Professional Documents
Culture Documents
WEGSERVRT
WEGSERVRT
Hirschsprung Disease
Disusun oleh:
Michelle Olivia Budiarta
Pembimbing:
dr V. F. Yohari Listia. A
dr. Sudjatmoko
Narasumber:
Dr Josef Setia Budi, Sp.A
1
IDENTITAS PASIEN
Nama : By AH
No Rekam Medis : 545165
Alamat : Ngemplik Wetan, Karanganyar, Demak
Tanggal lahir : 7-4-2020 (usia 4 hari)
Status : Belum menikah
Pekerjaan :-
Pendidikan terakhir :-
Agama : Islam
Masuk IGD : 11/4/2020 pukul 8.10
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien datang belum BAB sejak lahir
2
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit dengan gejala yang sama dalam keluarga disangkal
- Riwayat penyakit alergi, asma, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis
disangkal
5. Riwayat Makanan
Susu : ASI
Frekuensi / Hari : menyusu setiap 3-4 jam selama < 5 menit
Nafsu makan : tidak baik
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 April 2020 pukul 22.00 di Peristi
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit berat
Kesadaran: compos mentis, GCS: E 4 M 6 V 5 = 15
2. Tanda-tanda vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 122 x/ menit, irama ireguler, isi dan tegangan cukup, kuat angkat
Frekuensi nafas : 42 x /menit
Suhu : 36,60C
Saturasi : 95%
3
4. Pemeriksaan Fisik
Kulit : Warna putih, hiperpigmentasi (-), turgor kulit cukup, sianosis (-), ikterik (-),
mottled skin (-)
Kepala : Normocephali, ubun-ubun tidak cekung, tidak teraba benjolan maupun lesi
Mata : Edem palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor
Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-), serumen (-/-)
Hidung : Septum tidak deviasi, pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : simetris, bibir sianosis (-), bibir kering (-), pucat (-) , perdarahan gusi (-),
atrofi papil lidah (-), coated tongue (-), purse lips breathing (-), hiperplasia
ginggiva (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar thyroid (-)
Thorax :Bentuk normo chest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Cor
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis teraba di sela iga V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Tidak didapatkan pelebaran batas jantung
Auskultasi :Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Pergerakan dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan wheezing (-/-), ronkhi
basah kasar (-/-), ronkhi basah halus (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (lingkar perut 37 cm), perubahan warna kulit abdomen (-),
scar (-), striae (-), pelebaran vaskularisasi (-)
Auskultasi : bising usus 0
Perkusi : hipertimpani (+), undulasi (-),shifting dullness (-)
Palpasi : tegang, hepar dan lien tidak dapat dipalpasi
4
Anus : paten, posisi normal, terpasang rectal tube
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-/-/-, CRT < 2 detik
Refleks primitif : rooting reflex (+), grasp reflex (+), tonic neck reflex(+)
DIAGNOSA
Diagnosa Kerja: Suspek Ileus
PENATAKSANAAN
IGD 11/4/2020, pukul 8.20 (advis dr Josef SB, SpA)
IVFD D5 ¼ NS 10 tpm mikro
Meropenem 3x125 mg IV
O2 Nasal Canule 1 liter/menit
PO tunda
Foto babygram
Cek CBC, GDS
Kesimpulan:
Suspek kardiomegali
Pulmo aspek tenang
Gambaran meteorismus dd/ subileus, NEC
5
Hasil laboratorium
Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 20.9 g/dl 15-24.6 g/dl
Leukosit 14.50 10^3/ul 5-21 10^3/ul
MCV 97 fL 94-150 fL
MCH 35 pg 29-45 pg
MCHC 36 g/dL 24-36 g/dL
Hematokrit 58.4 % 42-65 %
Trombosit 230 10^3/ul 229-553 10^3/ul
Eritrosit 6 10^6/ul 4-6.8 10^3/ul
RDW 18.9% 11.5-14.5 %
PDW 12.9 fL 10-18 fL
MPV 11.3 fL 6.8-10 fL
KIMIA
GDS 152 75-110
6
CATATAN KEMAJUAN PASIEN
1) 12 April 2020
S :-
O : KU perbaikan GCS 14 (E4M5V5)
Tanda Vital :
- Nadi : 130x/menit
- Laju nafas : 60x/menit
- Suhu : 37 oC aksiler
- SaO2 : 98%
Antropometri :
- BB : 3390 gr (turun 110 gr dari BBL / 3,14% dari BBL)
Balans cairan :
INPUT OUTPUT
Infus/ inj Minum Infus/ inj BAK BAB IWL
130,4 45 130,4 60 5x 67,1
175,4 185,9
BALANS -10,5
7
Tampak kolon terisi kontras dari rectosigmoid sampai kolon asendens
Tanpak caliber rectum relatif menyempit dengna caliber sigmoid relative
membesar disertai zona transisi rektosigmoid
Fisura dan haustra baik
Kesan :
Megakolon “short segment” (rectosigmoid)
2) 13 April 2020
S :-
O : KU perbaikan, GCS 15 (E4M6V5)
Tanda Vital :
- Nadi : 134x/menit
- Laju nafas : 52x/menit
- Suhu : 36,8oC aksiler
- SaO2 : 97%
Antropometri :
- BB : 3380 gr (turun 120 gr dari BBL / 3,42% dari BBL)
Input : minum susu 200 cc
Output : BAK (+), BAB 5x, muntah (-)
8
Kulit : sianosis (-), ikterik (-)
Mata : Sclera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung(-/-)
Jantung : BJ I-II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Paru : pola nafas baik, suara dasar vesikular (+/+),ronkhi (-/-),wheezing (-/-)
Abdomen : Distensi perbaikan (LP 32cm) , supel, BU (+)
Ekstremitas: Akral hangat, turgor kulit baik
A : Hirschsprung disease segmen pendek
P : Terapi lanjut
Advis opsi terapi dr Hadi, SpB : 1. Sigmoidostomy, kemudian operasi Duhamel
pada usia ± 1 tahun
2. Wash out sampai usia 1 bulan, kemudian one
stage transanal pull through
3) 14 April 2020
S :-
O : KU lemah, GCS 15 (E4M6V5)
Tanda Vital :
- Nadi : 133x/menit
- Laju nafas : 56x/menit
- Suhu : 36,5oC aksiler
- SaO2 : 97%
Antropometri :
- BB : 3750 gr (naik 250 gr dari BBL)
Input : minum susu 280 cc
Output : BAK (+), BAB 4x, muntah (-)
Kulit : sianosis (-), ikterik (-)
Mata : Sclera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung(-/-)
Jantung : BJ I-II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Paru : pola nafas baik, suara dasar vesikular (+/+),ronkhi (-/-),wheezing (-/-)
Abdomen : Distensi (-), supel, BU (+)
Ekstremitas: Akral hangat, turgor kulit baik
A : Hirschsprung disease segmen pendek
P : O2 ½ lpm via NK
Colon in loop aff
9
Infus aff
Dexamethason 1 amp
4) 15 April 2020
S :-
O : KU lemah, GCS 15 (E4M6V5)
Tanda Vital :
- Nadi : 128x/menit
- Laju nafas : 56x/menit
- Suhu : 36,8oC aksiler
- SaO2 : 97%
Antropometri :
- BB : 3500 gr
Input : minum susu 250 cc
Output : BAK (+), BAB 4x, muntah (-)
Kulit : sianosis (-), ikterik (+) Krammer 3
Mata : Sclera ikterik (+), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung(-/-)
Jantung : BJ I-II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Paru : pola nafas baik, suara dasar vesikular (+/+),ronkhi (-/-),wheezing (-/-)
Abdomen : Distensi (-), supel, BU (+)
Ekstremitas: Akral hangat, turgor kulit baik
Pemeriksaan Penunjang
Bilirubin total : 17,33
Bilirubin indirek : 16,6
A : Hirschsprung disease segmen pendek
Neonatal jaundice
P : aff nasal kanul
Fototerapi 2x6 jam
5) 16 April 2020
S :-
O : KU lemah, GCS 15 (E4M6V5)
Tanda Vital :
- Nadi : 128x/menit
10
- Laju nafas : 56x/menit
- Suhu : 36,8oC aksiler
- SaO2 : 97%
Antropometri :
- BB : 3650 gr (naik 150 gr dari BBL)
Kulit : sianosis (-), ikterik (+) Krammer 3
Mata : Sclera ikterik (+), konjungtiva anemis (-/-), mata cekung(-/-)
Jantung : BJ I-II regular murni, gallop (-), murmur (-)
Paru : pola nafas baik, suara dasar vesikular (+/+),ronkhi (-/-),wheezing (-/-)
Abdomen : Distensi (-), supel, BU (+)
Ekstremitas: Akral hangat, turgor kulit baik
A : Hirschsprung disease segmen pendek
Neonatal jaundice
P : Boleh pulang
Obat pulang : Cefadroxil pulv 3x 500/9 mg selama 6 hari
Nelaton cath no 20
Gliserin
Prognosis:
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad fungsionam : dubia ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad malam
11
Tinjauan Pustaka
Patologi1
HD diakibatkan oleh tidak ditemukannya sel ganglion di dinding usus. Hal ini
disebabkan oleh kegagalan migrasi neuroblas dari proksimal hingga distal usus sehingga
terjadi hipertonus pada usus yang terkena. Penyebab terjadinya kegagalan migrasi neuroblas
ini diduga akibat defek genetik pada RET protoonkogen pada kromosom 10q11.2. Hal ini
12
dibuktikan dengan ditemukan abnormalitas kromosom pada 12% penderita HD. Oleh karena
itu penyakit ini diduga dapat diturunkan secara familial, terutama pada kelainan
aganglionosis kolon total.
Manifestasi Klinis1,2
Manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi tergantung tingkat keparahan
kondisinya. Pada umumnya penyakit ini didiagnosa pada usia neonatus, namun dapat juga
baru ditemukan setelah beberapa hari, atau bahkan beberapa tahun berupa konstipasi kronik.
Pada neonatus cukup bulan yang gagal mengeluarkan mekoneum dalam 48 jam
pertama kehidupan harus dicurigai mengalami HD. Hal ini mengakibatkan dilatasi usus dan
distensi abdomen. Manifestasi klinis lainnya berupa muntah hijau dan susah menyusu.
Kondisi stasis dapat mengakibatkan proliferasi bakteri sehingga dapat terjadi enterokolitis.
Bakteri yang berperan adalah Clostridium difficile, Staphylococcus aureus, bakteri anaerob,
dan koliform. Enterokolitis dapat menimbulkan inflamasi dan iskemi pada kolon sehingga
berisiko mengalami perforasi dan sepsis. Oleh karenanya diagnosis awal HD sebelum
terjadinya enterocolitis sangat penting.
Setelah melewati usia neonatus, gejala lebih bersifat kronik. Pada bayi, gejala obstipasi
dan diare dapat muncul bergantian disertai dengan makan yang susah dan peningkatan berat
badan yang buruk. Pada anak yang lebih besar, gejala yang paling umum ditemukan adalah
konstipasi dengan onset sejak bayi yang tidak berespon baik terhadap medikasi. Feses dapat
sangat bau dengan bentuk seperti benang, kecil-kecil seperti pellet, atau cair. Retensi feses ini
mengakibatkan distensi abdomen, teraba massa fekal di abdomen bagian kiri bawah, dan
dapat disertai vena yang prominen. Retensi feses juga dapat mengakibatkan retensi urin
akibat kompresi ke traktus urinarius dan impaksi feses berulang. Anak dengan HD berisiko
mengalami anemia hipokrom, hipoproteinemia, dan gagal tumbuh.
Pemeriksaan colok dubur didapatkan anus yang sempit namun masih bisa dilalui jari,
dan didapatkan rectum yang kosong, kemudian setelah jari dikeluarkan, keluar feses secara
eksplosif disertai flatus yang sangat bau. Hal ini terutama didapatkan pada kelainan segmen
pendek. Tes manometri anorektal dapat dilakukan pada anak yang lebih besar dengan cara
memompa balon di dalam rektum. Dalam kondisi normal, sfingter internal akan relaksasi
sebagai respons terhadap distensi rektum, namun pada penderita HD sfingter interna gagal
relaksasi.
13
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosa HD adalah dengan rectal suction biopsy.
Materi biopsi berupa lapisan submucosa yang diambil 1,5 cm di atas linea dentate karena
rektum bagian distal tidak memiliki sel ganglion. Spesimen kemudian diwarnai dengan
pewarna asetilkolinesterase. Diagnosa dapat ditegakkan jika ditemukan hipertrofi bundle
saraf dan tidak ditemukannya sel ganglion. Pewarnaan calretinin dapat dilakukan jika
pewarnaan asetilkolinesterase tidak memberikan visual yang jelas. 1,2
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat memperlihatkan dilatasi proksimal kolon dan
tidak ditemukannya gas pada kolon di pelvis. Foto abdomen dengan kontras barium berguna
untuk mengevaluasi seberapa panjang kelainan dan untuk mengeliminasi penyakit obstruksi
intestinal lainnya. Pada pemeriksaan barium enema tidak perlu didahului dengan preparasi
untuk mencegah dilatasi transien pada usus tanpa ganglion. Diagnosa dapat ditegakkan
dengan ditemukannya zona transisi yang sempit antara kolon yang dilatasi dan segmen
aganglionosis. Pemeriksaan ini memiliki kelemahan pada bayi usia kurang dari 1 minggu
yang belum mengalami dilatasi usus secara signifikan, dilatasi yang signifikan didapati pada
bayi usia 1 bulan. Jika tidak ditemukan zona transisi, dapat dilakukan perbandingan diameter
rektum dan kolon sigmoid, jika diameter rektum sama dengan atau lebih kecil dari kolon
sigmoid, diagnosis dapat ditegakkan. Jika hasil barium enema normal namun secara klinis
mendukung, dapat dilakukan foto barium berulang dalam 24 jam (24 hour delayed films).
Retensi barium dalam 24-48 jam dapat berarti diagnosis HD atau konstipasi. 1,2
14
Gambar 2. HD aganglionosis kolon total. Foto
abdomen 20 jam pasca masuk kontras,
Didapatkan retensi kontras secara signifikan,
penyempitan seluruh segmen kolon, dan dilatasi
usus halus (anak panah hitam).3
Diagnosis Banding
1. Neonatus1,4,5
Distensi abdomen timpanik pada neonatus dapat bersifat fisiologis atau patologis.
Neonatus sehat terkadang mengalami distensi ringan akibat menelan udara saat minum
susu atau menangis. Kondisi patologis disebabkan oleh ileus paralitik atau ileus
obstruksi. Ileus paralitik ditandai dengan distensi abdomen yang tidak nyeri dan
penurunan bising usus. Keadaan ini dapat disebabkan oleh sepsis, pneumonia, birth
asphyxia, hipotiroid, gangguan keseimbangan elektrolit, atau necrotizing enterocolitis
(NEC).
Sebanyak 15-20% kasus obstruksi saluran cerna pada neonatus adalah HD. Gejala
obstruksi saluran cerna berupa muntah, distensi abdoment timpanik, peningkatan bising
usus, terlambat keluar mekonium, dan anus abnormal. Ketika pasien datang dengan
tanda-tanda obstruksi saluran cerna, pemasangan NGT dilakukan untuk terapetik
(dekompresi abdomen) dan untuk mengeliminasi kelainan esofagus. Kemudian
dilakukan foto polos abdomen untuk menentukkan tingkat obstruksi. Berikut algoritma
diagnosis banding obstruksi saluran cerna neonatus.
16
neurologis abnormal. Berikut adalah algoritma diagnosis banding konstipasi pada bayi
dan anak.
Konstipasi
normal konstipasi
fungsional
Variabel FUNGSIONAL HD
Anamnesa
Onset konstipasi Setelah usia 2 tahun Sejak lahir
Enkopresis Sering Sangat jarang
Mungkin
17
Gagal tumbuh Jarang
Enterokolitis Tidak Mungkin
Pemeriksaan Fisik
Distensi abdomen Jarang Sering
Peningkatan BB kurang Jarang Sering
Rektum Feses (+) Feses (-)
Malnutrisi Tidak mungkin
Pemeriksaan penunjang
Manometri anorektal Relaksasi sfingter interna Sfingter interna gagal relaksasi
Biopsi rektum Normal Aganglionosis
Barium enema Zona transisi (-) Zona transisi (+)
Setelah mengeksklusi kemungkinan konstipasi fungsional, pada bayi usia < 6 bulan
besar kemungkinan adanya HD, namun pada anak yang lebih besar kemungkinan adanya
HD kecil. Pada anak yang lebih besar perlu dipertimbangkan adanya gangguan sistemik
sebagai penyebab konstipasi kronik. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah percobaan
mengganti susu sapi untuk mengeksklusi kemungkinan intoleransi susu sapi.
Penatalaksanaan
Setelah diagnosa dapat ditegakkan, terapi definitif untuk HD adalah operasi, namun
tidak semua pasien bisa langsung dioperasi. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah
seberapa luas usus yang mengalami gangguan, usia dan kondisi kesehatan pasien, tingkat
toleransi terhadap prosedur operasi dan obat-obat anestesi, serta prognosis terapi. Pada kasus
yang ringan, operasi definitif dapat ditunda hingga usia bayi lebih besar, bayi dapat pulang
dari rumah sakit jika kondisi baik dan irigasi rektal dapat dilakukan di rumah untuk evakuasi
feses.
Jika pasien mengalami enterokolitis, prioritas utama adalah pemberian antibiotik
sehingga operasi akan ditunda. Pada pasien yang mengalami distensi perut dan/atau muntah
perlu dilakukan dekompresi dengan pemasangan NGT dan irigasi rektal. Irigasi rektal
dilakukan beberapa kali sehari. Antibiotik yang direkomendasikan adalah metronidazole, atau
18
antibiotik spektrum luas pada kondisi yang lebih berat. Enterokolitis dapat terjadi sebelum
operasi, segera setelah operasi, atau sampai 10 tahun setelah operasi.
Prinsip operasi pada pasien HD adalah menghindari prosedur berulang dan
mempertahankan sebanyak mungkin usus yang sehat. Tatalaksana yang terdahulu adalah
dengan melakukan ostomi sementara sambil menunggu pasien lebih besar kemudian
dilakukan prosedur pull through. Berdasarkan penelitian terbaru, bayi dengan HD ringan,,
operasi dapat ditunda tanpa pemasangan ostomi. Pasien dapat dipulangkan dengan irigasi
kolon rutin di rumah. Bayi dengan HD yang berat dapat langsung dilakukan prosedur pull
through tanpa pemasangan ostomi terlebih dahulu, kecuali ada kontraindikasi. Setelah
operasi, hasil yang diharapkan adalah pasien dapat defekasi secara normal. Berikut adalah
operasi yang dapat dilakukan.
1. Stoma
Pemasangan stoma sementara dilakukan pada pasien dengan enterokolitis berat,
perforasi, malnutrisi, dan pada kasus segmen panjang atau aganglionosis kolon total.
Pada kasus segmen panjang atau aganglionosis total, usus yang berfungsi baik sedikit
sehingga anak tidak mendapat nutrisi yang cukup untuk bertumbuh sehingga
diperlukan total parenteral nutrition. Stoma akan dipasang pada area yang memiliki
sel ganglion. Pada anak yang lebih besar, dapat ditemukan dilatasi kolon yang luas.
Pada kasus ini, bagian yang mengalami dilatasi akan dibuang, kemudian identifikasi
area yang masih memiliki sel ganglion dan dipasangkan stoma. Stoma ini berfungsi
untuk dekompresi usus, setelah usus mengalami dekompresi, akan direncanakan
operasi pull-through.
2. Prosedur pull-through
Prosedur ini merupakan terapi definitif untuk HD yang bertujuan mengangkat
segmen usus yang mengalami aganglionosis kemudian menyambung bagian yang
sehat dengan anus. Teknik operasi ini ada tiga, yaitu teknik Soave, Swenson, dan
Duhamel.
Pada umumnya, setelah operasi pasien dapat pulih tanpa komplikasi. Pengawasan
pasien pasca operasi ditujukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang dapat muncul berupa
infeksi luka operasi, perdarahan, enterokolitis, dan obstruksi saluran cerna akibat adhesi atau
striktur. Operasi invasif minimal memiliki risiko yang kecil untuk mengalami komplikasi.
Pasca operasi, perawatan di rumah berupa:
1. Diet. Pasien tidak memerlukan diet khusus pasca operasi, namun beberapa literatur
menyarankan diet tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
19
2. Aktivitas. Pasien disarankan untuk menghindari aktivitas berat atau angkat beban
berat selama 1 minggu pasca operasi laparoskopi atau 4-6 minggu pasca operasi
laparotomi.
3. Perawatan luka. Pasien harus menjaga luka operasi agar selalu bersih dan kering
untuk menghindari infeksi.
4. Terapi farmakologis. Terapi farmakologis ditujukan untuk tatalaksana nyeri dan
pencegahan konstipasi. Obat nyeri dapat berupa asentaminofen, ibuprofen, atau
golongan narkotika jika diperlukan, namun perlu dipertimbangkan karena adanya efek
samping konstipasi. Obat laksatif, enema, atau pelunak defekasi juga dapat diberikan
agar pasien dapat defekasi secara teratur. Konstipasi dapat mengakibatkan
enterokolitis atau infeksi. Pasien juga dapat diberikan salep ruam bokong untuk
pencegahan iritasi bokong akibat inkontinesia defekasi atau defekasi yang sering
dengan konsistensi cair pada awal pasca operasi pasien.
Prognosis
Prognosis HD bervariasi tergantung banyaknya usus yang mengalami aganglionosis
dan luasnya reseksi yang dilakukan. Pada umumnya prognosis pasca operasi baik, prognosis
yang buruk didapatkan pada kelainan segmen panjang atau total, Down’s syndrome, dan
dengan penyerta gangguan neurologis lainnya. Pasien akan diminta untuk kontrol ke dokter
spesialis bedah anak selama 2-3 minggu. Follow up bertujuan untuk observasi luka operasi,
obstruksi saluran intestinal, dan enterokolitis. Pada pasien neonatus atau bayi, follow up dapat
dilakukan hingga pasien selesai toilet training untuk mengeliminasi adanya gejala obstruksi.
Pada umumnya pasien akan mengalami konstipasi dan atau enkopresis. Konstipasi
dapat terjadi ketika anak mengalami perubahan diet. Enkopresis dapat terjadi akibat
gangguan sfingter interna atau gangguan sensasi rektum. Tatalaksana yang dilakukan
berdasarkan penyebab. Pasien yang mengalami reseksi usus banyak akan mengalami
gangguan penyerapan nutrisi dan cairan sehingga pasien rentan mengalami gangguan tumbuh
kembang dan dehidrasi. Selain itu pada usia neonatus, pasien bisa mengalami ikterik. Hal ini
diakibatkan oleh meningkatnya sirkulasi enterohepatik.
Enterokolitis terjadi pada 17-50% pasien HD, umumnya terjadi akibat obstruksi
interstinal atau ruptur pada anostomosis. Enterokolitis umumnya dapat terjadi dalam kurun
waktu dua tahun pasca operasi, terutama pada kelainan segmen panjang dan anak dengan
Down’s syndrome. Enterokolitis dapat berakibat fatal sehingga pasien perlu dirawat inap.
20
Gejala enterokolitis berupa distensi abdomen, feses yang bau dan cair, letargis, anak tidak
mau makan, muntah, demam, hematochezia, atau syok.
Komplikasi obstruksi saluran cerna dapat berupa:
1. Obstruksi mekanik, berupa striktur atau twist pada lokasi pull through. Pada area
anostomosis dapat mengalami penyempitan akibat jaringan sikatriks, hal ini dapat
diperbaiki dengan dilatasi atau operasi jika diperlukan. Jika terjadi twist maka perlu
dilakukan operasi untuk koreksi.
2. Aganglionosis persisten. Hal ini dapat terjadi akibat operasi pada lokasi usus yang
tidak memiliki sel ganglion, dibuktikan dengan biopsi; atau akibat penurunan aliran
darah dan reaksi inflamasi pada lokasi anostomosis sehingga terjadi kematian sel saraf
di lokasi anostomosis.
3. Gangguan motilitas usus. Pasien dengan HD berisiko mengalami diskoordinasi
gerakan peristaltik usus walaupun tidak ada obstruksi dan ganglion sel normal pada
usus pasca operasi pull through. Pasien dapat dirujuk ke konsultan gastroenterologi.
4. Achalasia sfinter interna atau HD segmen sangat pendek (ultrashort-segment).
Aganglionosis pada kondisi ini hanya terbatas di sfinter interna dengan gejala seperti
konstipasi fungsional. Hal ini ditandai dengan biopsi yang normal namun hasil
manometri anorektal tidak normal. Terapi kondisi ini adalah injeksi botulisme pada
sfingter (kontroversial) atau myectomi anorektal.
5. Megakolon fungsional, akibat perilaku menahan defekasi. Pasca operasi, anak
mengalami nyeri saat defekasi sehingga menimbulkan perilaku untuk menahan
defekasi. Selain itu pada anak yang mengalami konstipasi dapat mengalami nyeri saat
berusaha mengeluarkan feses yang keras.
Daftar Pustaka
1. Nelson WE, Kliegman R, St Geme JW, Behrman RE, Tasker RC, Shah SS, et al. Nelson
textbook of pediatrics. Vol. 1 Vol. 1. Philadelphia: Elsevier; 2020.
5. Stern SDC, Cifu AS, Altkorn D. Symptom to diagnosis an evidence-based guide. New
York: McGraw-Hill Medical; 2014.
21
6. Nurko S, Zimmerman LA. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and
Children: Recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006
Sep;43(3):e1–13.
22