You are on page 1of 26

PENGARUH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT

(MSG) PERORAL TERHADAP JUMLAH SEL LEYDIG TIKUS


PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) JANTAN GALUR WISTAR

USULAN PENELITIAN SKRIPSI

M. FATHUL ARIF

160610045

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
MEI 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Testis merupakan organ reproduksi pada pria yaitu untuk menhasilkan
sperma dan mengeluarkan testosteron. Testosteron berperan penting dalam
berbagai proses pada tubuh manusia seperti mendorong pertumbuhan dan
pematangan sistem reproduksi saat pubertas, esensial bagi spermatogenesis,
membentuk dorongan seks saat pubertas, memicu pola pertumbuhan rambut pria,
dan mengontrol sekresi hormon gonadotropin. Testosteron di hasilkan oleh sel-sel
endokrin yaitu sel leydig (1).

Sel leydig adalah sel yang berbentuk polihedral dengan diameter 15-20
μm. Sitoplasa dari sel leydig merupakan tempat berlangsungnya steroidogenesis.
Sel leydig terletak di ruang antara tubulus seminiferus. Sel leydig merupakan sel
yang sangat peka terhadap senyawa kimia toksik dan radikal bebas (2). Apabila
sel leydig menurun akan mengakibatkan penurunan dari sekresi testosteron.
Penurunan testosteron menyebabkan berbagai keluhan pada laki-laki seperti
terjadinya penurunan libido, hilangnya mood, dan lebih lanjut dapat menyebabkan
infertilitas (3).

Infertilitas merupakan masalah global yang mempengaruhi lebih dari 80


juta orang di dunia, terjadi sekitar 15% pada pasangan suami-istri. Insiden
infertilitas meningkat sejak 40 tahun terakhir (4). Prevalensi infertilitas di Asia
yaitu 30,8% di Kamboja, 10% di Kazakhtan, 43,7% di Turkmenistan dan 21,3%
di Indonesia (5). 50% kasus infertil terjadi pada pria baik sebagai problem primer
atau kombinasi dengan pasangan wanitanya (6). Penyebab kejadian infertil
sebesar 40% pada pihak pria dan 40% terdapat pada wanita (7).

Infertilitas pada pria disebabkan oleh kelainan urogenital kongenital atau


didapat, infeksi saluran urogenital, suhu skrotum yang meningkat (contohnya
akibat dari varikokel), kelainan endokrin, kelainan genetik, faktor imunologi, dan
idiopatik. Infertilitas laki-laki idiopatik disebabkan karena beberapa faktor,
termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan, radikal
bebas, atau kelainan genetik (5).

Infertilitas pada pria sangat berhubungan erat dengan Reactive Oxygen


Species (ROS), jika terjadi peningkatan ROS dalam testis dan penurunan
antioksidan secara bersamaan akan mengakibatkan gangguan spermatogenesis (8).
Pada sistem reproduksi, MSG menyebabkan kondisi infertilitas. Infertilitas timbul
akibat keadaan stres oksidatif yang disebabkan MSG, ditandai dengan
pembentukan radikal bebas dan penurunan kadar asam askorbat di testis.
Akibatnya, berat testis dan jumlah sperma berkurang, serta jumlah sperma
abnormal meningkat (9).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MSG menimbulkan kerusakan
pada hypothalamus, disfungsi reproduksi dan endokrin pada hewan coba. Dada &
Blake menemukan bahwa pemberian MSG dapat menurunkan sekresi hormon
gonadotropin (10). Nizamuddin menemukan bahwa pemberian MSG dapat
mengganggu proses spermatogenesis (11). Mengonsumsi MSG dapat berefek
pada sel leydig secara tidak langsung, pengaruhnya tidak langsung yaitu pada
fungsi hypophysis, MSG menimbulkan kerusakan pada hypothalamus, disfungsi
reproduksi dan endokrin pada hewan coba (12). Dada & Blake menemukan bahwa
pemberian MSG dapat menurunkan sekresi hormone gonadotropin (10).
Penurunan ini akan menyebabkan sel Leydig kurang terpacu untuk beraktivitas.
Pemberian MSG menimbulkan kerusakan pada hypothalamus, tempat sel-sel
mensintesis GnRH yang mengatur sekresi hormon gonadotropin. Kerusakan pada
sel-sel itu akan menghambat produksi GnRH dan akibatnya terjadi penurunan
kadar gonadotropin baik LH atau FSH yang diproduksi oleh hypophysis.
Penurunan LH akan menyebabkan stimulasi terhadap sel Leydig berkurang
sehingga dapat menurunkan aktivitasnya dalam proses pembelahan maupun dalam
mensintesis hormone testosteron. Akibat dari berkurangnya aktivitas maka jumlah
sel Leydig menjadi lebih sedikit dan diameter inti sel Leydig menjadi lebih kecil
(12).
Monosodium glutamat (MSG) berupa bubuk kristal berwarna putih sejak
lama telah digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai jenis makanan di
berbagai negara. Kandungan garam natrium asam glutamat pada MSG berfungsi
sebagai penguat dan penyedap rasa bila ditambahkan terutama pada makanan
yang mengandung protein (13).

Monosodiumglutamat (MSG) adalah garam sodium L Glutamic Acid,


yang banyak digunakan sebagai penyedap masakan dimasyarakat. Konsumsi
MSG perkapita di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Thailand, Taiwan cukup
tinggi demikian juga masyarakat perkotaan di Indonesia (12).

Pada tahun 1995 MSG telah digolongkan sebagai bahan tambahan


makanan yang aman seperti garam, cuka dan baking powder tetapi
penggunaannya dibatasi sebanyak 120 mg/kg berat badan/hari oleh FDA dan
WHO (13). Sedangkan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai ADI
(Acceptable Daily Intake) penggunaan monosodium glutamat di Indoesia di
cantumkan batasan penggunaannya (14).

Untuk mengetahui dari toksisitas monosodium glutamat pada organ


reproduksi dapat dinilai dengan pemeriksaan histopatologi testis. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa terdapat
penurunan jumlah sel leydig setelah pemberian MSG selama 1 siklus
spermatogenesis, makin besar dosis pemberian MSG menunjukkan makin tinggi
penurunan jumlah sel Leydig. Menurut bentuk sel ditemukan adanya beberapa inti
sel yang pipih pada kelompok perlakuan pemberian (12).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melakukan penelitian secara in


vivo mengenai pemberian monosodium glutamat (MSG) pada tikus putih (Rattus
norvegicus) dengan menggunakan dosis monosodium glutamat (MSG) yang
sudah ditetapkan oleh FDA atau WHO dan menghitung jumlah sel leydig pada
testis tikus.
1.2. Rumusan Masalah
Testis merupakan organ reproduksi pria yang berfungsi sebagai tempat

pembentukan sperma dan menghasilkan hormon androgen. Salah satu hormon

androgen yang penting adalah testosteron yang disekresikan oleh sel leydig. Sel

leydig terletak di antara tubulus seminiferus dan merupakan sel yang peka

terhadap toksik zat kimia dan radikal bebas. Kerusakan sel leydig dapat

mempengaruhi dari proses reproduksi pada pria bahkan dapat menyebabkan

infertilitas. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan radikal bebas adalah

konsumsi makanan yang mengandung monosodium glutamat (MSG).

Monosodium glutamat (MSG) dapat menyebabkan peningkatan radikal bebas

yang akan mempengaruhi sel pada testis. Beberapa penelitian menunjukkan

perubahan pada testis tikus yang diuji dengan monosodium glutamat (MSG).

Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh

pemberian monosodium glutamat (MSG) peroral terhadap jumlah sel leydig testis

tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dengan dosis monosodium

glutamat (MSG) yang sudah ditetapkan oleh FDA atau WHO.

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG) peroral dengan
dosis 113,4 mg/150 gBB/hari, 226,8 mg/150 gBB/hari dan 453,6 mg/150
gBB/hari terhadap jumlah sel leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur wistar?
2. Bagaimana perbedaan pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG)
peroral terhadap sel leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
di setiap kelompok?
1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum


Mengetahui pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG)
peroral terhadap jumlah sel leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur wistar

1.4.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG)
peroral dengan dosis 113,4 mg/150 gBB/hari, 226,8 mg/150
gBB/hari dan 453,6 mg/150 gBB/hari terhadap jumlah sel leydig
tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?
2. Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian monosodium glutamat
(MSG) peroral terhadap sel leydig tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar di setiap kelompok?

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat teoritis


Penelitian ini diharapkan sebagai data awal untuk penelitian
selanjutnya tentang pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG)
peroral terhadap jumlah sel leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur wistar.

1.5.2. Manfaat praktis


1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sebagai
informasi bagi masyarakat tentang pengaruh pemberian monosodium
glutamat (MSG) peroral serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal dan sebagai
masukan kepada institusi yang berwenang terkait penelitian pengaruh
pemberian monosodium glutamat (MSG) peroral terhadap jumlah
selleydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Testis

2.1.1 Anatomi testis

Testis adalah sepasang organ berbentuk oval dengan panjang 4-5 cm,
lebar 2,5 cm dan diameter anteroposterior 3 cm (15) . Berat rata-rata testis 14
gram. Testis tergantung dalam scrotum oleh funiculus spermaticus , dengan testis
kiri biasanya lebih inferior daripada testis kanan. Testis memiliki suatu
permukaan luar fibrosa keras, yaitu tunika albuginea. Yang menebal menjadi
suatu crista pada aspek internal, posterior sebagai mediastinum testis. Dari crista
internal, septum fibrosa memanjang ke dalam di antara lobulus-lobulus kecil
tetapi panjang dan tubulus seminiferus yang sangat bergelung yang menghasilkan
sperma. Tubulus seminiferus disatukan oleh tubulus seminiferi recti dengan rete
testis (16).

Testis diperdarahi oleh arteri testicularis. Arteri ini keluar dari aorta
abdominalis, tepat di bawah tempat keluarnya arteri renalis. Dari aorta, arteri ini
berjalan ke bawah memasuki canalis inguinalis di dalam funiculus spermaticus,
lalu menuju bagian posterior testis tempat cabang-cabangnya menembus tunica
albuginea sebelum memasuki jaringan testis. Darah dari testis dikembalikan
melalui plexus pampiniformis, lalu dialirkan ke vena testicularis (dextra et
sinistra). Dari vena testicularis dextra selanjutnya dialirkan ke vena cava inferior,
sementara yang dari vena testicularis sinistra diteruskan ke vena renalis sinistra
(17). Drainase limfatik testis mengikuti arteri dan vena testicularis ke nodi
lymphatici praaorta dan nodi lymphatici lumbales dextri dan sinistri
(cavales/aortici). Saraf otonom testis keluar sebagai plexus testicularis saraf pada
arteri testicularis, yang berisi serabut aferen viscera dan parasimpatis vagal dan
serat simpatis dari segmen T7 medulla spinalis (16).
2.1.2 Histologi testis

Setiap testis dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu
tunica albugenia. Tunica albugenia menebal pada permukaan posterior testis dan
membentuk mediastinum testis. Septum jaringan ikat tipis memanjang dari
mediastinum testis dan membagi setiap testis ke dalam sekitar 250 lobulus testis,
masing-masing mengandung 1-4 tubulus seminiferus yang dikelilingi jaringan ikat
longgar interstisial yang banyak mengandung pembuluh darah dan limfe, saraf,
dan sel leydig (18). Setiap tubulus seminiferus dilapisi oleh epitel germinal
berlapis, mengandung sel spermatogenik yang berproliferasi dan sel sertoli yang
tidak berproliferasi. Di tubulus seminiferus, selspermatogenik membelah, menjadi
matang, dan berubah menjadi sperma (19).

Ductus genital intratestis terdiri dari: tubuli recti, rete testis, dan ductuli
efferentes. Kebnyakan tubulus seminiferus terdapat dalam bentuk lengkungan,
dan kedua ujungnya berhubungan dengan rete testis oleh tubulus rektus yang
pendek. Dinding tubulus rektus dilapisi oleh sel sertoli, yang diikuti ruas utama
yang terdiri atas epitel kuboid yang ditunjang oleh selubung jaringan ikat padat.
Semua tubulus rektus mencurahkan isinya ke dalam rete testis, yaitu suatu jalinan
saluran yang saling terhubung dan dilapisi epitel kuboid. Saluran di rete testis
terbenam dalam jaringan ikat mediastinum. Rete testis bermuara ke dalam sekitar
20 ductuli efferentes. Ductuli efferentes dilapisi kelompok sel kuboid tak bersilia
yang diselingi sel bersilia yang lebih tinggi (18).

Suhu sangat penting pada pengaturan spermatogenesis, proses


spermatogenesis hanya dapat terjadi di bawah suhu tubuh inti sebesar 37oC. Suhu
testis sekitar 34oC dipertahankan dalam kantong testis melalui berbagai
mekanisme. Salah satu mekanismenya adalah dengan peredaran darah pada vena
pleksus pampiniforis yang bersuhu lebih rendah dari arteri testikularis dan
berperan menurunkan suhu darah arteri sehingga membentuk sistem pertukaran
panas arus berlawanan arah (countercurrent heat exchange system). Evaporasi
keringat dari skrotum juga berkonstribusi pada pengeluaran panas. Testis
mendekati atau menjauhi tubuh melalui mekanisme relaksasi atau kontraksi
musculus dartos skrotum dan musculus cremaster funiculus spermaticus yang
memungkinkan pengaturan suhu lebih lanjut (18).

2.1.2.1 Tubulus seminiferus

Spermatozoa dihasilkan di tubulus seminiferus. Setiap testis memiliki 250-


1000 tubulus seminiferus. Setiap tubulus seminiferus dilapisi oleh epitel berlapis
majemuk; diameternya lebih kurang 150-250 μm dan panjangnya 30-70 cm.
Panjang seluruh tubulus satu testis mencapai 250 m. Tubulus seminiferus terdiri
atas suatu lapisan jaringan ikat fibrosa, lamina basalis, dan suatu epitel germinal,
atau seminiferus, yang kompleks (20). Epitel tersebut terletak di atas lamina basal
yang tipis dan diluarnya diliputi oleh suatu daerah khusus terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang disebut jaringan peritubular atau pembatas yang terdiri dari banyak
serat jaringan ikat, fibroblas yang pipih dan beberapa sel bersifat sebagai sel otot
polos (21). Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu: sel sertoli,
atau sel penyokong dan sel-sel yang membentuk garis keturunan spermatogenik.
Sel-sel turunan spermatogenik tersebar dalam 4-8 lapisan; fungsinya adalah
menghasilkan spermatozoa (20).

Kompartemen tubulus menempati 60-80% bagian dari volume total testis.


Pada bagian kompartemen tubulus terjadi proses spermatogenesis, proses
spermatogenesis membutuhkan rangsangan dari hormon testosteron yang
diproduksi oleh sel leydig dan membutuhkan hormon estrogen yang dikatalisis
oleh enzim aromatase dari sel sertoli (22).

2.1.2.2 Sel leydig

Sel leydig terdapat dalam lobuli testis, yang terletak di antara tubulus
seminiferus. Sel leydig mengandung beberapa serat kolagen, pembuluh darah dan
limf, saraf, bermacam-macam jenis sel termasuk fibroblas, makrofag, sel mast,
dan beberapa sel mesenkim yang belum berkembang. Sel leydig terdapat
berkelompok memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan
tubulus seminiferus. Sel-selnya besar, dengan sitoplasma sering tampak
bervakuol. Inti selnya mengandung butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang
jelas. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik-titik lipid, dan
pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang (kristal reinke) (21).

Pada tikus, deferensiasi sel leydig pada postnatal dimulai sekitar minggu
kedua setelah kelahiran, yaitu hari ke 10. Perkembangannya terdiri dari beberapa
tahap yaitu; proliferasi sel-sel prekursor, diferensiasi sel-sel prekursor menjadi
sel-sel progenitor, diferensiasi sel-sel progenitor menjadi bentukan baru (newly
formed) sel leydig, kemudian berkembang menjadi sel leydig muda dan berakhir
menjadi sel leydig dewasa. Jumlah sel leydig sebelum dan pada masa pubertas
bertambah oleh dua mekanisme yaitu diferensiasi dari sel-sel mesenkim
(precursor) dan pembelahan mitosis dari bentukan baru sel leydig (23).

2.1.3 Fisiologi testis

Fungsi reproduksi pria dapat dibagi dalam tiga subgolongan utama:


pertama, spermatogenesis, yang hanya berarti pembentukan sperma; kedua,
pelaksanaan kerja seksual pria; dan ketiga, pengaturan fungsi kerja seksual pria
oleh berbagai hormon. Hormon juga berperan dalam pertumbuhan organ seks
laki-laki, metabolisme sel, pertumbuhan dan fungsi tubuh lain (24).

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan sperma, berawal dari


spermatogonia, yaitu sel benih primitif yang terletak di samping lamina basalis
tubulus seminiferus, berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer
mengalami pembelahan meiosis sehingga jumlah kromosomnya berkurang.
Dalam proses dua tahap ini, sel-sel tersebut membelah menjadi spermatosit
sekunder lalu menjadi spermatid (yang mengandung jumlah kromosom haploid
23). Spermatid berkembang menjadi spermatozoa (sperma). Spermatid
berkembang menjadi spermatozoa di lipatan sitoplasma bagian dalam pada sel
sertoli. Spermatozoa matang di lepaskan dari sel sertoli dan menjadi bebas di
dalam lumen tubulus (25).

Fungsi reproduksi pria juga dipengaruhi oleh sel sertoli dan sel leydig. Sel
sertoli mensekresikan protein pengikat androgen dan inhibin, hal ini berfungsi
untuk mempertahankan pasokan androgen yang tinggi dan stabil dalam cairan
tubulus. Sel leydig mensintesis hormon testosteron yang berfungsi
mempetahankan proses spermatogenesis (25). Testosteron disintesis oleh enzim-
enzim yang terdapat pada mitokondria dan RE halus dalam suatu sistem yang
serupa dengan korteks adrenal. Ketika sel sertoli dirangsang oleh FSH, sekresi
testosteron oleh sel interstisial ditingkatkan oleh hormon gonadotropik lain pada
hipofisis.Hormon luteinisasi (LH), yang juga disebut hormon penstimulasi sel
interstisial (ICSH). Sintesis testosteron dimulai saat pubertas, saat hipotalamus
mulai menghasilkan hormon pelepas-gonadotropin (18).

2.1.4 Patologi Testis

2.2 Monosodium Glutamat (MSG)

2.2.1 Definisi Monosodium glutamat (MSG)


Monosodium glutamat adalah garam natrium glutamat yang berasal dari
asam glutamat. Asam glutamat sendiri merupakan asam amino non-esensial
dengan jumlah berlimpah pada alam. Glutamat dapat ditemukan dalam keadaan
bebas atau terikat pada asam amino lain dalam bentuk protein. Asam glutamat
yang terkandung pada protein hewani sekitar 11% sampai 22% dan banyak dalam
keadaan terikat sedangkan pada protein nabati asam glutamat yang terkandung di
dalamnya lebih tinggi hingga mencapai 40% terutama dalam keadaan bebas.
Glutamat bebas inilah yang berperan dalam kelezatan dan kenikmatan makanan
(26).
Monosodium glutamat (MSG) seperti bubuk kristal berwarna putih sejak
lama telah digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai jenis makanan di
berbagai negara. Kandungan garam natrium asam glutamat pada MSG berfungsi
sebagai penguat dan penyedap rasa bila ditambahkan terutama pada makanan
yang mengandung protein. Glutamat yang masih terikat dengan asam amino lain
sebagai protein tidak memiliki rasa, tetapi dalam bentuk bebas memiliki rasa
gurih. Semakin tinggi kandungan glutamat bebas dalam suatu makanan, semakin
kuat rasa gurihnya. Glutamat bebas dalam makanan sehari-hari umumnya rendah,
sehingga untuk memperkuat cita rasa perlu adanya tambahan bumbu-bumbu yang
kaya kandungan glutamat bebas.Glutamat bebas tersebut bereaksi dengan ion
natrium membentuk garam MSG (27).
Diketahui komposisi senyawa MSG adalah 78% glutamat, 12% natrium
dan 10% air.Monosodium glutamate bila larut dalam air ataupun saliva akan
berdisosiasi menjadi garam bebas dan menjadi bentuk anion dari glutamat.
Glutamat akan membuka channel Ca2+ pada neuron yang terdapat taste bud
sehingga memungkinkan Ca2+ bergerak ke dalam sel dan menimbulkan
depolarisasi reseptor dan potensial aksi yang sampai ke otak lalu diterjemahkan
sebagai rasa lezat (27).
Monosodium glutamat (MSG) selalu dipergunakan sebagai bahan
tambahan penyedap rasa pada masakan sejak penemuannya. Tingkat
penggunaannya sebagai bahan tambahan masakan terus meningkat. Pada mulanya
masyarakat Jepang, Korea, Cina dan Thailand hanya menggunakan MSG
sebanyak 30 – 60 mg. Setelah harga MSG menjadi murah, penggunaan MSG
menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, penggunaan MSG menjadi tidak
wajar dan berlebihan dengan takaran 100 – 300 mg (13). Pemakaian MSG juga
mulai meningkat di wilayah barat. Angka konsumsi masyarakat Eropa sekitar 0,3-
0,5 gr/hari dengan konsumsi tertinggi pada 1 gr/hari, sedangkan di Amerika angka
konsumsi rata-rata masyarakat sekitar 0,2‒1 gr/hari (28). Di Indonesia sendiri
angka konsumsi rata-rata masyarakat sebesar 0,6 gr/hari (29).
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian true eksperimental laboratorik
dengan rancangan post test only control group design yang menggunakan hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi penelitian


Lokasi pemeliharaan dan perlakuan hewan coba dilakukan di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.
Lokasi Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala dan lokasi
penghitungan sel di lakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh.

3.2.2 Waktu penelitian


Waktu penelitian dilakukan pada bulan April 2019 sampai bulan Februari
2020.

3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1. Populasi penelitian


Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar.

3.3.2. Sampel penelitian


Sampel pada penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.

3.3.2.1 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:


a) Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar
b) Jenis kelamin jantan
c) Usia 8-12 minggu
d) Berat badan 150±10 gram

3.3.2.2 Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:


a) Terdapat kecacatan anatomis

b) Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang sakit
adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau rontok, dan
luka).

3.3.3. Besar sampel


Besar sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus Federer
sebagai berikut :
(n-1)(t-1)≥ 15

n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan


t = jumlah kelompok perlakuan
Dari rumus diatas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai
berikut:
t = 4, maka didapatkan:
(n-1)(4-1) ≥ 15
(n-1) 3 ≥ 15
(3n-3) ≥ 15
3n ≥ 18
n ≥ 18/3
n≥6

Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 4, dari hasil


perhitungan di atas maka didapatkan besar sampel pada penelitian ini
menggunakan 6 ekor tikus perkelompok perlakuan. Untuk mengantisipasi
dikeluarkannya tikus, maka pada tiap kelompok ditambahkan 10% dari jumlahnya
yaitu 1 ekor tikus pada setiap kelompok hewan coba, sehingga jumlah masing-
masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus.Total besar sampel yang digunakan
adalah sebesar 28 ekor tikus putih (Rattusnorvegicus) jantan galur wistar.

3.3.4. Teknik pengambilan sampel


Untuk menghindari bias karena variasi faktor umur dan berat badan maka
pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling).
Randomisasi langsung dapat dilakukan karena sampel yang diambil dari tikus
putih (Rattusnorvegicus) jantan galur wistar sudah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sehingga dianggap cukup homogen. Semuanya diambil secara acak dari
kelompok tikus sebelum dilakukannya aklimatisasi.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel penelitian


a. Variabel independen : Monosodium glutamat (MSG) peroral dosis
bertingkat.
b. Variabel dependen : Jumlah sel leydig

3.4.2. Definisi operasional variabel


Tabel 1.1 Definisi operasional
Variabel Definisi Alat ukur Hasil skala
operasional dan cara ukur ukur
Monosodium Penguat rasa Pembuatan larutan K = 0 mg/ Rasio
glutamat berupa Garam Monosodium grBB/hari
(MSG) sodium glutamat berdasarkan K1= 113,4
L Glutamic Acid, dosis yang telah mg/150
dalam bentuk ditetapkan oleh FDA gBB/hari
bubuk kristal atau WHO (0-120 K2 = 226,8
berwarna putih mg/kgBB) dan mg/150
yang dicampur ditimbang gBB/hari
dengan larutan menggunakan K3= 453,6
aquades 1 ml tiap timbangan mg/150
dosisnya dan laboratorium gBB/hari
diberikan dengan
cara disondekan
ke lambung tikus
dengan spuit 1 cc
selama 21 hari

Penghitungan Menghitung rata- Preparat histopatologi Pengamatan Rasio


jumlah sel rata sel leydig dibuat dengan sel leydig
leydig yang di dapat dari pengecatan berupa
jumlah sel leydig Hematoksilin & penghitunga
di setiap lapang Eoisin (HE), n jumlah
pandang kemudian diamati rerata sel
menggunakan leydig yang
mikroskop cahaya di dapatkan
sebanyak 5 lapang dari 5 lapang
pandang pada pandang.
pembesaran 400 x.

3.5 Bahan Penelitian

3.5.1 Hewan coba


Hewan coba yang digunakan tikus putih (Rattusnorvegicus) jantan galur
wistar yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan150±10 gram.

3.5.2 Bahan pakan dan minum


Hewan coba pada penelitian ini diberi pakan BR-2 dan minum Aqua®.

3.5.3 Bahan uji


Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Monosodium
glutamat (MSG).

3.5.4 Bahan lain


Aquades untuk melarutkan Monosodium glutamat (MSG), asam pikrat
untuk menandai sampel dan bahan pembuatan preparat histopatologi testis yaitu
formalin 10%, alcohol 95% atau 100%, xylol, paraffin, larutan hematoksilin,
larutan amonia dan larutan eosin.
3.6 Instrumen Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang tikus dan
perlengkapannya, sonde lambung, timbangan laboratorium, gelas ukur, pipet tetes,
spuit 1cc tabung kaca penyimpanan organ bedah untuk pengambilan spesimen,
alat-alat untuk membuat preparat, mikroskop cahaya dan kamera digital untuk
mengambil gambar preparat.

3.7 Prosedur Pengumpulan Data

3.7.1 Pengajuan Ethical Clearance


Penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang
terdapat pada deklarasi Helsinki terkait etik penelitian kesehatan. Sebelum
penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu peneliti akan mengajukan permohonan
Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Lembaga Peneliti Muda Kesehatan
Aceh.

3.7.2 Persiapan hewan coba


Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dibagi
empat kelompok menggunakan randomisasi acak sederhana (simple random
sampling), untuk mencegah bias variasi faktor umur dan berat badan, dimana
masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan
pada kandang yang terpisah. Masing-masing hewan coba diberi tanda
menggunakan spidol permanen pada bagian ekor. Setelah itu, tikus diaklimatisasi
selama 7 hari sebelum diberi perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang
yang telah dipersiapkan dan diatasnya ditutup dengan kawat penutup. Selama
aklimatisasi, tikus diberi diet standar berupa pakan BR-2 dan minum aqua ad
libitum, dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup, dan suhu ruangan berkisar
28-32°C. Pembersihan kandang dilakukan setiap 2 kali seminggu. Penerangan
diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap. Siklus terang dimulai dari
pukul 06.00 hingga 18.00 petang.
3.7.3 Pembuatan larutan Monosodium gultamat (MSG)
Dosis yang akan digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan dosis
ADI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh FDA atau WHO dan dikonversikan
kedalam dosis hewan menggunakan rumus Laurence . Dosis untuk setiap tikus
dalam setiap kelompok perlakuan adalah:
a. Kelompok I = 113,4 mg/150 gBB/hari
b. Kelompok II = 226,8 mg/150 gBB/hari
c. Kelompok III = 453,6 mg/150 gBB/hari
Monosodium glutamat (MSG) ditimbang menggunakan timbangan
laboratorium sesuai dengan dosis yang dibutuhkan untuk perlakuan tikus.
Monosodium glutamat (MSG) dicampur dan diaduk dengan larutan aquades 1 ml
untuk setiap dosisnya.Volume Monosodium glutamat (MSG) yang diberikan
secara peroral sebanyak dosis di atas yang dicampurkan dan diaduk dalam larutan
aquades 1 ml merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan pada volume
normal lambung tikus yaitu 3–5 ml. Jika pemberian lebih dari 1 ml dikhawatirkan
tidak akan ada cukup ruang untuk makanan dan minuman yang dikonsumsi tikus
tersebut. Larutan Monosodium glutamat (MSG) yang telah dicampurkan aquades
1 ml dimasukkan dalam spuit 1cc yang telah dipasang sonde lambung. Larutan ini
kemudian disondekan ke dalam lambung tikus berdasarkan etika perlakuan hewan
coba.

3.7.4 Perlakuan hewan coba


Setelah aklimatisasi selama 7 hari, pada hari ke-8 hingga hari ke-29 hewan
coba akan diberi perlakuan berupa pemberian sonde lambung larutan
Monosodium glutamat (MSG). Monosodium glutamat (MSG) diberikan dalam
dosis tunggal yang disesuaikan dengan dosis tiap kelompoknya, yaitu:
a. Kelompok I : Tiap tikus diberikan larutan Monosodium glutamat
(MSG) 113,4 mg/150 gBB/hari yang telah diaduk dengan larutan aquades
1ml dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam
lambung tikus.
b. Kelompok II : Tiap tikus diberikan larutan Monosodium glutamat
(MSG) 226,8 mg/150 gBB/hari yang telah diaduk dengan larutan aquades
1ml dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam
lambung tikus.
c. Kelompok III : Tiap tikus diberikan larutan Monosodium glutamat
(MSG) 453,6 mg/150 gBB/hari yang telah diaduk dengan larutan aquades
1ml dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam
lambung tikus.
d. Kelompok Kontrol : Tiap tikus hanya diberikan larutan aquades 1 ml
dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam
lambung tikus.
Pada hari ke-30 semua hewan coba akan dikorbankan dengan cervical
dislocation. Setelah dikorbankan hewan coba akan di bedah dan diambil testisnya
lalu dimasukkan ke dalam tabung kaca yang sudah diberi larutan pengawet buffer
formalin 10%. Selanjutnya organ akan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala untuk pembuatan preparat.

3.7.5 Pembuatan preparat


Pembuatan preparat akan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Tahapan pembuatan
preparat sebagai berikut:
1. Pemotongan Gross
Potongan jaringan dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 1 cm, tebal 3 mm
2. Pengawetan/Fiksasi
Rendam jaringan pada cairan formalin 10% selama 18-24 jam kemudian
cuci dengan air mengalir selama 15 menit.
3. Pengeblokan/Embedding
Masukkan jaringan pada larutan aceton selama 1 jam sebanyak 4
kali yang disebut dengan proses dehidrasi kemudian akan dilakukan proses
penjernihan dengan cara memasukkan jaringan ke dalam larutan Xylol
selam ½ jam sebanyak 4 kali dilanjutkan dengan memasukkan jaringan
pada kotak kertas yang berisi Paraffin cair dengan suhu oven 550 C selama
1 jam sebanyak 4 kali setelah itu tanam jaringan pada paraffin blok.
4. Penyayatan
Sayat blok yang sudah ditanamkan jaringan tersebut
menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µ atau disesuaikan dengan
tujuan kemudian ambil sayatan yang berbentuk pita dengan menggunakan
kuas kecil, kemudian letakkan pada water bath (300) dan sayatan yang
sudah merentang diambil dengan menggunakan object glass. Diamkan
selam 24 jam.
5. Pewarnaan Rutin H&E
Masukkan object glass yang sudah tertempel sayatan preparat
pada larutan Xylol dan Alkohol 96% selam 15 menit sebanyak 3 kali
kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pengecatan inti akan
dilakukan dengan memasukkan preparat ke dalam Meyer hematoksilin
(Harris) selama 15 menit kemudian cuci dengan air mengalir selama 15
menit. setelah itu berikan alkohol asam 1 dip dan cuci dengan air selama
15 menit. Masukkan preparat ke dalam Lithium Carbonat selama 10-20
detik dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit.
Sebagai zat penutup, rendam preparat ke dalam larutan Eosin Y
selam 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya preparat
dimasukkan ke dalam alcohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali untuk
dehidrasi dan keringkan dengan kain kasa pada sekitar jaringan. Kemudian
lakukan penjernihan dengan memasukkan kedalam larutan Xylol selam 15
menit dan tutup dengan deck glass lalu direaksikan menggunakan perekat
entelan atau Canada balsam.
3.8 Alur Penelitian
24 ekor tikus putih
(Rattusnorvegicus) jantan
galur wistar

Adaptasi selama 7 hari

K P1 P2 P3

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

Monosodium Monosodium Monosodium


glutamat (MSG) glutamat (MSG) glutamat (MSG)
peroral 113,4 peroral 226,8 peroral 453,6
mg/150 gBB/hari mg/150 gBB/hari mg/150 gBB/hari
selama 21 hari selama 21 hari selama 21 hari

Pengambilan jaringan testis pada hari ke-30

Pembuatan preparat histopatologi testis tikus putih jantan galur


wistar.
Gambar 1.1Skema Alur Penelitian

3.9 Pengumpulan Data


Preparat histopatologi testis tikus dibuat di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Preparat
histopatologi testis tikus diamati menggunakan mikroskop cahaya oleh peneliti
dengan bimbingan dosen pembimbing. Penilain jumlah sel leydig pada potongan
jaringan testis tikus perlakuan dan kontrol dilakukan dengan membagi 5 lapang
pandang. Sel leydig yang berada pada tiap jaringan interstisial tersebut di hitung
seluruhnya, sehingga di dapatkan perbedaan jumlah antara kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan. Penilaian preparat ini dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh.

3.10 Analisis Data


Data jumlah sel leydig yang dikumpulkan merupakan data primer hasil
penelitian histopatologi testis pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar dari kelompok paparan Monosodium glutamat (MSG) dan kelompok
kontrol. Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan software
computer. Setelah data dikumpulkan akan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian
dilakukan penilain dengan analisis varian, yaitu uji One Way Anova. Syarat untuk
dilakukannya uji One Way ANOVA adalah data terdistribusi normal dan seluruh
varian data homogen, maka karena itu dilakukannya Uji Shapiro-Wilk untuk
mengetahui apakah data sudah terdistribusi secara normal dan Uji Variasi
Homogenitas untuk mengetahui apakah seluruh varian data homogen. Uji One

Way ANOVA dengan derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% ( α=0,05),

jika p-value lebih kecil dari α (p<0,05), artinya ditemukannya perbedaan di antara
kelompok perlakuan, maka H0 ditolak dan dilanjutkan dengan uji Least
Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk mengetahui kelompok mana
yang berbeda secara bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th ed. Alih bahasa,
Brahm U. Pendit: editor edisi bahasa Indonesia, Herman Octavius Ong,
Albertus Agung Mahode DR, editor. Jakarta: EGC; 2014.
2. Col E. Autocrine and paracrine regulation of leydig cell survival in the
postnatal testis. Stockholm: Karolinka Institute; 2007.
3. Pangkahila W. Anti-Aging Medicine. Memperlambat Penuaan
Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2007.
4. Rayburn D, Carey. Obstetric and ginecology. Kalik T, editor. Jakarta:
EGC; 2004. 313-332 p.
5. Soegiharto Soebijanto. Konsensus Penanganan Infertilitas daftar isi.
Konsensus penanganan infertil. 2013;
6. Pascualoto S, Luxon A, Supreyto S, Pascualoto E, Arat S. Effect of medical
therapy alcohol smoking and endocrine disturbs on meal infertility. 59th ed.
2004. 375-382 p.
7. Speroff L, Fritz M. Clinical gynecologie endocrinology and infertility. 7th
ed. Lippincot W, Wilkins, editors. Philadelphia; 2005. 575-600 p.
8. Olooto, W.E. Infertility in male ; risk factors , causes and management- A
review. J Microbiol Biotechnol Res. 2012;2(4):641–5.
9. Megawati ER. Penurunan Jumlah Sperma Hewan Coba Akibat Pajanan
Monosodium Glutamate. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 8 p.
10. Dada MO, Blake CA. Administration of MSG to Neonatal Male Rats:
Alterations in Gonadotrophs and in Gonadotropn Secetions. Neuroendocri-
nology. 1984;38(6):90–7.
11. Nizamuddin. Pengaruh Pemberian MSG Peroral terhadap Spermatogenesis
dan Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. J Kedokt Yars.
2000;8(3):93–113.
12. Suryadi E, Iryani D, Suyono SK. Jurnal Anatomi Indonesia Perubahan sel-
sel Leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa setelah pemberian
monosodium glutamat peroral. J Anat Indones [Internet]. 2007;1(3):129–
32. Available from:
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/31176802/1134-2197-
1-PB.pdf?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=149022455
0&Signature=DUw6tNbE8kiJgEV8NfQtogptdYo%3D&response-content-
disposition=inline%3B filename%3DPerubahan_sel-sel_Leydig_tikus_put
13. Sukmaningsih AAS., Ermayanti IGAM, Wiratmini NI, Sudatri NW.
Gangguan Spermatogenesis Setelah Pemberian Monosodium Glutamat
Pada Mencit ( Mus musculus L .) The Disturbance On Spermatogenesis
After Administration Of Monosodium Glutamate On Mice ( Mus musculus
L .). J Biol. 2009;XV(2):49–52.
14. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa. Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Jakarta: BPOM; 2013.
15. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Widyastuti P, editor.
Jakarta: EGC; 2003.
16. Moore KL, II AFD, Agur AMR, Moore ME. Anatomi Berorientasi Klinis.
5th ed. Astikawati R, editor. Erlangga;
17. Widjaja IH. Anatomi Pelvis. Mahode AA, Surya M, editors. Jakarta: EGC;
2010.
18. Mescher AL. Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. 12th ed. Hartanto
H, editor. Jakarta: EGC; 2011.
19. Eroschenko VP. Atlas Histologi diFiore: Dengan Korelasi Fungsional. 11th
ed. Dharmawan D, Yesdelita N, editors. Jakarta: EGC; 2010.
20. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. 10th ed. Dany
F, editor. Jakarta: EGC; 2007.
21. Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. Buku Ajar Histologi. 5th ed.
Tambajong J, Wonodirekso S, editors. Jakarta: EGC; 1996.
22. Setiawan FE, Miranti IP, Winarni TI. Pengaruh Paparan Obat Nyamuk
Terhadap Gambaran Histologi Sel Leydig Tikus Sprague Dawley. 2014;
23. Chen H, Zirkin BR. Long-term suppression of Leydig cell steroidogenesis
prevents Leydig cell aging. 1999;96(26):14877–81.
24. Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3rd ed. Andrianto
A bahasa: P, editor. Jakarta: EGC; 1990.
25. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Novrianti A, Dany
F, Resmisari T, Rachman LY, Muttaqin H, Nugroho AW, et al., editors.
Jakarta: EGC; 2008.
26. Cahyadi W. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta: Bumi Aksara; 2008.
27. Yonata A, Iswara I, Ilmu B, Dalam P, Kedokteran F, Lampung U. Efek
Toksik Konsumsi Monosodium Glutamate Toxic Effects Consumption of
Monosodium Glutamate. 2016;2:1–5.
28. Beyreuther K, Biesalski HK, Fernstrom J. Consensus meeting :
Monosodium glutamate - An update Consensus meeting : monosodium
glutamate – an update. 2007;(May 2014).
29. Prawirohardjono W, Dwiprahasto I, Astuti I, Hadiwandowo S, Kristin E,
Muhammad M, et al. Glutamate Safety in the Food Supply The
Administration to Indonesians of Monosodium L -Glutamate in Indonesian
Foods : An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized Double-
Blind, Crossover, Placebo-Controlled Study. 2000;130(4):1074–6.

You might also like