You are on page 1of 3

Tarian Kekasih

Malam ini akan kupersembahkan percintaan kita, sayang,


pada dewa dewi yang menghuni
langit, samudera, dan tanah di bumi.
Lalu semua makhluk akan berebut kursi penonton
dan menyaksikan
betapa cintaku padamu
dan cintamu padaku
Tiada ‘kan turut hangus bersama api yang padam.

Megamega bergelayut rendah.


Samar terdengar dengkur lembut Yogyakarta
di balik pohon dan rerumputan.
Beratus pasang mata mengedip tak sabar
menanti
alunan gending pembuka mengantar sukma mereka
pada ribuan tahun silam.
Ribuan tahun yang masih menjaga
cinta kita agar tak menghitam jelaga,
lalu tenggelam
‘nuju cakrawala.

Di tanah ini pernah tertumpah literan darah, sayang,


karena kisah cinta tak selalu berakhir bahagia.
Tak sepertimu,
yang setia menunggu waktu,
yakinkan semesta bahwa cinta dan tubuhmu
masih tersimpan rapi di balik belitan kain
dan reronce kembang.
Tak sepertiku,
gemetar menahan cinta yang hampir tergerus
oleh emosi dan ego lelakiku.
Tak seperti kita,
karena kisah cinta yang abadi menghuni tanah ini
ialah kisah cinta yang berlumur darah dan amarah,
yang mengutuk bisu dalam arca batu,
menjadi dendam yang terpahat dalam suatu pagi berdebu.

Ah, tapi malam ini adalah malam kita, sayang.


malam bagi kita ‘tuk bercinta
di bawah purnama,
di tengah ribuan stupa dan arca batu.

Dinda, aku ingin


semua makhluk ini memahat kisah cinta kita
bukan hanya dalam lembaran usang
ataupun dinding batu yang berdiam suram.
Aku ingin kisah cinta kita terpahat abadi
dalam banjir keringat dan desah tertahan,
dalam festival tubuh yang terus berdenyut.
–meski sukmaku dan sukmamu, sayang,
t’lah jauh terkubur dalam pasir bisu.

Dinda, lihatlah
anak cucu kita berlari menapaki
tangga batu yang kian aus
dan berdebu.
Lihatlah tubuhtubuh yang berpesta
mengisahkan liuk lekuk percintaan kita
di bawah purnama,
di tengah ribuan stupa dan arca batu.
Ah, rupanya waktu masih berkenan menghembus
aroma cinta
yang tak hangus terbakar dalam bara jingga.

Lalu biarlah kita sejenak beristirah, sayang,


meski tak cukup semalam ‘tuk lukiskan
hikayat cinta kita di pelataran Prambanan.
Karena nafas,
keringat, dan
geliat bahasa tubuh Ramayana
t’lah melebur dalam asap dupa dan seberkas nyala purnama.

”Dewata, satukanlah cinta kami,


bagai Lingga dan Yoni.”

Sendratari Ramayana,
Prambanan, 16 Juni 2010

You might also like