You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ibadah merupakan suatu perkara yang perlu adanya perhatian
terhadapnya, karena ibadah itu tidak bisa dimain-mainkan apalagi
disalahgunakan. Dalam islam ibadah harus berpedoman pada apa yang
telah Allah perintahkan dan apa yang telah diajarkan oleh Nabi
Muhammmad SAW kepada umat islam, yang dilandaskan pada kitab
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad  berupa kitab suci Al-
Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi atau dengan
kata lain disebut dengan hadits nabi
Sebagai rasa syukur terhadap Allah swt, hendaknya kita sadar diri
untuk beribadah kepada sang Pencipta Langit dan Bumi beserta isinya
sesuai syari’at Nya. Dalam ibadah, kita harus memperhatikan jenis-jenis
ibadah yang kita lakukan. Apakah ibadah tersebut termasuk dalam ibadah
wajib, sunnah, mubah, dan makruh.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keutamaan ibadah shalat?
2. Bagaimana keutamaan shalat pada awal waktunya?
3. Bagaimana keutamaan shalat wajib dan sunnah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keutamaan ibadah shalat.
2. Untuk mengetahui keutamaan shalat pada awal waktunya.
3. Untuk mengetahui keutamaan shalat wajib dan sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keutamaan Sholat
Sholat adalah yang paling utama dari ibadah-ibadah badaniyah
yang tampak, kemudian puasa, haji dan zakat, fardlu dan sunnah-
sunnahnya sholat adalah utama-utamanya fardlu dan sunnah. Sholat
merupakan rukun Islam yang ke dua, dan dia adalah tiangnya agama.
Keutamaannya sangat besar sebagaimana yang dalam salah satu firman
Allah SWT ;
        
      

Artinya : " Dan laksanakanlah sholat pada kedua ujung siang (pagi dan
petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-
perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat
(Allah)." (QS ; Hud : 114)

Hadits :
ِ ِ‫الرحم ِن َعن َأب‬ ِ ِ ِ ‫ِإ‬ ِ
‫يه‬ ْ َ ْ َّ ‫يل بْ ُن َج ْعفَ ٍر َع ْن ال َْعاَل ء بْ ِن َع ْب د‬
ُ ‫َح َّد َثنَا َعل ُّي بْ ُن ُح ْج ٍر َأ ْخَب َرنَا ْس َمع‬
‫س‬
ُ ‫ات الْ َخ ْم‬
ُ ‫الص لَ َو‬ َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬
َّ ‫قَال‬ ِ َ ‫َأن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ َ‫َع ْن َأبِي ُه َر ْي َرة‬
‫ش الْ َكبَاِئُر‬ ِ ٌ ‫والْجمعةُ ِإلَى الْجمع ِة َك َّفار‬
َ ْ‫َم ُتغ‬
ْ ‫ات ل َما َب ْيَن ُه َّن َما ل‬ َ َُ ُ َُ ُ َ
214. Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Isma'il bin Ja'far
menceritakan kepada kami dari Al Ala" bin Abdurrahman, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Shalat lima (kali) dan shalat Jum'at sampai ke shalat Jum'at berikutnya
adalah penghapus dosa diantara waktu-waktu tersebut, selama tidak
melakukan dosa-dosa besar. " Shahih: Ta'liqur-Raghib (1/137)1

Ia berkata, "Didalam bab ini terdapat hadits dari Jabir, Anas dan
Hanzhalah Al Usaidi." Abu Isa berkata, "Hadits Abu Hurairah ini adalah
hadits hasan shahih."

1
E-book Kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi No.48 Keutamaan Shalat Lima Waktu.
Sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam:
1. “Pokok terpenting dari segala perkara adalah Islam, dan tiangnya
adalah shalat, serta puncak tertingginya adalah jihad di jalan
Allah,” (HR Tirmidzi: 616).

2. “(Yang membedakan) antara seseorang dan kekufuran adalah


meninggalkan shalat,” (HR Muslim: 134, Kitab Al-Iman).

3. “Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka


bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan
menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, maka
mereka telah menlindungi harta dan jiwanya dariku kecuali karena
hak Islam, dan hisab (perhitungan) amal mereka diserahkan kepada
Allah Azza Wa Jalla,” (HR Al-Bukhari).

4. “Perumpamaan salat lima waktu ibarat sebuah sungai tawar yang


deras yang ada di dekat pintu rumah salah seorang dari kalian, yang
ia mandi di dalamnya sebanyak lima kali setiap hari, maka apakah
kaliah melihat adanya kotoran yang tersisa padanya?” Para sahabat
berkata, “Tidak ada sedikitpun.” Beliau melanjutkan,
“Sesungguhnya shalat lima waktu itu dapat menghilangkan dosa-
dosa sebagaimana air dapat menghilangkan kotoran,” (HR Muslim:
284, Kitab Al-Masajid).

5. “Tidaklah seorang muslim yang ketika tiba waktu shalat fardhu dia
membaguskan wudhunya dan kekhusyukannya serta rukuknya
melainkan shalat itu menjadi penghapus dosa-dosanya yang telah
lewat, selama dia tidak berbuat dosa besar, dan itu sepanjang
masa,” (HR Muslim: 7, Kitab Ath-Thaharah, dan Imam Ahmad:
5/260).

6. Rasulullah SAW. telah menjelaskan bahwa shalat menghapus


kesalahan. “Bagaimana pendapatmu jika ada sungai di depan pintu
rumah di antaramu, mandi di sana lima kali sehari, apakah masih ada
daki di tubuhnya?” Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah.”
Sabda Nabi, “Itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah
menghapus kesalahan dengan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-


hamba-Nya di akhirat, adalah shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat
adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh dia telah
berbahagia dan selamat. Dan apabila jelek shalatnya maka dia telah
binasa dan merugi” (HR. Baihaqi, dishahihkan al Albani dalam ash-
Shahihah no. 1358 dengan banyak jalan dan penguat-penguatnya, lihat
al-Kaba’ir hal 20).

B. Shalat Pada Awal Waktu


Shalat tidak boleh dilaksanakan di sembarang waktu. Allah SWT.
Dan Rasulullah SAW. telah menentukan waktu-waktu pelaksanaan shalat
yang benar menurut syariat islam. Allah SWT. berfirman dalam Al-
Qur’an surat An- Nisa ayat 103 sebagai berikut:
     
      
       
 
Artinya: “Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah
Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An- Nisa
ayat 103)

Ayat tersebut menetapkan bahwa shalat dilaksanakan sesuai


dengan waktu-waktu yang telah ditetapkan. Shalat yang lima waktu,
memiliki lima waktu yang tertentu. Dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 114
menegaskan sebagai berikut:
        
      

Artinya: “Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi
dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat”.(QS. Hud ayat 114)

Hadits :
‫ول اللَّ ِه‬
َ ‫َأن َع ْب َد اللَّ ِه بْ َن عُ َم َر َوَأبَا ُه َر ْي َرةَ َح َّدثَاهُ ََّأن ُه َما َس ِم َعا َر ُس‬
َّ ‫اء‬ ِ
َ َ‫ْح َك ِم بْ ِن مين‬ َ ‫عن ال‬
ِ ‫ول َعلَى َأ ْع و ِاد ِم ْنبَ ِر ِه لَي ْنتَ ِهي َّن َأ ْق و ٌام َعن و ْد ِع ِهم الْجمع‬
‫َات‬ ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬
ُُ ْ َ ْ َ َ َ َ َ
ِِ ِ ِ ِ
َ ‫َْأو لَيَ ْخت َم َّن اللَّهُ َعلَى ُقلُوب ِه ْم ثُ َّم لَيَ ُكونُ َّن م ْن الْغَافل‬
‫ين‬
Dari Al Hakam bin Mina, bahwa Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah
RA telah memberitahukannya bahwa keduanya pernah mendengar
Rasulullah SAW berbicara di atas tiang mimbarnya, "Hendaklah orang
yang suka meninggalkan shalat Jum'at menghentikan perbuatan mereka
atau Allah 'Azza wa jalla membutakan hati mereka lalu mereka benar-
benar menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim)2

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Aku bertanya kepada


Rasulullah tentang amalan yang paling utama, beliau menjawab:
“Shalat di awal waktunya.” (HR. Imam Al Bukhari dan Muslim).

Kapan sebaiknya shalat dilaksanakan? Itulah pertnyaan yang sangat


mudah dijawab, dan jawabnya hanya satu: “di saat yang tepat”. Tetapi,
apa yang dimaksud dengan “tepat” berkaitan dengan waktu shalat,
ternyata para ulama bersilang pendapat. Ada sebagian yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah: “pada waktunya”,
dan sebagian yang lain berpendapat: “di awal waktu”. Kontroversi inilah
yang semestiya segera dijawab dengan argumen yang tepat. Ketika
seorang penafsir mencermati penggalan ayat al-Quran yang terdapat pada
QS an-Nisâ’, 4/130, mereka menyatakan bahwa kata “kitâban
mauqûtan”  menunjukkan batasan waktu tertentu. Maknanya adalah:
“setiap shalat – yang difardhukan – memiliki batasan waktu, ada awalnya
dan ada pula akhirnya. Rincian waktunya terdapat dalam ayat-ayat al-
Quran yang lain, yang – kemudian –  dijelaskan lebih rinci dalam hadis-
hadis Nabi s.a.w.
Umat Islam, pada umumnya, sudah enggan memperdebatkan
interval waktu pelaksanaan shalat fardhu (lima waktu), dikarenakan
batasan-batasannya sudah menjadi bagian dari konsensus (ijma’), bukan
saja para ulama, tetapi (konsensus) umat Islam di semua lini. Hanya saja,
2
E-book Kitab Shahih Muslim No.26 Peringatan Keras Dalam Meninggalkan Shalat Jum'at
ketika mereka membahas tentang keutamaan melaksanakannya, mereka
berselisih pandapat. Karena ada serangkaian hadits shahih yang secara
redaksional menyatakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w. ditanya tentang
perbuatan yang paling dicintai oleh Allah, beliau menjawab:
“H‫صالَةُ َعلَى َو ْقتِهَا‬
َّ ‫”ال‬
(“Shalat tepat pada waktunya”)
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa ulama hadis. Antara lain oleh
Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi —
yang berasal — dari ‘Abdullah bin Mas’ud). Dengan redaksi yang
bermacam-macam. Antara lain – menurut redaksi Al-Bukhari (dalam
kitab Shahih al-Bukhari):

َ ُ‫ َّدثَنِي َعبَّا ُد ب ُْن يَ ْعق‬HH‫ ِد ح و َح‬HH‫ ْعبَةُ ع َْن ْال َولِي‬HH‫ َّدثَنَا ُش‬HH‫ان َح‬
‫وب‬HH ُ ‫لَ ْي َم‬HH‫ َّدثَنِي ُس‬HH‫َح‬
‫َار ع َْن‬ ِ ‫ز‬H‫ ِد ب ِْن ْال َع ْي‬H ‫ ْيبَانِ ِّي ع َْن ْال َولِي‬H ‫الش‬
َّ ‫ َّو ِام ع َْن‬H‫اَأْل َس ِديُّ َأ ْخبَ َرنَا َعبَّا ُد ب ُْن ْال َع‬
‫ي‬َّ ِ‫َأ َل النَّب‬H‫هُ َأ َّن َر ُجاًل َس‬H‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬H‫ض‬ ِ ‫َأبِي َع ْم ٍرو ال َّش ْيبَانِ ِّي ع َْن ا ْب ِن َم ْسعُو ٍد َر‬
‫ َد ْي ِن‬H ِ‫رُّ ْال َوال‬HHِ‫صاَل ةُ لِ َو ْقتِهَا َوب‬ َ َ‫ض ُل ق‬
َّ ‫ال ال‬ َ ‫ال َأ ْف‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأيُّ اَأْل ْع َم‬
َ
‫هَّللا‬
ِ ‫يل‬ ْ
ِ ِ‫ثُ َّم ال ِجهَا ُد فِي َسب‬
Telah menceritakan kepadaku Sulaiman telah menceritakan kepada kami
Syu'bah dari Al Walid (dalam jalur lain disebutkan) telah menceritakan
kepadaku Abbad bin Ya'qub Al Asadi telah mengabarkan kepada kami
Abbad bin Al 'Awwam dari Asy Syaibani dari Al Walid bin 'Aizar dari
Abu 'Amru dan Asy Syaibani dari Ibn Mas'ud radliallahu 'anhu, bahwa
seorang laki-laki pernah bertanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
amalan apa yang paling utama? ' Nabi menjawab: " berbakti kepada
kedua orang tua, dan jihad fi sabilillah." (Hadist Bukhari No: 6980)
Para ulama yang berpendapat bahwa kata “’alâ waqtihâ”
menunjuk pada makna interval waktu, mereka – pada umumnya –
berpegang pada ketentuan waktu shalat yang secara tegas dijelaskan di
dalam ayat-ayat al-Quran dan as-Sunnah, yang semuanya
mengisyaratkan pada pengertian “interval waktu”. Oleh karena itu,
mereka menyatakan bahwa hadis tersebut bermakna “pilihan” bebas bagi
Islam untuk melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya (Muhammad s.a.w.). untuk melaksanaka shalat
fardhu (lima waktu) dari awal (waktu) hingga batas akhirnya. Apalagi
ketika hadis tersebut dipahami secara keseluruhan yang menjelaskan
bahwa “shalat tepat waktu” itu terangkai dengan dua hal yang lain,yaitu:
“birrul wâlidain” (berbuat baik kepada kedua orang-tua) dan “al-Jihâd fî
sabîlillâh” (berjihad di jalan Allah). Ketiga hal itu bisa jadi merupakan
tindakan yang sama-sama memiliki keutamaan dala konteks masing-
masing, atau secara urut nilai keutamaannya bertingkat, yang paling
utama adalah: “shalat tepat waktu”, kedua: “berbuat baik kepada kedua
orang-tua”, dan yang ketiga: “berjihad di jalan Allah”. Sehingga rangkai
kata “shalat tepat waktu”, bila dikaitkan dengan dua keutamaan yang lain
(dalam hadis tersebut) tidak harus dimaknai dengan “awal waktu”.
Namun, bila rangkaian kata “shalat tepat waktu” itu kita pisah dari dua
keutamaan yang lain (berbuat baik kepada kedua orang-tua dan berjihad
di jalan Allah), maka kita harus memlih antara: di awal hingga akhir
waktu. Di sinilah – kemudian – banyak ulama yang menyatakan bahwa
“shalat di awal waktu” – pada dasarnya – lebih baik nilainya daripada
“shalat yang tertunda hingga akhir waktunya. Inilai penjelasan sebagian
besar ulama hadist ketika memberi syarah (keterangan) mengenai hadis
tersebut.
Silang pendapat para ulama mengenai makna rangkain kata “’alâ
waqtihâ” selayaknya tidak menjadi pijakan untk berdebap mengenai
keutamaan pelaksanaan shalat (fardhu) lima waktu, bila perdebatan itu
murni merupakan perdebatan mengenai keutamaan waktu shalat yang
harus dipilih dalam pelaksanaan shalat fardhu (lima waktu, yang sama
sekali terlepas dari pembicaraan mengenai “birrul wâlidain” dan “al-
Jihâd fî sabîlillâh”.
Sedang bantahan para ulama yang lain mengenai keutamaan shalat
di akhir waktu untuk shalat “zhuhr” karena terik panas matahari atau
cuaca panas, dan shalat “’isya’” untuk menunggu para jamaah (dalam
rangka penunaian shalat jamaah) dan merangkaikannya dengan “qiyâm
al-lail”, serta “jama’ ta’khîr” bagi para musafir yang memiiki
keterbatasan waktu  (yang terdapat di dalam beberapa hadis shahih),
harus dipahami sebagai sesuatu (kasus) yang lain (berbeda). Karena
hadis-hadis tersebut memiliki latar belakang sosio-historis yang berbeda
dengan hadis mengenai keutamaan pelaksanaan shalat “tepat pada
waktunya”, yang secara umum dapat diterapkan untuk semua kasus.
Jadi simpulan pentingnya adalah: “bagaimanapun juga shalat
merupakan ibadah yang  — dalam kondisi normal – harus dilaksanakan
pada waktunya (masing-masing). Dan ketika harus memilih, kapan waktu
yang paling utama? Maka  jawaban tepatnya: “Dalam kondisi normal,
waktu pelaksaaan shalat fardhu (lima waktu) adalah :di awal waktunya
(masing-masing), sebelum ada kondisi yang dapat memberikan
kemungkinan untuk melaksanakannya tidak (tepat) di awal waktu, seperti
perintah shalat “zhuhr”, “’isya’” di akhir waktu dan (juga) “jama’
ta’khîr” bagi para musafir yang memiliki keterbatasan waktu.”3

C. Macam-macam Shalat
Dilihat hukum melaksanakanya, pada garis besarnya shalat di bagi
menjadi dua, yaitu shalat fardu dan shalat sunnah. Selanjutnya shalat
fardu juga di bagi menjadi dua, yaitu fardu ain dan fardu kifayah.
Demikian pula shalat sunah, juga di bagi menjadi dua, yaitu sunnah
muakkad dan ghoiru muakkad.
1. Shalat fardu
Shalat fardu adalah shalat yang hukumnya wajib, dan apabila di
kerjakan mendapatkan pahala, kalau di tinggal mendaptkan dosa.
Contohnya: shalat lima wakktu, shalat jenazah dan shalat nadzar.
Shalat fardu ada 2 yaitu:
a. Fardu Ain adalah shalat yang wajib di lakukan setiap manusia.
shalat ini di laksanakan sehari semalam dalam lima waktu (isya’,
subuh, dhuhur, asar, magrib) dan juga shalat Jum’at.

3
Muhsin Hariyanto, 2016. Shalat Tepat Waktu, diambil dari
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/shalat-tepat-waktu/ yang diakses pada tanggal 30
Oktober 2016 pukul 20.30 wib
b. Fardu kifayah adalah shalat yang di wajibkan pada sekelompok
muslim, dan apabila salah satu dari mereka sudah ada yang
mengerjakan maka gugurlah kewajiban dari kelompok tersebut.
Contoh: shalat jenazah.
2. Shalat Sunnah
Shalat Sunnah adalah shalat yang apabila di kerjakan
mendapatkan pahala dan apabila tidak di kerjakan tidak mendapatkan
dosa. Shalat sunah di sebut juga dengan Shalat tatawu’, nawafil,
manduh, dan mandzubat, yaitu shalat yang di anjurkan untuk di
kerjakan. Shalat sunnah juga di bagi 2 yaitu:
a. Sunnah Muakkad adalah shalat sunah yang sealalu dikerjakan atau
jarang sekali tidak dikerjakan oleh Rosulluloh SAW dan
pelaksanaannya sangat dianjurkan dan di tekankan separti solat
witir, solat hari raya dan lain-lain
b. Sunnah ghaeru muakkadah adalah solat sunah yang tidak selalu
dikerjakan oleh Rosulluloh SAW,dan juga tidak di tekan kan untuk
di kerjakan sholat.
Semua shalat, termasuk shalat sunat dilakukan adalah untuk
mencari keridhoan atau pahala dari Alloh swt. Namun shalat sunat jika
dilihat dari ada atau tidak adanya sebab-sebab dilakukannya, dapat
dibedakan manjadi dua macam, yaitu: shalat sunat yang bersebab dan
shalat sunat yang tidak bersebab.
a. Shalat sunat yang bersebab, yaitu shalat sunat yang dilakukan karena
ada sebab-sebab tertentu, seperti shalat istisqa’ (meminta hujan)
dilakukan karena terjadi kemarau panjang, shalat kusuf (gerhana)
dilakukan karena terjadi gerhana matahari atau bulan, dan lain
sebagainya.
b. Shalat sunat yang tak bersebab, yaitu shalat sunat yang dilakukan
tidak karena ada sebab-sebab tertentu. Sebagai contoh : shalat witir,
shalat dhuha dan lain sebagainya.
Dari Jabir bin Abdillah r.a, bahwa Rasulullah SAW. kedatangan
Malaikat Jibril , dan berkata, “Bangun lalu shalatlah”, maka Rasulullah
SAW shalat zhuhur ketika matahari bergeser ke arah barat. Kemudian
Jibril datang kembali di waktu ashar dan mengatakan, “Bangun dan
shalatlah.” Maka Rasulullah SAW. shalat ashar ketika bayangan benda
sudah sama dengan aslinya. Kemudian Jibril  mendatanginya di waktu
maghrib ketika matahari terbenam, kemudian mendatanginya ketika isya’
dan mengatakan bangun dan shalatlah. Rasulullah shalat isya’ ketika
telah hilang rona merah. Lalu Jibril mendatanginya waktu fajar ketika
fajar sudah menyingsing. Keesokan harinya Jibril datang waktu zhuhur
dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah shalat zhuhur
ketika bayangan benda telah sama dengan aslinya. Lalu Jibril
mendatanginya waktu ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah.”
Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda telah dua kali benda
aslinya. Jibril mendatanginya waktu maghrib di waktu yang sama dengan
kemarin, tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya di waktu isya’
ketika sudah berlalu separuh malam, atau sepertiga malam, lalu
Rasulullah shalat isya’. Kemudian Jibril mendatanginya ketika sudah
sangat terang, dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Maka
Rasulullah shalat fajar. Kemudian Jibril berkata, “Antara dua waktu
itulah waktu shalat.” (Ahmad, An-Nasa’i dan Tirmidzi. Bukhari
mengomentari hadits ini, “Inilah hadits yang paling shahih tentang waktu
shalat.)
Agar lebih terperinci, berikut dijelaskan mengenai waktu-waktu
shalat tersebut:
1. Zuhur, shalat zuhur waktunya mulai matahari condong ke arah barat
dan berakhir sampai bayang-bayang suatu benda sama panjang atau
lebih sedikit dari benda tersebut. Hal in idapat dilihat kepada
seseorang atau sebuah tiang yang berdiri, bilamana bayang-bayangnya
masih persis di tengah atau belum sampai, menandakan waktu zuhur
belum masuk. 
2. Asar, shalat asar waktunya mulai dari baying-bayang suatu benda
lebih panjang dari bendanya hingga terbenam matahari. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa shalat ashar di waktu menguningnya cahaya
matahari sebelum terbenam hukumnya makruh.
3. Magrib, shalat magrib waktunya mulai terbenam matahari dan
berakhir sampai hilangnya cahaya awan merah.
4. Isya, shalat isya waktunya mulai hilangnya cahaya awan merah dan
berakhir hingga terbit fajar shadiq.
5. Subuh, shalat subuh, waktunya dari mulai terbit fajar shadiq hingga
terbit matahari.4
Khusus pada hari Jumat, Muslim laki-laki wajib melaksanakan
salat Jumat di masjid secara berjamaah (bersama-sama) sebagai
pengganti Salat Zhuhur. Salat Jumat tidak wajib dilakukan oleh
perempuan, atau bagi mereka yang sedang dalam perjalanan (musafir).

4
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (PT. Sirnar Baru Algensido 1954), Hal. 53
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat merupakan kewajiban setiap muslim,karena hal ini di
syariatkan oleh Allah SWT. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai
prakteknya, hal ini tidak menjadi masalah karena di dalam al-qur'an
sendiri tidak ada ayat yang menjelaskan secara terperinci mengenai
praktek shalat. Tugas dari seorang muslim hanyalah melaksnakan shalat
dari mulai baligh sampai napas terakhir, semua perbedaan mengenai
praktek shalat semua pendapat bisa dikatan benar karena masing-masing
memilki dasar dan pendafaatnya masing-masing dan tentunnya
berdasarkan ijtihad yang panjang.
Setiap perintah Allah yang di berikan kepada kaum muslimin
tentunya memiliki paidah untuk kaum muslimin sendiri, seperti halnya
umat islam di perintahkan untuk melaksanakan shalat, salah satu
paidahnya yakni supaya umat islam selalu mengingat tuhannya dan bisa
meminta karunianya dan manfaat yang lainnya yakni bisa mendapkan
ampunan dari Allah SWT.

B. Saran
Dalam makalah ini tentu banyak terdapat kekurangan, oleh karena
itu kami mengharapkan saran-saran yang berguna dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sirnar Baru Algensido.
Zainal Abidin. 1998. Kunci ibadah. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

You might also like