You are on page 1of 28

LAPORAN KASUS

“MORBUS HANSEN “

Disusun oleh:
Olyvia Ivana Catherine Lense
201670001

Pembimbing:
dr. Jenny Ritung, Sp.KK

Pendamping:
dr. Levina Sesa

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Lengkap : Olyvia Ivana Catherine Lense

Nomor Induk Mahasiswa : 201670001

Jurusan : Program Pendidikan Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Papua

Bagian Pendidikan : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul Laporan Kasus : Morbus Hansen

Pembimbing : dr. Jenny Ritung, Sp.KK

Pendamping : dr. Levina Sesa

Telah diperiksa dan disahkan ada tanggal ………………………………………….

Mengetahui,

Pembimbing laporan kasus Pendamping laporan kasus

dr. Jenny Ritung, Sp.KK dr. Levina Sesa

ii
DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS .................................................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB 1.LAPORAN KASUS ..................................................................................................... 4
1.1 IDENTITAS PASIEN ........................................................................................................ 4
1.2 ANAMNESIS ...................................................................................................................... 4
1.3 PEMERIKSAAN FISIK .................................................................................................... 5
1.4 RESUME ............................................................................................................................. 6
1.5 STATUS DERMATOLOGI .............................................................................................. 7
1.6 PEMERIKSAAN PENCATATAN PENCEGAHAN CACAT/Prevention of
Disability (POD) ............................................................................................................... 10
1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................................... 10
1.8 DIAGNOSIS KERJA ....................................................................................................... 10
1.9 TATALAKSANA ............................................................................................................. 10
1.10 PROGNOSIS ..................................................................................................................... 11
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 12
2.1 DEFINISI ........................................................................................................................... 12
2.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................................................................. 12
2.3 ETIOLOGI......................................................................................................................... 13
2.4 PATOGENESIS ................................................................................................................ 14
2.5 KLASIFIKASI .................................................................................................................. 15
2.6 DIAGNOSIS...................................................................................................................... 19
2.7 TATALAKSANA ............................................................................................................. 22
2.8 PENCEGAHAN................................................................................................................ 24
2.9 KOMPLIKASI .................................................................................................................. 24
2.10 PROGNOSIS ..................................................................................................................... 26
BAB 3.KESIMPULAN .......................................................................................................... 27
Referensi ................................................................................................................................. 28

iii
4

BAB 1

LAPORAN KASUS
Data pasien didapatkan melalui autoanamnesis dan alloanamnesis serta analisis pada
rekam medis pasien. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 19-20 Oktober 2022 di Poli
Kusta Puskesmas Klasaman Kota Sorong.

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. Akila
Tanggal lahir/Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : km. 10 Kota Sorong
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Ruang perawatan : Poli Kusta Puskesmas Klasaman Kota Sorong
Tanggal Pemeriksaan : 19-20 Oktober 2022

1.2 ANAMNESIS
➢ Keluhan Utama
Benjolan pada telinga kanan
➢ Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh kakek dan neneknya dengan keluhan timbul benjolan pada
telinga kanan sejak sekitar 1 bulan yang lalu dan bertambah besar dan banyak dalam
beberapa hari terakhir. Benjolan pada awalnya terasa nyeri dan berjumlah sekitar 2-3
benjolan berukuran kecil pada daun telinga kanan bagian atas dan bawah, kemudian
bertambah banyak dan bergabung menjadi besar hingga ke seluruh bagian daun telinga
kanan. Benjolan saat ini tidak disertai rasa gatal atau nyeri, dan pasien juga mengatakan
tidak dapat merasakan sensasi rasa raba atau nyeri pada area benjolan tersebut. Benjolan
pun semakin membesar dan tampak kering dan mengelupas. Saat dibawa ke dokter dan
diperiksa barulah diketahui bahwa tampak juga beberapa benjolan di area lengan bawah kiri
dan kanan serta pada tungkai bawah kiri dan kanan hingga ke punggung kaki dan mata kaki,
benjolan tidak disertai rasa gatal atau nyeri namun terdapat penurunan sensasi rasa raba,
serta tampak bercak-bercak berwarna putih pada bagian punggung kanan dan dada pasien
yang disertai dengan penurunan sensasi rasa raba oleh pasien.
5

Keluhan lain seperti demam (-), batuk (-), sesak (-), mual muntah (-), penurunan napsu
makan (-), penurunan berat badan (-).
➢ Riwayat Pengobatan
Nenek pasien mengatakan hanya mengoleskan minyak zaitun pada area telinga kanan pasien
yang mengelupas tersebut, dan pemberian salep antibiotik saat berobat ke dokter umum,
namun keluhan tidak membaik.
➢ Riwayat Penyakit Sebelumnya
Malaria, ISPA
➢ Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa
➢ Riwayat Sosial dan Pribadi
Pasien tinggal dengan kakek dan neneknya sejak usia 3 tahun. Saat ini pasien bersekolah di
Pesantren namun tidak diketahui ada atau tidaknya keluhan serupa pada teman-teman di
lingkungan sekolah pasien.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


➢ Tanda Vital
a) Kesadaran kualitatif : Compos mentis
b) Kesadaran kuantitatif : GCS E4, V5, M6
c) Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
d) Denyut nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
e) Pernapasan : Tidak dilakukan pemeriksaan
f) Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
g) SpO2 : Tidak dilakukan pemeriksaan
➢ Kepala, Wajah, dan Leher
• Inspeksi: normosefal, bengkak (-), rambut berwarna hitam, tersebar merata dan tidak
mudah dicabut
• Palpasi: pembesaran KGB dan tiroid (-), deviasi trakea (-)
➢ Mata
Inspeksi: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
➢ Telinga
Inspeksi: normotia, deformitas (-), sekret (-). Tampak pembengkakan disertai eritema pada
telinga kanan
6

➢ Hidung
Inspeksi: deformitas (-), deviasi septum nasi (-), sekret (-), epistaksis (-), napas cuping
hidung (-)
➢ Rongga Mulut dan Tenggorokan
Inspeksi: bibir pecah-pecah (-), mukosa mulut dan bibir tampak lembab, sianosis (-),
deviasi lidah (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
➢ Toraks
Tampak bercak-bercak hipopigmentasi pada area thorax superior. Pengembangan paru
dextra dan sinistra simetris, iktus kordis tidak tampak, tidak teraba massa, suara napas
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur (-),
gallop (-).
➢ Abdomen
• Inspeksi: distensi (-), benjolan (-), ulkus (-)
• Palpasi: hepar dan limpa tidak teraba, turgor kulit kembali cepat
• Perkusi: timpani
• Auskultasi: bising usus 6-7x/menit
➢ Genitalia dan Rektum
Tidak diperiksa
➢ Ekstremitas
Akral teraba hangat, CRT <2 detik. Tampak benjolan pada lengan bawah dan pergelangan
tangan kanan dan kiri, serta pada tungkai bawah kanan dan kiri.

1.4 RESUME
Pasien anak perempuan berusia 8 tahun datang dengan keluhan utama timbul makula
eritematosa dengan edema pada auricula dextra sejak sekitar 1 bulan yang lalu dan bertambah
besar dan banyak dalam beberapa hari terakhir, tidak disertai rasa gatal atau nyeri, dan disertai
dengan hipoanestesi pada area tersebut. Lesi juga tampak kering dan mengelupas dengan
adanya skuama halus. Tampak juga beberapa nodul di area antebrachii dextra dan sinistra serta
pada cruris dextra dan sinistra, tidak disertai rasa gatal atau nyeri namun terdapat hipoanestesi.
Selain itu, tampak makula-makula hipopigmentasi pada area thorax superior (infraklavikula)
yang tidak disertai gatal namun terdapat hipoanestesi.
Pada pemeriksaan fisik auricula dextra ditemukan makula eritematosa berbatas tidak tegas
berukuran plakat dengan konsistensi padat dan hilangnya sensasi rasa raba (anestesi), pada area
thorax thorax superior tampak makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan ukuran miliar
7

hingga lenticular disertai hipoanestesi, pada ekstremitas atas dan bawah dextra dan sinistra
tampak nodul-nodul eritematosus berbatas tegas berukuran lentikular hingga numular dengan
konsistensi padat disertai hipoanestesi dan pembesaran nervus ulnaris, peroneus, dan tibialis
tanpa disertai nyeri tekan.

1.5 STATUS DERMATOLOGI


a. Regio Auricula Dextra

Gambar 1. Nodul Eritematosus pada Regio Auricula Dextra

• Distribusi : unilateral
• Regio : auricula dextra
• Efloresensi primer : makula eritematosa
• Efloresensi sekunder : edema
• Batas : difus
• Ukuran : plakat
• Jumlah : tunggal
• Konsistensi : padat
• Nyeri tekan : tidak ada
• Rasa-raba : anestesi
8

b. Regio Thorax

Gambar 2. Makula Hipopigmentasi pada area thorax


• Distribusi : regional
• Regio : thorax (area infraklavikula)
• Efloresensi primer : makula hipopigmentasi
• Efloresensi sekunder: -
• Batas : tegas
• Ukuran : miliar-lenticular
• Jumlah : multipel
• Nyeri tekan : tidak ada
• Rasa-raba : anestesi

c. Regio Antebrachii

Gambar 3. Nodul pada Regio Antebrachii


9

• Distribusi : bilateral
• Regio : antebrachii dextra et sinistra
• Efloresensi primer : nodul
• Efloresensi sekunder: -
• Batas : tegas
• Ukuran : lentikular
• Jumlah : multipel
• Konsistensi : padat
• Nyeri tekan : tidak ada
• Rasa-raba : hipoanestesi
• Pembesaran nervus : pembesaran nervus ulnaris (+)

d. Regio Cruris

Gambar 4. Nodul pada Regio Cruris

• Distribusi : bilateral
• Regio : cruris dextra et sinistra
• Efloresensi primer : nodul eritematosus
• Efloresensi sekunder: -
• Batas : tegas
• Ukuran : lentikular-numular
• Jumlah : multipel
• Konsistensi : padat
• Nyeri tekan : tidak ada
10

• Rasa-raba : hipoanestesi
• Pembesaran nervus : pembesaran nervus peroneus (+), pembesaran nervus tibialis (-)

1.6 PEMERIKSAAN PENCATATAN PENCEGAHAN CACAT / Prevention of


Disability (POD)

1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan skin smear pada telinga kanan
Hasil: negatif

1.8 DIAGNOSIS KERJA


Morbus Hansen atau Kusta tipe MB

1.9 TATALAKSANA
1) Medikamentosa
• MDT (MB) dosis anak selama 12-18 bulan, dengan regimen dosis:
11

➢ Hari pertama: klofazimin (lampren) 150 mg, Rifampisin 450 mg, dan Dapson 50
mg dengan pengawasan petugas
➢ Hari selanjutnya: Dapson 50 mg setiap hari; diberikan dalam 12 dosis selama 12-
18 bulan.
• Multivitamin: Curcuma sirup 2x1 cth
2) Nonmedikamentosa
• Edukasi: menjaga kelembapan kulit terutama area lesi

1.10 PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad bonam
• Quo ad functionam : dubia ad bonam
• Quo ad sanationam : dubia ad bonam
12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Morbus Hansen atau kusta atau lepra adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa yang
bersifat menular, menahun, dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat. Penyakit ini terutama menyerang saraf tepi dan kulit. Oleh karena itu kusta
merupakan salah satu penyakit yang harus diwaspadai dan diperhatikan, karena jika tidak
dideteksi dan ditangani dengan segera dapat menyebabkan terjadi ulserasi hingga deformitas,
akibat kerusakan saraf-saraf utama yang bersifat irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik
dan sensorik, serta paralisis atau atrofi otot, dan menyebabkan penderita kusta tidak hanya
menderita karena penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. 1,3

2.2 Epidemiologi
Hingga saat ini, World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa kusta
merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat, dan menetapkan target eliminasi kusta yaitu
hingga prevalensi kusta mencapai kurang dari 1 kasus per 10.000 orang di negara manapun. Di
Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000). Secara global, target
ini telah dicapai pada tahun 2000, dimana terdapat penurunan jumlah kasus baru dari 750.000
pada tahun 2001 menjadi 250.000 pada tahun 2007. Akan tetapi masih banyak pula negara
yang belum mencapai target tersebut, sementara diketahui bahwa kusta merupakan penyakit
endemis pada beberapa negara tertentu, terutama daerah bagian Asia, Afrika, Amerika Latin,
serta masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. Masalah epidemiologi terkait kusta pun masih
belum dapat dijelaskan dengan rinci atau lengkap karena penyebaran penyakit kusta terjadi
secara luas dari suatu tempat ke tempat lain sampai ke seluruh dunia yang diperkirakan
disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.3
Pada tahun 1966 WHO pertama kali melakukan penelitian untuk estimasi beban kusta
secara global, dimana ditemukan jumlah kasus sebanyak 10.786.000 orang dengan 60% dari
total tersebut diketahui belum terdaftar untuk mendapatkan terapi. Setelah itu dilakukan
pendataan kembali dan hingga pada tahun 1990 didapatkan jumlah kasus baru sebanyak
584.000 di seluruh dunia.4
13

Gambar 5. Prevalensi dan deteksi kasus baru kusta secara global4

Penyakit ini diketahui dapat menyerang semua umur. Di Indonesia, penderita yang
berusia di bawah 14 tahun didapatkan sekitar 13%, lebih jarang pada anak di bawah 1 tahun,
dan frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umum antara 25-35 tahun. Sementara itu untuk
jumlah kasus di Indonesia secara keseluruhan, prevalensi pada tahun 2008 per 10.000
penduduk adalah 0,76, dan jumlah kasus yang tercatat pada awal tahun 2009 adalah sebanyak
21.538 orang dengan distribusi yang tidak merata dimana kasus tertinggi didapatkan di pulau
Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Selain itu, didapatkan variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan
variasi gambaran klinis di berbagai suku bangsa atau ras yang berbeda, yang diperkirakan
disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.1,3

2.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yaitu bakteri basil tahan asam Gram positif
yang berukuran 3-8 µm x 0,5 µm, dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini dapat tumbuh
pada suhu 30°C, di bawah suhu tubuh rata-rata manusia, hal inilah yang menjelaskan mengapa
lesi kusta lebih banyak ditemukan di area tubuh yang relatif lebih dingin seperti hidung, daun
telinga, kaki, dan punggung bawah.1,3
14

2.4 Patogenesis

Gambar 6. Patogenesis Kusta3


Penularan kusta secara pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar ahli memperkirakan
bahwa penularan terjadi melalui saluran napas atau inhalasi droplet dan dari kontak kulit yang
erat dan lama. Bakteri ini memerlukan jumlah minimun tertentu untuk dapat tumbuh dan
menginfeksi dan menghasilkan granuloma penuh kuman. Bakteri dapat ditemukan di beberapa
bagian tubuh seperti saluran pernapasan bagian atas, kulit, folikel rambut, kelenjar keringat,
dan air susu ibu, dan perlu diperhatikan bahwa tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat
timbulnya lesi pertama.
Pada saat M. leprae masuk ke dalam tubuh manusia, masa hingga timbulnya tanda dan
gejala berlangsung cukup lama, diperkirakan beberapa bulan hingga 10-20 tahun. Bakteri ini
kemudian menetap di sel Schwann menyebabkan sel tersebut seterusnya mengalami kerusakan
hingga kematian, lalu basil M. leprae dikenali sebagai antigen oleh sistem imun tubuh pejamu
dan memicu respon imun termasuk aktivasi makrofag untuk memfagosit dan membersihkan
semua antigen yang tidak dikenali tersebut. Pada dasarnya, diketahui bahwa M. leprae
mempunyai patogenitas dan daya invasi yang cukup rendah, sebab dipengaruhi oleh respons
imun dari setiap individu yang menentukan derajat timbulnya reaksi granuloma lokal atau
menyeluruh yang kemudian dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif, sehingga penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat dan
sebaliknya. Selain respon imun penderita, beberapa faktor lain yang juga dapat mempengaruhi
patogenesis M. leprae adalah keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, dan kemungkinan adanya reservoir selain manusia.3-4
15

2.5 Klasifikasi
Menurut WHO (1981), kusta diklasifikasikan berdasarkan tipe gambaran klinis yang
ditemukan pada pasien. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita,
dimana bila sistem imun seluler baik dan adekuat maka akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid atau pausibasilar (PB), sebaliknya bila sistem imun seluler menurun atau rendah
maka akan memberikan gambaran lepromatosa atau multibasilar (MB).3,5
1) Kusta Tuberkuloid atau Pausibasilar (PB)
Kusta tipe PB adalah tipe kusta dengan jumlah lesi atau bercak sebanyak 1-5, umumnya
hipopigmentasi atau eritem, permukaan kering dan berskuama dengan gangguan
sensibilitas, distribusi asimetris, dan hanya mengenai 1 cabang saraf. Pada pemeriksaan
bakterioskopis (slit skin smear) tidak ditemukan kuman. Tipe ini cenderung tidak menular
atau berdaya tular rendah. Menurut klasifikasi oleh Ridley-Joping, tipe kusta yang termasuk
dalam tipe PB antara lain adalah tipe TT, BT, dan I.1,3

Gambar 7. Gambaran klinis dan bakteriologik kusta PB3

a. Kusta TT (polar tuberculoid)


Pada kusta bentuk TT didapatkan imunitas seluler yang tinggi dan ditandai dengan
penyembuhan spontan tanpa disertai downgrading ke kusta bentuk lain. Jenis lesi ini
pada umumnya bersifat stabil, dengan bercak plak tunggal atau hanya beberapa,
berwarna kemerahan atau hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas dari
kulit normal di sekitarnya dengan sedikit peninggian pada tepinya. Permukaannya
kering dan dapat memperlihatkan penyembuhan sentral atau atrofi ringan, disertai
adanya kehilangan rambut, keringat, dan mati rasa.1,3
16

Gambar 8. Kusta tipe TT6


b. Kusta BT (Borderline Tuberculoid)
Pada kusta BT imunitas cenderung cukup kuat untuk menahan infeksi dimana terdapat
keterbatasan dalam pertumbuhan bakteri, namun kemampuan untuk menyembuhkan
diri tidak cukup kuat dan dapat berubah menjadi TT atau memburuk menjadi BL. Lesi
kulit ini berupa plak dan papul yang dapat ditemukan dengan jumlah yang sedikit
hingga banyak, berwarna kemerahan sampai kecoklatan, adanya penyembuhan sentral,
batas tegas, permukaan licin tetapi umumnya kasar dan bersisik. Saraf-saraf tepi dapat
teraba menebal.1.3

c. Kusta I (indeterminate)
Lesi pada tipe ini sebagian besar terdiri dari suatu makula tunggal, sedikit
hipopigmentasi atau eritematosa, sedikit oval atau bulat. Permukaannya rata dan licim,
tidak ditemui tanda-tanda perubahan tekstur kulit, dengan batas yang cenderung difus
dan jarang terjadi penurunan sensibilitas. 1.3

Gambar 9. Kusta tipe I6


17

2) Kusta Lepromatosa atau Multibasilar (MB)


Kusta tipe MB adalah tipe kusta dengan jumlah lesi atau bercak sebanyak lebih dari 5
buah, umumnya berbentuk makula, infiltrat difus, papul, hingga nodul dengan permukaan
halus mengkilap, gangguan sensibilitas ringan, dan mengenai lebih dari 1 cabang saraf.
Pada pemeriksaan bakterioskopis ditemukan banyak kuman, dan bila tidak diobati dapat
menular pada orang yang rentan. Menurut klasifikasi oleh Ridley-Joping, tipe kusta yang
termasuk dalam tipe MB antara lain adalah tipe BB, BL, dan LL. 1,3

Gambar 10. Gambaran klinis dan bakteriologik kusta MB3

• Kusta BB (Borderline)
Lesi kulit pada tipe ini bisa beberapa hingga banyak, berwarna kemerahan atau
kecoklatan berbentuk bulat atau oval, dan dapat berupa plakat-plakat yang menebal
dengan adanya mati rasa pada lesi namun hanya didapati di beberapa tempat
tertentu.

Gambar 11. Kusta tipe BB6


18

• Kusta BL (Borderline-Lepromatosa)
Lesi kulit berbentuk cukup beragam atau multiformis, baik dalam hal ukuran,
penebalan, warna, dan jumlah. Lesi dapat terdistribusi secara bilateral namun tidak
simetris, permukaan licin dan mengkilap dengan batas tidak tegas, dengan
gangguan sensorik yang bervariasi dari kurang rasa sampai anestesia total, anestesia
pada tangan dan kaki biasanya asimetris.

Gambar 12. Kusta tipe BL6

• Kusta LL (Lepromatose)
Kusta tipe LL memiliki imunitas seluler yang sangat kurang sehingga tidak dapat
menahan replikasi dan pertumbuhan bakteri serta sering menyebar ke berbagai
organ lain. Pada tipe ini dapat ditemukan infiltrasi dermal dengan manifestasi
seperti penebalan cuping telinga, pelebaran hidung, dan pembengkakan pada jari-
jari. Dapat juga ditemukan sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari kusta borderline yang
asimetris, disertai kerusakan saraf tepi yang asimetris dengan pembesaran saraf.

Gambar 13. Kusta tipe LL6


19

2.6 Diagnosis
1) Anamnesis
Dalam anamnesis, dapat ditanyakan keluhan utama dan penyerta yang dirasakan pasien.
Sebagian besar keluhan utama yang dirasakan adalah timbulnya bercak atau benjolan pada
bagian tubuh tertentu, dapat disertai nyeri atau tidak, dan penurunan sensibilitas. Selain itu,
diperlukan pula anamnesis mengenai apakah ada riwayat keluarga dengan kusta, kontak
dengan pasien kusta, dan riwayat pengobatan kusta.1

2) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien yang dicurigai sebagai kusta perlu dilakukan pada
seluruh tubuh pasien tersebut, jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja
karena ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan di bagian tubuh, lengan,
tungkai, dan sebagainya. Pemeriksaan fisis yang dilakukan pun serupa dengan diagnosis klinis
lainnya yaitu dimulai dengan inspeksi dan palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat
sederhana untuk pemeriksaan bercak seperti jarum, pena, kapas, dan sebagainya. 1,3,5
Pada inspeksi, lesi pada kusta dapat tampak berupa makula hipopigmentasi hingga
papul dan nodul, yang dapat menyerupai lesi pada penyakit lain, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan pada lesi tersebut untuk menilai sensibilitas untuk membantu penentuan
diagnosis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum atau pena untuk menilai rasa
nyeri, dengan kapas untuk menilai rasa raba, atau pengujian terhadap rasa suhu dengan
menggunakan tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. 1,3,5

Gambar 14. Tes rasa raba menggunakan ujung kapas pada lesi5

Pada palpasi, beberapa komponen yang dapat dinilai adalah ada tidaknya kerusakan
fungsi saraf otonom dan saraf perifer. Kerusakan saraf otonom dapat dinilai dengan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi dan alopesia. Komponen yang dinilai pada saraf perifer
meliputi ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan, pembesaran, dan konsistensi, yaitu
20

pada beberapa saraf superfisial seperti nervus fasialis, nervus aurikularis magnus, nervus
radialis, nervus ulnaris, nervus medianus, nervus poplitea lateralis atau peroneus, dan nervus
tibialis posterior.3

3) Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pemantauan pengobatan, dengan menggunakan sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa untuk dilakukan pewarnaan BTA. Pemeriksaan dilakukan
pada kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-3 lesi lain yang paling aktif, paling
eritematosa, dan infiltratif.3

• Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis pada kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
individu yang terinfeksi M. leprae yang bersifat spesifik yaitu antibodi PGL-1.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologis tidak jelas. 3

2.1 Diagnosis Banding


Tabel 1. Diagnosis Banding Kusta3-5
No. Diagnosis Tanda Khas Gambaran
Banding
1. Pthiriasis alba Bercak hipopigmentasi
multipel berbentuk
oval batas difus,
bersisik, permukaan
rata, tidak disertai
gatal, nyeri, dan
penurunan sensibilitas.
21

2. Pthiriasis Plak hipopigmentasi


versikolor dengan skuama halus
dan berbatas tegas,
disertai gatal. Tidak
disertai nyeri dan
penurunan sensibilitas.

2. Dermatitis Berhubungan dengan


seboroika peningkatan produksi
sebum pada kulit
kepala dan wajah.
Tampak skuama halus
sampai papul
eritematosa dengan
skuama kasar
berminyak dan
kekuningan disertai
krusta
3. Neurofibromatosis Tumor pada saraf
akibat kelainan
genetik, tampak bercak
hiperpigmentasi pada
sekitar kelamin, ketiak,
dan di bawah
payudara.

4. Skleroderma Penyakit autoimun


dengan ciri produksi
kolagen berlebih pada
jaringan ikat kulit,
pembuluh darah, dan
organ lainnya sehingga
tampak keras atau
menebal.
22

5. Tuberkulosis kutis Pembesaran KGB,


abses dengan
konsistensi lunak,
ulkus dengan bentuk
memanjang atau tidak
beraturan, pada daerah
dengan banyak KGB
seperti leher, aksila,
dan lipat paha

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana pada kusta adalah dengan menggunakan obat dalam bentuk multidrug
theraphy (MDT) untuk mencegah risiko resistensi, dimana terdiri atas MDT untuk dosis anak
usia 10-14 tahun dan dosis dewasa.
1) MDT Dosis Anak
Pada anak dengan kusta tipe PB (I, TT, BT, dan semua dengan BTA negatif) terapi
MDT bulanan yang diberikan adalah pada hari pertama Rifampisin 450 mg (2 kapsul,
terdiri atas 300 mg dan 150 mg) dan Dapson 50 mg dengan pengawasan petugas, ditambah
dengan Dapson 50 mg pada hari selanjutnya setiap hari; diberikan dalam 6 dosis selama 6-
9 bulan.

Gambar 15. Blister MDT (PB) Dosis Anak


Pada anak dengan kusta tipe MB (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) terapi
MDT bulanan yang diberikan adalah pada hari pertama klofazimin (lampren) 150 mg terdiri
atas 3 kapsul @50 mg, Rifampisin 450 mg (2 kapsul, terdiri atas 300 mg dan 150 mg) dan
Dapson 50 mg dengan pengawasan petugas, ditambah dengan Dapson 50 mg pada hari
selanjutnya setiap hari; diberikan dalam 12 dosis selama 12-18 bulan.
23

Gambar 16. Blister MDT (MB) Dosis Anak


2) MDT Dosis Dewasa
Pada kusta tipe PB (I, TT, BT, dan semua dengan BTA negatif) terapi MDT yang
diberikan adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan petugas ditambah dengan
Dapson 100 mg setiap hari; diberikan dalam 6 dosis selama 6-9 bulan.

Gambar 17. Blister MDT (PB) Dosis Dewasa

Pada kusta tipe MB (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) terapi MDT
yang diberikan yaitu rifampisin 600 mg sekali setiap bulan dalam pengawasan, Dapson 100
mg setiap hari, dan klofazimin (lampren) 300 mg sekali setiap bulan dalam pengawasan,
diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan. 1-5

Gambar 18. Blister MDT (MB) Dosis Dewasa


24

Selain tatalaksana dengan terapi medikamentosa, pasien juga perlu mendapatkan edukasi
terutama mengenai efek samping obat MDT yaitu di antaranya adalah urine berwarna
kemerahan, kulit menjadi kehitaman, dan anemia. Pasien juga perlu mendapatkan penjelasan
bahwa saat selesai pengobatan, bercak kulit yang masih tersisa membutuhkan waktu yang lama
untuk menghilang, atau sebagian bahkan akan menetap, dan ada kemungkinan terjadinya
kekambuhan.1

2.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit kusta berkaitan dengan imunitas seluler, dan salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah dengan pemberian vaksin Bacillus-Calmette-Guerin (BCG) yang dapat
memberikan perlindungan terhadap infeksi sebesar 34-80%. Dapat juga dilakukan pemberian
profilaksis antibiotik pada pasien yang terpapar pasien kusta untuk menurunkan risiko
terjadinya penyakit kusta pada dua tahun pertama sebesar lebih dari 50%. 1

2.9 Komplikasi
1) Kecacatan atau Deformitas
Komplikasi utama dari kusta adalah kerusakan saraf tepi yang dapat menyebabkan
kecacatan, serta skar atau jaringan parut. Diketahui bahwa sebanyak seperempat hingga
sepertiga pasien kusta baru sudah mengalami kecacatan akibat kerusakan saraf yang ireversibel
terutama pada tangan, kaki, dan mata. Cacat atau deformitas pada kusta terbagi menjadi
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak
jaringan sekitar yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang dan sendi jari, dan
wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat dari deformitas primer, terutama kerusakan
saraf baik sensorik, motorik, dan otonom, antara lain kontraktur sendi hingga mutilasi tangan
dan kaki.3
Beberapa gejala-gejala berdasarkan saraf yang mengalami kerusakan antara lain:

Tabel 2. Gejala-gejala Kerusakan Saraf3


Saraf yang Mengalami
Gejala
Kerusakan
N. fasialis • Cabang termporal dan zigomatikum: lagoftalmus
• Cabang bukal, mandibular, dan servikal: kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus Anestesia pada kulit wajah, kornea, dan konjungtiva
N. radialis • Anestesia dorsum manus dan proksimal jari telunjuk
• Tangan gantung (wrist drop)
25

• Tidak dapat melakukan ekstensi jari-jari atau pergelangan


tangan
N. medianus • Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, jari telunjuk,
dan jari tengah
• Tidak mampu melakukan abduksi ibu jari
• Clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
• Kontraktur ibu jari
N. ulnaris • Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
• Clawing kelingking dan jari manis
N. poplitea lateralis • Anestesia tungkai bawah sisi lateral dan dorsum pedis
• Kaki gantung (drop foot)
• Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior • Anestesia telapak kaki
• Claw toes
• Paralisis otot intrinsik kaki dan kolapsnya arkus pedis

Oleh karena itu, pada pasien yang dicurigai kusta atau telah terdiagnosis sebagai kusta,
perlu dilakukan pemeriksaan pencatatan pencegahan kecacatan atau prevention of disability
(POD) dengan memeriksa beberapa titik saraf pada tangan dan kaki menggunakan sentuhan
dengan pena tanpa tekanan dan meminta pasien untuk menunjuk tempat yang disentuh tersebut,
dengan penyimpangan yang dapat ditoleransi adalah ≤ 1cm. 3,5

2) Reaksi Kusta
Selain deformitas, komplikasi lain dari kusta adalah reaksi kusta, yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut, hingga
kehilangan sensibilitas dan kekuatan otot. Reaksi kusta merupakan interupsi dengan episode
akut pada perjalanan penyakit yang pada dasarnya bersifat kronik. Reaksi kusta terdiri atas 2
tipe yaitu Reaksi Reversal (RR) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL). 3,5
a. Reaksi Tipe 1 atau Reaksi Reversal (RR)
Reaksi RR diketahui timbul pada tipe TT, dimana terjadi perubahan bercak kulit yaitu
sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam
waktu yang relatif singkat, misalnya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi
eritema menjadi semakin eritematosa, dan lesi makula menjadi infiltrat dan
bertambah luas. Selain itu, akan timbul nyeri tekan pada saraf tepi, gangguan saraf
tepi, dan terkadang disertai gejala lain yang lebih berat seperti neuritis akut. 3,5
26

b. Reaksi Tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)


Reaksi ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan borderline lepromatosa,
yang diperkirakan dipengaruhi oleh tingkat multibasilarnya. Secara imunopatologis,
ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi
antara antigen M. leprae dengan antibodi dan komplemen yang membentuk
kompleks imun atau granuloma. Reaksi tipe ini umumnya lebih banyak terjadi pada
pengobatan tahun kedua karena pada masa pengobatan tersebut banyak kuman kusta
yang mati dan hancur sehingga banyak pula antigen yang dilepaskan dan bereaksi
dengan antibodi dan mengaktifkan sistem komplemen memicu pembentukan
kompleks imun yang kemudian beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya dapat
melibatkan berbagai organ. Beberapa gambaran klinis dari ENL adalah nodul eritema
disertai nyeri tekan yang timbul secara mendadak pada lengan dan tungkai, nyeri
tekan dan gangguan fungsi saraf tepi hingga gangguan organ seperti neuritis akut,
limfadenitis, artritis, hingga nefirits akut dengan proteinuria.3,5

2.10 Prognosis
Prognosis pada pasien kusta umumnya bergantung pada imunitas seluler dan kepatuhan
pengobatannya. Pasien kusta tipe TT, dan tipe BT yang berubah tipe menjadi TT, dapat sembuh
dengan sendiri tetapi dapat juga menjadi progresif dengan morbiditas dan potensi kerusakan
saraf.1,3
27

BAB 3

KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan timbul benjolan kemerahan pada telinga
kanan, disertai dengan beberapa benjolan lainnya pada ekstremitas atas dan bawah serta bercak
hipopigmentasi pada area dada bagian atas. Benjolan tampak berupa nodul-nodul eritematosus
berbatas tegas berukuran milier hingga numular. Hampir seluruh lesi tersebut tidak terdapat
nyeri tekan, namun terdapat penurunan sensibilitas. Hal ini sesuai dengan gambaran klinis tipe
kusta TT, dengan hasil pemeriksaan penunjang bakterioskopik negatif, namun jumlah bercak
lebih dari 5. Maka pasien ditatalaksana dengan terapi MDT kusta MB selama 12-18 bulan.
Prognosis pada pasien ini cenderung baik, berkaitan dengan imunitas seluler pasien dan
kepatuhan minum obat.
28

Referensi

1. Hidayati AN, Damayanti, Sari M, Alinda MD, Reza NR, Anggraeni S, et al. Buku seri
dermatologi dan venereologi: buku infeksi bakteri di kulit. Edisi pertama. Surabaya:
Airlangga University Press; 2019. Hal 113-23.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1186/2022 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: Kemenkes; 2022.
Hal 58-69.
3. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal
87-102.
4. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al.
Fitzpatrick’s dermatology. 9th ed. New York: McGrawHill Education; 2019. 2896-
911p.
5. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia: sebuah
panduan bergambar. Edisi pertama. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia; 2017.
Hal 51-9.
6. Guinto RS, Abalos RM, Cellona RV, Fajardo TT. Atlas kusta. Cetakan ke-5. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013. Hal 2-22.

You might also like