dan rukhshah.
a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda
atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan
ketiadaannya.
b. Syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi
keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya.
c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya
menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya
batalnya sebab itu.
d. Ash-shihah adalah tercapainya sesuatu yang diharapkan secara
syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak
ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu,
sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasd
adalah perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).
e. ‘azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah
kepada seluruh hambanya seja semula, sedangkan rukshah
adalah keringanan melakukan sesuatu dalam keadaan tertentu.
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang
harus kita harus mengetahui dalil hukum yang harus kita lakukan
dan menjadi pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak
menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh syara’.

8
DAFTAR PUSTAKA

A Syafe’i Karim,1997,Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia


Nasrun Haroen,1996,Ushul Fiqh I, Jakarta: Pustaka Setia
Wahhab Kallaf,Abdul,1994,Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina
Utama
Rachmat Syafe’i ,2010,Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia
Abd. Rahman Dahlan.2011,Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH

You might also like