You are on page 1of 3

B.

Terma-terma Bisnis dalam Al-Qur’an

Jika merujuk Kepada karya Syekh Abdul Wahab Khallaf, Iim Ushul Fiqh,
Khususnya tentang Pembahasan Al-Qur’an, Kita akan menemukan bahwa ayat-ayat
yang berbicara tentang hukum termasuk didalamnya mu’amalah tidak lebih dari 250
ayat. Khusus ayat-ayat Mua’malah yang selalu diidentikkan dengan ekonomi, bisnis
dan hukum bisnis (ahkam al-Iqtishadiyyah) tidak lebih dari 10 Ayat .

Kita bisa berkata, Jika Al-Qur’an tidak banyak memuat persoalan bisnis mengingat
tema ini sangat dinamis. Artinya, Al-Qur’an hanya memuat Prinsip-prinsip Bisnis.
Selanjutnya bagaimana menterjemahkan bisnis dalam perilaku Kesehariannya,
terpulang pada pelakunya. Oleh sebab itu, di dalam Kaedah dasar Mu’malat dikenal
adagium, al-asl fi mu’amalat al-ibahah (asal dari mu’amalat itu adalah al-ibahah atau
kebolehan). Berbeda dengan kaedah yang berlaku di dalam Ibadah, al-asl fi
al-‘ibadah al-tahrim (asal di dalam Ibadah adalah al-tahrim atau haram)

Yang dimaksud dengan kaedah al-asl fi al-mu’amalat al-ibahah adalah di dalam


persoalan mu’amalat segala sesuatunya dibolehkan sampai ada dalil yang
megharamkan. Substansi dari kaedah ini adalah syari’at hadir dalam memberikan
keleluasaan, fleksibilitas dan elastisitas manusia dalam bermu’amalah . yusuf Al-
Qaradhawi menjelaskan bahwa ,sedangkan dalam Muamalat adalah urusan sesame
manusia. Apabila ada sekelompok manusia disuatu tempat, haruslah mereka saling
berinteraksi satu sama lain, berjual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, Utang-
piutang, baik konsisten maupun tidak konsisten , baik komit maupun tidak komit,
baik secara sederhana maupun berlebihan. Di sinilah sang pembuat Syari’at hadir
untuk memperbaiki, membina dan meluruskan, menetapkan kaidah-kaidah,
mereangkan maksud-maksud, menjelaskan Syarat-syarat, menetapkan metedo,
melestarikan yang benar dan sesuai dengan maksud-maksudnya, dan menghapuskan
yang bertentangan dengannya.

Dalam Bahasa yang lain, memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan
kreatifitas dan Inovasi dalam bisnis. Apa yang tertera di dalam Kitab-kitab fikih
Mu’amalat dapat saja kita kembangkan bahkan Kita Rubah. Kuncinya adalah kita
tidak melanggar Prinsip Bisnis yang digariskan oleh Al-Qur’an. Sebut saja misalnya
maisir (Judi), Gharar (Tipuan), Riba atau batil. Sesungguhnya bisnis yang di
dalamnya ada unsure jadi, penipuan dalam berbagai macam bentuknya bahkan
mengandung unsure Riba, maka bisnis yang seperti ini diharamkan.

Tidaklah mengherankan jika sekarang ini khususnya dalam lembaga Keuangan Bank
dan non Bank, banyak dikembangkan desain-desain akad baru yang dahulunya tidak
dikenal di dalam Kitab-kitab fikih. Tidak itu saja beberapa kaedah baru juga
dimunculkan sebagai basis pengembangan produk Keuangan Syari’ah .

Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan disebabkan oleh keluasan kaidah Mu’amalat ini,


maka seyogyanya tidaklah boleh seorang Ulama ditanya. “Manakah dalil bahwa
transaksi atau Muamalat ini diperbolehkan (Mubah) ? pasalnya dalil yang dicari
bukanlah dalil yang membolehkan. Sebab, dalil pada dasarnya memang
membolehkan. Dalil yang dicari semestinya adalah dalil yang mengharamkan. Dan
dalil yang mengharamkan itu haruslah berupa nash Al-Qur’an atau Sunnah yang
tidak mengandung kesamaran (Syubhat), sebagaimana disyari’atkan para salaf, yakni
orang-orang yang dikutip Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa mereka hanya
memvonis haram hal yang Pengharamnya sudah diketahui secara pasti.

Berbeda dengan Ibadah yang kaedah dasarnya adalah al-asl fi al=’ibadah al-tahrim.
Maknanya di dalam Ibadah tidak ada ruang untuk pengembangan kreativitas ataupun
inovassi. Ada kesan, Allah SWT memainkan peran yang berbeda pada saat
membincangkan masalah Ibadah atau Mu’amalat di dalam Al-Qur’an. Dengan
mengutip Syaikh Muhammad Al-Madani yang oleh Yusf Al-Qaradhawi disebut
sebagai “Syaikh Kami,” dalam Ibadah, Allah SWT berperan sebagai pembuat dan
peletak dasar. Sementara dalam Muamalat. Dia berperan sebagai pembetul dan
Pembagus.”

Tentu saja Ibadah yang dimaksud disini adalah Ibadah Mahdah. Semua ketentuan
Ibadah haruslah telah ditetapkan di dalam nash baik itu Al-Qur’an ataupun Hadis.
Ibadah mahdah yang tidak memiliki landasan nash menjadi tertolak. Dengan
demikian Ibadah di dalam Islam sesungguhnya tidak membutuhkan pembaharuan
dan juga Pengembangan. Tidak termasuk saranya. Jika yang dimaksud dengan sarana
Ibadah, tentu tidak ada Persoalan sama sekali.
Sebut saja misalnya Perkembangan sarana Ibadah ditanah suci beberapa tahun
terakhir ini. Tempat Sa’I yang semakin diperluas. Demikian juga dengan tempat
thawaf. Namun thawafnya sendiri tetap saja seperti yang dititahkan Allah di dalam
Al-Qur’an dan apa yang dituntunkan Rasulullah SAW di dalam Hadisnya
(Manasiknya). Dengan demikian, Kita bisa mengatakan, di dalam Ibadah yang
dituntut adalah kepatuhan dan ketundukkan. Sedangkan di dalam Mu’amalat yang
harapkan adalah Inovasi dan Kreatifitas berpayungkan Nilai-nilai Syari’ah.

Bisa dipahami mengapa Ayat-ayat yang berhubungan dengan Mu’amalat tidak


terlalu banyak di daalam Al-Qur’an . lewat Ayat-ayat Mu’amalat inilah dengan tetap
memperhatikan Nilainya, desain akad buat Produk Keuangan Syari’ah bisa
dikembangkan sedemikian rupa.

Berbeda halnya jika yang dirujuk adalah terma-terma bisnis di dalam Al-Qur’an yang
cukup banyak dan beragam. Dalam catatn Quraish Shihab, setidaknya di dalam Al-
Qur’an ditemukan terminology bisnis seperti al-tijarah (Perniagaan) ditemukan 9
kali, kata yasytary (membeli) dalam berbagai bentuk dan konteknya sebanyak 22
kali, kata ba’i (Jual beli) sebanyak 7 kali, selain bentuk-bentuknya yang lain.
Berikutnya kata Qardh dalam arti kredit atau utang dan Yuqridh (mmberi hutang atau
kredit) ditemukan sebanyak 12 kali.

Disamping lafaz-lafaz yang secara langsung merujuk kepada aktifitas bisnis


sebagaimana yang telah disebut diatas, banyak Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi
yang seakan tidak berkaitan dengan bisnis, namun sesungguhnya pesan atau Nilainya
sangat bertautan erat dengan aktivitas bisnis. Setidaknya Ayat-ayat dan Hadist-hadist
tersebut dapat menjadi Inspirasi bagi Pengembangan Bisnis baik dalam tataran
teoritik lebih-lebih praktik. Penulis akan mengutip contoh yang telah disebut M.
Quraish Shihab di dalam bukunya tersebut. Pada QS Al-Baqarah ayat 1 Allah
Subhanahu W Ta’ala berfirman. Alif Lam Mim, dia adalah Petunjuk bagi orang-
orang yang bertakwa.” Berkaitan dengan Ayat ini pakar tafsir itu Berkata:

You might also like