Professional Documents
Culture Documents
Proposal (AutoRecovered) (AutoRecovered)
Proposal (AutoRecovered) (AutoRecovered)
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
ARRSILLAUFIATMA MAYHIMAMIA FAHMUALIA
NIM : 10319014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia membahas tentang
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk membangun Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas perlu adanya kegiatan yang dapat
diprioritaskan untuk dilakukan pemberdayaan social. Menurut Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2019, pada butir ke-dua telah disebutkan bahwa di dalam
program Prioritas Nasional Satu, perlu adanya peningkatan palayanan
kesehatan dan gizi masyarakat. Terdapat berbagai masalah gizi di Indonesia
seperti stunting (tubuh pendek), wasting (tubuh kurus), KEP, dll. Salah satu
prevalensi terbesar dari masalah gizi di Indonesia adalah stunting.
(Kementrian Kesehatan RI, 2018) Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada
balita dibawah lima tahun. Stunting terjadi dikarenakan adanya kekurangan
gizi kronis. Sehingga balita tersebut terlalu pendek dengan anak seusianya.
Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir.(Faizi, 2017) Menurut buku ringkasan “100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdis (stuntingI) yang
disusun oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TTN2PK) kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth
Reference Study) 2006.(Kemenkes RI, 2018) Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan untuk mengatasi kekurangan gizi dalam rangka pencegahan stunting.
Secara global tercatat 149,2 juta anak di bawah 5 tahun terkena
stunting. Tahun 2020 kasus stunting didominasi oleh anak- anak yang berada
di benua Asia 30,1% dan benua Africa 30,1%.(WHO et al., 2019) Sedangkan
pada negara di Asia Tenggara sendiri Indonesia berada pada urutan kedua
dengan prevalensi stunting tertinggi mencapai 31,8%. (Databooks Katadata,
2021) Kasus stunting secara nasional menunjukkan perbaikan dengan
turunnya tren sebesar 3,3%. Dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24,4% tahun
2021.(SSGI, 2021) Pada Provinsi Jawa Timur, angka stunting turun dari
26,86% pada tahun 2019 menjadi 23,5% di tahun 2021.(Kemenkes RI, 2021)
Kabupaten Lamongan berada di provinsi Jawa Timur dan merupakan salah
satu Kabupaten yang termasuk ke dalam kategori 100 Kabupaten atau Kota
yang di prioritaskan untuk intervensi stunting di Provinsi Jawa Timur.
(TNP2K, 2017) Oleh karena itu, Kabupaten Lamongan perlu masuk dalam
lokasi yang wajib untuk diberikan intervensi mengenai stunting.
Kasus stunting di Kabupaten Lamongan mengalami kenaikan dari
7,7% pada tahun 2019 menjadi 9,2% pada tahun 2020.(TNP2K, 2017) Pada
tahun 2013 kejadian stunting di Kabupaten Lamongan menyentuh angka
48,87% hingga tahun 2019 turun menjadi 27,70%. (Izwardy, 2020) Hingga
tahun 2021 angka kejadian stunting turun lagi menjadi 20,5 %. (SSGI, 2021)
Meskipun terus mengalami penurunan, intervensi terkait pencegahan stunting
di Kabupaten Lamongan harus terus dilakukan untuk mencegah kenaikan
kembali dari angka kejadian stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Lamongan pada tahun 2021 wilayah non pesisir kejadian stunting
tertinggi berada pada wilayah Kecamatan Sambeng sebesar 10,83% dan untuk
wilayah yang paling dekat dengan pesisir yaitu Kecamatan Brondong hanya
sebesar 0,25%.
Kasus stunting berkaitan dengan masalah konsumsi makanan yang
bergizi. Protein adalah zat yang dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Asupan protein dibutuhkan oleh tubuh balita sebagai zat pembangun, menjaga
dan memperbaiki jaringan tubuh sehingga kualitas dan kuantitas dalam
konsumsi protein sangat mempengaruhi asupan gizi sehingga balita dengan
asupan protein kurang akan lebih berisiko terkena stunting dibandingkan
dengan balita yang memiliki asupan protein cukup. (Hanum et al., 2014)
Terdapat berbagai bahan makanan yang memiliki nilai protein yang baik
untuk mencegah stunting. Ikan adalah salah satu makanan yang sering
dikonsumsi masyarakat dengan kandungan protein tinggi. Kandungan protein
dalam ikan mencapai 18% dan terdiri dari asam amino esensial (Altınelataman
et al., 2015). Menurut Daftar Bahan Makanan Penukar (DBMP) Indonesia,
satu porsi ikan segar (50 g) mengandung 10 gram protein. Maka dari itu,
mengonsumsi ikan dapat menjadi solusi masalah stunting karena kandungan
protein dalam ikan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan pada
balita. (Wiseman, 2002)
Terdapat perbedaan pola konsumsi makanan di daerah pesisir dan
non-pesisir. Hal ini disebabkan karena adanya frekuensi pola konsumsi
makanan yang dapat dipengaruhi oleh tersedianya sumber bahan pangan
tergantung dengan faktor-faktor seperti letak geografis, iklim, sumber daya
perairan dan jenis pekerjaan masyarakat di daerah tersebut. Didaerah pesisir
sendiri rata-rata penduduk berprofesi sebagai nelayan sehingga ketersediaan
bahan pangan yaitu ikan di daerah pesisir kemungkinan lebih melimpah dan
umumnya masyarakat daerah pesisir lebih banyak mengkonsumsi ikan yang
berasal dari hasil melaut. (Henggu et al., 2021) Pada daerah non pesisir
masyarakat sebagian besar berprofesi sebagai petani. Letak geografis daerah
non pesisir yang cukup jauh dengan pantai dan laut mempengaruhi
ketersediaan ikan khususnya ikan laut. Terbatasnya jumlah ikan laut di daerah
non pesisir mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.(Sinurat, 2018)
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki produksi ikan yang cukup besar. Kabupaten Lamongan memiliki
hasil tangkap laut sebesar 76.692,96 Ton, dengan total nilai produksi Rp.
1.188.671.626.220 (Dinas Perikanan Lamongan, 2020). Dari hasil produksi
ikan hasil tangkap dari laut yang begitu besar, menjadikan masyarakat di
Kabupaten Lamongan terutama masyarakat daerah pesisir sering
mengkonsumsi ikan laut yang kaya akan kandungan protein. Balita wilayah
pesisir Kabupaten Lamongan yang dinilai lebih banyak mengonsumsi ikan
dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Lamongan non pesisir. Sehingga
kasus stunting di wilayah non pesisir Kabupaten Lamongan lebih besar
dibandingkan dengan wilayah pesisir.
Rendahnya pola konsumsi ikan pada balita daerah non pesisir dapat
mengakibatkan adanya stunting di daerah tersebut. Berdasarkan fenomena
tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis
perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan non pesisir di
wilayah Kabupaten Lamongan. Dikarenakan pola konsumsi ikan dapat
mempengaruhi kejadian stunting pada balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari peneliti
adalah bagaimana perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir
dan non pesisir di wilayah Kabupaten Lamongan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan non pesisir
sebagai upaya pencegahan stunting di wilayah Kabupaten Lamongan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah
1. Untuk menganalisis pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir,
2. Untuk menganalisis pola konusmi ikan pada balita di daerah non pesisir.
3. Untuk mengetahui kejadian stunting di daerah pesisir dan non pesisir
pada balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Bagi Institusi penulis berharap penelitian ini dapat dijadikan bahan
referensi berkaitan dengan penelitian mengenai perbedaan pola
konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan nonpesisir di wilayah
Kabupaten Lamongan sebagai upaya pencegahan stunting.
2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai saran untuk
menambah ilmu dan wawasan mengenai perbedaan pola konsumsi ikan
pada balita di daerah pesisir dan nonpesisir di wilayah Kabupaten
Lamongan sebagai upaya pencegahan stunting.
3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi bagi khalayak umum dan para anggota keluarga, agar dapat
mengetahui tentang kejadian stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Balita
Balita adalah anak yang berusia di bawah 5 tahun atau anak yang
berusia antara 0 bulan sampai dengan 4 tahun 11 bulan (Sandjaja,
2010). Karena usia 0 sampai 5 tahun merupakan masa dimana bayi
tumbuh dan berkembang dengan pesat, maka orang tua perlu
mengawasi tumbuh kembang anaknya.(Sanitasari et al., 2017)
Keterlambatan tumbuh kembang akan menimbulkan masalah gizi
pada balita tersebut. Masalah gizi pada balita usia 0-5 tahun dapat
berdampak baik jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satunya
adalah efek jangka panjang dari gangguan gizi kronis pada penambang.
Gangguan gizi kronis juga akan mempengaruhi kehidupan mereka di
masa depan. (Utami & Mubasyiroh, 2019)
2. Pola Konsumsi
Pola konsumsi adalah cara individu atau kelompok memilih
makanan atau hidangan sesuai dengan pengaruh psikologis, fisiologis,
budaya dan sosial. Pola konsumsi kadang disebut sebagai kebiasaan
makan individu atau individual. Ini termasuk jenis dan bahan makanan
yang biasa dikonsumsi selama periode tertentu (Sirajuddin, Surmita,
n.d.). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor
psikologis, fisiologis, budaya dan sosial dapat mempengaruhi kebiasaan
makan individu dalam masyarakat, rumah tangga dan masyarakat. Pola
konsumsi pangan dapat memberikan gambaran tentang kualitas pangan
masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, pola konsumsi ikan masyarakat dipengaruhi
oleh adat dan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi ikan.
(Indrawasih, 2016) Berdasarkan temuan penelitian, pola konsumsi
makanan terbukti dipengaruhi oleh kebiasaan konsumsi makanan dan
pengetahuan gizi. Pengetahuan nutrisi yang baik akan memungkinkan
Anda untuk membuat pilihan makanan yang lebih baik sesuai dengan
kebutuhan Anda. (Shelly, 2013) Oleh karena itu, ada pengetahuan
umum tentang manfaat ikan, yaitu komponen nutrisi ikan yang dapat
bermanfaat bagi kesehatan dan mempengaruhi kebiasaan konsumsi ikan
individu. Kebiasaan makan tersebut yang dipraktikkan oleh masyarakat
akhirnya akan membentuk pola konsumsi pangan masyarakat. Dengan
begitu, kebiasaan makan ikan dapat membentuk pola konsumsi ikan di
masyarakat. Namun, untuk mendukung pembentukan pola konsumsi
ikan di masyarakat tersebut harus didukung dengan ketersediaan ikan
yang cukup untuk mengakses pangan ikan tersebut, sehingga
masyarakat dapat secara rutin mengkonsumsi ikan dan dapat
menjadikannya sebagai kebiasaan.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Ikan
a. Tingkat Produksi Ikan
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
berbagai provinsi dan memiliki kondisi masyarakat berbeda-beda,
termasuk pola konsumsi pangannya. Provinsi Jawa Timur merupakan
Provinsi secara geografis terletak di antara 11100 Bujur Timur – 11404’
Bujur Timur dan 70 12’Lintang Selatan – 8048”Lintang Selatan,
dengan luas wilayah sebesar 47.963 km2 yang meliputi dua bagian
utama. Luas Wilayah 47.799,75 km2. Salah satu daerah di Indonesia
yaitu Kabupaten Lamongan memiliki produksi ikan yang cukup besar.
Kabupaten Lamongan memiliki hasil tangkap laut sebesar 76.692,96
Ton, dengan total nilai produksi Rp. 1.188.671.626.220 (Dinas
Perikanan Lamongan, 2020) Berdasarkan jumlah yang besar tersebut,
konsumsi ikan di Kabupaten Lamongan terus meningkat dari tahun
2018 menjadi 46,35%, tahun 2019 menjadi 44,84 dan tahun 2020
menjadi 46,35%.
b. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga juga merupakan salah satu faktor yang
paling berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga.
Menurut hukum Engel dalam Nicholson (1990), semakin besar
pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk
konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin kecil pula bagian
pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Namun pada beberapa
rumah tangga masyarakat di Desa….. walaupun yang memiliki
pendapatan kecil tapi terkadang melakukan pola konsumsi yang sama
seperti rumah tangga yang memiliki pendapatan besar. Hal ini
dikarenakan mereka yang memiliki pendapatan kecil mendapatkan jatah
dari anggota keluarga lain seperti anak atau ponakan atau lainnya yang
bekerja sebagai TKI atau pegawai swasta.
Jumlah anggota keluarga sangat menentukan kebutuhan suatu
rumah tangga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin
banyak pula kebutuhan harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya,
semakin sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula
kebutuhan yang harus dipenuhi. (Adiana, 2015)
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
adalah mendukung dan mengembangkan teori Hukum Engel tentang
faktor yang mempengaruhi pola konsumsi adalah pendapatan dan
lingkungan sosisal.
4. Stunting
a. Pengertian Stunting
Stunting adalah suatu kondisi di mana seorang balita memiliki
panjang atau tinggi yang lebih pendek dibandingkan usianya. Balita
dapat dianggap terhambat dengan mengukur lebih besar dari panjang
atau tinggi badan mereka dikurangi dua standar deviasi dari standar
deviasi rata-rata pertumbuhan anak dari grafik WHO. Penyakit
stunting disebabkan karena tidak makan cukup nutrisi dalam waktu
lama karena gizi buruk.
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dilihat dari umur. Balita dapat
dikatakan stunting dilihat pengukuran panjang atau tinggi badan yang
lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan
anak dari grafik WHO. Stunting disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.(Kemenkes RI, 2019)
Stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita
dikarenakan kurangnya asupan gizi yang cukup lama biasanya terjadi
mulai janin dalam kandungan. Stunting dibentuk oleh growth faltering
dan catcth up growth (Tumbuh Kejar) yang tidak sesuai dengan
mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan balita
optimal (Rahmadhita, 2020). Stunting adalah keadaan balita kurang
gizi yang diukur dengan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
dengan melihat skor-Z dibawah -2 SD termasuk dalam kelompok
kurang gizi akut (Sandjaja, 2010).
b. Tumbuh Kembang Balita
Pada usia balita ini sangat perlu dilakukan pemantauan baik
dari perkembangan maupun pertumbuhan karena akan mempengaruhi
dan menentukan perekembangan anak dimasa depan. Masa
perkembangan pada balita meliputi kemampuan berbahasa, kreatifitas,
kesadaran sosial, emosional, kecerdasan (intelegensia). Sedangkan
untuk pertumbuhan dapat dilaksanakan dengan pegukuran
antropometri yang mengukur Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB),
Panjang Badan (PB) dan lingkar kepala(Era Revika, Yuni Fitriana,
2019)
Berdasarkan usia, pertumbuhan pada anak sebagai berikut
(Dwiwardani, 2017):
1. Berat Badan (BB)
Berat badan pada anak usia 1 sampai 3 tahun akan
mengalami penambahan berat badan sekitar 4 kali lipat dari
berat badan di waktu lahir pada usia kurang lebih 2,5 tahun.
Penambahan berat badan anak setiap tahunnya adalah 2-3 kg.
2. Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan anak usia 1 sampai 3 tahun akan
mengalami penambahan tinggi badan kurang lebih 12 cm
selama tahun ke-2. Sedangkan penambahan untuk tahun ke-3
rata-rata 4-6 cm dari tinggi sebelumnya.
3. Lingkar kepala
Pertumbuhan lingkar kepala terjadi sangat cepat pada 6
bulan pertama melahirkan yaitu 35-43 cm. pada usia
selanjutnya lingkar kepala akan mengalami perlambatan.
Pada usia 1 tahun hanya mengalami pertumbuhan kurang
lebih 46,5 cm. pada usia 2 tahun mengalami pertumbuhan
kurang lebih 49 cm, kemudian bertambah 1 cm sampai usia 3
tahun.
4. Organ pendengaran
Perkembangan pada pendengaran dapat dimulai saat
anak itu lahir. Pada usia 10-12 bulan anak mampu mengenal
beberapa kata dan artinya. Pada usia 18 bulan organ
pendengaran anak dapat membedakan bunyi. Pada usia 36
bulan mampu membedakan bunyi yang halus dalam
berbicara.
Gambaran proses tumbuh kembang bayi dari usia 0 hingga 5,9
bulan meliputi :
a. Usia 0-1 bulan (bayi baru lahir)
1. Jarak pandang mata dengan fokus baru bisa sekitar 18-45cm.
2. Bayi bisa menangis tanpa air mata
3. Bayi dapat mengenali suara orang tuanya baik ibu dan ayah bayi.
4. Jika terdengar suara berisik bayi lebih mudah terkejut
5. Bayi berkomunikasi dengan menangis
6. Kaki dan tangan bayi sering bergerak tanpa disadari
b. Usia 2 bulan
1. Bayi dalam waktu singkat dapat meraih dan memegang objek
sekitar
2. Dapat berguling satu arah
3. Belajar menegakkan kepala beberapa saat
4. Mulai bisa menendang-nendang dan gerakan tidak sadar mulai
berkurang.
c. Usia 3 bulan
1. Merenggangkan tangan dan kaki bayi
2. Memegang benda dengan waktu lebih lama
3. Mata bayi bisa mengamati benda yang bergerak
4. Bayi mulai mengoceh yang kurang jelas
5. Mengangkat kepala dan dadanya walaupun belum kuat dan
seimbang
6. Gerakan tangan dan mata bayi mulai membaik
d. Usia 4 bulan
1. Bayi dapat menahan beban dan belajar berdiri dengan bantuan
2. Mulai duduk dengan tangan sebagai penyangga
3. Meraih benda yang dekat dan berada disekitarnya
4. Bayi suka mengulang perilaku serta senang akan respon
dilingkungannya
e. Usia 5 bulan ( bayi mulai tengkurap )
1. Berguling ke satu sisi tubuh bayi
2. Mulai bisa meraih kaki dan jari kaki
3. Dapat memindahkan benda dari tangan kanan ke kiri dan arah
sebaliknya
4. Gerakan tubuh bayi menyesuaikan ukuran dan jarak benda
f. Usia 5,9 bulan
1. Bayi di usia ini bisa menegakkan kepala
2. Mulai dapat duduk tegak tanpa bantuan orang sekitarnya
3. Mencoba untuk merangak
4. Menggulingkan badan kekiri atau ke kanan
5. Sudah dapat mengunyah makanan
3. Faktor Penyebab Stunting
Faktor-faktor yang penyebab kejadian stunting di bagi
menjadi 2 yaitu secara langsung dan tidak langsung pada balita
meliputi :
1. Penyebab Langsung
Faktor-faktor yang penyebab kejadian stunting pada
balita secara langsung meliputi:
a. ASI Eksklusif
Beradasarkan PP RI No.33 Tahun 2012 tentang
Pemberian Air Susu Ibu eksklusif yang mengatur bahwa
pemberian ASI tanpa memberikan tambahan maupun
mengganti dengan minuman lain selama usia 0 sampai 6
bulan. Di usia bayi 0-6 bulan kebutuhan gizi dapat
terpenuhi dengan hanya memberikan ASI saja, karena ASI
dapat dicerna oleh sistem pencernaan bayi dan juga ASI
sangat memiliki banyak manfaatnya(Dyah, 2020).
Riwayat pemberian ASI mempengaruhi kejadian
stunting pada balita. Balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusifi memiliki peluang lebih besar untuk terkena
stunting dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Selain itu balita yang tidak mendapatkan kolostrum juga
lebih tinggi beresiko stunting dikarenakan yang
seharusnya kolostrum memberikan perlindungan pada
bayi baru lahir tetapi dengan tidak diberikan mungkin
mempunyai insiden, durasi, serta keparahan penyakit yang
lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi gizi balita
(Supariasa & Purwaningsih, 2019).
b. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi menyebabkan terjadinya stunting
akan tetapi bergantung pada tingkatan dari penyakit
infeksi tersebut baik dari keparahan, durasi waktu serta
kekambuhan penyakit infeksi pada balita tersebut dan bila
ketidakcukupan pemberian makanan sebagai pemulihan.
Infeksi yang terjadi seperti diare, enteropati di lingkungan,
berkurangnya nafsu makan karena infeksi, infeksi
pernapasan, malaria, dan inflamasi (Yanisti et al., 2017).
5. Dewasa Muda
a. Memberikan Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit menular maupun penyakit tidak menular;
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/ tidak mengonsumsi narkoba.
KERANGKA KONSEP
A. Desain Penelitian
2. Sampel
Menurut Sudjana & Ibrahim menyatakan bahwa sampel adalah
sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama
dengan populasi(Siyoto, 2015). Penelitian ini sampel yang akan
digunakan adalah keseluruhan balita yang berada di Desa……..
Jumlah sampel diambil berdasarkan rumus slovin(Rahmah, 2020).
N
n = 2
1+ N x e
=
Dimana :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
e = persen kelonggaran ketidak telitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir (10%).
3. Teknik Sampling
F. Kerangka Konsep
Identifikasi Masalah