You are on page 1of 10

1.

PSORIASIS

Psoriasis adalah :
• Psoriasis adalah kelainan kulit kronis yang sering muncul kemudian hilang. Sel
sel kulit bereproduksi terlalu cepat dan menumpuk serta membentuk bercak
keperakan pada kulit.
• Pemicu bisa mulai dari dengan cedera ringan, stress, infeksi, iklim yang dingin
dan kering, obesitas dan penyakit autoimun lainnya (limfosit T atau sel T)
Umumnya terjadi pada orang dewasa, baik laki-laki ataupun perempuan rentan
terkena psoriasis
Tanda dan Gejala :
• Bercak merah pada kulit disertai dengan adanya sisik keperakan
• Bintik bitnik kecil (sering terlihat pada anak-anak)
• Kering, kulit pecah-pecah yang bisa berdarah
• Rasa gatal, terbakar dan nyeri
• Kulit menebal, kuku menjadi kasar
• Sendi bengkak dan kaku

1. 1. Patofisiologi
Patofisiologi psoriasis masih belum diketahui pasti karena akar penyebab
utamanya masih belum diketahui secara jelas. Psoriasis merupakan penyakit kulit
inflamasi kronis, dengan dasar genetik yang kuat, ditandai dengan perubahan yang
kompleks pada pertumbuhan dan diferensisasi epidermal, biokimia, sistem imun,
kelainan vaskuler, dan fungsi sistem saraf. Pada orang normal, produksi sel kulit
berlangsung sekitar 3-4 minggu, dimana sel kulit baru tumbuh di bagian terbawah
dan secara perlahan naik ke permukaan kulit dan kulit yang berada di atasnya akan
apoptosis sehingga berkurang dengan sendirinya. Pada penderita psoriasis, proses
tersebut hanya berlangsung sekitar 3-7 hari menyebabkan peningkatan produksi
sel. Percepatan dari siklus hidup sel kulit menyebabkan produksi yang meningkat
dan terus menerus, sehingga sel kulit tersebut terdorong dan menumpuk ke
permukaan kulit sehingga menunjukkan gambaran plak keras pada area yang
terkena. Proses genetik dan kelainan sistem imun berperan penting dalam
terjadinya psoriasis. Beberapa orang mewarisi gen yang menyebabkan mereka
cenderung lebih mudah terkena psoriasis. Sampai saat ini telah ditemukan
setidaknya 8 lokus kromosom yang berkaitan dengan psoriasis. Lokus tersebut
dikenal dengan nama PSORS I-VIII. Penelitian mendetail tentang pemetaan gen
telah menemukan bahwa HLA-Cw6 allele yang juga dikenal sebagai PSORS1
merupakan gen utama yang berperan pada kejadian psoriasis. Pada penderita
psoriasis terdapat kelainan sistem imun dimana leukosit sel-T menerima sinyal
yang salah yang menyebabkan penyerangan terhadap sel kulit. Secara spesifik,
epidermis diinfiltrasi oleh sejumlah besar sel-T teraktivasi, dimana sel-T yang
teraktivasi mampu menginduksi proliferasi keratinosit. Pada akhirnya, proses
inflamasi dengan produksi besar dari sitokin (TNF- α, interferon-ᵞ, interleukin-12) ,
menyebabkan munculnya gambaran klinis dari psoriasis. Perubahan respon imun
dan kelainan genetik menyebabkan hiperplasia sel epidermal dan dilatasi pembuluh
darah superfisial yang akan membuat peningkatan kecepatan turnover atau
pergantian siklus hidup sel kulit, menyebabkan maturasi sel yang tidak baik
(Athieqah Asy Syahidah,2013). Patofisiologi Psoriasis : 12 Stress, genetic, reaksi
autoimun dan penyebab pengobatan -> terjadi hyperactive pada T-cell -> epidermis
infiltration dan keratinocyte proliferation -> deregulated inflammatory process

1.2 Etiologi Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat
gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang
diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara
berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T,
neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis
sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di
dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam
jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis dianggap
sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan
adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan
kadar IFN-γ, tumor necrosing factor-α (TNF-α), IL-2 dan IL-18. Baru-baru ini jalur
Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam mengatur proses inflamasi
kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur
oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). Sel
Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan
pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal.

1.3. Diagnosis
Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis lesi kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi. Pemeriksaan
penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis
ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada
umumnya akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete
ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum
granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti
sel pada lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan
limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk
mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti
hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari
neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast. Selain biopsi kulit, abnormalitas
laboratorium pada penderita psoriasis biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin
tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis
pustular generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang
merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan
hilangnya protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti
Creactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat
terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada penderita dengan psoriasis yang luas
dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita
psoriasis juga menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density
lipoprotein, rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-A1).

1.4. Prevalensi Psoriasis merupakan salah satu peradangan kulit yang sering terjadi
di seluruh dunia, prevalensi penyakit ini bervariasi pada setiap negara didunia, hal
ini mungkin dikarenakan adanya faktor ras, geografi dan lingkungan.
Prevalensinya mulai dari 0,1% hingga 11,8%. Di literatur lain ada
yangmenyebutkan 1-3% dari penduduk di negara-negara Eropa dan Amerika Utara
pernah menderita psoriasis. Dan ada lagi literatur yang melaporkan 1,5-3%
populasi di Eropa dan Amerika Utara pernah menderita psoriasis dan
jarangdijumpai pada Negara Afrika dan Jepang. Angka kejadian pada laki-laki dan
perempuan sama. Insiden pada orang kulit putih lebih tinggi dari pada orang
yangmemiliki kulit berwarna, kasus psoriasis jarang dilaporkan pada bangsa Indian
diAmerika maupun bangsa Afrika. Karena kebanyakan penderita psoriasis
memilikilesi-lesi yang tak hilang seumur hidupnya.
Data nasional prevalensi psoriasis diIndonesia belum diketahui. Namun di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, selamatahun 2000 sampai 2001, insiden psoriasis
mencapai 2,3 persen. Psoriasis dapat terjadi pada semua usia, tetapi umumnya pada
orangdewasa muda. Awitan penyakit ini umumnya kurang pada usia yang sangat
mudadan orang tua. Dua kelompok usia yang terbanyak adalah pada usia antara 20
– 30 tahun dan yang lebih sedikit pada usia antara 50 – 60 tahun. Psoriasis lebih
banyak dijumpai pada daerah dingin dan terjadi pada musim hujan. 2.5 Komplikasi
Komplikasi Menururt Siregar (2004), komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
psoriasis adalah:
1. Dapat menyerang sendi, menimbulkan artritis psoriasis
2. Psoriasis pustuulos: pada eritema timbul pustula miliar. Jika menyerang telapak
tangan dan kaki serta ujung jari disebut psoriasis pustula tipe Barber. Namun, jika
pustula timbul pada lesi psoriasis dan juga kulit di luar lesi, dan disertai gejala
sistemik berupa panas/rasa terbakar disebut tipe Zumbusch. Yang terakhir ini
berprognosis kurang baik.
3. Psoriasis eritrodermia: jika lesi psoriasis terdapat di seluruh tubuh, dengan
skuama halus dan gejala konstitusi berupa badan terasa panas-dingin.

1. 5. Prognosis Psoriasis tidak menyebabkan kematian tetapi bersifat kronik dan


residif (Siregar, 2004). Penyakit psoriasi tidak sembuh sama sekali sehingga
seolah-olah penyakit ini dapat timbul kembali sepanjang hidup. Memperhatikan
tanda dan gejala biasanya membutuhkan terapi seumur hidup. Penyakit psoriasis
biasanya menjadi lebih berat dari waktu ke waktu tetapi tidak mungkin untuk
muncul dan menghilang (Sinaga, 2013).

1.6 Terapi Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun
sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek sebagai
imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai
perluasan serta derajat keparahan psoriasis. Pada dasarnya, mayoritas kasus
psoriasis terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan
plak kronis yang merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata
biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu. Kasus
psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada lesi
yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta terapi
topikal dikatakan memberikan manfaat. Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya
disertai dengan gejala sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik
yang bekerja cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis
eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis pustular
tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan. Pada psoriasis
plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan berdasarkan perluasan penyakit.
Untuk psoriasis plak yang ringan (10% luas permukaan tubuh) dapat diberikan
terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat
berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen
biologi seperti alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas
permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik. Pertanyaan.
1. Apakah yang dimaksud dengan Psoriasis?
2. Bagaimanakah patofisiologis Psoriasis?
3.Komplikasi apa yang akan ditimbulkan dari Psoriasis?
4. Jelaskan terapi pengobatan Psoriasis!
5. Jelaskan etiologi Psoriasis!

2.Jerawat/Acne Vulgaris
Definisi
Acne vulgaris atau jerawat adalah penyakit kulit kronis akibat
gangguan pilosebaceous, yang menimbulkan lesi noninflamasi maupun lesi inflamasi
serta bekas luka variatif. Acne vulgaris merupakan kondisi yang sangat umum, dengan
prevalensi seumur hidup mencapai 85%. Kondisi ini paling sering terjadi pada usia
remaja dan dapat menetap hingga usia dewasa. Jerawat dapat timbul akibat beberapa
faktor, seperti hiperproliferasi epidermis serta sumbatan folikel, produksi sebum
berlebih, aktivitas bakteri komensal Cutibacterium acnes, dan inflamasi. Faktor genetik
juga berperan dalam patofisiologi jerawat.

Manifestasi klinis jerawat dapat berupa lesi noninflamasi (seperti komedo terbuka atau
tertutup) dan lesi inflamasi seperti papul, pustul, dan nodul. Jerawat biasanya muncul di
kulit yang memiliki banyak folikel sebasea, seperti wajah, dada, dan punggung. Jerawat
dapat menyebabkan gejala lokal berupa nyeri atau kemerahan tetapi umumnya tidak
mengakibatkan gejala sistemik.

Penatalaksanaan acne vulgaris bertujuan untuk mengatasi faktor-faktor penyebabnya.


Tata laksana ditentukan berdasarkan grade dan keparahan jerawat, meliputi terapi
topikal dan sistemik. Terapi topikal yang umum digunakan adalah benzoyl
peroxide, clindamycin, dan retinoid, sedangkan terapi sistemik yang dapat digunakan
adalah antibiotik dan isotretinoin oral.
Epidemiologi acne vulgaris atau jerawat bervariasi di setiap negara dengan prevalensi
tertinggi pada usia pubertas. Menurut studi, sekitar 35–100% remaja pernah mengalami
jerawat. Namun, jerawat juga bisa terjadi pada orang dewasa.

Global
Berdasarkan Global Burden of Disease Study 2010, jerawat menempati urutan ke-8
penyakit kulit terbanyak, dengan prevalensi global untuk semua usia sekitar 9,38%.
Prevalensi jerawat bervariasi di tiap negara. Jerawat paling sering terjadi pada usia
pubertas. Sekitar 35–100% remaja diperkirakan pernah memiliki jerawat.[5,7]

PROGNOSIS
Secara umum, prognosis acne vulgaris atau jerawat terbilang baik jika ditangani dengan
tepat. Namun, bekas jerawat mungkin sulit dikoreksi atau dihilangkan, sehingga dapat
menimbulkan gangguan estetika.[6]

Komplikasi
Sekitar 20% kasus acne vulgaris dapat mengalami progresivitas menjadi jerawat derajat
berat, yang dapat menimbulkan bekas jerawat permanen dan komplikasi psikososial
seperti rendah diri, gangguan citra diri, isolasi sosial, dan depresi. Pada kasus jerawat
yang mendapat terapi antibiotik yang berpotensi mengganggu flora normal kulit, dapat
timbul komplikasi berupa folikulitis Gram-negatif.
Patofisiologi acne vulgaris atau jerawat diketahui berhubungan dengan beberapa faktor,
yakni hiperproliferasi yang diikuti penyumbatan folikel, kolonisasi Cutibacterium acnes,
produksi sebum berlebih, dan mekanisme inflamasi kompleks yang melibatkan
imunitas innate dan acquired.

Mekanisme Inflamasi dan Hiperkeratinisasi pada Jerawat


Makrofag dan sel T CD4+ mengaktivasi sel-sel endotel lokal, meningkatkan mediator
inflamasi seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1), dan human leukocyte antigen (HLA)-DR di pembuluh darah
sekeliling folikel pilosebasea. Setelah itu, terjadi hiperproliferasi keratinosit di folikel dan
berkurangnya deskuamasi.
Diagnosis acne vulgaris atau jerawat dapat ditegakkan melalui anamnesis perjalanan
penyakit dan pemeriksaan fisik klinis. Namun, dalam beberapa kasus, dokter mungkin
perlu melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyakit dasar.

Anamnesis
Dari anamnesis, pasien umumnya mengeluhkan jerawat di wajah, punggung, atau dada
yang dapat disertai gejala lokal seperti nyeri dan kemerahan. Umumnya, acne vulgaris
tidak mengakibatkan keluhan sistemik. Namun, pada kasus yang langka, acne vulgaris
dapat memburuk menjadi acne conglobata, yakni jerawat dengan lesi nodulokistik dan
abses yang saling berhubungan.

tiologi acne vulgaris atau jerawat bersifat multifaktorial, yakni melibatkan keratinisasi
folikel yang mengakibatkan komedo, peningkatan produksi sebum di bawah pengaruh
androgen, kolonisasi C. acnes di folikel, dan mekanisme inflamasi yang kompleks.[1,4]
Selain keempat proses tersebut, etiologi utama acne adalah predisposisi genetik yang
menentukan persentase asam lemak bebas pada sebum. Ada berbagai faktor risiko
yang dapat mencetuskan atau memperparah jerawat, seperti kosmetik dan gangguan
endokrin tertentu.[2,6]

Penatalaksanaan acne vulgaris atau jerawat bertujuan untuk mengatasi faktor-faktor


patogenesis jerawat, yakni hiperproliferasi folikel, produksi sebum berlebih,
infeksi Cutibacterium acnes, dan inflamasi. Terapi jerawat meliputi obat topikal dan
sistemik, yang ditentukan berdasarkan derajat keparahan jerawat.[2,5]
Pembahasan mengenai derajat keparahan jerawat dapat ditinjau kembali di halaman
diagnosis. Di Indonesia, penentuan tata laksana jerawat biasanya didasarkan pada
klasifikasi keparahan jerawat menurut Lehmann et al. seperti pada tabel di bawah.[5]
Tabel 2. Pengobatan Acne Vulgaris berdasarkan Derajat Keparahan[5]

natalaksanaa
n Derajat ringan Derajat sedang Derajat berat

Retinoid
Retinoid topikal + Antibiotik oral + retinoid
topikal atau antimikroba topikal atau topikal ± benzoyl peroxide
Lini pertama kombinasi* kombinasi* atau kombinasi*
Dapsone topikal
atau azelaic Dapsone topikal Antibiotik oral + retinoid
acid atau salicyli atau azelaic topikal ± benzoyl peroxide
Lini kedua c acid acid atau salicylic acid atau kombinasi*
Ekstraksi
Laser atau light
komedo, laser atau light
Ekstraksi therapy atau photodynami therapy atau photodynami
Terapi lain komedo c therapy c therapy
Retinoid topikal ±
Terapi benzoyl peroxide Retinoid topikal ± benzoyl Retinoid topikal ± benzoyl
pemeliharaan atau kombinasi* peroxide atau kombinasi* peroxide atau kombinasi*

*Obat kombinasi dapat berupa benzoyl peroxide dan eritromisin, benzoyl peroxide


dan clindamycin, benzoyl peroxide dan adapalene, atau tretinoin dan clindamycin.
Terapi Topikal untuk Acne Vulgaris
Terapi topikal pada jerawat meliputi pemberian retinoid topikal dan antibiotik topikal,
termasuk benzoyl peroxide.
Retinoid Topikal

Retinoid topikal bersifat komedolitik dan antiinflamasi, sehingga dapat menghambat


hiperproliferasi folikel dan hiperkeratinisasi, serta mengurangi lesi inflamasi. Retinoid
topikal sebaiknya digunakan sebagai terapi lini pertama untuk lesi jerawat komedo
maupun lesi inflamasi, lalu diteruskan sebagai terapi pemeliharaan untuk menghambat
pembentukan mikrokomedo di kemudian hari. Retinoic acid memiliki sediaan krim dan
gel dengan konsentrasi 0,025%, 0,05%, dan 0,1%.[2,6]
Retinoid topikal lainnya yang sering diresepkan adalah adapalene, tazarotene, dan
tretinoin. Umumnya, retinoid diaplikasikan sekali sehari tetapi dosis bisa dikurangi jika
terjadi iritasi. Iritasi kulit akibat retinoid topikal dapat berupa pengelupasan dan
kemerahan, yang sering terjadi di awal penggunaan tetapi umumnya sembuh sendiri
setelah beberapa minggu.

Retinoid topikal juga membuat stratum corneum menipis. Hal ini dihubungkan dengan
sensitivitas terhadap sinar matahari. Pasien perlu diedukasi untuk menggunakan tabir
surya ketika menggunakan retinoid topikal.[2,4]

Antibiotik Topikal

Antibiotik topikal terutama digunakan untuk mengatasi C. acnes dan dapat bersifat


antiinflamasi. Semua antibiotik topikal berisiko menimbulkan resistensi bakteri.
Antibiotik topikal yang sering digunakan pada jerawat
adalah clindamycin, eritromisin, dapsone, dan minosiklin.[2]
Dapsone topikal adalah antibiotik yang lebih bar. Obat ini memiliki sediaan 5% untuk
penggunaan dua kali sehari dan 7,5% untuk penggunaan sekali
sehari. Dapsone topikal terbukti efektif untuk tata laksana jerawat derajat ringan hingga
sedang.[2]
Resistensi antibiotik umum dijumpai dan dapat mengancam keberhasilan terapi. Karena
itu, pemberian antibiotik topikal sebaiknya dikombinasi dengan retinoid topikal untuk
mengatasi lebih banyak lesi dan mengurangi durasi terapi antibiotik. Antibiotik topikal
juga sebaiknya dikombinasi dengan antibakteri benzoyl peroxide untuk mengurangi
kemungkinan resistensi.[2,4]

Terapi Sistemik untuk Acne Vulgaris


Terapi sistemik pada jerawat meliputi antibiotik oral, terapi hormonal, dan isotretinoin.

Antibiotik Oral

Antibiotik sistemik adalah terapi utama untuk jerawat inflamasi derajat sedang hingga
berat. Antibiotik yang umum diresepkan untuk jerawat adalah kelompok tetrasiklin,
seperti doksisiklin dan minosiklin. Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazole, eritromisin,
dan azithromycin dilaporkan efektif juga mengatasi jerawat.[2]
Namun, resistensi C. acnes semakin sering dijumpai seiring beragamnya kelompok
antibiotik yang digunakan. Efek samping yang dapat terjadi akibat antibiotik oral
adalah kandidiasis vaginal, fotosensitivitas (doksisiklin), serta deposit pigmen pada kulit,
gigi, dan membran mukosa (minosiklin).[2]
Terapi Hormonal
Beberapa terapi hormonal dapat mengatasi jerawat. Estrogen menghambat produksi
androgen di ovarium dengan menekan pelepasan gonadotropin, sehingga produksi
sebum berkurang. Kontrasepsi oral juga meningkatkan sintesis globulin yang berikatan
dengan hormon seks di hepar, sehingga mengurangi kadar testosteron bebas dalam
darah.[2]

Spironolakton juga dapat digunakan untuk manajemen jerawat meskipun tidak


mengandung hormon. Spironolakton (25 mg/hari) mengikat reseptor androgen dan
mengurangi produksi androgen yang dapat memicu jerawat. Namun, spironolakton
memiliki efek samping seperti pusing, breast tenderness, dan dysmenorrhea.
Spironolakton tidak dianjurkan pada kehamilan karena berisiko menimbulkan feminisasi
janin laki-laki.[2,6]
Isotretinoin

Isotretinoin adalah retinoid sistemik yang sangat efektif mengatasi jerawat derajat berat
yang rekalsitran. Isotretinoin bekerja dengan cara menormalkan diferensiasi epidermis,
mengurangi ekskresi sebum hingga 70%, memberi efek antiinflamasi, dan mengurangi
populasi C. acnes.[2]
Terapi isotretinoin dimulai dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 4 minggu dan bisa
ditingkatkan sesuai toleransi pasien hingga dosis kumulatif 120–150 mg/kgBB.
Sebagian pasien hanya memerlukan satu siklus terapi isotretinoin oral untuk mencapai
remisi penuh, sementara sebagian pasien memerlukan siklus tambahan. Pemberian
isotretinoin yang dipadukan dengan steroid di awal terapi dapat bermanfaat pada kasus
derajat berat untuk mencegah jerawat bertambah parah.[2]

Isotretinoin bersifat teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Pasien
wanita usia subur wajib menjalani konseling kontrasepsi dan menunjukkan dua hasil tes
kehamilan negatif sebelum memulai terapi. Sebelum terapi, lakukan pemeriksaan profil
lipid, transaminase hepar, dan darah lengkap. Profil lipid, tes kehamilan, dan tes fungsi
hepar perlu diulang setiap bulan selama dosis isotretinoin masih berubah.[2]

Efek samping isotretinoin meliputi kulit kering, mata kering, nyeri otot, nyeri kepala, dan
efek samping psikiatri seperti perubahan suasana hati. Selama konsumsi isotretinoin,
pasien berisiko mengalami penyembuhan luka abnormal dan pertumbuhan jaringan
granulasi berlebih setelah tindakan seperti dermabrasi atau laser resurfacing.[2]
Prosedur Bedah untuk Acne Vulgaris
Beberapa prosedur untuk mengatasi jerawat adalah injeksi steroid intralesi (untuk lesi
inflamasi besar), ekstraksi komedo, peeling superfisial menggunakan salicylic
acid atau glycolic acid, dan terapi laser. Salah satu bentuk terapi laser
adalah photodynamic therapy (PDT).[2]
Namun, menurut rekomendasi American Academy of Dermatology, belum ada cukup
bukti untuk merekomendasikan penggunaan prosedur-prosedur tersebut (laser, peeling)
sebagai tata laksana rutin jerawat.
Edukasi dan promosi kesehatan terkait acne vulgaris atau jerawat yang perlu diberikan
kepada pasien adalah cara penjagaan kebersihan wajah, pengurangan diet tertentu
yang dapat memicu jerawat, dan pelaksanaan terapi sesuai anjuran dokter. Pasien juga
diedukasi agar tidak membeli obat-obat jerawat sendiri tanpa resep dokter karena ada
risiko penggunaan antibiotik yang kurang tepat.

Edukasi Pasien
Pasien dengan jerawat perlu diedukasi mengenai kemungkinan makanan yang dapat
memicu jerawat. Beberapa ahli menyarankan menghindari makanan tertentu yang
diduga berkaitan dengan jerawat, seperti cokelat, makanan pedas, junk food, dan
minuman bersoda. Suatu studi menunjukkan bahwa diet tinggi protein rendah glikemik
mengurangi risiko timbulnya jerawat.

3. Dermatologis
Definisi Dermatologi
Akar kata untuk dermatologi adalah derm, atau dermis.

Ini berasal dari kata Yunani derma, yang berarti kulit.

Sementara definisi dermatologi adalah bidang kedokteran khusus yang berfokus


pada kondisi yang memengaruhi kulit.

Kulit adalah organ terbesar tubuh berisi ujung saraf , kelenjar keringat, folikel
rambut, pori-pori, pembuluh darah, dan banyak struktur lainnya.

Merawatnya penting untuk kesehatan secara keseluruhan.

You might also like