You are on page 1of 27

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

MASALAH KEPERAWATAN PADA PADA PASIEN GANGGUAN


KEBUTUHAN AKTIVITAS PATOLOGIS SYSTEM PERSARAFAN

“TRAUMA MEDULLA SPINALIS”

DISUSUN OLEH:

Ricka marliana (P032014401074)

PRODI DIII KEPERAWATAN TINGKAT II B

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN RIAU

Jl. Melur No.103, Harjosari, Kec. Sukajadi, Kota Pekanbaru, Riau 28156

TAHUN PELAJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya
kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-


Nya, sehingga makalah “Trauma Medulla Spinalis”dapat diselesaikan. Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah KMB 2. Penulis berharap makalah
tentang teori perkembangan dasar individu ini dapat menjadi referensi bagi
pembaca.

Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena


kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca
agar makalah ini dapat lebih baik. Aapabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis mohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pekanbaru,17 Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah...................................................................................2
1.4 Manfaat Makalah.................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................3
2.1 Konsep Dasar ......................................................................................3
2.1.1 Definisi ..........................................................................................3
2.1.2 Etiologi...........................................................................................3
2.1.3 Manifestasi Klinis...........................................................................7
2.1.4 Patofisiologi....................................................................................8
2.1.5 Patoflowdiagram..........................................................................11
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang................................................................12
2.1.7 Penatalaksanaan medis.................................................................13
2.1.8 Komplikasi...................................................................................14
2.1.9 Pencegahan...................................................................................15
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan............................................................15
2.2.1 Pengkajian....................................................................................15
2.2.2Diagnosa Keperawatan......................................................................19
2.2.3Intervensi Keperawatan.....................................................................20
2.2.4 Implementasi Keperawatan..............................................................29
2.2.5Evaluasi Keperawatan.......................................................................30
BAB III PENUTUP...................................................................................31
3.1. Kesimpulan........................................................................................31
3.2. Saran..................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu
mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih. Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap
negara,dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahunnya.
Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75% dari seluruh
cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor,
selain itu banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka
tembak. Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula
spinalis pada daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal
pertama. Vertebra ini adalah paling rentan karena ada rentang mobilitas yang
lebih besar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada usia 45-an fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan
dengan perubahan hormonal (menopause). Klien yang mengalami trauma
medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian
lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan
kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami
komplikasi trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal
napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat
merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif,
kuratif, danreh abilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat

3
terhindar dari masalah yang paling buruk.
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi trauma medulla spinalis
2. Etiologi trauma medulla spinalis
3. Manifestasi klinis trauma medulla spinalis
4. Patofisiologi trauma medulla spinalis
5. Patoflowdiagram trauma medulla spinalis
6. Pemeriksaan penunjang trauma medulla spinalis
7. Penatalaksanaan medis trauma medulla spinalis
8. Komplikasi trauma medulla spinalis
9. Pencegahan trauma medula spinalis
10. Konsep ASKEP trauma medulla spinalis
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui Definisi trauma medulla spinalis
2. Mengetahui Etiologi trauma medulla spinalis
3. Mengetahui Manifestasi klinis trauma medulla spinalis
4. Mengetahui Patofisiologi trauma medulla spinalis
5. Mengetahui Patoflowdiagram trauma medulla spinalis
6. Mengetahui Pemeriksaan penunjang trauma medulla spinalis
7. Mengetahui Penatalaksanaan medis trauma medulla spinalis
8. Mengetahui Komplikasi trauma medulla spinalis
9. Mengetahui Pencegahan trauma medula spinalis
10. Mengetahui Konsep ASKEP trauma medulla spinalis

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Trauma Medula Spinalis


2.1.1 Definisi Trauma Medulla Spinalis
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang
mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma
yang mengenai tulang belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya. Trauma pada tulang
belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu
ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang
belakang atau spinal kord. .Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal
pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan
apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,
sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. (Muttaqin, 2008).
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan
terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat
dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari
keadaan komplet atau inkomplet Trauma Medula Spinalis dapat
bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan
secara mendadak sampai yang menyebebkan transeksi lengkap dari
medula spinalis dengan quadriplegia (Fransisca B.Batticaca,2008 : 30).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner &
Suddarth, 2001). Trauma medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan
sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam
tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai : a. Komplet (kehilangan
sensasi dan fungsi motorik total) b. Tidak komplet (campuran kehilagan
sensori dan fungsi motorik) Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma
yang terjadi pada jaringan medulla spinalis yang dapat menyebabkan
fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebrata atau kerusakan
jaringan medulla spinalis lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada

5
sepanjang medulla spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada
tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang,
ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan
dapat menusuk ke kanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang
mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus. Cedera medula
spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf
yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan
yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali
mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau
duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia. Trauma tulang
belakang adalah cedera pada tulang belakang (biasanya mengenai
servikal dan lumbal) yang ditandai dengan memar, robeknya bagaian
pada tulang belakang akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna
spinalis. (ENA, 2000 ; 426) Cedera Medula spinalis adalah cedera yang
biasanya berupa fraktur atau cedera lain pada tulang vertebra, korda
spinalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis, dapat
terpotong, tertarik, terpilin atau tertekan. Kerusakan pada kolumna
vertaebralis atau korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda
spinalis dapat mengenai seluruh korda atau hanya separuhnya. Beberapa
yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti : a.
Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan pada ekstermitas dan
terjadi akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) keatas. Kerusakan
pada level akan merusak sistem syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis
misalnya adanya gangguan pernapasan. b. Komplit Quadriplegia adalah
gambaran dari hilangnya fungsi modula karena kerusakan diatas segmen
serfikal 6 (C6). c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi
neurologi karena kerusakan dibawah segmen serfikan 6 (C6). d.
Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yang terjadi
pada serfikal pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan
pernapasan. e. Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah,
terjadi akibat kerusakan pada segmen parakal 2 (T2) kebawah.

6
2.1.2 Etiologi 
Cedera Medula Spinalis disebapkan oleh trauma langsung yang
mengenai tulang belakang dimana trauma tersebut melampaui batas
kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf di dalamnya.
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan
terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang
belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan
struktur toraks.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan
kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari
jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan
apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari
jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
A. Etiologi cedera spinal adalah:
1. Cedera medula spinalis traumatic terjadi ketika benturan
fisik eksternal misalnya seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kendaraan bermotor,
terjatuh, kegiatan olah raga, luka tusuk atau luka tembak.,
yang berakibat merusak medula spinalis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika
kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal. seperti spondilitis
servikal dengan myelopati, myelitis, osteoporosis, tumor.
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera
medula spinalis adalah :
1) Kecelakaan dijalan raya (penyebab paling sering).
2) Olahraga
3) Menyelan pada air yang dangkal
4) Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan

7
5) Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
6) Kejatuhan benda keras
7) Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi
patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya
tulang. (Harsono, 2000).
8) Luka tembak atau luka tikam
9) Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
10) Infeksi
11) Osteoporosis

2.1.3 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan
yang terjadi. Kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran
berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat
kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan
mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang
berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6
minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid,
anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan
kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya
rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi
tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Manifestasi Klinis Trauma Medula Spinalis (Brunner dan Suddarth,
2001) :
 Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf
yang terken

8
 Paraplegia
 Tingkat neurologik
 Paralisis sensorik motorik total
 Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi
kandung kemih)
 Penurunan keringat dan tonus vasomoto
 Penurunan fungsi pernafasan
 Gagal nafas
 Pasien biasanya mengatakan takut leher atau tulang
punggungnya patah
 Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar
 
2.1.4 Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan
kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional
semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi
terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan
menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi
aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek
yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula dalam
hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari
interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa
peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan
yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi

9
sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen
setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai
target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan
patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan
bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen
radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera
dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini
berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel.
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan
kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional
semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi
terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan
menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi
aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek
yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula dalam
hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari
interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa
peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan
yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi
sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen
setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai
target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan

10
patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan
bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen
radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera
dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini
berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel.
Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang
luas (large stab) Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit,
astrosit tetap dalam kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan
chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dankeratan sulfate
proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag
menginvasi lesi tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi
tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak terganggu, tetapi selaput
otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit
terganggu pada lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada
gradien yang meningkat dari penumbra menuju pusat lesi. Tidak
dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai
inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi
tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut sebelum
pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar darah otak
rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi

2.1.5 Patoflowdiagram

11
12
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Meliputi:

a) Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien


tiba di rumah sakit

b) Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri


tekan, gangguan gerakan(terutama leher)

c) Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada


servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).

d) Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan,bila terdapat defisit


neurologi harus dilakukan MRI atau CT mielografi
Pemeriksan diagnostik dengan cara :

a. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur,


dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi

b. CT-Scan Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun


struktural

c. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan


kompresi

d. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal


vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai
adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis
(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi)

e. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh :


perubahan pada diafragma, atelektasis)

f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) :


mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien
dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal
dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).

g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya


ventilasi

13
2.1.7 Penatalaksanaan medis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah
sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti
dilakukan pemasangan collar servical, atau dengan
menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya
dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan
NGT.
4. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu
seperti adanya fraktur dengan fragmen yang menekan
lengkung saraf.
5. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi,
mengurangi cacat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di
masyarakat.
6. Terapi Pengobatan :
a) Kortikosteroid seperti dexametason untuk
mengontrol edema.
b) Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol
tekanan darah akibat autonomic hiperrefleksia akut.
c) Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk
menurunkan aktifitas bladder.
d) Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida
untuk meningkatkan tonus leher bradder.
e) Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari
bladder dan uretra.
f) Agen antiulcer seperti ranitidine
g) Pelunak fases seperti docusate sodium.

 
2.1.8 Komplikasi

14
a. Pendarahan mikroskopik Pada semua cedera madula spinalis atau
vertebra, terjadi perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertai reaksi
peradangan, sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar
korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran
darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas
cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah
tersebut terhambat atau terjerat.
b. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks. Pada cedera spinal
yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks setinggi dan dibawah
cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas
kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi
sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua
segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang sendiri, tetap
hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila
korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah. 
c. Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari
dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih
dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal
terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara
normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk
mempertahankan fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung
antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal
berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas
otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rectum.
d. Hiperrefleksia otonom. Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan
saraf-saraf simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan
tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah
hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan
kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan

15
pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan diaktifkannya sistem
simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan
penngkatan tekanan darah siste

2.1.9 Pencegahan
Faktor - faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi
usia dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini
dikaitkan dengan Trauma medula spinalis bertindak untuk menekankan
pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan
bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan :
a) Menurunkan kecepatan berkendara.
b) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
c) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
d) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara
sambil mabuk.
e) Mengajarkan penggunaan air yang aman.
f) Mencegah jatuh.
g) Menggunakan alat- alat pelindung dan teknik latihan.

 
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian

1. Identitas

1) Identitas Klien

Identitas yang perlu dikaji pada klien dengan osteoporosis


adalah nama,umur, agama, suku/ bangsa, pendidikan,
pekerjaan, golongan darah, diagnosis medis, status mental
dan alamat.

2) Identitas penanggung jawab


Identitas penanggung jawab yang perlu dikaji adalah

16
nama,umur, suku/bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan,
agama, hubungan dengan klien, dan alamat
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia
alvi, nyeri tekan otot,hiperestesia tepat di atas daerah trauma,
dan deformitas pada daerah trauma.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang
akibat dari kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga,
kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali
pengaman dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat
meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis
layu disertai hilangnya sensibilitas yang total dan
melemah/menghilangnya refleks alat diam). Ini merupakan
gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, ileus paralitik, retensi
urine, dan hilangnya refleks-refleks

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat


penyakit degeneratif pada tulang belakang seperti osteoporosis,
osteoartritis, spondilitis, spondilolistesis, spinal stenosis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.
Penyakit lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif perlu ditanyakan untuk
menambah komprehensifnya pengkajian

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Kaji apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita

17
hipertensi, DM, penyakit jantung untuk menambah
komprehensifnya pengkajian (Untuk mengetahui ada penyebab
herediter atau tidak
6. Riwayat psiko-sosio
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan
berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi
yang berbeda pada setiap klien yang mengalami cedera tulang
belakang.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan
kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan
dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk berkemih secara spontan.
e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai
akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama,
Trauma psikis dan alt traks

2.2.3 Intervensi Keperawatan


NO DIAGNOSIS TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI

18
HASIL
1 Ketidak efektifan Dalam perawatan 1x24 jam MENEJEMEN JALAN NAPAS (I. 01011)
pola pernapasan pola nafas klien dapat
1. Observasi
yang berhubungan membaik dengan kriteria : o Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
dengan kelemahan  Tekanan ekspirasi
o Monitor bunyi napas tambahan
/paralisis otot-otot membaik (mis. Gurgling, mengi, weezing,
abdomen dan ronkhi kering)
 Tekanan inspirasi
o Monitor sputum (jumlah, warna,
intertiostal dan membaik aroma)
ketidakmampuan 2. Terapeutik
 Dispnea menurun o Pertahankan kepatenan jalan
untuk membersihkan napas dengan head-tilt dan chin-
sekresi. lift (jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
o Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
o Berikan minum hangat
o Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
o Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
o Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
o Penghisapan endotrakeal
o Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
o Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
o Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
o Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

2 Kerusakan mobilitas Dalam perawatan 1x24 jam DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)


fisik yang mobilitas fisik klien
1. Observasi
berhubungan dengan meningkat klien dengan o Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
kerusakan fungsi kriteria :
o Identifikasi toleransi fisik
motorik dan sesorik.  Kekuatan otot melakukan ambulasi
19
meningkat o Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum memulai
 Rentang gerak (ROM)
ambulasi
meningkat o Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi
 Nyeri menurun 2. Terapeutik
 Kaku sendi menurun o Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu (mis. tongkat,
kruk)
o Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik, jika perlu
o Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
3. Edukasi
o Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
o Anjurkan melakukan ambulasi
dini
o Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)

3 Resiko terhadap Dalam perawatan 1x24 jam 1. PERAWATAN INTEGRITAS KULIT


(I.11353)
kerusakan integritas integritas kulit dan jaringan
kulit yang klien dapat meningkat dengan 1. Observasi
o Identifikasi penyebab gangguan
berhubungan dengan kriteria :
integritas kulit (mis. Perubahan
penurunan  Kerusakan jaringan sirkulasi, perubahan status
nutrisi, peneurunan kelembaban,
immobilitas, menurun
suhu lingkungan ekstrem,
penurunan sensorik.  Nyeri menurun penurunan mobilitas)
2. Terapeutik
 Perfusi jaringan o Ubah posisi setiap 2 jam jika
meningkat tirah baring
o Lakukan pemijatan pada area
penonjolan tulang, jika perlu
o Bersihkan perineal dengan air
hangat, terutama selama periode
diare
o Gunakan produk berbahan
petrolium  atau minyak pada

20
kulit kering
o Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik
pada kulit sensitif
o Hindari produk berbahan dasar
alkohol pada kulit kering
3. Edukasi
o Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotin, serum)
o Anjurkan minum air yang cukup
o Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
o Anjurkan meningkat asupan
buah dan saur
o Anjurkan menghindari terpapar
suhu ektrime
o Anjurkan menggunakan tabir
surya SPF minimal 30 saat
berada diluar rumah

4 Retensi urine yang Dalam perawatan 1x24 jam MANAJEMEN CAIRAN (I.03098)
berhubungan dengan eliminasi urine klien dapat
1. Observasi
ketidakmampuan membaik dengan kriteria :

untuk berkemih  Sensasi berkemih
o Monitor status hidrasi ( mis, frek
secara spontan. membaik nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler, kelembapan
 Urgensi menurun mukosa, turgor kulit, tekanan
 Frekuensi BAK darah)
o Monitor berat badan harian
membaik o Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis. Hematokrit,
Na, K, Cl, berat jenis urin ,
BUN)
o Monitor status hemodinamik
( Mis. MAP, CVP, PCWP jika
tersedia)

2. Terapeutik


o Catat intake output dan hitung
balans cairan dalam 24 jam
o Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan

21
o Berikan cairan intravena bila
perlu

3. Kolaborasi


o Kolaborasi pemberian diuretik,
jika perlu

5 Konstipasi Setelah diberikan asuhan Manajemen Konstipasi


berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam 1. Observasi
adanya atoni usus diharapkan konstipasi dapat a. Periksa tanda dan gejala konstipasi
sebagai akibat membaik dengan kriteria b. Periksa pergerakan usus, karakteristik
gangguan autonomik. hasil: feses (konsistensi, bentuk, volume dan
Eliminasi Fekal warna)
 Kontrol pengeluaran c. Identifikasi faktor risiko konstipasi
feses meningkat (mis.obat-obatan, tirah baring, dan diet
 Keluhan defekasi rendah serat)
lama dan sulit d. Monitor tanda dan gejala ruptur usus
menurun dan/atau periotinitis
 Mengejan saat 2. Terapeutik
defekasi menurun a. Anjurkan diet tinggi serat

 Distensi abdomen b. Lakukan masase abdomen, jika perlu

menurun c. Lakukan evaluasi feses secara manual,

 Teraba massa pada jika perlu

rektal menurun 3. Edukasi

 Urgency menurun a. Jelaskan etiologi masalah dan alasan


tindakan
 Nyeri abdomen
b. Anjurkan peningkatan asupan cairan,
menurun
jika tidak ada kontraindikasi
 Kram abdomen
c. Latih b
menurun
d. uang air besar secara teraturAjarkan
 Konsistensi feses
cara mengatasi konstipasi/impaksi
membaik
4. Kolaborasi

22
 Frekuensi defekasi a. Konsultasi dengan tim medis tentang
 Peristaltik usus penurunan / peningkatan frekuensi
membaik suara usus
b. Kolaborasi penggunaan obat pencahar,
jika perlu
6 Nyeri yang Dalam perawatan 1x24 jam MANAJEMEN NYERI (I. 08238)
berhubungan dengan tingkat nyeri klien dapat
1. Observasi
pengobatan menurun dengan kriteria : o lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
immobilitas lama,  Keluhan nyeri
nyeri
Trauma psikis dan alt Menurun o Identifikasi skala nyeri
o Identifikasi respon nyeri non
traks  Tampak meringis
verbal
menurun o Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
 Sikap protektif
nyeri
menurun o Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
 Gelisah menurun o Identifikasi pengaruh budaya
 Kesulitan tidur terhadap respon nyeri
o Identifikasi pengaruh nyeri pada
menurun kualitas hidup
 Frekuensi nadi o Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
membaik diberikan
o Monitor efek samping
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
o Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
o Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
o Fasilitasi istirahat dan tidur
o Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

23
3. Edukasi
o Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
o Jelaskan strategi meredakan
nyeri
o Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
o Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
o Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
o Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

2.2.4 Implementasi
Implementasi ialah kegiatan yang dilakukan perawat untuk
membantu sklien dari masalah status kesehatan yang diderita menuju
status kesehatan yang optimal

2.2.5 Evaluasi
Langkah berikutnya adalah membuat evaluasi. Evaluasi
merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat harusnya
memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respons
terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma
itu mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih. Cedera medula spinalis adalah cedera
yang mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu
trauma yang mengenai tulang belakang.

3.2 SARAN
Semoga makalah ini bisa menjadi motivasi dalam melakukan
asuhan keperawatan dan peningkatan pelayanan pada klien trauma
medula spinalis.

25
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC 
Guyton. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.Jakarta: EGC
Irianto, Kus. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis.
Bandung:
Olfah, Yustiana, dan Abdul Ghofur (2016). MODUL BAHAN AJAR CETAK
KEPERAWATAN DOKUMENTASI KEPERAWATAN Jakarta:
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PUSAT
PENDIDIKAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN BADAN
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA
MANUSIA.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

26

You might also like