Professional Documents
Culture Documents
Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Peroral Terhadap Jumlah Sel Leydig Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Wistar
Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Peroral Terhadap Jumlah Sel Leydig Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan Galur Wistar
M. FATHUL ARIF
160610045
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
MEI 2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Sel leydig adalah sel yang berbentuk polihedral dengan diameter 15-20
μm. Sitoplasa dari sel leydig merupakan tempat berlangsungnya steroidogenesis.
Sel leydig terletak di ruang antara tubulus seminiferus. Sel leydig merupakan sel
yang sangat peka terhadap senyawa kimia toksik dan radikal bebas (2). Apabila
sel leydig menurun akan mengakibatkan penurunan dari sekresi testosteron.
Penurunan testosteron menyebabkan berbagai keluhan pada laki-laki seperti
terjadinya penurunan libido, hilangnya mood, dan lebih lanjut dapat menyebabkan
infertilitas (3).
androgen yang penting adalah testosteron yang disekresikan oleh sel leydig. Sel
leydig terletak di antara tubulus seminiferus dan merupakan sel yang peka
terhadap toksik zat kimia dan radikal bebas. Kerusakan sel leydig dapat
infertilitas. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan radikal bebas adalah
perubahan pada testis tikus yang diuji dengan monosodium glutamat (MSG).
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh
pemberian monosodium glutamat (MSG) peroral terhadap jumlah sel leydig testis
tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dengan dosis monosodium
2.1 Testis
Testis adalah sepasang organ berbentuk oval dengan panjang 4-5 cm,
lebar 2,5 cm dan diameter anteroposterior 3 cm (15) . Berat rata-rata testis 14
gram. Testis tergantung dalam scrotum oleh funiculus spermaticus , dengan testis
kiri biasanya lebih inferior daripada testis kanan. Testis memiliki suatu
permukaan luar fibrosa keras, yaitu tunika albuginea. Yang menebal menjadi
suatu crista pada aspek internal, posterior sebagai mediastinum testis. Dari crista
internal, septum fibrosa memanjang ke dalam di antara lobulus-lobulus kecil
tetapi panjang dan tubulus seminiferus yang sangat bergelung yang menghasilkan
sperma. Tubulus seminiferus disatukan oleh tubulus seminiferi recti dengan rete
testis (16).
Testis diperdarahi oleh arteri testicularis. Arteri ini keluar dari aorta
abdominalis, tepat di bawah tempat keluarnya arteri renalis. Dari aorta, arteri ini
berjalan ke bawah memasuki canalis inguinalis di dalam funiculus spermaticus,
lalu menuju bagian posterior testis tempat cabang-cabangnya menembus tunica
albuginea sebelum memasuki jaringan testis. Darah dari testis dikembalikan
melalui plexus pampiniformis, lalu dialirkan ke vena testicularis (dextra et
sinistra). Dari vena testicularis dextra selanjutnya dialirkan ke vena cava inferior,
sementara yang dari vena testicularis sinistra diteruskan ke vena renalis sinistra
(17). Drainase limfatik testis mengikuti arteri dan vena testicularis ke nodi
lymphatici praaorta dan nodi lymphatici lumbales dextri dan sinistri
(cavales/aortici). Saraf otonom testis keluar sebagai plexus testicularis saraf pada
arteri testicularis, yang berisi serabut aferen viscera dan parasimpatis vagal dan
serat simpatis dari segmen T7 medulla spinalis (16).
2.1.2 Histologi testis
Setiap testis dikelilingi oleh simpai tebal jaringan ikat kolagen, yaitu
tunica albugenia. Tunica albugenia menebal pada permukaan posterior testis dan
membentuk mediastinum testis. Septum jaringan ikat tipis memanjang dari
mediastinum testis dan membagi setiap testis ke dalam sekitar 250 lobulus testis,
masing-masing mengandung 1-4 tubulus seminiferus yang dikelilingi jaringan ikat
longgar interstisial yang banyak mengandung pembuluh darah dan limfe, saraf,
dan sel leydig (18). Setiap tubulus seminiferus dilapisi oleh epitel germinal
berlapis, mengandung sel spermatogenik yang berproliferasi dan sel sertoli yang
tidak berproliferasi. Di tubulus seminiferus, selspermatogenik membelah, menjadi
matang, dan berubah menjadi sperma (19).
Ductus genital intratestis terdiri dari: tubuli recti, rete testis, dan ductuli
efferentes. Kebnyakan tubulus seminiferus terdapat dalam bentuk lengkungan,
dan kedua ujungnya berhubungan dengan rete testis oleh tubulus rektus yang
pendek. Dinding tubulus rektus dilapisi oleh sel sertoli, yang diikuti ruas utama
yang terdiri atas epitel kuboid yang ditunjang oleh selubung jaringan ikat padat.
Semua tubulus rektus mencurahkan isinya ke dalam rete testis, yaitu suatu jalinan
saluran yang saling terhubung dan dilapisi epitel kuboid. Saluran di rete testis
terbenam dalam jaringan ikat mediastinum. Rete testis bermuara ke dalam sekitar
20 ductuli efferentes. Ductuli efferentes dilapisi kelompok sel kuboid tak bersilia
yang diselingi sel bersilia yang lebih tinggi (18).
Sel leydig terdapat dalam lobuli testis, yang terletak di antara tubulus
seminiferus. Sel leydig mengandung beberapa serat kolagen, pembuluh darah dan
limf, saraf, bermacam-macam jenis sel termasuk fibroblas, makrofag, sel mast,
dan beberapa sel mesenkim yang belum berkembang. Sel leydig terdapat
berkelompok memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-susunan
tubulus seminiferus. Sel-selnya besar, dengan sitoplasma sering tampak
bervakuol. Inti selnya mengandung butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang
jelas. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik-titik lipid, dan
pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang (kristal reinke) (21).
Pada tikus, deferensiasi sel leydig pada postnatal dimulai sekitar minggu
kedua setelah kelahiran, yaitu hari ke 10. Perkembangannya terdiri dari beberapa
tahap yaitu; proliferasi sel-sel prekursor, diferensiasi sel-sel prekursor menjadi
sel-sel progenitor, diferensiasi sel-sel progenitor menjadi bentukan baru (newly
formed) sel leydig, kemudian berkembang menjadi sel leydig muda dan berakhir
menjadi sel leydig dewasa. Jumlah sel leydig sebelum dan pada masa pubertas
bertambah oleh dua mekanisme yaitu diferensiasi dari sel-sel mesenkim
(precursor) dan pembelahan mitosis dari bentukan baru sel leydig (23).
Fungsi reproduksi pria juga dipengaruhi oleh sel sertoli dan sel leydig. Sel
sertoli mensekresikan protein pengikat androgen dan inhibin, hal ini berfungsi
untuk mempertahankan pasokan androgen yang tinggi dan stabil dalam cairan
tubulus. Sel leydig mensintesis hormon testosteron yang berfungsi
mempetahankan proses spermatogenesis (25). Testosteron disintesis oleh enzim-
enzim yang terdapat pada mitokondria dan RE halus dalam suatu sistem yang
serupa dengan korteks adrenal. Ketika sel sertoli dirangsang oleh FSH, sekresi
testosteron oleh sel interstisial ditingkatkan oleh hormon gonadotropik lain pada
hipofisis.Hormon luteinisasi (LH), yang juga disebut hormon penstimulasi sel
interstisial (ICSH). Sintesis testosteron dimulai saat pubertas, saat hipotalamus
mulai menghasilkan hormon pelepas-gonadotropin (18).
b) Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang sakit
adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau rontok, dan
luka).
K P1 P2 P3
Way ANOVA dengan derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% ( α=0,05),
jika p-value lebih kecil dari α (p<0,05), artinya ditemukannya perbedaan di antara
kelompok perlakuan, maka H0 ditolak dan dilanjutkan dengan uji Least
Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk mengetahui kelompok mana
yang berbeda secara bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th ed. Alih bahasa,
Brahm U. Pendit: editor edisi bahasa Indonesia, Herman Octavius Ong,
Albertus Agung Mahode DR, editor. Jakarta: EGC; 2014.
2. Col E. Autocrine and paracrine regulation of leydig cell survival in the
postnatal testis. Stockholm: Karolinka Institute; 2007.
3. Pangkahila W. Anti-Aging Medicine. Memperlambat Penuaan
Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas; 2007.
4. Rayburn D, Carey. Obstetric and ginecology. Kalik T, editor. Jakarta:
EGC; 2004. 313-332 p.
5. Soegiharto Soebijanto. Konsensus Penanganan Infertilitas daftar isi.
Konsensus penanganan infertil. 2013;
6. Pascualoto S, Luxon A, Supreyto S, Pascualoto E, Arat S. Effect of medical
therapy alcohol smoking and endocrine disturbs on meal infertility. 59th ed.
2004. 375-382 p.
7. Speroff L, Fritz M. Clinical gynecologie endocrinology and infertility. 7th
ed. Lippincot W, Wilkins, editors. Philadelphia; 2005. 575-600 p.
8. Olooto, W.E. Infertility in male ; risk factors , causes and management- A
review. J Microbiol Biotechnol Res. 2012;2(4):641–5.
9. Megawati ER. Penurunan Jumlah Sperma Hewan Coba Akibat Pajanan
Monosodium Glutamate. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 8 p.
10. Dada MO, Blake CA. Administration of MSG to Neonatal Male Rats:
Alterations in Gonadotrophs and in Gonadotropn Secetions. Neuroendocri-
nology. 1984;38(6):90–7.
11. Nizamuddin. Pengaruh Pemberian MSG Peroral terhadap Spermatogenesis
dan Jumlah Anak Tikus Putih Jantan Dewasa. J Kedokt Yars.
2000;8(3):93–113.
12. Suryadi E, Iryani D, Suyono SK. Jurnal Anatomi Indonesia Perubahan sel-
sel Leydig tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa setelah pemberian
monosodium glutamat peroral. J Anat Indones [Internet]. 2007;1(3):129–
32. Available from:
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/31176802/1134-2197-
1-PB.pdf?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=149022455
0&Signature=DUw6tNbE8kiJgEV8NfQtogptdYo%3D&response-content-
disposition=inline%3B filename%3DPerubahan_sel-sel_Leydig_tikus_put
13. Sukmaningsih AAS., Ermayanti IGAM, Wiratmini NI, Sudatri NW.
Gangguan Spermatogenesis Setelah Pemberian Monosodium Glutamat
Pada Mencit ( Mus musculus L .) The Disturbance On Spermatogenesis
After Administration Of Monosodium Glutamate On Mice ( Mus musculus
L .). J Biol. 2009;XV(2):49–52.
14. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa. Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Jakarta: BPOM; 2013.
15. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Widyastuti P, editor.
Jakarta: EGC; 2003.
16. Moore KL, II AFD, Agur AMR, Moore ME. Anatomi Berorientasi Klinis.
5th ed. Astikawati R, editor. Erlangga;
17. Widjaja IH. Anatomi Pelvis. Mahode AA, Surya M, editors. Jakarta: EGC;
2010.
18. Mescher AL. Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas. 12th ed. Hartanto
H, editor. Jakarta: EGC; 2011.
19. Eroschenko VP. Atlas Histologi diFiore: Dengan Korelasi Fungsional. 11th
ed. Dharmawan D, Yesdelita N, editors. Jakarta: EGC; 2010.
20. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. 10th ed. Dany
F, editor. Jakarta: EGC; 2007.
21. Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. Buku Ajar Histologi. 5th ed.
Tambajong J, Wonodirekso S, editors. Jakarta: EGC; 1996.
22. Setiawan FE, Miranti IP, Winarni TI. Pengaruh Paparan Obat Nyamuk
Terhadap Gambaran Histologi Sel Leydig Tikus Sprague Dawley. 2014;
23. Chen H, Zirkin BR. Long-term suppression of Leydig cell steroidogenesis
prevents Leydig cell aging. 1999;96(26):14877–81.
24. Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3rd ed. Andrianto
A bahasa: P, editor. Jakarta: EGC; 1990.
25. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Novrianti A, Dany
F, Resmisari T, Rachman LY, Muttaqin H, Nugroho AW, et al., editors.
Jakarta: EGC; 2008.
26. Cahyadi W. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta: Bumi Aksara; 2008.
27. Yonata A, Iswara I, Ilmu B, Dalam P, Kedokteran F, Lampung U. Efek
Toksik Konsumsi Monosodium Glutamate Toxic Effects Consumption of
Monosodium Glutamate. 2016;2:1–5.
28. Beyreuther K, Biesalski HK, Fernstrom J. Consensus meeting :
Monosodium glutamate - An update Consensus meeting : monosodium
glutamate – an update. 2007;(May 2014).
29. Prawirohardjono W, Dwiprahasto I, Astuti I, Hadiwandowo S, Kristin E,
Muhammad M, et al. Glutamate Safety in the Food Supply The
Administration to Indonesians of Monosodium L -Glutamate in Indonesian
Foods : An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized Double-
Blind, Crossover, Placebo-Controlled Study. 2000;130(4):1074–6.