Professional Documents
Culture Documents
Pelajaran Yang Didapat Dari Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunung Sinabung 2018
Pelajaran Yang Didapat Dari Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunung Sinabung 2018
Sinabung 2018-2019
Tahapan Relokasi
Ada tiga tahap relokasi untuk penanganan pascabencana erupsi Sinabung ini. Tahap pertama,
pemenuhan kebutuhan relokasi untuk 370 kepala keluarga (KK) di Siosar yang berasal dari
tiga desa yaitu Desa Bekerah 112 KK, Sukameriah 128 KK, dan Simacem 130 KK. Di lokasi
ini, selain rumah-rumah dibangun pula sarana pendukung, fasilitas umum, dan fasilitas sosial
bagi warga.
Tahap kedua, pemenuhan kebutuhan relokasi mandiri untuk 1.655 KK dan 181 KK data
tambahan yang berasal dari empat desa yaitu Desa Gurukinayan 778 KK, Kutatonggal 108
KK, Berastepu 611 KK dan Gamber 158 KK. Di tahap kedua ini, masyarakat memperoleh
bantuan dana rumah dan bantuan lahan usaha tani. Metode yang digunakan untuk
membangun rumah adalah relokasi mandiri yang tersebar di 22 hamparan. Secara teknis
pelaksanaan pembangunan rumah didampingi oleh Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat
dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak) dari Kementerian PUPR. Sampai dengan
bulan Maret 2018, sebanyak 1.170 rumah terbangun dan 485 rumah lainnya masih dalam
proses pembangunan.
Tahap ketiga, pembangunan infrastruktur prasarana sarana pendukung di lokasi relokasi
mandiri yang telah selesai di tahap kedua dan pembersihan lahan relokasi tahap ke-3 di Siosar
untuk sekitar 1.098 KK yang masih dalam proses verifikasi penetapan by name by address.
Warga yang akan direlokasi tersebut berasal dari Desa Sigarang-garang, Desa Sukanalu, Desa
Mardinding dan Dusun Lau Kawar.
Tantangan Relokasi
Gunung Sinabung menyimpan misteri, yaitu kapan gunung api ini akan berhenti meletus.
Secara ilmiah, fenomena letusan menerus Sinabung setelah lama tertidur tersebut ada
hubungannya dengan rentetan gempa besar yang terjadi di zona subduksi di sekitar Pulau
Sumatera.
Peneliti Matteo Lupi dan Stephen Miller dalam penelitiannya di Jurnal Solid Earth
menyimpulkan bahwa gempa-gempa yang terjadi di Sumatera, yaitu Aceh 2004, Nias 2005,
dan Mentawai 2010 telah memicu gempa lain di Sumatera daratan. Akibatnya tegangan
(stress) yang selama ini menekan dan menyungkup dapur magma Sinabung melemah.
Pelemahan pada selubung dapur magma ini menyebabkan magma bermigrasi ke atas
melewati retakan-retakan baru yang terbentuk hingga akhirnya meletus.
Sebuah gunung akan berhenti meletus apabila tekanan magma sudah tidak sanggup lagi
mendorong magma keluar ke permukaan bumi. Di Gunung Sinabung, masih ada tekanan
magma ini, terbukti dari adanya gempa-gempa vulkanik dalam dan dangkal di sekitar gunung
serta letusan-letusan yang terus terjadi.
Fenomen inilah yang menjelaskan kenapa Gunung Sinabung terus meletus sejak 2010 dan tak
juga kunjung berhenti. Hal ini terjadi karena Sinabung sedang mencari keseimbangan baru,
sehingga sangat sulit diprediksi kapan erupsi tersebut akan berakhir. Di tahun ini, pada 19
Februari 2018, kembali Sinabung meletus besar.
Dengan Sinabung yang terus-menerus meletus dan belum bisa diprediksi kapan akan
berakhir, maka upaya penanggulangan bencana, terutama proses RR di lokasi ini mengalami
tantangan tersendiri. Pelaksanaan RR dilakukan bersamaan dan dalam masa tanggap darurat.
Implikasinya, upaya RR juga harus memerhatikan kegiatan yang dilakukan pada masa
darurat, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih dan logistik bagi warga yang
harus mengungsi karena bertempat tinggal di zona bahaya.
Selain itu, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh letusan Sinabung juga terus
mengalami perubahan. Akibatnya hasil perhitungan sementara kerusakan dan kerugian akibat
erupsi Gunungapi Sinabung pun berubah-ubah. Sejak September 2013 hingga Mei 2015
diperkirakan kerusakan dan kerugian mencapai Rp1,80 triliun. Terdiri dari nilai kerusakan
sebesar Rp 578,99 miliar dan nilai kerugian sebesar Rp 1,23 triliun.
Kerusakan dan kerugian paling besar terjadi di sektor ekonomi produktif yang meliputi
pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, perikanan, UKM, dan industri
sebesar lebih dari Rp 1,14 triliun. Berikutnya kerusakan dan kerugian di sektor permukiman
sebesar Rp 505,9 miliar, infrastruktur Rp 83,93miliar, sosial Rp 53,43 miliar, dan lintas
sektor sebesar Rp 18,26 miliar.