Professional Documents
Culture Documents
PHARMACOKINETICS AND
PHARMACODYNAMICS PROCESS
Contributors:
dr. Elly Mayangsari, M.Biomed.
Dr. drg. Nur Permatasari, MS.
Dr. dr. Setyawati Soeharto, M.Kes.
Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes.
Prof. Dr. dr. Nurdiana, M.Kes.
Prof. Dr. dr. Mulyohadi Ali, Sp.FK.
Dr. Husnul Khotimah, S.Si., M.Kes.
dr. Hikmawan WS. PhD
Departement of Pharmacology
Faculty of Medicine
Brawijaya University
Malang
2021
PHARMACOKINETICS AND PHARMACODYNAMICS PROCESS
Code : MKK : BMS 6
SKS : 3
Semester: 2
THE AIM:
LEARNING EXPERIENCES::
The course format will consist of lectures, practices and small group discussion
RECOMMENDED TEXTBOOK:
2
COORDINATOR Elly Mayangsari,dr.,MBiomed
TEACHING STAFFS and
ADMINISTRATOR
DRUGS INTERACTION AND SIDE
dr. Hikmawan WS, PhD EFFECTS FARMACOGENOMICS
FACILITATOR
AUTOCOI
Dr. Umi Kalsum, dr,. MKes
DS
FACILITA
TOR
PHARMACODYN
Dr.dr.Setyawati Soeharto, MKes AMICS SSO
SIMPATIS
SSO
PARASIMPATIS
FACILITATOR
TOXICOLO
Prof. Dr. Nurdiana, dr.,MKes
GY
FACILITAT
OR
PHARMACOKIN
Dr. Nur Permatasari, drg.,MSi ETICS HERBAL
MEDICINE
FACILITATOR
DRUG FORMULATIONS
PHARMACODYNAMICS OF
Elly Mayangsari,dr.,MBiomed ANTIMICROBIALS AGENT
RECIPE
Facilitator
ANTI CANCER
Dr. Husnul Khotimah, S.Si, M.Kes
DRUG DEVELOPMENT
3
MODUL DISKUSI 1
Modul 1:
Seorang wanita usia 20 tahun memiliki riwayat asthma dan sudah menggunakan Salbutamol inhaler untuk
mengatasi gejala asmanya. Pada awalnya, 1 semprot Salbutamol inhaler sudah dapat mengurangi gejala
sesaknya, tapi seiring dengan penggunaannya yang sudah cukup lama (kurang lebih 2 tahun an), dia
membutuhkan 2-3 semprot untuk dapat mengurangi gejala sesaknya. Oleh karena dokter manila gejala
asmanya belum terkontrol dengan baik, dokter memberikan tambahan obat budesonide inhaler untuk
mengontrol sesaknya.
Lingkup: Farmakokinetik, Farmakodinamik. SSO
Soal:
a) Jelaskan farmakokinetik obat pada kasus, bagaimana onsetnya?
Albuterol/Salbutamol Budesonide
Setelah pemberian dosis oral dari
Setelah pemberian dengan cara senyawa termikronisasi biasa,
menghirup, antara 10 dan 20% penyerapannya cepat dan
dosis mencapai saluran udara tampaknya lengkap. Sebagian besar
bagian bawah. Sisanya disimpan obat diserap dari ileum dan kolon
dalam sistem pengiriman atau asendens. Ketersediaan sistemik
disimpan di orofaring dari mana ia pada subjek sehat sekitar 9-12%
Absorpsi ditelan. Fraksi yang disimpan di untuk Kapsul CR Entocort. Ini
saluran udara diserap ke dalam serupa dengan ketersediaan sistemik
jaringan paru dan sirkulasi tetapi budesonida termikronisasi polos,
tidak dimetabolisme oleh paru- yang menunjukkan penyerapan
paru. lengkap. Pada pasien dengan
penyakit Crohn aktif, ketersediaan
sistemik sekitar 12-20% pada awal
pengobatan.
Budesonide memiliki volume
distribusi yang tinggi (sekitar 3 L /
kg). Pengikatan protein plasma rata-
Salbutamol terikat pada protein rata 85-90%. Pada relawan sehat
Distribusi plasma sejauh 10%. rata-rata konsentrasi plasma
maksimal 5-10 nmol / L terlihat
pada 3-5 jam setelah dosis oral
tunggal Entocort CR Capsules 9
mg.
Metabolisme Saat mencapai sirkulasi sistemik, Budesonide kemudian mengalami
obat ini dapat diakses oleh biotransformasi ekstensif di hati
metabolisme hati dan menjadi metabolit aktivitas
diekskresikan, terutama dalam glukokortikosteroid rendah.
urin, sebagai obat yang tidak Aktivitas glukokortikosteroid dari
4
berubah dan sebagai sulfat
fenolik. Porsi yang ditelan dari
dosis yang dihirup diserap dari metabolit utama, 6β-
saluran gastrointestinal dan hydroxybudesonide dan 16α-
mengalami metabolisme jalur hydroxy-prednisolone, kurang dari
pertama yang cukup ke sulfat 1% dari budesonide. Metabolisme
fenolik. Baik obat yang tidak budesonida terutama dimediasi oleh
berubah dan konjugat CYP3A, subfamili dari sitokrom
diekskresikan terutama dalam P450.
urin.
b) Jelaskan interaksi obat pada kasus dengan reseptornya. Bagaimana proses signalingnya?
Salbutamol
Salbutamol merupakan golongan β2 yang akan bekerja pada reseptor β2. Salbutamol yang
berikatan dengan reseptor β2 pada otot polos bronkus akan mengaktifkan G-protein pada membrane
sel yang akan mengaktivasi enzim adenilat siklase yang bertugas mengubah ATP menjadi cAMP.
Ketika cAMP naik, otot polos bronkus akan berelaksasi dan resistensi jalan napas akan berkurang
dengan cara menurunkan konsentrasi ion kalsium di intraseluler dan mengaktivasi kanal K+ dengan
konsekuensi hiperpolarisi membrane sel otot polos saluran napas.
Salbutamol bekerja pada reseptor β2, menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, aktivasi ini
peningkatan kadar cAMP intrasel, peningkatan ATP melalui adenil siklasi dan protein G lalu cAMP
mengaktifkan enzim dilanjutkan dengan fosforilasi dan penurunan kadar Ca2+ intrasel karena
uptake di RE meningkat. Lalu dapat mengaktivasi kanal ion Ca2+-> menginaktivasi rantai ringan
myosin kinase -> hiperpolarisasi otot polos -> neuron tidak menghasilkan aksi potensial. Aktivitas
β2 menyebabkan peningkatan sekresi pada kelenjar bronkus, sedikit kenaikan tekanan darah, dan
menyebabkan penurunan sel mast shg inflamasi menurun.
cAMP meningkat-> aktivasi pka -> peningkatan potassium (K+) efflux -> hiperpolarisasi ->
menurunkan pengikatan aktin myosin. Jika efek cukup maka G protein akan defosforilasi shg akan
5
G protein kembali berikatan dg GDP yg menyebabkan terlepasnya ikatan ligan dengan reseptornya.
Budesonide
Budesonide termasuk golongan kortikosteroid, ia berperan sebagai anti inflamasi. Ia secara
langsung berdifusi melalui membrane sel dan berikatan dengan reseptor yang ada di sitoplasma,
lalu memberntuk kompleks di nucleus yang mempengaruhi protein.
c) Jelaskan pengaruh obat dalam kasus pada sistem saraf otonom. Jika obat diberikan lebih
dari 3 semprot, apa efek samping yang mungkin terjadi?
Jika diberikan lebih dari 3x semprot, maka berpotensi menimbulkan overdosis karena dosis
yang diberikan mendekati toksisitas. Terdapat beberapa efek samping yang ditimbulkan, yakni
nyeri kepala, otot kebas dan gemetar. Jika dalam dosis yang besar, mengakibatkan jipokalemia
serius, yakni keadaan dimana kadar kalium dalam intrasel turun, lalu iskemik miokard, serta
alergi/hipersensitivitas, termausk kolaps, urtikaria, hipotensi, angioedema, paradox, dan
bronkospasm. Selain itu, juga dapat mengakibatkan nyeri dada, tremor otot rangka, hipotensi,
kenaikan tekanan darah, aritmia, efek hyperinsulinemia dan hiperglikemi.
d) Mengapa penggunaan obat dalam kasus tersebut membutuhkan dosis lebih besar setelah
penggunaan 2 tahun?
Ketika suatu obat dikonsumsi dalam jangka Panjang, maka sensitivitas reseptor akan turun.
Reseptor yang terlalu sering terpapar oleh suatu obat akan mengalami toleransi terhadap obat
tersebut, sehingga dosis pemakaian perlu ditingkatkan. Hal ini disebut dengan down regulation.
f) Jelaskan pengaruh penambahan terapi budesonide ditinjau dari konsep regulasi reseptor?
Budesonide merupakan obat golongan kortikosteroid sebagai pengonrol dari salbutamol,
sedangkan salbutamol sebagai reliever dari sesak yang diderita oleh pasien asma. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kerja salbutamol daoat dioptimalkan dengan pemberian budesonide.
g) Jelaskan perbedaan dari sisi farmakokinetik jika obat diberikan dengan sediaan per oral?
Pebedaan antara keduanya terletak pada onsetnya. Salbutamol yang diberikan secara inhalasi
memiliki onset yang lebih cepat dibandingan dengan peroral. Inhaler akan langsung bekerja di
bronkus, berbeda halnya dengan peroral inhaler yang harus mengalami proses ADME 6yang
memakan waktu lebih lama lagi. Ia harus diabsorpsi di saluran pencernaan terlebih dahulu, lalu
didistribusikan melalui peredaran darah, menuju site effect, di metabolism di hepar, baru dapat
diekskresikan.
Modul 2:
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun dengan BB 12 kg datang ke dokter dengan keluhan nyeri telan sejak 5
hari yang lalu disertai dengan demam. Sementara ini, ibu pasien sudah memberikan obat paracetamol
syrup dengan dosis sesuai yang tertera pada label. Setelah melakukan pemeriksaan fisik, dokter
mendiagnosisnya sebagai faringitis akut bacterial. Dokter memberikan obat Amoxicillin (dosis 30-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis) untuk pemakaian 5 hari dalam bentuk syrup (sediaan 125 mg/5 mL).
Selain itu, dokter juga memberikan obat Paracetamol (dosis 30-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis)
untuk diminum jika demam/ nyeri saja (seperlunya) dalam bentuk syrup (120 mg/5 mL). Setelah
pemakaian 1 hari ternyata anak tersebut mengalami ruam-ruam kulit disertai dengan gatal pada bagian
tangan dan kaki dan dokter mengatakan bahwa anak tersebut kemungkinan mengalami alergi terhadap
antibiotik yang diberikan. Dokter kemudian mengganti antibiotik jenis lain yaitu Cefadroxil syrup (2 dosis
per hari).
Lingkup: Farmakokinetik, Farmakodinamik, Antimikroba, Autakoid, Regulasi obat dan sediaan obat,
Penulisan resep, Efek samping
Soal:
a) Jelaskan apa yang menjadi dasar bagi dokter menentukan interval pemberian obat? Apa
perbedaannya jika obat diberikan dalam bentuk puyer?
- Interval dosis dapat memberikan Batasan dosis minimal suatu obat dapat menghasilkan efek
dan Batasan dosis tertinggi obat tersebut sebelum masuk dalam ranah dosis toksik. Ketika
belum mengetahui riwaya alergi obat atau Riwayat pemberian dosis pada pengobatan
sebelumnya, maka sebaiknya odkter mengambil dosis minimal dari interval yang diberikan.
Perbedaan waktu paruh pada masing-masing obat juga memperngaruhi interval/jarak waktu
pemberian tiap dosisnya
- Jika diberikan dalam bentuk puyer, terdapat perbedaan dari segi bentuk dan sediaannya.
Sediaan berbentuk serbuk, dosisnya dapat disesuaikan dengan berapa gram takaran yang kita
berikan, sedangkan pada sirup dimungkinkan dapat terpengaruh jika tidak sesuai
pemberiannya, sebab adanya penambahan zat pelarut
- Dasar dokter dalam menentukan interval :: jika bentuknya puyer maka amoxicillin dengan
waktu paruh 6-8 jam, jadi dalam sehari/24 jam dibagi dengan 8 jam, dihasilkan 3 bagian dosis.
Artinya obat diberikan setiap 8 jam sekali. Selanjutnya, bantuk puyer identic dengan rasa pahit
yang mana itu tidak disarankan untuk anak-anak. Waktu paruh diperngaruhi oleh kecepatan
distribusi dan klirens. Sedangkan klirens pada anak-anak relative lebih lambat dikarenakan
fungsi glomerulusnya belum sempurna, sehingga interval obat juga berlangsung lebih lama,
seperti pada lansia.
- Sirup, ia merupakan bentukan yang lebih praktis dan mudah diserap tubuh karena berbentuk
larutan. Sedangkan puyer, tingkat homogenisasinya lebih rendah, namun lebih ekonomis dan
dapat ditakar sesuai kebutuhan.
c) Efek samping yang terjadi pada kasus tersebut termasuk dalam kategori yang mana?
Jelaskan.
Reaksi yang timbul yakni anafilaksis atau hipersensitivitas, yang disebabkan oleh degranulasi
sel mast yang mengeluarkan mediator-mediator, seprti histamin, lekotrin, dan sitokin. Sehingga
memicu terjadinya peningkatan permeabilitas vesikuler dan kontraksi otot halus sehingga
vasodilatasi.
d) Bagaimana mekanisme kerja dari obat yang disebutkan dalam kasus tersebut?
- Paracetamol merupakan obat analgetic dan non narkotik yang memiliki cara kerja menghambat
proses sintesis prostaglandin, terutama di system saraf pusat (SSP). Ia bekerja dengan
menghambat enzim sikloogsigenase (COX). Efek analgesic paracetamol menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai dengan sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral Paracetamol. NSAI antiinflamasi,
analgesic non narkotik, menghambat cox-3 (di hipotalamus) yang mengubah asam arakhidonat
8
menjadi PG, dengan menghilangkan nyeri ringan hingga sedang, menurunkan subuh tubuh
berdasarkan efek sentral. Paracetamol tidak menyebabkan nyeri pada lambung karena hanya
bekerja di sentral, tidak di perifer
- Amoxicilin dan cefadroxil merupakan antibiotic golongan broad spectrum yang dapat bekerja
terhadap banyak bakteri, baik dair grap positif maupun negative. Cara kerja mereka yakni
dengan merusak/inhibisi sintesis dinidng sel dair bakteri, ia termasuk bakterisidal.
Ibu pasien dapat membeli obat paracetamol sendiri karena paracetamol merupakan golongan obat
bebas, yakni obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Disimbolkan
dengan lingkaran hijau dengan garis tepi hitam pada kemasan dan etiket.
9
MODUL DISKUSI 2
Modul 1
Seorang remaja laki-laki dibawa ke IGD dini hari pukul 02.00 dalam kondisi tidak sadar. Dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat akhirnya dokter mendiagnosis sebagai intoksikasi
amphetamine yang digunakan dengan cara dihirup (pKa = 9.9). Selain penanganan suportif, dokter
berencana untuk meningkatkan ekskresi amphetamine dengan mempengaruhi pH urine.
Lingkup: Farmakokinetik, Farmakodinamik, SSO, Toksikologi
Soal:
a) Jelaskan farmakokinetik obat pada kasus di atas.
Absorbsi
Amfetamin diserap dengan baik di usus dan karena merupakan basa lemah maka semakin basa
lingkungan, semakin banyak obat yang ditemukan dalam bentuk yang larut dalam lemak dan
penyerapan melalui membran sel kaya lemak sangat disukai. Respon puncak amfetamin terjadi 1-3
jam setelah pemberian oral dan sekitar 15 menit setelah injeksi dan ketersediaan hayati lebih dari
75%. Penyerapan amfetamin lengkap biasanya dilakukan setelah 4-6 jam.
Volume distribusi
Amfetamin dilaporkan memiliki volume distribusi yang tinggi yaitu 4 L / kg. Didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh, dengan tingkat tinggi di otak. Larut lemak yang tinggi akan
meningkatkan konsentrasi zat di hati, ginjal dan paru.
Pengikatan protein
Pengikatan protein amfetamin yang dilaporkan relatif rendah dan tercatat 20%
Metabolisme
Amfetamin diketahui dimetabolisme oleh hati di bawah aksi CYP2D6. Jalur metabolisme
amfetamin terutama ditentukan oleh hidroksilasi aromatik, hidroksilasi alifatik, dan n-dealkilasi.
Metabolit yang terbentuk pada jalur ini adalah 4-hydroxyamphetamine, 4-hydroxynorephedrine,
hippuric acid, benzoic acid, benzyl methyl ketone, dan p hydroxyamphetamine yang dikenal
sebagai halusinogen yang ampuh. Namun, sebagian besar dari senyawa aslinya tetap tidak berubah.
Eliminasi
Penghapusan amfetamin terutama melalui urin dimana sekitar 40% dari dosis yang diekskresikan
ditemukan sebagai amfetamin yang tidak berubah. Sekitar 90% dari amfetamin yang diberikan
dihilangkan 3 hari setelah pemberian oral.11 Tingkat eliminasi amfetamin sangat tergantung pada
pH urin di mana pH asam akan menghasilkan ekskresi amfetamin yang lebih tinggi dan pH basa
menghasilkan ekskresi yang lebih rendah
b) Sebutkan golongan obat yang menyebabkan intoksikasi pada pasien tersebut. Bagaimana
tatacara penulisan resep obat yang masuk dalam kategori ini?
Dalam lampiran UU Narkotika No. 35 Th. 2009 yang diperjelas dengan PP No. 40 Tahun 2013,
1
0
baik itu amfetamin dan metamfetamin juga cathione dan metcanthinone, termasuk dalam Daftar
Narkotika Golongan I atau “O” (Opium)
- Cara penulisan resep harus disertai dengan TTD dokter, untuk jumlah pemberian obatnya
menggunakan angka romawi + latin, misal : No. V (lima)
- Ditulis dalam resep terpisah dengan obat lain tanpa ada pengulangan
- Inscirptio, artinya obat psikotropika hanya berlaku dalam 1 kota/provinsi saja
- Diberikan tanda N.I (Ne iteratie / tidak dapat diulang) di sebelah atas blanko resep
- Tidak boleh ada m.i (mihipsi) yang berarti hanya untuk dipakai sendiri
- Alamat menjadi hal wajib untuk pelaporan dinker (salah bener?) setempat
- Resep diberi tanda tangan bukan paraf
Hal yang harus dilakukan ketika mendapatkan pasien dengan intoksikasi amfetamin antara lain
ialah menjaga agar pasien tetap tenang, hindarkan dari stimulasi berlebih, membawa pasien ke
tempat yang lebih tenang, dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh pasien. Hal yang tidak
boleh dilakukan antara lain ialah berdebat dengan pasien, menanyakan banyak sekali pertanyaan
1
1
kepada pasien, dan melakukan anamnesis yang panjang terhadap pasien. Dapat dilakukan juga
terapi simptomatik, yakni memberinya dengan selimut dingin saat suhu tubuh meningkat,
memberikan beta blocker saat ia hhipertensi/takikardi, memberinya dengan diazepam intravena
saat ia kejang-kejang, beri Bz saat agitasi, bila tidak teratasi, beri antipsikotropika. Dan motivasi
pasien untuk mengikuti program rehabilitasi.
Pengunaan diuresis dapat membantu mempercepat pengeluaran urin dari dalam tubuh namun
tidak terlalu direkomendasikan untuk digunakan karena dapat menyebabkan overload dan
abnormalitas elektrolit. Penurunan pH dapat dilakukan sehingga urin menjadi dalam kondisi
asam. Asidifkasi dapat meningkatkan konsentrasi urin terhadap obat seperti phencyclidine dan
amphetamines tetapi tidak disarankan karena toksikasi amfetamin biasa diikuti dengan gagal
ginjal dan rhabdomyolisis dan dapat memperparah kondisi juga. Peningkatan pH urin dapat
dilakukan dengan administrasi amonium klorida dan asam askorbat. Urin diasamkan dengan cara
pemberian salah satunya ammonium klorida agar urin menjadi asam dan bisa mengionkan
amfetamin yang basa agar proses ekskresi amfetamin lewat urin berjalan cepat.
a. Amfetamin ekskresinya dipengaruhi oleh pH urin
b. Dokter dibuat semakin asam untuk mempercepat proses eliminasi, dokter memberikan
amoniumklorida NH4CL.
c. B + H+ --> BH+
Amfetamin merupakan obat yang bersifat basa lemah, pada kondisi lingkungan asam maka H+
konsentrasi besar maka kesetimbangan bergeser ke arah produk sehingga banyak amfetamin yang
terionisasi sehingga reabsorpsi ada tubulus proksimal menurun dan eliminasi meningkat
Referensi :
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
1
2
MODUL DISKUSI 3
Modul 1
Seorang peneliti dalam bidang farmakologi ingin mengembangkan alternative terapi untuk
penanganan hipertensi dengan ekstrak herbal. Pada penelitian in vitro diketahui bahwa ekstrak
herbal tersebut mengandung zat yang kerjanya menyerupai beta blocker (sudah ditemukan lead
compound-nya). Pada awalnya peneliti tersebut meneliti pada tikus yang dibuat hipertensi dan
akhirnya menyimpulkan bahwa ekstrak herbal ini memiliki efek antihipertensi. Setelah diuji
toksisitas akut, kronik, dan uji teratogeniknya pada hewan coba dan telah dipastikan aman,
akhirnya peneliti tersebut meneliti tingkat kemanannya pada subjek manusia sehat (jumlah
terbatas). Pada tahap selanjutnya, peneliti tersebut melakukan uji coba pada pasien hipertensi
dalam jumlah tertentu untuk melihat efek antihipertensi dari ekstrak herbal tersebut.
Lingkup: Pengembangan obat, Obat herbal
Soal:
a) Bagaimana mekanisme kerja ekstrak herbal ini ke sistem saraf otonom?
Obat herbal tersebut mengandung zat beta-blocker atau beta antagonist di dalamnya. Kedua zat
tersebut terbukti sangat efektif dalam mengatasi hipertensi, hipotensi, shock, gagal jantung,
dan gangguan pernapasan. Beta blocker akan menghambat reseptor beta sehingga dapat
mengurangi cardiac output maupun menurunkan resistensi vaskuler perifer, bergantung pada
cardioselectivity dan partial agonist activity. Beta blocker juga dapat menghambat stimulasi
renin oleh catecholamines yang dimediasi oleh reseptor beta-1. Hal itu akan menurunkan renin
angiotensin-aldosterone system. Beta blocker data menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang normal maupun rendah. Selain itu, beta blocker juga dapat
berperan di presinaptik beta adreno receptor perifer untuk mengurani vasokonstriksi saraf
secara simpatik.
b) Berdasarkan konsep obat herbal, herbal ini dapat diklasifikasikan sebagai? (Jamu,
OHT, Fitofarmaka, Obat). Jelaskan.
Obat herbal yang dimaksud tegrolong fitofarmaka, sebab ia merupakan obat dari bahan alami
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatya secara ilmiah dengan uji preklinik dan uji
klinik. Bahan baku serta produk jadinya juga telah berstandardisasi. Golongan obat
fitofarmaka diperbolehkan penggunaannya dalam praktik kedokteran dan pelayanan
Kesehatan formal.
Dalam kasus diatas, obat herbal telah diuji sampai tahapan klinik tahap 2
Modul 2
Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan batuk lebih dari 1 bulan, penurunan berat
badan, dan sering berkeringat malam hari. Pasien juga sedang dalam pengobatan diabetes
mellitus dan sedang dalam terapi rutin dengan Glibenclamide. Glukosa darah saat ini terkontrol
dengan baik. Setelah melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sputum, pasien didiagnosis
dengan TB paru dan direncanakan untuk menjalani pengobatan selama 6 bulan (2 bulan pertama
dengan regimen Rifampisin, Pirazinamid, Isoniazid dan Ethambutol; 4 bulan berikutnya dengan
regimen Rifampisin dan Isoniazid). Setelah terapi OAT (oral anti-tuberculosis), hasil
pemeriksaan menunjukkan glukosa darah pasien relatif tinggi. Pasien ini juga mengalami rasa
kesemutan setelah meminum obat dan dokter menduga bahwa pasien mengalami neuritis perifer
yang diinduksi oleh kadar isoniazid yang tinggi pada plasma.
Lingkup: Efek samping dan interaksi obat, Antimikroba,
Farmakogenomik Soal:
a. Jelaskan mekanisme kerja obat anti TB pada kasus di atas
- Isoniazid : menghambat biosintesis asam mikolat yang mempunyai komponen esensial
dinding sel mikrobakteri. Isoniazid yang telah aktif membentuk suatu kompleks kovalen
dengan suatu protein pembawa asil (acyl carrier protein, AcpM) dan KasA, suatu beta-
asil protein pembawa sintetase, yang menghambat pembentukan asam mikolat dan
mematikan sel.
- Rifampin : mengikat subunit β RNA polimerase dependen DNA bakteri dan karenanya
menghambat pembentukan RNA. Rifampin bersifat bakterisidal bagi mikobakteri. Obat
ini mudah menembus sebagian besar jaringan dan masuk ke dalam sel fagositik.
Rifampin dapat mematikan organisme yang sulit diakses oleh banyak obat lain, misalnya
organisme intrasel dan organisme yang terdapat di dalam abses dan kavitas paru.
- Etambutol : menghambat arabinosil transferase mikobakteri yang disandi oleh operon
embCtc. Arabinosil transferase berperan dalam reaksi polimerisasi arabinoglikan, suatu
komponen esensial dari dinding sel mikobakteri. Seperti semua obat antituberkulosa
lainnya, resistensi terhadap etambutol muncul cepat jika obat digunakan secara
tersendiri. Karena itu, etambutol selalu diberikan dalam kombinasi dengan obat
1
4
antituberkulosa lain.
- Pirazinamid : diubah menjadi asam pirazinoat bentuk aktif obat-oleh pirazinamidase
mikobakteri, yang disandi oleh pncA. Target spesifik obat ini belum diketahui, tetapi
asam pirazinoat mengganggu metabolisme membran sel mikobakteri dan fungsi
transpornya.
b. Mengapa kendali glukosa darah lebih buruk dibandingkan sebelum terapi dengan
OAT?
Hal ini dikarenakan rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat,
sehingga ia mempercepat metabolism beberapa agen hipoglikemik oral terutama
sulphonylureas (Glibenclamide) dan ia menurunkan kadar plasma. Oleh karenanya,
rifampisin dapat memperparah hiperglikemia pada pasien diabetes. Selain itu, berbagai obat
hipoglikemik oral seperti glibenclamide akan berkurang efektivitasnya apabila diberikan
secara bersamaan dengan rifampisin.
Referensi :
Hairunnisa, H., 2019. Sulitnya Menemukan Obat Baru di Indonesia. Majalah Farmasetika, 4(1),
pp.16-21
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
DEVADATTA, S., GANGADHARAM, P. R., ANDREWS, R. H., FOX, W., RAMAKRISHNAN,
C. V., SELKON, J. B., & VELU, S. (1960). Peripheral neuritis due to isoniazid. Bulletin of the
World Health Organization, 23(4-5), 587–598.
1
5