You are on page 1of 34

ANALISIS PERBEDAAN POLA KONSUMSI IKAN PADA BALITA DI

DAERAH PESISIR DAN NON PESISIR SEBAGAI UPAYA


PENCEGAHAN STUNTING DI KABUPATEN LAMONGAN
TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :
ARRSILLAUFIATMA MAYHIMAMIA FAHMUALIA
NIM : 10319014

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
TAHUN 2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia membahas tentang
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk membangun Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas perlu adanya kegiatan yang dapat
diprioritaskan untuk dilakukan pemberdayaan social. Menurut Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2019, pada butir ke-dua telah disebutkan bahwa di dalam
program Prioritas Nasional Satu, perlu adanya peningkatan palayanan
kesehatan dan gizi masyarakat. Terdapat berbagai masalah gizi di Indonesia
seperti stunting (tubuh pendek), wasting (tubuh kurus), KEP, dll. Salah satu
prevalensi terbesar dari masalah gizi di Indonesia adalah stunting.
(Kementrian Kesehatan RI, 2018) Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada
balita dibawah lima tahun. Stunting terjadi dikarenakan adanya kekurangan
gizi kronis. Sehingga balita tersebut terlalu pendek dengan anak seusianya.
Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir.(Faizi, 2017) Menurut buku ringkasan “100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdis (stuntingI) yang
disusun oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TTN2PK) kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth
Reference Study) 2006.(Kemenkes RI, 2018) Oleh karena itu, perlu adanya
tindakan untuk mengatasi kekurangan gizi dalam rangka pencegahan stunting.
Secara global tercatat 149,2 juta anak di bawah 5 tahun terkena
stunting. Tahun 2020 kasus stunting didominasi oleh anak- anak yang berada
di benua Asia 30,1% dan benua Africa 30,1%.(WHO et al., 2019) Sedangkan
pada negara di Asia Tenggara sendiri Indonesia berada pada urutan kedua
dengan prevalensi stunting tertinggi mencapai 31,8%. (Databooks Katadata,
2021) Kasus stunting secara nasional menunjukkan perbaikan dengan
turunnya tren sebesar 3,3%. Dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24,4% tahun
2021.(SSGI, 2021) Pada Provinsi Jawa Timur, angka stunting turun dari
26,86% pada tahun 2019 menjadi 23,5% di tahun 2021.(Kemenkes RI, 2021)
Kabupaten Lamongan berada di provinsi Jawa Timur dan merupakan salah
satu Kabupaten yang termasuk ke dalam kategori 100 Kabupaten atau Kota
yang di prioritaskan untuk intervensi stunting di Provinsi Jawa Timur.
(TNP2K, 2017) Oleh karena itu, Kabupaten Lamongan perlu masuk dalam
lokasi yang wajib untuk diberikan intervensi mengenai stunting.
Kasus stunting di Kabupaten Lamongan mengalami kenaikan dari
7,7% pada tahun 2019 menjadi 9,2% pada tahun 2020.(TNP2K, 2017) Pada
tahun 2013 kejadian stunting di Kabupaten Lamongan menyentuh angka
48,87% hingga tahun 2019 turun menjadi 27,70%. (Izwardy, 2020) Hingga
tahun 2021 angka kejadian stunting turun lagi menjadi 20,5 %. (SSGI, 2021)
Meskipun terus mengalami penurunan, intervensi terkait pencegahan stunting
di Kabupaten Lamongan harus terus dilakukan untuk mencegah kenaikan
kembali dari angka kejadian stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Lamongan pada tahun 2021 wilayah non pesisir kejadian stunting
tertinggi berada pada wilayah Kecamatan Sambeng sebesar 10,83% dan untuk
wilayah yang paling dekat dengan pesisir yaitu Kecamatan Brondong hanya
sebesar 0,25%.
Kasus stunting berkaitan dengan masalah konsumsi makanan yang
bergizi. Protein adalah zat yang dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting.
Asupan protein dibutuhkan oleh tubuh balita sebagai zat pembangun, menjaga
dan memperbaiki jaringan tubuh sehingga kualitas dan kuantitas dalam
konsumsi protein sangat mempengaruhi asupan gizi sehingga balita dengan
asupan protein kurang akan lebih berisiko terkena stunting dibandingkan
dengan balita yang memiliki asupan protein cukup. (Hanum et al., 2014)
Terdapat berbagai bahan makanan yang memiliki nilai protein yang baik
untuk mencegah stunting. Ikan adalah salah satu makanan yang sering
dikonsumsi masyarakat dengan kandungan protein tinggi. Kandungan protein
dalam ikan mencapai 18% dan terdiri dari asam amino esensial (Altınelataman
et al., 2015). Menurut Daftar Bahan Makanan Penukar (DBMP) Indonesia,
satu porsi ikan segar (50 g) mengandung 10 gram protein. Maka dari itu,
mengonsumsi ikan dapat menjadi solusi masalah stunting karena kandungan
protein dalam ikan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan pada
balita. (Wiseman, 2002)
Terdapat perbedaan pola konsumsi makanan di daerah pesisir dan
non-pesisir. Hal ini disebabkan karena adanya frekuensi pola konsumsi
makanan yang dapat dipengaruhi oleh tersedianya sumber bahan pangan
tergantung dengan faktor-faktor seperti letak geografis, iklim, sumber daya
perairan dan jenis pekerjaan masyarakat di daerah tersebut. Didaerah pesisir
sendiri rata-rata penduduk berprofesi sebagai nelayan sehingga ketersediaan
bahan pangan yaitu ikan di daerah pesisir kemungkinan lebih melimpah dan
umumnya masyarakat daerah pesisir lebih banyak mengkonsumsi ikan yang
berasal dari hasil melaut. (Henggu et al., 2021) Pada daerah non pesisir
masyarakat sebagian besar berprofesi sebagai petani. Letak geografis daerah
non pesisir yang cukup jauh dengan pantai dan laut mempengaruhi
ketersediaan ikan khususnya ikan laut. Terbatasnya jumlah ikan laut di daerah
non pesisir mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.(Sinurat, 2018)
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki produksi ikan yang cukup besar. Kabupaten Lamongan memiliki
hasil tangkap laut sebesar 76.692,96 Ton, dengan total nilai produksi Rp.
1.188.671.626.220 (Dinas Perikanan Lamongan, 2020). Dari hasil produksi
ikan hasil tangkap dari laut yang begitu besar, menjadikan masyarakat di
Kabupaten Lamongan terutama masyarakat daerah pesisir sering
mengkonsumsi ikan laut yang kaya akan kandungan protein. Balita wilayah
pesisir Kabupaten Lamongan yang dinilai lebih banyak mengonsumsi ikan
dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Lamongan non pesisir. Sehingga
kasus stunting di wilayah non pesisir Kabupaten Lamongan lebih besar
dibandingkan dengan wilayah pesisir.
Rendahnya pola konsumsi ikan pada balita daerah non pesisir dapat
mengakibatkan adanya stunting di daerah tersebut. Berdasarkan fenomena
tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis
perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan non pesisir di
wilayah Kabupaten Lamongan. Dikarenakan pola konsumsi ikan dapat
mempengaruhi kejadian stunting pada balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari peneliti
adalah bagaimana perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir
dan non pesisir di wilayah Kabupaten Lamongan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
perbedaan pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan non pesisir
sebagai upaya pencegahan stunting di wilayah Kabupaten Lamongan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah
1. Untuk menganalisis pola konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir,
2. Untuk menganalisis pola konusmi ikan pada balita di daerah non pesisir.
3. Untuk mengetahui kejadian stunting di daerah pesisir dan non pesisir
pada balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan
Bagi Institusi penulis berharap penelitian ini dapat dijadikan bahan
referensi berkaitan dengan penelitian mengenai perbedaan pola
konsumsi ikan pada balita di daerah pesisir dan nonpesisir di wilayah
Kabupaten Lamongan sebagai upaya pencegahan stunting.
2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai saran untuk
menambah ilmu dan wawasan mengenai perbedaan pola konsumsi ikan
pada balita di daerah pesisir dan nonpesisir di wilayah Kabupaten
Lamongan sebagai upaya pencegahan stunting.
3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi bagi khalayak umum dan para anggota keluarga, agar dapat
mengetahui tentang kejadian stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Balita
Balita adalah anak yang berusia di bawah 5 tahun atau anak yang
berusia antara 0 bulan sampai dengan 4 tahun 11 bulan (Sandjaja,
2010). Karena usia 0 sampai 5 tahun merupakan masa dimana bayi
tumbuh dan berkembang dengan pesat, maka orang tua perlu
mengawasi tumbuh kembang anaknya.(Sanitasari et al., 2017)
Keterlambatan tumbuh kembang akan menimbulkan masalah gizi
pada balita tersebut. Masalah gizi pada balita usia 0-5 tahun dapat
berdampak baik jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satunya
adalah efek jangka panjang dari gangguan gizi kronis pada penambang.
Gangguan gizi kronis juga akan mempengaruhi kehidupan mereka di
masa depan. (Utami & Mubasyiroh, 2019)
2. Pola Konsumsi
Pola konsumsi adalah cara individu atau kelompok memilih
makanan atau hidangan sesuai dengan pengaruh psikologis, fisiologis,
budaya dan sosial. Pola konsumsi kadang disebut sebagai kebiasaan
makan individu atau individual. Ini termasuk jenis dan bahan makanan
yang biasa dikonsumsi selama periode tertentu (Sirajuddin, Surmita,
n.d.). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor
psikologis, fisiologis, budaya dan sosial dapat mempengaruhi kebiasaan
makan individu dalam masyarakat, rumah tangga dan masyarakat. Pola
konsumsi pangan dapat memberikan gambaran tentang kualitas pangan
masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, pola konsumsi ikan masyarakat dipengaruhi
oleh adat dan kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi ikan.
(Indrawasih, 2016) Berdasarkan temuan penelitian, pola konsumsi
makanan terbukti dipengaruhi oleh kebiasaan konsumsi makanan dan
pengetahuan gizi. Pengetahuan nutrisi yang baik akan memungkinkan
Anda untuk membuat pilihan makanan yang lebih baik sesuai dengan
kebutuhan Anda. (Shelly, 2013) Oleh karena itu, ada pengetahuan
umum tentang manfaat ikan, yaitu komponen nutrisi ikan yang dapat
bermanfaat bagi kesehatan dan mempengaruhi kebiasaan konsumsi ikan
individu. Kebiasaan makan tersebut yang dipraktikkan oleh masyarakat
akhirnya akan membentuk pola konsumsi pangan masyarakat. Dengan
begitu, kebiasaan makan ikan dapat membentuk pola konsumsi ikan di
masyarakat. Namun, untuk mendukung pembentukan pola konsumsi
ikan di masyarakat tersebut harus didukung dengan ketersediaan ikan
yang cukup untuk mengakses pangan ikan tersebut, sehingga
masyarakat dapat secara rutin mengkonsumsi ikan dan dapat
menjadikannya sebagai kebiasaan.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Ikan
a. Tingkat Produksi Ikan
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
berbagai provinsi dan memiliki kondisi masyarakat berbeda-beda,
termasuk pola konsumsi pangannya. Provinsi Jawa Timur merupakan
Provinsi secara geografis terletak di antara 11100 Bujur Timur – 11404’
Bujur Timur dan 70 12’Lintang Selatan – 8048”Lintang Selatan,
dengan luas wilayah sebesar 47.963 km2 yang meliputi dua bagian
utama. Luas Wilayah 47.799,75 km2. Salah satu daerah di Indonesia
yaitu Kabupaten Lamongan memiliki produksi ikan yang cukup besar.
Kabupaten Lamongan memiliki hasil tangkap laut sebesar 76.692,96
Ton, dengan total nilai produksi Rp. 1.188.671.626.220 (Dinas
Perikanan Lamongan, 2020) Berdasarkan jumlah yang besar tersebut,
konsumsi ikan di Kabupaten Lamongan terus meningkat dari tahun
2018 menjadi 46,35%, tahun 2019 menjadi 44,84 dan tahun 2020
menjadi 46,35%.
b. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga juga merupakan salah satu faktor yang
paling berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga.
Menurut hukum Engel dalam Nicholson (1990), semakin besar
pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan yang digunakan untuk
konsumsi, dan semakin kecil pendapatan semakin kecil pula bagian
pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Namun pada beberapa
rumah tangga masyarakat di Desa….. walaupun yang memiliki
pendapatan kecil tapi terkadang melakukan pola konsumsi yang sama
seperti rumah tangga yang memiliki pendapatan besar. Hal ini
dikarenakan mereka yang memiliki pendapatan kecil mendapatkan jatah
dari anggota keluarga lain seperti anak atau ponakan atau lainnya yang
bekerja sebagai TKI atau pegawai swasta.
Jumlah anggota keluarga sangat menentukan kebutuhan suatu
rumah tangga. Semakin banyak anggota keluarga berarti semakin
banyak pula kebutuhan harus dipenuhi. Begitu pula sebaliknya,
semakin sedikit anggota keluarga berarti semakin sedikit pula
kebutuhan yang harus dipenuhi. (Adiana, 2015)
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
adalah mendukung dan mengembangkan teori Hukum Engel tentang
faktor yang mempengaruhi pola konsumsi adalah pendapatan dan
lingkungan sosisal.
4. Stunting
a. Pengertian Stunting
Stunting adalah suatu kondisi di mana seorang balita memiliki
panjang atau tinggi yang lebih pendek dibandingkan usianya. Balita
dapat dianggap terhambat dengan mengukur lebih besar dari panjang
atau tinggi badan mereka dikurangi dua standar deviasi dari standar
deviasi rata-rata pertumbuhan anak dari grafik WHO. Penyakit
stunting disebabkan karena tidak makan cukup nutrisi dalam waktu
lama karena gizi buruk.
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dilihat dari umur. Balita dapat
dikatakan stunting dilihat pengukuran panjang atau tinggi badan yang
lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan
anak dari grafik WHO. Stunting disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.(Kemenkes RI, 2019)
Stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita
dikarenakan kurangnya asupan gizi yang cukup lama biasanya terjadi
mulai janin dalam kandungan. Stunting dibentuk oleh growth faltering
dan catcth up growth (Tumbuh Kejar) yang tidak sesuai dengan
mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan balita
optimal (Rahmadhita, 2020). Stunting adalah keadaan balita kurang
gizi yang diukur dengan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
dengan melihat skor-Z dibawah -2 SD termasuk dalam kelompok
kurang gizi akut (Sandjaja, 2010).
b. Tumbuh Kembang Balita
Pada usia balita ini sangat perlu dilakukan pemantauan baik
dari perkembangan maupun pertumbuhan karena akan mempengaruhi
dan menentukan perekembangan anak dimasa depan. Masa
perkembangan pada balita meliputi kemampuan berbahasa, kreatifitas,
kesadaran sosial, emosional, kecerdasan (intelegensia). Sedangkan
untuk pertumbuhan dapat dilaksanakan dengan pegukuran
antropometri yang mengukur Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB),
Panjang Badan (PB) dan lingkar kepala(Era Revika, Yuni Fitriana,
2019)
Berdasarkan usia, pertumbuhan pada anak sebagai berikut
(Dwiwardani, 2017):
1. Berat Badan (BB)
Berat badan pada anak usia 1 sampai 3 tahun akan
mengalami penambahan berat badan sekitar 4 kali lipat dari
berat badan di waktu lahir pada usia kurang lebih 2,5 tahun.
Penambahan berat badan anak setiap tahunnya adalah 2-3 kg.
2. Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan anak usia 1 sampai 3 tahun akan
mengalami penambahan tinggi badan kurang lebih 12 cm
selama tahun ke-2. Sedangkan penambahan untuk tahun ke-3
rata-rata 4-6 cm dari tinggi sebelumnya.
3. Lingkar kepala
Pertumbuhan lingkar kepala terjadi sangat cepat pada 6
bulan pertama melahirkan yaitu 35-43 cm. pada usia
selanjutnya lingkar kepala akan mengalami perlambatan.
Pada usia 1 tahun hanya mengalami pertumbuhan kurang
lebih 46,5 cm. pada usia 2 tahun mengalami pertumbuhan
kurang lebih 49 cm, kemudian bertambah 1 cm sampai usia 3
tahun.
4. Organ pendengaran
Perkembangan pada pendengaran dapat dimulai saat
anak itu lahir. Pada usia 10-12 bulan anak mampu mengenal
beberapa kata dan artinya. Pada usia 18 bulan organ
pendengaran anak dapat membedakan bunyi. Pada usia 36
bulan mampu membedakan bunyi yang halus dalam
berbicara.
Gambaran proses tumbuh kembang bayi dari usia 0 hingga 5,9
bulan meliputi :
a. Usia 0-1 bulan (bayi baru lahir)
1. Jarak pandang mata dengan fokus baru bisa sekitar 18-45cm.
2. Bayi bisa menangis tanpa air mata
3. Bayi dapat mengenali suara orang tuanya baik ibu dan ayah bayi.
4. Jika terdengar suara berisik bayi lebih mudah terkejut
5. Bayi berkomunikasi dengan menangis
6. Kaki dan tangan bayi sering bergerak tanpa disadari
b. Usia 2 bulan
1. Bayi dalam waktu singkat dapat meraih dan memegang objek
sekitar
2. Dapat berguling satu arah
3. Belajar menegakkan kepala beberapa saat
4. Mulai bisa menendang-nendang dan gerakan tidak sadar mulai
berkurang.
c. Usia 3 bulan
1. Merenggangkan tangan dan kaki bayi
2. Memegang benda dengan waktu lebih lama
3. Mata bayi bisa mengamati benda yang bergerak
4. Bayi mulai mengoceh yang kurang jelas
5. Mengangkat kepala dan dadanya walaupun belum kuat dan
seimbang
6. Gerakan tangan dan mata bayi mulai membaik
d. Usia 4 bulan
1. Bayi dapat menahan beban dan belajar berdiri dengan bantuan
2. Mulai duduk dengan tangan sebagai penyangga
3. Meraih benda yang dekat dan berada disekitarnya
4. Bayi suka mengulang perilaku serta senang akan respon
dilingkungannya
e. Usia 5 bulan ( bayi mulai tengkurap )
1. Berguling ke satu sisi tubuh bayi
2. Mulai bisa meraih kaki dan jari kaki
3. Dapat memindahkan benda dari tangan kanan ke kiri dan arah
sebaliknya
4. Gerakan tubuh bayi menyesuaikan ukuran dan jarak benda
f. Usia 5,9 bulan
1. Bayi di usia ini bisa menegakkan kepala
2. Mulai dapat duduk tegak tanpa bantuan orang sekitarnya
3. Mencoba untuk merangak
4. Menggulingkan badan kekiri atau ke kanan
5. Sudah dapat mengunyah makanan
3. Faktor Penyebab Stunting
Faktor-faktor yang penyebab kejadian stunting di bagi
menjadi 2 yaitu secara langsung dan tidak langsung pada balita
meliputi :
1. Penyebab Langsung
Faktor-faktor yang penyebab kejadian stunting pada
balita secara langsung meliputi:
a. ASI Eksklusif
Beradasarkan PP RI No.33 Tahun 2012 tentang
Pemberian Air Susu Ibu eksklusif yang mengatur bahwa
pemberian ASI tanpa memberikan tambahan maupun
mengganti dengan minuman lain selama usia 0 sampai 6
bulan. Di usia bayi 0-6 bulan kebutuhan gizi dapat
terpenuhi dengan hanya memberikan ASI saja, karena ASI
dapat dicerna oleh sistem pencernaan bayi dan juga ASI
sangat memiliki banyak manfaatnya(Dyah, 2020).
Riwayat pemberian ASI mempengaruhi kejadian
stunting pada balita. Balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusifi memiliki peluang lebih besar untuk terkena
stunting dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Selain itu balita yang tidak mendapatkan kolostrum juga
lebih tinggi beresiko stunting dikarenakan yang
seharusnya kolostrum memberikan perlindungan pada
bayi baru lahir tetapi dengan tidak diberikan mungkin
mempunyai insiden, durasi, serta keparahan penyakit yang
lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi gizi balita
(Supariasa & Purwaningsih, 2019).
b. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi menyebabkan terjadinya stunting
akan tetapi bergantung pada tingkatan dari penyakit
infeksi tersebut baik dari keparahan, durasi waktu serta
kekambuhan penyakit infeksi pada balita tersebut dan bila
ketidakcukupan pemberian makanan sebagai pemulihan.
Infeksi yang terjadi seperti diare, enteropati di lingkungan,
berkurangnya nafsu makan karena infeksi, infeksi
pernapasan, malaria, dan inflamasi (Yanisti et al., 2017).

c. Berat Badan Lahir Rendah


Kejadian Berat Badan Lahir Rendah dan prematur
sering terjadi bersamaan selain itu kejadian tersebut juga
berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas bayi baru lahir. Dikatakan BBLR bila berat
badan bayi <2500gr sedangkan dikatakan bayi prematur
mempunyai organ tubuh yang belum berfungsi secara
normal untuk diluar Rahim. Semakin muda umur
kehamilan maka organ menjadi kurang berfungsi sehingga
BBLR sering terjadi komplikasi akibat kurang matang
fungsi organ(Diah Septisuari, 2018). BBLR juga akan
mengalami hambatan pertumbuhan serta perkembangan
serta kemunduran fungsi intelektual dan rentan terkena
infeksi(Dyah, 2020).
d. Genetik
Faktor genetik terdiri dari tinggi badan orang tua
balita serta jenis kelamin. Salah satu atau kedua orang tua
yang pendek akibat kondisi patologis dan memiliki gen
dalam kromosom yang membawa sifat pendek dapat
mengakibatkan anak balita akan mewarisi gen tersebut dan
tumbuh menjadi pendek atau stunting(Okky Aridiyah,
2015).
Jenis kelamin anak perempuan cenderung lebih
rendah kemungkinannya menjadi stunting dibandingkan
anak laki-laki karena masa puber anak perempuan 2 kali
lebih cepat dari anak laki-laki dan kebutuhan gizi yang
diperlukakan juga berbeda karena laki-laki membutuhkan
zat tenaga dan protein lebih banyak(Dyah, 2020).

2. Penyebab Tidak Langsung


Faktor-faktor yang penyebab kejadian stunting pada balita secara
tidak langsung meliputi (Supariasa & Purwaningsih, 2019) :
a. Ketersediaan pangan keluarga
Ketersedian makanan dalam keluarga yang dapat dilihat dari
tingkat ketahanan pangan rumah tangga dimana kondisi rumah tangga
rawan pangan beresiko lebih tinggi terhadap kejadian stunting
dibandingkan dengan rumah tangga tahan pangan.
Selain itu tingkat konsumsi mempengaruhi asupan nutrisi yang
meliputi tingkat konsumsi energi, protein, lemak dan karbohidrat.
Asupan nutrisi yang dapat mempengaruhi kejadian stunting dengan
kekurangan asupan protein, kekurangan energi, serta kekurangan
vitamin B2, vitamin B6 dan kekurangan mineral meliputi zat besi dan
zink.
Selain itu Penghasilan yang rendah akan mempengaruhi
kemampuan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan pangan anggota
keluarga dengan tidak terpenuhinya cakupan konsumsi gizi balita
maka menjadi penyebab stunting. Sedangkan pada keluarga yang
memiliki penghasilan cukup baik mampu memenuhi kebutuhan
pangan untuk mendukung daya beli bahan makanan yang bergizi.
b. Pengasuhan balita
Pada ibu yang mempunyai usia lebih muda biasanya memiliki
tingkat pengetahuan dalam pengasuhan pada anak balitanya masih
kurang. Selain itu ibu yang tidak bekerja masih memiliki intervensi
pengasuhan yang kurang tepat seperti ikut sertaan nenek yang
mengasuh masih menganut kepercayaan tertentu mengenai
pengasuhan balita.
c. Sanitasi
Faktor yang ada di dalamnya meliputi pembuangan akhir
sampah dilakukan pada TPA, sumber air bersih dengan menggunakan
sumber yang baik seperti PDAM, fetilasi rumah yang cukup memadai,
tempat buang air besar dilakukan pada jamban dan posisi kandang
ternak dengan jarak 1-15 meter dari rumah. Kondisi sanitasi
lingkungan sekitar rumah yang kurang baik akan menimbulkan
masalah kesehatan dan pertumbuhan yang terganggu.
d. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan selama ibu hamil yang terdiri dari ibu
balita yang mendapatkan TTD saat hamil serta ibu yang mendapatkan
vitamin A saat melahirkan. Vitamin A dibagikan pada ibu nifas untuk
mensuplay vitamin A pada anak di bawah 6 bulan melalui ASI.
4. Faktor Resiko Stunting
Faktor resiko kejadian stunting memiliki beberapa faktor seperti
(Apriluana & Fikawati, 2018):
1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Balita yang terlahir BBLR <2500 gram telah di identifikasi faktor
resiko penting mengenai perkembangan anak dimasa depan dan juga
lebih berpotensi stunting. Disamping itu anak BBLR tidak memadainya
konsumsi makanan, pelayanan kesehatan yang kurang baik, dan sering
timbulnya infeksi di masa pertumbuhan sehingga menghasilkan anak
stunting. Selain BBLR balita dengan kelahiran prematur juga mengalami
pertumbuhan yang terlambat karena singkatnya masa kehamilan ibu.
2. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan seorang ibu sangatlah penting untuk melihat
kualitas pengasuhan yang diberikan. Pengasuhan antara ibu dengan
pendidikan tinggi berbeda dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan
rendah. Perbedaan tingkat pendidikan pada ibu sangat mempengaruhi
untuk pemilihan bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun
kuantitas hidangan untuk anak.
3. Pendapatan rumah tangga

Balita yang tinggal di pedasaan memiliki resiko lebih besar


mengalami stunting dari pada balita yang tinggal di kota, karena balita
yang tinggal di pedesaan memiliki prevalensi malnutrisi lebih tinggi dari
pada di perkotaan. Pendapatan yang rendah erat kaitannya dengan
stunting dan berat badan kurang. Dengan rendahnya pendapatan rumah
tangga maka akan mempengaruhi daya beli bahan makanan serta
kemungkinan besar kurang memenuhi makanan utama sebagai
pemenuhan kebutuhan gizi anak.
4. Sanitasi lingkungan
Kesehatan lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang optimal
sehingga membawa pengaruh positif pada terbentuknya status kesehatan
yang optimal juga. Selain itu resiko lingkungan juga memiliki dampak
terbesar kedua terhadap kejadian stunting. Kebanyakan pada kasus
stunting disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik menimbulkan diare
dimasa balita maka dilakukan pencegahan infeksi pada balita.
5. Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan stunting pada balita dibagi menjadi 2
berikut (Budijanto, 2018) :
1. Dampak jangka pendek
a. Meningkatnya kesakitan dan kematian pada balita
b. Tidak optimalnya perkembangan motoric, kognitif, dan verbal pada
balita
c. Meningkatnya biaya kesehatan yang dikeluarkan
2. Dampak jangka panjang
a. Pertumbuhan postur tubuh yang lebih pendek daripada umumnya
(tidak optimal)
b. Meningkatnya berbagai macam penyakit seperti obesitas
c. Kesehatan reproduksi menurun
d. Kapasitas dan performa belajar pada anak kurang baik pada masaa
sekolahnya
e. Produktifitas dan kapsitas kerja pada masa depannya kurang optimal

6. Upaya Pencegahan Stunting


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting. Pencegahan dilakukan pada setiap kelompok umur di antaranya
sebagai berikut (Budijanto, 2018):
1. Kelompok Ibu Hamil dan Bersalin
a. Memberikan Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b. Mengupayakan jaminan mutu pemeriksaan selama kehamilan atau
Ante Natal Care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan pada fasilitas kesehatan;
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,
dan mikronutrien (TKPM) pada ibu;
e. Deteksi dini penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak
menular;
f. Pemberantasan kecacingan sejak dini;
g. Meningkatkan pergantian Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku
KIA;
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif;
i. Penyuluhan serta pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita secara rutin;
b.Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita tepat waktunya;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak;
d.Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal terhadap kesehatan
anak.

3. Anak Usia Sekolah


a. Melakukan menghidupkan kembali Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS pada setiap sekolah;
c. Mengadakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS);
d. Mencipatakan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan bebas
narkoba.
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, serta tidak mengonsumsi
narkoba;
b. Memberikan pendidikan kesehatan reproduksi.

5. Dewasa Muda
a. Memberikan Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit menular maupun penyakit tidak menular;
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/ tidak mengonsumsi narkoba.

7. Upaya Percepatan Penurunan Stunting

Percepatan Penurunan Stunting merupakan setiap upaya yang


mencakup intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang dilaksanakan
secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sama multi-sektor di
pusat, daerah, dan desa/kelurahan.
Intervensi Spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengatasi penyebab langsung terjadinya Stunting meliputi :
1. PMT untuk mengatasi KEK pada ibu hamil
2. TTD untuk anemia ibu hamil
3. Konsumsi garam beryodium
4. ASI eksklusif
5. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun didampingi dengan MP ASI adekuat
6. Imunisasi
7. Suplementasi zink
8. Fortifikasi zat besi ke dalam makanan
9. Obat cacing
10. Vitamin A
11. Tata laksana Gizi Buruk
12. Penanggulangan malaria
13. Pencegahan dan pengobatan diare
14. Cuci tangan dengan benar (PRITASARI, 2018)
Intervensi Sensitif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya Stunting meliputi :
1. Air bersih serta sanitasi
2. Fortifikasi mengenai ketahanan pangan
3. Akses kepada layanan kesehatan dan KB
4. JKN, jampersal, jamsos, dll
5. Pendidikan pola asuh orang tua
6. PAUD HI
7. Pendidikan gizi masyarakat
8. Edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja
9. Program padat karya tunai (PRITASARI, 2018)
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Desain


penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional. Cross sectional merupakan
penelitian yang semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama
dan hanya satu kali (Wibowo, 2014). Penelitian ini digunakan untuk
mengetahui perbedaan tingkat konsumsi ikan pada balita di wilayah
pesisir yaitu Wilayah Kerja Puskesmas Brondong dan non pesisir yaitu
Wilayah Kerja Puskesmas Sambeng di wilayah Kabupaten Lamongan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Brondong dan
Puskesmas Sambeng Kabupaten Lamongan
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan ……….. Wilayah KLerja
Puskesmas Brondong dan Puskesmas Sambeng Kabupaten Lamongan
C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
1. Populasi
Populasi adalah suatu wilayah yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kualitas serta karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari kemudian akan ditarik kesimpulan
(Puspitasari, 2016). Penelitian ini menggunakan populasi balita di
Desa …..

2. Sampel
Menurut Sudjana & Ibrahim menyatakan bahwa sampel adalah
sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama
dengan populasi(Siyoto, 2015). Penelitian ini sampel yang akan
digunakan adalah keseluruhan balita yang berada di Desa……..
Jumlah sampel diambil berdasarkan rumus slovin(Rahmah, 2020).
N
n = 2
1+ N x e
=
Dimana :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
e = persen kelonggaran ketidak telitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir (10%).
3. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah non


probability sampling dengan purposive sampling. Non probability
sampling merupakan teknik sampling yang tidak memberikan peluang
sama di setiap anggota populasi untuk masuk dalam sampel, sedangkan
purposive sampling yaitu pengambilan sampel dalam populasi dengan
pertimbangan tertentu atau seleksi khusus dengan kriteria inklusi
eksklusi (Siyoto, 2015). Selain itu purposive sampling didasarkan atas
tujuan tertentu dengan beberapa pertimbangan peneliti seperti
waktu,tenaga dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang
besar dan jauh(Ismail, 2019).
4. Kriteria Subjek Penelitian
a. Kriteria Inklusi

Kriteria Inklusi adalah ciri-ciri yang perlu dipeneuhi oleh setiap


anggota populasi yang masuk dalam sampel penelitian (Puspitasari,
2016). Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi:
1. Balita berusia 2-5 tahun
2. Balita berdomisili di wilayah Desa….
3. Bersedia sebagai responden penelitian
b. Kriteria Eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
dijadikan sampel(Puspitasari, 2016). Kriteria Eksklusi pada penelitian ini
meliputi :
1.
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu objek yang mempunyai bermacam-macam
variasi antara satu dengan lainnya diterapkan oleh peneliti bertujuan untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulan(Wibowo, 2014). Variabel dalam
penelitian ini adalah balita di wilayah Desa.. sebagai perwakilan wilayah
pesisir dan balita di Desa.. wilayah non pesisir Kabupaten Lamongan.
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi Operasional adalah petunjuk mengenai suatu variabel
diukur serta mengetahui baik serta buruknya pengeukuran yang dilakukan
oleh peneliti(Siyoto, 2015). Dibawah ini merupakan definisi operasional
yang telah dibat oleh peneliti :
F. Instrumen Penelitian
Instrument Penelitian Instrumen penelitian merupakan alat untuk
mengambil data, yang merupakan langkah penting pada pola prosedur
penelitian (Siyoto, 2015). Instrument yang digunakan dalam penelitian ini
adalah formulir Food Frequency Questionaire (FFQ) yang dikategorikan
‘jarang sekali’ bila mengkonsumsi 1x/tahun, ‘jarang’ bila 1x/bulan,
‘kadang’ bila 1-3x/minggu, ‘sering’ bila 4-6x/minggu, ‘sering sekali’ bila
>1x hari. Untuk mengetahui tingkat konsumsi ikan pada balita di Desa…

G. Prosedur Pengumpulan Data


1. Sumber Data
Data yang didapatkan oleh peneliti dilihat dari sumbernya maka pada
penelitian ini menggunakan :
a. Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh atau


dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada atau bisa
dikatakan peneliti sebagai tangan kedua(Siyoto, 2015). Pada
penelitian ini data sekunder diperoleh dari data profil kesehatan
Indonesia, Profil kesehatan Kabupaten Lamongan, Data World
Healh Organization (WHO) serta data dari laporan UPTD
Puskesmas Brondong dan Puskesmas Sambeng Kabupaten
Lamongan.
b. Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti
secara langsung dari sumber datanya yang biasanya disebut data
asli memiliki sifat up to date(Siyoto, 2015). Penelitian ini
memperoleh data primer didapatkan dengan metode penyebaran
kuesioner pada responden.

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk
mengumpulkan sebuah data sesuai pada variabel yang tepat(Siyoto, 2015).
Pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dibawah ini :
a. Pengumpulan data melalui kuesioner

Pengumpulan data melalui kuesioner adalah metode pengumpulan


data yang umum digunakan pada penelitian untuk mengidentifikasi
variabel serta menentukan jenis data yang dikumpulkan serta teknik
analisisnya(Siyoto, 2015).
b. Pengumpulan data melalui metode wawancara

Pengumpulan data melalui metode wawancara adalah metode


pengumpulan data yang dilakukan peneliti mewawancarai responden
secara langsung dan peneliti agar dapat menggali informasi secara
mendalam(Wahyudi, 2017). Teknik pengeumpulan data ini akan
dilakukan ketika kondisi memungkinkan untuk peneliti bisa turun
langsung pada responden.
c. Pengumpulan data melalui metode dokumentasi
Pengumpulan data melalui metode dokumentasi adalah cara
meperoleh data melalui dokumen atau data sekunder(Wahyudi, 2017).
Teknik ini terpadapat pada saat pemberian data dari puskesmas yang
berupa catatan dari pemegang program gizi di puskesmas.
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
a. Editing (Pengeditan)
Pengeditan merupakan tahap pertama dalam pengolahan data
penelitian dimana meliputi mulai dari pemeriksaan kuesinoner,
pemeriksaan lembar pertanyaan serta jawaban yang telah terjawab. Pada
tahap ini berfungsi melengkapi dan mengkoreksi datang yang kurang
lengkap.
b. Coding (pengkodean)
Tahap pengkodean yaitu tahap dimana pemberian kode yang
diperguankan untuk mempermudah tahapan selanjutnya dalam
pengeolahan data dengan memberikan tanda angka pada kategori data.
c. Entrty data (Memasukkan Data)
Entery data bisa disebut dengan processing data dengan semua
jawaban masing-masing responden dalam bentuk angka atau bisa juga
huruf yang selanjutnya akan di masukkan pada program software
computer dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Program
software yang akan digunkan pada penelitian ini adalah SPSS for
Windows (Statitical Product for Social Sciences).
d. Tahap cleaning (pembersihan)
Tahap cleaning (pembersihan) adalah merupakan sebuah tahapan
untuk mengecek kembali data-data yang telah dimasukan (di-input) dan
melakukan koreksi kembali apabila terdapat suatu kesealahaan saat
penginputan data.
e. Tabulating (Tabulasi)
Tabulasi atau yang biasa disebut tabulating dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu secara manual dan menggunakan beberapa
software atau program yang ada di computer. Tahap ini bertujuan untuk
mempermudah peneliti dalam menganalisi data secara statistik(Dwi
Anggraeni, 2019)
2. Teknik Penyajian Data
Teknik penyajian data adalah bagain cara membuat hasil penelitian
yang dilakukan agar dapat menjadi informasi yang mudah diterimah oleh
pembaca(Wahyudi, 2017).
3. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah komponen yang berpengaruh untuk memenuhi
tujuan pokok pada penelitian sehingga bisa mendeskripsikan kejadian untuk
memberikan bukti hipotesa penelitian yang telah dibuat(Dwi Anggraeni,
2019).
a. Analisis Univariat
Analisis Univariat dipergunakan untik satu variabel yang nantinya
merukapan dasar untuk perhitungan selanjutnya (Siyoto, 2015). Analisis
univariate pada penelitian ini adalah perhitungan frekuensi data
karakteristik responden meliputi usia ibu, tingkat pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, penghasilan ibu, jumlah anak, usia anak dan jenis kelamin
anak.
b. Analisis Bivariat
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah
distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi
normal atau tidak. Model yang baik adalah distribusi data
normal atau mendekati normal. Namun karena penelitian ini
termasuk kedalam analisis komparatif maka kenormalan data
tidak terlalu penting karena dalam uji beda t tidak mengenal
sebaran data populasi.
b. Uji Hipotetis t-Test
Uji hipotesis t-test digunakan untuk menguji dua sampel
apakah ada perbedaan rata-rata dari sampel yang diambil. Ada
beberapa macam Uji beda t yang dapat digunakan tergantung
jenis sampel yang digunakan, apakah berpasangan atau tidak.
Berikut adalah macam-macam uji beda t:

F. Kerangka Konsep

Identifikasi Masalah

Mengajukan Judul Proposal Penelitian

Menentukan Lokasi Penelitian Yaitu Di Wilayah Kerja Puskesmas

Melakukan Analisis Data-Data Sekunder Terkait Penyakit Stunting

Melakukan Pengambilan Data Primer Pada Balita di Wilayah Kerja


Puskesmas

Melakukan Penelitian Tingkat Konsumsi Ikan Pada Balita Di Wilayah Kerja


Puskesmas Brondo dan Puskesmas Sambeng

Melakukan Pengelolaan Dan Analisis Data Dengan Cara Uji Komparatif


tingkat konsumsi ikan pada balita Wilayah Kerja Puskesmas Penyajian
Data, Dan Penarikan Kesimpulan Hasil Penelitian

Penyajian Data dan Hasil

Pemberian Kesimpulan Hasil


Penelitian Dan Memberikan Saran
G. Narasi Konseptual
Berdasarkan kerangka konsep yang telah tergambarkan pada III.1
terdapat perbedaan pola konsumsi ikan pada masyarakat wilayah
pesisir dan wilayah non pesisir, dimana perbedaan pola konsumsi
tersebut mempengaruhi angka kejadian stunting pada anak.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan
menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini digunakan untuk
mengetahui perbedaan pola konsumsi ikan pada masyarakat wilayah
pesisir dan non pesisir untuk pemenuhan protein dalam rangka pencegahan
stunting di Wilayah Kabupaten Lamongan tahun 2022.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Paciran dan
Wilayah Kerja Puskesmas Sambeng Kabupaten Lamongan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Januari 2023 di Wilayah
Kerja Puskesmas Paciran dan Wilayah Kerja Puskesmas Sambeng
Kabupaten Lamongan.
C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
1. Populasi
2. Sampel
3. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik sampling
DAFTAR PUSTAKA

Adiana, P. (2015). PENGARUH PENDAPATAN, JUMLAH ANGGOTA


KELUARGA,DAN PENDIDIKAN TERHADAP POLA KONSUMSI RUMAH
TANGGA MISKIN DI KECAMATAN GIANYAR. 39–48.
Altınelataman, C., Torkova, A., & Tsentalovich, M. (2015). Fish derived bio-
active peptides and their metabolic effects. Ege Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences, 32(4), 217–223.
https://doi.org/10.12714/egejfas.2015.32.4.08
Apriluana, G., & Fikawati, S. (2018). Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap
Kejadian Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia
Tenggara. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247–256.
https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.472
Budijanto, D. (2018). Buletin Stunting. In E. S. Sakti (Ed.), Kementerian
Kesehatan RI (Vol. 301, Issue 5). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Databooks Katadata. (2021). Prevalensi Stunting Balita Indonesia Tertinggi ke-2
di Asia Tenggara. November, 1.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/25/prevalensi-stunting-
balita-indonesia-tertinggi-ke-2-di-asia-tenggara
Diah Septisuari, U. (2018). KAJIAN KEJADIAN STUNTINGPADA BALITA
BERDASARKAN KARAKTERISTIK KELUARGA DI DESA SIDOHARJO
KECAMATAN SAMIGALUH KABUPATEN KULON PROGO.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA.
Dinas Perikanan Lamongan. (2020). Profil perikanan pemerintah kabupaten
lamongan. 02.
Dwi Anggraeni, M. (2019). HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA (6-60)BULAN DI
KELURAHAN SUMBERSAR. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG.
Dwiwardani, R. L. (2017). ANALISIS FAKTOR POLAPEMBERIAN MAKAN
PADA BALITASTUNTINGBERDASARKAN
TEORITRANSCULTURALNURSING. In PERPUSTAKAAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA (Vol. 6). UNIVERSITAS
AIRLANGGASURABAYA.
Dyah, E. (2020). KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 25-59 BULAN.
Insan Cendekia Medika Jombang.
Era Revika, Yuni Fitriana, A. A. (2019). PEMANTAUAN KEMAMPUAN
ANAK DALAM MENCAPAI TUMBUH KEMBANG YANG OPTIMAL
DENGAN DETEKSI TUMBUH KEMBANG PADA ANAK USIA 2-5
TAHUN DI TK ULIL ALBAB Era. Jurnal Pengabdian Masyarakat Karya
Husada, 1(1), 6–12.
Faizi, M. F. (2017). PENGARUH STUNTING PADA TUMBUH KEMBANG
ANAK. 1, 43. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hanum, F., Khomsan, A., & Masyarakat, D. G. (2014). Hubungan Asupan Gizi
dan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi Dan
Pangan, 9(1), 1–6.
Henggu, K. U., Tega, Y. R., Meiyasa, F., Ndahawali, S., Tarigan, N., &
Nurdiansyah, Y. (2021). Analisis Konsumsi Ikan pada Masyarakat Pesisir
Sumba Timur. Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan Dan
Perikanan, 7(2), 103. https://doi.org/10.15578/marina.v7i2.10368
Indrawasih, R. (2016). Pola Konsumsi Ikan oleh Masyarakat Hitumesing,
Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 18(7), 339–
352. https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/551
Ismail, N. dan S. H. (2019). Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. In Lutfiah
(Ed.), Andi Offset. Media Sahabat Cendekia.
Izwardy, D. (2020). Studi Status Gizi Balita. Balitbangkes Kemenkes RI, 2020, 40.
Kemenkes RI. (2018). Buletin Stunting. Kementerian Kesehatan RI, 301(5),
1163–1178.
Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 Kemenkes RI. In Health
Statistics.
Kemenkes RI. (2021). STUDI STATUS GIZI BALITA INDONESIA (SSGBI)
TAHUN 2019 DAN STUDI DETERMINAN STATUS GIZI (SDSG) PADA
MASA PENDEMI COVID- 19 TAHUN 2020. Kementerian Kesehatan RI,
September, 15–17.
Kementrian Kesehatan RI. (2018). Cegah Stunting, itu Penting. Pusat Data Dan
Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 1–27.
https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/
Buletin-Stunting-2018.pdf
Okky Aridiyah, F. N. R. dan M. R. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stunting pada AnakBalita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. E-
Jurnal Pustaka Kesehatan, 3(12), 163–170. https://doi.org/10.1007/s11746-
013-2339-4
PRITASARI, K. (2018). UPAYA PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING :
EVALUASI PELAKSANAAN TAHUN 2018 & RENCANA TINDAK TAHUN
2019. DIREKTUR JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT.
Puspitasari, A. M. (2016). Hubungan Inisiasi Menyusu Dini Dengan Kelancaran
Pengeluaran Asi Pada Ibu Post Partum Di Puskesmas Patrang Kabupaten
Jember. In Repository.Unej.Ac.Id.
Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan Stuntingdan Pencegahannya. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 225–229.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.253
Rahmah, A. (2020). Rumus Slovin. Rumus.Id.
Sandjaja. (2010). Kamu Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. PT Kompas Media
Nusantara.
Sanitasari, R. D., Andreswari, D., & Purwandari, E. P. (2017). Sistem Monitoring
Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5 Tahun Berbasis Android. Jurnal Rekursif,
5(1), 1–10. http://enjournal.unib.ac.id/inddex.php/rekursif/
Sinurat, D. (2018). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Poliklinik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA. Jurnal Pembangunan Wilayah &
Kota, 1(3), 82–91.
Siyoto, S. dan A. S. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. In Literasi Media (Vol.
7, Issue 2).
SSGI. (2021). buku saku hasil studi status gizi indonesia (SSGI) tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2021. Angewandte Chemie International
Edition, 6(11), 951–952., 2013–2015.
Supariasa, I. D. N., & Purwaningsih, H. (2019). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita Di Kabupaten Malang. Karta
Rahardja, 1(2), 55–64.
TNP2K. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting): Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta,
2(c), 287.
Utami, H. N., & Mubasyiroh, R. (2019). Masalah Gizi Balita Dan Hubungannya
Dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (Nutritional Problems
Among Underfive Children and It’S Relationship With Public Health
Development Index). Jurnal Penelitian Gizi Dan Makanan, 42(1), 10.
Wahyudi, G. (2017). Determinan Pemberian ASI eksklusif. In Karya Tulis
Ilmiah. Program Studi DIII Keperawatan. Fakultas Keperawatan.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
WHO, World, Bank, & UNICEF. (2019). Levels and Trends in Child malnutrition
- Unicef WHO The World Bank Joint Child Malnutrition Estimates, key
findings pf the 2019 edition. Unicef, 4.
http://www.unicef.org/media/files/JME_2015_edition_Sept_2015.pdf
%0Ahttps://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30430613/
Wibowo, A. (2014). Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. Rajawali
Pers.
Wiseman, G. (2002). Nutrition and Health. Department of Biomedical Science
University of Sheffield UK, 1999(December), 1–6.
Yanisti, F., Sabar, S., & Ana, K. (2017). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada
Bayi Baru Lahir Di RSUD Wonosari Kabupaten Gunungkidul Tahun 2016.
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN.

You might also like